Anda di halaman 1dari 20

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Hemrrhagic Fever (DHF) ialah penyakit

yang disebabkan virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegyti dan Aedes
albbopictus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia kecuali
ditempat ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut (Ginanjar, 2008).
Musim hujan tiba maka perlu diwaspadai adanya genangan – genangan air yang terjadi pada
selokan yang buntu, gorong – gorong yang tidak lancar serta adanya banjir yang berkepanjangan,
perlu diwaspadai adanya tempat reproduksi atau berkembangbiaknya nyamuk pada genangan –
genangan tersebut sehingga dapat mengakibatkan musim nyamuk telah tiba pula, itulah kata-kata
yang melakat pada saat ini. saatnya kita melakukan antisipasi adanya musim nyamuk dengan cara
pengendalian nyamuk dengan pendekatan perlakukan sanitasi lingkungan atau non kimiawi yang
tepat sangat diutamakan sebelum dilakukannya pengendalian secara kimiawi.
Selama ini semua manusia pasti mengatahui dan mengenal serangga yang disebut nyamuk.
Antara nyamuk dan manusia bisa dikatakan hidup berdampingan bahkan nyaris tanpa batas.
Namun, berdampingannya manusia dengan nyamuk bukan dalam makna positif. Tetapi nyamuk
dianggap mengganggu kehidupan umat manusia. Meski jumlah nyamuk yang dibunuh manusia
jauh lebih banyak daripada jumlah manusia yang meninggal karena nyamuk, perang terhadap
nyamuk seolah menjadi kegiatan tak pernah henti yang dilakukan oleh manusia.
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) {bahasa medisnya disebut Dengue
Hemorrhagic Fever (DHF)} adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan
melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus, yang mana menyebabkan gangguan
pada pembuluh darah kapiler dan pada sistem pembekuan darah, sehingga mengakibatkan
perdarahan-perdarahan.Penyakit ini banyak ditemukan didaerah tropis seperti Asia Tenggara,
India, Brazil, Amerika termasuk di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat ketinggian
lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut. Hal ini disebabkan karena penyakit ini telah
merenggut banyak nyawa. Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan RI terdapat 14 propinsi
dalam kurun waktu bulan Juli sampai dengan Agustus 2005 tercatat jumlah penderita sebanyak
1781 orang dengan kejadian meninggal sebanyak 54 orang.
DBD bukanlah merupakan penyakit baru, namun tujuh tahun silam penyakit inipun telah
menjangkiti 27 provinsi di Indonesia dan menyebabkan 16.000 orang menderita, serta 429 jiwa
meninggal dunia, hal ini terjadi sepanjang bulan Januari sampai April 1998 (Tempo, 2004). WHO
bahkan memperkirakan 50 juta warga dunia, terutama bocah-bocah kecil dengan daya tahan tubuh
ringkih, terinfeksi demam berdarah setiap tahun.
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah demam dengue yang disertai pembesaran hati dan
manifestasi perdarahan. Pada keadaan yang parah bisa terjadi kegagalan sirkulasi darah dan pasien
jatuh syok hipovolemik akibat kebocoran plasma. DBD merupakan suatu penyakit yang
disebabkan oleh virus dengue yang penularannya dari satu penderita ke penderita lain disebarkan
oleh nyamuk Aedes aegypti. Oleh karena itu langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah
penyebaran DBD adalah dengan memotong siklus penyebarannya dengan memberantas nyamuk
tersebut. Salah satu cara untuk memberantas nyamuk Aedes aegypti adalah dengan melakukan
Fogging. Selain itu juga dapat dilakukan pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan abatisasi
untuk memberantas jentik nyamuk.
Berbagai upaya pengendalian penyakit demam berdarah dengue (DBD) telah dilaksanakan
meliputi : promosi kesehatan tentang pemberantasan sarang nyamuk, pencegahan dan
penanggulangan faktor resiko serta kerja sama lintas program dan lintas sector terkait sampai
dengan tingkat desa /kelurahan untuk pemberantasan sarang nyamuk. Masalah utama dalam upaya
menekan angka kesakitan DBD adalah belum optimalnya upaya pergerakan peran serta
masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk Demam Berdarah Dengue.
Oleh karena itu partisipasi masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk DBD tersebut perlu
di tingkatkan antara lain pemeriksaan jentik secara berkala dan berkesinambungan serta
menggerakan masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk DBD.

Definisi Demam Berdarah Dengue (DBD)


Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Hemrrhagic Fever (DHF) ialah penyakit yang
disebabkan virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegyti dan Aedes
albbopictus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia kecuali
ditempat ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut (Ginanjar, 2008).
Menurut Rampengan seseorang di dalam darahnya mengandung virus Dengue merupakan sumber
penular penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Virus Dengue berada dalam darah selama 4-
7 hari mulai 1-2 hari sebelum demam. Bila penderita tersebut digigit nyamuk penular, maka virus
dalam darah akan ikut terhisap masuk ke dalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan
memperbanyak diri dan tersebar di berbagai jaringan tubuh nyamuk termasuk di dalam kelenjar
liurnya. Kira-kira satu minggu setelah menghisap darah penderita, nyamuk bersiap untuk
menularkan kepada orang lain. Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuk sepanjang
hidupnya. Penularan ini terjadi setiap kali nyamuk menggigit, sebelum menghisap darah akan
mengeluarkan air liur melalui saluran alat menggigitnya (proboscis), agar darah yang dihisap tidak
membeku. Bersama air liur inilah virus Dengue dipindahkan dari nyamuk ke orang lain.

Tanda dan Gejala DBD


Penyakit ini ditujukan melalui munculnya demam secara tiba-tiba, disertai sakit kepala berat, sakit
pada sendi otot (myalgias dan arthralgias) dan ruam. Ruam Demam Berdarah mempunyai ciri-ciri
merah terang, petekial dan biasanya muncul dulu pada bagian bawah, badan pada beberapa pasien,
ia menyebar hingga menyelimuti hampir seluruh tubuh. Selain itu, radang perut juga bisa muncul
dengan kombinasi sakit perut, rasa mual, muntah-muntah/ diare.

Menurut Ginanjar (2008), Kriteria klinis DBD meliputi:


1) Demam tinggi berlangsung dalam waktu singkat, yakni antara 2-7 hari, yang dapat mencapai
40 derajat celcius. Demam sering disertai gejala tidak spesifik, seperti tidak nafsu makan
(anoreksia), lemah badan (malaise), nyeri sendi dan tulang, serta rasa sakit di daerah belakang bola
mata (retro orbita), dan wajah yang kemerah-merahan (flushing) .
2) Tanda-tanda perdarahan seperti mimisan (epistaksis), perdarahan gusi, perdarahan pada kulit
seperti tes Rumppleede(+), ptekiae dan ekimosis, serta buang air besar berdarah berwarna merah
kehitaman (melena) .
3) Adanya pembesaran organ hati (hepatomegali).
4) Kegagalan sirkulasi darah, yang ditandai dengan denyut nadi yang teraba lemah dan cepat,
ujung-ujung jari terasa dingin serta dapat disertai penurunan kesadaran dan renjatan (syok) yang
dapat menyebabkan kematian.
Faktor-faktor Penyebab Terjadinya DBD
DBD disebabkan oleh virus dengue dari kelompok Arbovirus B, dan disebarkan oleh artropoda.
Vektor utama DBD ialah Aedes aegypti di daerah perkotaan dan Aedes albopictus di daerah
pedesaan. Nyamuk ini dapat menyebarkan virus dengue setelah sebelumnya menggigit dan
menghisap darah manusia yang sedang menderita DBD. Berdasarkan laporan yang ada, virus ini
juga dapat ditularkan transovarial sehingga telur- telur nyamuk ini terinfeksi oleh virus dengue.
Virus ini berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk selama kurang dari 8-10 hari terutama di dalam
kelenjar air ludahnya. Saat nyamuk menggigit manusia, virus ini akan ditularkan dan berkembang
biak di dalam tubuh manusia. Masa inkubasi selama kurang lebih 4-6 hari dan orang yang
terinfeksi tersebut dapat menderita demam berdarah dengue (Dinkes, 2006)
Virus Dengue yang menjadi penyebab penyakit ini termasuk dalam kelompok B Airthopod Borne
Virus (Arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, Famili Flaviviradae dan
mempunyai 4 jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4 (Departemen Kesehatan RI,
2003). Keempat serotipe virus Dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Infeksi
dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang
bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotype lain. Serotipe DEN-3 merupakan
serotype yang dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat. Virus Dengue ini ditularkan
kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti (Kristina, dkk, 2004).
Beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit Demam Berdarah Dengue, antara lain
faktor host, lingkungan (environment) dan faktor virusnya sendiri. Faktor host yaitu kerentanan
(susceptibility) dan respon imun. Faktor lingkungan (environment) yaitu kondisi geografi
(ketinggian dari permukaan laut, curah hujan, angin, kelembaban, musim), Kondisi demografi
(kepadatan, mobilitas, perilaku, adat istiadat, sosial ekonomi penduduk). Faktor agent yaitu sifat
virus Dengue, yang hingga saat ini telah diketahui ada 4 jenis serotipe yaitu Dengue 1, 2, 3, dan 4.
Penelitian terhadap epidemi Dengue di Nicaragua tahun 1998, menyimpulkan bahwa epidemiologi
Dengue dapat berbeda tergantung pada daerah geografi dan serotipe virusnya.

Agent Infeksius
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue. Virus ini termasuk dalam grup B Antropod Borne
Virus (Arboviroses) kelompok flavivirus dari family flaviviridae, yang terdiri dari empat serotipe,
yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3, DEN 4. Masing-masing saling berkaitan sifat antigennya dan dapat
menyebabkan sakit pada manusia. Keempat tipe virus ini telah ditemukan di berbagai daerah di
Indonesia. DEN 3 merupakan serotipe yang paling sering ditemui selama terjadinya KLB di
Indonesia diikuti DEN 2, DEN 1, dan DEN 4. DEN 3 juga merupakan serotipe yang paling
dominan yang berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit yang menyebabkan gejala klinis
yang berat dan penderita banyak yang meninggal.

Vektor Penular
Nyamuk Aedes aegypti maupun Aedes albopictus merupakan vector penularan virusdengue dari
penderita kepada orang lain melalui gigitannya. Nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor penting
di daerah perkotaan (daerah urban) sedangkan daerah pedesaan (daerah rural) kedua spesies
nyamuk tersebut berperan dalam penularan.
Penularan Virus Dengue
A. Mekanisme Penularan
Demam berdarah dengue tidak menular melalui kontak manusia dengan manusia.
Virusdengue sebagai penyebab demam berdarah hanya dapat ditularkan melalui nyamuk. Oleh
karena itu, penyakit ini termasuk kedalam kelompok arthropod borne diseases.
Virus dengueberukuran 35-45 nm. Virus ini dapat terus tumbuh dan berkembang dalam tubuh
manusia dan nyamuk. Terdapat tiga faktor yang memegang peran pada penularan infeksi dengue,
yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue masuk ke dalam tubuh nyamuk pada saat
menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, kemudian virus dengue ditularkan kepada
manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang infeksius.
Seseorang yang di dalam darahnya memiliki virus dengue (infektif) merupakan sumber penular
DBD. Virus dengue berada dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari sebelum demam (masa
inkubasi instrinsik). Bila penderita DBD digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan
ikut terhisap masuk ke dalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan berkembangbiak dan
menyebar ke seluruh bagian tubuh nyamuk, dan juga dalam kelenjar saliva. Kira-kira satu minggu
setelah menghisap darah penderita (masa inkubasi ekstrinsik), nyamuk tersebut siap untuk
menularkan kepada orang lain. Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuk sepanjang
hidupnya. Oleh karena itu nyamuk Aedes aegypti yang telah menghisap virus dengue menjadi
penular (infektif) sepanjang hidupnya.
Penularan ini terjadi karena setiap kali nyamuk menggigit (menusuk), sebelum menghisap darah
akan mengeluarkan air liur melalui saluran alat tusuknya (probosis), agar darah yang dihisap tidak
membeku. Bersama air liur inilah virus dengue dipindahkan dari nyamuk ke orang lain.13 Hanya
nyamuk Aedes aegypti betina yang dapat menularkan virus dengue. Nyamuk betina sangat
menyukai darah manusia (anthropophilic) dari pada darah binatang. Kebiasaan menghisap darah
terutama pada pagi hari jam 08.00-10.00 dan sore hari jam 16.00-18.00. Nyamuk betina
mempunyai kebiasaan menghisap darah berpindah-pindah berkali-kali dari satu individu ke
individu lain (multiple biter). Hal ini disebabkan karena pada siang hari manusia yang menjadi
sumber makanan darah utamanya dalam keadaan aktif bekerja/bergerak sehingga nyamuk tidak
bisa menghisap darah dengan tenang sampai kenyang pada satu individu. Keadaan inilah yang
menyebabkan penularan penyakit DBD menjadi lebih mudah terjadi.
B. Tempat Potensial Bagi Penularan Penyakit DBD
Penularan penyakit DBD dapat terjadi di semua tempat yang terdapat nyamuk penularnya.
Tempat-tempat potensial untuk terjadinya penularan DBD adalah :
1) Wilayah yang banyak kasus DBD (rawan/endemis)
2) Tempat-tempat umum merupakan tempat berkumpulnya orang-orang yang datang dari
berbagai wilayah sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran beberapa tipe virus dengue cukup
besar.
Tempat-tempat umum itu antara lain :
a. Sekolah
Anak murid sekolah berasal dari berbagai wilayah, merupakan kelompok umur yang paling rentan
untuk terserang penyakit DBD.
b. Rumah Sakit/Puskesmas dan sarana pelayanan kesehatan lainnya : Orang datang dari
berbagai wilayah dan kemungkinan diantaranya adalah penderita DBD, demam dengue atau carier
virus dengue.
c. Tempat umum lainnya seperti :
Hotel, pertokoan, pasar, restoran, tempat-tempat ibadah dan lain-lain.
3) Pemukiman baru di pinggiran kota
Karena di lokasi ini, penduduk umumnya berasal dari berbagai wilayah, maka kemungkinan
diantaranya terdapat penderita atau carier yang membawa tipe virus dengue yang berlainan dari
masing-masing lokasi awal.

Nyamuk Penular DBD


A. Morfologi
Nyamuk Aedes aegypti mempunyai morfologi sebagai berikut :
1) Nyamuk dewasa
Nyamuk dewasa berukuran lebih kecil, jika dibandingkan dengan rata-rata nyamuk yang lain.
Mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian badan dan kaki.
2) Pupa (Kepompong)
Pupa atau kepompong berbentuk seperti “Koma”. Bentuknya lebih besar namun lebih ramping
dibandingkan larva (jentik) nya. Pupa nyamuk Aedes aegypti berukuran lebih kecil, jika
dibandingkan dengan rata-rata pupa nyamuk lain.

3) Larva (jentik)
Ada 4 tingkat (instar) larva sesuai dengan pertumbuhan larva
a. Larva instar I berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm.
b. Larva instar II berukuran 2,5-3,8 mm.
c. Larva instar III berukuran lebih besar sedikit dari larva instar II.
d. Larva instar IV berukuran paling besar 5mm.
Larva dan pupa hidup pada air yang jernih pada wadah atau tempat air buatan seperti pada
potongan bambu, dilubang-lubang pohon, pelepah daun, kaleng kosong, pot bunga, botol pecah,
tangki air, talang atap, tempolong atau bokor, kolam air mancur, tempat minum kuda, ban bekas,
serta barang-barang lainnya yang berisi air yang tidak berhubungan langsung dengan tanah. Larva
sering berada di dasar container, posisi istirahat pada permukaan air membentuk sudut 45 derajat,
sedangkan posisi kepala berada di bawah.

4) Telur
Telur berwarna hitam dengan ukuran lebih 0,80 mm. Telur berbentuk oval yang mengapung satu
persatu pda permukaan air yang jernih, atau menempel pada dinding penampungan air,Aedes
aegypti betina bertelur diatas permukaan air pada dinding vertikal bagian dalam pada tempat-
tempat yang berair sedikit, jernih, terlindung dari sinar matahari langsung, dan biasanya berada di
dalam dan dekat rumah. Telur tersebut diletakkan satu persatu atau berderet pada dinding tempat
air, di atas permukaan air, pada waktu istirahat membentuk sudut dengan permukaan air.
B. Lingkungan Hidup
Nyamuk Aedes aegypti seperti nyamuk lainnya mengalami metamorfosis sempurna yaitu
telur – jentik – kepompong – nyamuk. Stadium telur, jentik dan kepompong hidup di dalam air.
Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu kurang lebih 2 hari setelah telur
terendam air. Telur dapat bertahan hingga kurang lebih selama 2-3 bulan apabila tidak terendam
air, dan apabila musim penghujan tiba dan kontainer menampung air, maka telur akan terendam
kembali dan akan menetas menjadi jentik. Stadium jentik biasanya berlangsung 6-8 hari, dan
stadium pupa (kepompong) berlangsung antara 2-4 hari. Pertumbuhan dari telur menjadi dewasa
9-10 hari. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan.
Pergerakan nyamuk dari tempat perindukan ke tempat mencari mangsa dan ke tempat
istirahat ditentukan oleh kemampuan terbang. Jarak terbang nyamuk betina biasanya 40-100 meter.
Namun secara pasif misalnya angin atau terbawa kendaraan maka nyamuk ini dapat berpindah
lebih jauh.

C. Variasi Musiman
Pada musim hujan tempat perkembang biakan Aedes aegypti yang pada musim kemarau
tidak terisi air, mulai terisi air. Telur-telur yang tadinya belum sempat menetas akan menetas.
Selain itu pada musim hujan semakin banyak tempat penampungan air alamiah yang terisi air
hujan dan dapat digunakan sebagai tempat berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti.Oleh
karena itu pada musim hujan populasi nyamuk Aedes aegypti terus meningkat. Bertambahnya
populasi nyamuk ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan penularan
penyakit dengue.

D. Tempat Perkembangbiakan Aedes aegypti


Tempat perkembangbiakan utama nyamuk Aedes aegypti ialah pada tempat-tempat
penampungan air berupa genangan air yang tertampung di suatu tempat atau bejana di dalam atau
sekitar rumah atau tempat-tempat umum, biasanya tidak melebihi jarak 500 meter dari rumah.
Nyamuk ini biasanya tidak dapat berkembangbiak di genangan air yang langsung berhubungan
dengan tanah. Jenis tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dapat dikelompokkan
sebagai berikut :
1) Tempat Penampungan Air (TPA), yaitu tempat-tempat untuk menampung air guna
keperluan sehari-hari, seperti: tempayan, bak mandi, ember, dan lain-lain.
2) Bukan tempat penampungan air (non TPA), yaitu tempat-tempat yang biasa menampung air
tetapi bukan untuk keperluan sehari-hari, seperti : tempat minum hewan peliharaan (ayam, burung,
dan lain-lain), barang bekas (kaleng,botol, ban,pecahan gelas, dan lain-lain), vas bunga,perangkap
semut, penampung air dispenser, dan lain-lain.
3) Tempat penampungan air alami, seperti : Lubang pohon, lubang batu, pelepah daun,
tempurung kelapa, kulit kerang, pangkal pohon pisang, potongan bambu, dan lain-lain .
. Epidemiologi Penyakit DBD
A. Distribusi Penyakit DBD Menurut Orang
DBD dapat diderita oleh semua golongan umur, walaupun saat ini DBD lebih banyak pada
anak-anak, tetapi dalam dekade terakhir ini DBD terlihat kecenderungan kenaikan proporsi pada
kelompok dewasa, karena pada kelompok umur ini mempunyai mobilitas yang tinggi dan sejalan
dengan perkembangan transportasi yang lancar, sehingga memungkinkan untuk tertularnya virus
dengue lebih besar, dan juga karena adanya infeksi virus dengue jenis baru yaitu DEN 1, DEN 2,
DEN 3 dan DEN 4 yang sebelumya belum pernah ada pada suatu daerah.
Pada awal terjadinya wabah di suatu negara, distribusi umur memperlihatkan jumlah
penderita terbanyak dari golongan anak berumur kurang dari 15 tahun (86-95%). Namun pada
wabah wabah selanjutnya jumlah penderita yang digolongkan dalam usia dewasa muda meningkat.
Di Indonesia penderita DBD terbanyak pada golongan anak berumur 5-11 tahun, proporsi
penderita yang berumur lebih dari 15 tahun meningkat sejak tahun 1984

B. Distribusi Penyakit DBD Menurut Tempat


Penyakit DBD dapat menyebar pada semua tempat kecuali tempat-tempat dengan
ketinggian 1000 meter dari permukaan laut karena pada tempat yang tinggi dengan suhu yang
rendah perkembangbiakan Aedes aegypti tidak sempurna. Dalam kurun waktu 30 tahun sejak
ditemukan virus dengue di Surabaya dan Jakarta tahun 1968 angka kejadian sakit infeksi virus
dengue meningkat dari 0,05 per 100.000 penduduk menjadi 35,19 per 100.000 penduduk tahun
1998. Sampai saat ini DBD telah ditemukan diseluruh propinsi di Indonesia.
Meningkatnya kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit disebabkan karena
semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya pemukiman baru, dan terdapatnya vektor
nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah air serta adanya empat tipe virus yang menyebar
sepanjang tahun.

Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Penyakit DBD


Penularan penyakit DBD dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu agent (virus), host
(pejamu), dan lingkungan, yaitu :
1) Agent (penyebab penyakit) adalah semua unsur atau elemen hidup atau mati yang
kehadirannya, apabila diikuti dengan kontak yang efektif dengan manusia rentan dalam keadaan
yang memungkinkan akan menjadi stimuli untuk mengisi dan memudahkan terjadinya suatu
proses penyakit. Dalam hal ini yang menjadi agent penyebaran DBD adalah virus dengue.
2) Karakteristik host (pejamu) adalah manusia yang kemungkinan terjangkit penyakit DBD.
Faktor-faktor yang terkait dalam penularan DBD pada manusia yaitu :
a. Mobilitas penduduk akan memudahkan penularan dari suatu tempat ke tempat yang lainnya.
Hasil penelitian Fathi (2004) di kota Mataram mobilitas penduduk tidak ikut berperan dalam
terjadinya KLB penyakit DBD di kota Mataram, hal ini dapat dikaitkan dengan mobilitas
penduduk di kota Mataram yang relatif rendah yaitu sebagian besar adalah petani. Hasil penelitian
Arsunan dan Wahiduddin (2003) di kota Makassar mobilitas penduduk berperan dalam
penyebaran DBD, hal ini disebabkan mobilitas penduduk di kota Makassar yang relatif tinggi. Hal
ini sesuai dengan Sumarmo bahwa penyakit biasanya menjalar dimulai dari suatu pusat sumber
penularan (kota besar), kemudian mengikuti lalu-lintas (mobilitas) penduduk. Semakin tinggi
mobilitas makin besar kemungkinan penyebaran penyakit DBD.
b. Pendidikan akan mempengaruhi cara berpikir dalam penerimaan penyuluhan dan cara
pemberantasan yang dilakukan, hal ini berkaitan dengan pengetahuan. Hasil penelitian Nicolas
Duma (2007) di kecamatan Baruga kota Kendari ada hubungan yang sangat signifikan antara
pengetahuan dengan kejadian DBD. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Arsunan dan
Wahiduddin (2003) di kota Makassar yang mendapatkan adanya hubungan yang bermakna antara
pengetahuan dengan kejadian DBD. Hasil penelitian Kasnodiharjo (1997) di Subang Jawa Barat
menyatakan bahwa seseorang yang mempunyai latar belakang pendidikan atau buta huruf, pada
umumnya akan mengalami kesulitan untuk menyerap ide-ide baru dan membuat mereka
konservatif karena tidak mengenal alternatif yang lebih baik.
c. Kelompok umur akan mempengaruhi peluang terjadinya penularan penyakit DBD. Hasil
penelitian Soegeng Soegijanto (2000) di Jawa Timur dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2000
proporsi kasus DBD terbanyak adalah pada kelompok umur 5-9 tahun. Tetapi pada tahun 1998
dan 2000 proporsi kasus pada kelompok umur 15-44 tahun meningkat, keadaan tersebut perlu
diwaspadai bahwa DBD cenderung meningkat pada kelompok umur remaja dan dewasa. Hal ini
sesuai dengan Suroso bahwa di Indonesia pada tahun 1995-1997 proporsi kasus DBD telah
bergeser ke usia ≥ 15 tahun. Hasil penelitian Fitri (2005) di Pekanbaru proporsi penderita
terbanyak lebih sering pada kelompok umur ≥ 15 tahun.
d. Jenis kelamin, berdasarkan penelitian Widyana (1998) di Bantul pada tahun 1997
menemukan bahwa proporsi penderita perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki yaitu sebesar
52,6 %.23 Hasil serupa juga di peroleh oleh Enny dkk (2003) di Jakarta pada tahun 2000 sebagian
besar penderita adalah perempuan (58,2%).25 Namun secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan
antara jenis kelamin penderita DBD dan sampai sekarang tidak ada keterangan yang dapat
memberikan jawaban dengan tuntas mengenai perbedaan jenis kelamin pada penderita DBD.13
Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan Djelantik di RSCM Jakarta (1998)
menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara angka insiden laki-laki dan
perempuan.
3) Lingkungan, lingkungan yang terkait dalam penularan penyakit DBD adalah :
a. Tempat penampungan air / keberadaan kontainer, sebagai tempat perindukan nyamukAedes
aegypti. Hasil penelitian Yukresna (2003) dengan desain penelitiancase controldi kota Medan
mendapatkan kondisi tempat penampungan air mempunyai hubungan dengan kejadian DBD
dengan OR 5,706 (CI 95% 1,59 – 20,39).
b. Ketinggian tempat suatu daerah mempunyai pengaruh terhadap perkembangbiakan nyamuk
dan virus DBD. Di wilayah dengan ketinggian lebih dari 1.000 meter diatas permukaan laut tidak
ditemukan nyamuk Aedes aegypti.
c. Curah hujan, pada musim hujan (curah hujan diatas normal) tempat perkembangbiakan
nyamuk Aedes aegypti yang pada musim kemarau tidak terisi air, mulai terisi air. Telur-telur yang
belum sempat menetas, dalam tempo singkat akan menetas, dan kelembaban udara juga akan
meningkat yang akan berpengaruh bagi kelangsungan hidup nyamuk dewasa dimana selama
musim hujan jangka waktu hidup nyamuk lebih lama dan berisiko penularan virus lebih besar.
Dari hasil pengamatan penderita DBD yang selama ini dilaporkan di Indonesia bahwa musim
penularan DBD pada umumnya terjadi pada musim hujan yaitu awal dan akhir tahun.4 Hasil
penelitian Fitri (2005) kasus penyakit DBD di kota Pekanbaru akan lebih tinggi pada saat curah
hujan tinggi yaitu diatas 300 mm.
d. Kebersihan lingkungan / sanitasi lingkungan, dari penelitian Yukresna (2003) di kota Medan
dengan desain penelitian case control yang mendapatkan bahwa kebersihan lingkungan
mempunyai hubungan dengan kejadian DBD dengan OR 2,90 (CI 95% 1,63-5,15).26 Penelitian
tersebut sesuai dengan pernyataan Seogeng, S (2004) yang menyatakan bahwa kondisi sanitasi
lingkungan berperan besar dalam perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti.
Pencegahan Primer
Pencegahan penyakit DBD dapat dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu pencegahan primer,
pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier. Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya
untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi
sakit.

Surveilans Vektor
Surveilans untuk nyamuk Aedes aegypti sangat penting untuk menentukan distribusi,
kepadatan populasi, habitat utama larva, faktor resiko berdasarkan waktu dan tempat yang
berkaitan dengan penyebaran dengue, dan tingkat kerentanan atau kekebalan insektisida yang
dipakai, untuk memprioritaskan wilayah dan musim untuk pelaksanaan pengendalian vektor. Data
tersebut akan memudahkan pemilihan dan penggunaan sebagian besar peralatan pengendalian
vektor, dan dapat dipakai untuk memantau keefektifannya. Salah satu kegiatan yang dilakukan
adalah survei jentik. Survei jentik dilakukan dengan cara melihat atau memeriksa semua tempat
atau bejana yang dapat menjadi tempat berkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dengan mata
telanjang untuk mengetahui ada tidaknya jentik,yaitu dengan cara visual. Cara ini cukup dilakukan
dengan melihat ada tidaknya jentik disetiap tempat genangan air tanpa mengambil jentiknya.

Ukuran-ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepadatan jentik Aedes aegypti adalah :
a. House Indeks (HI), yaitu persentase rumah yang terjangkit larva dan atau pupa.
HI = Jumlah Rumah Yang Terdapat Jentik x 100%
Jumlah Rumah yang Diperiksa
b. Container Indeks (CI), yaitu persentase container yang terjangkit larva atau pupa. CI =
Jumlah Container Yang Terdapat Jentik x 100%
Jumlah Container Yang Diperiksa
c. Breteau Indeks (BI), yaitu jumlah container yang positif per-100 rumah yang diperiksa.
BI = Jumlah Container Yang Terdapat Jentik x 100 rumah
Jumlah Rumah Yang Diperiksa
Dari ukuran di atas dapat diketahui persentase Angka Bebas Jentik (ABJ), yaitu jumlah rumah
yang tidak ditemukan jentik per jumlah rumah yang diperiksa.
ABJ = Jumlah Rumah Yang Tidak Ditemukan Jentik x 100%
Jumlah Rumah Yang Diperiksa
Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) merupakan bentuk evaluasi hasil kegiatan yang dilakukan tiap
3 bulan sekali disetiap desa/kelurahan endemis pada 100 rumah/bangunan yang dipilih secara
acak (random sampling). Angka Bebas Jentik dan House Indeks lebih menggambarkan luasnya
penyebaran nyamuk disuatu wilayah.

Pengendalian Vektor
Pengendalian vektor adalah upaya untuk menurunkan kepadatan populasi nyamuk Aedes
aegypti. Secara garis besar ada 3 cara pengendalian vektor yaitu :
1) Pengendalian Cara Kimiawi
Pada pengendalian kimiawi digunakan insektisida yang ditujukan pada nyamuk dewasa atau larva.
Insektisida yang dapat digunakan adalah dari golongan organoklorin, organofosfor, karbamat, dan
pyrethoid. Bahan-bahan insektisida dapat diaplikasikan dalam bentuk penyemprotan (spray)
terhadap rumah-rumah penduduk. Insektisida yang dapat digunakan terhadap larva Aedes
aegypti yaitu dari golongan organofosfor (Temephos) dalam bentuk sand granules yang larut
dalam air di tempat perindukan nyamuk atau sering disebut dengan abatisasi.
2) Pengendalian Hayati / Biologik
Pengendalian hayati atau sering disebut dengan pengendalian biologis dilakukan dengan
menggunakan kelompok hidup, baik dari golongan mikroorganisme hewan invertebrate atau
vertebrata. Sebagai pengendalian hayati dapat berperan sebagai patogen, parasit dan pemangsa.
Beberapa jenis ikan kepala timah (Panchaxpanchax), ikan gabus (Gambusiaaffinis) adalah
pemangsa yang cocok untuk larva nyamuk. Beberapa jenis golongan cacing nematoda
seperti Romanomarmis iyengari dan Romanomarmis culiforax merupakan parasit yang cocok
untuk larva nyamuk.
3) Pengendalian Lingkungan
Pengendalian lingkungan dapat digunakan beberapa cara antara lain dengan mencegah nyamuk
kontak dengan manusia yaitu memasang kawat kasa pada pintu, lubang jendela, dan ventilasi di
seluruh bagian rumah. Hindari menggantung pakaian di kamar mandi, di kamar tidur, atau di
tempat yang tidak terjangkau sinar matahari.

Surveilans Kasus
Surveilans kasus DBD dapat dilakukan dengan surveilans aktif maupun pasif. Di beberapa
negara pada umumnya dilakukan surveilans pasif. Meskipun sistem surveilans pasif tidak sensitif
dan memiliki spesifisitas yang rendah, namun sistem inin berguna untuk memantau kecenderungan
penyabaran dengue jangka panjang. Pada surveilans pasif setiap unit pelayanan kesehatan ( rumah
sakit, Puskesmas, poliklinik, balai pengobatan, dokter praktek swasta, dll) diwajibkan melaporkan
setiap penderita termasuk tersangka DBD ke dinas kesehatan selambat-lambatnya dalam waktu 24
jam. Surveilans aktif adalah yang bertujuan memantau penyebaran dengue di dalam masyarakat
sehingga mampu mengatakan kejadian, dimana berlangsung penyebaran kelompok serotipe virus
yang bersirkulasi, untuk mencapai tujuan tersebut sistem ini harus mendapat dukungan
laboratorium diagnostik yang baik. Surveilans seperti ini pasti dapat memberikan peringatan dini
atau memiliki kemampuan prediktif terhadap penyebaran epidemi penyakit DBD.

Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk


Gerakan PSN adalah keseluruhan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat dan
pemerintah untuk mencegah penyakit DBD yang disertai pemantauan hasil hasilnya secara terus
menerus. Gerakan PSN DBD merupakan bagian terpenting dari keseluruhan upaya pemberantasan
penyakit DBD, dan merupakan bagian dari upaya mewujudkan kebersihan lingkungan serta
prilaku sehat dalam rangka mencapai masyarakat dan keluarga sejahtera. Dalam membasmi jentik
nyamuk penularan DBD dengan cara yang dikenal dengan istilah 3M, yaitu :
1) Menguras bak mandi, bak penampungan air, tempat minum hewan peliharaan minimal sekali
dalam seminggu.
2) Menutup rapat tempat penampungan air sedemikian rupa sehingga tidak dapat diterobos oleh
nyamuk dewasa.
3) Mengubur barang-barang bekas yang sudah tidak terpakai, yang semuanya dapat
menampung air hujan sebagai tempat berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti.

Pencegahan Sekunder
Pada pencegahan sekunder dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut :
Penemuan, Pertolongan dan Pelaporan Penderita
Penemuan, pertolongan, dan pelaporan penderita DBD dilaksanakan oleh petugas
kesehatan dan masyarakat dengan cara :
1) Bila dalam keluarga ada yang menunjukkan gejala penyakit DBD, berikan pertolongan
pertama dengan banyak minum, kompres dingin dan berikan obat penurun panas yang tidak
mengandung asam salisilat serta segera bawa ke dokter atau unit pelayanan kesehatan.
2) Dokter atau unit kesehatan setelah melakukan pemeriksaan/diagnosa dan pengobatan
segaera melaporkan penemuan penderita atau tersangka DBD tersebut kepada Puskesmas,
kemudian pihak Puskesmas yang menerima laporan segera melakukan penyelidikan epidemiologi
dan pengamatan penyakit dilokasi
penderita dan rumah disekitarnya untuk mencegah kemungkinan adanya penularan lebih lanjut.
3) Kepala Puskesmas melaporkan hasil penyelidikan epidemiologi dan kejadian luar biasa
(KLB) kepada Camat, dan Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten, disertai dengan cara
penanggulangan seperlunya.

Diagnosis
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun 1997
terdiri dari kriteria klinis dan laboratorium.
1) Kriteria Klinis
a. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari.
b. Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan : uji tourniquet positif, petechie, echymosis,
purpura, perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan malena. Uji tourniquet
dilakukan dengan terlebih dahulu menetapkan tekanan darah. Selanjutnya diberikan tekanan di
antara sistolik dan diastolik pada alat pengukur yang dipasang pada lengan di atas siku; tekanan
ini diusahakan menetap selama percobaan. Setelah dilakukan tekanan selama 5 menit, diperhatikan
timbulnya petekia pada kulit di lengan bawah bagian medial pada sepertiga bagian proksimal. Uji
dinyatakan positif apabila pada 1 inchi persegi (2,8 x 2,8 cm) didapat lebih dari 20 petekia.13
c. Pembesaran hati (hepatomegali).
d. Syok (renjatan), ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi, kaki
dan tangan dingin, kulit lembab, dan gelisah.
2. Kriteria Laboratorium
a. Trombositopeni ( < 100.000 sel/ml)
b. Hemokonsentrasi, dapat dilihat dari peningkatan hematokrit 20% atau lebih.
3. Derajat Penyakit DBD, menurut WHO tahun 1997 4,5
Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat, yaitu :
a. Derajat I Demam disertai dengan gejala umum nonspesifik, satu-satunya manifestasi perdarahan
ditunjukkan melalui uji tourniquet yang positif.
b. Derajat II Selain manifestasi yang dialami pasien derajat I, perdarahan spontan juga terjadi,
biasanya dalam bentuk perdarahan kulit dan atau perdarahan lainnya.
c. Derajat III Demam, perdarahan spontan, disertai atau tidak disertai hepatomegali dan ditemukan
gejala-gejala kegagalan sirkulasi meliputi nadi yang cepat dan lemah, tekanan nadi menurun ( <
20 mmHg) atau hipotensi disertai kulit lembab dan dingin serta gelisah.
d. Derajat IV Demam, perdarahan spontan, disertai atau tidak disertai hepatomegali dan ditemukan
gejala syok (renjatan) yang sangat berat dengan tekanan darah dan denyut nadi yang tidak
terdeteksi.

Diagnosis Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang sangat penting untuk memastikan diagnosis infeksi
dengue, meliputi :
1) Pengumpulan Spesimen
Salah satu aspek yang esensial untuk diagnosis laboratorium adalah pengumpulan, pegolahan,
penyimpanan, dan pengantaran spesimen. Spesimen S1 adalah sampel darah yang diambil pada
stadium akut atau secepatnya setelah onset penyakit atau segera setelah masuk rumah
sakit. Spesimen S2 adalah sampel darah yang diambil pada waktu penderita akan meninggalkan
rumah sakit atau secepatnya sebelum meninggal. Spesimen S3 adalah sampel darah yang diambil
2-3 minggu setelah spesimen akut. Waktu antara yang paling baik untuk pengambilan spesimen
akut dan kovalesen adalah 10 hari. Untuk pemeriksaan serologi pengumpulan spesimen darah
dapat dilakukan dengan 2 cara :
a. Dengan menggunakan kertas saring (filter paper khusus).
Darah diteteskan pada kertas saring sampai jenuh, bolak-balik sehingga seluruh permukaan filter
paper terisi darah rata. Darah dapat dari pembuluh vena dapat pula darah dari ujung jari (ujung jari
ditusuk). Kertas saring yang berisi darah dibiarkan kering pada temperatur kamar. Jangan
dikeringkan dengan panas sinar matahari atau yang lainnya. Kertas saring yang berisi darah yang
telah kering disimpan dalam tempat yang kering pada suhu kamar tidak lebih dari 3 bulan.
Kirimkan dalam amplop atau kantong plastik ke laboratorium secepatnya sebelum waktu 3 bulan
tersebut.
b. Dengan serum
darah diambil secara asepsis dengan menggunakan semprit. Serum dipisahkan dengan diputar
1500-2000 putaran sekitar 10-15 menit. Serum yang terpisah dipindahkan dalam botol kecil
dengan menggunakan pipet Pasteur. Serum tersebut disimpan pada suhu -200C sebelum dikirim
ke laboratorium.
2) Isolasi Virus
Isolasi sebagian besar strain virus dengue dari spesimen klinis dapat dilakukan pada sebagian besar
kasus asalkan sampel diambil dalam beberapa hari pertama sakit dan langsung diproses tanpa
penundaan. Spesimen yang mungkin sesuai untuk isolasi virus diantaranya serum fase akut dari
pasien, autopsi jaringan dari kasus fatal, terutama dari hati, limpa, nodus limfe.
3) Uji Serologis
Uji hemaglutinasi inhibisi (uji HI) merupakan salah satu pemeriksaaan serologi untuk penderita
DBD dan telah ditetapkan oleh WHO sebagai standar pada pemeriksaan serologi penderita DBD
dibandingkan pemeriksaan serologi lainnya seperti ELISA, uji komplemen fikasi, uji netralisasi,
dan sebagainya. Apapun jenis uji yang dilakukan, konfirmasi serologis sudah pasti bergantung
pada kenaikan yang signifikan (4 kali lipat atau lebih) pada antibodi spesifik dalam sampel serum
diantara fase akut dan fase pemulihan. Kumpulan antigen untuk sebagian besar uji serologis ini
harus mencakup keempat serotipe dengue.

Pengobatan Penderita DBD


Pengobatan penderita DBD pada dasarnya bersifat simptomatik dan suportif yaitu
pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi.
1) Penatalaksanaan DBD tanpa komplikasi :
a. Istirahat total di tempat tidur.
b. Diberi minum 1,5-2 liter dalam 24 jam (susu, air dengan gula atau air ditambah garam/oralit).
Bila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut
berlebihan, maka cairan inravena harus diberikan.
c. Berikan makanan lunak
d. Medikamentosa yang bersifat simptomatis. Untuk hiperpireksia dapat diberikan kompres,
antipiretik yang bersifat asetaminofen, eukinin, atau dipiron dan jangan diberikan asetosal karena
dapat menyebabkan perdarahan.
e. Antibiotik diberikan bila terdapat kemungkinan terjadi infeksi sekunder.
2) Penatalaksanaan pada pasien syok :
a. Pemasangan infus yang diberikan dengan diguyur, seperti NaCl, ringer laktat dan dipertahankan
selama 12-48 jam setelah syok diatasi.
b. Observasi keadaan umum, nadi, tekanan darah, suhu, dan pernapasan tiap jam, serta
Hemoglobin (Hb) dan Hematokrit (Ht) tiap 4-6 jam pada hari pertama selanjutnya tiap 24 jam.
Nilai normal Hemoglobin :
Anak-anak : 11,5 – 12,5 gr/100 ml darah
Laki-laki dewasa : 13 – 16 gr/100 ml darah
Wanita dewasa : 12 – 14 gr/100 ml darah
Nilai normal Hematokrit :
Anak-anak : 33 – 38 vol %
Laki-laki dewasa : 40 – 48 vol %
Wanita dewasa : 37 – 43 vol %
b. Bila pada pemeriksaan darah didapatkan penurunan kadar Hb dan Ht maka diberi transfusi
darah.

Penyelidikan Epidemiologi (PE)


Penyelidikan Epidemiologi adalah kegiatan pencarian penderita/tersangka DBD lainnya
dan pemeriksaan jentik rumah, yang dilakukan dirumah penderita dan 20 rumah disekitarnya serta
tempat-tempat umum yang diperkirakan menjadi sumber penularan, hasilnya dicatat dalam
formulir PE dan dilaporkan kepada Kepala Puskesmas selanjutnya diteruskan kepada Lurah
melalui Camat dan penanggulangan seperlunya untuk membatasi penularan. Maksud penyelidikan
epidemiologi ialah untuk mengetahui ada/tidaknya kasus DBD tanbahan dan luas penyebarannya,
serta untuk mengetahui kemungkinan terjadinya penyebaran penyakit DBD lebih lanjut dilokasi
tersebut.
Bila pada hasil PE ditemukan penderita DBD lain atau jentik dan penderita panas tanpa
sebab yang jelas lebih dari 3 orang maka akan dilakukan penyuluhan 3 M plus, larvasida, fogging
fokus / penanggulangan fokus, yaitu pengasapan rumah sekitar tempat tinggal penderita DBD
dalam radius 200 meter, yang dilaksanakan berdasarkan hasil dari penyelidikan epidemiologi,
dilakukan 2 siklus dengan interval 1 minggu. Bila pada hasil PE tidak ditemukan kasus lain maka
dilakukan penyuluhan dan kegiatan 3M.
Pencegahan Tersier
Pencegahan tingkat ketiga ini dimaksudkan untuk mencegah kematian akibat penyakit DBD dan
melakukan rehabilitasi. Upaya pencegahan ini dapat dilakukan dengan :
Transfusi Darah
Penderita yang menunjukkan gejala perdarahan seperti hematemesis dan malena diindikasikan
untuk mendapatkan transfusi darah secepatnya.
Stratifikasi Daerah Rawan DBD
Adapun jenis kegiatan yang dilakukan disesuaikan dengan stratifikasi daerah rawan seperti :
1) Endemis
Yaitu Kecamatan, Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir selalu ada kasus DBD. Kegiatan yang
dilakukan adalah fogging Sebelum Musim Penularan
2) Sporadis
Yaitu Kecamatan, Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir ada kasus DBD. Kegiatan yang
dilakukan adalah Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB), PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) dan
3M, penyuluhan tetap dilakukan.
3) Potensial
Yaitu Kecamatan, Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir tidak ada kasus DBD. Tetapi
penduduknya padat, mempunyai hubungan transportasi dengan wilayah lain dan persentase rumah
yang ditemukan jentik > 5%. Kegiatan yang dilakukan adalah PJB, PSN, 3M dan penyuluhan.
4) Bebas
Yaitu Kecamatan, Kelurahan yang tidak pernah ada kasus DBD. Ketinggian dari permukaan air
laut > 1000 meter dan persentase rumah yang ditemukan jentik ≤ 5%. Kegiatan yang dilakukan
adalah PJB, PSN, 3M dan penyuluhan.

Frekuensi Kejadian Demam Berdarah Dengue


Kasus DBD di Indonesia, pertama kali dijumpai di Surabaya pada tahun 1968. Sejak saat
itu, penyebaran penyakit DBD berlangsung dengan sangat cepat, jumlah kasus cenderung
meningkat dan daerah penyebarannya bertambah luas, sehingga pada tahun 1994 DBD telah
tersebar ke seluruh provinsi di Indonesia. Pada tahun 1968 jumlah kasus yang dilaporkan sebanyak
58 kasus dengan jumlah kematian 24 orang, sedangkan dalam 5 tahun terakhir (1997- 2001) jumlah
rata- rata kasus dilaporkan sebanyak 40.854 kasus dengan rata- rata kematian 701 orang setiap
tahunnya. Pada tahun yang sama setiap 100.000 penduduk, 20-21 orang diantaranya menderita
DBD dan setiap 100 penderita, rata- rata meninggal sebanyak 1-2 orang (Dinkes Jateng, 2006).
Kejadian luar biasa (KLB) atau wabah masih sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Pada tahun 1998 terjadi KLB dengan jumlah penderita sebanyak 72.133 orang dan merupakan
wabah terbesar sejak kasus DBD pertama kali ditemukan di Indonesia dengan 1.411 kematian
(CFR=2%). Sedangkan pada KLB 2004 jumlah penderita sejak Januari 2004 berdasarkan
pemantauan dan laporan yang diperoleh dari 30 provinsi sampai dengan April 2004 adalah
sebanyak 58.861 kasus, 669 diantaranya meninggal (CFR=1,14%) (Dinkes Bali, 2015). Menurut
Dinas Kesehatan Provinsi Bali, (2015), jumlah kasus DBD pada tahun 2015 di Bali mencapai
20.565 kasus dengan jumlah kematian 329 kejadian. Angka kesakitan DBD adalah 6,25/10.000
penduduk (target nasional kurang dari 2/10.000 penduduk) dan angka kematian sebesar 1, 60%
(target nasional kurang dari 1%). (Dinkes Bali, 2012)
Tabel 2. 1 Angka Kesakitan dan Kematian DBD di Provinsi BALI Tahun 2012-2015

Tahun Penderita Meninggal IR/10.000 CFR (%)


2012 9.742 169 3.007 1,73
2013 7.144 181 2,17 2,53
2014 10.924 220 3,39 2,01
2015 20.565 329 6,25 1,60

Public Health Surveillence Penyakit DBD


Sesuai rekomendasi Depkes RI, setiap kasus DBD harus segera ditindak lanjuti dengan
penyelidikan epidemiologi dan penanggulangan lainnya untuk mencegah penyebarluasan atau
mencegah terjadinya KLB. Penyelidikan epidemiologi demam berdarah dengue merupakan
kegiatan pencarian penderita atau tersangka lainnya, serta pemeriksaan jentik nyamuk penular
DBD dirumah penderita atau tersangka dan rumah-rumah sekitarnya dalam radius
sekurang¬kurangnya 100 meter. Juga pada tempat umum yang diperkirakan menjadi sumber
penularan penyakit. Tujuannya utama kegiatan ini untuk mengetahui ada tidaknya kasus DBD
tambahan serta terjadinya potensi meluasnya penyebaran penyakit padad wilayah tersebut
Sedangkan pengertian pengamatan penyakit DBD merupakan kegiatan pencatatan jumlah
kasus DBD dan kasus tersangka DBD menurut waktu dan tempat kejadian, yang dilaksanakan
secara teratur dan menyebarkan informasinya sesuai kebutuhan program pemberantasan penyakit
DBD. Laporan kewaspadaan DBD merupakan laporan secepatnya kasus DBD agar dapat segera
dilakukan tindakan atau langkah¬langkah untuk membatasi penularan penyakit DBD.
Komponen kegiatan diatas antara lain dengan melakukan pengamatan jentik. Pengamatan
ini dilakukan dengan menggunakan indikator ukuran kepadatan jentik yaitu: angka bebas jentik
(ABJ), house index (HI), container index (CI) dan bruteau index (BI). HI lebih menggambarkan
penyebaran nyamuk di suatu wilayah tertentu (Depkes, 1990). Apabila HI kurang dari 5%
menunjukkan kecepatan penularan DBD cukup, sedangkan bila lebih 5% berarti potensial terjadi
penularan DBD.
Hasil penyelidikan epidemiologi akan menentukan langkah selanjutnya dalam
pemberantasan penyakit DBD. Dinas Kesehatan akan melakukan tindakan seperti fogging atau
tidak fogging, dan pokja DBD serta masyarakat melakukan PSN-DBD dengan gerakan 3 M.
Tindakan penanggulangan KLB dilakukan bersama kegiatan penyelidikan epidemiologi,
penggerakan PSN DBD dengan abatisasi, fogging focus dan fogging massal.
A. Penegakan diagnosis DBD
1) Diagnosis klinis DBD adalah penderita dengan gejala demam tinggi mendadak, tanpa sebab
yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2 – 7 hari disertai manifestasi perdarahan (sekurang
– kurangnya uji tourniquet positif). Trombositopenia (jumlah trombosit ≤ 100.000/μl), dan
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit ≥ 20 %)
2) Diagnosis Laboratoris adalah hasil pemeriksaan serologis pada tersangka DBD menunjukan
hasil positif pada pemeriksaan HI test atau peninggian (positif) IgG saja atau IgM dan IgG pada
pemeriksaan dengue rapid test.
3) Penegakan diagnosis DD adalah gejala demam tinggi mendadak, kadang bifasik (saddle back
fever), nyeri kepala berat, nyeri belakang bola mata, nyeri otot, tulang atau sendi, mual, muntah,
dan timbulnya ruam. Hasil pemeriksaan darah menunjukan leukopeni kadang dijumpai
trombositopeni. Pada penderita DD tidak dijumpai kebocoran plasma atau hasil pemeriksaan
serologis pada penderita yang diduga DD menunjukan peninggian (positif) IgM saja.
4) Tersangka DBD adalah penderita demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas,
berlangsung terus menerus selama 2 – 7 hari disertai tanda – tanda perdarahan sekurang –
kurangnya ujitourniquet (Rumple Leede) positif dan atau jumlah trombosit ≤ 100.000 / μl.

B. Alur Pelaporan Penyakit Demam Berdarah Dengue


Pelaporan rutin
1) Pelaporan dari unit pelayanan kesehatan (selain puskesmas)
Setiap unit pelayanan kesehatan yang menemukan tersangka atau penderita DBD wajib
segera melaporkannya ke dinas kesehatan kabupaten / kota setempat selambat – lambatnya dalam
24 jam dengan tembusan ke puskesmas wilayah tempat tinggal penderita. Laporan tersangka DBD
merupakan laporan yang dipergunakan untuk tindakan kewaspadaan dan tindak lanjut
penanggulangannya juga merupakan laporan yang dipergunakan sebagai laporan kasus yang
diteruskan secara berjenjang dari puskesmas sampai pusat. Formulir yang digunakan adalah
formulir kewaspadaan dini RS (KD/RS-DBD) (lampiran 1), dan formulir rekapitulasi penderita
DBD per bulan (DP-DBD/RS) (lampiran 2).
2) Pelaporan dari puskesmas ke dinas kesehatan kabupaten / kota
a. Menggunakan formulir KD/RS-DBD untuk pelaporan kasus DBD dalam 24 jam setelah
diagnosis ditegakkan (lampiran 1)
b. Menggunakan formulir DP-DBD sebagai data dasar perorangan DBD yang dilaporkan
perbulan (lampiran 2)
c. Menggunakan formulir K-DBD sebagai laporan bulanan (lampiran 3)
d. Menggunakan formulir W2-DBD sebagai laporan mingguan KLB (lampiran 4)
e. Menggunakan formulir W1 bila terjadi KLB (lampiran 5)
3) Pelaporan dari dinas kesehatan kabupaten / kota ke dinas kesehatan provinsi
a. Menggunakan formulir DP-DBD sebagai data dasar perorangan DBD yang dilaporkan
perbulan (lampiran 2)
b. Menggunakan formulir K-DBD sebagai laporan bulanan (lampiran 3)
c. Menggunakan formulir W2-DBD sebagai laporan mingguan KLB (lampiran 4)
d. Menggunakan formulir W1 bila terjadi KLB (lampiran 5)
4) Pelaporan dari dinas kesehatan provinsi ke Ditjen PP & PL
a. Menggunakan formulir DP-DBD sebagai data dasar perorangan DBD yang dilaporkan
perbulan (lampiran 2)
b. Menggunakan formulir K-DBD sebagai laporan bulanan (lampiran 3)
c. Menggunakan formulir W2-DBD sebagai laporan mingguan KLB (lampiran 4)
d. Menggunakan formulir W1 bila terjadi KLB (lampiran 5)
e. Bagan Alur Pelaporan Demam Berdarah Dengue
Pelaporan dalam situasi kejadian luar biasa
1) Pelaporan oleh unit pelayanan kesehatan (selain puskesmas)
a. Menggunakan formulir W1 (lampiran 5)
b. Pelaporan dengan formulir DP-DBD ditingkatkan frekuensinya menjadi mingguan atau
harian (lampiran 2)
c. Pelaporan dengan formulir KD/RS-DBD tetap dilaksanakan (lampiran 1)
2) Pelaporan dari puskesmas ke dinas kesehatan kabupaten / kota
a. Menggunakan formulir W1 (lampiran 5)
b. Menggunakan formulir KD/RS-DBD untuk pelaporan kasus DBD dalam 24 jam setelah
diagnosis ditegakkan (lampiran 1)
c. Menggunakan formulir W2-DBD sebagai laporan mingguan KLB (lampiran 4)
3) Pelaporan dari dinas kesehatan kabupaten / kota ke dinas kesehatan provinsi
a. Menggunakan formulir W1 (lampiran 5)
b. Menggunakan formulir W2-DBD sebagai laporan mingguan KLB (lampiran 4)
4) Pelaporan dari dinas kesehatan provinsi ke Ditjen PP & PL
a. Menggunakan formulir W1 (lampiran 5)
b. Menggunakan formulir W2-DBD sebagai laporan mingguan KLB (lampiran 4)
Umpan balik pelaporan
Umpan balik pelaporan perlu dilaksanakan guna meningkatkan kualitas dan memelihara
kesinambungan pelaporan, kelengkapan dan ketepatan waktu pelaporan serta analisis terhadap
laporan. Frekuensi umpan balik oleh masing – masing tingkat administrasi dilaksanakan setiap
tiga bulan, minimal dua kali dalam setahun.
C. Surveilans Epidemiologis Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Puskesmas
Surveilans Epidemiologis Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Puskesmas
meliputi kegiatan pengumpulan dan pencatatan data tersangka DBD dan penderita DD,DBD,SSD;
pengolahan dan penyajian data penderita DBD untuk pemantauan KLB; KD/RS-DBD untuk
pelaporan tersangka DBD, penderita DD, DBD, SSD dalam 24 jam setelah diagnosis ditegakkan;
laporan KLB (W1); laporan mingguan KLB (W2-DBD); laporan bulanan kasus/kematian DBD
dan program pemberantasan (K-DBD); data dasar perorangan penderita DD, DBD, SSD (DP-
DBD), penentuan stratifikasi (endemisitas) desa/kelurahan, distribusi kasus DBD per RW/dusun,
penentuan musim penularan dan kecenderungan DBD.
1) Pengumpulan dan pencatatan data.
a. Pengumpulan dan pencatatan dilakukan setiap hari, bila ada laporan tersangka DBD dan
penderita DD, DBD, SSD. Data tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD yang diterima
puskesmas dapat berasal dari rumah sakit atau dinas kesehatan kabupaten/kota, puskesmas sendiri
atau puskesmas lain (cross notification) dan puskesmas pembantu, unit pelayanan kesehatan lain
(balai pengobatan, poliklinik, dokter praktek swasta, dan lain – lain), dan hasil penyelidikan
epidemiologi (kasus tambahan jika sudah ada konfirmasi dari rumah sakit / unit pelayanan
kesehatan lainnya).
b.Untuk pencatatan tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD menggunakan ‘Buku catatan
harian penderita DBD’ yang memuat catatan (kolom) sekurang – kurangnya seperti pada form DP-
DBD ditambah catatan (kolom) tersangka DBD.
2) Pengolahan dan Penyajian data.
Data dalam ‘Buku catatan harian penderita DBD’ diolah dan disajikan dalam bentuk :
a. Pemantauan situasi DD, DBD, SSD mingguan menurut desa/kelurahan
b. Penyampaian laporan tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD selambat – lambatnya
dalam 24 jam setelah diagnosis ditegakkan menggunakan formulir KD/RS-DBD.
c. Laporan data dasar perorangan penderita DD, DBD, SSD menggunakan formulir DP-DBD
yang disampaikan perbulan.
d. Laporan mingguan (W2-DBD)
a. Jumlahkan penderita DBD dan SSD setiap minggu menurut desa / kelurahan
b. Laporkan ke dinas kesehatan kabupaten / kota dengan formulir W2-DBD
e. Laporan bulanan
a. Jumlahkan penderita / kematian DB, DBD, SSD termasuk data beberapa kegiatan pokok
pemberantasan / penanggulangannya setiap bulan.
b. Laporkan ke dinas kesehatan kabupaten / kota dengan formulir K-DBD.

D. Surveilans Epidemiologis Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Dinas Kesehatan


Kabupaten
1) Sumber data
a. Laporan KD/RS-DBD dari RS (pemerintah atau swasta)
b.Laporan data dasar personal DBD dari puskesmas (DP-DBD)
c. Laporan rutin bulanan (K-DBD) dari puskesmas
d. Laporan W1 dan W2-DBD
e. Laporan hasil surveilans aktif oleh dinas kesehatan kabupaten / kota ke unit pelayanan kesehatan
f. Cross Notification dari kabupaten / kota lain.
2) Pencatatan data
a. Untuk pencatatan tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD, misalnya menggunakan ‘Buku
catatan penderita DBD’ yang memuat catatan (kolom) sekurang – kurangnya seperti pada form
DP-DBD ditambah catatan (kolom) tersangka DBD.
b.Perlu kecermatan terhadap kemungkinan pencatatan yang berulang untuk pasien yang sama,
misalnya antara tersangka DBD dan penderita DBD selama proses perawatan dan antara penderita
DBD yang dilaporkan RS dengan yang dilaporkan oleh puskesmas, sehingga perlu penyesuaian
data.

3) Pengolahan dan Penyajian Data


Dari data yang ada pada buku catatan penderita DD, DBD dan SSD dapat dilakukan
penyajian data sebagai berikut :
a. Pemantauan situasi DD, DBD, SSD mingguan menurut kecamatan
b. Laporan data dasar perorangan penderita DD, DBD, SSD menggunakan formulir DP-DBD
yang disampaikan per bulan.
c. Laporan mingguan (W2-DBD)
d. Laporan bulanan, jumlahkan dan laporkan penderita / kematian DD, DBD, SSD termasuk
beberapa kegiatan pokok pemberantasan / penanggulangannya setiap bulan.
e. Penentuan stratifikasi kecamatan DBD
f. Mengetahui distribusi penderita DBD per desa / kelurahan
g. Penentuan musim penularan
h. Mengetahui kecenderungan situasi DBD, untuk mengetahui apakah situasi penyakit DBD di
wilayah kabupaten / kota tetap, naik atau turun.
i. Mengetahui jumlah penderita DD, DBD dan SSD per tahun
10) Mengetahui distribusi penderita dan kematian DBD menurut tahun, kelompok umur dan jenis
kelamin.
Jadi, Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Hemrrhagic Fever (DHF) ialah penyakit
yang disebabkan virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegyti dan Aedes
albbopictus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia kecuali
ditempat ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut (Ginanjar, 2008).
Penyakit ini ditujukan melalui munculnya demam secara tiba-tiba, disertai sakit kepala berat, sakit
pada sendi otot (myalgias dan arthralgias) dan ruam. Ruam Demam Berdarah mempunyai ciri-ciri
merah terang, petekial dan biasanya muncul dulu pada bagian bawah, badan pada beberapa pasien,
ia menyebar hingga menyelimuti hampir seluruh tubuh. Selain itu, radang perut juga bisa muncul
dengan kombinasi sakit perut, rasa mual, muntah-muntah/ diare.
Pencegahan penyakit DBD dapat dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu pencegahan primer, pencegahan
sekunder, dan pencegahan tersier. Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk
mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit.
Daftar Pustaka

CDC. 2003. Dengue Fever. Division of Vector-Borne Infectious Diseases

Dahlan, M.S.,2009, Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran
dan kesehatan, Edisi 2, Jakarta, Salemba Medika

Depkes RI 1992. Petunjuk Teknis Pengamatan Penyakit Demam Berdarah Dengue.

Ginanjar, S.2008, Stop Demam Berdarah Dengue, Bogor, Cita Insan Madani

Suroso T, dkk,. 2003. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Dengue dan Demam
Berdarah Dengue. Depkes RI

Suroso T., Umar, A.I. 2000. Epidemiologi dan Penanggulangan Penyakit DBD, FK UI. Jakarta

WHO. 2000. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Dengua dan Demam Berdarah
Dengue,

Anda mungkin juga menyukai