yang disebabkan virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegyti dan Aedes
albbopictus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia kecuali
ditempat ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut (Ginanjar, 2008).
Musim hujan tiba maka perlu diwaspadai adanya genangan – genangan air yang terjadi pada
selokan yang buntu, gorong – gorong yang tidak lancar serta adanya banjir yang berkepanjangan,
perlu diwaspadai adanya tempat reproduksi atau berkembangbiaknya nyamuk pada genangan –
genangan tersebut sehingga dapat mengakibatkan musim nyamuk telah tiba pula, itulah kata-kata
yang melakat pada saat ini. saatnya kita melakukan antisipasi adanya musim nyamuk dengan cara
pengendalian nyamuk dengan pendekatan perlakukan sanitasi lingkungan atau non kimiawi yang
tepat sangat diutamakan sebelum dilakukannya pengendalian secara kimiawi.
Selama ini semua manusia pasti mengatahui dan mengenal serangga yang disebut nyamuk.
Antara nyamuk dan manusia bisa dikatakan hidup berdampingan bahkan nyaris tanpa batas.
Namun, berdampingannya manusia dengan nyamuk bukan dalam makna positif. Tetapi nyamuk
dianggap mengganggu kehidupan umat manusia. Meski jumlah nyamuk yang dibunuh manusia
jauh lebih banyak daripada jumlah manusia yang meninggal karena nyamuk, perang terhadap
nyamuk seolah menjadi kegiatan tak pernah henti yang dilakukan oleh manusia.
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) {bahasa medisnya disebut Dengue
Hemorrhagic Fever (DHF)} adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan
melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus, yang mana menyebabkan gangguan
pada pembuluh darah kapiler dan pada sistem pembekuan darah, sehingga mengakibatkan
perdarahan-perdarahan.Penyakit ini banyak ditemukan didaerah tropis seperti Asia Tenggara,
India, Brazil, Amerika termasuk di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat ketinggian
lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut. Hal ini disebabkan karena penyakit ini telah
merenggut banyak nyawa. Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan RI terdapat 14 propinsi
dalam kurun waktu bulan Juli sampai dengan Agustus 2005 tercatat jumlah penderita sebanyak
1781 orang dengan kejadian meninggal sebanyak 54 orang.
DBD bukanlah merupakan penyakit baru, namun tujuh tahun silam penyakit inipun telah
menjangkiti 27 provinsi di Indonesia dan menyebabkan 16.000 orang menderita, serta 429 jiwa
meninggal dunia, hal ini terjadi sepanjang bulan Januari sampai April 1998 (Tempo, 2004). WHO
bahkan memperkirakan 50 juta warga dunia, terutama bocah-bocah kecil dengan daya tahan tubuh
ringkih, terinfeksi demam berdarah setiap tahun.
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah demam dengue yang disertai pembesaran hati dan
manifestasi perdarahan. Pada keadaan yang parah bisa terjadi kegagalan sirkulasi darah dan pasien
jatuh syok hipovolemik akibat kebocoran plasma. DBD merupakan suatu penyakit yang
disebabkan oleh virus dengue yang penularannya dari satu penderita ke penderita lain disebarkan
oleh nyamuk Aedes aegypti. Oleh karena itu langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah
penyebaran DBD adalah dengan memotong siklus penyebarannya dengan memberantas nyamuk
tersebut. Salah satu cara untuk memberantas nyamuk Aedes aegypti adalah dengan melakukan
Fogging. Selain itu juga dapat dilakukan pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan abatisasi
untuk memberantas jentik nyamuk.
Berbagai upaya pengendalian penyakit demam berdarah dengue (DBD) telah dilaksanakan
meliputi : promosi kesehatan tentang pemberantasan sarang nyamuk, pencegahan dan
penanggulangan faktor resiko serta kerja sama lintas program dan lintas sector terkait sampai
dengan tingkat desa /kelurahan untuk pemberantasan sarang nyamuk. Masalah utama dalam upaya
menekan angka kesakitan DBD adalah belum optimalnya upaya pergerakan peran serta
masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk Demam Berdarah Dengue.
Oleh karena itu partisipasi masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk DBD tersebut perlu
di tingkatkan antara lain pemeriksaan jentik secara berkala dan berkesinambungan serta
menggerakan masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk DBD.
Agent Infeksius
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue. Virus ini termasuk dalam grup B Antropod Borne
Virus (Arboviroses) kelompok flavivirus dari family flaviviridae, yang terdiri dari empat serotipe,
yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3, DEN 4. Masing-masing saling berkaitan sifat antigennya dan dapat
menyebabkan sakit pada manusia. Keempat tipe virus ini telah ditemukan di berbagai daerah di
Indonesia. DEN 3 merupakan serotipe yang paling sering ditemui selama terjadinya KLB di
Indonesia diikuti DEN 2, DEN 1, dan DEN 4. DEN 3 juga merupakan serotipe yang paling
dominan yang berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit yang menyebabkan gejala klinis
yang berat dan penderita banyak yang meninggal.
Vektor Penular
Nyamuk Aedes aegypti maupun Aedes albopictus merupakan vector penularan virusdengue dari
penderita kepada orang lain melalui gigitannya. Nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor penting
di daerah perkotaan (daerah urban) sedangkan daerah pedesaan (daerah rural) kedua spesies
nyamuk tersebut berperan dalam penularan.
Penularan Virus Dengue
A. Mekanisme Penularan
Demam berdarah dengue tidak menular melalui kontak manusia dengan manusia.
Virusdengue sebagai penyebab demam berdarah hanya dapat ditularkan melalui nyamuk. Oleh
karena itu, penyakit ini termasuk kedalam kelompok arthropod borne diseases.
Virus dengueberukuran 35-45 nm. Virus ini dapat terus tumbuh dan berkembang dalam tubuh
manusia dan nyamuk. Terdapat tiga faktor yang memegang peran pada penularan infeksi dengue,
yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue masuk ke dalam tubuh nyamuk pada saat
menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, kemudian virus dengue ditularkan kepada
manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang infeksius.
Seseorang yang di dalam darahnya memiliki virus dengue (infektif) merupakan sumber penular
DBD. Virus dengue berada dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari sebelum demam (masa
inkubasi instrinsik). Bila penderita DBD digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan
ikut terhisap masuk ke dalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan berkembangbiak dan
menyebar ke seluruh bagian tubuh nyamuk, dan juga dalam kelenjar saliva. Kira-kira satu minggu
setelah menghisap darah penderita (masa inkubasi ekstrinsik), nyamuk tersebut siap untuk
menularkan kepada orang lain. Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuk sepanjang
hidupnya. Oleh karena itu nyamuk Aedes aegypti yang telah menghisap virus dengue menjadi
penular (infektif) sepanjang hidupnya.
Penularan ini terjadi karena setiap kali nyamuk menggigit (menusuk), sebelum menghisap darah
akan mengeluarkan air liur melalui saluran alat tusuknya (probosis), agar darah yang dihisap tidak
membeku. Bersama air liur inilah virus dengue dipindahkan dari nyamuk ke orang lain.13 Hanya
nyamuk Aedes aegypti betina yang dapat menularkan virus dengue. Nyamuk betina sangat
menyukai darah manusia (anthropophilic) dari pada darah binatang. Kebiasaan menghisap darah
terutama pada pagi hari jam 08.00-10.00 dan sore hari jam 16.00-18.00. Nyamuk betina
mempunyai kebiasaan menghisap darah berpindah-pindah berkali-kali dari satu individu ke
individu lain (multiple biter). Hal ini disebabkan karena pada siang hari manusia yang menjadi
sumber makanan darah utamanya dalam keadaan aktif bekerja/bergerak sehingga nyamuk tidak
bisa menghisap darah dengan tenang sampai kenyang pada satu individu. Keadaan inilah yang
menyebabkan penularan penyakit DBD menjadi lebih mudah terjadi.
B. Tempat Potensial Bagi Penularan Penyakit DBD
Penularan penyakit DBD dapat terjadi di semua tempat yang terdapat nyamuk penularnya.
Tempat-tempat potensial untuk terjadinya penularan DBD adalah :
1) Wilayah yang banyak kasus DBD (rawan/endemis)
2) Tempat-tempat umum merupakan tempat berkumpulnya orang-orang yang datang dari
berbagai wilayah sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran beberapa tipe virus dengue cukup
besar.
Tempat-tempat umum itu antara lain :
a. Sekolah
Anak murid sekolah berasal dari berbagai wilayah, merupakan kelompok umur yang paling rentan
untuk terserang penyakit DBD.
b. Rumah Sakit/Puskesmas dan sarana pelayanan kesehatan lainnya : Orang datang dari
berbagai wilayah dan kemungkinan diantaranya adalah penderita DBD, demam dengue atau carier
virus dengue.
c. Tempat umum lainnya seperti :
Hotel, pertokoan, pasar, restoran, tempat-tempat ibadah dan lain-lain.
3) Pemukiman baru di pinggiran kota
Karena di lokasi ini, penduduk umumnya berasal dari berbagai wilayah, maka kemungkinan
diantaranya terdapat penderita atau carier yang membawa tipe virus dengue yang berlainan dari
masing-masing lokasi awal.
3) Larva (jentik)
Ada 4 tingkat (instar) larva sesuai dengan pertumbuhan larva
a. Larva instar I berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm.
b. Larva instar II berukuran 2,5-3,8 mm.
c. Larva instar III berukuran lebih besar sedikit dari larva instar II.
d. Larva instar IV berukuran paling besar 5mm.
Larva dan pupa hidup pada air yang jernih pada wadah atau tempat air buatan seperti pada
potongan bambu, dilubang-lubang pohon, pelepah daun, kaleng kosong, pot bunga, botol pecah,
tangki air, talang atap, tempolong atau bokor, kolam air mancur, tempat minum kuda, ban bekas,
serta barang-barang lainnya yang berisi air yang tidak berhubungan langsung dengan tanah. Larva
sering berada di dasar container, posisi istirahat pada permukaan air membentuk sudut 45 derajat,
sedangkan posisi kepala berada di bawah.
4) Telur
Telur berwarna hitam dengan ukuran lebih 0,80 mm. Telur berbentuk oval yang mengapung satu
persatu pda permukaan air yang jernih, atau menempel pada dinding penampungan air,Aedes
aegypti betina bertelur diatas permukaan air pada dinding vertikal bagian dalam pada tempat-
tempat yang berair sedikit, jernih, terlindung dari sinar matahari langsung, dan biasanya berada di
dalam dan dekat rumah. Telur tersebut diletakkan satu persatu atau berderet pada dinding tempat
air, di atas permukaan air, pada waktu istirahat membentuk sudut dengan permukaan air.
B. Lingkungan Hidup
Nyamuk Aedes aegypti seperti nyamuk lainnya mengalami metamorfosis sempurna yaitu
telur – jentik – kepompong – nyamuk. Stadium telur, jentik dan kepompong hidup di dalam air.
Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu kurang lebih 2 hari setelah telur
terendam air. Telur dapat bertahan hingga kurang lebih selama 2-3 bulan apabila tidak terendam
air, dan apabila musim penghujan tiba dan kontainer menampung air, maka telur akan terendam
kembali dan akan menetas menjadi jentik. Stadium jentik biasanya berlangsung 6-8 hari, dan
stadium pupa (kepompong) berlangsung antara 2-4 hari. Pertumbuhan dari telur menjadi dewasa
9-10 hari. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan.
Pergerakan nyamuk dari tempat perindukan ke tempat mencari mangsa dan ke tempat
istirahat ditentukan oleh kemampuan terbang. Jarak terbang nyamuk betina biasanya 40-100 meter.
Namun secara pasif misalnya angin atau terbawa kendaraan maka nyamuk ini dapat berpindah
lebih jauh.
C. Variasi Musiman
Pada musim hujan tempat perkembang biakan Aedes aegypti yang pada musim kemarau
tidak terisi air, mulai terisi air. Telur-telur yang tadinya belum sempat menetas akan menetas.
Selain itu pada musim hujan semakin banyak tempat penampungan air alamiah yang terisi air
hujan dan dapat digunakan sebagai tempat berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti.Oleh
karena itu pada musim hujan populasi nyamuk Aedes aegypti terus meningkat. Bertambahnya
populasi nyamuk ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan penularan
penyakit dengue.
Surveilans Vektor
Surveilans untuk nyamuk Aedes aegypti sangat penting untuk menentukan distribusi,
kepadatan populasi, habitat utama larva, faktor resiko berdasarkan waktu dan tempat yang
berkaitan dengan penyebaran dengue, dan tingkat kerentanan atau kekebalan insektisida yang
dipakai, untuk memprioritaskan wilayah dan musim untuk pelaksanaan pengendalian vektor. Data
tersebut akan memudahkan pemilihan dan penggunaan sebagian besar peralatan pengendalian
vektor, dan dapat dipakai untuk memantau keefektifannya. Salah satu kegiatan yang dilakukan
adalah survei jentik. Survei jentik dilakukan dengan cara melihat atau memeriksa semua tempat
atau bejana yang dapat menjadi tempat berkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dengan mata
telanjang untuk mengetahui ada tidaknya jentik,yaitu dengan cara visual. Cara ini cukup dilakukan
dengan melihat ada tidaknya jentik disetiap tempat genangan air tanpa mengambil jentiknya.
Ukuran-ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepadatan jentik Aedes aegypti adalah :
a. House Indeks (HI), yaitu persentase rumah yang terjangkit larva dan atau pupa.
HI = Jumlah Rumah Yang Terdapat Jentik x 100%
Jumlah Rumah yang Diperiksa
b. Container Indeks (CI), yaitu persentase container yang terjangkit larva atau pupa. CI =
Jumlah Container Yang Terdapat Jentik x 100%
Jumlah Container Yang Diperiksa
c. Breteau Indeks (BI), yaitu jumlah container yang positif per-100 rumah yang diperiksa.
BI = Jumlah Container Yang Terdapat Jentik x 100 rumah
Jumlah Rumah Yang Diperiksa
Dari ukuran di atas dapat diketahui persentase Angka Bebas Jentik (ABJ), yaitu jumlah rumah
yang tidak ditemukan jentik per jumlah rumah yang diperiksa.
ABJ = Jumlah Rumah Yang Tidak Ditemukan Jentik x 100%
Jumlah Rumah Yang Diperiksa
Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) merupakan bentuk evaluasi hasil kegiatan yang dilakukan tiap
3 bulan sekali disetiap desa/kelurahan endemis pada 100 rumah/bangunan yang dipilih secara
acak (random sampling). Angka Bebas Jentik dan House Indeks lebih menggambarkan luasnya
penyebaran nyamuk disuatu wilayah.
Pengendalian Vektor
Pengendalian vektor adalah upaya untuk menurunkan kepadatan populasi nyamuk Aedes
aegypti. Secara garis besar ada 3 cara pengendalian vektor yaitu :
1) Pengendalian Cara Kimiawi
Pada pengendalian kimiawi digunakan insektisida yang ditujukan pada nyamuk dewasa atau larva.
Insektisida yang dapat digunakan adalah dari golongan organoklorin, organofosfor, karbamat, dan
pyrethoid. Bahan-bahan insektisida dapat diaplikasikan dalam bentuk penyemprotan (spray)
terhadap rumah-rumah penduduk. Insektisida yang dapat digunakan terhadap larva Aedes
aegypti yaitu dari golongan organofosfor (Temephos) dalam bentuk sand granules yang larut
dalam air di tempat perindukan nyamuk atau sering disebut dengan abatisasi.
2) Pengendalian Hayati / Biologik
Pengendalian hayati atau sering disebut dengan pengendalian biologis dilakukan dengan
menggunakan kelompok hidup, baik dari golongan mikroorganisme hewan invertebrate atau
vertebrata. Sebagai pengendalian hayati dapat berperan sebagai patogen, parasit dan pemangsa.
Beberapa jenis ikan kepala timah (Panchaxpanchax), ikan gabus (Gambusiaaffinis) adalah
pemangsa yang cocok untuk larva nyamuk. Beberapa jenis golongan cacing nematoda
seperti Romanomarmis iyengari dan Romanomarmis culiforax merupakan parasit yang cocok
untuk larva nyamuk.
3) Pengendalian Lingkungan
Pengendalian lingkungan dapat digunakan beberapa cara antara lain dengan mencegah nyamuk
kontak dengan manusia yaitu memasang kawat kasa pada pintu, lubang jendela, dan ventilasi di
seluruh bagian rumah. Hindari menggantung pakaian di kamar mandi, di kamar tidur, atau di
tempat yang tidak terjangkau sinar matahari.
Surveilans Kasus
Surveilans kasus DBD dapat dilakukan dengan surveilans aktif maupun pasif. Di beberapa
negara pada umumnya dilakukan surveilans pasif. Meskipun sistem surveilans pasif tidak sensitif
dan memiliki spesifisitas yang rendah, namun sistem inin berguna untuk memantau kecenderungan
penyabaran dengue jangka panjang. Pada surveilans pasif setiap unit pelayanan kesehatan ( rumah
sakit, Puskesmas, poliklinik, balai pengobatan, dokter praktek swasta, dll) diwajibkan melaporkan
setiap penderita termasuk tersangka DBD ke dinas kesehatan selambat-lambatnya dalam waktu 24
jam. Surveilans aktif adalah yang bertujuan memantau penyebaran dengue di dalam masyarakat
sehingga mampu mengatakan kejadian, dimana berlangsung penyebaran kelompok serotipe virus
yang bersirkulasi, untuk mencapai tujuan tersebut sistem ini harus mendapat dukungan
laboratorium diagnostik yang baik. Surveilans seperti ini pasti dapat memberikan peringatan dini
atau memiliki kemampuan prediktif terhadap penyebaran epidemi penyakit DBD.
Pencegahan Sekunder
Pada pencegahan sekunder dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut :
Penemuan, Pertolongan dan Pelaporan Penderita
Penemuan, pertolongan, dan pelaporan penderita DBD dilaksanakan oleh petugas
kesehatan dan masyarakat dengan cara :
1) Bila dalam keluarga ada yang menunjukkan gejala penyakit DBD, berikan pertolongan
pertama dengan banyak minum, kompres dingin dan berikan obat penurun panas yang tidak
mengandung asam salisilat serta segera bawa ke dokter atau unit pelayanan kesehatan.
2) Dokter atau unit kesehatan setelah melakukan pemeriksaan/diagnosa dan pengobatan
segaera melaporkan penemuan penderita atau tersangka DBD tersebut kepada Puskesmas,
kemudian pihak Puskesmas yang menerima laporan segera melakukan penyelidikan epidemiologi
dan pengamatan penyakit dilokasi
penderita dan rumah disekitarnya untuk mencegah kemungkinan adanya penularan lebih lanjut.
3) Kepala Puskesmas melaporkan hasil penyelidikan epidemiologi dan kejadian luar biasa
(KLB) kepada Camat, dan Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten, disertai dengan cara
penanggulangan seperlunya.
Diagnosis
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun 1997
terdiri dari kriteria klinis dan laboratorium.
1) Kriteria Klinis
a. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari.
b. Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan : uji tourniquet positif, petechie, echymosis,
purpura, perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan malena. Uji tourniquet
dilakukan dengan terlebih dahulu menetapkan tekanan darah. Selanjutnya diberikan tekanan di
antara sistolik dan diastolik pada alat pengukur yang dipasang pada lengan di atas siku; tekanan
ini diusahakan menetap selama percobaan. Setelah dilakukan tekanan selama 5 menit, diperhatikan
timbulnya petekia pada kulit di lengan bawah bagian medial pada sepertiga bagian proksimal. Uji
dinyatakan positif apabila pada 1 inchi persegi (2,8 x 2,8 cm) didapat lebih dari 20 petekia.13
c. Pembesaran hati (hepatomegali).
d. Syok (renjatan), ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi, kaki
dan tangan dingin, kulit lembab, dan gelisah.
2. Kriteria Laboratorium
a. Trombositopeni ( < 100.000 sel/ml)
b. Hemokonsentrasi, dapat dilihat dari peningkatan hematokrit 20% atau lebih.
3. Derajat Penyakit DBD, menurut WHO tahun 1997 4,5
Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat, yaitu :
a. Derajat I Demam disertai dengan gejala umum nonspesifik, satu-satunya manifestasi perdarahan
ditunjukkan melalui uji tourniquet yang positif.
b. Derajat II Selain manifestasi yang dialami pasien derajat I, perdarahan spontan juga terjadi,
biasanya dalam bentuk perdarahan kulit dan atau perdarahan lainnya.
c. Derajat III Demam, perdarahan spontan, disertai atau tidak disertai hepatomegali dan ditemukan
gejala-gejala kegagalan sirkulasi meliputi nadi yang cepat dan lemah, tekanan nadi menurun ( <
20 mmHg) atau hipotensi disertai kulit lembab dan dingin serta gelisah.
d. Derajat IV Demam, perdarahan spontan, disertai atau tidak disertai hepatomegali dan ditemukan
gejala syok (renjatan) yang sangat berat dengan tekanan darah dan denyut nadi yang tidak
terdeteksi.
Diagnosis Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang sangat penting untuk memastikan diagnosis infeksi
dengue, meliputi :
1) Pengumpulan Spesimen
Salah satu aspek yang esensial untuk diagnosis laboratorium adalah pengumpulan, pegolahan,
penyimpanan, dan pengantaran spesimen. Spesimen S1 adalah sampel darah yang diambil pada
stadium akut atau secepatnya setelah onset penyakit atau segera setelah masuk rumah
sakit. Spesimen S2 adalah sampel darah yang diambil pada waktu penderita akan meninggalkan
rumah sakit atau secepatnya sebelum meninggal. Spesimen S3 adalah sampel darah yang diambil
2-3 minggu setelah spesimen akut. Waktu antara yang paling baik untuk pengambilan spesimen
akut dan kovalesen adalah 10 hari. Untuk pemeriksaan serologi pengumpulan spesimen darah
dapat dilakukan dengan 2 cara :
a. Dengan menggunakan kertas saring (filter paper khusus).
Darah diteteskan pada kertas saring sampai jenuh, bolak-balik sehingga seluruh permukaan filter
paper terisi darah rata. Darah dapat dari pembuluh vena dapat pula darah dari ujung jari (ujung jari
ditusuk). Kertas saring yang berisi darah dibiarkan kering pada temperatur kamar. Jangan
dikeringkan dengan panas sinar matahari atau yang lainnya. Kertas saring yang berisi darah yang
telah kering disimpan dalam tempat yang kering pada suhu kamar tidak lebih dari 3 bulan.
Kirimkan dalam amplop atau kantong plastik ke laboratorium secepatnya sebelum waktu 3 bulan
tersebut.
b. Dengan serum
darah diambil secara asepsis dengan menggunakan semprit. Serum dipisahkan dengan diputar
1500-2000 putaran sekitar 10-15 menit. Serum yang terpisah dipindahkan dalam botol kecil
dengan menggunakan pipet Pasteur. Serum tersebut disimpan pada suhu -200C sebelum dikirim
ke laboratorium.
2) Isolasi Virus
Isolasi sebagian besar strain virus dengue dari spesimen klinis dapat dilakukan pada sebagian besar
kasus asalkan sampel diambil dalam beberapa hari pertama sakit dan langsung diproses tanpa
penundaan. Spesimen yang mungkin sesuai untuk isolasi virus diantaranya serum fase akut dari
pasien, autopsi jaringan dari kasus fatal, terutama dari hati, limpa, nodus limfe.
3) Uji Serologis
Uji hemaglutinasi inhibisi (uji HI) merupakan salah satu pemeriksaaan serologi untuk penderita
DBD dan telah ditetapkan oleh WHO sebagai standar pada pemeriksaan serologi penderita DBD
dibandingkan pemeriksaan serologi lainnya seperti ELISA, uji komplemen fikasi, uji netralisasi,
dan sebagainya. Apapun jenis uji yang dilakukan, konfirmasi serologis sudah pasti bergantung
pada kenaikan yang signifikan (4 kali lipat atau lebih) pada antibodi spesifik dalam sampel serum
diantara fase akut dan fase pemulihan. Kumpulan antigen untuk sebagian besar uji serologis ini
harus mencakup keempat serotipe dengue.
Dahlan, M.S.,2009, Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran
dan kesehatan, Edisi 2, Jakarta, Salemba Medika
Ginanjar, S.2008, Stop Demam Berdarah Dengue, Bogor, Cita Insan Madani
Suroso T, dkk,. 2003. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Dengue dan Demam
Berdarah Dengue. Depkes RI
Suroso T., Umar, A.I. 2000. Epidemiologi dan Penanggulangan Penyakit DBD, FK UI. Jakarta
WHO. 2000. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Dengua dan Demam Berdarah
Dengue,