1 Definisi
Trombosis vena adalah terbentuknya bekuan darah di dalam vena, yang
sebagian besar tersusun atas fibrin dan sel darah merah dengan sebagian kecil
komponen leukosit dan trombosit.1,6,7,8 Trombosis vena paling banyak terjadi pada
vena dalam dari tungkai (deep vein thrombosis/DVT ), dan dapat menjadi emboli
paru.
1.2 Epidemiologi
Insidens DVT di Eropa dan Amerika Serikat kurang lebih 50 per 100.000
populasi/tahun. Angka kejadian DVT meningkat sesuai umur, sekitar 1 per 10.000 –
20.000 populasi pada umur di bawah 15 tahun hingga 1 per 1000 populasi pada usia
di atas 70 tahun.2 Insidens DVT pada ras Asia dan Hispanik dilaporkan lebih rendah
dibandingkan pada ras Kaukasia, Afrika-Amerika Latin, dan Asia Pasifik. Tidak ada
perbedaan insidens yang signifikan antara pria dan wanita.
1.3 Etiologi
1. Tindakan operatif
Faktor resiko yang potensial terhadap timbulnya trombosis vena adalah
operasi dalam bidang ortopedi dan trauma pada bagian panggul dan tungkai
bawah.7,9 Pada operasi di daerah panggul, 54% penderita mengalami
trombosis vena, sedangkan pada operasi di daerah abdomen terjadinya
trombosis vena sekitar 10%-14%.
Beberapa faktor yang mempermudah timbulnya trombosis vena pada
tindakan operatif, adalah sebagai berikut :
a. Terlepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah karena
trauma pada waktu di operasi.
b. Statis aliran darah karena immobilisasi selama periode preoperatif,
operatif dan post operatif.
c. Menurunnya aktifitas fibrinolitik, terutama 24 jam pertama sesudah
operasi.
d. Operasi di daerah tungkai menimbulkan kerusakan vena secara
langsung di daerah tersebut.
2. Kehamilan dan persalinan
Selama trimester ketiga kehamilan terjadi penurunan aktifitas
fibrinolitik, statis vena karena bendungan dan peningkatan faktor
pembekuan VII, VIII dan IX.
Pada permulaan proses persalinan terjadi pelepasan plasenta yang
menimbulkan lepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah,
sehingga terjadi peningkatkan koagulasi darah.
3. Infark miokard
Pada infark miokard penyebabnya adalah dua komponen yaitu
kerusakan jaringan yang melepaskan plasminogen yang mengaktifkan
proses pembekuan darah dan adanya statis aliran darah karena istirahat
total.
4. Immobilisasi yang lama dan paralisis ekstremitas.
Immobilisasi yang lama akan menimbulkan statis aliran darah yang
mempermudah timbulnya trombosis vena.
5. Obat-obatan konstrasepsi oral
Hormon estrogen yang ada dalam pil kontrasepsi menimbulkan dilatasi
vena, menurunnya aktifitas antitrombin III dan proses fibrinolitik dan
meningkatnya faktor pembekuan darah. Keadaan ini akan mempermudah
terjadinya trombosis vena.
6. Obesitas dan varises
Obesitas dan varises dapat menimbulkan statis aliran darah dan
penurunan aktifitas fibrinolitik yang mempermudah terjadinya trombosis
vena.
7. Proses keganasan
Sel tumor dapat menyebabkan upregulasi banyak faktor koagulasi, down
regulasi sistem protein fibrinolitik dan mengekspresikan beberapa sitokin
atau protein regulator yang berkaitan dengan pembentukan trombus,
sehingga rentan terhadap keadaan protrombotik (gambar 1).
1.6 Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksan fisik merupakan hal yang sangat penting dalam
pendekatan pasien dengan kecurigan mengalami DVT. Keluhan utama DVT biasanya
adalah kaki bengkak dan nyeri. Pada pemeriksan fisik tanda-tanda klasik seperti
edema kaki unilateral, eritema, hangat, nyeri, pembuluh darah superfisial teraba, dan
Homans sign positf tidak selalu ditemukan.
Pemeriksan laboratorium didapatkan peningkatan kadar D-dimer dan
penurunan Antihrombin (AT). D-dimer adalah produk degradasi fibrin. Konsentrasi
D-dimer dibawah level tertentu atau bahkan negatif mengindikasikan tidak adanya
trombosis. Pemeriksaan D-dimer dapat dilakukan dengan ELISA ataupun dengan
latex agglutination assay. Hasil negatif dari pemeriksaan ini sangat berguna untuk
eksklusi DVT, sedangkan nilai positif, walaupun dapat menandakan adanya
trombosis, namun tidak spesifik untuk DVT.
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan yang penting untuk
mendiagnosis DVT. Ada 3 jenis pemeriksaan yang akurat, yang dapat menegakkan
diagnosis trombosis vena dalam, yaitu:
1. Venografi
Sampai saat ini venografi masih merupakan pemeriksaan standar untuk
trombosis vena. Akan tetapi teknik pemeriksaanya relatif sulit, mahal dan
bisa menimbulkan nyeri dan terbentuk trombosis baru sehingga tidak
menyenangkan penderitanya.
Prinsip pemeriksaan ini adalah menyuntikkan zat kontras ke dalam di
daerah dorsum pedis dan akan terlihat gambaran sistem vena di betis,
paha, inguinal sampai ke proksimal ke v. iliaca.
2. Flestimografi impendans
Prinsip pemeriksaan ini adalah mengobservasi perubahan volume
darah pada tungkai. Pemeriksaan ini lebih sensitif pada tombosis vena
femrlis dan iliaca dibandingkan vena di betis.
3. Ultra sonografi (USG) Doppler
Pada akhir abad ini, penggunaan USG berkembang dengan pesat,
sehingga adanya trombosis vena dapat di deteksi dengan USG, terutama
USG Doppler. Pemeriksaan ini memberikan hasil sensivity 60,6% dan
spesifity 93,9%. Metode ini dilakukan terutama pada kasus-kasus
trombosis vena yang berulang, yang sukar di deteksi dengan cara objektif
lain.
1.8 Patofisiologi
Trombosis vena biasanya terdiri dari fibrin, sel darah merah, dan
beberapa komponen trombosit dan leukosit. Terdapat tiga hal yang berperan
dalam proses terjadinya trombosis (Virchow’s Triad):
1. Stasis vena
1.9 Tatalaksana
4.2 Farmakologis
Meluasnya proses trombosis dan timbulnya emboli paru dapat di cegah
dengan pemberian anti koagulan dan obat-obatan fibrinolitik. Pada pemberian obat-
obatan ini di usahakan biaya serendah mungkin dan efek samping seminimal
mungkin. Pemberian anti koagulan sangat efektif untuk mencegah terjadinya emboli
paru, obat yang biasa di pakai adalah heparin.
Prinsip pemberian anti koagulan adalah save dan efektif. Save artinya anti
koagulan tidak menyebabkan perdarahan. Efektif artinya dapat menghancurkan
trombus dan mencegah timbulnya trombus baru dan emboli. Pada pemberian heparin
perlu di pantau waktu tromboplastin parsial atau di daerah yang fasilitasnya terbatas,
sekurang-kurangnya waktu pembekuan.
Pemberian Heparin
Heparin 5000iu bolus (80 iu/KgBB), bolus dilanjutkan dengan drips konsitnus
1000 – 1400 iu/jam (18 iu/KgBB), drip selanjutnya tergantung hasil APTT. 6
jam kemudian di periksa APTT untuk menentukan dosis dengan target 1,5 –
2,5 kontrol.
1. Bila APTT 1,5 – 2,5 x kontrol dosis tetap.
2. Bila APTT < 1,5 x kontrol dosis dinaikkan 100 – 150 iu/jam.
3. Bila APTT > 2,5 x kontrol dosis diturunkan 100 iu/jam.
Penyesuaian dosis untuk mencapai target dilakukan pada hari ke 1 tiap 6 jam,
hari ke 2 tiap 2 - 4 jam. Hal ini di lakukan karena biasanya pada 6 jam pertama
hanya 38% yang mencapai nilai target dan sesudah dari ke 1 baru 84%.
Heparin dapat diberikan 7–10 hari yang kemudian dilanjutkan dengan
pemberian heparin dosis rendah yaitu 5000 iu/subkutan, 2 kali sehari atau
pemberian anti koagulan oral, selama minimal 3 bulan.
Pemberian anti koagulan oral harus diberikan 48 jam sebelum rencana
penghentian heparin karena anti koagulan orang efektif sesudah 48 jam.
LMWH diberikan secara subkutan satu atau dua kali sehari, dan lebih dipilih
dibanding pemberian heparin kontinu secara intravena, terutama pada pasien-pasien
dengan trombosis vena tanpa komplikasi yang dapat rawat jalan.
Walaupun demikian, unfractionated heparin intravena tetap menjadi
antikoagulan inisial pada pasien dengan gagal ginjal. Beberapa regimen LMWH yang
telah terbukti efektif dalam menatalaksana trombosis vena dapat dilihat pada tabel 2.
Pemberian Antikoagulan Oral
Pemberian terapi antikoagulan jangka panjang diperlukan untuk mencegah
rekurensi. Obat yang biasa di pakai adalah antagonis vitamin K, seperti sodium
warfarin. Pemberian Warfarin di mulai dengan dosis 6 – 8 mg (single dose) pada
malam hari. Dosis dapat dinaikan atau di kurangi tergantung dari hasil INR
(International Normolized Ratio). Target INR : adalah 2,0 – 3,0 Cara penyesuaian
dosis
INR
Penyesuaian
1,1 – 1,4 hari 1, naikkan 10%-20% dari total dosis mingguan.
Kembali : 1 minggu
1,5 – 1,9 hari 1, naikkan 5% – 10% dari total dosis mingguan.
Kembali : 2 minggu
2,0 – 3,0 tidak ada perubahan.
Kembali : 1 minggu
3,1 – 3,9 hari : kurang 5% – 10% dari dosis total mingguan.
Mingguan : kurang 5 – 150 dari dosis total mingguan
Kembali : 2 minggu
4,0 – 5,0 hari 1: tidak dapat obat
mingguan : kurang 10%-20% TDM
kembali : 1 minggu
> 50 :
- Stop pemberian warfarin.
- Pantau sampai INR : 3,0
- Mulai dengan dosis kurangi 20%-50%.
- kembali tiap hari.
Lama pemberian anti koagulan oral adalah 6 minggu sampai 3 bulan apabila
trombosis vena dalam timbul disebabkan oleh faktor resiko yang reversible.
Sedangkan kalau trombosis vena adalah idiopatik di anjurkan pemberian anti
koagulan oral selama 3-6 bulan, bahkan biasa lebih lama lagi apabila ditemukan
abnormal inherited mileculer.
Kontra indikasi pemberian anti koagulan adalah :
1. Hipertensi : sistilik > 200 mmHg, diastolik > 120 mmHg.
2. Perdarahan yang baru di otak.
3. Alkoholisme.
4. Lesi perdarahan traktus digestif.
Pemberian trombolitik selama 12-14 jam dan kemudian di ikuti dengan
heparin, akan memberikan hasil lebih baik bila dibandingkan dengan hanya
pemberian heparin tunggal.
Peranan terapi trombolitik berkembang dengan pesat pada akhir abad ini,
terutama sesudah dipasarkannya streptiknase, urokinase dan tissue plasminogen
activator (TPA). TPA bekerja secara selektif pada tempat yang ada plasminon dan
fibrin, sehingga efek samping perdarahan relatif kurang. Brenner menganjurkn
pemberian TPA dengan dosis 4 ugr/kgBB/menit, secara intra vena selama 4 jam
dan Streptokinase diberikan 1,5 x 106 unit intra vena kontiniu selama 60 menit.
Kedua jenis trombolitik ini memberikan hasil yang cukup memuaskan.
Efek samping utama pemberian heparin dan obat-obatan trombolitik adalah
perdarahan dan akan bersifat fatal kalau terjadi perdarahan sereral. Untuk
mencegah terjadinya efek samping perdarahan, maka diperlukan monitor yang
ketat terhadap waktu trombo plastin parsial dan waktu protombin, jangan melebihi
2,5 kali nilai kontrol.