Anda di halaman 1dari 17

A.

Trauma Thermik

Trauma thermik yang terjadi baik pada suhu tinggi maupun pada
suhu rendah dapat menyebabkan kematian yang banyak dipengaruhi oleh
beberapa hal.

Trauma thermic dapat dibagi atas 2 macam

1. Hyperthemis
2. Hypothermis
Sejak zaman dahulu di dalam kehidupannya, manusia tidak dapat
dipisahkan dengan panas. Pada zaman modern ini banyak fasilitas yang
tercipta yang berhubungan dengan panas, tetapi sesuai kegunaannya pada
manusia tidak jarang pula terjadi efek samping negative sehingga terjadi
korban yang meninggal akibat luka bakar oleh panas.

Kematian karna luka bakar biasanya terjadi karena kecelakaan.


Kecelakaan dapat mengenai semua golongan umur, tetapi lebih sering
pada orang tua dan anak-anak. Kematian karena luka bakar dapat terjadi
juga pada kasus-kasus pembunuhan dan bahkan juga pada kasus bunuh
diri.

Klasifikasi luka bakar ada 3, yaitu :

1. Luka bakar thermis


2. Luka bakar kimia
3. Luka bakar listrik
Luka bakar thermis adalah kelainan akibat kontak permukaan luar
dan dalam dari tubuh dengan panas fisik.
Penyebab luka bakar thermis ada 2, yaitu :

1. Luka bakar oleh panas kering (burns/dry heat) misalnya :


- Sinar matahari
- Nyala api
- Benda padat yang panas
2. Luka bakar oleh panas basah (scalds/moist heat)
Seperti halnya pada kasus-kasus kematian yang lain,
sangatlah penting melakukan pemeriksaan di tempat kejadian
perkara (TKP), sehingga kita dapat memperoleh gambaran tentang
cara kematian ataupun penyebab luka bakar tersebut. Dengan
dilakukannya pemeriksaan TKP dan pemeriksaan korban, maka
dapat membantu pihak penyidik dalam mengungkapkan kasus
tersebut.

1. Hyperthermis

1.1 Patofisiologi luka bakar

1. Perubahan-perubahan yang terjadi pada luka bakar.


Korban dengan luka bakar, akan mengalami beberapa
kemungkinan antara lain :

a. Sembuh tanpa bekas :


Bila luka bakarnya hanya dengan erythema ataupun vesikel
yang tampak disertai kerusakan jaringan bawah kulit.

b. Sembuh dengan bekas (jaringan parut) :


Bila luka bakar tersebut disertai kerusakan seluruh tebal
kulit disertai dengan kerusakan jaringan bawah kulit.

c. Berakhir dengan kematian.


2. Secara garis besar, perubahan-perubahan yang terjadi pada
korban yang mengalami luka bakar adalah sebagai berikut :
a. Panas akan menyebabkan permeabilitas kapiler darah yang
meningkat, sehingga cairan tubuh yaitu air, elektrolit
(misalnya Na dan Cl), protein akan keluar dari jaringan
intravaskuler ke jaringan interstitial. Untuk 1% luas luka
bakar, maka cairan tubuh yang keluar ke interstitial adalah
0,5%-1% dari blood volume. Bila blood volume hilang
sampai 20%, maka akan terjadi penurunan tekanan darah
sehingga berakibat terjadinya cardiac failure yang
kemudian akan berakibat dengan shock.
Pengeluaran cairan tubuh yang terbanyak yaitu pada 6-8 jam
pertama. Insensibel water loss juga akan meningkat. Pada luka
bakar, komposisi cairan gula hampir sama dengan cairan
plasma.

b. Erytrocit menjadi rapuh dan pecah karena panas.


c. Dapat terjadi akut renal failure oleh karena :
o Shock
o Timbunan hemogloblin dan pecahnya erytrocit
d. Cortison release meningkat.
e. Dapat terjadi curling ulcers pada lambung, juga dapat
terjadi akut dilatasi / paralise usus.
f. Rasa nyeri yang hebat dapat pula menyebabkan neurogenic
shock.
g. Udara panas / sangat panas yang terhirup dapat
menyebabkan larynx oedema yang mengakibatkan
asphyxia.
h. Dapat terjadi keracunan akut gas CO ataupun gas toksik
lainnya.

Gas CO ini mempunyai afinitas terhadap Hb jauh lebih besar


dari pada O2 terhadap Hb. Akibatnya bila Hb banyak yang terikat oleh
CO (COHb), maka akan sedikit Hb yang terikat dengan O2 sehingga
akan terjadi anoksia dan korban dapat mati lemas. Pada korban yang
meninggal karena keracunan gas CO, maka saturasi COHb dalam
darahnya dapat sampai 40% - 60%.

I. Gradasi luka bakar.


Gradasi luka bakar tersebut ditentukan oleh :

1. Luasnya area yang terbakar


2. Tinggi rendahnya temperature / panas yang membakar
tersebut
3. Lamanya kontak dengan kulit.
Tinggi rendahnya temperature dan lamanya kontak
dengan kulit, akan menentukan dalamnya luka bakar.

Untuk menentukan luasnya luka bakar, kita memakai


patokan rumus “Rule of Nine” dari Wallace yaitu sebagai berikut :

a. Permukaan kepala dan leher 9%

b. Permukaan dada 9%

c. Permukaan punggung 9%

d. Permukaan perut 9%

e. Permukaan pinggang 9%

f. Permukaan extremitas atas kanan 9%

g. Permukaan extremitas atas kiri 9%

h. Permukaan extremitas bawah kanan 18%

i. Permukaan extremitas bawah kiri 18%

j. Permukaan alat kelamin 1%

Gambar 1 : Gambaran luas luka bakar “rule of nine”


Menurut Boyer (1814) dalamnya luka bakar dibagi menjadi
3 tingkat, antara lain :

1. Tingkat I : Hanya mengenai epidermis


2. Tingkat IIa : Superficial, mengenai epidermis
dan lapisan atas corium.
3. Tingkat IIb : Dalam, mengenai epidermis dan
lapisan dalam corum.
4. Tingat III : Mengenai seluruh tebal kulit,
subcutan, otot dan tulang.
American Collage of Surgeon membagi gradasi dari luka
bakar menjadi 3 bagian :

1. Kritis.
a. Anak-anak : - Luka bakar Tk. II > 15%
- Luka bakar Tk. III > 10%

b. Dewasa : - Luka bakar Tk. II > 30%


- Luka bakar Tk. III > 10%

c. Luka bakar Tk. III pada tangan, kaki, wajah, atau yang
memberi komplikasi pada tractus respiratorius ataupun
adanya Fraktura tulang.

2. Sedang.
a. Anak-anak : - Luka bakar Tk. II (10-15)%

- Luka bakar Tk. III (2-10)%

b. Dewasa : - Luka bakar Tk. II (15-30)%

- Luka bakar Tk. III (2-10)%

3. Ringan.
a. Anak-anak : - Luka bakar Tk. II < 10%

- Luka bakar Tk. III < 2%

b. Dewasa : - Luka bakar Tk. II < 15%


- Luka bakar Tk. III < 2%

1.2. Pemeriksaan Kematian Pada Korban Luka Bakar :

Pemeriksaan pada Tempat Kejadian Perkara (TKP)

Sebagaimana pada pemeriksaan TKP secara umum, maka tujuan


yang ingin dicapai adalah :

1. Menentukan apakah korban masih hidup atau sudah meninggal.


2. Menentukan perkiraan saat kematian.
3. Menentukan sebab/akibat dari luka bakar
4. Membantu mengumpulkan barang bukti
5. Menentukan cara kematian

1. Menentukan apakah korban masih hidup atau sudah meninggal


Dalam melakukan penolongan atau pemeriksann TKP, maka sikap
terbaik seorang dokter adalah berjalan jongkok, hal ini merupakan upaya
awal agar dokter / penolong , korban tidak terpapar CO2 dalam kejadian
kebakaran tersebut.

Dokter juga harus membawa stetoskop dan senter. Alat tersebut


dapat dipakai dalam menentukan apakah korban tersebut masih hidup atau
sudah meninggal.

Apabila korban masih hidup, maka segera diberikan pertolongan.


Dan bilamana korban sudah meninggal, maka sebaiknya pemeriksaan
selanjutnya jangan dilakukan dengan terburu-buru.

2. Menentukan perkiraan saat kematian

Data-data yang diperlukan dalam menentukan saat kematian karena


luka bakar adalah :

1. Penurunan suhu tubuh (?)


2. Lebam mayat (?)
3. Kaku mayat (?)
4. Tanda-tanda pembusukan (?)
5. Umur larva pada jenazah yang sudah membusuk. (?)

Pada luka bakar yang dalam dan total seluruh tubuh, data-data
tersebut diatas mungkin agak sukar diperoleh :

 Sikap puguilistik pada luka bakar total.


 Lebam mayat sulit ditentukan pada korban yang hangus terbakar.
Untuk mengurangi kesalahan yang mungkin terjadi, maka
dalam perkiraan saat kematian perlu diketahui jam ditemukannya
korban meninggal dan jam terakhir korban terlihat hidup.

3. Menentukan sebab/akibat dari luka bakar

Data yang diperoleh dapat diambil sesuai keadaan luka bakar pada
tubuh korban. Keadaan luka bakar tersebut dapat menunjukkan
penyebabnya.

Sesuai dengan penyebabnya, maka luka bakar dapat dibagi dalam 2 jenis
yaitu:

a. Luka bakar oleh cairan (scalds).


Terdapat 2 derajat luka bakar jenis ini anatara lain :

- Derajat I : yang berupa kemerahan ( Hyperemia )


- Derajat II : yang berupa gelembung berair ( vesicula ).
Luka bakar ini dapat disebabkan oleh misalnya :

- Siraman air panas dari termos


- Cipratan minyak/cairan yanag sedang dimasak
- Tumpahan air ceret pada anak-anak dan lain sabagainya.
b. Luka bakar panas ( Dry heat ).
Jenis luka bakar ini bervariasi, mulai dari kemerahan biasa sampai
hangus, tergantung dari tingkat panas dan lamanya kontak.

Penyebabnya dapat oleh karena :

- Tersentuhnya botol panas


- Terjilat nyala api
- Pakaian korban yang terbakar
- Kejadian kebakaran besar.
4. Membantu mengumpulkan barang bukti
Barang-barang bukti di TKP merupakan informasi penting yang
perlu dikumpulkan karena dapat mengungkapkan penyebab kebakaran dan
menunjukkan indikasi awal kebakaran.

Penyelidikan menyeluruh pada lokasi sekitar korban akan dapat


pula menunjukkan cara kematiannya. Barang bukti dikumpulkan dari
jenazah dan barang-barang bukti di lokasi korban.

Pengumpulan barang bukti pada jenazah korban dilaksanakan


sekaligus dengan identifikasi korban. Barang-barang bukti di sekitar lokasi
korban diperlukan untuk mengungkapkan lokasi, sumber, penyebab luka
bakar. Ini dapat juga dinilai dari posisi korban pada waktu ditentukan dan
bagian yang terkena luka bakar. Barang bukti yang dapat dikumpulkan
antara lain : putung rokok, kompor yang meledak, tangki bensin yang
mudah terbakar, tempat penampungan air panas yang mendidih (termos),
sumber uap panas dan lain-lain.

5. Cara kematian pada luka bakar

Cara kematian pada luka bakar biasanya akibat luka bakar, akan
tetapi bukan tidak mungkin ada unsur kesengajaan (pembunuhan) atau
bunuh diri. Sering kali pembakaran dilakukan untuk menutupi
kekerasan/jejas akibat tindakan fisik terhadap korban sebelum dibakar,
bahkan dapat pula korban telah terbunuh sebelum dibakar.

Untuk mencari cara kematian pada korban, maka perlu


diperhatikan beberapa hal antara lain :

1. Penyakit-penyakit yang mungkin menyebabkan kecelakaan.


Misalnya : epilepsi, hipertensi.

2. Keadaan barang-barang disekitar korban.


Misalnya : pada bunuh diri maka barang-barang disekitar korban masih
tampak pada tempatnya yang sesuai (tidak berantakan).

3. Adanya tanda-tanda kekerasan yang lain, selain luka bakar


Misalnya : luka-luka akibat benda tajam/tumpul yang mungkin terjadi
sebelum terbakar.

1.3. Sebab kematian pada luka bakar

Sebab kematian yang biasanya ditemukan pada korban yang


meninggal akibat luka bakar antara lain :

1. Shock (Hypovolemik maupun neurogenik shock)


2. Infeksi
3. Akut renal failure
4. Larynx Oedema
5. Keracunan akut gas CO atau gas-gas toksik yang lain.
Misalnya karena terbakarnya bahan-bahan yang terdapat pada
lokasi antara lain :

- Wool atau sutra yang bila dibakar akan melepaskan gas


ammonia atau HCN
- Terbakarnya bahan nitrocellulose film dan bahan-bahan kulit
imitasi dapat melepaskan gas NO2 dan NO4.
1.4. Identifikasi Korban
Identifikasi pada korban dilaksanakan pada pemeriksaan TKP
maupun pada waktu pemeriksaan jenazah. Identifikasi dapat diperoleh
dengan mencatat hal-hal sebagai berikut :

1. Catat data-data dari korban, antara lain :


- Tinggi Badan
- Berat Badan
- Jenis Kelamin
- Umur
- Warna Kulit
- Warna Mata
- Rambut
2. Catat tanda-tanda pengenal khusus pada tubuh, seperti jaringan
parut luka, tato, kelainan-kelainan kongenital.
3. Simpan potongan pakaian yang tidak hangus terbakar.
4. Catat dan simpan barang pribadi milik korban, misalnya gantungan
kunci, uang, KTP, dan identitas lainnya, surat-surat berharga serta
perhiasan yang dikenakan korban.
5. Kumpulkan dari sampel rambut yang tidak terbakar.
6. Buat pemeriksaan gigi dan bila mungkin buat sidik jarinya.
7. Buat pemeriksaan radiologi
8. Tentukan golongan darah korban.

1.5 Autopsi pada korban yang meninggal karena luka bakar thermik
Pada kasus luka bakar yang berat, terjadi kelainan yang luas pada
tubuh dan sering kali tubuh menjadi hangus, sehingga dapat mempersulit
proses penyidikan. Pada kasus-kasus seperti ini, autopsi dapat memberikan
informasi yang penting.

Dalam mengevaluasi sebab kematian korban, kadang-kadang kita


mengalami kesulitan oleh karena sering tidak ditemukan hal-hal yang
pathognomis. Sarjana Teplitz mengusulkan beberapa prosedur yang bisa
membantu, disamping pemeriksaan post mortem yang rutin antara lain :

- Membuat irisan multipel pada luka bakar untuk pemeriksaan


bakteriologis
- Dan bilamana dicurigai adanya sepsis, maka perlu secepatnya
dibuat biakan kuman postmortem dari darah dalam jantung,
bagian basal paru, hati serta limpa.
Pemeriksaan Luar :

a. Kulit
Perubahan-perubahan pada kulit sesuai dengan derajat luka
bakarnya, oleh karena itu, pada pemeriksaan luar perlu ditentukan :

1. Keadaan luka
2. Luas luka dan dalamnya
Pada pemeriksaan luka ini adanya tanda-tanda reaksi vital berupa
daerah yang berwarna merah pada perbatasan antara daerah yang
terbakar. Tanda reaksi vital ini penting untuk membedakan apakah
korban masih hidup atau sudah mati pada saat terbakar. Bila ada
pemeriksaan makroskopik kita tidak menemukan tanda-tanda reaksi
vital, maka perlu dilakukan pemeriksaan mikroskopik, untuk
menemukan daerah kongesti dengan perdarahan dan infiltrasi leukosit.

b. Heat Stiffening
Pada korban yang meninggal akibat luka bakar, dapat
ditemukan kekakuan postmortem pada otot-ototnya yang disebabkan
oleh karena terjadinya koagulasi protein-protein otot yang terkena
panas. Pada keadaan ini tidak terjadi rigor mortis dan keadaan ini
berlangsung sampai proses pembusukan terjadi. Pada tubuh yang
terbakar, akan terjadi fleksi pada siku, lutut, dan paha , sehingga posisi
korban dapat menyerupai orang yang tertinju yang disebut Pugillistic
Attitude.

c. Lebam Mayat
Pada kematian akibat luka bakar, lebam mayat yang terjadi
kadang-kadang sukar dilihat. Bila masih ada sebagian dari tubuh yang
tidak terbakar, maka lebam mayat masih dapat ditemukan pada daerah
tersebut.

Pemeriksaan dalam :

Pada korban yang meninggal karena luka bakar, tidak ditemukan


kelainan yang spesifik, dimana kelainan yang ditemukan pada
pemeriksaan dalam juga bisa dijumpai pada keadaan-keadaan lain.
Kelainan-kelainan tersebut hampir meliputi semua system organ,
diantaranya :

1. System pernapasan
Pada pemeriksaan mikroskopik, paru-paru menjadi lebih berat
dan mengalami kosnsolidasi. Kelainan yang sering ditemukan antara
lain :

a. Oedema laryngopharynx
b. Tracheochitis
c. Pneumonia
d. Kongesti Paru
e. Oedema paru interstitial
f. Ptechiae pada pleura
g. Adanya pigmen korban melekat pada mukosa saluran napas.
Adanya pigmen korban menunjukan bahwa korban telah
menghirup asap dan masih hidup saat terbakar
2. Jantung
Oedema interstitial dan fragmentasi miokardium dapat terjadi
pada penderita luka bakar termis, tetapi perubahan-perubahan ini tidak
khas dan dapat ditemukan pada keadaan-keadaan lain. Pada penderita
dengan septicaemia, ditemukan adanya metastase focus-fokus septik
pada miokardium dan endocardium. Perubahan lain berupa gambaran
pteciae pada pericardium dan endocardium.

3. Hati
Pada korban yang meninggal karena luka bakar superfisial,
ditemukan adanya perlemakan hati, bendungan, nekrosis dan
hepatomegali. Hal ini merupakan tanda yang non spesifik.

Perlemakan hati sering dihubungkan dengan nutrisi yang tidak


optimal. Nekrosis hati relative jarang ditemukan dan biasanya
merupakan tipe perdarahan sentrilobuler. Kedaan ini dapat dijumpai
pada syok yang lama, hipoksemia dan kegagalan jantung kongestif.
Tipe nekrosis ini lebih banyak di sebabkan oleh bahan koagulasi yang
dipakai dalam pengobatan dari pada karena luka bakar sendiri.

Beberapa sarjana melaporkan bahwa insiden dari kerusakan


hati meningkat jika dalam pengobatan digunakan bahan-bahan asam
tannat, perak nitrat, dan fericloride. Sedangkan hepatomegaly sering
ditemukan pada keadaan hipoalbuminemia.

4. Limpa dan Kelenjar Getah Bening


Kelainan-kelainan yang ditemukan adalah odema dan nekrosis
dari limfoid germinal centre dan infiltrasi makrofag. Penelitian lain
melaporkan adanya eosinopenia dalam limpa, yaitu sebagai akibat
adanya hiperaktifitas adrenal.
5. Ginjal
Organ ini tidak terpengaruh langsung pada luka bakar termik.
Perubahan yang terjadi pada organ ini biasanya merupakan akibat dari
komplikasi yang terjadi. Pada korban yang mengalami komplikasi
berupa syok yang lama, dapat terjadi akutubular nekrosis pada tubular
proksimal dan distal serta trombosis vena. Akutubular nekrosis ini
diduga disebabkan oleh adanya heme cast pada medulla yang bisa
ditemukan pada pemeriksaan mikroskopik.

Pada korban yang mengalami luka bakar yang fatal, dapat


ditemukan adanya pembesaran ginjal. Traktus genetalis merupakan
sumber infeksi yang potensial pada korban luka bakar, terutama pada
korban yang memakai daur kateter, dimana populasi bakteri yang
ditemukan biasanya tidak berbeda dengan populasi bakteri pada luka
yang terjadi, bakteri tersebut antara lain: pseudomonas aerobakter,
stapilokokus, dan proteus.

6. Saluran pencernaan
Pada penderita luka bakar dapat dijumpai curling’s ulcer, yang
kadang-kadang mengalami perforasi. Kelainan-kelainan ini dapat
sebagai ancaman bagi penderita luka bakar karena bisa terjadi
pendarahan profuse dan perforasi dari mukosa saluran pencernaan
yang biasanya berakibat fatal.

7. Kelenjar Endokrin
- Thyroid
Berat dan aktifitas kelenjar tiroid meningkat pada penderita dengan
luka bakar.

- Timus
Perubahan pada organ ini adalah terjadi infolusi yang diduga
disebabkan oleh hiperaktifitas kelenjar adrenal sebagai respon terhadap
stress yang non-spesifik.
- Adrenal
Kenaikan kadar steroid dalam darah dan urin pada penderita
luka bakar termik ialah penimbunan lemak dan bendungan sinusoid-
sinusoid pada korteks dan medulla. Perubahan-perubahan ini
bersamaan dengan autolysis da dapat menyebabkan perdarahan vocal
pada kelenjar.

8. Susunan Saraf Pusat


Dilaporkan adanya perubahan-perubahan pada susunan saraf
pusat berupa odema, kongesti, kenaikan tekanan darah intrakrnial dan
herniasi dari tonsil cerebellum melewati foramen magnum serta
adanya perdarahan intracranial. Tetapi perubahan-perubahan ini diduga
terjadi akibat adanya gangguan kesemimbangan air dan elektrolit,
karena kebanyakan pada pasien dengan luka bakar terjadi kenaikan
temperature tubuh tidak lebih dari satu derajat. Jadi dengan demikian,
otak tidak selalu terpengaruh jejas termik.

Sel-sel neuron tifak menunjukan perubahan-perubahan


abnormal kecuali sel-sel purkinye yang menunjukan perubahan
degenerative. Pada penderita yang mengalami komplikasi berupa
sepsis, maka dapat ditemukan adanya mikro abses dan meningitis
homatogenus.

9. Sistem Muskuloskeletal
Otot-otot, tendon, dan tulang jarang sekali terpengaruh oleh
luka bakar termik, kecuali pada kebakaran luar. Perubahan yang dapat
terjadi adalah fraktur patologis, yaitu pada tulang kepala. Hal ini dapat
disebabkan oleh karena kenaikan tekanan intracranial yang mendadak,
sedangkan pada anggota gerak disebabkan oleh pemendekan otot-otot
yang berlebihan, sehingga terjadi tarikan yang berlebihan pada tendon
dan tulang.

2. Hipotermis

Hipotermis dibagi menjadi 2, yaitu sistemik hipotermis dan


local hipotermis. Suhu udara yang kritis bagi manusia tanpa pelindung
apapun kurang lebih 270 C. pada suhu ini manusia dapat
mempertahankan suhu tubuhnya tanpa aktifitas apapun.

Telah diketahui bahwa pengaturan suhu tubuh berpusat pada


hipotalamus anterior. Bila terjadi lesi pada bagian ini, maka akan
menyebabkan krisis hipotermis. Kemudian diketahui pula bahwa
sebagian mediator pengaturan suhu tubuh ini adalah system simpatik,
dalam hal ini terjadi vasokonstriksi. Pada kulit dan otot merupakan
mekanisme yang penting untuk pengaturan suhu tubuh. Manifestasi
kerusakan permanen otot berhubungan dengan kurangnya aliran darah,
hipotermis tidak menyebabkan lesi permanen selama aliran darah baik.
Pada saraf perifer terjadi penurunan kecepatan perjalanan inpuls.
Menghilangnya ketangkasan tangan dengan kekakuan berjalan
merupakan indicator terganggunya transmisi.

Pada jantung terjadi penurunan denyut nadi. Penurunan ini


berbanding lurus dengan penurunan suhu tubuh. Kecuali pada saat
tubuh menggigil, maka akan terjadi kenaikan denyut nadi temporer.
Pada suhu tubuh dibawah 300C sering terjadi atrial fibrilasi. Kondisi
paling berbahaya adalah terjadinya fibrilasi ventrikel, yang biasanya
terjadi pada suhu 25o C – 28o C. penyebabnya belum diketahui, namun
salah satu kemungkinan adalah gangguan pada pompa Na-K.
kemungkinan adalah terbentuknya focus ektopik pada dinding
ventrikel. Pada suhu kurang dari 20o C, dan jantung selamat dari
fibrilasi biasanya denyut nadi menjadi pelan. Akan tetapi irama yang
normal akan tetap bila pasien dihangatkan.

Selama fase pertama hypothermi, antara 370C sampai 340C,


tekanan darah akan terus meningkat, namun dengan terus menurunnya
suhu tubuh, tekanan darah terus akan menurun sampai terjadi hipotensi
dan biasanya tekanan darah menjadi tidak terukur pada suhu 290C.

Penurunan denyut nadi dan tekanan darah diikuti oleh


pengendapan sel-sel darah merah di vena-vena post kapiler.
Respiratory rate dan tidal volume menurun pada hypothermi.
Dead space meningkat 50% pada suhu 250C yang disebabkan
hambatan nervus vagus. Telah diketahui bahwa suhu dingin dapat
menyebabkan lesi pada epitel alveoli dan bronchioli yang merupakan
jalan bagi invasi bakteri. Asidosis respiratorik sering terjadi pada kasus
hypothermi bila tidak dilakukan pernapasan buatan.

Hypothermi dapat menyebabkan paralisis usus, hal ini


menjelaskan mengapa korban yang diselamatkan dari paparan dingin,
sering mengeluh sakit perut. Mukosa lambung yang merupakan target
organ pada hypothermi, didasarkan pada fakta sering terjadinya erosi
dan haemorrhagik pada lambung (Wischeneusky Ulcer) dimana
sebenarnya kasus ini jarang terjadi. Ulcus semacam ini dapat
ditemukan pula pada ileum dan colon. Penemuan yang aneh terjadi
pada pancreas, yaitu terjadinya pankreatitis. Hal ini diduga
berhubungan dengan ileus paralitik dan refluks isi usus kesaluran
pancreas. Sedangkan hati relative tidak mengalami gangguan, namun
kalau ada biasanya reversible.

Ginjal bereaksi terhadap dingin dengan diuresis, yang mulai


pada suhu lingkungan 150C. Reaksi ini dapat dijelaskan dengan 2 cara,
yaitu :

1. Berkurangnya absorbsi
2. Vasokonstriksi perifer sehingga meningkatkan aliran darah
pada organ dalam
Keadaan yang berlawanan pada keadaan diatas, yaitu oligouria,
terjadi pada paparan suhu dingin (sekitar 300C tubuh) pada waktu yang
lebih lama, terutama pada orang tua.

Sering terjadi hemokonsentrasi pada hypothermi. Hal ini


disebabkan oleh mekanisme diuresis dan merembesnya plasma
keruangan ekstraselular yang dikenal sebagai “cold oedema”.
Disamping hal tersebut, pada suhu lingkungan yang dingin sel darah
merah mengikat 02 lebih kuat, sehingga pada akhirnya menyebabkan
sistemik anoxia. Pada local hypothermi, beratnya kerusakan dibagi
beberapa derajat, antara lain :

1. Derajat I : Hanya hiperemi dan oedema

2. Derajat II : Terjadi nekrosis kulit sampai sub cutis

3. Derajat III : Nekrosis kulit dan subcutis, nyeri dan bila


sembuh terjadi keropeng berwarna hitam

4. Derajat IV : Terjadi kerusakan seluruh jaringan

Beberapa obat dapat menyebabkan hypothermi terutama pada


dosis toksik, antara lain barbiturate dan promazine. Namun kedua obat
ini jarang ditemukan pada riwayat korban-korban kematian akibat
hypothermi. Sedangkan untuk alcohol masih diperdebatkan
pengaruhnya terhadap hypothermi. Secara umum, telah disetujui
bahwa konsumsi alcohol dalam jumlah sedikit dapat digunakan untuk
mengatasi suhu dingin.

Anda mungkin juga menyukai