Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anak adalah seseorang yang berusia kurang dari delapan belas tahun

dalam masa tumbuh kembang dengan kebutuhan khusus baik kebutuhan fisik,

psikologis, social, dan spiritual. Anak merupakan individu yang berada dalam

satu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi sampai remaja

(Wulandari, 2016). Menurut Hidayat (2008), anak adalah individu yang masih

memiliki ketergantungan pada orang dewasa dan lingkungan sekitarnya. Anak

memerlukan lingkungan yang dapat memfasilitasi dalam kebutuhan dasar

serta belajar mandiri.

Anak usia prasekolah adalah anak yang berusia 3 sampai 6 tahun yang

mempunyai berbagai macam potensi. Potensi-potensi itu dirangsang dan

dikembangkan agar pribadi anak tersebut berkembang secara optimal

(Supartini, 2012).

Pada dasarnya setiap anak melewati masa tumbuh kembang berdasarkan

usia. Pertumbuhan adalah perubahan fisik dan pertambahan jumlah dan

ukuran sel secara kuantitatif, di mana sel-sel tersebut nantinya akan

menunjukkan pertambahan seperti umur, tinggi badan, berat badan dan

pertumbuhan gigi (Maryunani, 2010 dalam Wulandari, 2016). Sedangkan

perkembangan adalah peningkatan kompleksitas fungsi dan keahlian

(kualitas) dan merupakan aspek tingkah laku pertumbuhan. Contohnya ialah

1
2

kemampuan berjalan, berbicara dan berlari (Marmi dan Rahardjo 2012, dalam

Wulandari 2016).

Pada usia empat tahun pertumbuhan berat badan anak prasekolah menurut

Wong (2008) dapat naik 2-3 kg/tahun dan pertumbuhan tinggi badan naik

mencapai dua kali panjang lahir, penambahan 5-7,5cm/tahun. Pada masa ini,

kecepatan pertumbuhan mulai menurun dan terdapat kemajuan dalam

perkembangan motoric serta fungsi sekresi. Sedangkan menurut Hidayat

(2008), perkembangan anak prasekolah menitik beratkan pada aspek

diferensiasi bentuk dan fungsi termasuk perubahan social dan emosi. Motorik

kasar, diawali dengan kemampuan untuk berdiri dengan satu kaki selama 1-5

detik, melompat dengan satu kaki, berjalan dengan tumit ke jari kaki,

menjelajah, dan membuat posisi merangkak.

Pertumbuhan dan perkembangan akan terhambat apabila anak mengalami

sakit dan harus dirawat di rumah sakit dengan berbagai sumber stress yang

muncul. Menurut Adriana (2011), sama seperti orang dewasa, anak-anak juga

dapat jatuh sakit dan memerlukan perawatan di rumah sakit.

Bagi anak, sakit dan dirawat di rumah sakit merupakan krisis utama yang

tampak pada anak. Anak yang dirawat di rumah sakit akan berpengaruh pada

kondisi fisik dan psikologinya, hal ini disebut dengan hospitalisasi.

Banyaknya stressor yang dialami anak ketika menjalani hospitalisasi

menimbulkan dampak negatif yang mengganggu perkembangan anak.

Perawatan yang diterima anak di rumah sakit akan memberikan pengalaman

yang berbeda-beda kepada setiap anak. Biasanya pada anak yang dirawat di
3

rumah sakit akan muncul tantangan-tantangan yang harus dihadapinya seperti

mengatasi perpisahan atau penyesuaian lingkungan yang asing.

Hospitalisasi merupakan suatu proses karena suatu alasan yang berencana

atau darurat mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani

terapi dan perawatan sampai kembali ke rumah. Selama proses tersebut anak

dapat mengalami berbagai kejadian yang menurut beberapa hasil penelitian

ditunjukkan dengan pengalaman yang traumatik dan penuh dengan stress

(Supartini, 2012).

Hospitalisasi pada pasien anak dapat menyebabkan kecemasan pada semua

tingkat usia. Penyebab dari kecemasan dipengaruhi oleh faktor dari petugas

(perawat, dokter, dan tenaga kesehatan lainnya), lingkungan baru, maupun

keluarga yang menunggu selama perawatan (Nursalam, 2011). Anak takut

terhadap pengobatan, asing dengan lingkungan baru, dan takut terhadap

petugas kesehatan (Susilaningrum, et al. 2013).

Bukti ilmiah menunjukkan bahwa lingkungan rumah sakit merupakan

penyebab stress dan kecemasan pada anak baik lingkungan fisik serta

bangunan atau ruang anak, peralatan rumah sakit, bau rumah sakit yang khas,

pakaian putih yang dikenakan petugas kesehatan maupun lingkungan social

seperti interaksi dan sikap petugas kesehatan atau interaksi antar pasien anak

yang satu dengan yang lain.

Wright (2008) dalam penelitiannya tentang efek hospitalisasi pada

perilaku anak menyebutkan bahwa reaksi anak pada hospitalisasi secara garis

besar adalah sedih, takut dan rasa bersalah karena menghadapi suatu yang
4

belum pernah dialami sebelumnya, rasa tidak aman, rasa tidak nyaman,

perasaan kehilangan sesuatu yang bisa dialami dan sesuatu yang dirasakan

menyakitkan. Anak usia prasekolah memandang hospitalisasi sebagai sebuah

pengalaman yang menakutkan. Ketika anak menjalani perawatan di rumah

sakit, biasanya ia akan dilarang untuk banyak bergerak dan harus banyak

beristirahat. Hal tersebut akan mengecewakan anak sehingga dapat

meningkatkan kecemasan pada anak (Samiasih, 2007). Sedangkan menurut

Perkin, dkk (2013) masa hospitalisasi pada anak prasekolah dapat

menyebabkan post traumatic stres disorder (PSTD) yang dapat menyebabkan

trauma hospitalisasi berkepanjangan bahkan setelah anak beranjak dewasa.

Kecemasan merupakan perasaan yang paling umum dialami oleh pasien

anak yang mengalami hospitalisasi. Kecemasan yang sering dialami seperti

menangis, dan takut pada orang baru. Banyaknya stresor yang dialami anak

ketika menjalani hospitalisasi menimbulkan dampak negatif yang menggangu

perkembangan anak. Lingkungan rumah sakit dapat merupakan penyebab

stres dan kecemasan pada anak (Utami, 2014).

Pada anak usia prasekolah, kecemasan yang paling besar dialami adalah

ketika pertama kali mereka masuk sekolah dan kondisi sakit yang dialami

anak. Apabila anak mengalami kecemasan tinggi saat dirawat di rumah sakit

maka besar kemungkinan anak akan mengalami disfungi perkembangan.

Anak akan mengalami gangguan, seperti gangguan somatic, emosional dan

psikomotor (Nelsson, 2000 dalam Hasim, 2013).


5

Salah satu cara yang efektif untuk mengurangi kecemasan akibat dampak

hospitalisasi anak yaitu dengan terapi bermain. Bermain bermanfaat bagi

anak yang dirawat di rumah sakit, dengan bermain anak dapat teralihkan dari

ketidaknyamanan serta rasa takut pada saat pemberian tindakan keperawatan.

Bermain merupakan salah satu alat komunikasi yang natural bagi anak-anak

(Suryanti, 2011).

Menurut Whaley & Wong (2004) dalam Hasim (2013), bermain dapat

membebaskan anak dari tekanan dan kecemasan akibat situasi lingkungan

yang tidak nyaman. Saat anak bermain, anak dapat mengekspresikan emosi

dan melepaskan dorongan yang tidak dapat diterima dalam bersosialisasi.

Aktivitas bermain membuat anak mampu beradaptasi dengan lingkungan

disekitar mereka.

Terapi bermain adalah suatu aktivitas bermain yang dijadikan sarana untuk

menstimulasi perkembangan anak, mendukung proses penyembuhan dan

membantu anak lebih kooperatif dalam program pengobatan serta perawatan.

Bermain dapat dilakukan oleh anak sehat maupun sakit. Walaupun anak

sedang dalam keadaan sakit tetapi kebutuhan akan bermainnya tetap ada

(Katinawati, 2011). Melalui kegiatan bermain, anak dapat mengalihkan rasa

sakitnya pada permainannya dan relaksasi melalui kesenangannya melakukan

permainan (Evism, 2012).

Terapi bermain yang diberikan pada anak harus menyesuaikan dengan

tahapan perkembangan sesuai usianya. Misalnya permainan anak usia


6

prasekolah biasanya bersifat asosiatif, dapat mengembangkan koordinasi

motorik, dan memerlukan hubungan dengan teman sebaya (Pramono, 2012).

Penelitian sebelumnya yang dilakukan Alfiyanti (2005), menunjukkan

bahwa tingkat kecemasan sebelum dilakukan terapi bermain dan setelah

terapi bermain mengalami penurunan presentase yakni sebelum terapi sebesar

70% dan setelah terapi bermain sebesar 60%. Hal tersebut dapat mendukung

penelitian ini yakni dengan metode terapi bermain dapat menurunkan tingkat

kecemasan anak usia prasekolah saat hospitalisasi.

Menurut Safriyani (2011), salah satu terapi bermain yang dapat digunakan

pada anak prasekolah adalah Puzzle. Puzzle merupakan permainan yang

dapat mengembangkan kognisi, kemampuan menyamakan dan membedakan

koordinasi motorik kasar dan motorik halus.

Riset yang dilakukan oleh Marasaoly (2009) tentang pengaruh terapi

bermain puzzle terhadap dampak hospitalisasi pada anak usia parsekolah

mendapatkan hasil penelitian yaitu ada pengaruh yang bermakna antara

intervensi terapi bermain puzzle dengan dampak hospitalisasi.

Metode bermain Puzzle berpengaruh pada perkembangan motorik

halus anak usia prasekolah, sebab bermain puzzle dapat mengkoordinasi

gerak mata dan tangan anak, dengan itu tanpa mereka sadari motorik halus

mereka terus terlatih dan berkembang dengan bagus. Selain itu, ketika mereka

bermain puzzle anak dapat berlatih untuk mengenal bentuk dan bagaimana

mereka mengisi ruang kosong dimana potongan-potongan tersebut di

perlukan. Puzzle juga mendorong anak untuk mengenali persamaan, seperti


7

bagaimana warna yang merah atau garis tebal di dalam suatu potongan sesuai

dengan corak yang sama pada potongan yang lain. Melalui permainan ini

anak-anak dapat belajar bahwa suatu benda atau objek tersusun dari bagian–

bagian kecil. Permainan ini mendorong anak mengerti cara

mengkombinasikan unsur-unsur yang berbeda (Andriana, 2011).

Dari hasil studi pendahuluan, di RSUD Sekarwangi didapatkan data

sebagai berikut :

Distribusi Frekuensi Pasien Rawat Inap

Menurut Golongan Umur Di RSUD Sekarwangi

No Usia Anak Jumlah Rawat Presentase

1 Infant (0-12 bulan) 180 34,14%

2 Toodler (1-3 tahun) 124 23,44%

3 Pra Sekolah 125 23,62%

4 Sekolah 98 18,52%

Jumlah 529 100

Berdasarkan tabel diatas angka pasien anak yang di rawat diruang Ade

Irma Suryani terhitung selama dua bulan di tahun 2018 sebanyak 229 orang

dengan kategori anak usia pra sekolah yang di rawat berada di tingkat ke 2

yaitu dengan jumlah 23.62%.

Upaya perawat sebagai salah satu penyedia pelayanan kesehatan dituntut

untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan dapat memberi

kepuasan pasien dalam batas standar pelayanan profesional yang dapat


8

dipertanggung jawabkan. Merawat anak di rumah sakit tidak hanya

mendapatkan pengobatan yang canggih dan keahlian perawat dalam

memberikan asuhan keperawatan, tetapi seorang perawat perlu membina

hubungan saling percaya melalui ketrampilan komunikasi secara efektif

dengan anak dan keluarganya yang didapatkan melalui kegiatan bermain.

Seorang anak mungkin dapat sembuh total dari penyakit yang dideritanya,

tetapi pengalaman traumatik di rumah sakit dapat menghambat perkembangan

anak.

Berdasarkan hasil observasi peneliti pada saat bertugas di ruang Ade Irma

Suryani pada tanggal , terdapat 20 tempat tidur yang tersebar di ruangan kelas

III. Dengan rata-rata jumlah populasi perbulannya yaitu sekitar 100 anak. Dan

setelah dilakukan observasi, perawat yang bertugas di ruangan tidak

mengaplikasikan terapi bermain pada pasien anak meskipun anak mengalami

kecemasan. Ketersediaan alat bermain tidak dipakai secara optimal dalam

mengurangi kecemasan anak pada saat hospitalisasi.

Dengan tidak diaplikasikannya program terapi bermain di ruang Ade Irma

Suryani, RSUD Sekarwangi, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

tentang “Penerapan Terapi Bermain Puzzle Untuk Menurunkan Tingkat

Kecemasan Anak Usia Prasekolah Terhadap Hospitalisasi Di Ruang Ade Irma

Suryani RSUD Sekarwangi”.

Peneliti berharap dengan adanya terapi bermain puzzle ini mampu

menurunkan tingkat kecemasan anak usia prasekolah yang mengalami

hospitalisasi selama masa perawatan serta dapat memberikan pengetahuan ibu


9

dalam menurunkan tingkat kecemasan pada anak yang mengalami

hospitalisasi dengan terapi bermain.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini yaitu “Bagaimana terapi bermain

puzzle dapat menurunkan tingkat kecemasan anak usia prasekolah terhadap

hospitalisasi di ruang Ade Irma Suryani RSUD Sekarwangi?”

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi

bermain puzzle dapat menurunkan tingkat kecemasan anak usia

prasekolah terhadap hospitalisasi di ruang Ade Irma Suryani RSUD

Sekarwangi.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran tingkat kecemasan pada anak usia prasekolah

yang mengalami hospitalisasi sebelum diberikan terapi bermain

puzzle di ruang Ade Irma Suryani RSUD Sekarwangi.

2. Mengetahui gambaran tingkat kecemasan pada anak usia prasekolah

yang mengalami hospitalisasi sesudah diberikan terapi bermain puzzle

di ruang Ade Irma Suryani RSUD Sekarwangi.

3. Mengetahui perbedaan tingkat kecemasan sebelum dan sesudah

pemberian terapi bermain puzzle pada anak usia prasekolah yang


10

mengalami hospitalisasi di ruang Ade Irma Suryani RSUD

Sekarwangi.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:

1. Manfaat Teoritik

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk

mengembangkan ilmu pengetahuan asuhan keperawatan pada anak

terutama anak yang mengalami kecemasan pada saat hospitalisasi.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Peneliti

Meningkatkan pemahaman peneliti tentang pentingnya

terapi bermain pada anak usia prasekolah untuk menurunkan

tingkat kecemasan selama hospitalisasi.

b. Bagi Institusi Rumah Sakit

1) Meningkatkan pengetahuan perawat dalam memberikan

asuhan keperawatan tentang manfaat terapi bermain

bagi anak yang mengalami kecemasan akibat

hospitalisasi.

2) Meningkatkan pengetahuan perawat tentang pentingnya

terapi bermain sebagai salah satu intervensi dalam

memberikan asuhan keperawatan untuk membantu

menurunkan kecemasan anak khususnya anak usia

prasekolah yang mengalami hospitalisasi.


11

c. Bagi Institusi Pendidikan

Menambah pustaka dan kajian ilmiah, sehingga dapat

menambah ilmu pengetahuan dan wawasan pembaca

khususnya mahasiswa keperawatan mengenai pengaruh terapi

bermain terhadap tingkat kecemasan anak yang mengalami

hospitalisasi.

d. Bagi Peneliti Selanjutnya

Menjadi acuan bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan

penelitian tentang terapi bermain pada anak dengan variable

berbeda.

Anda mungkin juga menyukai