net/publication/329625105
CITATIONS READS
0 27
1 author:
Eko Haryono
Universitas Gadjah Mada
64 PUBLICATIONS 108 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Eko Haryono on 13 December 2018.
Tujuan dari geokonservasi dalam hal ini adalah untuk a) memelihara geodiversitas
dan b) memelihara keberlangsungan proses alamiah. Geodiversitas dalam hal ini
diartikan sebagai keragaman geologi (bedrock), geomorfologi (landform) dan tanah,
assemblages, sistem, dan proses (Sharples, 1997 dalam Anonim, 1998). Terdapat dua
kelompok besar obyek yang pada umumnya menjadi obyek geokonservasi, yaitu 1)
relict atau fosil dari batuan, bentuklahan, atau tanah yang terbentuk oleh proses masa
lalu yang tidak aktif lagi dan 2) obyek dari batuan, bentuklahan, atau tanah yang
proses perkembangannya masih berlangsung.
Nilai intrinsik atau existence value adalah pentingnya suatu singkapan batuan,
benktuklahan, dan tanah dalam mewakili suatu tipe batuan, bentuklahan, atau tanah.
Kepentingan ini tidak terkait dengan kepentingan pemanfaatan oleh manusia, dengan
kata lain nilai intrisik bukanlah merupakan antropocentric judgment. Nilai ekologis
atau sering disebut dengan nilai proses alamiah adalah kepentingan obyek yang
dikonservasi dalam menjaga keberlangsungan sistem dan proses ekologis. Dengan
kata lain nilai ekologis diartikan sebagai kepentingan dalam hal menjaga
keberlangsungan proses geologi, geomorfologi, dan pedologi, tetapi juga menjaga
keberlangsungan proses biologis yang tergantung pada ketiga sistem fisik tersebut.
Heritage value atau nilai antroposentrik merupakan manfaat langsung dari batuan,
bentuklahan, tanah untuk manusia (Anonim, 1998) . Manfaat tersebut antara lain
adalah dalam hal:
a. menyediakan bukti-bukti ilmiah dari proses masa lalu atau kehidupan di
bumi,
b. tempat untuk penelitian dan pendidikan,
c. tempat untuk rekreasi dan wisata, dan
d. tempat umtuk aktivitas spiritual.
Penetapan nilai suatu obyek untuk tujuan geokonservasi haruslah didasarkan
pada kriteria yang jelas. Walaupun kriteria penetapan tidaklah baku, namun
penilaian/penetapan paling tidak harus mempertimbangkan dua hal sebagai berikut:
a. kepentingan obyek dalam mewakili obyek geologi, geomorfologi, atau tanah
hasil proses masa lalu maupun masa kini, dan
b. sumbangan obyek dalam memberikan watak wilayah sekitarnya (Rosergren
dan Petersen, 1989)
Penilain kepentingan suatu obyek untuk dikonservasi dalam hal ini dapat dililai
melalui pertimbangan sebagai berikut (Anonim, 1998).
Kepentingan Tinggi, bila suatu obyek merupakan contoh terbaik dari suatu tipe
batuan, bentuklahan, atau tanah dalam suatu georegion dan atau memerlukan
upaya perlidungan yang mendesak agar dapat menjamin keberlangsungan
proses ekologi yang ada.
Seminar Nasional dan PIT IGI XIV, Singaraja, 11-12 November 2011 620
Kepentingan Sedang, merupakan contoh dari suatu tipe batuan, bentuklahan, atau
tanah dalam suatu georegion tetapi kualitasnya termasuk kategori menengah
dibandingkan dengan obyek yang sama ditempat lain dan atau upaya
perlindungan tidak begitu mutlak diperlukan.
Kepentingan Rendah, contoh yang kurang baik dari suatu tipe batuan, bentuklahan,
tanah dalam suatu georegion dan atau tidak penting dalam keberadaannya
dalam menjaga keberlangsungan proses ekologi yang ada.
Kepentingan Tidak Diketahui bila tidak diketahui atau tidak terdapat data atau contoh
lain dari suatu obyek yang dinilai untuk diperbandingan dalam suatu
georegion.
Kategori ini merupakan revisi dari katergori sebelumnya yang dikenal dengan
Sistem 1978 dengan jumlah kategori 10. Kategori I hingga V pada sistem yang baru
sama dengan Sistem 1978, sedangkan Kategori VI merupakan tambahan. Adapun
kategori yang dihilangkan adalah Katergori VI-VIII, yiatu Cagar Sumberdaya, Cagar
Budaya, dan Kawasan Pengelolaan Manfaat Ganda. Kategori IX dan X dari sistem
1978 yang berupa Cagar Biosfer dan Taman Warisan Dunia masih digunakan tetapi
digunakan sebagai daftar (list) kawasan perlindungan yang ditetapkan oleh
UNESCO. Daftar ini dapan mencakup ke enam kaategori yang ada.
Kawasan perlindungan khusus di Indonesia diatur dalam Keputusan Presiden
RI No 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Kawasan lindung
menurut Kepres 32 Tahun 1990 adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi
utama melindungi kelestarian linkungkungan hidup yang mencakup sumber alam,
sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan
pembangunan berkelanjutan. Pengelolaan kawasan lindung diartikan sebagai upaya
penetapan, pelestarian, dan pengendalian pemanfaatan kawasan lindung. Pengelolaan
kawasan lindung bertujuan untuk mencegah timbulnya kerusakan fungsi lingkungan
hidup. Adapan sasaran pengelolaan kawasan lindung adalah: 1) meningkatkan fungsi
lindung terhadap tanah, air, iklim, tumbuhan dan satwa serta nilai sejarah dan budaya
bangsa; 2) mempertahankan keanekaragaman tumbuhan, satwa, tipe ekosistem, dan
Seminar Nasional dan PIT IGI XIV, Singaraja, 11-12 November 2011 622
keunikan alam. Kategori kawasan lindung menurut Kepres 32 tahun 1990 dirangkum
dalam Tabel 2.
Penetapan kawasan karst sebagai kawasan perlindungan telah banyak
dilakukan di banyak negara. Namun dalam banyak kasus, perlindungan yang ada
tidak dimaksudkan secara lansung untuk perlindungan karst, tetapi lebih ditekankan
untuk perlindungan sumberdaya hayati yang ada di atasnya. Kategori yang
digunakan sebagian besar adalah taman nasional. Hal ini dapat dimengerti mengingat
pengetahuan tentang perlindungan kawasan karst baru diketahui belakangan, jauh
setelah kesadaran tentang konservasi sumberdaya hayati. Kasus semacam ini juga
terjadi di Indonesia, seperti Taman Nasional Alas Purwo di Kabupaten Banyuwangi-
Jawa Timur. Beberpa kawasan karst yang ditetapkan sebagai taman nasional di
antaranya adalah Taman Nasional Bohol-Pilipina, Taman Nasional Gunung Mulu-
Malasya, Taman Nasional Kalk Alpen- Austria, Taman Nasional Mamooth Cave-
Amerika Serikat, Taman Nasional Chiquibul-Belize, dan Taman Nasional Agtelek-
Hungaria (Day, 2000; Urich dkk, 2001; http://whc.unesco.org/en)
Waluapun menggunakan kategori taman nasional, sebagian besar pengelolaan
di taman-taman nasioanal yang tersebut di atas saat ini juga dimaksudkan untuk
perlindungan bentang darat, seperti gua, ngarai karst, tinggalan budaya yang ada di
dalamnya. Katergori lain yang biasanya diterapakan untuk perlindungan karst adalah
perlindungan yang dimaksudkan khusus untuk perlindungan bentang darat. Contoh
untuk kateogri ini adalah Monumen Nasional Moon Cave (Belize), dan Museum
Waitomo (New Zeland).
Beberapa kawasan perlindungan tersebut, seperti Taman Nasional Gunung
Mulu (Malasya), Tanaman Nasional Halong Bay (Vietnam), Taman Nasional
Aggtelek (Hongaria-Slowakia), Taman Nasional Mamooth Cave (AS), Choranche
Caves (Prancis) bahkan telah ditetapkan sebagai warisan dunia (Gauchon dkk, 2006,
whc.unesco.org/en). Taman Nasional Gunung Mulu ditetapkan sebagai warisan duni
pada Tahun 2000. Kawasan ini mempunyai nilai kepentingan dalam hal keaneka-
ragaman hayati yang melimpah dan fenomena karst yang spektakuler. Justifikasi
yang digunakan adalah keterdapatan gua karst yang terkonsentrasi di Formasi
Melinau yang mempunyai kondisi geomorfologi dan struktural yang dapat digunakan
dalam memahami sejarah bumi. Gua-gua di Mulu sangat penting dalam hal
menampilkan kenamapakan klasik dari kondisi geomorfologi bawah tanah yang
terbentuk selama 1,5 juta tahun. Doline runtuhan dapat dijumpai di Gunungmulu.
Seminar Nasional dan PIT IGI XIV, Singaraja, 11-12 November 2011 623
Tabel 2. Kategori Kawasan Lindung di Indonesia yang Diatur dalam Kepres 32 Tahun 1990
Kategori Kawasan Lindung Macam Kawasan Kriteria
Lindung
Kawasan yang memberikan Kawasan Hutan Lindung a. Kawasan Hutan dengan faktor-faktor lereng lapangan, jenis tanah, curah hujan yang melebihi nilai skor 175,
perlindungan kawasan dan/atau;
bawahannya b. Kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40% atau lebih dan/atau
c. Kawasan Hutan yang mempunyai ketinggian diatas permukaan laut 2.000 meter atau lebih
Kawasan Bergambut Tanah bergambut dengan ketebalan 3 meter atau lebih yang terdapat dibagian hulu sungai dan rawa
Kawasan Resapan Air kawasan dengan curah hujan yang tinggi, struktur tanah meresapkan air dan bentuk geomorfologi yang mampu
meresapkan air hujan secara besar-besaran
Kawasan Perlindungan Sempadan Pantai Daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100
setempat meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat
Sempadan Sungai a. Sekurang-kurangnya 100 meter dari kiri kanan sungai besar dan 50 meter di kiri kanan anak sungai yang
berada diluar pemukiman.
b. Untuk sungai di kawasan pemukiman berupa sempadan sungai yang diperkirakan cukup untuk dibangun
jalan inspeksi antara 10 - 15 meter.
Kawasan Sekitar Bentuk dan kondisi fisik danau/waduk antara 50 - 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat
Danau/Waduk.
Kawasan Sekitar Mata Air sekurang-kurangnya dengan jarijari 200 meter di sekitar mata air
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Suaka Alam Kawasan suaka alam terdiri dari cagar alam, suaka margasatwa, hutan wisata, daerah perlindungan plasma
Cagar Budaya nutfah dan daerah pengungsian satwa
Kwasan Suaka Alam Laut Kawasan berupa perairan laut, perairan darat, wilayah pesisir, muara sungai, gugusan karang dan atol yang
dan perairan lainya mempunyai ciri khas berupa keragaman dan/atau keunikan ekosistem
Kawasan Pantan Berhutan Kawasan dengan jarak minimal 130 kali nilai ratarata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan
Bakau diukur dari garis air surut terendah kearah darat.
Taman Nasional, Taman Kawasan berhutan atau bervegetasi tetap yang memiliki tunbuhan dan satwa yang beragam, memiliki arsitektur
Hutan Raya dan Taman bentang alam yang baik dan memiliki akses yang baik untuk keperluan pariwisata.
Wisata Alam
Kawasan Cagar Budaya Tempat serta ruang disekitar bangunan bernilai budaya tinggi, situs purbakala dan kawasan dengan bentukan
dan Ilmu Pengetahuan geologi tertentu yang mempunyai manfaat tinggi untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
Kawasan Rawan Bencana Kawasan yang diidetifikasi sering dan berpotensi tinggi mengalami bencana alam seperti letusan gunung
Alam berapi, gempa bumi, dan tanah longsor.
Seminar Nasional dan PIT IGI XIV, Singaraja, 11-12 November 2011 624
Mengacu pada tujuan tersebut maka alternatif kateogri yang dapat ditetapkan adalah:
Kategori III. Konservasi fenomena alam (Monumen Alam), atau
Kategori V. Kawasan Perlindungan Bentang Darat.
Daftar Pustaka
Anonim, 1998, Concepts and Principles of Geoconservation, Park and Wildlife Service, Tasmania
Anonim, 2001, Report for 2001 Cave and Karst Protection Meeting, Mulu-Sarawak.
Anonim, 2002, Rencana Detil Tata Ruang Kawasan Karst Kabupaten Gunungkidul, Bappeda GK-Fak.
Geografi UGM, Yogyakarta
Day M., 1996, Conservation of Karst in Belize, Journal of Cave and Karst Studies 58(2):139-144.
Gauchon C., Ployon E., Delannoy J.J., Hacquard S., Hobleas F., Jaillety T., Dan Perrette V., 2006, The
Concepts Of Heritage And Heritage Resource Applied To Karsts: Protecting The Choranche
Caves (Vercors, France), Acta Carsologica, 35/2, 37–46.
Haryono, 2001, Konservasi Kawasan Karst, Seminar Pemberdayaan Sumberdaya Wilayah Kabupaten dan
Kota untuk Pengembangan Ekonomi Kerakyakatan dalam Memasuki Otonomi Daerah
dalam Rangka Dies Natalis Fakultas Geografi UGM, Fakultas Geografi, Yogykarta.
IUCN, 1994, Guidline for Protected Area Management Categories, CNPPA with the assitance of WCMC,
IUCN, gland, Switzerland and Cambride, UK
MacKinon J, Makinon K., Child G., Thorsel J., 1993, Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah
Tropika, Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Rosengren, N.J., dan Petersen, J.A., 1989, Heritage values and the geological and geomorphological
significance of the Australian Alpine Zone, dalam Good, R. (ed), The Scientific Significance
of The Australian Alps, 187-204.
Simanjutak T., 2002, Gunungsewu in Prehistoric Times, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Urich P., Day M.J., Lynagh F., 2001, Policy and Practice in Karst Landscape Protection: Bohon, the
Philippines, The Geographical Journal, 167(4), 305-323
WCPA, 1997, Guideline for Cave and Karst Protection, The World Conservation Union.
World Heritage Committee, Operational Guideline for The Implementation ot The World Heritage
Convention, UNESCO