Anda di halaman 1dari 33

Referat

STAGING CA COLORECTAL

Oleh:

Gresham Arceliusindi Mulya 04054821820083


Nadia Mutiara, S.Ked 04084821820007

Pembimbing:
dr. HM. Yusri, SpRad(K), MARS

DEPARTEMEN RADIOLOGI RSMH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan berkat
dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“Staging Ca Coloractal”. Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat mengikuti
ujian pada Kepaniteraan Klinik Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang.
Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. HM. Yusri,
SpRad(K), MARS selaku pembimbing dalam penulisan laporan kasus ini, serta
kepada semua pihak yang telah membantu hingga tulisan ini dapat diselesaikan.
Penyusun menyadari masih banyak kekurangan dalam laporan kasus ini. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan
demi perbaikan di masa yang akan datang. Mudah-mudahan tulisan ini dapat memberi
ilmu dan manfaat bagi yang membacanya.

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i


KATA PENGANTAR ............................................................................................... ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 3
BAB III KESIMPULAN ........................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 30

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Kanker kolorektal (colo-rectal carcinoma) atau disebut juga kanker usus besar
merupakan suatu tumor ganas yang ditemukan di colon atau rectum. Colon atau
rectum adalah bagian dari usus besar pada sistem pencernaan yang disebut juga
traktus gastrointestinal yang berfungsi sebagai penghasil energi bagi tubuh dan
membuang zat-zat yang tidak berguna.
Kanker kolorektal merupakan penyakit kanker yang menempati urutan ketiga
terbesar di dunia dan penyebab kematian keempat terbanyak di dunia yang
disebabkan karena kanker. Menurut International Agency for Research on Cancer
(IARC) (2013) dari evaluasi data-data didapatkan 1,4 juta kasus kanker kolorektal di
dunia. Sedangkan di Indonesia kolorektal merupakan urutan ke sepuluh setelah
kanker lain (leher rahim, payudara, kelenjar getah bening, kulit, nasofaring, ovarium,
dan tiroid). Di Indonesia, terjadi kenaikan kasus pasien dengan penyakit kanker
kolorektal walaupun belum terdapat angka yang pasti dari insiden kanker kolorektal.
Kanker kolorektal biasanya ditandai dengan adanya polip pada kolon yang
selanjutnya berubah menjadi kanker. Polip dan kanker pada stadium awal terkadang
tidak menunjukkan gejala, hal ini membuat penderita kanker kolorektal baru
menyadari setelah dilakukannya pemeriksaan untuk pengobatan dan didiagnosis. Pada
stadium lanjut kanker kolorektal dapat menyebar ke organ-organ tubuh lainnya.
Pemeriksaan dini sangatlah diperlukan.
Penanganan karsinoma kolorektal sangatlah rumit sehingga membutuhkan
perencanaan yang matang mulai dari persiapan preoperative sampai follow up
postoperative. Seorang ahli bedah membutuhkan data yang lengkap sebelum bisa
memutuskan metode penangannya, salah satu modalitas untuk mendapatkan data
tersebut adalah dengan imaging. Kunci utama keberhasilan penanganan karsinoma
kolorektal adalah penemuan karsinoma pada stadium dini, sehingga terapi dapat
dilaksanakan secara bedah kuratif. Peranan skrining sangat penting pada deteksi dini
sebuah karsinoma. Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa skrining yang
adekuat terbukti menurunkan angka kematian akibat karsinoma kolorektal, karena
dengan program skrining yang baik akan lebih banyak menemukan kasus dalam

1
stadium dini sehingga terapi dapat dengan pembedahan kuratif.
Pemeriksaan lanjut untuk mendeteksi adanya sel abnormal kanker kolorektal
dan mengetahui posisi sel kanker, antara lain: colonoscopy secara virtual, yaitu CT-
Scan untuk membangun model 3D dari usus besar. Double Contrast Barium Enema
(DCBE), yaitu sinar X pada usus menggunakan cairan berkapur yang dikenal sebagai
barium. Untuk mengetahui penyakit kanker lebih lanjut, dapat dilakukan pemeriksaan
endoscopy dengan colonoscopy setiap 10 tahun pada kanker kolorektal tersembunyi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kolon


Usus besar atau kolon berbentuk tabung muskular berongga dengan panjang
sekitar 1,5m yang terbentang dari caecum hingga canalis analis. Diameter kolon yaitu
sekitar 6,5cm, tetapi makin dekat anus diameternya semakin kecil. Kolon terdiri dari 6
bagian yaitu caecum, colon ascendens, colon transversum, colon descendens, colon
sigmoid dan rectum.

Gambar 1. Anatomi Kolorektal

Colon ascendens panjangnya sekitar 13 cm, dimulai dari caecum pada fossa
iliaca dextra sampai flexura coli dextra pada dinding dorsal abdomen sebelah kanan,
terletak di sebelah ventral ren dextra, hanya bagian ventral ditutup peritoneum
visceral. Jadi letak colon ascendens ini retroperitoneal, kadang kadang dinding
dorsalnya langsung melekat pada dinding dorsal abdomen yang ditempati muskulus
quadratus lumborum dan ren dextra.Arterialisasi colon ascendens dari cabang arteri
ileocolic dan arteri colic dextra yang berasal dari arteri mesentrica superior.
Colon transversum panjangnya sekitar 38 cm, berjalan dari flexura coli dextra
sampai flexura coli sinistra.Bagian kanan mempunyai hubungan dengan duodenum
dan pankreas di sebelah dorsal, sedangkan bagian kiri lebih bebas.Flexura coli sinistra

3
letaknya lebih tinggi daripada yang kanan yaitu pada polus cranialis ren sinistra, juga
lebih tajam sudutnya dan kurang mobile. Flexura coli dextra erat hubunganya dengan
facies visceralis hepar (lobus dextra bagian caudal) yang terletak di sebelah
ventralnya. Arterialisasi didapat dari cabang cabang arteri colica media. Arterialisasi
colon transversum didapat dari arteri colica media yang berasal dari arteri mesenterica
superior pada 2/3 proksimal, sedangkan 1/3 distal dari colon transversum mendapat
arterialisasi dari arteri colica sinistra yang berasal dari arteri mesenterica inferior.

Gambar 2. Gambaran Radiologi Kolon

Mesokolon transversum adalah duplikatur peritoneum yang memfiksasi colon


transversum sehingga letak alat ini intraperitoneal.Pangkal mesokolon transversa
disebut radix mesokolon transversa, yang berjalan dari flexura coli sinistra sampai
flexura coli dextra.Lapisan cranial mesokolon transversa ini melekat pada omentum
majus dan disebut ligamentum gastro (meso) colica, sedangkan lapisan caudal
melekat pada pankreas dan duodenum, didalamnya berisi pembuluh darah, limfa dan
syaraf.Karena panjang dari mesokolon transversum inilah yang menyebabkan letak
dari colon transversum sangat bervariasi, dan kadangkala mencapai pelvis.
Colon descendens panjangnya sekitar 25 cm, dimulai dari flexura coli sinistra
sampai fossa iliaca sinistra dimana dimulai colon sigmoideum.Terletak retroperitoneal
karena hanya dinding ventral saja yang diliputi peritoneum, terletak pada muskulus
quadratus lumborum dan erat hubungannya dengan ren sinistra.Arterialisasi didapat
dari cabang-cabang arteri colica sinistra dan cabang arteri sigmoid yang merupakan
cabang dari arteri mesenterica inferior.

4
Colon sigmoideum mempunyai mesosigmoideum sehingga letaknya intraperi
toneal, dan terletak didalam fossa iliaca sinistra.Radix mesosigmoid mempunyai
perlekatan yang variabel pada fossa iliaca sinistra.Colon sigmoid membentuk lipatan-
lipatan yang tergantung isinya didalam lumen, bila terisi penuh dapat memanjang dan
masuk ke dalam cavum pelvis melalui aditus pelvis, bila kosong lebih pendek dan
lipatannya ke arah ventral dan ke kanan dan akhirnya ke dorsal lagi. Colon sigmoid
melanjutkan diri kedalam rectum pada dinding mediodorsal pada aditus pelvis di
sebelah depan os sacrum. Arterialisasi didapat dari cabang- cabang arteri sigmoidae
dan arteri haemorrhoidalis superior cabang arteri mesenterica inferior. Aliran vena
yang terpenting adalah adanya anastomosis antara vena haemorrhoidalis superior
dengan vena haemorrhoidalis medius dan inferior, dari ketiga vena ini yang bermuara
kedalam vena porta melalui vena mesenterica inferior hanya vena haemorrhoidalis
superior, sedangkan yang lainmenuju vena iliaca interna. Jadi terdapat hubungan
antara vena parietal (vena iliaca interna) dan vena visceral (vena porta) yang penting
bila terjadi pembendungan pada aliran vena porta misalnya pada penyakit hepar
sehingga mengganggu aliran darah portal. Mesosigmoideum mempunyai radix yang
berbentuk huruf V dan ujungnya letaknya terbalik pada ureter kiri dan percabangan
arteri iliaca communis sinistra menjadi cabang-cabangnya, dan diantara kaki-kaki
huruf V ini terdapat reccessus intersigmoideus.

Gambar 3. Lapisan otot dari kolon

Lapisan otot longitudinal kolon membentuk tiga buah pita, yang disebut
tenia(tenia; taenia = pita) yang lebih pendek dari kolon itu sendiri sehingga kolon

5
berlipat-lipat dan berbentuk seperti sakulus(sakulus; saculus=saccus kecil;
saccus=kantong), yang disebut haustra(haustra; haustrum=bejana). Kolon transversum
dan kolon sigmoideum terletak intraperitoneal dan dilengkapi dengan mesenterium.
Rectum memiliki tiga kurva lateral serta kurva dorsoventral. Mukosa dubur
lebih halus dibandingkan dengan usus besar. Rectum memiliki 3 buah valvula yaitu
superior kiri, medial kanan dan inferior kiri. 2/3 bagian distal rectum terletak di
rongga pelvic dan terfiksir, sedangkan 1/3 bagian proksimal terletak dirongga
abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum reflectum
dimana bagian anterior lebih panjang dibanding bagian posterior. Saluran anal (anal
canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus
yang lebih proksimal, dikelilingi oleh spinkter ani (eksternal dan internal ) serta otot-
otot yang mengatur pasase isi rectum kedunia luar. Spinkter ani eksterna terdiri dari 3
sling : atas, medial dan depan.

2.2 Karsinoma Kolorektal


2.2.1 Definisi
Kanker kolorektal (colo-rectal carcinoma) atau disebut juga kanker usus besar
adalah kanker yang terjadi ketika sel-sel abnormal tumbuh pada lapisan kolon atau
rektum. Umumnya, kanker kolorektal jarang ditemukan sebelum usia 40 tahun dan
resiko terjadinya kanker kolorektal akan meningkat pada usia 50 tahun. Kanker
kolorektal biasanya berkembang perlahan-lahan selama 10 sampai 15 tahun. Gejala
adanya tumor pada kolon biasanya ditandai dengan adanya polip yang memiliki
resiko kanker. Sekitar 96% penyebab kanker kolorektal adalah adenocarcinomas
yang berkembang dari jaringan kelenjar.

6
Gambar 4. Penyebaran Kanker Kolorektal (National Cancer Institute)

Pada gambar terlihat penyebaran kanker di kolon atau rektum. Pada saat stage
0 atau normal tidak ditemukan adanya kanker yang tumbuh pada kolon atau rektum.
Kanker tumbuh di usus besar melalui lapisan dan menembus lapisan diding usus besar
atau rektum. Kanker yang telah menembus dinding juga dapat menembus darah atau
kelenjar getah bening (lymph node), yang merupakan saluran tipis. Pada umumnya,
sel-sel kanker pertama kali menyebar ke kelenjar getah bening di dekat sel kanker
tersebut, kelenjar getah bening memiliki struktur seperti kacang yang membantu
melawan infeksi. Sel-sel kanker itu dapat dibawa oleh pembuluh darah (blood vessel)
ke hati, paru-paru, rongga perut, atau ovarium. Proses dimana sel-sel kanker
menyebar ke organ lain melalui pembuluh darah disebut metastasis.

2.2.2 Etiologi
Terlepas dari faktor genetik yang diturunkan, faktor terpenting pada etiologi
pada kanker kolorektal ialah faktor lingkungan. Bukti epidemiologis menunjukkan
bahwa faktor tersebut adalah diet. Diet mempengaruhi bakteri flora usus besar
sewaktu transit di usus, serta mempengaruhi jumlah selulosa, kandungan asam amino
dan asam empedu pada usus. Saat ini dikenal suatu bakteri yakni nuclear
dehydrogenating clostridia (NDC), bakteri ini dapat bekerja pada asam empedu untuk
memproduksi karsinogen. Hal serupa yaitu tranformasi bakteri dari asam amino juga
menghasilkan karsinogen (atau ko-karsinogen). Dilain pihak, kandungan selulosa
yang tinggi yang dapat difermentasikan menyebabkan peningkatan kadar asam lemak

7
yang mudah berubah, sehingga bersifat protektif dalam pemenuhan nutrisi dan
membantu maturasi sel epitel. Dengan demikian, jenis diet yang berhubungan dengan
kanker kolorektal adalah tinggi lemak, tinggi protein dan rendah serat. Diet tinggi
lemak akan meningkatkan asam empedu, kemudian asam empedu yang tinggi di
dalam feses akan bereaksi dengan NDC. Diet tinggi protein menguntungkan
tranformasi asam amino oleh bakteri. Sedang diet rendah serat akan mengurangi asam
lemak yang mudah berubah dan transit intestinal menjadi lebih lama sehingga
memberi lebih banyak waktu bagi bakteri untuk beraksi terhadap kandungan feses
serta lebih banyak waktu bagi karsinogen untuk kontak dengan mukosa. Faktor-faktor
inilah yang diperhitungkan sebagai penyebab tingginya insidensi kanker kolorektal di
negara maju
Persentase letak karsinoma kolorektal:
 Sekum dan kolon asendens 10%
 Kolon transversum termasuk fleksura hepar dan lien 10%
 Kolon desendens 5%
 Rektosigmoid 75%

2.2.3 Epidemiologi
Sekitar 75% dari kanker colorectal terjadi pada orang yang tidak memiliki
faktor risiko tertentu. Sisanya sebesar 25% kasus terjadi pada orang dengan faktor-
faktor risiko yang umum, sejarah keluarga atau pernah menderita kanker colorectal
atau polip, terjadi sekitar 15-20% dari semua kasus. Faktor-faktor risiko penting
lainnya adalah kecenderungan genetik tertentu, seperti Hereditary Nonpolyposis
Colorectal Cancer (HNPCC; 4-7% dari semua kasus) dan Familial Adenomatosa
Polyposis (FAP, 1%) serta Inflammatory Bowel Disease (IBD; 1% dari semua kasus).
Kanker colorectal merupakan salah satu penyakit yang mematikan.
Berdasarkan laporan World Cancer Report WHO, diperkirakan 944.717 kasus
ditemukan di seluruh dunia pada tahun 2000. Insiden yang tinggi pada kasus kanker
colorectal ditemukan di Amerika Serikat, Kanada, Jepang, negara bagian Eropa, New
Zealand, Israel, dan Australia, sedangkan insiden yang rendah itu ditemukan di
Aljazair dan India. Sebagian besar kanker colorectal terjadi di negara-negara industri.
Insiden kanker colorectal mulai mengalami kenaikan di beberapa negara seperti di
Jepang, Cina (Shanghai) dan di beberapa negara Eropa Timur. Menurut American

8
Cancer Society pada tahun 2008 di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 148.810
orang didiagnosis menderita kanker colorectal dan 49.960 mengalami kematian
dengan CFR 33,57%.
Eropa, sebagai salah satu negara maju memiliki angka kesakitan kanker
colorectal yang tinggi. Pada tahun 2004, terdapat 2.886.800 kasus dan 1.711.000
kematian karena kanker dengan CFR 59,27%, kanker colorectal menduduki peringkat
kedua pada angka insiden dan mortalitas. Insidens kanker colorectal di Indonesia
cukup tinggi, demikian juga angka kematiannya. Pada tahun 2002 kanker colorectal
menduduki peringkat kedua pada kasus kanker yang terdapat pada pria, sedangkan
pada wanita kanker colorectal menduduki peringkat ketiga dari semua kasus kanker.
Pada kebanyakan kasus kanker, terdapat variasi geografik pada insidens yang
ditemukan, yang mencerminkan perbedaan sosial ekonomi dan kepadatan penduduk,
terutama antara negara maju dan berkembang.

2.2.4 Patologi
Secara makroskopis terdapat tiga tipe karsinoma kolorektal. Tipe polipoid atau
vegetatif tumbuh menonjol ke dalam lumen usus, berbentuk seperti bunga kol dan
ditemukan terutama di sekum dan kolon asendens. Tipe skirus mengakibatkan
penyempitan sehingga terjadi stenosis dan gejala obstruksi, terutama ditemukan di
kolon desendens, sigmoid, dan rektum. Bentuk ulseratif terjadi karena nekrosis di
bagian sentral terdapat di rektum. Pada tahap lanjut, sebagian besar karsinoma kolon
mengalami lserasi menjadi tukak maligna.

Gambar 5. Diagram of adenoma–carcinoma sequence shows development of colon

9
cancer and correspond- ing primary tumor (T) stage.

2.2.5 Faktor Resiko


 Umur lebih dari 50 tahun
 Ras (Afrika, Amerika, Hisponic)
 Diet (gizi buruk, tinggi lemak, kurang serat)
 Polip kolon
 Familial poliposis
 Mempunyai riwayat karsinoma kolorektal
 Riwayat keluarga karsinoma kolorektal
 Karsinoma ovarii
 Karsinoma uterus
 Karsinoma mammae
 Inflamatory bowel disease
 Kolitis ulseratif
 Aktivitas fisik kurang
 Obesitas
 Overweight
 Alkohol
 Merokok

2.2.6 Gejala dan Tanda


Tanda dan gejala karsinoma kolorektal yang secara umum dapat ditemukan
adalah sebagai berikut :
- Perubahan pola BAB
- Diare
- Obstipasi
- Perasaan BAB tidak selesai
- Darah dalam feses (merah cerah atau hitam)
- Perdarahan gastrointestinal
- Perut sakit
- Penuh pada perut
- Kram perut

10
- Berat badan nenurun
- Mudah lelah
- Muntah
- Anemia
- Kentut
- Anoreksia
Sedangkan, berikut adalah tanda dan gejala karsinoma kolorektal berdasarkan
letaknya :
Kolon kanan :
- Aspek klinis : colitis
- Nyeri : karena penyusupan
- Defekasi : diare atau diare berkala
- Obstruksi : jarang
- Darah pada feses : samar
- Feses : normal atau diare
- Dispepsi : sering
- Memburuknya keadaan umum : hampir selalu
- Anemia : hampir selalu
Kolon kiri :
- Aspek klinis : obstruksi
- Nyeri : karena obstruksi
- Defekasi : konstipasi progresif
- Obstruksi : hampir selalu
- Darah pada feses : samar atau makroskopik
- Feses : normal
- Dispepsi : jarang
- Memburuknya keadaan umum : lambat
- Anemia : lambat
Rektum :
- Aspek klinis : proktitis
- Nyeri : tenesmi
- Defekasi : tenesmi terus-menerus
- Obstruksi : tidak jarang

11
- Darah pada feses : makroskopik
- Feses : perubahan bentuk
- Dispepsi : jarang
- Memburuknya keadaan umum : lambat
- Anemia : lambat

2.2.7 Stadium Karsinoma Kolon


Menurut DUKES (Astler-Coller Modification), klasifikasi karsinoma kolon
dibagi menjadi :
Stage A: confined to mucosa
Stage B: through muscularis propria
Stage C: local lymph node involvement
Stage D: distant metastases

TNM staging
Primary tumor staging (T)
Tx: primary tumor cannot be assessed
T0: no evidence of primary tumor
Tis: carcinoma in situ
T1: into (but not through) submucosa
T2: into (but not through) muscularis propria
T3: through muscularis propria into subserosa, or into non-peritonealised
pericolic/perirectal tissues
T4a: penetration of the visceral peritoneal layer
T4b: penetration or adhesion to adjacent organs

Nodal status (N)


Nx: nodes cannot be assessed
N0: no evidence of nodal involvement
N1a: involvement of one regional nodes
N1b: involvement of 2-3 regional nodes
N1c: deposits involving serosa or non-peritonealised pericolic/perirectal tissues
without regional nodal metastasis
N2a: involvement of 4-6 nodes
12
N2b: involvement of ≥7 nodes

Metastases (M)
Mx: presence of metastases cannot be assessed
M0: no evidence of metastases
M1a: distant metastases confined to one organ (e.g. liver, lung, ovary, non-regional
node)
M1b: distant metastases confined to more than one organ or to the peritoneum

13
Tabel 1. Staging Kanker Kolorektal

Pertumbuhan dan Penyebaran


Kebanyakan penderita dengan metastase karsinoma kolorektal juga
mempunyai metastase ke hepar. Melalui vena mesentarial, vena kolika atau vena
mesenterika inferior dan vena porta sel-sel tumor akhirnya sampai ke hepar. Aliran
limfe berjalan melalui saluran limfe di mesenterium, yang berada di sepanjang arteri
dan vena. Di dalam mesenterium kebanyakan metastase kelenjar limfe terdapat di
sepanjang aorta. Penyebaran dapat juga terjadi di dalam rongga peritoneum, karena
sel-sel tumor, yang tumbuh menembus sampai di serosa, terlepas dan melekat pada
peritoneum dan bertumbuh lanjut.

2.2.8 Diagnosis Karsinoma Kolorektal


Pemeriksaan karsinoma kolorektal dapat dibagi menjadi 2, yaitu pemeriksaan
klinik dan pemeriksaan penunjang.
1. Pemeriksaan Klinik
Anamnesis
- Keluhan utama dan keluhan-keluhan penyerta, serta lamanya keluhan tersebut
timbul
a. Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah adanya perubahan pola buang air
besar (change of bowel habits), bisa diare bisa juga obstipasi. Semakin distal
letak tumor semakin jelas gejala yang ditimbulkan karena semakin ke distal
feses semakin keras dan sulit dikeluarkan akibat lumen yang menyempit,
bahkan bisa disertai nyeri dan perdarahan.

14
b. Perdarahan merupakan gejala kedua yang sering dikeluhkan pada karsinoma
kolorektal, bisa jelas atau samar. Warna perdarahan sangat bervariasi, merah
terang, purple, mahogany, dan kadang kala merah kehitaman. Makin ke distal
letak tumor warna merah makin pudar. Perdarahan sering disertai dengan
lendir, kombiasi keduanya harus dicurigai adanya proses patologis pada
kolorektal.
c. Nyeri anorektal, sering muncul pada hemorrhoid, fisura ani, abses perianal.
Nyeri pada karsinoma anorektal terjadi bila lesi terletak di distal dan sudah
terjadi sphincteric invasion, sehingga menimbulkan sensitisasi pada anal
canal dan menimbulkan gejala urgency to defecate. Nyeri abdominal sering
kali disebabkan adanya obstruksi parsial dari kolon, sifat nyerinya biasanya
kolik diserta distensi, mual dan muntah.
d. Gejala lain yang kadang dikeluhkan pasien adalah adanya massa yang teraba
pada fossa iliaka deksta dan secara perlahan makin lama makin membesar
e. Penurunan berat badan sering terjadi pada fase lanjut, dan 5% kasus sudah
metastase jauh ke hepar.
- Riwayat penyakit atau progresifitas penyakit
- Pengobatan yang telah diberikan dan bagaimana hasilnya
- Faktor etiologi dan faktor resiko

Pemeriksaan fisik
Tumor kecil pada tahap dini tidak teraba pada palpasi perut, bila teraba
menunjukkan keadaan yang sudah lanjut. Massa di dalam sigmoid lebih jelas teraba
daripada massa di bagian lain kolon. Pemeriksaan colok dubur (Rectal Toucher)
merupakan keharusan dan dapat disusul dengan pemeriksaan rektosigmoidoskopi.
Foto kolon dengan barium kontras merupakan kelengkapan dalam menegakkan
diagnosis. Pemeriksaan colok dubur dilakukan pada setiap penderita dengan gejala
anorektal dengan tujuan untuk menentukan keutuhan spinkter ani, ukuran dan derajat
fiksasi tumor pada rektum 1/3 tengah dan distal. Pada pemeriksaan colok dubur yang
harus dinilai adalah pertama, keadaan tumor: ekstensi lesi pada dinding rektum serta
letak bagian terendah terhadap cincin anorektal. Kedua, mobilitas tumor untuk
menegtahui prospek terapi pembedahan. Ketiga, ekstensi penjalaran yang diukur dari
ukuran tumor dan karakteristik pertumbuhan primer, mobilitas atau fiksasi lesi.

15
Ada 2 gambaran khas pada pemeriksaan colok dubur, yaitu indurasi dan adanya
suatu penonjolan tepi yang dapat berupa:
 Suatu pertumbuhan awal yang teraba sebagai indurasi seperti cakram yaitu suatu
plateau keil dengan permukaan yang licin dan berbatas tegas.
 Suatu pertumbuhan tonjolan yang rapuh, biasanya lebih lunak tetapi umumnya
mempunyai daerah indurasi dan ulserasi.
 Suatu bentuk yang khas dari ulkus maligna dengan tepi noduler yang menonjol
dengan suatu kubah yang dalam.
 Suatu bentuk karsinoma anular yang teraba sebagai pertumbuhan bentuk cincin.

2. Pemeriksaan Penunjang
Prosedur deteksi dini pada karsinoma kolorektal yang direkomendasikan oleh
American Cancer Society (ACS) diantaranya adalah : annual rectal digital
examination (dimulai sejak usia 40 tahun), annual fecal hemoccult screening (dimulai
sejak usia 50 tahun), dan sigmoidoskopi setiap 3-5 tahun (dimulai sejak usia 50 tahun
pada penderita yang sudah menunjukkan gejala, tetapi tanpa riwayat faktor resiko
tinggi terhadap karsinoma kolorektal). Oleh karena itu deteksi dini pada penderita
yang memiliki riwayat faktor resiko sebaiknya dilakukan lebih sering dan dilakukan
pada usia yang lebih awal, tergantung pada perkembangan dari faktor resiko tersebut.
Sangat jelas bahwa metode deteksi dini lebih baik digunakan hanya pada 38% kasus
karsinoma kolorektal yang terlokalisir pada saat diagnosis ditetapkan.
Diagnosis karsinoma kolorektal tergantung pada jenis metodenya. Antara lain :
 Barium enema
Barium enema merupakan suspensi barium yang di masukkan ke dalam usus
sebagai bahan kontras untuk pemeriksaan radiologi saluran pencernaan khususnya
usus bagian bawah (usus besar). Dapat berupa pemeriksaan kontras ganda (double
contrast barium enema/DCBE). Antusiasme terhadap penggunaan DCBE dalam
kolonoskopi telah mengalami penurunan beberapa tahun terakhir, meskipun biaya
penggunaannya lebih murah. Adapun alasan dari penurunan penggunaan bahan ini
sebagai alat pendiagnosis yakni karena kurangnya sensitifitas dari tes tersebut dalam
mendeteksi polyp dengan ukuran kurang dari 1 cm serta dalam mendeteksi polyp
yang terletak pada satu lumen yang sulit untuk di deteksi misalnya : sigmoid, recto
sigmoid, hepar, dan cekungan pada limpa.

16
Gambaran karsinoma kolorektal dengan barium enema dapat berupa, radiolucent
filling defect, apple-core lesion, missing haustral folds dan sebagainya, seperti pada
gambar di bawah ini

B C
Gambar 6. Double Contrast Barium Enema (DCBE)

Meskipun barium enema memiliki keterbatasan namun ketika kolonoskopi tidak


memungkinkan untuk dilakukan, maka DCBE dapat menjadi alternatif bila di
kombinasikan dengan sigmoidoskopi fleksibel kecuali pada keluarga dengan riwayat
polyp, riwayat kanker kolon serta serta riwayat penyakit radang usus besar
(inflammatory bowel disease), oleh karena pada keadaan-keadaan tersebut dibutuhkan
perhatian secara intensif berkaitan dengan mukosa kolon serta tindakan biopsi atau
pengangkatan polyp yang meningkat.

 Kolonoskopi
Kolonoskopi merupakan pemeriksaan endoskopi kolon, baik secara
transabdominal selama laparatomi atau transanal menggunakan endoskopi serat fiber.
Kolonoskopi tetap menjadi gold standar dalam memberikan gambaran pada biopsi
dan pengangkatan polyp kolon. Pengangkatan dari semua polyp dengan menggunakan
kolonoskopi telah banyak dilakukan untuk mengurangi resiko kanker kolon sekitar 76
hingga 90%. Pada tahun 1994, lebih dari 2.000.000 tindakan kolonoskopi dilakukan

17
di US dan lebih dari 650.000 diantaranya menjalani poypectomy (eksisi polip).

A B
Gambar 7. Kolonoskopi polip dan karsinoma kolon

Ada\pun indikasi dari kolonoskopi antara lain : positif FOBT (fecal occult blood
testing), polyp adenomatous pada sigmoidoskopi fleksibel atau pada kontras barium
enema, anemia defisiensi besi yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya pada pria atau
post menopause pada wanita, perdarahan rektum yang tidak tampak keluar dari anus
atau melena yang tidak tampak keluar dari traktus gastrointestinal bagian atas,
gambaran colotis ulseratif kronik pada fleksibel sigmoidoskopi yang meluas, barium
enema atau sigmoidoskopi fleksibel yang menunjukkan kanker kolon non obstruksi,
kanker kolorektal atau polyp yang besar, diare yang bermakna secara klinis namun
tidak diketahui secara jelas penyebabnya, identifikasi intraoperatif terhadap tempat
lesi yang tidak dapat dideteksi dengan inspeksi luar saja maupun palpasi pada saat
pembedahan.

 Sigmoidoskopi fleksibel
Sigmoidoskopi merupakan pemeriksaan langsung kedalam kolon sigmoid.
Sigmoidoskopi fleksibel dapat mencapai setinggi kolon descenden dan dapat
dilakukan oleh seorang dokter umum yang terlatih.Sigmoidoskopi telah terbukti
mengurangi angka insidensi dan angka kematian dari kanker kolon secara langsung
dengan deteksi dini. Bagaimanapun juga sigmoidoskopi fleksibel bukanlah metode
yang adekuat dalam menyaring kanker kolon yang diturunkan dan merupakan 2/3 dari
lesi yang tumbuh pada cekungan limpa bagian proksimal.
Intepretasi hasil biopsi dapat menentukan apakah jaringan normal, pre-
karsinoma, atau jaringan karsinoma. ACS merekomendasikan untuk dilakukan
kolonoskopi apabila ditemukan jaringan adenoma pada pemeriksaan FS. Sedangkan
hasil yang negatif pada pemeriksaan FS, dilakukan pemeriksaan ulang setelah 5

18
tahun. Sigmoidoskopi fleksibel yang dilakukan tanpa pemberian obat penenang
biasanya dilakukan di tempat praktek dokter umum. Sigmoidoskopi fleksibel dapat
mendeteksi sekitar 65%-75% polyp dan 40%-65% kanker kolorektal.

 Tes immunologi CEA (carcino embryonic antigen)


CEA merupakan petanda tumor (tumor marker). Petanda tumor sendiri adalah
molekul protein berupa antigen, enzim, hormon, protein, dsb yang dalam keadaan
normal tidak atau hanya sedikit sekali diproduksi oleh sel tubuh. CEA merupakan
petanda tumor pada kanker mamma dan kanker kolorektal. Penyaringan pasien kanker
kolorektal dengan menggunakan tes CEA, tidak direkombinasikan oleh karena CEA
umumnya muncul setelah tumor membesar dan telah menyebar. CEA tidak spesifik
untuk kanker kolon dan CEA dapat muncul pada perokok meski tidak menderita
kanker.

 CT Colonography
CT Colonography (CTC) yang juga populer dengan istilah “Virtual
Colonography” merupakan pengembangan dari teknologi multiple helical (multi
slice) CT Scan yang dapat menghasilkan gambaran interior kolon dalam dua atau tiga
dimensi. CTC memiliki radiasi exposure yang rendah dan tidak invasif, tapi tidak bisa
melakukan biopsi dan polipektomi.
Persiapan pemeriksaan CTC hampir sama dengan kolonoskopi yaitu
membersihkan usus besar dengan bahan laxan, ditambah memasukkan udara ke dalam
kolon melalui kateter rektal. Pemeriksaan dilakukan pada posisi supinasi dan pronasi
serta tidak membutuhkan sedasi. Penelitian meta analisis mengatakan bahwa CTC
memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi untuk mendeteksi polip ukuran > 10
mm, yaitu 88% dan 95%. Penelitian lainnya CTC dengan 4-detector-row scanners
menghasilkan sensitifitas 82% - 100% dan spesifisitas 90% - 98% untuk mendeteksi
polip ukuran > 10 mm. CTC juga memiliki resiko terjadinya perforasi, dan
dilaporkan hanya 1/22.000 pemeriksaan.

19
A

B
Gambar 8. Gambaran CT/Colonography

 Ultrasonografi
Ultrasonografi merupakan modalitas imaging dengan efek samping dan radiasi
yang minimal, sering digunakan untuk mendeteksi adanya proses metastase di hepar.
Pada suatu penelitian menggunakan USG dengan kondisi kolon distensi oleh air,
sensitivitas dan spesifisitasnya dalam mendiagnosis suatu karsinoma cukup tinggi
yaitu 94% dan 100%. Sensitivitas dan spesifisitas untuk mendiagnosis polip yang > 7
mm sebesar 91% dan 100%.
Dengan USG endoluminal transrektal dapat menentukan tingkat infiltrasi
perirektal tumor primer sebesar 81%-96%. Akurasi menetapkan adanya metastase
kelenjar getah bening perirektal 60%-83%. Namun USG merupakan alat diagnostik
yang operator ependent.

20
Gambar 9. Gambaran massa hipoekoik dengan bagian tengah yang ekogenik
pada Ultrasonografi

 COMPUTED TOMOGRAPHY SCAN (CT SCAN)


CT Scan sering menjadi andalan untuk mendeteksi kelainan intra abdominal yang
minimally invasive. Dengan menggunankan kontras intravena akan memperjelas
gambaran patologis tumor dan dapat mendeteksi proses metastase ke hepar, karena
kontras tersebut akan memperjelas visualisasi parenkim hepar.

Gambar 10. CT Scan Tumor dan Proses Metastase Hepar

CT Scan dan MRI dapat memperlihatkan invasi ekstra rektal dan invasi ke organ
sekitar rektum, tetapi tidak bisa membedakan lapisan-lapisan usus, sedangkan untuk
mendignoasis metastase ke kelenjar getah bening akurasinya tidak setinggi
ultrasonografi. Akurasi pembagian stadium dengan CT Scan adalah 80%, untuk
menilai metastase ke kelenjar getah bening akurasinya 65%, spesivisitas pemeriksaan
pelvis 90%, dan sensitifitasnya adalah 40%.

21
 PET/CT SCAN
Penerapan positron emission tomography (PET) pada karsinoma kolorektal mulai
diperkenalkan sejak tahun 1982 bersamaan dengan ditemukannya bahan tracer berupa
glucose analog 2-[18F] fluoro-2-deoxy-D-glucose (FDG). FDG terakumulasi lebih
banyak pada sel-sel malignant dan akan tertangkap oleh imaging. CT Scan
memberikan informasi tentang anatomi-morfologi, sedangkan PET dapat memberikan
informasi tentang fungsi pada karsinoma kolorektal. Sehingga gabungan PET/CT
Scan dapat memberikan informasi tentang morfologi dan fungsi untuk mendeteksi
sekaligus staging karsinoma kolorektal.
Beberapa penelitian mengatakan bahwa PET dapat mendeteksi karsinoma
kolorektal, baik primer maupun recurrent. Vitola et al melaporkan bahwa pada pasien
yang diduga recurrent pada liver, PET memiliki sensitifitas 90% dengan akurasi
93%. Ito et al, melaporkan bahwa untuk mendeteksi recurrent pada pelvic PET
memiliki sensistifitas 84% dan spesifisitas 94%.

A B
Gambar 11. Whole body PET/CT Scan

Haibach et al, dalam penelitiannya terhadap 47 pasien membandingkan antara


PET/CT, CT diikuti PET (CT+PET), dan CT saja yang digunakan untuk menilai
TNM karsinoma kolorektal. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa PET/CT secara
signifikan lebih akurat (74%) dibandingkan dengan CT+PET maupun CT saja (64%
dan 52%).11

22
Gambar 12. Perbedaan CT Scan vs PET/CT Scan
Gambaran massa jaringan lunak pada lumen colon ascenden, sedangkan pada
PET terlihat peningkatan metabolisme glukosa patologis jaringan lunak pada
lumen colon ascenden

 MAGNETIC RESONANCE IMAGING (MRI)


MRI merupakan pengembangan dari CT Scan, dapat menggambarkan jaringan
lunak lapis demi lapis di sekitar tumor dengan menggunakan kontras, dapat
melakukan multiplanar imaging tanpa menggerakkan pasiennya dengan tujuan untuk
mendapatkan gambaran tumor yang tepat termasuk 5 lapis jaringan lunak di
sekitarnya. Dengan kelebihan tersebut MRI dapat digunakan untuk menentukan T
staging preoperative dengan tepat. Beberapa penelitian (Urban, et al) dengan
menggunakan kontras gadolinium intravena dapat menentukan infiltasi sampai ke
spinkter ani dengan sensitivitas 100% dan spesifisitas 98%.

Gambar 13. Potongan Aksial dan Koronal MRI

MRI juga dapat membedakan antara kelenjar getah bening yang benign dan
malignan dengan menggunakan maximum short axis, sampai diameter 10 mm dengan
tingkat akurasi 64%. Metastase karsinoma kolorektal ke hepar yang mencapai 40%,

23
juga dapat dideteksi dengan baik oleh MRI yang menunjukkan gambaran hiperintens
(T2) dan hipointens (T1).

Gambar 14. Proses metastase ke hepar

Penulis lain mengatakan bahwa MRI dapat memprediksi surgical circumferential


resection margins dengan spesifisitas 92%. Teknik ini dapat mengevaluasi batas
radikalitas reseksi tumor, sehingga dapat memberikan peringatan pada tim bedah akan
keberhasilan pembedahan dan menentukan langkah penanganan selanjutnya.

Diagnosis karsinoma kolorektal ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


fisik, colok dubur, dan rektosigmoidoskopi atau foto kolon dengan kontras ganda.
Pemeriksaan tambahan ditujukan pada jalan kemih untuk kemungkinan tekanan ureter
kiri, atau infiltrasi ke vesica urinaria, serta hati dan paru untuk metastase.

Diagnosis banding
Beberapa kelainan di rongga perut yang bergejala sama atau mirip dengan
karsinoma kolorektal adalah ulkus peptik, neoplasma lambung, kolesistitis, abses
hepar, abses appendiks, massa periappendikuler, amuboma, divertikulitis, kolitis
ulserosa, dan polip rektum.

2.2.9 Penataksanaan
1. Terapi Bedah
Pada karsinoma rektum, teknik pembedahan yang dipilih tergantung dari letaknya,
khususnya jarak batas bawah karsinoma dan anus. Sedapat mungkin anus dengan
sfingter eksterna dan interna akan dipertahankan untuk menghindari anus
preternaturalis. Bedah kuratif dilakukan bila tidak ditemukan gejala penyebaran lokal
maupun jauh. Pada tumor sekum atau kolon asendens dilakukan hemikolektomi

24
kanan, kemudian anastomosis ujung ke ujung. Pada tumor di fleksura hepatika
dilakukan juga hemikolektomi. Pada tumor kolon transversum dilakukan reseksi
kolon transversum kemudian anastomosis ujung ke ujung, sedangkan tumor kolon
desendens dilakukan hemikolektomi kiri. Pada tumor sigmoid dilakukan reseksi
sigmoid dan pada tumor rektum sepertiga proksimal dilakukan reseksi anterior. Pada
tumor rektum sepertiga tengah dilakukan reseksi dengan mempertahankan sfingter
anus, sedangkan pada tumor sepertiga distal dilakukan amputasi rektum melalui
reseksi abdominoperineal Quenu-Miles. Pada operasi ini, isi anus turut dikeluarkan.
Tumor yang teraba pada colok dubur umumnya dianggap terlalu rendah untuk
dilakukan preservasi sfingter anus. Hanya pada tumor dini eksisi lokal dengan
mempertahankan anus dapat dipertanggungjawabkan. Pada pembedahan
abdominoperineal menurut Quenu-Miles, rektum dan sigmoid dengan mesosigmoid
dilepaskan, termasuk kelenjar limfe pararektum dan retroperineal. Kemudian melalui
insisi perineal anus dieksisi dan dikeluarkan seluruhnya dengan rektum melalui
abdomen. Reseksi anterior rendah pada rektum dilakukan melalui laparotomi dengan
alat stapler untuk membuat anastomosis kolorektal atau koloanal rendah. Terapi
bedah berdasarkan stagenya, dapat disimpulkan sebagai berikut :
Stage 0 :
a. Eksisi lokal atau polypectomy simple dengan pembersihan hingga ke garis tepi.
b. Reseksi lokal pada lesi yang luas yang tidak dapat dilakukan dengan eksisi lokal.
Stage I :
Pembedahan dengan reseksi luas serta anastomosis
Stage II :
1. Pembedahan reseksi luas serta anastomosis
2. Pembedahan lanjutan.
Stage III :
Pembedahan reseksi luas serta anastomosis, terutama pada pasien yang bukan
kandidat dari clinical trials, post operasi kemoterapi dengan fluouracil (5-
FU)/leucovorin selama 6 bulan.
Stage IV :
1. Bedah reseksi/anastomosis atau pembuatan jalan pintas pada obstruksi atau
perdarahan pada lesi primer pada kasus tertentu.
2. Bedah reseksi pada metastase yang masih terisolasi (hati, paru, ovarium)
3. Kemoterapi

25
4. Evaluasi obat baru pada pemeriksaan klinik dan terapi biologi
5. Terapi radiasi pada tumor primer dengan perdarahan ringan, obstruksi atau nyeri.
Terapi radiasi ringan dapat juga ditujukan pada metastase lainnya dengan indikasi
yang sama.

2. Radioterapi karsinoma kolorektal


Pengertian
Adalah pelayanan radioterapi untuk karsinoma kolorektal menggunakan radiasi
pengion (Co.60), dan merupakan terapi komplemen untuk kasus-kasus yang masih
pada tingkat operable, dan merupakan pilihan utama untuk kasus-kasus inoperable
sebagai terapi paliatif untuk menjaga kualitas hidup pasien.
Tujuan
 Sebagai terapi komplemen terhadap modalitas terapi bedah pada kasus
stadium dini
 Paliatif untuk kasus stadium lanjut
 Indikasi
 Karsinoma kolorektal stadium dini pasca bedah
 Karsinoma kolorektal stadium lanjut (inoperable)
 Kontraindikasi
 Keadaan pasien buruk

Tata Laksana Teknis Radioterapi Pada Karsinoma Kolorektal


Perencanaan radioterapi pada karsinoma koorektal dilakukan dalam beberapa tahapan,
yaitu :
 Pembuatan foto simulator
 Perencanaan dosis penyinaran
 CT-Scan dosimetri (pelvis)
 Pembuatan kurva isodosis

Karsinoma kolon :
 Radioterapi pada karsinoma kolon tidak dilakukan pasca bedah (hemicolectomy)
untuk kasus-kasus yang masih operabel
 Untuk kelompok ini hanya diberikan sitostatika tunggal 5-FU secara serial.

26
Dimulai dengan loading dose selama 4 hari berturut-turut sebanyak 500 mg / i.v.
kemudian dilanjutkan dengan 500 mg / i.v. pada hari ke 29, selanjutnya diberikan
500 mg / i.v. setiap minggu.
 Dilakukan evaluasi kadar CEA setiap 3 bulan
1. Stadium II (T3-4 N0 M0)
Dilakukan radioterapi eksternal dengan dosis total 50 Gy. Dosis fraksinasi 2 Gy, 5
kali dalam 1 minggu, dengan arah penyinaran depan – belakang whole pelvis atau
multi-field disesuaikan dengan distribusi dosis pada perhitungan menggunakan TPS.
Dan diberikan kemoterapi 5-FU secara concurrent.
2. Stadium III (T1- 4 N1 M0)
a. Stadium T1-2 N1 M0
Dilakukan radioterapi eksternal dengan dosis total 50-60 Gy. Dosis fraksinasi 2
Gy, 5 kali dalam 1 minggu, dengan penentuan arah penyinaran depan - belakang
whole pelvis atau multi-field disesuaikan dengan distribusi dosis pada perhitungan
dengan menggunakan TPS. Dan diberikan kemoterapi 5 -FU secara concurrent.
b. Stadium T3-4 N1 M0
Dilakukan radioterapi eksternal dengan dosis total 50-60 Gy. Dosis fraksinasi 2
Gy, 5 kali dalam 1 minggu, dengan penentuan arah penyinaran sama dengan stadium
T1-2 N1 M0. Diberikan booster lapangan kecil (tumor bed) dengan dosis 10 Gy dan
dosis fraksinasi 2 Gy. Diberikan juga kemoterapi (5-FU) secara concurrent.
3. Stadium IV (T1-4 N1,2,4 M0-1)
a. Stadium T1-4 N4 M0
Dilakukan radioterapi dengan metode dan dosis sama dengan stadium T3-4 N1
M0 serta dikombinasikan dengan kemoterapi (5-FU) secara concurrent.
b. Stadium T1-4 N1,2,4 M1
Tidak diberikan radioterapi, hanya dilakukan kemoterapi.

Karsinoma Rektum
Radioterapi pada karsinoma rektum diberikan untuk tujuan kuratif maupun paliatif.
Radioterapi kuratif dilakukan pra bedah maupun pasca bedah.
 Radioterapi kuratif pra-bedah diberikan dengan dosis total 25-30 Gy, dosis
fraksinasi 2,5-3,5 cGy dan diberikan 5 kali dalam 1 minggu dengan arah sinar
depan-belakang whole-pelvis atau 3 lapangan (1 lapangan langsung, 2 lapangan

27
oblique menggunakan wedge filter).
 Radioterapi kuratif pasca operasi merupakan lanjutan radioterapi pra-bedah
dengan dosis total 40-50 Gy, dan dosis fraksinasi 2-2,5 Gy diberikan 5 kali dalam
1 minggu.
 Radioterapi paliatif diberikan dengan dosis total 50-60 Gy, dosis fraksinasi 2 Gy
dilakukan 5 kali dalam 1 minggu dengan arah sinar depan-belakang (DB), whole
pelvis.

2.2.10 Prognosis
Prognosis dari karsinoma kolorektal tergantung dari stadium saat diagnosis
karsinoma kolorektal ditegakkan. Berikut merupakan pembagian prognosis dari
karsinoma kolorektal berdasarkan klasifikasi dari Duke’s :

Klasifikasi DUKE’S Tingkat invasi Keterlibatan Limfonodi Prognosis


 Duke’s A Terbatas pada mukosa Tidak ada Angka harapan hidup 5 tahun >90%
 Duke’s B1 Sampai stratum muscularis propia Tidak didapatkan invasi limfonodi
Angka harapan hidup 5 tahun 70-85%
 Duke’s B2 Menembus stratum muscularis propia Tidak didapatkan invasi
limfonodi Angka harapan hidup 5 tahun 55-65%
 Duke’s C1 Sampai stratum muscularis propia Terdapat invasi pada limfonodi
terdekat Angka harapan hidup 5 tahun 45-55%
 Duke’s C2 Menembus stratum muscularis propia Terdapat invasi pada limfonodi
jauh Angka harapan hidup 5 tahun 20-30%
 Duke’s D Metastase jauh Tidak dapat dipakai Angka harapan hidup 5 tahun <1>

28
BAB III
KESIMPULAN

Kanker kolorektal (colo-rectal carcinoma) atau disebut juga kanker usus besar
adalah kanker yang terjadi ketika sel-sel abnormal tumbuh pada lapisan kolon atau
rektum. Umumnya, kanker kolorektal jarang ditemukan sebelum usia 40 tahun dan
resiko terjadinya kanker kolorektal akan meningkat pada usia 50 tahun. Kanker
kolorektal biasanya berkembang perlahan-lahan selama 10 sampai 15 tahun. Gejala
adanya tumor pada kolon biasanya ditandai dengan adanya polip yang memiliki
resiko kanker. Sekitar 96% penyebab kanker kolorektal adalah adenocarcinomas
yang berkembang dari jaringan kelenjar.
Sekitar 75% dari kanker colorectal terjadi pada orang yang tidak memiliki
faktor risiko tertentu. Sisanya sebesar 25% kasus terjadi pada orang dengan faktor-
faktor risiko yang umum, sejarah keluarga atau pernah menderita kanker colorectal
atau polip, terjadi sekitar 15-20% dari semua kasus. Faktor-faktor risiko penting
lainnya adalah kecenderungan genetik tertentu, seperti Hereditary Nonpolyposis
Colorectal Cancer (HNPCC; 4-7% dari semua kasus) dan Familial Adenomatosa
Polyposis (FAP, 1%) serta Inflammatory Bowel Disease (IBD; 1% dari semua kasus).
Diagnosis karsinoma kolorektal dapat dilakukan dengan berbagai cara,
terutama dilakukan dengan anamnesis dengan gejala-gejala khas sistem
gastrointestinal, pemeriksaan fisik dengan rectal toucher, serta dengan berbagai
macam pemeriksaan penunjang khusus terutama dari bagian radiologi berupa barium
enema, colonoscopy, flexible sigmoidoscopy, CT colonography, MRI, USG, CT Scan
dan PET Scan. Dengan menggunakan pemeriksaan penunjang ini, kita dapat menilai
staging dari karsinoma kolorektal, sehingga dapat menentukan pilihan terapi yang
paling efisien dan efektif bagi pasien dengan karsinoma kolorektal.
Terapi yang dapat dilakukan dapat berupa terapi pembedahan serta radioterapi
sesuai dengan staging dari karsinoma kolorektal. Untuk prognosisnya sendiri,
ditentukan berdasarkan tingkat stadium yang diderita oleh pasien tersebut sesuai
dengan angka harapan hidup pasien.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robbins and Cotran pathologic basis of disease.
W B Saunders Co. (2005) ISBN:0721601871.
2. Greene FL, Cancer AJ, Society AC. AJCC cancer staging handbook, from the
AJCC cancer staging manual. Springer Verlag. (2002) ISBN:0387952705.
3. AJCC cancer staging manual (7th edition). Springer. (2010)
4. Alteri, R. et al. (2011). Colorectal Cancer Facts & Figure 2011-2013. Atlanta:
American Cancer Society.
5. American Cancer Society. (2011). Colorectal Cancer. Atlanta: American Cancer
Society.
6. American Joint Commitee on Cancer (AJCC). (2010). Colon and Rectum Cancer
Staging. 7th Edition. Springer-Verlag New York: American Cancer Society.
7. Kelompok Kerja Adenokarsinoma Kolorektal. Panduan Pengelolaan
Adenokarsinoma Kolorektal. Suatu Panduan Klinis Nasional, Edisi Revisi 2006.
8. Carsinoma of the Colon. In: Corman ML, editors. Colon and Rectal Surgery. 5th
ed. Lippincott Williams & Wilkins Publishers; 2005.
9. British Columbia Medical Association. Detection Of Colorectal Neoplasms In
Asymptomatic Patients. Ministry of Health Services 2008.
10. Heiken JP, Bree RL, Foley WD, Gay SB, Glick SN, Huprich JE, Levine MS, Ros
PR, Rosen MP, Shuman WP, Greene FL, Rockey DC. Expert Panel on
Gastrointestinal Imaging. Colorectal Cancer Screening. American College of
Radiology (ACR); 2006: 7.
11. Screening for Colorectal Cancer. In: Guide to Clinical Preventive Services,
AHRQ 2006.
12. Saunders TH, Ribeiro HK, Gleeson FV. New Techniques For Imaging Colorectal
Cancer: The Use of MRI, PET and Radioimmunoscintigraphy for Primary Staging
and Follow-Up. British Medical Bulletin 2002;64: 81–99.
13. Haibach PV, Kuehle CA, Beyer T, Stergar H, Kuehl H, Schmidt J, Borsch G,
Dahmen G, Barkhausen J, Bockisch A, Antoch G. Diagnostic Acuracy of
Colorectal Cancer Staging with Whole Body PET/CT Colonography. JAMA,
December 2006;296:2590-600.
14. Cunningham C. Colorectal Cancer: Management. Medical Progress October 2008:
490-4.

30

Anda mungkin juga menyukai