Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PERDARAHAN ANTEPARTUM

1.1 Definisi Perdarahan Antepartum


Perdarahan Antepartum (HAP) adalah perdarahan dari saluran genitalia yang
terjadi dari kehamilan 24 minggu dan sebelum persalinan janin (RCOG Green-top
Guideline No.63, 2011).
Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG) mengklasifikasikan
tingkat keparahan HAP menjadi:
 Spotting: noda, bercak darah yang ditemukan pada celana dalam atau pembalut
 Minor Haemorrhage: perdarahan kurang dari 50mL
 Major Haemorrhage: perdarahan 50-1000mL, dengan tidak adanya tanda-tanda
syok
 Massive Haemorrhage : perdarahan lebih dari 1000 mL dan/atau tanda-tanda syok
(RCOG Green-top Guideline No.63, 2011).

1.2 Jenis-jenis Perdarahan Antepartum


1. Solusio Plasenta
a. Definisi
Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan maternal
plasenta dari tempat implantasinya yang normal pada lapisan desidua
endometrium sebelum waktunya yakni sebelum anak lahir (Sarwono
Prawirohardjo, 2013 ).
b. Klasifikasi
1) Trijatmo Rachimhadhi membagi solusio plasenta menurut derajat
pelepasan plasenta:
a) Solusio plasenta totalis, plasenta terlepas seluruhnya.
b) Solusio plasenta partialis, plasenta terlepas sebagian.
c) Ruptura sinus marginalis, sebagian kecil pinggir plasenta yang terlepas.
2) Pritchard JA membagi solusio plasenta menurut bentuk perdarahan:
a) Solusio plasenta dengan perdarahan keluar

1
b) Solusio plasenta dengan perdarahan tersembunyi, yang membentuk
hematoma retroplacenter
c) Solusio plasenta yang perdarahannya masuk ke dalam kantong amnion.
3) Cunningham dan Gasong masing-masing dalam bukunya
mengklasifikasikan solusio plasenta menurut tingkat gejala klinisnya,
yaitu:
a) Ringan : perdarahan kurang 100-200 cc, uterus tidak tegang, belum ada
tanda renjatan, janin hidup, pelepasan plasenta kurang 1/6 bagian
permukaan, kadar fibrinogen plasma lebih 150 mg%.
b) Sedang : Perdarahan lebih 200 cc, uterus tegang, terdapat tanda pre
renjatan, gawat janin atau janin telah mati, pelepasan plasenta 1/4-2/3
bagian permukaan, kadar fibrinogen plasma 120-150 mg%.
c) Berat : Uterus tegang dan berkontraksi tetanik, terdapat tanda renjatan,
janin mati, pelepasan plasenta dapat terjadi lebih 2/3 bagian atau
keseluruhan ( Cunningham F. Gary, 2001 ).
c. Etiologi
Penyebab primer solusio plasenta belum diketahui secara pasti, namun ada
beberapa faktor yang menjadi predisposisi :
1) Faktor kardio-reno-vaskuler
Glomerulonefritis kronik, hipertensi essensial, sindroma preeklamsia dan
eklamsia.
2) Faktor trauma
Trauma yang dapat terjadi antara lain :
a) Dekompresi uterus pada hidroamnion dan gemeli.
b) Tarikan pada tali pusat yang pendek akibat pergerakan janin yang
banyak/bebas, versi luar atau tindakan pertolongan persalinan.
c) Trauma langsung, seperti jatuh, kena tendang, dan lain-lain.
3) Faktor paritas ibu
Lebih banyak dijumpai pada multipara dari pada primipara.
4) Faktor usia ibu
Semakin tua umur ibu, makin tinggi frekuensi hipertensi menahun.
5) Leiomioma uteri (uterine leiomyoma)

2
Pada wanita yang hamil dapat menyebabkan solusio plasenta apabila plasenta
berimplantasi di atas bagian yang mengandung leiomioma.
6) Faktor pengunaan kokain
Penggunaan kokain mengakibatkan peninggian tekanan darah dan peningkatan
pelepasan katekolamin, yang mana bertanggung jawab atas terjadinya vasospasme
pembuluh darah uterus dan dapat berakibat terlepasnya plasenta.
7) Faktor kebiasaan merokok
Ibu yang merokok, plasenta menjadi tipis serta diameter lebih luas dan
beberapa abnormalitas pada mikrosirkulasinya.
8) Riwayat solusio plasenta sebelumnya
9) Pengaruh lain
Seperti anemia, malnutrisi/defisiensi gizi, tekanan uterus pada vena cava
inferior dikarenakan pembesaran ukuran uterus oleh adanya kehamilan, dan lain-
lain.
d. Patofisiologi
Solusio plasenta dimulai dengan terjadinya perdarahan ke dalam desidua
basalis dan terbentuknya hematom subkhorionik yang dapat berasal dari pembuluh
darah miometrium atau plasenta, dengan berkembangnya hematom subkhorionik
terjadi penekanan dan perluasan pelepasan plasenta dari dinding uterus. Apabila
perdarahan sedikit, hematom yang kecil hanya akan sedikit mendesak jaringan
plasenta dan peredaran darah utero-plasenta belum terganggu, serta gejala dan
tandanya pun belum jelas. Kejadian baru diketahui setelah plasenta lahir, yang pada
pemeriksaan plasenta didapatkan cekungan pada permukaan maternalnya dengan
bekuan darah lama yang berwarna kehitaman.
Biasanya perdarahan akan berlangsung terus-menerus/tidak terkontrol karena
otot uterus yang meregang oleh kehamilan tidak mampu berkontraksi untuk
membantu dalam menghentikan perdarahan yang terjadi. Akibatnya hematom
subkhorionik akan menjadi bertambah besar, kemudian akan medesak plasenta
sehingga sebagian dan akhirnya seluruh plasenta akan terlepas dari implantasinya
di dinding uterus. Sebagian darah akan masuk ke bawah selaput ketuban, dapat juga
keluar melalui vagina, darah juga dapat menembus masuk ke dalam kantong
amnion, atau mengadakan ekstravasasi di antara otot-otot miometrium.

3
Apabila ekstravasasinya berlangsung hebat akan terjadi suatu kondisi uterus
yang biasanya disebut dengan istilah Uterus Couvelaire, dimana pada kondisi ini
dapat dilihat secara makroskopis seluruh permukaan uterus terdapat bercak-bercak
berwarna biru atau ungu. Uterus pada kondisi seperti ini (Uterus Couvelaire) akan
terasa sangat tegang, nyeri dan juga akan mengganggu kontraktilitas (kemampuan
berkontraksi) uterus yang sangat diperlukan pada saat setelah bayi dilahirkan
sebagai akibatnya akan terjadi perdarahan post partum yang hebat. Akibat
kerusakan miometrium dan bekuan retroplasenter adalah pelepasan tromboplastin
yang banyak ke dalam peredaran darah ibu, sehingga berakibat pembekuan
intravaskuler dimana-mana yang akan menghabiskan sebagian besar persediaan
fibrinogen. Akibatnya ibu jatuh pada keadaan hipofibrinogenemia. Pada keadaan
hipofibrinogenemia ini terjadi gangguan pembekuan darah yang tidak hanya di
uterus, tetapi juga pada alat-alat tubuh lainnya.
e. Gambaran Klinis
Gambaran klinis dari kasus-kasus solusio plasenta menurut gejala klinis:
1) Solusio plasenta ringan
Solusio plasenta ringan ini disebut juga ruptura sinus marginalis, dimana
terdapat pelepasan sebagian kecil plasenta yang tidak berdarah banyak. Apabila
terjadi perdarahan pervaginam, warnanya akan kehitam-hitaman dan sedikit sakit.
Perut terasa agak sakit, atau terasa agak tegang yang sifatnya terus menerus.
Walaupun demikian, bagian-bagian janin masih mudah diraba.
2) Solusio plasenta sedang
Plasenta telah terlepas lebih dari satu per empat bagian dari luas permukaan.
Tanda dan gejala dapat timbul perlahan-lahan seperti solusio plasenta ringan, tetapi
dapat juga secara mendadak dengan gejala sakit perut terus menerus, yang tidak
lama kemudian disusul dengan perdarahan pervaginam. Walaupun perdarahan
pervaginam dapat sedikit, tetapi perdarahan sebenarnya mungkin telah mencapai
1000 ml. Ibu mungkin telah jatuh ke dalam syok, demikian pula janinnya yang jika
masih hidup mungkin telah berada dalam keadaan gawat. Dinding uterus teraba
tegang terus-menerus dan nyeri tekan sehingga bagian-bagian janin sukar untuk
diraba. Apabila janin masih hidup, bunyi jantung sukar didengar. Kelainan

4
pembekuan darah dan kelainan ginjal mungkin telah terjadi, walaupun hal tersebut
lebih sering terjadi pada solusio plasenta berat.
3) Solusio plasenta berat
Plasenta telah terlepas lebih dari dua per tiga permukaannnya. Terjadi sangat
tiba-tiba. Biasanya ibu telah jatuh dalam keadaan syok dan janinnya telah
meninggal. Uterusnya sangat tegang seperti papan dan sangat nyeri. Perdarahan
pervaginam tampak tidak sesuai dengan keadaan syok ibu, terkadang perdarahan
pervaginam mungkin saja belum sempat terjadi. Pada keadaan-keadaan di atas
besar kemungkinan telah terjadi kelainan pada pembekuan darah dan kelainan
fungsi ginjal.
f. Komplikasi
1) Syok perdarahan
Pendarahan antepartum dan intrapartum pada solusio plasenta hampir tidak
dapat dicegah, kecuali dengan menyelesaikan persalinan segera. Bila persalinan
telah diselesaikan, penderita belum bebas dari perdarahan postpartum karena
kontraksi uterus yang tidak kuat untuk menghentikan perdarahan pada kala III
persalinan dan adanya kelainan pada pembekuan darah.
2) Gagal ginjal
Gagal ginjal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penderita solusio
plasenta, pada dasarnya disebabkan oleh keadaan hipovolemia karena perdarahan
yang terjadi. Biasanya terjadi nekrosis tubuli ginjal yang mendadak, yang umumnya
masih dapat ditolong dengan penanganan yang baik. Perfusi ginjal akan terganggu
karena syok dan pembekuan intravaskuler. Oliguri dan proteinuri akan terjadi
akibat nekrosis tubuli atau nekrosis korteks ginjal mendadak.
3) Kelainan pembekuan darah
Kelainan pembekuan darah pada solusio plasenta biasanya disebabkan oleh
hipofibrinogenemia. Kadar fibrinogen plasma normal pada wanita hamil cukup
bulan ialah 450 mg%, berkisar antara 300-700 mg%. Apabila kadar fibrinogen
plasma kurang dari 100 mg% maka akan terjadi gangguan pembekuan darah.
4) Apoplexi uteroplacenta (Uterus couvelaire)
Pada solusio plasenta yang berat terjadi perdarahan dalam otot-otot rahim dan
di bawah perimetrium kadang-kadang juga dalam ligamentum latum. Perdarahan

5
ini menyebabkan gangguan kontraktilitas uterus dan warna uterus berubah menjadi
biru atau ungu yang biasa disebut Uterus Couvelaire.

g. Diagnosis
1) Anamnesis
a) Perasaan sakit yang tiba-tiba di perut
b) Perdarahan pervaginam yang sifatnya dapat hebat, terdapat darah segar
dan bekuan-bekuan darah yang berwarna kehitaman
c) Pergerakan anak mulai hebat kemudian terasa pelan dan akhirnya berhenti
d) Kepala terasa pusing, lemas, muntah, pucat, mata berkunang-kunang.
e) Kadang ibu dapat menceritakan trauma dan faktor kausal yang lain.
2) Inspeksi
a) Pasien gelisah, sering mengerang karena kesakitan.
b) Pucat, sianosis dan berkeringat dingin.
c) Terlihat darah keluar pervaginam (tidak selalu).
3) Palpasi
a) Tinggi fundus uteri (TFU) tidak sesuai dengan tuanya kehamilan.
b) Uterus tegang dan keras seperti papan yang disebut uterus in bois
(wooden uterus) baik waktu his maupun di luar his.
c) Nyeri tekan di tempat plasenta terlepas.
d) Bagian-bagian janin sulit dikenali, karena perut (uterus) tegang.
4) Auskultasi
Sulit dilakukan karena uterus tegang, bila DJJ terdengar biasanya di atas 140,
kemudian turun di bawah 100 dan akhirnya hilang bila plasenta yang terlepas lebih
dari 1/3 bagian.
5) Pemeriksaan dalam
a) Serviks dapat telah terbuka atau masih tertutup.
b) Kalau sudah terbuka maka plasenta dapat teraba menonjol dan tegang
c) Apabila plasenta sudah pecah dan sudah terlepas seluruhnya, plasenta ini
akan turun ke bawah dan teraba pada pemeriksaan, disebut prolapsus
placenta
6) Pemeriksaan umum

6
Tekanan darah semula mungkin tinggi karena pasien sebelumnya menderita
penyakit vaskuler, tetapi akan turun dan pasien jatuh dalam keadaan syok. Nadi
cepat dan kecil
7) Pemeriksaan laboratorium
a) Urin : Albumin (+), pada pemeriksaan sedimen dapat ditemukan silinder
dan leukosit.
b) Darah : Hb menurun, periksa golongan darah, lakukan cross-match test
karena pada solusio plasenta sering terjadi kelainan pembekuan darah
hipofibrinogenemia
8) Pemeriksaan plasenta
Plasenta biasanya tampak tipis dan cekung di bagian plasenta yang terlepas
(kreater) dan terdapat koagulum atau darah beku yang biasanya menempel di
belakang plasenta, yang disebut hematoma retroplacenter.
9) Pemeriksaaan Ultrasonografi (USG)
Pada pemeriksaan USG yang dapat ditemukan antara lain: terlihat daerah
terlepasnya plasenta, janin dan kandung kemih ibu, darah, tepian plasenta.
h. Terapi
Penanganan kasus-kasus solusio plasenta didasarkan kepada berat atau
ringannya gejala klinis, yaitu:
1) Solusio plasenta ringan
Bila usia kehamilan kurang dari 36 minggu dan bila ada perbaikan (perdarahan
berhenti, perut tidak sakit, uterus tidak tegang, janin hidup) dengan tirah baring dan
observasi ketat, kemudian tunggu persalinan spontan.
2) Solusio plasenta sedang dan berat
Apabila tanda dan gejala klinis solusio plasenta jelas ditemukan, penanganan
di rumah sakit meliputi transfusi darah, amniotomi, infus oksitosin dan jika perlu
seksio sesaria. Apabila diagnosis solusio plasenta dapat ditegakkan berarti
perdarahan telah terjadi sekurang-kurangnya 1000 ml. Maka transfusi darah harus
segera diberikan. Amniotomi akan merangsang persalinan dan mengurangi tekanan
intrauterin. Keluarnya cairan amnion juga dapat mengurangi perdarahan dari
tempat implantasi dan mengurangi masuknya tromboplastin ke dalam sirkulasi ibu
yang mungkin akan mengaktifkan faktor-faktor pembekuan dari hematom

7
subkhorionik dan terjadinya pembekuan intravaskuler dimana-mana. Persalinan
juga dapat dipercepat dengan memberikan infus oksitosin yang bertujuan untuk
memperbaiki kontraksi uterus yang mungkin saja telah mengalami gangguan.
2. Plasenta Previa
a. Definisi
Plasenta Previa adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim
sedemikian rupa sehingga menutupi seluruh atau sebagian dari ostium uteri
internum. ( Sarwono Prawirohardjo, 2013 ).
b. Klasifikasi
Plasenta previa dibagi kedalam tiga bagian yaitu:
1) Plasenta previa totalis: seluruh osteum uteri internum tertutup oleh
plasenta.
2) Plasenta previa lateralis: hanya sebagian dari ostium tetutup oleh plasenta.
3) Plaseta previa marginalis: hanya pada pinggir ostium terdapat jaringan
plasenta. (Obsterti Patologi, Edisi 1984).
Selain itu ada juga Low-lying placenta (plasenta letak rendah, lateralis placenta
atau kadang disebut juga dangerous placenta), posisi plasenta beberapa mm atau
cm dari tepi jalan lahir. Dari klasifiskasi tersebut yang sama sekali tidak dapat
melahirkan pervaginam yaitu plasenta previa totalis seperti terdapat dalam gambar
berikut :

Gambar 1.1 Macam-macam Plasenta Previa

Diagnosa ini mulai dipastikan sejak kira-kira umur kehamilan 26-28 minggu,
dimana mulai terbentuk SBR (Segmen Bawah Rahim).
c. Etiologi

8
Plasenta previa mungkin terjadi bila keadaan endometrium kurang baik,
misalnya seperti yang terdapat pada:
1) multipara/multigravida, terutama bila jarak antarkehamilan pendek
2) myoma uteri
3) kuretase berulang
Keadaan endometrium yang kurang baik menyebabkan plasenta harus tumbuh
lebih luas untuk mencukupi kebutuhan janin sehingga mendekati atau menutupi
ostium uteri internum. Plasenta previa mungkin juga disebabkan oleh implantasi
telur yang rendah.
d. Faktor Resiko
1) Wanita lebih dari 35 tahun, 3 kali lebih berisiko.
2) Multiparitas, apalagi bila jaraknya singkat. Secara teori plasenta yang baru
berusaha mencari tempat selain bekas plasenta sebelumnya.
3) Kehamilan kembar.
4) Adanya gangguan anatomis/tumor pada rahim sehingga mempersempit
permukaan bagi penempelan plasenta.
5) Adanya jaringan parut pada rahim oleh operasi sebelumnya.
6) Adanya endometriosis (adanya jaringan rahim pada tempat yang bukan
seharusnya, misalnya di indung telur) setelah kehamilan sebelumnya.
7) Riwayat plasenta previa sebelumnya, berisiko 12 kali lebih besar.
8) Adanya trauma selama kehamilan.
9) Kebiasaan tidak sehat seperti merokok dan minum alkohol.
e. Gambran Klinis
Gejala yang paling menonjol pada plasenta previa adalah perdarahan uterus
yang keluar melalui vagina tanpa adanya rasa nyeri. Selain itu darah yang keluar
melalui vagina umumnya berwarna merah segar. Perdarahan biasanya baru terjadi
pada akhir trisemester kedua ke atas. Perdarahan pertama berlangsung tidak banyak
dan berhenti sendiri, perdarahan akan kembali berulang tanpa sesuatu yang jelas
dan bertambah lebih banyak dari yang pertama. Pada plasenta letak rendah
perdarahan baru terjadi pada waktu mulai persalinan.
Berhubung plasenta letak rendah pada bagian bawah uterus, maka palpasi
abdomen sering ditemui bagian terbawah janin yang masih tinggi di atas simfisis.

9
Bagian terendah janin yang tinggi disebabkan oleh tidak dapatnya bagian janin
masuk ke pintu atas panggul karena plasenta yang menutupi ostium uteri internum.
Pada perempuan dengan plasenta previa, sering dapat ditemukan kelainan letak
janin. Pada pemeriksaan leopold, umumnya ditemukan letak janin tidak dalam letak
memanjang dikarenakan janin yang tidak dapat berotasi leluasa karena adanya
hambatan oleh plasenta yang terletak di bagian bawah uterus. Selain itu pada
plasenta previa, palpasi abdomen tidak akan membuat ibu terasa nyeri dan tegang
yang membedakan antara plasenta previa dan solusio plasenta (Cunningham G, et.
all., 2009).
f. Penyulit
Pada plasenta previa mungkin sekali terjadi perdarahan postpartum karena:
1) Kadang-kadang plasenta lebih erat melekat pada dinding rahim (plasenta
akreta).
2) Daerah perlekatan luas
3) Daya kontraksi segmen bawah rahim kurang
Bahaya plasenta previa untuk ibu adalah:
1) Perdarahan hebat
2) Infeksi – sepsis
3) Emboli udara (jarang)
Bahaya plasenta previa untuk anak adalah:
1) Hipoksia
2) Perdarahan atau syok
g. Komplikasi
1) Pada ibu dapat terjadi perdarahan hingga syok akibat perdarahan, anemia
karena perdarahan plasentitis, dan endometritis pasca persalinan.
2) Pada janin biasanya terjadi persalinan premature dan komplikasi seperti
asfiksi berat (Mansjoer, 2002).
h. Pemeriksaan Diagnostik
1) Anamnesis. Perdarahan jalan lahir pada kehamilan setelah 22 minggu
berlangsung tanpa nyeri terutama pada multigravida, banyaknya perdarahan
tidak dapat dinilai dari anamnesis, melainkan dari pemeriksaan hematokrit.

10
2) Pemeriksaan Luar. Bagian bawah janin biasanya belum masuk pintu atas
panggul (presentasi kepala), biasanya kepala masih terapung di atas pintu
atas panggul.
3) Pemeriksaan In Spekulo. Pemeriksaan bertujuan untuk mengetahui apakah
perdarahan berasal dari osteum uteri eksternum atau dari ostium uteri
eksternum, adanya plasenta previa harus dicurigai.
4) Penentuan Letak Plasenta Tidak Langsung. Penentuan letak plasenta secara
tidak langsung dapat dilakukan radiografi, radioisotope, dan ultrasonagrafi.
Ultrasonagrafi penentuan letak plasenta dengan cara ini ternyata sangat
tepat, tidak menimbulkan bahaya radiasi bagi ibu dan janinnya dan tidak
menimbulkan rasa nyeri. (Wiknjosostro, 2005)
5) Pemeriksaan Ultrasonografi. Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan
implantasi plasenta atau jarak tepi plasenta terhadap ostium bila jarak tepi 5
cm disebut plasenta letak rendah.
6) Diagnosis Plasenta Previa Secara Defenitif. Dilakukan dengan PDMO
(Periksa Dalam di atas Meja Operasi) yaitu melakukan perabaan secara
langsung melalui pembukaan serviks pada perdarahan yang sangat banyak
dan pada ibu dengan anemia berat, tidak dianjurkan melakukan PDMO
sebagai upaya menetukan diagnosis. (Saifudin, 2001)
i. Penatalaksanaan
1) Terapi ekopektif
a) Tujuan terapi ekopektif ialah supaya janin tidak terlahir premature,
penderita dirawat tanpa melakukan pemeriksaan dalam melalui kanalis
servikalis.
Syarat-syarat terapi ekopektif:
a. Kehamilan preterm dan perdarahan sedikit yang kemudian berhenti.
b. Belum ada tanda-tanda inpartu.
c. Keadaan umum ibu cukp baik.
d. Janin masih hidup.
b) Rawat inap, tirah baring dan berikan antibiotic profilaksis.
c) Lakukan pemeriksaan USG untuk mengetahui implantasi plasenta, usia
kehamilan, profil biofisik, letak dan presentasi janin.

11
d) Berikan tokolitik jika ada kontaraksi.
a. MgSO4 4 grm iv dosis awal dilanjutkan 4grm setiap 6 jam.
b. Betametason 24 mg iv dosis tunggal untuk pematangan paru janin.
e) Uji pematangan paru janin dengan tes kocok (bubble tes) dan hasil
amniosentesis.
f) Bila setelah usia kehamilan diatas 24 minggu, plasenta masih berada
disekitar ostium uteri internum, maka dugaan plasenta previa menjadi
jelas, sehingga perlu dilakukan observasi dan konseling untuk menghadapi
kemungkinan keadaan gawat janin.
2) Terapi aktif
a) Wanita hamil diatas 2 minggu dengan perdarahan pervaginam yang aktif
dan banyak, harus segera ditatalaksanakan secara aktif tanpa memandang
maturnitas janin.
b) Untuk diagnosis plasenta previa dan menetukan cara menyelesaikan
persalinan, setelah semua persyaratan terpenuhi, lakukan PDMO jika:
a. Infuse atau tranfusi telah terpasang, kamar dan tim operasi telah siap.
b. Kehamilan ≥ 37 minggu (BB 2500 grm) dan inpartu.
c. Janin telah meniggal atau terdapat anomali kongenital mayor (misal:
anensefali).
d. Perdarahan dengan bagian bawah janin telah jauh melewati pintu atas
panggul (2/5 atau 3/5 pada palpasi luar).
3) Seksio sesarea
a. Prinsip utama dalam melakukan seksio sesarea adalah untuk
menyelamatkan ibu, sehingga walaupun janin meninggal atau tidak punya
harapan untuk hidup, tindakan ini tetap dilaksanankan.
b. Tujuan seksio sesarea adalah :
a) Melahirkan janin dengan segera sehingga uterus dapat segera
berkontraksi dan menghentikan perdarahan.
b) Menghindarkan kemungkinan terjadinya robekan pada serviks uteri,
jika janin dilahirkan pervaginam.
c. Lakukan perawatan lanjut paska bedah termaksud pemantauan
perdarahan, infeksi dan keseimbangan cairan masuk, keluar.

12
Tabel 1.1 Perbedaan Plasenta Previa dan Solusio Plasenta
No. Ciri-ciri plasenta previa Ciri-ciri solusio plasenta
1. Perdarahan tanpa nyeri Perdarahan dengan nyeri
2. Perdarahan berulang Perdarahan tidak berulang
3. Warna perdarahan merah segar Warna perdarahan merah coklat
4. Adanya anemia dan renjatan yang Adanya anemia dan renjatan yang tidak
sesuai dengan keluarnya darah sesuai dengan keluarnya darah
5. Timbulnya perlahan-lahan Timbulnya tiba-tiba
6. Waktu terjadinya saat hamil Waktu terjadinya saat hamil inpartu
7. His biasanya tidak ada His ada
8. Rasa tidak tegang (biasa) saat Rasa tegang saat palpasi
palpasi
9. Denyut jantung janin ada Denyut jantung janin biasanya tidak ada
10. Teraba jaringan plasenta pada Teraba ketuban yang tegang pada periksa
periksa dalam vagina dalam vagina
11. Penurunan kepala tidak masuk pintu Penurunan kepala dapat masuk pintu atas
atas panggul panggul
12. Presentasi mungkin abnormal. Tidak berhubungan dengan presentasi

3. Ruptur Uteri
a. Definisi
Ruptura uteri adalah robekan dinding rahim akibat dilampauinya daya regang
(Mochtar, 2011).
b. Klasifikasi
 Menurut waktu terjadinya :
a) Ruptura uteri gravidarum. Terjadinya pada waktu hamil, sering
berlokasi pada korpus
b) Ruptura uteri durante partu. Terjadi waktu melahirkan anak, lokasinya
sering pada segmen bawah rahim, jenis inilah yang sering terjadi.

13
 Menurut lokasinya :
a) Korpus Uteri. Biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah
mengalami operasi, seperti seksio sesarea klasik (korporal) atau
miomektomi.
b) Segmen bawah rahim (SBR). Biasanya terjadi pada partus yang sulit
dan lama (tidak maju). SBR semakin lama semakin regang dan tipis dan
akhirnya terjadilah ruptura uteri
c) Serviks Uteri. Biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forsep
atau versi, sedang pembukaan belum lengkap (Mochtar, 2011).
c. Etiologi
Menurut etiologinya ruptura uteri dapat dibagi 2:
 Ruptura uteri spontanea. Karena dinding rahim yang lemah dan cacat dan
dikarenakan peregangan yang luar biasa dari rahim
 Ruptura uteri violent. Trauma karena tindakan dan trauma lain seperti
ekstraksi forsep. Versi dan ekstraksi forsep. Versi dan ekstraksi,
embriotomi, manual plasenta, kuretase (Mochtar, 2011).
d. Patofisiologi
Pada umumnya rahim dibagi atas dua bagian besar yaitu korpus uteri dan
serviks uteri. Batas keduanya disebut ismus uteri (2-3) pada rahim yang tidak hamil.
Bila kehamilan sudah kira-kira 20 minggu, dimana ukuran janin sudah lebih besar
dari ukuran kavum uteri, maka mulailah terbentuk segmen bawah rahim (SBR)
ismus ini.
Batas antara partus yang kontraktil dan segmen bawah rahim yang pasif disebut
lingkaran dari bandl. Lingkaran bandl ini dianggap fisiologik bila terdapat tanda 2–
3 jari di atas simfisis, bila meninggi maka kita harus waspada terhadap
kemungkinan adanya ruptura uteri mengancam (RUM).
Pada waktu inpartu, korpus uteri mengadakan kontraksi sedang SBR tetapi
pasif dan cervix menjadi lunak (effacement dan pembukaan). Bila oleh sesuatu
sebab partus tidak dapat maju (obstruksi), sedang korpus uteri berkontraksi terus
dengan hebatnya (his kuat), maka SBR yang pasif ini akan tertarik ke atas, menjadi

14
bertambah regang dan tipis. Lingkaran Bandl ikut meninggi, sehingga suatu waktu
terjadilah robekan pada SBR.
e. Tanda dan Gejala
Pada ibu hamil yang mengalami rupture uteri karena perdarahan yang hebat
biasa ditemukan tekanan darah yang menurun, nadi yang cepat, pucat anemis,
tanda-tanda hipovolemi. Perdarahan intraabdominal, dengan atau tanpa perdarahan
pervaginam. Gejala yang paling sering ditemukan adalah nyeri perut hebat yang
dapat berkurang setelah rupture terjadi. Pada palpasi juga ditemukan bentuk uterus
yang abnormal dengan kontur yang tidak jelas, selain itu terdapat nyeri tekan
dinding perut. Pada pemeriksaan leopold, bagian-bagian janin mudah dipalpasi.
Selain itu, tanda khas seperti lingkaran konstriksi patologis (Bandl’s Ring) sering
ditemukan (Cunningham G, et all, 2009).

Gambar 1.2 Bandl’s Ring

f. Komplikasi
Komplikasi-komplikasi yang perlu diantisipasi meliputi fistula vesikovagina
atau rektovagina yang disertai inkontinensia, infeksi sekunder yang disertai abses
atau septikemia atau keduanya dan berkaitan dengan cedera tulang pelvis usus,
kandung kemih dan kavum peritoneum.
g. Tatalaksana
1. Tatalaksana umum:
 Berikan oksigen

15
 Perbaiki kehilangan volume darah dengan pemberian infus cairan
intravena (NaCL 0,9% atau Ringer Laktat) sebelum tindakan
pembedahan.
 Jika kondisi ibu stabil, lakukan seksio sesarea untuk melahirkan bayi
dan plasenta.
2. Tatalaksana khusus
 Jika uterus dapat diperbaiki dengan resiko operasi lebih rendah
daripada histerektomi dan tepi robekan uterus tidak nekrotik, lakukan
reparasi uterus (histerorafi). Tindakan ini membutuhkan waktu yang
lebih singkat dan menyebabkan kehilangan darah yang lebih sedikit
dibanding histerektomi.
 Jika uterus tidak dapat diperbaiki, lakukan histerektomi subtotal. Jika
robekan memanjang hingga serviks dan vagina diperlukan histerektomi
total.

4. Vasa previa
a. Definisi
Vasa praevia adalah komplikasi obstetrik dimana pembuluh darah janin
melintasi atau berada di dekat ostium uteri internum (cervical os). Pembuluh darah
tersebut berada didalam selaput ketuban (tidak terlindung dengan talipusat atau
jaringan plasenta) sehingga akan pecah bila selaput ketuban pecah.
b. Etiologi
Vasa previa terjadi bila pembuluh darah janin melintasi selaput ketuban yang
berada di depan ostium uteri internum. Pembuluh darah tersebut dapat berasal dari
insersio velamentosa dari talipusat atau bagian dari lobus suksenteriata (lobus
aksesorius). Bila pembuluh darah tersebut pecah maka akan terjadi robekan
pembuluh darah sehingga terjadi eksanguisasi dan kematian janin.
c. Maninfestasi klinik
1) Dapat timbul perdarahan pada kehamilan 20 minggu
2) Darah berwarna merah segar
3) Tidak disertai atau dapat disertai nyeri perut (kontraksi uterus)

16
4) Perdarahan segera setelah ketuban pecah dan karena perdarahan ini berasal
dari anak maka dengan cepat bunyi jantung anak menjadi buruk.

d. Diagnosa
Pada kasus vasa previa jarang terdiagnosa sebelum persalianan namun dapat
diduga jika pada saat antenatal dilakukan USG dengan Color Doppler yang dapat
memperlihatkan adanya pembuluh darah pada selaput ketuban di depan osteum
uteri internum. Selain itu dapat dilakukan tes APT (Kleihauter-Betke) yang adalah
uji pelarutan basa haemoglobin. Karena darah janin yang tahan terhadap suasana
alkali maka jika darah tersebut berasal dari janin maka eritrosit tersebut tidak akan
pecah dan campuran akan tetap berwarna merah. Namun jika darah tersebut berasal
dari ibu maka eritrosit akan pecah dan campuran berubah warna menjadi cokelat.
Pemeriksaan terbaik adalah dengan elektroforesis. Diagnosis dapat dipastikan
pasca persalinan dengan pemeriksaan selaput ketuban dan plasenta namun
seringkali janin sudah meninggal saat didiagnosa ditegakkan.
e. Pemeriksaan Penunjang
1) USG : biometri janin, plasenta (letak, derajat maturasi, dan kelainan), ICA.
2) Kardiotokografi: kehamilan > 28 minggu.
3) Laboratorium : darah perifer lengkap.
f. Penatalaksanaan
Sangat bergantung pada status janin. Bila ada keraguan tentang viabilitas janin,
tentukan lebih dahulu umur kehamilan, ukuran janin, maturitas paru dan
pemantauan kesejahteraan janin dengan USG dan kardiotokografi. Bila janin hidup
dan cukup matur dapat dilakukan seksio sesar segera namun bila janin sudah
meninggal atau imatur, dilakukan persalinan pervaginam.

17
18

Anda mungkin juga menyukai