Anda di halaman 1dari 7

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

1.6 TATALAKSANA PARTUS PREMATURUS IMMINENS


Ibu hamil yang mempunyai risiko terjadi persalinan preterm dan/atau menunjukkan
tanda-tanda persalinan preterm perlu dilakukan intervensi untuk meningkatkan neonatal
outcomes.
Manajemen persalinan preterm bergantung pada beberapa factor (Sarwono,2011):
- Keadaan selaput ketuban. Pada umumnya persalinan tidak dihambat bilamana
selaput ketuban sudah pecah.
- Pembukaan serviks. Persalinan akan sulit dicegah bila pembukaan mencapai 4
cm.
- Umur kehamilan. Makin muda usia kehamilan, upaya mencegah persalinan
makin perlu dilakukan. Persalinan dapat dipertimbangkan berlangsung bila TBJ
> 2.000 atau kehamilan > 34 minggu.
- Penyebab/komplikasi persalinan preterm.
- Kemampuan neonatal intensive care facilities

Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada persalinan preterm, terutama


mencegah morbiditas dan mortalitas neonatus preterm adalah (Sarwono,2011)::
- Menghambat proses persalinan preterm dengan pemberian tokolisis
- Pematangan surfaktan paru janin dengan kortikosteroid
- Bila perlu dilakukan pencegahan terhadap infeksi.

A. Tokolisis
Meski beberapa macam obat telah dipakai untuk menghambat persalinan, tidak ada
yang benar-benar efektif. Namun, pemberian tokolisis masih perlu dipertimbangkan bila
dijumpai kontraksi uterus yang regular dengan perubahan serviks.
Alasan pemberian tokolisis pada persalinan preterm adalah (Sarwono,2011):
- Mencegah mortalitas dan morbiditas pada bayi premature
- Memberi kesempatan bagi terapi kortikosteroid untuk menstimulir surfaktan paru
janin
- Memberi kesempatan transfer intrauterin pada fasilitas yang lebih lengkap
Beberapa macam obat yang dapat digunakan sebagai tokolisis adalah (Sarwono,2011):
- Kalsium antagonis: Nifedipin 10 mg/oral diulang 2-3 kali/jam, dilanjutkan tiap 8
jam sampai kontraksi hilang. Obat dapat diberikan lagi jika timbul kontraksi
berulang.
- Obat β-mimetik: seperti terbutalin, ritrodin, isoksuprin, dan salbutamol, dapat
digunakan, tetapi nifedipin mempunyai efek samping lebih kecil.
- Sulfas magnesikus dan antiprostaglandin (indometasin): jarang dipakai karena
efek samping pada ibu ataupun janin.
- Untuk menghambat proses persalinan preterm selain tokolisis, perlu membatasi
aktivitas atau tirah baring.
B. Kortikosteroid
Pemberian terapi kortikosteroid dimaksudkan untuk pematangan surfaktan paru
janin, menurunkan insidensi RDS, mencegah perdarahan intraventrikular, yang akhirnya
menurunkan kematian neonatus. Kortikosteroid perlu diberikan bilamana usia kehamilan
kurang dari 35 minggu.
Obat yang diberikan adalah: deksametason atau betametason. Pemberian steroid ini
tidak diulang karena risiko terjadinya pertumbuhan janin terhambat.
Pemberian siklus tunggal konikosteroid adalah (Sarwono,2011):
o Betametason: 2 x 12 mg i.m. dengan jarak pemberian 24 jam
o Deksametason: 4 x 6 mg i.m. dengan jarak pemberian 12 jam
C. Antibiotika
Antibiotika hanya diberikan bilamana kehamilan mengandung risiko terjadinya
infeksi seperti pada kasus KPD. Obat diberikan per oral, yang dianjurkan adalah:
eritromisin 3 x 500 mg selama 3 hari. Obat pilihan lain adalah ampisilin 3 x 500 mg
selama 3 hari, atau dapat menggunakan antibiotika lain seperti klindamisin. Tidak
dianjurkan pemberian ko-amoksiklaf karena risiko NEC (Sarwono,2011).
Beberapa hal yang harus diperhatikan pada pemeriksaan pasien dengan
KPD/PPROM (Preterm premature rupture of the membrane) adalah(Sarwono,2011):
- Semua alat yang digunakan untuk periksa vagina harus steril.
- Periksa dalam vagina tidak dianjurkan, tetapi dilakukan dengan pemeriksaan
spekulum.
- Pada pemeriksaan USG jika didapat penurunan indeks cairan amnion (ICA) tanpa
adanya kecurigaan kelainan ginjal dan tidak adanya IUGR mengarah pada
kemungkinan KPD

Penderita dengan KPD/PPROM dilakukan pengakhiran persalinan pada usia


kehamilan 36 minggu. Untuk usia 32-35 minggu jika ada bukti hasil pemeriksaan
maturitas paru, maka kemampuan rumah sakit (tenaga dan fasilitas perinatologi) sangat
menentukan kapan sebaiknya kehamilan diakhiri.
Akan tetapi, bila ditemukan adanya bukti infeksi (klinik ataupun laboratorik), maka
pengakhiran persalinan dipercepat/induksi, tanpa melihat usia kehamilan.
Persiapan persalinan preterm perlu penimbangan berdasar (Sarwono,2011):
1. Usia gestasi
- Usia gestasi 34 minggu atau lebih: dapat melahirkan di tingkat dasar/primer,
mengingat prognosis relatif baik.
- Usia gestasi kurang dari 34 minggu: harus dirujuk ke rumah sakit dengan
fasilitas perawatan neonatus yang memadai.
2. Keadaan selaput ketuban
Bila didapat KPD/PPROM dengan usia kehamilan kurang dari 28 minggu, maka
ibu dan keluarga dipersilakan untuk memilih cara pengelolaan setelah diberi
konseling dengan baik.

Cara Persalinan
Masih sering muncul kontroversi dalam cara persalinan kurang bulan seperti:
apakah sebaiknya persalinan berlangsung pervaginam atau seksio sesarea terutama pada
berat janin yang sangat rendah dan preterm sungsang, pemakaian forseps untuk
melindungi kepala janin, dan apakah ada manfaatnya dilakukan episiotomi profilaksis
yang luas untuk mengurangi trauma kepala.
Bila janin presentasi kepala, maka diperbolehkan partus pervaginam. Seksio
sesarea tidak memberi prognosis yang lebih baik bagi bayi, bahkan merugikan ibu.
Prematuritas janganlah dipakai sebagai indikasi untuk melakukan seksio sesarea. OIeh
karena itu, seksio sesarea hanya dilakukan atas indikasi obstetric.
Pada kehamilan letak sungsang 30-34 minggu, seksio sesarea dapat
dipertimbangkan. Setelah kehamilan lebih dari 34 minggu, persalinan dibiarkan terjadi
karena morbiditas dianggap sama dengan kehamilan aterms (Sarwono,2011).

Perawatan Neonatus
Untuk perawatan bayi preterm baru lahir perlu diperhatikan keadaan umum,
biometri, kemampuan bernapas, kelainan fisik, dan kemampuan minum.
Keadaan kritis bayi prematur yang harus dihindari adalah kedinginan, pernapasan
yang tidak adekuat, atau trauma. Suasana hangat diperlukan untuk mencegah hipotermia
pada neonatus (suhu badan di bawah 36,5o C), bila mungkin bayi sebaiknya dirawat cara
‘kanguru’ untuk menghindarkan hipotermia. Kemudian dibuat perencanaan pengobatan
dan asupan cairan.
ASI diberikan lebih sering, tetapi bila tidak mungkin, diberikan dengan sonde atau
dipasang infus. Semua bayi baru iahir harus mendapat nutrisi sesuai dengan kemampuan
dan kondisi bayi.
Sebaiknya persalinan bayi terlalu muda atau terlalu kecil berlangsung pada
fasilitas yang memadai, seperti pelayanan perinatal dengan personel dan fasilitas yang
adekuat termasuk perawatan perinatal intensif (Sarwono,2011).

Patogenesis
Penyebab persalinan preterm multifaktorial dan dapat saling berinteraksi satu
sama lain. Berikut beberapa alur yang umum terjadi pada persalinan preterm:

Aktivasi aksis hypothalamic–pituitary–adrenal (HPA) janin atau ibu: stres


Stres yang didefinisikan sebagai tantangan baik psikologis atau fisik, yang mengancam
atau yang dianggap mengancam homeostasis pasien, akan mengakibatkan akitivasi
prematur hypothalamic–pituitary–adrenal (HPA) janin atau ibu. Stres semakin diakui
sebagai faktor risiko penting untuk persalinan preterm. Beberapa penelitian telah
menemukan 50% hingga 100% kenaikan angka kelahiran preterm berhubungan dengan
stres pada ibu, dan biasanya merupakan gabungan dari berbagai peristiwa kehidupan,
kecemasan, atau depresi. Neuroendokrin, kekebalan tubuh, dan proses perilaku (seperti
depresi) telah dikaitkan dengan persalinan preterm terkait stres. Namun, proses yang
paling penting, yang menghubungkan stres dan kelahiran preterm ialah neuroendokrin,
yang menyebabkan aktivasi prematur aksis HPA. Proses ini dimediasi oleh
corticotrophin-releasing hormone (CRH) plasenta (Prawirohardjo, 2008; Cunningham
FG, et.all., 2005; Nathan L, 2003).

Infeksi dan inflamasi


Patogenesis dari persalinan preterm masih belum dimengerti dengan benar. Namun,
infeksi tampaknya menjadi penyebab tersering dan paling penting dalam persalinan
preterm. Meskipun demikian, patogenesis infeksi hingga menyebabkan persalinan
preterm pun hingga kini belum jelas benar, namun diduga berkaitan dengan sistem
kekebalan tubuh, dan diawali oleh aktivasi fosfolipase A2 yang dihasilkan oleh banyak
mikroorganisme.
Sumber infeksi yang telah dikaitkan dengan kelahiran prematur meliputi infeksi
intrauterin, infeksi saluran kelamin, infeksi sistemik ibu, bakteriuria asimptomatik, dan
periodontitis ibu. Mikroorganisme yang umum dilaporkan pada rongga amnion adalah
genital Mycoplasma spp, dan Ureaplasma urealyticum. Beberapa mikroorganisme yang
umum pada saluran genitalia bawah, seperti Streptococcus agalactiae, jarang tampak
pada rongga amnion sebelum selaput amnion pecah. Rongga amnion biasanya steril dari
bakteri, dan adanya bakteri yang jumlahnya cukup signifikan pada membran amnion
diduga melalui mekanisme sebagai berikut:
1. Secara ascending dari vagina dan serviks
2. Penyebaran secara hematogen melalui plasenta
3. Penggunaan alat saat melakukan prosedur invasif
4. Penyebaran secara retrograde melalui tuba fallopi.

Dari beberapa cara yang telah disebutkan di atas, cara yang paling umum ialah
penyebaran secara ascending dari vagina dan serviks. Hal ini dapat ditunjukkan oleh suatu
kondisi yang disebut vaginosis bakterialis, yang merupakan sebuah kondisi ketika flora
normal vagina predominan-laktobasilus yang menghasilkan hidrogen peroksida
digantikan oleh bakteri anaerob, Gardnerella vaginalis, spesies Mobilunkus, atau
Mycoplasma hominis. Keadaan ini telah lama dikaitkan dengan ketuban pecah dini,
persalinan preterm, dan infeksi amnion, terutama bila pada pemeriksaan pH vagina lebih
dari 5,0 (Prawirohardjo, 2008; Cunningham FG, et.all., 2005; Nathan L, 2003).
Perdarahan desidua (Decidual hemorrhage/thrombosis)
Perdarahan desidua dapat menyebabkan persalinan preterm. Lesi vaskular dari plasenta
biasanya dihubungkan dengan persalinan preterm dan ketuban pecah dini. Lesi plasenta
dilaporkan 34% dari wanita dengan persalinan preterm, 35% dari wanita dengan ketuban
pecah dini, dan 12% kelahiran term tanpa komplikasi. Lesi ini dapat dikarakteristikan
sebagai kegagalan dari transformasi fisiologi dari arteri spiralis, atherosis, dan trombosis
arteri ibu atau janin. Diperkirakan mekanisme yang menghubungkan lesi vaskular dengan
persalinan preterm ialah iskemi uteroplasenta. Meskipun patofisiologinya belum jelas,
namum trombin diperkirakan memainkan peran utama (Prawirohardjo, 2008;
Cunningham FG, et.all., 2005; Nathan L, 2003).

Distensi uterus yang berlebihan (uterine overdistension)


Distensi uterus yang berlebihan memainkan peranan kunci dalam memulai
persalinan preterm yang berhubungan dengan kehamilan multipel, polihidramnion, dan
makrosomia. Kehamilan multipel, sering disebabkan oleh reproduksi yang dibantu oleh
tekhnologi (assisted reproduction technologies (ART)), termasuk induksi ovulasi dan
fertilisasi in vitro, dan merupakan satu dari penyebab yang paling penting dari persalinan
preterm di negara-negara maju. Di Amerika Serikat misalnya, ART merupakan 1% dari
semua kelahiran hidup, tetapi 17% dari semua kehamilan multipel; 53% neonatus hasil
dari ART pada tahun 2003 merupakan anak kembar. Mekanisme dari distensi uterus yang
berlebihan hingga menyebabkan persalinan preterm masih belum jelas. Namun diketahui,
peregangan rahim akan menginduksi ekspresi protein gap junction, seperti connexin-43
(CX-43) dan CX-26, serta menginduksi protein lainnya yang berhubungan dengan
kontraksi, seperti reseptor oksitosin (Prawirohardjo, 2008; Cunningham FG, et.all., 2005;
Nathan L, 2003).

Insufisiensi serviks
Insufisiensi serviks secara tradisi dihubungkan dengan pregnancy losses pada
trimester kedua, tetapi baru-baru ini bukti menunjukan bahwa gangguan pada serviks
berhubungan dengan outcomes kehamilan yang merugikan dengan variasi yang cukup
luas, termasuk persalinan preterm. Insufisiensi serviks secara tradisi telah diidentifikasi
di antara wanita dengan riwayat pregnancy losses berulang pada trimester kedua, tanpa
adanya kontraksi uterus. Terdapat lima penyebab yang diakui atau dapat diterima, yaitu:
(1) kelainan bawaan; (2) in-utero diethylstilbestrol exposure; (3) hilangnya jaringan dari
serviks akibat prosedur operasi seperti Loop Electrosurgical Excision Procedure (LEEP)
atau conization; (4) kerusakan yang bersifat traumatis; dan (5) infeksi.
Selain berhubungan dengan beberapa hal di atas, risiko persalinan preterm juga
meningkat pada perokok. Mekanisme meningkatnya risiko persalinan preterm pada
wanita yang merokok sampai saat ini belum jelas. Terdapat lebih dari 3000 bahan kimia
dalam batang rokok, yang masing-masing efek biologisnya sebagian besar tidak
diketahui. Namun, baik nikotin dan karbon monoksida merupakan vasokonstriktor yang
kuat dan dihubungkan dengan kerusakan plasenta serta menurunnya aliran darah
uteroplasenta. Kedua jalur tersebut mengarah pada terhambatnya pertumbuhan janin dan
persalinan preterm (Prawirohardjo, 2008; Cunningham FG, et.all., 2005; Nathan L,
2003).

1. Prawirohardjo S. Persalinan Preterm in “ILMU KEBIDANAN”. 4th ed, P.T Bina


Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2008. Chap. 51: 667-76.
nd
2. Cunningham FG et al : Preterm Labor in “ Williams Obstetrics” , 22 ed,
McGraw-Hill, 2005

3. DeCherney AH. Nathan L : Late Pregancy Complication in Current Obstetrics


and Gynecologic Diagnosis and Treatment , McGraw Hill Companies, 2003

Anda mungkin juga menyukai