Bab 1 2 LP Komunitas
Bab 1 2 LP Komunitas
PENDAHULUAN
1.3 Manfaat
a. Bagi penulis : penulis dapat menambah pengetahuan tentang dan keterampilan
dalam melakukan perawatan dan asuhan kebidanan pada keluarga
b. Bagi pelayanan kesehatan: dapat memberikan pelayanan dan penanganan yang
tepat pada keluarga
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep Teori
2.1.1 Letak Lintang
A. Pengertian Letak Lintang
Letak lintang adalah suatu kedaan dimana janin melintang di dalam uterus
dengan kepala berada di sisi yang satu sedangkan bokong pada sisi yang lain
(Wiknjosastro, Hanifa. 2008).
Letak Lintang terjadi bila sumbu memanjang ibu membentuk sudut tegak
lurus dengan sumbu memanjang janin (Oxorn, Harry. 2010).
E.Penatalaksanaan Stroke
Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat
1. Evaluasi Cepat dan Diagnosis
Oleh karena jendela terapi dalam pengobatan stroke akut sangat pendek,
maka evaluasi dan diagnosis harus dilakukan dengan cepat, sistematik, dan cermat
(AHA/ASA, Class I, Level of evidence B). Evaluasi gejala dan klinik stroke akut
meliputi:
a. Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan, aktivitas penderita saat
serangan, gejala seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa berputar, kejang, cegukan
(hiccup), gangguan visual, penurunan kesadaran, serta faktor risiko stroke
(hipertensi, diabetes, dan lain-lain).
b. Pemeriksaan fisik, meliputi penilaian respirasi, sirkulasi, oksimetri, dan suhu
tubuh. Pemeriksaan kepala dan leher (misalnya cedera kepala akibat jatuh saat
kejang, bruit karotis, dan tanda-tanda distensi vena jugular pada gagal jantung
kongestif). Pemeriksaan torak (jantung dan paru), abdomen, kulit dan ekstremitas.
c. Pemeriksaan neurologis dan skala stroke. Pemeriksaan neurologis terutama
pemeriksaan saraf kranialis, rangsang selaput otak, sistem motorik, sikap dan cara
jalan refleks, koordinasi, sensorik dan fungsi kognitif. Skala stroke yang dianjurkan
saat ini adalah NIHSS (National Institutes of Health Stroke Scale) (AHA/ASA, Class
1, Level of evidence B).
2. Terapi Umum
a. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan
Pemantauan secara terus menerus terhadap status neutologis, nadi, tekanan darah,
suhu tubuh, dan Saturasi oksigen dianjurkan dalam 72 jam, pada pasien dengan
defisit neurologis yang nyata (ESO, Class IV, GCP).
Pembetian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen < 95% (ESO,
Class V, GCP).
Perbaiki jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada pasien yang tidak
sadar. Berikan bantuan ventilasi pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran
atau disfungsi bulbar dengan gangguan jalan napas (AHA/ASA, Class I, Level of
evidence C).
Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia (AHA/ASA, Class I, Level of
evidence C).1
Pasien stroke iskemik akut yang nonhipoksia tidak mernerlukan terapi oksigen
(AHA/ASA, Class III, Level of evidence B).
Intubasi ETT (Endo Tracheal Tube) atau LMA (Laryngeal Mask Airway)
diperlukan pada pasien dengan hipoksia (p02 <60 mmHg atau pCO2 >50 mmHg),
atau syok, atau pada pasien yang berisiko untuk terjadi aspirasi.
Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2 minggu. Jika pipa
terpasang lebih dari 2 rninggu, maka dianjurkan dilakukan trakeostomi.
b. Stabilisasi Hemodinamik
Optimalisasi tekanan darah (Iihat Bab V.A Penatalaksanaan Tekanan Darah pada
Stroke Akut)
Bila tekanan darah sistolik <120 mmHg dan cairan sudah mencukupi, maka obat-
obat vasopressor dapat diberikan secara titrasi seperti dopamin dosis sedang/ tinggi,
norepinefrin atau epinefrin dengan target tekanan darah sistolik berkisar 140 mmHg.
Tekanan darah
Pemeriksaan jantung
i. Derajat kesadaran
Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS <9 dan penderita yang
mengalami penurunan kesadaran karena kenaikan TIK (AHA/ASA, Class V, Level of
evidence C).
Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan CPP >70 mmHg.
v. Jaga normovolernia
o Manitol 0.25 - 0.50 gr/kgBB, selama >20 menit, diulangi setiap 4 - 6 jam dengan
target ≤ 310 mOsrn/L. (AHA/ASA, Class III, Level of evidence C). Osmolalitas
sebaiknya diperiksa 2 kali dalam sehari selama pemberian osmoterapi.
viii. Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi yang adekuat dapat
mengurangi naiknya TIK dengan cara mengurangi naiknya tekanan intratorakal dan
tekanan vena akibat batuk, suction, bucking ventilator (AHA/ASA, Class III-IV,
Level of evidence C). Agen nondepolarized seperti vencuronium atau pancuronium
yang sedikit berefek pada histamine dan blok pada ganglion lebih baik digunakan
(AHA/ASA, Class III-IV, Level of evidence C). Pasien dengan kenaikan krtitis TIK
sebaiknya diberikan relaksan otot sebelum suctioning atau lidokain sebagai
alternative.
ix. Kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk mengatasi edema otak dan tekanan
tinggi intracranial pada stroke iskemik, tetapi dapat diberikan kalau diyakini tidak
ada kontraindikasi. (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A).
x. Drainase ventricular dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat stroke iskemik
serebelar (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).
xi. Tindakan bedah dekompresif pada keadaan iskemik sereberal yang menimbulkan
efek masa, merupakan tindakan yang dapat menyelamatkan nyawa dan memberikan
hasil yang baik. (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).
e. Penanganan Transformasi Hemoragik
Tidak ada anjuran khusus tentang terapi transformasi perdarahan asimptomatik
(AHA/ASA, Class Ib, Level of evidence B). Terapi transformasi perdarahan
simtomatik sama dengan terapi stroke perdarahan, antara lain dengan memperbaiki
perfusi serebral dengan mengendalikan tekanan darah arterial secara hati-hati.
f. Pengendalian Kejang
Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5-20mg dan diikuti oleh
fenitoin, loading dose 15-20 mg/kg bolus dengan kecepatan maksimum 50 mg/menit.
h. Pemeriksaan Penunjang
EKG
Laboratorium (kimia darah, fungsi ginjal, hematologi, faal hemostasis, kadar gula
darah, analisis urin, analisa gas darah, dan elektrolit)
Bila perlu pada kecurigaan perdarahan subaraknoid, lakukan punksi lumbal untuk
pemeriksaan cairan serebrospinal
Pemeriksaan radiologi
ii. CT Scan
Penatalaksanaan Umum di Ruang Rawat
1. Cairan
a. Berikan cairan isotonis seperti 0,9% salin dengan tujuan menjaga euvolemi.
Tekanan vena sentral dipertahankan antara 5-12 mmHg.
b. Pada umumnya, kebutuhan cairan 30 ml/kgBB/hari (parenteral maupun enteral).
c. Balans cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urin sehari ditambah
dengan pengeluaran cairan yang tidak dirasakan (produksi urin sehari ditambah 500
ml untuk kehilangan cairan yang tidak tampak dan ditambah lagi 300 ml per derajat
Celcius pada penderita panas).
d. Elektrolit (natrium, kalium, kalsium dan magnesium) harus selalu diperiksa dan
diganti bila terjadi kekurangan sampai tercapai nilai normal.
e. Asidosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai dengan hasil analisa gas darah.
f. Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaklah dihindari kecuali pada
keadaan hipoglikemia.
2. Nutrisi
a. Nutrisi enteral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48 jam, nutrisi oral
hanya boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan baik.
b. Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun makanan, nutrisi
diberikan melalui pipa nasogastrik.
c. Pada keadaan akut, kebutuhan kalori 25-30 kkal/kg/hari dengan komposisi:
Karbohidrat 30-40 % dari total kalori;
Lemak 20-35 % (pada gangguan nafas dapat lebih tinggi 35-55 %);
Protein 20-30% (pada keadaan stress kebutuhan protein 1.4-2.0 g/kgBB/hari (pada
gangguan fungsi ginjal <0.8 g/kgBB/hari).
D. Diagnosis Toxoplasmosis
Sekali terinfeksi Toksoplasma, manusia maupun hewan akan membentuk
antibodi protektif yang berperan seumur hidup pada hospes, kecuali jika hospes
mengalami gangguan sistem imun yang berat (immunocompromised) dan tidak
mampu membentuk respon imun humoral. Adanya Toxoplasma di dalam jaringan
atau cairan tubuh dapat diketahui dengan menggunakan PCR atau pemeriksaan
biologi pada mencit.
Diagnosis toksoplasmosis pada manusia
Terdapat beberapa uji serologi untuk menentukan diagnosis toksoplasmosis
pada manusia dan untuk menbedakan antara infeksi akut yang baru terjadi dan
infeksi laten yang sudah lama terjadi. Titer IgM dalam serum menunjukkan
terjadinya infeksi baru, sedangkan adanya IgG yang bertahan lebih lama di dalam
serum menunjukkan bahwa pernah terjadi infeksi Toxoplasma di masa lalu.
Meskipun demikian kedua tipe antibodi tersebut biasanya baru dapat ditemukan
dalam waktu 1-2 minggu sesudah terjadi infeksi.
Beberapa produk kit IgM terhadap Toxoplasma ternyata menunjukkan adanya
hasil positif palsu (false-positive) sehingga penilaian hasil pemeriksaan tersebut
harus ditetapkan dengan hati-hati.
Penggunaan MAT (Modified latex Agglutination Test) yang sangat peka
dalam dalam mendeteksi IgG dapat juga dimanfaatkan untuk membantu
membedakan infeksi akut dan kronis berdasar reaktivitasnya dengan aseton terhadap
(versus) formalin-fixed antigen.
Pemantauan serologi pada perempuan hamil tidak selalu dianjurkan di USA
dan Canada. Hal ini berbeda dengan yang dianjurkan di berbagai negara Eropa. Di
USA dan Canada risiko terinfeksi Toxoplasma sangat rendah jika dibandingkan
dengan di Eropa. Diagnosis terjadinya infeksi in utero dilakukan dengan memeriksa
DNA Toxoplasma pada cairan amnion, yang jika positif diteruskan dengan
pemeriksaan ultrasonografi janin untuk melihat adanya kecacatan kongenital.
Diagnosis toksoplasmosis pada hewan
Berbeda dengan pada manusia, perkembangan dan keberadaan IgM pada
kucing yang terinfeksi toksoplasmosis sering berubah-ubah, sehingga tidak dapat
digunakan sebagai patokan terjadinya infeksi Toxoplasma. Selain itu kucing yang
terinfeksi kadang-kadang baru membentuk IgG 4-6 minggu sesudah infeksi, jadi
sesudah kucing tidak lagi mengeluarkan ookista dalam tinjanya. Kucing dengan
seropositif IgG mungkin tidak mengeluarkan ookista. Pada infeksi ulang kucing
dengan parasit, ookista tidak banyak dikeluarkan karena kucing sudah mempunyai
kekebalan terhadap infeksi baru. Kucing dengan seronegatif mungkin mengeluarkan
ookista dalam tinjanya dan jika terinfeksi Toxoplasma akan menimbulkan gejala
klinis yang nyata.
Kucing hanya mengeluarkan ookista dalam tinjanya selama 1-3 minggu
sesudah infeksi pertama oleh Toxoplasma, sehingga pemeriksaan tinja kucing
sebenarnya kurang bermanfaat.
(Soedarto, 2012)
E. Penatalaksanaan Toxoplasmosis
Pengobatan toksoplasmosis pada manusia
Obat yang biasa digunakan untuk mengobati toksoplasmosis pada manusia
adalah kombinasi pirimetamin dan sulfonamid. Pengobatan ini sebaiknya tidak
diberikan pada perempuan hamil karena dapat menimbulkan gangguan pada sintesis
asam folat janin.
Untuk mengobati ibu hamil dengan toksoplasmosis, digunakan spiramisin
yang dapat menurunkan beratnya penyakit pada toksoplasmosis kongenital dan
akibat kecacatan yang timbul dimasa akan datang, tetapi tidak mengurangi risiko
terjadinya infeksi. Pengobatan yang dilakukan secara dini pada infeksi
toksoplasmosis prenatal pada anak juga menunjukkan berkurangnya kejadian
kecacatan dan mencegah terjadinya kecacatan dikemudian hari.
Penderita dengan transplantasi terutama transplantasi jantung sebaiknya
dikelola dengan memberikan terapi pencegahan dengan pirimetamin-sulfonamid
selama enam minggu untuk mencegah terjadinya infeksi Toxoplasma gondii pada
penderita.
Pada penderita AIDS dengan seropositif Toxoplasma, untuk mencegah
terjadinya reaktivasi penyakit toksoplasmosis penderita dapat diberi pengobatan
pencegahan menggunakan Pirimetamin-Dapson, Trimetoprim-Sulfametoksasol atau
Fansidar.
Pengobatan toksoplasmosis hewan
Klindamisin dan kombinasi Pirimetamin-Sulfonamid dapat diberikan pada
anjing dan kucing yang menderita toksoplasmosis. Obat ini seperti halnya
antikoksidial lainnya misalnya monensin dan toltrazuril diberikan untuk mengurangi
jumlah ookista yang dikeluarkan oleh kucing jika hewan tersebut terinfeksi dengan
Toxoplasma atau jika hewan tersebut mengalami imunosupresi.
PENGENDALIAN INFEKSI
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara
kepemilikan kucing dengan risiko terjadinya infeksi toksoplasmosis. Jika
pemeliharaan kucing dilakukan dengan baik dengan memperhatikan kebersihan dan
sanitasi, ibu-ibu hamil dan orang-orang dengan gangguan sistem imun tetap boleh
memelihara kucingnya. Meskipun demikian orang-orang yang berisiko tinggi
terhadap infeksi toksoplasmosis (yaitu ibu hamil dan mereka yang rendah daya tahan
tubuhnya) sebaiknya sedapat mungkin tetap menghindari paparan dengan tinja
kucing dan kotak kotoran kucing (cat litter).
Jika seekor kucing diketahui mengeluarkan ookista bersama tinjanya,
sebaiknya kucing diasingkan sementara dari lingkungan tempat tinggal kita dan
diobati dengan baik sampai tidak lagi mengeluarkan ookista. Kucing juga harus tetap
dirawat dan dibersihkan dengan teratur karena ookista mungkin masih ada yang
melekat pada bulu-bulunya.
Memasak dengan menggunakan microwave, menggarami atau mengasapi
daging belum tentu dapat membunuh semua stadium infektif Toxoplasma yang
terkandung di dalamnya. Membekukan daging pada suhu minus 12o Celsius selama
lebih dari 24 jam dapat membunuh hampir semua kista jaringan Toxoplasma, tetapi
kista berspora masih mampu bertahan hidup pada suhu minus 20o Celsius sampai 28
hari lamanya.
Mencuci bersih perlengkapan dapur dan permukaan benda-benda yang
terpapar daging mentah dengan sabun dan mencucinya dengan air mendidih dapat
membunuh semua takizoit maupun bradizoit Toxoplasma. Setiap orang sebaiknya
selalu mencuci tangan segera sesudah terpapar dengan tinja kucing, tempat kotoran
kucing (litter-box).
Pada suhu kamar proses sporulasi terjadi antara 1-5 hari, sedangkan pada
udara yang bersuhu dingin ookista membutuhkan waktu yang lebih lama untuk
membentuk spora. Pada suhu 11o Celsius proses pembentukan spora membutuhkan
waktu sekitar 3 minggu lamanya. Sesudah membentuk spora, ookista dapat bertahan
lebih lama di lingkungan luar dan tahan terhadap paparan berbagai macam
desinfektan. Karena itu cara terbaik untuk melakukan dekontaminasi benda-benda
misalnya litter-box adalah dengan memasaknya atau merendamnya dengan air
mendidih. Ookista berspora akan mati dengan pemanasan pada suhu 55-60o Celsius
selama 1-2 menit.
Tinja dan kotoran kucing harus dibuang setiap hari ke dalam jamban (WC)
atau membungkusnya rapat-rapat di dalam kantong plastik dan membuangnya ke
tempat sampah, atau membakarnya pada insenirator.
Kucing harus dijauhkan dari kotakpasir tempat anak bermain agar hewan tersebut
tidak buang air di tempat bermain anak-anak yang dapat menjadi sumber penularan
toksoplasmosis.
(Soedarto, 2012)