Anda di halaman 1dari 21

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kebidanan Komunitas merupakan salah satu bentuk pelayanan profesional
yang bertujuan pada komunitas dengan penekanan kelompok resiko tinggi, dalam
upaya mencapai derajat kesehatan yang optimal melalui pencegahan penyakit,
peningkatan kesehatan menjamin keterjangkauan pelayanan kesehatan yang
dibutuhkan dengan melibatkan komunitas sebagai mitra perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi pelayanan kesehatan.
Kebidanan komunitas adalah pelayanan kebidanan profesional yang
ditunjukan kepada masyarakat dengan penekanan pada kelompok resiko tinggi,
dengan upaya mencapai derajat kesehatan yang optimal melelui pencegahan
penyakit, peningkatan kesehatan, menjamin keterjangkuan pelayanan kesehatan
yang dibutuhkan dan dilibatkan klien sebagai mitra dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi pelayanan kebidanan (Safrudin, 2009)
Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat dimana masalah kesehatan
dapat timbul, berupa masalah KIA/KB, KESLING, TUMBANG, PENYAKIT,
KRR.
Dalam hal ini penulis mengambil kasus pada keluarga Tn. W yang bertempat
tinggal pada RT. 02 RW. 09 Desa Ngampel Kecamatan Mojoroto Kota Kediri
sebagai bukti pelaksanaan asuhan kebidanan komunitas dan melaksanakan
implementasi sesuai dengan prioritas masalah.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
diharapkan mahasiswa mampu melakukan perawatan dan asuhan kebidanan
secara komprehensif pada keluarga

1.2.2 Tujuan khusus


a. Dapat melakukan pengkajian kepada kasus keluarga
b. Dapat merumuskan diagnosa dan masalah aktual pada keluarga
c. Dapat mengidentifikasi diagnosa atau masalah potensial dan mengantisipasi
penangananya terhadap semua yang mungkin muncul pada keluarga
d. Menetapkan kebutuhan tindakan segera pada keluarga
e. Dapat menyusun rencana asuhan secara menyeluruh pada keluarga
f. Melaksanakan tindakan secara menyeluruh sesuai dengan diagnosa dan masalah
pada keluarga
g. Dapat melakukan evaluasi dari tindakan yang telah dilakukan

1.3 Manfaat
a. Bagi penulis : penulis dapat menambah pengetahuan tentang dan keterampilan
dalam melakukan perawatan dan asuhan kebidanan pada keluarga
b. Bagi pelayanan kesehatan: dapat memberikan pelayanan dan penanganan yang
tepat pada keluarga

1.4 Metode Pengumpulan Data


Menejemen kebidanan komprehensif ini menggunakan metode pengumpulan
data sebagai berikut:
a. Wawancara : tanya jawab secara langsung (anamnesa) kepada keluarga
b. Observasi : melakukan pemeriksaan, baik dengan inspeksi, palpasi, perkusi
maupun auskultasi.
c. Studi dokumentasi : dengan melihat data dan riwayat di rekam medic.
d. Studi kepustakaan: menggunakan buku untuk sumber teori dan browsing internet.
e. Pemeriksaan : pemeriksaan umum (tanda- tanda vital), pemeriksaan fisik,
pemeriksaan khusus, pemeriksaan penunjang.

1.5 Sistematika Penulisan


Halaman Judul
Lembar Pengesahan
Kata Pengantar
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Tujuan
1.3. Manfaat
1.4. Metode Pengumpulan Data
1.5. Sistematika Penulisan
BAB 2 TINJAUAN TEORI
2.1.1 Letak Lintang
A. Pengertian Letak Lintang
B. Etiologi Letak Lintang
C. Diagnosis Letak Lintang
D. Prognosa Letak Lintang
E. Penatalaksanaan Letak Lintang
2.1.2 Stroke
A. Pengertian Stroke
B. Etiologi Stroke
C. Patofisiologi Stroke
D. Klasifikasi Stroke
E. Penatalaksanaan Stroke
2.1.3 Toxoplasmosis
A. Pengertian Toxoplasmosis
B. Etiologi Toxoplasmosis
C. Patofisiologi Toxoplasmosis
D. Diagnosis Toxoplasmosis
E. Penatalaksanaan Toxoplasmosis
BAB 3 TINJAUAN KASUS
BAB 4 PEMBAHASAN
Berisi analisis tentang kesenjangan antara teori dan praktik
BAB 5 PENUTUP
5.1. Kesimpulan
5.2. Saran
Daftar Pustaka

BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Konsep Teori
2.1.1 Letak Lintang
A. Pengertian Letak Lintang
 Letak lintang adalah suatu kedaan dimana janin melintang di dalam uterus
dengan kepala berada di sisi yang satu sedangkan bokong pada sisi yang lain
(Wiknjosastro, Hanifa. 2008).
 Letak Lintang terjadi bila sumbu memanjang ibu membentuk sudut tegak
lurus dengan sumbu memanjang janin (Oxorn, Harry. 2010).

B. Etiologi Letak Lintang


Sebab yang terpenting dari kehamilan dengan letak lintang adalah:
a. Dinding abdomen teregang secara berlebihan yang disebabkan oleh kehamilan
multiparitas, pada ibu hamil denga paritas 4 atau lebih terjadi insiden hampir
sepuluh kali lipat dibanding ibu hamil nullipara. Relaksasi dinding abdomen
pada perut yang menggantung akibat multipara dapat menyebabkan uterus
beralih ke depan. Hal ini menyebabkan defleksi sumbu panjang janin menjauhi
sumbu jalan lahir, sehingga terjadi posisi oblik atau melintang
b. Janin premature, pada janin premature letak janin belum menetap, adanya
perputaran janin sehingga menyebabkan letak memanjang
c. Plasenta previa atau tumor pada jalan lahir. Dengan adanya plasenta atau
tumor di jalan lahir maka sumbu panjang janin menjauhi sumbu jalan lahir
d. Abnormalitas uterus, bentuk dari uterus yang tidak normal menyebabkan janin
tidak dapat engagement sehingga sumbu panjang janin menjauhi sumbu jalan
lahir
e. Panggul sempit, bentuk panggul yang sempit mengakibatkan bagian presentasi
tidak dapat masuk dalam panggul (engagement) sehingga dapat
mengakibatkan sumbu panjang janin menjauhi sumbu jalan lahir
Setiap keadaan yang menghalangi masuknya kepala atau bokong dapat
merupakan predisposisi letak lintang.Kelaianan ini lebih sering terjadi pada
multipara dibanding primigravida oleh karena kelemahan otot-otot uterus dan
abdomen. Faktor-faktor etiologis lainnya meliputi placenta previa; tumor yang
menyebabkan obstruksi; kehamilan ganda; anomali janin; hydramnion;
prematuritas; disproporsi kepala panggul; kelainan-kelainan uterus seperti
uterus subseptus, uterus rcuatus dan uterus bicornis dn panggul sempit.
Seringkali tidak dapat ditemukan faktor etiologisnya dan dianggap malposisi
terjadi secara kebetulan.Ketika persalinan mulai kepala ada di luar segmen
bawah rahim dan bahu didorong masuk panggul (Oxorn, Harry. 2010).

C. Diagnosis Letak Lintang


 Inspeksi
Adanya letak lintang sering sudah dapat diduga hanya dengan inspeksi,
uterus akan tampak lebih melebar dan fundus uteri lebih rendah tidak
sesuai dengan umur kehamilan
Terlihat abdomen tidak simetris.Sumbu memanjnag janin melintang
terhadap perut ibu.Fundus uteri lebih rendah dari yang diharapkan sesuai
dengan umur kehamilan.Batas atasnya dkat pusat dan lebih lebar dari
biasa.Dikutub atas dan bawah uterus tidak terapa kepala maupun
bokong.Kepala dapat diraba disalah satu sisi ibu.Bokong teraba disisi lain
(Oxorn, Harry.2010).
 Palpasi abdomen
o Leopold I
Pada fundus uteri tidak ditemukan bagian janin
o Leopold II
Teraba ballottement kepala di atas fosa illiaka, dan bokong pada fosa
illiaka yang lain
o Leopold III dan IV
Tidak ditemukan bagian janin, kecuali pada saat persalinan berlangsung,
dengan baik dapat diraba bahu di dalam rongga panggul. Bila pada bagian
depan perut ibu teraba suatu dataran keras yang melintang maka berarti
punggung anterior. Bila pada bagian perut ibu teraba bagian-bagian yang
tidak beraturan atau bagian kecil janin berarti punggung posterior.
 Auskultasi
DJJ biasanya ditemukan di sekitar umbilikus. Denyut jantung janin
terdengar paling jelas dibawah pusat dan tidak mempunyai arti diagnositi
dalam penentuan letak (Oxorn, Harry. 2010)
 Pemeriksaan dalam
Teraba bagian yang bergerigi yaitu bagian tulang rusuk pada dada janin di
atas pintu atas panggul pada awal persalinan.Pada persalinan lebih lanjut
teraba klavikula.Posisi aksila menunjuk kemana arah bahu janin
menghadap tubuh ibu. Bila persalinan terus berlanjut bahu janin akan
masuk rongga panggul dan salah satu lengan sering menumbung ke dalam
vulva dan vagina (Wiknjosastro, Hanifa. 2007).
Yang paling penting adalah hasil negatif, tidak teraba kepala maupun
bokong.Bagian terendah janin tinggi diatas PAP. Kadang-kadang dapat
diraba bahu, tangan , iga atau punggung anak. Oleh karena bagian terendah
tidak dengan baik menutup panggul, mungkin ketuban menonjol kedalam
vagina (Oxorn, Harry.2010).
D. Prognosa Letak Lintang
Meskipun letak lintang dapat diubah menjadi presentasi kepala, tetapi
kelainan-kelainan yang menyebabkan letak lintang masih dapat menimbulkan
kesulitan pada persalinan.Persalinan dengan letak lintang memberikan
prognosa yang jelek, baik terhadap ibu dan janin. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kematian janin pada letak lintang disamping kemungkinan
terjadinya letak lintang kasep dan rupture uteri, juga sering akibat adanya tali
pusat menumbung serta trauma akibat versi ekstraksi untuk melahirkan janin
(Wiknjosastro, Hanifa. 2008)

E. Penatalaksanaan Letak Lintang


a. Pada kehamilan
Pada primigravida dengan usia kehamilan kurang dari 28 minggu dianjurkan
posisi lutut dada. Pada multigravida umur kehamilan kurang dari 32 minggu
anjurkan ibu melakukan posisi lutut dada.Jika pembukaan lebih dari 4 cm pada
primigravida dengan janin hidup dilakukan sectio cesaria, jika janin mati,
tunggu pembukaan lengkap, kemudian lakukan embriotomi. Pada multigravida
dengan janin hidup dan riwayat obstetric baik dilakukan versi ekstraksi, jika
riwayat obstetri jelek dialakukan SC. Pada letak lintang kasep janin hidup,
dialakukan SC, jika janin mati dilakukan embriotomi
(Hanifa, Wiknjosastro. 2008)
 Dilakukan pemeriksaan abdominal, pelvik dan radiologik dengan teliti untuk
mengesampingkan kelainan-kelainan janin dan panggul.
 Harus diusahakan versi luar menjadi presentasi bokong, atau lebih baik
kepala. Mungkin ini harus dikerjakan berulang-ulang oleh karena ada
kecenderungan letak lintang kembali lagi.
 Sectio cesarea elektif merupakan indikasi apabila ada keadaan-keadaan yang
tidak memungkinkan persalinan pervaginam dengan selamat. Ini meliputi
komplikasi-komplikasi seperti plasenta previa atau disproporsi kepala
panggul.
 Kadang-kadang ditunggu mulainya persalinan oleh karena ada kemungkinan
malposisi akan terkoreksi sendiri (Oxorn, Harry.2010).
2.1.2 Stroke
A. Pengertian Stroke
Stroke, atau cerebrovascular accident, merupakan kematian mendadak
jaringan otak yang disebabkan oleh kekurangan oksigen akibat pasokan darah yang
terganggu. Infark merupakan daerah otak yang telah mati karena kekurangan oksigen
ini. (Kowalak, Jennifer P, 2011)
Menurut Geyer (2009) stroke adalah sindrom klinis yang ditandai dengan
berkembangnya tiba-tiba defisit neurologis persisten fokus sekunder terhadap
peristiwa pembuluh darah.
Stroke merupakan penyebab kecacatan nomor satu di dunia dan penyebab
kematian nomor dua di dunia. Duapertiga stroke terjadi di negara berkembang. Pada
masyarakat barat, 80% penderita mengalami stroke iskemik dan 20% mengalami
stroke hemoragik. Insiden stroke meningkat seiring pertambahan usia (Dewanto dkk,
2009).
B. Etiologi Stroke
Stroke disebabkan oleh keadaan ischemic atau proses hemorrhagic yang
seringkali diawali oleh adanya lesi atau perlukaan pada pembuluh darah arteri. Dari
seluruh kejadian stroke, duapertiganya adalah ischemic dan sepertiganya adalah
hemorrhagic. Disebut stroke ischemic karena adanya sumbatan pembuluh darah oleh
thromboembolic yang mengakibatkan daerah di bawah sumbatan tersebut mengalami
ischemic. Hal ini sangat berbeda dengan stroke hemorrhagic yang terjadi akibat
adanya mycroaneurisme yang pecah.
(Hananta, I Putu Yuda; Harry Freitag L.M. 2011)
Faktor yang dapat menimbulkan stroke dibedakan menjadi faktor risiko yang
tidak dapat diubah atau tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat diubah
atau dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat diubah diantaranya
peningkatan usia dan jenis kelamin laki-laki.
Faktor risiko yang dapat diubah antara lain hipertensi, diabetes melitus, dan
dislipidemia. Hipertensi diartikan sebagai suatu keadaan dimana tekanan darah
seseorang melebihi batas tekanan darah normal. Hipertensi merupakan faktor risiko
yang potensial pada kejadian stroke karena hipertensi dapat mengakibatkan pecahnya
pembuluh darah otak atau menyebabkan penyempitan pembuluh darah otak.
Pecahnya pembuluh darah otak akan mengakibatkan perdarahan otak, sedangkan jika
terjadi penyempitan pembuluh darah otak akan mengganggu aliran darah ke otak
yang pada akhirnya menyebabkan kematian sel-sel otak. (Nastiti, Dian. 2012)
C. Patofisiologi Stroke
Stroke iskemik terjadi apabila terjadi oklusi atau penyempitan aliran darah ke
otak dimana otak membutuhkan oksigen dan glukosa sebagai suber energi agar
fungsinya tetap baik. Aliran drah otak atau Cerebral Blood Flow (CBF) dijaga pada
kecepatan konstan antara 50-150 mmHg (Price, 2006).
Aliran darah ke otak dipengaruhi oleh:
a. Keadaan pembuluh darah
Bila menyempit akibat stenosis atau ateroma atau tersumbat oleh trombus atau
embolus maka aliran darah ke otak terganggu.
b. Keadaan darah
Viskositas darah meningkat, polisitemia menyebabkan aliran darah ke otak lebih
lambat, anemia yang berat dapat menyebabkan oksigenasi otak menurun.
c.Tekanan darah sistemik
Autoregulasi serebral merupakan kemampuan intrinsikotak untuk mempertahankan
aliran darah ke otak tetap konstan walaupun ada perubahan tekanan perfusi otak.
d. Kelainan jantung
Kelainan jantung berupa atrial fibrilasi, blok jantung menyebabkan menurunnya
curah jantung. Selain itu lepasnya embolus juga menimbulkan iskemia di otak akibat
okulsi lumen pembuluh darah. Jika CBF tersumbat secara parsial, maka daerah yang
bersangkutan langsung menderita karena kekurangan oksigen. Daerah tersebut
dinamakan daerah iskemik. Infark otak, kematian neuron, glia, dan vaskular
disebabkan oleh tidak adanya oksigen dan nutrien atau terganggunya metabolisme
(Robbins, 2007)
Untuk stroke hemorargik, Stroke hemoragik merupakan disfungsi neurologis
fokal yang akut dan disebabkan oleh perdarahan pada substansi otak yang terjadi
secara spontan bukan oleh karena trauma kapitis, akibat pecahnya pembuluh arteri
dan pembuluh kapiler (Price, 2006).
Perdarahan intrakranial meliputi perdarahan di parenkim otak dan perdarahan
subaraknoid. Insiden perdarahan intrakranial kurang lebih 20 % adalah stroke
hemoragik, dimana masing-masing 10% adalah perdarahan subaraknoid dan
perdarahan intraserebral (Caplan, 2009).
Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya mikroaneurisma
(Berry aneurysm) akibat hipertensi maligna. Hal ini paling sering terjadi di daerah
subkortikal, serebelum, dan batang otak. Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh
arteriola berdiameter 100 – 400 mikrometer mengalami perubahan patologi pada
dinding pembuluh darah tersebut berupa degenerasi lipohialinosis, nekrosis fibrinoid
serta timbulnya aneurisma Charcot Bouchard. Pada kebanyakan pasien, peningkatan
tekanan darah yang tiba-tiba menyebabkan pecahnya penetrating arteri. Keluarnya
darah dari pembuluh darah kecil membuat efek penekanan pada arteriole dan
pembuluh kapiler yang akhirnya membuat pembuluh ini pecah juga. Hal ini
mengakibatkan volume perdarahan semakin besar (Caplan, 2009).
Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat
menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di dearah yang terkena
darah dan sekitarnya lebih tertekan lagi. Gejala neurologik timbul karena
ekstravasasi darah ke jaringan otak yang menyebabkan nekrosis (Caplan, 2009).
Perdarahan subaraknoid (PSA) terjadi akibat pembuluh darah disekitar
permukaan otak pecah, sehingga terjadi ekstravasasi darah ke ruang subaraknoid.
Perdarahan subaraknoid umumnya disebabkan oleh rupturnya aneurisma sakular atau
perdarahan dari arteriovenous malformation (AVM) (Caplan, 2009).
D. Klasifikasi Stroke
Terdapat dua tipe utama dari stroke yaitu stroke iskemik akibat berkurangnya
aliran darah
sehubungan dengan penyumbatan (trombosis, emboli), dan hemoragik akibat
perdarahan. (WHO, 2014).
Darah yang keluar dan menyebar menuju jaringan parenkim otak, ruang
serebrospinal, atau kombinasi keduanya adalah akibat dari pecahnya pembuluh darah
otak yang dikenal dengan stroke hemoragik. (Goetz, 2007).

E.Penatalaksanaan Stroke
Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat
1. Evaluasi Cepat dan Diagnosis
Oleh karena jendela terapi dalam pengobatan stroke akut sangat pendek,
maka evaluasi dan diagnosis harus dilakukan dengan cepat, sistematik, dan cermat
(AHA/ASA, Class I, Level of evidence B). Evaluasi gejala dan klinik stroke akut
meliputi:
a. Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan, aktivitas penderita saat
serangan, gejala seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa berputar, kejang, cegukan
(hiccup), gangguan visual, penurunan kesadaran, serta faktor risiko stroke
(hipertensi, diabetes, dan lain-lain).
b. Pemeriksaan fisik, meliputi penilaian respirasi, sirkulasi, oksimetri, dan suhu
tubuh. Pemeriksaan kepala dan leher (misalnya cedera kepala akibat jatuh saat
kejang, bruit karotis, dan tanda-tanda distensi vena jugular pada gagal jantung
kongestif). Pemeriksaan torak (jantung dan paru), abdomen, kulit dan ekstremitas.
c. Pemeriksaan neurologis dan skala stroke. Pemeriksaan neurologis terutama
pemeriksaan saraf kranialis, rangsang selaput otak, sistem motorik, sikap dan cara
jalan refleks, koordinasi, sensorik dan fungsi kognitif. Skala stroke yang dianjurkan
saat ini adalah NIHSS (National Institutes of Health Stroke Scale) (AHA/ASA, Class
1, Level of evidence B).
2. Terapi Umum
a. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan
 Pemantauan secara terus menerus terhadap status neutologis, nadi, tekanan darah,
suhu tubuh, dan Saturasi oksigen dianjurkan dalam 72 jam, pada pasien dengan
defisit neurologis yang nyata (ESO, Class IV, GCP).
 Pembetian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen < 95% (ESO,
Class V, GCP).
 Perbaiki jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada pasien yang tidak
sadar. Berikan bantuan ventilasi pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran
atau disfungsi bulbar dengan gangguan jalan napas (AHA/ASA, Class I, Level of
evidence C).
 Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia (AHA/ASA, Class I, Level of
evidence C).1
 Pasien stroke iskemik akut yang nonhipoksia tidak mernerlukan terapi oksigen
(AHA/ASA, Class III, Level of evidence B).
 Intubasi ETT (Endo Tracheal Tube) atau LMA (Laryngeal Mask Airway)
diperlukan pada pasien dengan hipoksia (p02 <60 mmHg atau pCO2 >50 mmHg),
atau syok, atau pada pasien yang berisiko untuk terjadi aspirasi.
 Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2 minggu. Jika pipa
terpasang lebih dari 2 rninggu, maka dianjurkan dilakukan trakeostomi.

b. Stabilisasi Hemodinamik

 Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari pernberian cairan


hipotonik seperti glukosa).

 Dianjurkan pemasangan CVC (Central Venous Catheter), dengan tujuan untuk


memantau kecukupan cairan dan sebagai sarana untuk rnemasukkan cairan dan
nutrisi.

 Usahakan CVC 5 -12 mmHg.

 Optimalisasi tekanan darah (Iihat Bab V.A Penatalaksanaan Tekanan Darah pada
Stroke Akut)

 Bila tekanan darah sistolik <120 mmHg dan cairan sudah mencukupi, maka obat-
obat vasopressor dapat diberikan secara titrasi seperti dopamin dosis sedang/ tinggi,
norepinefrin atau epinefrin dengan target tekanan darah sistolik berkisar 140 mmHg.

 Pemantauan jantung (cardiac monitoring) harus dilakukan selama 24 jam pertama


setelah serangan stroke iskernik (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).

 Bila terdapat adanya penyakit jantung kongestif, segera atasi (konsultasi


Kardiologi).

 Hipotensi arterial harus dihindari dan dicari penyebabnya. Hipovolemia harus


dikoreksi dengan larutan satin normal dan aritmia jantung yang mengakibatkan
penurunan curah jantung sekuncup harus dikoreksi (AHA/ASA, Class I, Level of
evidence C).

c. Pemeriksaan Awal Fisik Umum

 Tekanan darah

 Pemeriksaan jantung

 Pemeriksaan neurologi umum awal:

i. Derajat kesadaran

ii. Pemeriksaan pupil dan okulomotor


iii. Keparahan hemiparesis
d. Pengendalian Peninggian Tekanan Intrakranial (TIK)

 Pemantauan ketat terhadap penderita dengan risiko edema serebral harus


dilakukan dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda neurologis pada hari-
hari pertama setelah serangan stroke (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).

 Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS <9 dan penderita yang
mengalami penurunan kesadaran karena kenaikan TIK (AHA/ASA, Class V, Level of
evidence C).

 Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan CPP >70 mmHg.

 Penatalaksanaan penderita dengan peningkatan tekanan intrakranial meliputi :

i. Tinggikan posisi kepala 200 - 300

ii. Posisi pasien hendaklah menghindari tekanan vena jugular

iii. Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik

iv. Hindari hipertermia

v. Jaga normovolernia

vi. Osmoterapi atas indikasi:

o Manitol 0.25 - 0.50 gr/kgBB, selama >20 menit, diulangi setiap 4 - 6 jam dengan
target ≤ 310 mOsrn/L. (AHA/ASA, Class III, Level of evidence C). Osmolalitas
sebaiknya diperiksa 2 kali dalam sehari selama pemberian osmoterapi.

o Kalau perlu, berikan furosemide dengan dosis inisial 1 mg/kgBB i.v.

vii. Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35 - 40 mmHg). Hiperventilasi


mungkin diperlukan bila akan dilakukan tindakan operatif.

viii. Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi yang adekuat dapat
mengurangi naiknya TIK dengan cara mengurangi naiknya tekanan intratorakal dan
tekanan vena akibat batuk, suction, bucking ventilator (AHA/ASA, Class III-IV,
Level of evidence C). Agen nondepolarized seperti vencuronium atau pancuronium
yang sedikit berefek pada histamine dan blok pada ganglion lebih baik digunakan
(AHA/ASA, Class III-IV, Level of evidence C). Pasien dengan kenaikan krtitis TIK
sebaiknya diberikan relaksan otot sebelum suctioning atau lidokain sebagai
alternative.
ix. Kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk mengatasi edema otak dan tekanan
tinggi intracranial pada stroke iskemik, tetapi dapat diberikan kalau diyakini tidak
ada kontraindikasi. (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A).
x. Drainase ventricular dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat stroke iskemik
serebelar (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).
xi. Tindakan bedah dekompresif pada keadaan iskemik sereberal yang menimbulkan
efek masa, merupakan tindakan yang dapat menyelamatkan nyawa dan memberikan
hasil yang baik. (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).
e. Penanganan Transformasi Hemoragik
Tidak ada anjuran khusus tentang terapi transformasi perdarahan asimptomatik
(AHA/ASA, Class Ib, Level of evidence B). Terapi transformasi perdarahan
simtomatik sama dengan terapi stroke perdarahan, antara lain dengan memperbaiki
perfusi serebral dengan mengendalikan tekanan darah arterial secara hati-hati.
f. Pengendalian Kejang
 Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5-20mg dan diikuti oleh
fenitoin, loading dose 15-20 mg/kg bolus dengan kecepatan maksimum 50 mg/menit.

 Bila kejang belum teratasi, maka perlu dirawat di ICU.

 Pemberian antikonvulsan profilaksis pada penderita stroke iskemik tanpa kejang


tidak dianjurkan (AHA/ASA, Class III, Level of evidence C).

 Pada stroke perdarahan intraserebral, obat antikonvulsan profilaksis dapat


diberikan selama 1 bulan, kemudian diturunkan, dan dihentikan bila tidak ada kejang
selama pengobatan (AHA/ASA, Class V, Level of evidence C).

g. Pengendalian Suhu Tubuh


 Setiap pederita stroke yang disertai demam harus diobati dengan antipiretika dan
diatasi penyebabnya (AHA/ASA, Class I, Level of evidence C).
 Berikan Asetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 38,5 oC (AHA/ASA
Guideline)1 atau 37,5 oC (ESO Guideline).
 Pada pasien febris atau berisiko terjadi infeksi, harus dilakukan kultur dan hapusan
(trakea, darah dan urin) dan diberikan antibiotik. Jika memakai kateter ventrikuler,
analisa cairan serebrospinal harus dilakukan untuk mendeteksi meningitis.

 Jika didapatkan meningitis, maka segera diikuti terapi antibiotic (AHA/ASA


Guideline).

h. Pemeriksaan Penunjang
 EKG

 Laboratorium (kimia darah, fungsi ginjal, hematologi, faal hemostasis, kadar gula
darah, analisis urin, analisa gas darah, dan elektrolit)

 Bila perlu pada kecurigaan perdarahan subaraknoid, lakukan punksi lumbal untuk
pemeriksaan cairan serebrospinal

 Pemeriksaan radiologi

i. Foto rontgen dada

ii. CT Scan
Penatalaksanaan Umum di Ruang Rawat
1. Cairan
a. Berikan cairan isotonis seperti 0,9% salin dengan tujuan menjaga euvolemi.
Tekanan vena sentral dipertahankan antara 5-12 mmHg.
b. Pada umumnya, kebutuhan cairan 30 ml/kgBB/hari (parenteral maupun enteral).
c. Balans cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urin sehari ditambah
dengan pengeluaran cairan yang tidak dirasakan (produksi urin sehari ditambah 500
ml untuk kehilangan cairan yang tidak tampak dan ditambah lagi 300 ml per derajat
Celcius pada penderita panas).
d. Elektrolit (natrium, kalium, kalsium dan magnesium) harus selalu diperiksa dan
diganti bila terjadi kekurangan sampai tercapai nilai normal.
e. Asidosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai dengan hasil analisa gas darah.
f. Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaklah dihindari kecuali pada
keadaan hipoglikemia.
2. Nutrisi
a. Nutrisi enteral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48 jam, nutrisi oral
hanya boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan baik.
b. Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun makanan, nutrisi
diberikan melalui pipa nasogastrik.
c. Pada keadaan akut, kebutuhan kalori 25-30 kkal/kg/hari dengan komposisi:
 Karbohidrat 30-40 % dari total kalori;

 Lemak 20-35 % (pada gangguan nafas dapat lebih tinggi 35-55 %);

 Protein 20-30% (pada keadaan stress kebutuhan protein 1.4-2.0 g/kgBB/hari (pada
gangguan fungsi ginjal <0.8 g/kgBB/hari).

d. Apabila kemungkinan pemakaian pipa nasogastrik diperkirakan >6 minggu,


pertimbangkan untuk gastrostomi.
e. Pada keadaan tertentu yaitu pemberian nutrisi enteral tidak memungkinkan,
dukungan nutrisi boleh diberikan secara parenteral.
f. Perhatikan diit pasien yang tidak bertentangan dengan obat-obatan yang diberikan.
Contohnya, hindarkan makanan yang banyak mengandung vitamin K pada pasien
yang mendapat warfarin.4
3. Pencegahan dan Penanganan Komplikasi
a. Mobilisasi dan penilaian dini untuk mencegah komplikasi subakut (aspirasi,
malnutrisi, pneumonia, thrombosis vena dalam, emboli paru, dekubitus, komplikasi
ortopedi dan kontraktur) perlu dilakukan (AHA/ASA, Level of evidence B and C).
b. Berikan antibiotika atas indikasi dan usahakan sesuai dengan tes kultur dan
sensitivitas kuman atau minimal terapi empiris sesuai dengan pola kuman
(AHA/ASA, Level of evidence A).
c. Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas dan atau memakai kasur
antidekubitus.
d. Pencegahan thrombosis vena dalam dan emboli paru.
e. Pada pasien tertentu yang beresiko menderita thrombosis vena dalam, heparin
subkutan 5000 IU dua kali sehari atau LMWH atau heparinoid perlu diberikan
(AHA/ASA, Level of evidence A). Resiko perdarahan sistemik dan perdarahan
intraserebral perlu diperhatikan. Pada pasien imobilisasi yang tidak bias menerima
antikoagulan, penggunaan stocking eksternal atau aspirin direkomendasikan untuk
mencegah thrombosis vena dalam. (AHA/ASA, Level of evidence A and B).
4. Penatalaksanaan Medis Lain
a. Pemantauan kadar glukosa darah sangat diperlukan. Hiperglikemia (kadar glukosa
darah >180 mg/dl) pada stroke akut harus diobati dengan titrasi insulin
(AHA/ASA,Class I, Level of evidence C). Target yang harus dicapai adalah
normoglikemia. Hipoglikemia berat (<50 mg/dl) harus diobati dengan dekstrosa 40%
intravena atau infuse glukosa 10-20%.
b. jika gelisah lakukan terapi psikologi, kalau perlu berikan minor dan mayor
tranquilizer seperti benzodiazepine short acting atau propofol bias digunakan.
c. Analgesik dan antimuntah sesuai indikasi.
d. Berikan H2 antagonis, apabila ada indikasi (perdarahan lambung).
e. Hati-hati dalam menggerakkan, penyedotan lender, atau memandikan pasien
karena dapat mempengaruhi TTIK.
f, Mobilisasi bertahap bila hemodinamik dan pernafasan stabil.
g. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan kateterisasi
intermiten.
h. Pemeriksaan penunjang lanjutan seperti pemerikssan laboratorium, MRI, Dupleks
Carotid Sonography, Transcranial Doppler, TTE, TEE, dan lain-lain sesuai dengan
indikasi.
i. Rehabilitasi.
j. Edukasi.
k. Discharge planning (rencana pengelolaan pasien di luar rumah sakit).
(PERDOSSI, 2011)
2.1.3 Toxoplasmosis
A. Pengertian Toxoplasmosis

Toxoplasma gondii (T. gondii) adalah parasit intraseluler yang menginfeksi


berbagai hewan berdarah panas termasuk kucing, anjing, dan manusia (Garcia et al.,
2012). Infeksi oleh toksoplasmosis dapat terjadi karena menelan sista di jaringan
daging yang kurang matang atau mentah atau tidak sengaja menelan oosista dari
lingkungan (Duan et al., 2012).
Toksoplasmosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma
gondii yang merupakan golongan protozoa yang sifatnya parasite obligat intraseluler.
Penemu dari Toxoplasma gondii yang pertama kali adalah Nicole dan Splendore pada
tahun 1908 pada hewan pengerat (tenodactylus gundii) pada bagian limfa dan hati di
Tunisia Afrika dan pada seekor kelinci di Brazil dan disebut sebagai Toxoplasma
gondii (Dubey, 2008).
(Muhammad Hanafiah dkk, 2015)
B. Etiologi Toxoplasmosis
Penyebab penyakit toxoplasmosis adalah toxoplasma gondii yang bersifat
parasite intraselular obligat. Nama toxoplasma berasal dari kata toxon (Bahasa
Yunani) yang berarti busur (bow) yang mengacu pada bentuk sabit (crescent shape)
dari takizoit. Adapun gondii berasal dari kata Ctenodactylus gondii, seekor rodensi
dari Afrika Utara dimana parasite tersebut pertama kali ditemukan pada tahun 1908.
Toxoplasma gondii termasuk anggota filum Apicomplexa, kelas Sprozoa, Subkelas
Coccidia dan subordo Eimeria. Protoza ini mampu menginfeksi semua sel berinti,
termasuk makrofag yang seharusnya berfungsi memfagositosis dan mengeliminasi
pathogen. (Iskandar T, 2009).
C. Patofisiologi Toxoplasmosis
Toksoplasmosis merupakan infeksi protozoa yang disebabkan oleh
Toxoplasma gondii dengan hospes definitif kucing dan hospes perantara manusia.
Manusia dapat terinfeksi parasit ini bila memakan daging yang kurang matang atau
sayuran mentah yang mengandung ookista atau pada anak-anak yang suka bermain
di tanah, serta ibu yang gemar berkebun dimana tangannya tertempel ookista yang
berasal dari tanah. (Montoya JG, Liesenfeld O., 2004)
Perkembangan parasit dalam usus ku-cing menghasilkan ookista yang
dikeluar-kan bersama tinja. Ookista menjadi matang dan infektif dalam waktu 3-5
hari di tanah. Ookista yang matang dapat hidup setahun di dalam tanah yang lembab
dan panas, yang tidak terkena sinar matahari secara langsung. Ookista yang matang
bila ter-telan tikus, burung, babi, kambing, atau manusia yang merupakan hospes
perantara, dapat menyebabkan terjadinya infeksi. (Montoya JG, Liesenfeld O., 2004)
Toksoplasmosis dikelompokkan men-jadi toksoplasmosis akuisita (dapatan)
dan toksoplasmosis kongenital yang sebagian besar gejalanya asimtomatik.
Keduanya bersifat akut kemudian menjadi kronik atau laten. Gejala yang nampak
sering tidak spe-sifik dan sulit dibedakan dengan penyakit lainnnya. (Indra C, 2003)
Pada ibu hamil yang terinfeksi di awal kehamilan, transmisi ke fetus umum-
nya jarang, tetapi bila terjadi infeksi, u-mumnya penyakit yang didapat akan lebih
berat. Pada toksoplasmosis yang terjadi di bulan-bulan terakhir kehamilan, parasit
ter-sebut umumnya akan ditularkan ke fetus tetapi infeksi sering subklinis pada saat
lahir.
Pada ibu hamil yang mengalami in-feksi primer, mula-mula akan terjadi pa-
rasitemia, kemudian darah ibu yang masuk ke dalam plasenta akan menginfeksi pla-
senta (plasentitis). Infeksi parasit dapat ditularkan ke janin secara vertikal. Takizoit
yang terlepas akan berproliferasi dan menghasilkan fokus-fokus nekrotik yang
menyebabkan nekrosis plasenta dan jaring-an sekitarnya, sehingga membahayakan
ja-nin dimana dapat terjadi ekspulsi ke-hamilan atau aborsi. (Anwar AD, 2011)
(Kementerian Pertanian,
2014)

D. Diagnosis Toxoplasmosis
Sekali terinfeksi Toksoplasma, manusia maupun hewan akan membentuk
antibodi protektif yang berperan seumur hidup pada hospes, kecuali jika hospes
mengalami gangguan sistem imun yang berat (immunocompromised) dan tidak
mampu membentuk respon imun humoral. Adanya Toxoplasma di dalam jaringan
atau cairan tubuh dapat diketahui dengan menggunakan PCR atau pemeriksaan
biologi pada mencit.
Diagnosis toksoplasmosis pada manusia
Terdapat beberapa uji serologi untuk menentukan diagnosis toksoplasmosis
pada manusia dan untuk menbedakan antara infeksi akut yang baru terjadi dan
infeksi laten yang sudah lama terjadi. Titer IgM dalam serum menunjukkan
terjadinya infeksi baru, sedangkan adanya IgG yang bertahan lebih lama di dalam
serum menunjukkan bahwa pernah terjadi infeksi Toxoplasma di masa lalu.
Meskipun demikian kedua tipe antibodi tersebut biasanya baru dapat ditemukan
dalam waktu 1-2 minggu sesudah terjadi infeksi.
Beberapa produk kit IgM terhadap Toxoplasma ternyata menunjukkan adanya
hasil positif palsu (false-positive) sehingga penilaian hasil pemeriksaan tersebut
harus ditetapkan dengan hati-hati.
Penggunaan MAT (Modified latex Agglutination Test) yang sangat peka
dalam dalam mendeteksi IgG dapat juga dimanfaatkan untuk membantu
membedakan infeksi akut dan kronis berdasar reaktivitasnya dengan aseton terhadap
(versus) formalin-fixed antigen.
Pemantauan serologi pada perempuan hamil tidak selalu dianjurkan di USA
dan Canada. Hal ini berbeda dengan yang dianjurkan di berbagai negara Eropa. Di
USA dan Canada risiko terinfeksi Toxoplasma sangat rendah jika dibandingkan
dengan di Eropa. Diagnosis terjadinya infeksi in utero dilakukan dengan memeriksa
DNA Toxoplasma pada cairan amnion, yang jika positif diteruskan dengan
pemeriksaan ultrasonografi janin untuk melihat adanya kecacatan kongenital.
Diagnosis toksoplasmosis pada hewan
Berbeda dengan pada manusia, perkembangan dan keberadaan IgM pada
kucing yang terinfeksi toksoplasmosis sering berubah-ubah, sehingga tidak dapat
digunakan sebagai patokan terjadinya infeksi Toxoplasma. Selain itu kucing yang
terinfeksi kadang-kadang baru membentuk IgG 4-6 minggu sesudah infeksi, jadi
sesudah kucing tidak lagi mengeluarkan ookista dalam tinjanya. Kucing dengan
seropositif IgG mungkin tidak mengeluarkan ookista. Pada infeksi ulang kucing
dengan parasit, ookista tidak banyak dikeluarkan karena kucing sudah mempunyai
kekebalan terhadap infeksi baru. Kucing dengan seronegatif mungkin mengeluarkan
ookista dalam tinjanya dan jika terinfeksi Toxoplasma akan menimbulkan gejala
klinis yang nyata.
Kucing hanya mengeluarkan ookista dalam tinjanya selama 1-3 minggu
sesudah infeksi pertama oleh Toxoplasma, sehingga pemeriksaan tinja kucing
sebenarnya kurang bermanfaat.
(Soedarto, 2012)

E. Penatalaksanaan Toxoplasmosis
Pengobatan toksoplasmosis pada manusia
Obat yang biasa digunakan untuk mengobati toksoplasmosis pada manusia
adalah kombinasi pirimetamin dan sulfonamid. Pengobatan ini sebaiknya tidak
diberikan pada perempuan hamil karena dapat menimbulkan gangguan pada sintesis
asam folat janin.
Untuk mengobati ibu hamil dengan toksoplasmosis, digunakan spiramisin
yang dapat menurunkan beratnya penyakit pada toksoplasmosis kongenital dan
akibat kecacatan yang timbul dimasa akan datang, tetapi tidak mengurangi risiko
terjadinya infeksi. Pengobatan yang dilakukan secara dini pada infeksi
toksoplasmosis prenatal pada anak juga menunjukkan berkurangnya kejadian
kecacatan dan mencegah terjadinya kecacatan dikemudian hari.
Penderita dengan transplantasi terutama transplantasi jantung sebaiknya
dikelola dengan memberikan terapi pencegahan dengan pirimetamin-sulfonamid
selama enam minggu untuk mencegah terjadinya infeksi Toxoplasma gondii pada
penderita.
Pada penderita AIDS dengan seropositif Toxoplasma, untuk mencegah
terjadinya reaktivasi penyakit toksoplasmosis penderita dapat diberi pengobatan
pencegahan menggunakan Pirimetamin-Dapson, Trimetoprim-Sulfametoksasol atau
Fansidar.
Pengobatan toksoplasmosis hewan
Klindamisin dan kombinasi Pirimetamin-Sulfonamid dapat diberikan pada
anjing dan kucing yang menderita toksoplasmosis. Obat ini seperti halnya
antikoksidial lainnya misalnya monensin dan toltrazuril diberikan untuk mengurangi
jumlah ookista yang dikeluarkan oleh kucing jika hewan tersebut terinfeksi dengan
Toxoplasma atau jika hewan tersebut mengalami imunosupresi.
PENGENDALIAN INFEKSI
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara
kepemilikan kucing dengan risiko terjadinya infeksi toksoplasmosis. Jika
pemeliharaan kucing dilakukan dengan baik dengan memperhatikan kebersihan dan
sanitasi, ibu-ibu hamil dan orang-orang dengan gangguan sistem imun tetap boleh
memelihara kucingnya. Meskipun demikian orang-orang yang berisiko tinggi
terhadap infeksi toksoplasmosis (yaitu ibu hamil dan mereka yang rendah daya tahan
tubuhnya) sebaiknya sedapat mungkin tetap menghindari paparan dengan tinja
kucing dan kotak kotoran kucing (cat litter).
Jika seekor kucing diketahui mengeluarkan ookista bersama tinjanya,
sebaiknya kucing diasingkan sementara dari lingkungan tempat tinggal kita dan
diobati dengan baik sampai tidak lagi mengeluarkan ookista. Kucing juga harus tetap
dirawat dan dibersihkan dengan teratur karena ookista mungkin masih ada yang
melekat pada bulu-bulunya.
Memasak dengan menggunakan microwave, menggarami atau mengasapi
daging belum tentu dapat membunuh semua stadium infektif Toxoplasma yang
terkandung di dalamnya. Membekukan daging pada suhu minus 12o Celsius selama
lebih dari 24 jam dapat membunuh hampir semua kista jaringan Toxoplasma, tetapi
kista berspora masih mampu bertahan hidup pada suhu minus 20o Celsius sampai 28
hari lamanya.
Mencuci bersih perlengkapan dapur dan permukaan benda-benda yang
terpapar daging mentah dengan sabun dan mencucinya dengan air mendidih dapat
membunuh semua takizoit maupun bradizoit Toxoplasma. Setiap orang sebaiknya
selalu mencuci tangan segera sesudah terpapar dengan tinja kucing, tempat kotoran
kucing (litter-box).
Pada suhu kamar proses sporulasi terjadi antara 1-5 hari, sedangkan pada
udara yang bersuhu dingin ookista membutuhkan waktu yang lebih lama untuk
membentuk spora. Pada suhu 11o Celsius proses pembentukan spora membutuhkan
waktu sekitar 3 minggu lamanya. Sesudah membentuk spora, ookista dapat bertahan
lebih lama di lingkungan luar dan tahan terhadap paparan berbagai macam
desinfektan. Karena itu cara terbaik untuk melakukan dekontaminasi benda-benda
misalnya litter-box adalah dengan memasaknya atau merendamnya dengan air
mendidih. Ookista berspora akan mati dengan pemanasan pada suhu 55-60o Celsius
selama 1-2 menit.
Tinja dan kotoran kucing harus dibuang setiap hari ke dalam jamban (WC)
atau membungkusnya rapat-rapat di dalam kantong plastik dan membuangnya ke
tempat sampah, atau membakarnya pada insenirator.
Kucing harus dijauhkan dari kotakpasir tempat anak bermain agar hewan tersebut
tidak buang air di tempat bermain anak-anak yang dapat menjadi sumber penularan
toksoplasmosis.
(Soedarto, 2012)

Anda mungkin juga menyukai