Anda di halaman 1dari 47

LEMBAR PENGESAHAN

KOORDINATOR KEPANITERAAN KLINIK

DEPARTEMEN ANESTESI DAN REANIMASI

PRESENTASI KASUS DENGAN JUDUL

ANESTESI SPINAL

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian

DEPARTEMEN ANESTESI DAN REANIMASI

RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO

JAKARTA

Disusun oleh:

Rani Dwi Ningtias

1102014220

Telah disetujui oleh Pembimbing

dr. Noor Achmadi, SpAn

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb.

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat-Nya, penulis
berhasil menyelesaikan penulisan laporan yang berjudul “ANESTESI SPINAL”.

Laporan kasus ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan
klinik di bagian Anestesi dan Reanimasi RSPAD Gatot Soebroto. Penulisan laporan kasus ini
tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan
ini penulisan menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr. Noor Achmadi, SpAn selaku
pembimbing dan teman-teman.

Dalam penulisan laporan kasus ini penulis menyadari bahwa masih jauh dari
kesempurnaan dan masih banyak kekurangan baik dari segi penulisan maupun dari segi isi
materi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun untuk perbaikan pada penulisan dan penyusunan laporan ini. Penulis berharap
laporan kasus ini dapat membawa manfaat bagi semua pihak. Semoga Allah SWT senantiasa
membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Aamiin ya rabbal’alamin.

Wassalamualaikum wr.wb

Jakarta, Februari 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................................................... 1


KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ 2
DAFTAR ISI........................................................................................................................................... 3
BAB I ...................................................................................................................................................... 4
BAB II..................................................................................................................................................... 5
BAB III ................................................................................................................................................. 22
BAB IV ................................................................................................................................................. 43
BAB V .................................................................................................................................................. 46
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 47

3
BAB I

PENDAHULUAN

Kata anestesi berasal dari bahasa Yunani, a = tanpa dan aesthesis = rasa, sensasi yang
berarti keadaan tanpa rasa sakit. Sedangkan anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang
mendasari berbagai tindakan meliputi pemberian anestesi ataupun analgesia, pengawasan
keselamatan penderita yang mengalami pembedahan atau tindakan lainnya, pemberian bantuan
hidup dasar, perawatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan menanggulangan nyeri1.

Secara garis besar anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi umum dan
anestesi regional. Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa nyeri yang bersifat
sementara akibat pemberian obat-obatan serta menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara
sentral. Sedangkan anestesi regional adalah anestesi pada sebagian tubuh, keadaan bebas nyeri
sebagian tubuh tanpa kehilangan kesadaran2. Anestesi regional memiliki berbagai macam
teknik penggunaan salah satu teknik yang dapat diandalkan adalah melalui tulang belakang
atau anestesi spinal. Anestesi spinal adalah pemberian obat antestetik lokal ke dalam ruang
subarakhnoid1. Anestesi spinal diindikasikan terutama untuk bedah ekstremitas inferior, bedah
panggul, tindakan sekitar rektum dan perineum, bedah obstetri dan ginekologi, bedah urologi,
bedah abdomen bawah dan operasi ortopedi ekstremitas inferior1,2.

4
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. S
No. RM : 31****
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 82 tahun
Tanggal Lahir : 31 Desember 1936
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Graha Prima, Tambun, Bekasi
Agama : Islam
Status Pernikahan : Janda
Tinggi Badan : 155 cm
Berat Badan : 55 Kg
Tanggal Masuk RS : 29 Januari 2019

2.2 Anamnesis
Dilakukan anamnesis secara autoanamnesis dan alloanamnesis di Bangsal Bedah pada
tanggal 7 Februari 2019, pukul 16.00 WIB
a) Keluhan Utama:
Nyeri pada paha kanan dan kaki kanan sulit digerakan sejak terjatuh di kamar
mandi 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit dan akan dilakukan tindakan
pembedahan.
b) Keluhan Tambahan:
Batuk kering tidak disertai demam sejak 5 hari yang lalu.
c) Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke IGD RSPAD Gatot Soebroto dengan keluhan nyeri pada paha
kanan sejak terjatuh di kamar mandi 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit.
Keluhan nyeri dirasa terus-menerus terutama jika pasien berusaha menggerakan
kaki kanannya. Kaki kanan pasien juga sulit digerakan semenjak terjatuh.
Sebelum masuk Rumah Sakit, pasien hanya memijat daerah sekitar panggul
kanan dan menggunakan obat pereda nyeri yang dioleskan ditempat yang terasa
nyeri namun rasa nyerinya tetap tidak berkurang dan pasien belum juga bisa

5
menggerakan kaki kanannya. Keluhan pada kaki kiri disangkal pasien. Saat
terjatuh pasien sadar, mual dan muntah disangkal, buang air kecil dan buang air
besar tidak ada keluhan. Keluarga pasien juga mengeluh pasien batuk kering
terus-menerus dan tidak disertai demam sejak 5 hari yang lalu.
d) Riwayat Penyakit Dahulu:
a. Riwayat Hipertensi grade 2 tidak terkontrol diakui
b. Riwayat Diabetes Mellitus disangkal
c. Riwayat Alergi disangkal
d. Riwayat Asma disangkal
e. Riwayat Penyakit Jantung disangkal
f. Riwayat Penyakit Paru disangkal
g. Riwayat Penyakit Ginjal disangkal
h. Riwayat Penyakit Hati disangkal
e) Riwayat Operasi dan Anestesi:
Pasien belum pernah menjalani operasi dan pembiusan sebelumnya.
f) Riwayat Penyakit Keluarga:
Keluarga pasien tidak ada yang memiliki riwayat penyakit dengan gejala yang
sama seperti pasien. Riwayat hipertensi, diabetes mellitus, alergi, asma,
penyakit sistemik lainnya disangkal dalam keluarga pasien.
g) Kebiasaan:
Merokok, minum kopi, dan minum alkohol disangkal.

2.3 Pemeriksaan Fisik


Dilakukan di Bangsal Bedah pada tanggal 7 Februari 2019, pukul 16.20 WIB
Keadaan Umum
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
BB : 55 Kg
TB : 155 cm

Tanda-tanda Vital
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Frekuensi nadi : 78 x/menit, regular, teraba kuat, isi cukup
Frekuensi napas : 22 x/menit

6
Suhu : 36oC per axilla

Status Generalis
Kepala : Normocephal, distribusi rambut merata, rambut berwarna
putih, tidak mudah dicabut, tidak ada krepitasi
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya
langsung (+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+), pupil bulat, isokor,
diameter 3 mm
Telinga : Bentuk normal, tidak ada nyeri tekan, liang telinga lapang
(+/+), membran timpani intak (+/+), Otorhea (-/-)
Hidung : Bentuk normal, choana lapang, tidak ada sekret, tidak ada
deviasi septum, tidak ada polip.
Tenggorokan : Faring tidak hiperemis, uvula ditengah, tonsil T1-T1
Mulut : Mallampati grade 2, tidak ada gigi goyang, terdapat gigi
ompong, tidak ada gigi palsu, buka mulut maksimal 3 jari
Leher : Tampak simetris, Jarak thyroid-mental 3 jari, Jarak hyoid
thyroid 2 jari, tidak ada pembesaran KGB dan pembesaran kelenjar
tiroid, trakea tidak deviasi, ekstensi leher sempurna tanpa tahanan
Thoraks :
Pulmo
Inspeksi : Pergerakkan dada simetris statis dan dinamis
Palpasi : Fremitus taktil dan vokal simetris
Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), Rhonki (+/+),
Wheezing (-/-)
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V midclavicularis
sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan pada ICS V linea para
sternalis dextra, batas jantung kiri pada 2cm
lateral ICS V linea midklavikula sinistra
Auskultasi : Bunyi Jantung I – II normal, regular, tidak ada
murmur maupun gallop

7
Abdomen :
Inspeksi : Datar, tidak ada sikatriks maupun striae, tidak terdapat
caput medusa maupun spider nevy
Auskultasi : Bising Usus (+) frekuensi 4x/menit, tidak terdengar
metalic sound
Palpasi : Supel, tidak ada nyeri tekan, tidak ada
hepatosplenomegali, tidak ada asites
Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen
Pinggang : Nyeri ketuk CVA (-/-)

Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, tidak ada udem, nyeri tekan pada
articulatio hip joint dextra, terdapat deformitas pada ekstremitas inferior
dextra, krepitasi pada articulatio hip joint dextra, Range of Movement terbatas

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium Darah (29 Januari 2019)

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

HEMATOLOGI

Hemoglobin 11.2* 12-16 g/dL

Hematokrit 34* 37-47%

Eritrosit 46 4,3 – 6,0 juta/uL

4,800 –
Leukosit 10350
10,800/uL

150,000 –
Trombosit 161000
400,000 /uL

MCV 74* 80 – 96 fL

MCH 24* 27 – 32 pg

MCHC 33 32 – 36 g/dL

8
KIMIA KLINIK

Gula darah sewaktu 100 < 140 mg/dL

SGOT 58* <35 u/I

SGPT 15 <40 u/I

Ureum 36 20 – 50 mg/dl

Kreatinin 0,8 0,5 – 1,5 mg/dl

eGFR (Formula
72.99 mL/mnt/1.73m2
MDRD)

ELEKTROLIT

Natrium 134* 135-147 mmol/L

Kalium 4.9 3.5-5.0 mmol/L

Klorida 95 95-105 mmol/L

KOAGULASI

Waktu Protrombin (PT)

Kontrol 10.9 detik

Pasien 10.0 9.3-11.8 detik

APTT

Kontrol 23.7 detik

Pasien 22.7* 23.4-31.5 detik

Analisa Gas Darah

pH 7.522* 7.37-7.45

pCO2 29.5* 33-44 mmHg

9
pO2 86.2 71-104 mmHg

Bikarbonat (HCO3) 24.4 22-29 mmol/L

Kelebihan Basa (BE) 3.1 (-2)-3 mmol/L

Saturasi O2 97.7 94-98%

Tabel 1. Laboratorium Darah

Pemeriksaan Radiologi (29 Januari 2019)


Foto Pelvis AP

Kesan: Fraktur komplit kominutif di Intertrokanter femur kanan dengan pergeseran


fragmen distal ke fraktur superior

10
Foto Femur Dextra AP/Lateral

Kesan: Fraktur komplit kominutif di Intertrokanter femur kanan dengan pergeseran


fragmen distal ke fraktur superior
Soft tissue swelling regio proksimal femur kanan

11
Foto Thorax AP

Kesan: Kardiomegali dengan aorta elongasi dan kalsifikasi


Tidak tampak kelainan radiologis pada paru

EKG

12
Interpretasi:
Irama: Sinus
HR: 98x/m reguler
Aksis: normoaksis
Gelombang P: Normal
PR interval: 0,2 s (Normal)
Kompleks QRS: V2S = 18 mm, V6R = 20 mm
Segmen ST: Normal
Gelombang T: Normal
Kesan: Sinus Rhythm dengan Hipertrofi ventrikel kiri

Ekokardiografi
Kondisi ruang jantung: LA LV dilatasi
Global normokinetik, kontraktilitas LV baik EF 59%, Kontraktilitas RV baik

13
TAPSEb2.1cm
Katup aorta: 3 cuspis, kalsifikasi (+), AS mild, AR moderate ec. Degeneratif
Katup mitral: MR mild
Katup trikuspid: TR mild, TR vmax 2,6 m/s
Katup pulmonal: fungsi normal
Tidak tampak SEC dan thrombus dari TTE
Kesimpulan:
AR moderate, AS mild ec. Degeneratif
Kontraktilitas LV dan RV baik
LVH konsentrik
TR mild, MR mild, katup pulmonal normal
Low probability of PH

2.5 Resume
Ny. S usia 82 tahun datang ke IGD RSPAD Gatot Soebroto dengan keluhan Nyeri
pada paha kanan dan kaki kanan sulit digerakan sejak terjatuh di kamar mandi 3 hari
sebelum masuk Rumah Sakit. Pasien memiliki riwayat hipertensi tidak terkontrol.
Riwayat diabetes mellitus, asma, alergi, dan penyakit sistemik lainnya disangkal.
Kebiasaan merokok, minum kopi, dan minum alkohol disangkal. Pemakaian gigi
palsu disangkal. Riwayat operasi dan pembiusan sebelumnya disangkal. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan pada articulatio hip joint dextra, terdapat
deformitas pada ekstremitas inferior dextra, krepitasi pada articulatio hip joint dextra,
Range of Movement terbatas. Pada pemeriksaan darah didapatkan Hb 11.2 g/dL, MCV
74 fL, dan MCH 24 pG. Pada pemeriksaan radiologi ditemukan fraktur komplit
kominutif di Intertrokanter femur kanan dengan pergeseran fragmen distal ke fraktur
superior. Pada EKG didapatkan adanya hipertrofi ventrikel kiri. Pada pemeriksaan
ekokardiografi didapatkan penurunan fungsi jantung karena proses degeneratif.

2.6 Diagnosis Kerja


Fraktur kominutif interthrochanter os femur dextra.

2.7 Diagnosis Anestesi


ASA III dengan Hipertensi tidak terkontrol, hipertrofi ventrikel kiri, penurunan EF
jantung, dan anemia (Hb 11.2, MCV 74, dan MCH 24).

14
2.8 Rencana Tindakan
Bipolar Hemiarthroplasty

2.9 Rencana Anestesi


Anestesi regional dengan spinal analgesia

15
LAPORAN ANESTESI

1. Persiapan Pasien
1. 1nformed consent
2. Surat persetujuan operasi
3. Mengkaji pre-anestesi meliputi keluhan, riwayat penyakit, dan riwayat operasi.
Pasien memiliki riwayat hipertensi tidak terkontrol dan memiliki kelainan tulang
punggung.
4. Pasien dipuasakan sejak pukul 03.00 WIB tanggal 7 Februari 2018 dengan tujuan
untuk mengosongkan lambung sebelum tindakan untuk menghindari kemungkinan
terjadinya muntah dan aspirasi isi lambung yang akan membahayakan pasien.
5. Pengosongan kandung kemih pada pagi dan sebelum operasi.
6. Pendataan kembali identitas pasien di kamar operasi.
7. Memakai pakaian operasi yang telah disediakan di ruang persiapan.
8. Pemeriksaan fisik di ruang persiapan : TD : 191/90 mmHg, Nadi 84x/menit, RR
14x/menit.

2. Persiapan Alat Anastesi


1. Mesin Anastesi
Komponen I : sumber gas, flowmeter dan vaporizer
Komponen II : sirkuit napas/sistem ventilasi
Komponen III alat penghubung sistem ventilasi dengan pasien yaitu sungkup muka
dan pipa ombak
2. Monitor Elektrokardiografi (EKG)
3. Sfigmanometer digital
4. Oksimeter/saturasi
5. Nasal kanul
6. Infus set dan cairan infus
7. Abocath no 20 G
8. Plester, kapas alkohol, kassa steril
9. Spinal set
Jarum spinal Quincke (Spinocan) no. 27 G
Spuit 10 cc
Handscoen steril

16
Duk steril
Betadine 10% dan alkohol 70%
Plester
10. Sungkup muka (jika diperlukan)
11. STATICS (jika diperlukan)
12. Gel ETT (jika diperlukan)

3. Persiapan Obat Anestesi dan cairan


Anestesi spinal:
1. Regivell 20 mg
2. Catapres 15 mcg
Antiemetik:
1. Ondancentron 4 mg
Antibiotik:
1. Ceftriaxone 2 gram
Obat post operasi:
1. Tramal 100 mg IV
2. Ondancentron 4 mg
Cairan:
1. Ringer Laktat
2. Asering
3. NaCl
4. Koloid
5. Darah
Pre-medikasi (jika diperlukan):
1. Midazolam 5,5 mg
Induksi (jika diperlukan):
1. Propofol 55 mg
Analgetik (jika diperlukan):
1. Fentanyl 55 mcg
Relaksan (jika diperlukan):
1. Notrixum 27,5 mg dan 5,5 mg / 45 menit
Gas anestesi (jika diperlukan):
1. Sevoflurane

17
2. Isoflurane
Antihemoragik (jika diperlukan):
1. Asam tranexamat
2. Vit. K
Obat emergensi (jika diperlukan):
1. Sulfat atropin, Dexamethasone, Ephedrine, Lidocain

4. Persiapan Cairan Perioperatif


Berat Badan : 55 kg
i. Maintenance (M) = BB x Kebutuhan cairan perjam
= (4ml x10kg)+(2ml x10kg)+(1ml x35kg) ml/jam
= 95 ml/jam

ii. Pengganti Puasa (P) = M x Jam puasa


= 95 ml x 6 jam
= 570 ml

iii. Jenis Operasi (O) sedang = BB x Jenis Operasi


= 55 kg x 6 ml/kgbb = 330 ml

Pemberian Cairan pada Operasi ini


Pada jam ke-1 = M + 50% (P)+ O
= 95 + 50% (570) + 330
= 710 ml
Pada jam ke-2 = M + 25% (P)+ O
= 95 + 25% (570) + 330
= 567,5 ml

5. Pelaksanaan Anestesi
Pukul 09.00
1. Pasien dibaringkan di meja operasi posisi supine
2. Pasang infus No. 20 G pada tangan kanan dengan cairan Ringer Laktat
3. Memasang monitor EKG dan pulse oksimetri
4. Mengukur TD 191/90 mmHg, HR 84x/m, RR 14x/mnt, T 36oC

18
5. SpO2:98%

Pukul 10.00:
1. Pasien dalam posisi duduk sambil memeluk bantal. Pasien diberitahu bahwa akan
dilakukan tindakan pembiusan.
2. Identifikasi daerah yang akan dipungsi
3. Melakukan tindakan aseptik pada daerah yang akan daerah punggung bagian lumbal
sakral dan menggunakan betadine 10 % dan alkohol 70%
2. Identifikasi celah intervertebral L3-L4
3. Menusukan jarum spinal Quincice no.27, tipe penusukan hingga menembus kulit
sampai membrane dura – arachnoid yang dikonfirmasi dengan keluarnya CSF bila
stilet dicabut
4. Setelah itu, memasang spuit berisi obat anastesi yang telah disiapkan (Regivell 20
mg dan Catapres 15 mcg)
5. Setelah obat anastesi masuk, tindakan selanjutnya adalah menarik keluar jarum dan
menutup bagian punggung menggunakan tape/plester
6. Kemudian pasien dibaringkan
7. Untuk memastikan efek dari obat dengan meminta pasien mengangkat kaki, nilai
bromage score : 3
8. Memasang kanul O2 2 liter/menit
9. Diberikan Ondnsentron 4 mg iv
10. TD : 190/90 mmHg, HR : 110x/menit, SpO2 : 100%

Pukul 10.15
1. Diberikan Ceftriaxone IV 2 gram
2. TD : 170/100 mmHg, HR : 55x/m, SpO2 : 100%
3. Cairan infus yang sudah masuk 500 ml
4. Pergantian cairan infus baru Ringer Laktat

Pukul 10.30
1. Diberikan Ondancentron IV 4 mg
2. TD : 170/90 mmHg, HR : 58x/m, SpO2 : 100%

19
Pukul 10.45
1. Mulai pembedahan
2. TD : 170/90 mmHg, HR : 58x/m, SpO2 : 100%

Pukul 11.30
1. Pembedahan selesai
2. TD : 170/90 mmHg, HR : 58x/m, SpO2 : 100%

Pukul 11.40
1. Pasien dipindahkan ke Recovery room

6. Pemantauan Selama Operasi

Lama pembiusan : 1 jam 30 menit

Lama pembedahan : 45 menit

Perdarahan : 200 cc

Urin Output : 50 cc

Total Cairan Infus : 750 ml

7. Post Operatif
Tiba di Recovery Room pukul 11.43
Pemasangan oksigen dan monitoring
Kesadaran : compos mentis
TD : 160/87 mmHg, HR : 65x/m, SpO2 : 100%, RR : 18x/m
Aldrette score:
Kesadaran :2
Pernafasan :2
Sirkulasi :2
Aktivitas :1
Warna kulit :2
Total : 9 (Boleh ke ruang perawatan)
Pasien dipindahkan ke ruang perawatan pukul 12.11

20
Intruksi pasca bedah:
1. Bila kesakitan : Tramal IV 100 mg
2. Bila Mual/muntah : Ondancentron IV 4 mg
3. Infus : Ringer Laktat 20 tpm
4. Obat-obatan lain sesuai terapi bedah
5. Pemantauan TTV setiap 15 menit selama 2 jam

21
BAB III

TINJAUAN PUSKATA

3.1 Anestesi Regional


Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh sementara
pada impuls saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu bagian tubuh diblokir untuk
sementara (reversibel). Fungsi motorik dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya
tetapi pasien tetap sadar1. Anestesi regional terdiri dari:
1. Blok sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal, epidural, dan kaudal.
Blok neuroaksial akan menyebabkan blok simpatis, analgesia sensoris dan blok
motoris (tergantung dari dosis, konsentrasi, dan volume obat anestesi lokal).
Tindakan ini sering dikerjakan1.
2. Blok perifer (blok saraf), misalnya anestesi topikal, infiltrasi lokal, blok
lapangan, dan analgesia regional intravena1.

Keuntungan anestesi regional, yaitu2:

1. Alat minim dan teknik relatif sederhana, sehingga biaya relatif lebih
murah.
2. Relatif aman untuk pasien yang tidak puasa (operasi emergency, lambung
penuh) karena penderita sadar.
3. Tidak ada komplikasi jalan nafas dan respirasi.

4. Tidak ada polusi kamar operasi oleh gas anestesi.

5. Perawatan post operasi lebih ringan.

Kerugian anestesi regional, yaitu2:

1. Tidak semua penderita mau dilakukan anestesi secara regional.

2. Membutuhkan kerjasama pasien yang kooperatif.

3. Sulit diterapkan pada anak-anak.

4. Tidak semua ahli bedah menyukai anestesi regional.

5. Terdapat kemungkinan kegagalan pada teknik anestesi regional.

22
3.2 Anestesi Spinal
3.2.1 Definisi1
Anestesi spinal adalah salah satu metode anestesi yang diinduksi dengan
menyuntikan sejumlah kecil obat anestesi lokal ke dalam cairan serebrospinal
(LCS). Anestesi spinal/subarachnoid disebut juga sebagai analgesia/blok spinal
intradural atau blok intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikan
obat analgesik lokal ke dalam ruang subarachnoid di daerah antara vertebra L2-
L3, atau L3-L4, atau L4-L5.

3.2.2 Anatomi Columna Vertebra3,2,4


Panjang rangkaian tulang belakang pada orang dewasa dapat mencapai
57-67 cm. Seluruhnya terdapat 33 ruas tulang, 24 buah di antaranya adalah
tulang-tulang terpisah dan 19 ruas sisanya bergabung membentuk 2 tulang.
Kolumna vertebralis terdiri dari 7 tulang belakang servikalis, 12 tulang belakang
thorakalis, 5 tulang belakang lumbal, 5 tulang sakrum, dan 4 tulang ekor. Tiap
vertebra terdiri dari korpus, pedikel, lamina, prosessus transversus, prosessus
spinosus, prosessus artikularis superior dan inferior.

Gambar 3.1 Susunan Kolumna Vertebralis

23
Arkus vertebralis atau lengkung vertebra terdiri dari lamina dan pedikel.
Cincin arkus vertebralis dan posterior korpus vertebra membentuk foramen
intervertebralis yang tampak sebagai kanalis vertebralis yang berfungsi untuk
melindungi medulla spinalis dan selaputnya.

Gambar 3.2 Struktur arkus vertebra

Ligamentum longitudinal anterior dan posterior berjalan turun sebagai


pita utuh di fasies anterior dan posterior kolumna vertebralis dari tengkorak
sampai ke sakrum. Ligamentum longitudinal anterior lebar dan kuat, melekat
pada permukaan dan sisi-sisi korpora vertebra dan diskus intervertebralis.
Ligamentum longitudinal posterior lemah dan sempit serta melekat pada pinggir
posterior diskus. Sedangkan ligamentum diantara dua vertebra terdiri atas:
1. Ligamentum supraspinosium: ligamentum ini berjalan di antara ujung-
ujung spina berdekatan.
2. Ligamentum interspinosum: ligamentum ini menghubungkan spina
yang berdekatan.
3. Ligamentum intertransversum: ligamentum ini berjalan di antara
prosesus transversus yang berdekatan.
4. Ligamentum flavum: ligamentum ini menghubungkan lamina vertebra
yang berdekatan.

24
Gambar 3.3 Ligamentum vertebra

Dari batang otak berjalan suatu silinder jaringan saraf panjang dan
ramping, yaitu medulla spinalis, dengan ukuran panjang 45 cm (18 inci) dan
garis tengah 2 cm (seukuran kelingking). Medulla spinalis, yang keluar dari
sebuah lubang besar di dasar tengkorak, dilindungi oleh kolumna vertebralis
sewaktu turun melalui kanalis vertebralis.

Tiga puluh satu pasang saraf spinal (nervus spinalis) dilepaskan dari
medulla spinalis. Beberapa anak akar keluar dari permukaan dorsal dan
permukaan ventral medulla spinalis, dan bertaut untuk membentuk akar ventral
(radix anterior) dan akar dorsal (radix posterior). Dalam radix posterior
terdapat serabut aferen atau sensoris dari kulit, jaringan subkutan dan profunda,
dan sering kali dari visera. Radix anterior terdiri dari serabut eferen atau motoris
untuk otot kerangka. Pembagian nervus spinal adalah sebagai berikut: 8 pasang
nervus cervicalis, 12 pasang nervus thoracius, 5 pasang nervus lumbalis, 5
pasang nervus sacralis, dan satu pasang nervus coccygeus.
Selama perkembangan, kolumna vertebra tumbuh sekitar 25 cm lebih
panjang daripada medulla spinalis. Karena perbedaan pertumbuhan tersebut,
segmen-segmen medulla spinalis yang merupakan pangkal dari saraf-saraf
spinal tidak bersatu dengan ruang-ruang antar vertebra yang sesuai. Sebagian
besar akar saraf spinalis harus turun bersama medulla spinalis sebelum keluar
dari kolumna vertebralis di lubang yang sesuai. Medulla spinalis itu sendiri

25
hanya berjalan sampai setinggi vertebra lumbal pertama atau kedua (setinggi
sekitar pinggang), sehingga akar-akar saraf sisanya sangat memanjang untuk
dapat keluar dari kolumna vertebralis di lubang yang sesuai. Berkas tebal akar-
akar saraf yang memanjang di dalam kanalis vertebralis yang lebih bawah itu
dikenal sebagai kauda ekuina ”ekor kuda” karena penampakannya

Gambar 3.4 Saraf yang berjalan bersama korpus vertebra

Spinal cord pada umumnya berakhir setinggi L2 pada dewasa dan L3 pada
anak-anak. Fungsi dural yang dilakukan diatas segment tersebut berhubungan dengan
resiko kerusakan spinal cord dan sebaiknya tidak dilakukan. Secara anatomis dipilih
segemen L2 ke bawah pada penusukan oleh karena ujung bawah daripada medula
spinalis setinggi L2 dan ruang interegmental lumbal ini relatif lebih lebar dan lebih
datar dibandingkan dengan segmen-segmen lainnya. Lokasi interspace ini dicari
dengan menghubungkan crista iliaca kiri dan kanan. Maka titik pertemuan dengan
segmen lumbal merupakan processus spinosus L4 atau L4-5.

26
Penting untuk mengingat struktur yang akan ditembus oleh jarum spinal
sebelum bercampur dengan LCS.
1. Kulit
2. Lemak subkutan dengan ketebalan berbeda dan lebih mudah
mengidentifikasi ruang intervertebra pada pasien kurus
3. Ligamentum supraspinosum
4. Ligament interspinosum yang merupakan ligament yang tipis diantara
prosesus spinosus
5. Ligamentum Flavum yang sebagian besar terdiri dari jaringan elastic
yang berjalan secara vertikal dari lamina ke lamina.
6. Ruang epidural yang terdiri dari lemak dan pembuluh darah
7. Duramater
8. Ruang Subarachnoid yang terdiri dari spinal cord dan akar saraf yang
dikelilingi oleh LCS. Injeksi dari anestesi lokal akan bercampur dengan
LCS dan secara cepat memblok akar syaraf yang berkontak.

Gambar 3.5 Bagian yang dilewati saat melakukan anestesi spinal

3.2.3 Indikasi dan Kontraindikasi


a. Indikasi anestesi spinal
Tidak ada indikasi absolut untuk anestesi spinal. Pertimbangan penilaian
teknik tergantung pada situasi klinis seperti: kesesuaian pasien, kondisi
fisiologis, atau prosedur pembedahan. Teknik anestesi spinal dapat

27
digunakan pada prosedur didaerah tubuh yang dipersarafi cabang T4
kebawah dengan durasi pembedahan 2-3 jam1.
1. Bedah ekstremitas bawah
2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum perineum

4. Bedah obstetrik-ginekologi

5. Bedah urologi

6. Bedah abdomen bawah

7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatric biasanya


dikombinasikan dengan anestesi umum ringan1,5
b. Kontraindikasi anestesi spinal
Kontraindikasi anestesi spinal terbagi menjadi 2 yaitu kontraindikasi
absolut dan relatif4.
Kontraindikasi absolut Kontraindikasi relatif
Pasien menolak Infeksi sistemik (sepsis, bakterimia)
Infeksi pada tempat suntikan Infeksi sekitar tempat suntikan
Hipovolemia berat atau syok Hipovolemia ringan
Koagulopati atau mendapat terapi Kelainan neurologis dan kelainan
antikoagulan psikis
Tekanan intrakranial meninggi Bedah lama
Fasilitas resusitasi minim Penyakit jantung
Kurang pengalaman Nyeri punggung kronis

3.2.4 Teknik Anestesia Spinal


a. Persiapan1
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan
pada anastesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah
akan menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang
punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan
prosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:

28
1. Informed consent

Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesia spinal

2. Pemeriksaan fisik

Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung

3. Pemeriksaan laboratorium anjuran

Hemoglobin, Hematokrit, PT (Prothrombine Time), PTT (Partial


Thromboplastine Time)

Peralatan analgesia spinal1,2:

1. Set peralatan monitor: tekanan darah, nadi, saturasi oksigen, EKG, dan
lainnya.

2. Peralatan resusitasi/anestesia umum

3. Jarum spinal

Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu


runcing/quinckebacock) atau jarum spinal dengan ujung pensil
(pencil point whitacre)

Gambar 3.6 Macam-macam jarum yang digunakan dalam anestesi spinal

4. Betadine 10% dan alkohol 70%


5. Kapas dan kassa steril
6. Plester
7. Obat-obat anestesi lokal
8. Spuit 3 ml dan 5 ml

29
Teknik anestesia spinal2:

Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah
posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah
lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam
30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.

1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri
bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat
pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain
adalah duduk.

Gambar 3.7 Posisi pasien saat dilakukan spinal analgesia

2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka, misal
L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau di atasnya berisiko trauma
terhadap medula spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1- 2% 2-3ml
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, 25G
dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan
menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10 cc. Tusukkan
introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian masukkan
jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan
jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat

30
duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah ke atas atau ke bawah,
untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala
pasca spinal. Setelah resistensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan
keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan
(0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum
tetap baik. Kalau yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak
keluar, putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal
kontinyu dapat dimasukan karteter.

Gambar 3.8 Arah masuk jarum pada anestesi spinal

3.2.5 Obat Anestesi Spinal


Obat-obatan pada anestesi spinal pada prinsipnya merupakan obat anestesi
lokal. Anestesi lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan pada
jaringan saraf dengan kadar cukup. Paralisis pada sel saraf akibat anestesi lokal bersifat
reversible. Obat anestesi lokal yang ideal sebaiknya tidak bersifat iritan terhadap
jaringan saraf. Batas keamanan harus lebar, dan onset dari obat harus sesingkat
mungkin dan masa kerja harus cukup lama. Zat anestesi lokal ini juga harus larut dalam
air. 5
Obat-obat anestesi lokal yang digunakan pada pembedahan harus memenuhi
syarat-syarat yaitu blokade sensorik dan motorik yang adekuat, mula kerja yang cepat,

31
tidak neurotoksik, dan pemulihan blokade motorik yang cepat pascaoperasi sehingga
mobilisasi lebih cepat dapat dilakukan dan risiko toksisitas sistemik yang rendah. 5
Obat anestesi lokal yang digunakan dibagi ke dalam dua macam, yakni
golongan ester seperti kokain, benzokain, prokain, kloroprokain, ametokain, tetrakain
dan golongan amida seperti lidokain, mepivakain, prilokain, bupivakain, etidokain,
dibukain, ropivakain, levobupivakain. Keduanya hampir memiliki cara kerja yang sama
yaitu menghambat pembentukan dan pengantaran impuls saraf dengan cara mengubah
permeabilitas membran pada kanal Na+ sel sehingga tidak terbentuk potensial aksi yang
nantinya akan dihantarkan ke pusat nyeri. Perbedaannya terletak pada kestabilan
struktur kimia. Golongan ester mudah dihidrolisis dan tidak stabil dalam cairan,
sedangkan golongan amida lebih stabil. Golongan ester dihidrolisa dalam plasma oleh
enzim pseudo-kolinesterase dan golongan amida dimetabolisme di hati. Di Indonesia
golongan ester yang paling banyak digunakan ialah prokain, sedangkan golongan amida
tersering ialah lidokain dan bupivakain2,4.
Berat jenis cairan serebrospinal pada suhu 37ºC ialah 1,003-1,008. Anestetik
lokal dengan berat jenis sama dengan cairan serebrospinal disebut isobarik. Anestetik
lokal dengan berat jenis lebih besar dari cairan serebrospinal disebut hiperbarik.
Anestetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari cairan serebrospinal disebut
hipobarik. Anestetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik yaitu
4
campuran antara anestetik lokal dengan dekstrosa .

Prokain Lidokain Bupivakain


Golongan Ester Amida Amida
Mula kerja 2 menit 5 menit 15 menit
Lama kerja 30-45 menit 45-90 menit 2-4 jam
Metabolisme Plasma Hepar Hepar
Dosis maksimal 12 6 2
(mg/kgBB)
Potensi 1 3 15
Toksisitas 1 2 10

Anestetik lokal Berat jenis Sifat Dosis


Lidokain
2% plain 1.006 Isobarik 20-100 mg (2-5 ml)
5% dalam 1.033 Hiperbarik 20-50 mg (1-2 ml)
dekstrosa 7,5%
Bupivakain
0.5% dalam air 1.005 Isobarik 5-20 mg (1-4 ml)

32
0.5% dalam 1.027 Hiperbarik 5-15 g (-3 ml)
dekstrosa 8.25%

Klasifikasi Potensi Mula kerja Lama kerja Toksisitas


Ester
Prokain 1 (rendah) Cepat 45-60 Rendah
Kloroprokain 3-4 (tinggi) Sangat cepat 30-45 Sangat
rendah
Tetrakain 8-16 (tinggi) Lambat 60-180 Sedang
Amida
Lidokain 1-2 (sedang) Cepat 60-120 Sedang
Etidokain 4-8 (tinggi) Lambat 240-480 Sedang
Prilokain 1-8 (rendah) Lambat 60-120 Sedang
Mepivakain 1-5 (sedang) Sedang 90-180 Tinggi
Bupivakain 4-8 (tinggi) Lambat 240-480 Rendah
Ropivakain 4 (tinggi) Lambat 240-480 Rendah
Levobupivakain 4 (tinggi) Lambat 240-480

Agen Waktu-Paruh Eliminasi t1/2 Vdss (L) B (L/menit)


Distribusi (jam)
(menit)
Bupivakain 28 3,5 72 0,47
Lidokain 10 1,6 91 0,95
Mepivakain 7 1,9 84 0,78
Prilokain 5 1,5 261 2,84
Ropivakain 23 4,2 47 0,44

3.2.6 Distribusi Obat Anestesia Lokal


Setelah disuntikkan ke dalam ruang intratekal, penyebaran zat anestesi
lokal akan dipengaruhi oleh berbagai faktor terutama yang berhubungan
dengan, hukum fisika dinamika dari zat yang disuntikkan, antara lain Barbotase
(tindakan menyuntikkan sebagian zat anestesi lokal ke dalam cairan
serebrospinal, kemudian dilakukan aspirasi bersama cairan serebrospinal dan
penyuntikan kembali zat anestesi lokal yang telah bercampur dengan cairan
serebrospinal), volume, berat jenis, dosis, tempat penyuntikan, posisi penderita
saat atau sesudah penyuntikan. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran
larutan bupivakain hiperbarik pada Anestesi spinal :
1. Gravitasi :
Cairan serebrospinal pada suhu 37°C mempunyai BJ 1,003-1,008. Jika
larutan hiperbarik yang diberikan kedalam cairan serebrospinal akan
bergerak oleh gaya gravitasi ke tempat yang lebih rendah, sedangkan

33
larutan hipobarik akan bergerak berlawanan arah dengan gravitasi seperti
menggantung dan jika larutan isobarik akan tetap dan sesuai dengan tempat
injeksi.
2. Postur tubuh :
Makin tinggi tubuh seseorang, makin panjang medula spinalisnya dan volume
dari cairan serebrospinal di bawah L2 makin banyak sehingga penderita yang lebih
tinggi memerlukan dosis yang lebih banyak dari pada yang pendek.
3. Tekanan intra abdomen :
Peningkatan tekanan intra abdomen menyebabkan bendungan saluran pembuluh
darah vena abdomen dan juga pelebaran saluran-saluran vena di ruang epidural
bawah, sehingga ruang epidural akan menyempit dan akhirnya akan menyebabkan
penekanan ke ruang subarakhnoid sehingga cepat terjadi penyebaran obat anestesi
lokal ke kranial. Perlu pengurangan dosis pada keadaan seperti ini.
4. Anatomi kolumna vertebralis :
Anatomi kolumna vertebralis akan mempengaruhi lekukan-lekukan saluran
serebrospinal, yang akhirnya akan mempengaruhi tinggi anestesi spinal pada
penggunaan anestesi lokal jenis hiperbarik.
5. Tempat penyuntikan :
Makin tinggi tempat penyuntikan, maka analgesia yang dihasilkan makin tinggi.
Penyuntikan pada daerah L2-3 lebih memudahkan penyebaran obat ke kranial dari
pada penyuntikan pada L4-5.
6. Manuver valsava :
Setelah obat disuntikkan penyebaran obat akan lebih besar jika tekanan dalam
cairan serebrospinal meningkat yaitu dengan cara mengedan.
7. Volume obat :
Efek volume larutan bupivakain hiperbarik pada suatu percobaan yang
dilakukan oleh Anellson, 1984, dikatakan bahwa penyebaran maksimal obat kearah
sefalad dibutuhkan waktu kurang lebih 20 menit pada semua jenis volume obat (1,5
cc, 2 cc, 3 cc dan 4 cc). Mula kerja untuk tercapainya blok motorik akan bertambah
pendek waktunya dengan bertambahnya volume. Makin besar volume obat makin
tinggi level blok sensoriknya.
8. Konsentrasi obat :
Dengan volume obat yang sama ternyata bupivakain 0,75% hiperbarik akan
menghasilkan penyebaran obat ke arah sefalad lebih tinggi beberapa segmen

34
dibandingkan dengan bupivakain 0,5% hiperbarik. Lama kerja obat akan lebih
panjang secara bermakna pada penambahan volume obat bupivakain 0,75%.
Demikian pula perubahan kardiovaskuler akan berbeda bermakna pada
bupivakain 0,75% hiperbarik

9. Posisi tubuh :

Dalam suatu percobaan oleh J.A.W. Wildsmith dikatakan tidak ada


pengaruh penyebaran obat jenis obat larutan isobarik pada perubahan posisi
tubuh, sedangkan pada jenis larutan hiperbarik akan dipengaruhi posisi tubuh.
Pada larutan hiperbarik posisi terlentang bisa mencapai level blok T4 sedangkan pada
posisi duduk hanya mencapai T8.
10. Lateralisasi :
Lateralisasi pada larutan anestetika lokal jenis hiperbarik dapat dilakukan
dengan posisi berbaring miring (lateral dekubitus). Pada percobaan oleh J.A.W.
Wildsmith disimpulkan bahwa 5 menit setelah penyuntikan obat penyebaran obat
pada sisi tubuh sebelah bawah mencapai T10, sedangkan sisi atas mencapai S1. 20
menit setelah obat disuntikkan, penyebaran obat pada sisi bawah mencapai T6,
sedangkan pada sisi atas mencapai T7.

3.2.7 Kerja Obat Anestesi Spinal dalam Tubuh


Blokade somatik
Dengan mengganggu transmisi rangsangan nyeri dan menghilangkan tonus
otot rangka, blok neuraksial dapat memberikan kondisi operasi yang sangat baik.
Blok sensori menghambat stimulus nyeri baik pada somatik dan viseral, sedangkan
blokade motorik menghasilkan relaksasi otot rangka. Pengaruh anestesi lokal pada
serabut saraf bervariasi sesuai dengan ukuran serabut saraf, apakah itu bermielin,
konsentrasi yang dicapai dan lama kontak. Akar saraf tulang belakang terdiri dari
berbagai tipe serat saraf. Serat lebih kecil dan bermielin umumnya lebih mudah
diblokir daripada yang lebih besar dan tidak bermielin. Fakta bahwa konsentrasi
anestesi lokal menurun dengan meningkatnya jarak dari level injeksi, menjelaskan
fenomena blokade diferensial. Diferensial blokade biasanya menghasilkan blokade
simpatik (dinilai oleh sensitivitas suhu) yang mungkin dua segmen lebih tinggi dari
blok sensorik (nyeri, sentuhan ringan), dan dua segmen lebih tinggi dari blokade
motorik.

35
Blokade otonom
Interupsi dari transmisi eferen pada nervus spinal dan menyebabkan blokade
dari simpatik dan parasimpatik. Blok neuroaksial tipikal menyebabkan penurunan
tekanan darah yang disertai dengan penurunan detak jantung dan kontraktilitas
jantung. Tonus vasomotor secara primer ditentukan oleh serabut simpatik yang
muncul dari T5 dan L1, yang menginervasi otot polos arteri dan vena. Blokade dari
nervus ini menyebabkan vasodilatasi dari pembuluh vena, penurunan pengisian
darah dan menurunkan venous return ke jantung. Untuk beberapa kasus vasodilatasi
ateria dapat menyebabkan penurunan resistensi sistemik pembuluh darah. Efek dari
vasodilatasi atrial dapat diminimalisir dengan cara mengkompensasi vasokonstriksi
diatas blok. Blok simpatis yang tinggi tidak hanya mengkompensasi vasokonstriksi
tapi juga memblok serabut akselarator jantung yang berasal dari T1-T4. Hipotensi
bisa disebabkan oleh bradikardi dan penurunan kontraktili jantung. Hal ini dapat

diperbaiki dengan cara meningkatkan venous return dengan meninggikan kepala6.


Efek kardiovaskular harus diantisipasi untuk meminimalkan hipotensi. Hal ini
diantisipasi dengan cara pemberian cairan intravena 10-20 mL/Kg pada pasien sehat
akan secara parsial berkompensasi untuk pengisian vena. Walaupun dengan usaha
ini hipotensi masih tetap terjadi dan harus ditangani dengan tepat. Penanganan cairan
dapat ditingkatkan dan autotransfusi dapat dilakukan dengan cara menurunkan
kepala pasien. Bradikardi berlebih dan simptomatik harus ditangani dengan
pemberian atropin dan hipotensi diterapi menggunakan vasopresor. Direct α-
adrenergic agonis (seperti fenilefrin) meningkatkan tonus vena dan menyebabkan
konstriksi arteriolar, yang menyebabkan peningkatan aliran balik vena dan resistensi
sistemik vaskular. Efek langsung penggunaan efedrin adalah meningkatkan denyut
jantung dan kontraktilitas, sedangkan efek tidak langsung menghasilkan beberapa
vasokonstriksi. Jika hipotensi dan atau bradikardia bertahan meskipun intervensi ini,
epinefrin (5-10 g intravena) harus diberikan segera6.
Perubahan klinis yang signifikan dari fisiologi paru biasanya minimal dengan
blok neuraksial karena diafragma dipersarafi oleh saraf frenikus yang berasal dari
C3-C5. Bahkan dengan segmen thorakal tinggi, volume tidal tidak berubah, hanya
ada sedikit penurunan kapasitas vital, yang disebabkan oleh hilangnya kontribusi
6
otot perut 'untuk ekspirasi paksa .

36
Pada prosedur pembedahan yang menyebabkan trauma menyebabkan
neuroendokrin trauma melalui respon inflamasi lokal dan aktivasi serat saraf aferen
somatik dan viceral. Respon ini termasuk peningkatan hormon adrenokortikotropik,
kortisol, epinefrin, norepinefrin, dan level vasopresin melalui sistem aktivasi renin-
angiotensin-aldosteron. Neuroaksial blokade dapat menurunkan sebagian atau
6
secara total respon stres ini .
Eliminasi anestetik lokal terjadi melalui penyerapan oleh pembuluh darah
dalam ruang subarakhnoid dan epidural. Penyerapan ini terjadi pada pembuluh darah
di piameter dan medulla spinalis. Laju penyerapan berhubungan dengan luas
permukaan pembuluh darah yang kontak dengan anestetik lokal. Anestetik lokal
yang mempunyai kelarutan lemak yang tinggi akan meningkatkan absorpsi kedalam
jaringan, sehingga mengurangi konsentrasi. Anestetik lokal juga berdifusi ke dalam
ruang epidural dan setelah di ruang epidural akan berdifusi ke dalam pembuluh
darah.

Efek samping obat anestetik lokal terhadap sistem tubuh

a. Sistem kardiovaskular
i. Depresi automatisasi, kontraktilitas, dan kecepatan konduksi miokard.
ii. Dilatasi arteriolar karena relaksasi otot polos.
iii. Dosis besar dapat menyebabkan disritmia atau kolaps sirkulasi.
iv. Injeksi bupivakain intravena mengakibatkan reaksi kardiotoksik yang
berat termasuk hippotensi, blok atrioventrikular, irama idioentrikular, dan
aritmia yang dapa mengancam jiwa seperti takikardia ventrikular dan
fibrilasi.
b. Sistem pernafasan
i. Relaksasi otot polos bronkus
ii. Henti nafas akibat paralisis saraf frenikus di C3-5, paralisis interkostal
atau depresi langsung pusat pengaturan nafas.
iii. Blokade saraf torakal akan menurunkan aktivitas otot interkostal. Ini
hanya berpengaruh kecil pada volume tidak karena adanya kompensasi
diafragma, tapi hal ini akan menimbulkan penurunan kapasitas vital akibat
penurunan signifikan dari expiratory reserve volume. Pasien ini akan
mengalami dispnea dan kesulitan untuk inspirasi maksimal serta batuk.

37
Blokade torakal juga memicu penurunan cardiac output dan tekanan arteri
pulmonal serta peningkatan ventilasi atau ketidakseimbangan perfusi
yang akan menyebabkan penurunan tekanan oksigen arteri. Pasien dengan
blokade torakal saat bangun harus diberikan oksigen yang tinggi untuk
membantu pernafasan.
c. Sistem pencernaan
Inervasi simpatis pada organ-organ abdomen mulai dari T6-L2. Akibat
blokade simpatis, maka kerja parasimpatis meningkat seperti peningkatan
sekresi, relaksasi sfingter dan konstriksi usus. Sekitar 20% pasien mual dan
muntah setelah anestesi spinal dan faktor risiko terjadinya karena blokade saraf
diatas T5, hipotensi, penggunaan opioid dan riwayat mual muntah sebelumnya.
Peningkatan aktivitas vagal setelah blokade simpatis menyebabkan peningkatan
peristaltik usus yang memicu mual. Dengan demikian, atropine berguna untuk
mengatasi mual setelah blokade spinal yang tinggi.
d. Sistem saraf pusat
Sistem saraf pusat rentan terhadap toksisitas obat anestetik lokal dengan
tanda-tanda awal rasa kebas, parestesi lidah, pusing. Keluhan sensorik berupa
tinitus dan pandangan kabur. Tanda eksitasi seperti kurang istirahat, agitasi,
gelisah, paranoid. Tanda adanya depresi sistem saraf pusat misal bicara tidak
jelas/pelo, mudah mengantuk, kejang, depresi pernafasan, tidak sadar, koma.
e. Imunologi
Golongan ester lebih sering menyebabkan alergi, karena merupakan
derivat para-amino-benzoic acid (PABA) yang dikenal sebagai alergen.
f. Sistem musculoskeletal
Bersifat miotoksik (bupivakain > lidokain > prokain). Secara histologi,
hiperkontraksi miofibril menyebabkan degenerasi litik, edema, dan nekrosis.
Regenerasi biasanya timbul setelah 3-4 minggu.
g. Ginjal dan hepar
Aliran darah ginjal dipengaruhi oleh tekanan arterial. Bila tidak terjadi
vasokonstriksi di ginjal maka aliran darah ginjal tidak akan menurun sampai
tekanan arteri rata-rata menurun dibawah 50 mmHg. Dengan begitu, bila tidak
terjadi hipotensi berat maka alirah darah ginjal serta urin output masih dalam
batas normal selama anestesi spinal. Sedangkan aliran darah hepar akan

38
menurun mengikuti derajat dari hipotensi.

h. Endokrin dan metabolisme

Anestesi spinal akan menghambat respon hormonal dan respon


stres metabolik yang berhubungan dengan pembedahan. Respon ini
berupa peningkatan ACTH, kortisol, epinefrin, norepinefrin dan
vasopresin serta renin angiotensin aldosteron.

3.2.8 Komplikasi Penggunaan Anestesi Spinal


Komplikasi dapat dibagi menjadi beberapa kategori sebagai berikut: ketinggian
5
blokade saraf, lokasi jarum penyuntikkan dan toksisitas obat .
a. Ketinggian blokade saraf bisa menimbulkan hipotensi sampai cardiac arrest
dan retensi urin. Ketinggian blokade saraf bisa terjadi akibat dosis lebih dari
anestetik lokal, kegagalan untuk mengurangi dosis pada pasien-pasien yang
rentan terhadap penyebaran berlebih anestetik lokal (usia tua, hamil, obesitas
dan pendek), peningkatan sensitifitas, penyebaran obat yang berlebih. Gejala
awal yang muncul berupa dispnea, rasa kebal atau kelemahan pada lengan,
mual bisa dikarenakan hipoperfusi otak, dan hipotensi ringan sampai sedang.
Jika penyebaran anestetik lokal sampai pada cervical maka akan muncul
gejala hipotensi berat, bradikardia, gagal nafas. Bila timbul gangguan
kesadaran dan apnea, maka penanganan airway dan breathing berupa
pemberian oksigen, intubasi dan ventilasi mekanik diperlukan. Selanjutnya
penangan sirkulasi berupa pemberian cairan intravena, posisi trendelenburg
dan vasopresor.
5
1. Hipotensi
Efek blokade simpatis dari anestesi spinal akan mengubah
hemodinamik. Ketinggian dari blokade saraf akan meninggikan blokade
simpatis, yang dapat dilihat dari perubahan kardiovaskular terutama
blokade simpatis T1-L2. Hipotensi dan bradikardia adalah efek samping
yang diakibatkan oleh denervasi simpatis. Faktor risiko hipotensi antara lain
hipovolemia, hipertensi preoperatif, ketinggian blokade sensoris, usia
diatas 40 tahun, obesitas, kombinasi anestesia umum dan regional.
Konsumsi alkohol kronis, riwayat hipertensi, BMI lebih, ketinggian

39
blokade sensoris, kedaruratan pembedahan akan meningkatkan hipotensi setelah
anestesi spinal. Hipotensi terjadi berkisar 33% pada populasi non obstetri.
Dilatasi arteri dan vena pada anestesi spinal akan menimbulkan hipotensi.
Dilatasi arteri tidak terjadi maksimal setelah blokade spinal dan otot polos pembuluh
darah akan tetap mempertahankan tonus otonom setelah denervasi simpatis. Karena
pertahanan tonus otonom masih ada tersebut, maka resistensi total pembuluh darah
perifer menurun hanya 15-18%, selanjutnya MAP menurun 15-18% bila cardiac
output tidak menurun. Pada pasien dengan penyakit arteri koroner, resistensi
pembuluh darah sistemik akan menurun sampai 33% setelah anestesi spinal.
Sebaliknya setelah anestesi spinal akan terjadi dilatasi vena yang maksimal
bergantung pada letak vena tersebut. Jika vena terletak dibawah atrium kanan,
gravitasi akan mempengaruhi pengisian darah vena perifer. Sedangkan jika vena
terletak diatas atrium kanan, maka aliran balik darah ke jantung akan meningkat.
Aliran balik vena ke jantung atau preload bergantung pada posisi pasien saat anestesi
spinal.
Sebagian besar pasien tidak mengalami perubahan denyut jantung yang
signifikan setelah anestesi spinal, namun usia muda < 50 tahun dan sehat atau ASA 1
mempunyai risiko tinggi untuk bradikardia. Penggunaan beta blocker juga
meningkatkan risiko bradikardia. Insidensi bradikardi pada populasi non obstetri
berkisar 13%. Serabut saraf simpatis yang mengatur denyut jantung keluar dari
segmen T1-T4 dan blokade pada serabut saraf ini akan menimbulkan bradikardia.
Penurunan aliran balik vena juga akan menyebabkan bradikardia karena tekanan
pengisian jantung berkurang dan memicu reseptor regangan intracardiac untuk
menurunkan denyut jantung. Maka dari itu, monitoring terhadap pasien dengan
anestesi spinal penting dan bila terjadi efek samping dapat ditangani dengan cepat
dan tepat.

5
2. Retensi urin
Ini terjadi akibat blokade saraf S2-4 yang menurunkan tonus otot kandung kemih
dan menghambat refleks berkemih. Pemasangan kateter urin bermanfaat pada
pembedahan yang cukup lama. Penilaian postoperatif terhadap retensi urin sangat
berguna karena bila terdapat retensi urin yang lama merupakan tanda adanya
kerusakan saraf yang serius.

40
b. Lokasi penyuntikkan
5
1. Nyeri punggung

Saat penyuntikkan dengan jarum pada bagian punggung akan memicu repon
peradangan yang akan menghasilkan kekakuan sementara. Gejala dapat berlanjut
lebih dari seminggu. Nyeri punggung ini bisa merupakan tanda awal dari
komplikasi hematoma spinal dan abses.
5
2. Postdural puncture headache
Nyeri kepala terjadi akibat kebocoran cairan serebrospinal melewati lubang
pada durameter. Adanya penurunan tekanan intrakaranial akibat kebocoran cairan
serebrospinal. Ketika pasien dalam posisi tegak akan ada traksi pada dura,
tentorium dan pembuluh darah yang menimbulkan nyeri. Gejala berupa nyeri
kepala pada posisi duduk atau berdiri dan berkurang bila berbaring, nyeri kepala
bilateral, frontal, retro orbita, oksipital dan menjalar ke leher. Onset nyeri ini 12-
72 jam setelah prosedur.
5
3. Hematoma spinal
Insidensi hematoma spinal pada anestesi spinal 1:220.000. adapun faktor yang
meningkatkan risiko hematoma spinal antara lain pemakaian antikoagulan atau
penyakit yang berhubungan dengan koagulasi darah, penyuntikkan anestesi spinal
berulang kali. Perdarahan pada ruang subarachnoid akan mengompresi saraf dan
menimbulkan iskemia dan kerusakan sel saraf. Onset gejala berjalan cepat berupa
nyeri punggung dan tungkai bawah, hilang rasa dan kelemahan progresif,
disfungsi sfingter.

c. Toksisitas obat5

1. Transcient neurological symptoms

Gejala dan tanda berupa nyeri punggung bawah menjalar ke tungkai


bawah. Gejala umumnya timbul setelah anestesi spinal lalu berkurang dan kembali
menjadi normal. Ini terjadi antara 1 sampai 24 jam dan bisa terjadi setelah
beberapa hari. Mekanisme pasti belum dapat diketahui namun secara teoritis
bahwa lidokain lebih neurotoksik pada serabut saraf tak bermielin dibandingkan
anestetik lokal lainnya. TNS lebih sering pada pasien dengan anestesi spinal dan
posisi litotomi. Posisi ini membuat peregangan pada serabut akar saraf

41
lumbosacral, perfusi menurun dan membuat saraf lebih mudah mendapatkan efek
toksik dari anestetik lokal. Pecegahan berupa pemakaian bupivakain sebagai
alternatif lainnya.
2. Sindrom cauda equina
Sindrom ini berhubungan dengan teknik kateter spinal dan lidokain 5%.
Sindrom cauda equina bersifat permanen dan berupa disfungsi sfingter, defisit
sensorik-motorik dan parese. Tingkat neurotoksisitas pada anestetik lokal yakni
lidokain = tetrakain > bupivakain > ropivakain

42
BAB IV

ANALISA KASUS

Pasien pada kasus ini yaitu pasien dengan Fraktur kominutif interthrochanter os femur
dextra dengan diagnosis anestesi ASA III (terdapat kelainan sistemik ringan-sedang tanpa
pembatasan aktivitas, dalam kasus ini yaitu dengan Hipertensi tidak terkontrol, hipertrofi
ventrikel kiri, penurunan EF jantung, dan anemia). Anestesi spinal menjadi teknik anestesi
yang dipilih karena pertimbangan sebagai berikut:

1. Bagian tubuh yang akan dioperasi adalah tungkai.


2. Durasi operasi hanya sekitar <3 jam.
3. Pasien tidak memiliki kontraindikasi anestesi spinal absolut (pasien menolak, infeksi
pada tempat suntikan, hipovolemia berat, syok, koagulapati atau mendapat terapi
koagulan, dan tekanan intrakranial meningkat), namun pasien memiliki kontraindikasi
relatif yaitu kelainan anatomi vertebra lumbalis.
4. Menurunkan risiko aspirasi, hipoksemia, dan komplikasi pada paru.
5. Pasien tetap sadar, bisa berkomunikasi, perawatan pasca bedah minimal sehingga nyeri
pasca bedah lebih mudah dikelola

Metode anestesi yang dipilih seminimal mungkin mendepresi jantung dan sistem
pernapasan karena pasien termasuk pasien geriatri yang sudah memiliki kelainan jantung
karena proses degeneratif, memiliki sifat analgetik yang cukup kuat, tidak menyebabkan
trauma psikis pada pasien, toksisitas rendah, aman, nyaman, dan memudahkan operator bedah.

Dalam pelaksanaan anestesi spinal, mesin anestesi dan perlengkapan intubasi juga perlu
dipersiapkan untuk megantisipasi bila terjadi suatu kegawatan yang membutuhkan
pengendalian airway dan sebagai persiapan bila terjadi perubahan rencana operasi sehingga
diperlukan anestesi umum. Hal ini juga untuk mengantisipasi apabila anestesi spinal gagal
dilakukan sehingga terjadi perubahan tindakan anestesi menjadi anestesi umum.

Pada operasi pada kasus ini, lokasi operasi dipersarafi oleh saraf-saraf setinggi lumbal
dan sakral. Penyuntikan dilakukan setinggi L3-L4 dimana tempat tersbut medulla spinalis
sudah berlanjut menjadi cauda equina sehingga prosedur anestesi tidak akan melukai medulla
spinalis. Ruang di antara vertebra lumbal juga relatif lebih lebar dan datar sehingga
mempermudah prosedur anestesi. Garis imajiner tempat penyuntikan dibuat diantara kedua

43
krista iliaka posterior superior yang disebut Tuffer’s Line yang memotong vertebra setinggi L4
pada bagian medial

Jarum yang digunakan yaitu jarum spinal tipe Quincke (Spinocan) no. 27 G dengan
pendekatan median. Pendekatan media melalui 3 ligamen, yaitu ligamentum supraspinosum,
ligamentum interspinosum, dan ligamentum flavum sampai ke daerah sub-arakhnoid. Arah
tusukan introducer/stilet sedikit mengarah ke kranial, sesuai dengan anatomi prosesus
spinosus. Jarum yang sudah masuk ke daerah sub-arakhnoid dapat diketahui dari keluarnya
LCS (jernih, tidak ada darah). Obat yang digunakan adalah Regivell 20 mg dan Catapres 15
mcg. Hasil blok spinal baik dengan bromage score 3 dimana pasien tidak dapat menggerakan
jari kakinya.

Sesaat sebelum dilakukan anestesi spinal, tekanan darah pasien tinggi yaitu mencapai
190/90 mmHg dan denyut nadi 110x/menit namun 15 menit setelah dilakukan anestesi spinal,
tekanan darah pasien turun menjadi 170/100 mmHg dan denyut nadi 55x/menit. Hal tersebut
terjadi karena efek dari obat anestesi lokal spinal yaitu blok neuroaksial tipikal menyebabkan
penurunan tekanan darah yang disertai dengan penurunan detak jantung dan kontraktilitas
jantung. Tonus vasomotor secara primer ditentukan oleh serabut simpatik yang muncul dari T5
dan L1, yang menginervasi otot polos arteri dan vena. Blokade dari nervus ini menyebabkan
vasodilatasi dari pembuluh vena, penurunan pengisian darah dan menurunkan venous return
ke jantung. Untuk beberapa kasus vasodilatasi ateria dapat menyebabkan penurunan resistensi
sistemik pembuluh darah. Efek dari vasodilatasi atrial dapat diminimalisir dengan cara
mengkompensasi vasokonstriksi diatas blok.

Penggunaan obat tambahan yaitu Catapres 15 mcg yang mengandung Clodidine 15 mcg
digunakan sebagai adjuvan terhadap Bupivacaine dalam anestesi spinal. Jika Clodine
digunakan bersama Bupivacaine akan meningkatkan blok sensorik dan motorik serta durasi
dari analgesia tanpa memberikan efek terhadap tekanan darah sistolik dan denyut nadi
dibandingkan dengan penggunaan Bupivacaine saja terutama pada pasien geriatri. Clonidine
adalah Alfa-2-parsial-selektif-agonis-adrenergik yang merupakan obat antihipertensi. Obat ini
merangsang adrenoreseptor di susunan saraf pusat maupun di perifer. Clonidine menghambat
aliran keluar simpatis sentral melalui aktivasi reseptor adrenergik Alfa-2 dalam vasomotor
medula. Clonidine dapat menstimulasi Alfa-2 adrenergik di pontin lokus Coeruleus yang
menurunkan aktivasi adenyl cyclase dan defosforilasi reseptor Alfa-2 yang mengaktivasi kanal

44
kalium sehingga kalium keluar sel dan hiperpolarisasi membran sel sehingga menimbulkan
efek sedasi dan analgesia.6,7

Pemberian ondancentron 4 mg sebagai antiemetik pada pasien ini. Efek dari anestesi
spinal terhadap sistem gastrointestinal adalah kerja parasimpatis meningkat seperti
peningkatan sekresi, relaksasi sfingter dan konstriksi usus. Sekitar 20% pasien mual dan
muntah setelah anestesi spinal dan faktor risiko terjadinya karena blokade saraf diatas T5,
hipotensi, penggunaan opioid dan riwayat mual muntah sebelumnya.3

45
BAB V
KESIMPULAN

Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai bawah,
panggul, dan perineum. Anestesi ini juga digunakan pada keadaan khusus seperti bedah
endoskopi urologi, bedah rektum, perbaikan fraktur tulang panggul, bedah obstetri, dan
bedah anak. Anestesi spinal pada bayi dan anak kecil dilakukan setelah bayi ditidurkan
dengan anestesi
Kontraindikasi mutlak meliputi infeksi kulit pada tempat dilakukan pungsi
lumbal, bakteremia, hipovolemia berat (syok), koagulopati, dan peningkatan tekanan
intrakranial. Kontraindikasi relatif meliputi neuropati, nyeri punggung, penggunaan
obat-obatan praoperasi golongan AINS (antiinflamasi nonsteroid seperti aspirin,
novalgin, parasetamol), heparin subkutan dosis rendah, dan pasien yang tidak stabil.
Secara kimiawi obat anestesi lokal dibagi dalam dua golongan besar, yaitu
golongan ester dan golongan amide. Obat anestesi lokal yang lazim dipakai di negara
kita untuk golongan ester adalah prokain, sedangkan golongan amide adalah lidokain
dan bupivakain. Farmakokinetik obat pada anestesi spinal meliputi absorpsi pada ruang
subarakhnoid, distribusi yang berpengaruh pada ketinggian blokade saraf, fiksasi,
metabolisme dan ekskresi. Obat anestesi lokal setelah masuk cairan serebrospinal
terjadi blokade saluran natrium, dan terjadi blokade saraf. Anestetik lokal ini akan
memblokade impuls saraf otonom, sensorik dan motorik secara berurutan. Komplikasi
obat anestesi lokal yaitu efek samping lokal pada tempat suntikan dapat timbul hematom
dan abses sedangkan efek samping sistemik antara lain neurologis pada susunan saraf
pusat, respirasi, kardiovaskuler, imunologi, muskuloskeletal dan hematologi. Salah satu
komplikasi yang sering terjadi adalah hipotensi dan bradikardia. Persiapan untuk
mengatasi hal tersebut berupa pemberian cairan 10-20 ml/kg, posisi kepala lebih rendah,
dan obat- obatan vasopresor yang harus disiapkan sebelum atau saat anestesi spinal.
Pemantauan yang ketat terhadap terjadinya komplikasi harus dilakukan untuk dapat
mencegah terjadinya komplikasi tersebut.
Clonidine menghambat aliran keluar simpatis sentral melalui aktivasi reseptor
adrenergik Alfa-2 dalam vasomotor medula. Clonidine dapat menstimulasi Alfa-2
adrenergik di pontin lokus Coeruleus yang menurunkan aktivasi adenyl cyclase dan
defosforilasi reseptor Alfa-2 yang mengaktivasi kanal kalium sehingga kalium keluar
sel dan hiperpolarisasi membran sel sehingga menimbulkan efek sedasi dan analgesia.

46
DAFTAR PUSTAKA

1. Sugiarto A,dkk. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta : Departemen


Anestesiologi dan Intensive Care Fakultas Kedokteran Indonesia/RS
Cipto Mangunkusumo. 2012
2. Latief, Said. Analgesia Regional. Dalam: Petunjuk Praktis Anestesiologi
edisi II. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif. FKUI. 2009
3. Katzung BG. Farmakologi dasar & klinik. Edisi 10. Jakarta: EGC; 2011:
423-430.
4. The New York School of Regional Anesthesia. Spinal anesthesia. 2013.
(Diakses dari http://www.nysora.com/techniques/neuraxial-and-
perineuraxial- techniques/landmark-based/3423-spinal-anesthesia.html).
5. Samodro R, Sutiyono D, Satoto HH. Mekanisme kerja obat anestesi lokal.
6. Agarwal, et al. 2014. Clonidine as an adjuvant to hyperbaric bupivacaine
for spinal anesthesia in elderly patients undergoing lower limb orthopedic
surgeries. Saudi J Anaesth, 8(2): 209–214. (Diakses dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4024678/)
7. Singh, BR., et al. 2014. Role of Clonidine as adjuvant to intrathecal
bupivacaine in patients undergoing lower abdominal surgery: A
randomized control study. Anesth Essays Res; 8(3): 307–312. (Diakses
dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4258982/)

47

Anda mungkin juga menyukai