Anda di halaman 1dari 10

Analisis Temuan Kolonoskopi sebagai Penegakan Diagnosis Banding

antara Tuberkulosis Intestinal dengan Penyakit Chron.

Oleh Y.J. Lee, S.-K. Yang, J.-S. Byeon, S.-J. Myung, H.-S Chang, S.-S. Hong, K.-J.Kim, G.H. Lee, H.-Y. Jung,
W.-S. Hong, J.-H.Kim, Y.I. Min, S.J. Chang, C.S. Yu.

Diterjemahkan dari Analysis of Colonoscopic Findings in the Differential Diagnosis Between


Intestinal Tuberculosis and Chron’s Disease, Endoscopy 2006; 38: 592-597

Abstrak
Latar Belakang dan Tujuan Penelitian:
Tuberculosis Intestinal dan Penyakit Chron adalah gangguan inflamasi usus kronis yang sulit
dibedakan satu sama lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi nilai diagnostik dari
berbagai temuan kolonoskopi dalam penegakan diagnosis banding antara Tuberkulosis
Intestinal dengan Penyakit Chron.
Pasien dan metode penelitian:
Temuan kolonoskopi pada pemeriksaan awal dicatat secara prospektif pada pasien dengan
diagnosis awal Tuberkulosis Intestinal maupun Penyakit Chron. Temuan tersebut kemudian
dianalisis setelah pasien diikuti dan didiagnosis final sebagai penderita Tuberkulosis Intestinal
(n=44) atau Penyakit Chron (n=44) .
Hasil:
Empat parameter (lesi anorektal, ulkus longitudinal, ulkus aphthous, dan gambaran
cobblestone) secara signifikan lebih lazim ditemukan pada pasien Penyakit Chron dibanding
pasien Tuberkulosis Intestinal. Empat parameter lainnya (keterlibatan kurang dari empat
segmen, valva ileocaecal tampak jelas, ulkus transversus, dan bekas luka atau psudopolip) lebih
sering terobservasi pada pasien Tuberkulosis Intestinal dibanding pasien dengan Penyakit
Chron. Kami menghipotesis bahwa diagnosis Penyakit Chron ditegakkan jika empat parameter
karakteristik Penyakit Chron lebih tinggi dibanding empat parameter karakteristik
Tuberkulosis Intestinal, dan juga sebaliknya. Sesuai dengan asumsi tersebut, kami menghitung
bahwa diagnosis baik Tuberkulosis Intestinal maupun Penyakit Chron telah dibuat secara benar
pada 77 dari 88 orang pasien (87.5%), secara salah pada 7 pasien (8.0%), dan tidak dibuat
diagnosis pada 4 pasien (4.5%).
Kesimpulan:

Analisis secara sistematis terhadap temuan kolonoskopi sangat berguna dalam penegakan
diagnosis banding antara tuberculosis intestinal dengan Penyakit Chron.
Pendahuluan
Tuberkulosis Intestinal dan Penyakit Chron adalah penyakit granulomatosa kronis pada usus.
Meskipun kedua penyakit ini memiliki manifestasi klinis yang mirip, namun akhir perjalanan
penyakit kedua penyakit tersebut cukup berbeda. Tuberkulosis Intestinal bisa benar-benar
disembuhkan jika terdiagnosis secara dini dan mendapat terapi secara tepat. Sebaliknya,
Penyakit Chron tidak dapat disembuhkan dan kekambuhan penyakit ini umum terjadi. Selain
itu, steroid dan agen immunosupresif lainnya, yang sangat bermanfaat pada terapi Penyakit
Chron, justru sangat berbahaya jika diberikan untuk mengobati pasien Tuberkulosis Intestinal.
Perbedaan antara Tuberkulosis Intestinal dari Penyakit Chron sangatlah penting. Dalam
beberapa tahun lalu, edakan antara kedua penyakit tersebut bukanlah masalah utama, karena
Penyakit Chron sangatlah jarang terjadi di negara berkembang, dan Tuberkulosis Intestinal
juga tidak umum terjadi di negara maju. Meskipun demikian, dengan adanya kemunculan
kembali tuberkulosis di negara-negara Barat sebagai akibat dari epidemik Aquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS) dan imigrasi dari negara-negara berkembang, serta
munculnya Penyakit Chron di negara-negara Asia, yang kemungkinan merupakan hasil dari
westernisasi, membedakan kedua penyakit tersebut menjadi lebih penting dibanding
sebelumnya.
Perbedaan antara Tuberkulosis Intestinal dan Penyakit Chron mungkin sangatlah susah, bahkan
ketika temuan endoskopi, operasi, dan evaluasi histologis tersedia. Meskipun diagnosis
Tuberkulosis Intestinal bisa dikonfirmasi ketika caseating granuloma atau basil tahan asam
teridentifikasi selama pemeriksaan histologis dari spesimen biopsi kolonoskopi atau keti
Mycobacterium tuberculosis diisolasi dari kultus spesimen biopsi, temuan tersebut positif pada
<50% asien dengan Tuberkulosis Intestinal. Terlebih, Penyakit Chron tidak terkarakterisasi
dengan temuan patognomonik. Di korea, ketika tuberkulosis lazim, telah dialporkan bahwa 40-
45% pasien dengan Penyakit Chron mendapatkan percobaan terapi antituberkulosis sebelum
merka benar-benar terdiagnosis memiliki Penyakit Chron karena membedakannya dari
Tuberkulosis Intestinal sangatlah sulit. Demikian juga 65% pasien dengan Penyakit Chron
misdiagnosis memiliki Tuberkulosis Intestinal pada sebuah penelitian yang diadakan di China.
Temuan endoskopi pada Tuberkulosis Intestinal dan Penyakit Chron telah tergambarkan secara
baik. Contohnya, arah ulkus yang longitudinal pada pasien Penyakit Chron dan transversis pada
penderita Tuberkulosis Intestinal. Bagaimanapun, nilai diagnostik dari temuan endoskopi
individual dalam membedakan antara kedua penyakit tersebut tidak pernah benar-benar
dibandingkan dalam sebuah penelitian khusus. Kami melakukan penelitian ini untuk
mengevaluasi nilai diagnostik dari berbagai temuan endoskopi dalam membedakan antara
Tuberkulosis Intestinal dengan Penyakit Chron. Kami juga mencoba untuk merumuskan dalam
sistem penilaian yang bisa digunakan untuk memprediksi diagnosis yang benar ketika dua
diagnosis penyakit tersebut dipertimbangkan.
Pasien dan Metode:
Populasi penelitian
Dari januai 2001 hingga Januari 2003, diagnosis sementara maupun definitif baik terhadap
tuberculosis intestinal maupun Penyakit Chron dibuat pada 108 pasien dari pemeriksaan awal,
berdasarkan hasil dari riwayat enaykit, endoskopi, investigasi radiologis, pembedahan, dan
atau evaluasi patologis di Asan Medical Center di Seoul, korea Selatan. Dari 108 pasien
tersebut, 93 pasien diikutsertakan pada penelitian ini, dan temuan kolonoskopi mereka dicatatat
secara prospektif. 15 pasien lainnya dieksklusi dari penelitian karena hasil kolonoskopi
menemukan lesi tidak aktif (n=12), karena reseksi pembedahan colon terlah dilakukan sebelum
kolonoskpoi (n=2), atau karena kolonoskopi tidak dilakukan sebagai pemeriksaan awal (n=1).
Penelitian disettujui oleh jajaran pengulas dari institusi Asan Medical Center, dan penjelasan
dan persetujuan telah didapatkan dari seluruh pasien.
Diagnosis akhir dianalisis secara retrospektif setelah pasien diikuti karena diagnosis
terkonfirmasi tidak dibuat pada pemeriksaan awal di ebberapa kasus. Pada beberapa pasien,
diagnosis akhir diubah dari Tuberkulosis Intestinal menjadi Penyakit Chron atau dari Penyakit
Chron menjadi Tuberkulosis Intestinal selama follow up. Akan tetapi, tidak ada satupun pasien
yang diagnosisnya diubah dari Tuberkulosis Intestinal atau Penyakit Chron menjadi penyakit
lainnya selama proses follow up.
Kriteria diagnosis untuk Tuberkulosis Intestinal
Diagnosis Tuberkulosis Intestinal dipertimbangkan untuk diterima ketika sedikitnya satu dari
kriteria berikut ini terpenuhi, yaitu: a) bukti histologis dari caesating granuloma; b) penampilan
histologis dari basil tahan asam; c) tumbuhnya Mycobacterium tuberculosis pada jaringan
kultur; d) klinis, kolonoskopi, radiologis, dan atau bukti perioperatif dari Tuberkulosis
Intestinal dengan bukti tuberkulosis di bagian tubuh lainnya; e) respon terhadap terapi
antituberkulosis tanpa diikuti kekambuhan pad apasien dengan manifestasi klinis, kolonoskopi,
radiologis, dan atau bukti operatif dari Tuberkulosis Intestinal.
Kriteria diagnosis untuk Penyakit Chron
Diagnosis sementara dari Penyakit Chron dibuat jika setidaknya ada dua dari kriteria berikut
ini ditemukan, yaitu: a) riwayat klinis dari sakit perut, penurunan Berat Badan, malaise, diare,
dan atau perdarahan anus; b) temuan endoskopi berupa mukosa cobblestone, ulkus linear, skip
areas atau area terputus, dan penyakit perianal; c) temuan radiologis dari striktura, fistula,
mukosa cobblestone, atau ulserasi; d) gambara makroskopis berupa indurasi dinding usus,
limfadenopati mesenterika, dan creeping fat pada saat laparotomi; e) temuan patologis
inflamasi transmural. Hanya pasien yang ditemukan kriteria tersebut selama minimal 2 bulan
yang diikutkan dalam penelitian ini. Pada pasien yang perbedaannya dengan Tuberkulosis
Intestinal tidak jelas, terapi antituberkulosis dicoba terlebih dahulu. Pada seluruh pasien,
diagnosis akhir dengan Penyakit Chron dibuat setelah respon positif terhadap terapi Penyakit
Chron terdokumentasikan.
Evaluasi kolonoskopi
Cairan polyethylene glycole electrolyte lavage digunakan pada seluruh pasien sebagai
perisapian usus sebelum dilakukannya kolonoskopi. Kolonoskopi telah dilakukan pada seluruh
pasien dengan menggunakan kolonoskop video Olympus (CF 230L atau CF 240L; Olympus
Optical Co., Tokyo, Jepang) dan seluruh prosedur dilakukan oleh seorang teknisi (S.K.Y).
Parameter kolonoskopi yang dievaluasi pada penelitian ini yaitu ulkus aphthous, arah ulkus,
dan keberadaan gambaran cobblestone, katup ileocaecal yang jelas, titip putih disekitar ulkus,
striktur, jembatan mukus, pseudopolip, dan perubahan luka. Adanya atau absennya lesi-lesi
yang dinilai dibagi menjadi 6 bagian: area ileocaecal, colon ascenden, colon transversum, colon
descenden, colon sigmoid, dan rectoanal. Striktur dedifinisikan sebagai adanya penyempitan
bercahaya yang mencegah lewatnya kolonoskopi ke rektum, colon, valva ileocaecal, dan ileum
terminalis. Frekuensi berbagai temuan kolonoskopi dianalisis dalam hubungannya terhadap
diagnosis akhir.
Analisis statistik
Data dari dua kelompok dibanding dengan menggunakan Student’s Tes-T, test Pearson Chi-
squared, atau test pasti Fisher. Nilai P <0.05 dianggap signifikan. Evaluasi statistik dilakukan
menggunakan software SPSS (Versi 11.5; SpSS Inc., Chicago, Illinois, USA).
Hasil
Populasi penelitian
Dari 93 pasien dalam penelitian ini, 5 orang tidak lanjut diikuti sebelum diagnosis
terkonfirmasi dan kemudian dikeluarkan dari analisis penelitian. Dari 5 pasien tersebut,
Tuberkulosis Intestinal telah didiagnosis sementara pada 2 pasien, dan Penyakit Chron pada 3
pasien. Analisis data diadakan pada 88 pasien (48 lelaki, 40 perempuan), 44 dengan diagnosis
akhir Tuberkulosis Intestinal, dan 44 orang dengan diagnosis akhir Penyakit Chron.
Perbandingan laki-laki dengan perempuan adalah 15:29 pada pasien dengan Tuberkulosis
Intestinal dan 33:11 pada pasien Penyakit Chron (P,0.001). Umur median pada diagnosis
Tuberkulosis Intestinal adalah 40 tahun *rentang usia 17-80 tahun), dan 24 tahun (rentang usia
13-44 tahun) pada pasien Penyakit Chron (P<0.001). granuloma ditemukan pada 36 dari 44
pasien dengan Tuberkulosis Intestinal pada pemeriksaan patologi awal dengan spesimen biopsi
endoskopi (81.8%), namun tercatat bahwa pada pemeriksaan awal hanya 28 dari 44 pasien
(63.6%) dengan Penyakit Chron, meskipun granuloma teridentifikasi pada 8 orang pasien
lainnya (18.2%) pada follow-up pemeriksaan patologi dari spesimen yang didapat baik biopsi
endoskopi maupun reseksi pembedahan.
Diagnosis Tuberkulosis Intestinal
18 dari 44 pasien dengan Tuberkulosis Intestinal (40.9%), diagnosis terkonfirmasi dibuat pada
pemeriksaan awal dengan satu atau dua metode berikut ini: bukti histologis dari caesating
granuloma pada 4 pasien, penampilan histologis basil tahan asam pada 6 pasien, pertumbuhan
Mycobacterium tuberculosis di jaringan kultur pada 13 pasien. 26 pasien (59.1%) sisanya
diagnosis Tuberkulosis Intestinal dikonfirmasi setelah satu periode follow up, berdasarkan
respon pasien terhadap terapi antituberkulosis dan absennya kekambuhan penyakit di
kemudian hari. Median durasi follow up adalah 19 bulan (rentang 5-47 bulan).
Diagnosis Penyakit Chron
44 pasien dengan diagnosis sementara Penyakit Chron menunjukkan sedikitnya dua dari
kriteria diagnosis yang dideskripsiskan pada bagian Pasien dan Metode. Secara spesifik, 4
pasien menunjukkan dua kriteria, 18 pasien tiga kriteria, 19 pasien empat kriteria, dan dua
pasien lima kriteria pada pemeriksaan awal mereka. Pada 24 dari 44 pasien (54.5%), percobaan
terapi antituberkulosis diberikan karena diagnosis sementara Tuberkulosis Intestinal telah
dibuat, namun tidak tercatat adanya respon positif terhadap terapi tersebut. Pada 44 pasien,
diagnosis Penyakit Chron dikonfirmasi setelah satu periode follow up, berdasarkan respon
mereka terhadap terapi Penyakit Chron. Median durasi follow up adalah 39 bulan (rentang 15-
50 bulan).
Temuan kolonoskopi
Striktur ditemukan pada delapan dari 44 pasien dengan Tuberkulosis Intestinal (18.2%) dan
pada 9 dari 44 pasien dengan Penyakit Chron (20.5%). Lokasi striktur pada pasien dengan
Tuberkulosis Intestinal adalah valva ileocaecal (n=4), colon transversum (n=3) dan colon
ascenden (n-1_; striktur pada pasien dengan Penyakit Chron berlokasi di katup ileocaecal
(n=6), ileum terminal (n=2), dan colon transversum (n=1). Oleh karena itu tidak mungkin untuk
memasukkan kolonoskop hingga ke caecum pada lima pasien ( empat dengan Tuberkulosis
Intestinal dan satu dengan Penyakit Chron), dan frekuensi lesi ileocaecal dan valva ileocaecal
yang jelas dievaluasi setelah kelima pasien tersebut dikeluarkan; parameter-parameter lainnya
dianalisis terhadap semua pasien.
Tabel 1. Perbandingan temuan kolonoskopi pada psien dengan Tuberkulosis Intestinal dan
pasien dengan Penyakit Chron
Temuan kolonoskopi Tuberkulosis Penyakit Chron P value
Intestinal (n=44) (n=44)
Kurang dari empat 36 (81.8%) 8 (18.2%) <0.001
segmen yang terlibat
Lesi anorektal 4 (9.1%) 37 (84.1%) <0.001
Lesi ileocaecal* 40 (100%) 39 (90.7%) 0.117
Valva ileocaecal 16 (40%) 4 (9.3%) <0.01
menyebar*
Ulkus transversus 29 (65.9%) 11 (25.0%) <0.001
Ulkus longitudinal 1 (2.3%) 18 (40.9%) <0.001
Ulkus Aphthous 9 (20.5%) 36 (81.8%) <0.001
Gambaran 3 (6.8%) 15 (34.1%) <0.01
cobblestone
Luka atau 23 (52.3%) 12 (27.3%) <0.05
psudopolip
Titik putih disekitar 12 (27.3%) 10 (22.7%) 0.662
ulkus
Striktur 8 (18.2%) 9 (20.5%) 0.787
Jembatan mukosa 2 (4.5%) 6 (13.6%) 0.266
 Valva ileocaecal menyebar dan lesi ileocaecal dievaluasi pada 40 pasien dengan
Tuberkulosis Intestinal dan pada 43 pasien dengan Penyakit Chron

Temuan kolonoskopi dalam dua kelompok terangkum pada tabel 1. Empat parameter-lesi
anorektal, ulkus longitudinal, ulkus aphthous, dan gambaran cobblestone-lebih sering secara
signifikan ditemukan pada pasien dengan Penyakit Chron dibanding [asien dengan
Tuberkulosis Intestinal. Empat parameter lainnya-keterlibatan kurang dari empat segmen,
valva ileocaecal menyebar, ulkus transversum, dan bekas luka atau psudopolip-lebih sering
terobservasi pada pasien dengan tuberkulosis intestyinal dibanding pasien dengan Penyakit
Chron (gambar 1-6). Tidak ada perbedaan yang signifikan pada temuan endoskopi terhadap
usia maupun jenis kelamin pada kedua kelompok penyakit (data tidak ditampilkan). Seluruh
lima pasien dengan ulkus longitudinal dan ulkus transversum memiliki Penyakit Chron, yang
menunjukkan bahwa ulkus longitudinal memiliki nilai diagnosis yang lebih besar dibanding
ulkus transversum ketika kedua lesi tersebut ditemukan.
Nilai diagnostik parameter endoskopi
Kami menetapi nilai +1 untuk empat parameter endoskopi yang merupakan karakteristik
Penyakit Chron dan -1 untuk 4 parameter lainnya, yang mengindikasikan Tuberkulosis
Intestinal. Nilai tengah dari kedelapan parameter adalah 1.61 pada pasien dengan Penyakti
Chron dan -1.95 pada pasien dengan Tuberkulosis Intestinal (P<0.001). Kami
mempertimbangkan diagnosis Penyakti Chron ketika jumlah nilai untuk delapan parameter
adalah lebih dari nol, dan diagnosis menjadi Tuberkulosis Intestinal ketika jumlahnya kurang
dari nol, dan diagnosis tidak bisa ditentukan jika nilai sama dengan nol. Menggunakan sistem
penilaian ini, diagnosis baik Tuberkulosis Intestinal maupun Penyakit Chron terhadap pasien
pada penelitian ini bisa ditentukan secara benar pada 77 pasien (87.5%), secara salah pada tujuh
pasien (8.0%), dan tidak bisa dibuat pada empat pasien (4.5%) (gambar 7). Nilai prediktif
positif untuk Penyakit Chron adalah 94.9% dan nilai prediktif positif untuk Tuberkulosis
Intestinal adalah 88.9%.
Gambar 1. Gambaran kolonoskopi menunjukkan ulkus longitudinal dan gambaran cobblestone
pada pasien dengan Penyakit Chron.

Gambar 2. Ulkus Aphthous di rektum pada pasien dengan Penyakit Chron

Gamabr 3. Ulkus transversum mengelilingi keseluruhan lumen pada pasien dengan


Tuberkulosis Intestinal.

Gambar 4. Valva ileocaecal yang menyebar, bekas luka berubah, dan ulkus multibel pada
pasien dengan Tuberkulosis Intestinal.

Gambar 5. Ulkus transversum di colon ascenden proksimal, menyerupai gambaran


Tuberkulosis Intestinal, pada pasien dengan Penyakit Chron.

Gambar 6. Gambaran cobblestone di colon ascenden (a) dan ulkus aphthous di rektum (b)
menyerupai perubahan Penyakit Chron, pada pasien dengan Tuberkulosis Intestinal.
Gambar 7. Distribusi dari nilai total delapan parameter endoksopi dinilai pada pasien Penyakit
crhon atau Tuberkulosis Intestinal. Nilai +1 diberikan kepada empat parameter endoskopi (lesi
anorektal, ulkus longitudinal, ulkus aphthous, dan gambaran cobblestone) yang merupakan
karakteristik Penyakit Chron, dan nilai -1 ditetapkan terhadap empat parameter endoskopi
lainnya (keterlibatan kurang dari empat segmen, valva ileocaecal yang menyebar, ulkus
transversum, dan bekas luka atau pseudopolip) yang merupakan karakteristik dari Tuberkulosis
Intestinal. Nilai tengah dari skor delapan parameter adalah 1.61 pada pasien Penyakit Chron
dan -1.95 pada pasien dengan Tuberkulosis Intestinal (P<0.001).
Diskusi
Sesuai pengetahuan kita, penelitian ini adalah percobaan pertama membandingkan temuan
endoskopi dengan karakteristik Tuberkulosis Intestinal dengan temuan endoskopi karakteristik
Penyakit Chron. Meskipun Tandon dan Prakash membandingkan morfologi kasar karakteristik
kedua penyakit tersebut untuk pertama kali, penelitian mereka berbeda dengan yang kami
lakukan dimana mereka menggunakan spesimen pembedahan. Pembedahan biasanya
dilakukan pada kasus parah dan dengan komplikasi setelah satu periode terapi medis, sehingga
gambaran morfologi kasar yang dideskripsikan dalam penelitian mereka mungkin
menunjukkan pasien-pasien dengan penyakit yang parah, namun bukan pasien dengan gejala
penyakit yang menengah. Terlebih lagi, terapi medis bisa memodifikasi perubahan morfologi
kasar. Penelitian kami mengikutsertakan pasien dengan gejala penyakit menengah serta pasien
dengan gejala penyakit berat, dan tidak ada pasien kami yang telah menerima terapi pada saat
dilakukannya endoskopi.
Tidak ada satupun temuan endoskopi yang spesifik secara absolut terhadap kedua penyakit
dalam peneltiian kami. Ketika dikombinasikan, bagaimanapun, temuan endoskopi bisa
digunakan untuk memprediksi diagnosis yang benar (Tuberkulosis Intestinal vs Penyakit
Chron) pada hampir 90% kasus. Kami menyarankan bahwa sistem penilaian kami bisa
berperan dalam mengurangi penggunaan terapi antituberkulosis yang tidak tepat pada pasien-
pasien dengan Penyakit Chron, terutama di daerah dengan banyak kasus Tuberkulosis.
Beberapa mungkin meragukan populasi penelitian kami kurang sesuai dengan perbandingan
temuan endoskopi karena perbanding lelaki perempuan dan rata-rata usia saat didiagnosis
berbeda secara signifikan pada kedua kelompok. Akan tetapi, kami percaya bahwa tidak ada
bias seleksi pada penelitian kami karena kami mendaftarkan pasien secara berurutan kepada
peneltiian ini selama periode penelitian. Faktanya, presentasi usia bisa menjadi karakteristik
yang membedakan antara Penyakit Chron dengan Tuberkulosis Intestinal, dan dominasi laki-
laki pada Penyakit Chron telah dilaporkan di negara-negara Asia, termasuk Jepang, Hongkong,
dan Korea. Ditambah lagi, selama ini tidak ada laporan yang menyatakan bahwa usia ataupun
jenis kelamin bisa memepngaruhi temuan endoskopi pada pasien dengan keuda penyakit
tersebut. Kami juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada temuan
endoskopi dalam hubungan antara usia ataupun jenis kelamin terhadap kedua kelompok
penyakit.
Meskipun penelitian ini dengan jelas menunjukkan perbedaan antara Tuberkulosis Intestinal
dengan Penyakit Chron bisa dibuat pada mayoritas pasien berdasarkan temuan endoskopi saja,
sistem ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, hasil penelitian kami mungkin tidak
berlaku pada pasien-pasien yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), karena
seluruh subjek peneltiian negatif HIV. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk menentukan
apakah perbedaan temua endoskopi pada individu dengan Tuberkulosis Intestinal bisa
berhubungan dengan status HIV. Kedua, bekas luka dan atau pseudopolip tercatat pada
setengah dari pasien Tuberkulosis Intestinal pada penelitian ini. Kami mengasumsikan bahwa
insidensi yang tinggi ini mungkin karena adanya reaktivasi Tuberkulosis Intestinal
sebelumnya, dan bekas luka atau pseudopolip mungkin lebih jarang ditemukan pada individu
di negara-negara dimana kasus tuberkulosis jarang. Ketiga, Tuberkulosis Intestinal lanjutan
lebih jarang dibanding di Korea, mungkina karena deteksi awal, yang meurpakan hasil dari
mudahnya akses terhadap fasilitas kesehatan dan meluasnya penggunaan kolonoskopi. Ada
juga kemungkinan bahwa penyakit bisa menjadi lebih luas pada pasien-pasien dari negara-
negara yang akses terhadap fasilitas kesehatannya terbatas. Keempat, lebih dari 10% pasien
yang memiliki diagnosis awal sementara baik Tuberkulosis Intestinal maupun Penyakit Chron
telah dikeluarkan dari penelitian ini karena kolonoskopi telah menunjukkan tidak adanya les
aktif. Jika pasien tersebut dimasukkan dalam hitungan, nilai diagnosis endoskopi menurun.
Terakhir, kami tidak memvalidasi sistem penilaian pada kelompok pasien selanjutnya pada
penelitian saat ini. Akurasi diagnosis dari sistem penilaian kami hanya berdasarkan klasifikasi
ulang saja, dimana mungkin memberikan hasil optimistik berlebih. Meskipun demikian, ketika
kami membagi pasien kami menjadi subkelompok penurunan dan validasi dengan periode
inklusi, akurasi kekdua kelompok mirip (86% untuk kelompok turunan dan 89% untuk
kelompok validasi, data tidak ditunjukkan). Penelitian selanjutnya dibtuuhkan untuk
memvalidasi sistem penilaian pada populasi lainnya dengan prevalensi Tuberkulosis Intestinal
atau penyakti Chron yang berbeda.
Nilai diagnosis dari modalitas investigasi, seperti evaluasi patologis dan plymerase chain
reaction (PCR) assay, telah dilaporkan. Pada penelitian oleh Pulimood et al., jenis dan frekuensi
granuloma, ada atau tidaknya ulkus bergaris histiosit epitheloid, dan mikrogranuloma, dan
distribusi inflamasi kronis diidentifikasikan sebagai parameter histologis yang bisa digunakan
untuk membedakan Tuberkulosis Intestinal dari Penyakit crhon pada spesime biopsi mukosa
yang didapat dari kolonoskopi. Gan et al., melaporkan bahwa PCR assay berguna untuk
diagnosis yang cepat dan akurat pada Tuberkulosis Intestinal dan membedakan antara
Tuberkulosis Intestinal dengan Penyakit Chron. Hal tersebut jelas bahwa pemeriksaan
patologis dan PCR assay dari spesimen biopsi mukosa memiliki nilai diagnosis dalam
membedakan antara Tuberkulosis Intestinal dengan Penyakit Chron. Akan tetapi, banyak
peneliti menekankan pada kesulitan mendiagnosis yang melekat dalam membedakan kedua
kondisi tersebut dengan pemeriksaan patologis. Sebagai tambahan, telah diterima secara luas
bahwa PCR assay bisa memproduksi hasil positif palsu. Meskipun demikian, analisis sitematis
dari temuan endoskopi bisa berperan penting dalam meningkatkan tingkat kebenaran diagnosis
pada pasien yang diduga memiliki Tuberkulosis Intestinal atau Penyakit Chron. Kami
menyarankan bahwa diagnosis yang benar dari kedua penyakit bisa dibuat pada mayoritas
pasien jika hasil klinis, endoskopi (baik konvensional maupun kapsul), patologis, bakteriologis,
dan evaluasi PCR dikombinasikan.
Secara singkat
Diagnosis banding endoskopi antara Penyakit Chron dengan Tuberkulosis Intestinal mungkin
memunculkan masalah, setidaknya pada beberapa negara. Dari 88 kasu dengan setengah
darinya memiliki satu dari dua penyakit, dan yang lain mencoba mendefiniskan kriteria
morfologis berdasarkan kolonoksopi. Sejak perbedaan frekuensi yang jelas tidak bisa
membantu dalam kasus individu, penulis menyusun penilaian yang terlihat menjanjikan namun
perlu untuk diuji di kelompok pasien independen.

Anda mungkin juga menyukai