Anda di halaman 1dari 10

Benang jahit bedah (suture) adalah biomaterial yang paling sering digunakan untuk

penutupan luka dan jaringan, misalnya pada luka akibat cedera, insisi akibat operasi, dan
prosedur medis lainnya. Secara luas, benang jahit bedah diklasifikasikan menjadi tiga
berdasarkan proses pembuatannya, yaitu benang jahit monofilamen, multifilamen, dan
pseudomonofilamen (Chellamani KP et al. 2013).

Monofilamen

Hal paling penting pada benang jahit monofilamen adalah reaksi jaringan yang
minimal karena permukaan yang lembut. Permukaan yang lembut ini hanya bisa dibuat dari
materil sintesis dengan metode ekstrusi polimer (Chellamani KP et al. 2013). Benang
monofilamen memiliki resistensi yang lebih rendah pada bagian jaringan, sehingga kecil
kemungkinan untuk mengakomodiasi organisme, dan cenderung lebih segera dalam
menjaganya dari kerusakan (Byrne & Aly, 2019). Selain itu benang jahit monofilamen juga
tidak membiarkan bakteri bertahan jika dibandingkan dengan benang jahit multifilamen dan
mudah untuk membuat atau menempatkan simbul di bagian tubuh yang dalam (Chellamani
KP et al. 2013). Namun, benang monofilamen harus dipegang secara hati-hati karena bisa
menjadi lebih lemah, bahkan rusak (Byrne & Aly, 2019). Sedangkan kekurangan
monofilamen adalah keamanan dari simpulnya rendah dan tidak terlalu fleksibel (Chellamani
KP et al. 2013). Oleh karena itulah benang monofilamen lebih disukai pada operasi vaskuler
dan mikrovaskuler dimana kemudahan mengikat jahitan sangat krusial (Byrne & Aly, 2019).
Gambar X. Klasifikasi benang jahit bedah berdasarkan proses pembuatan (Chellamani KP et
al. 2013).

Berdasarkan bagan di atas, benang jahit monofilamen dibedakan menjadi absorbable


dan non-absorbable (Chellamani KP et al. 2013). Benang absorbable akan menyerap sendiri
dalam jaringan sedangkan non-absorbable harus diambil dari jaringan dalam periode waktu
tertentu (Chellamani KP et al. 2013). Pada percobaan in vivo , penggunaan bahan non-
absorbable melibatkan fibroblas yang membungkus jahitan dengan pembentukan kapsul
fibrous. Makrofag disekitarnya dan foreign body giant cell akan merespon dalam proses
frustated phagocytosis dimana mereka berusaha untuk mendegradasi secara enzimatik
benang jahit non absorbable (Byrne & Aly, 2019). Baik benang jahit absorbable dan non-
absorbable dibedakan menjadi yang alami dan sintesis. Akan tetapi, pada benang
monofilamen non-absorbable hanya terbuat dari bahan sintesis agar menghasilkan
permukaan yang lembut (Chellamani KP et al. 2013).

Secara umum, kelebihan dari benang jahit monofilamen non-absorbable terdapat pada
tabel X.
Tabel X. Kelebihan benang jahit monofilamen non-absorbable (Al Mubarak & Al Haddab,
2013).

Mudah meluncur melewati jaringan


Mudah dalam digunakan
Tidak mudah untuk rusak sebelum waktunya
Hanya menyebabkan respon inflamasi yang minimal

Beberapa jenis benang jahit monofilamen non-absorbable antara lain:

1) Polyamide
Contohnya adalah Nylon dan polymerized caprolactum, dan benang jenis ini tersedia
dalam bentuk monofilamen dan multifilamen (Chellamani KP et al. 2013). Nylon
adalah benang jahit dari bahan sintesis pertama dan tersusun dari polimer rantai
panjang dari nylon 6. Nylon monofilamen disebut Ethilon dan merupakan benang
jahit non-absorbable yang paling banyak digunakan (Tajirian & Goldberg, 2010).
Benang jahit jenis ini memiliki kekuatan tarikan yang tinggi dan reaktivitas yang amat
rendah, elastisitas tinggi, dan harga yang murah (Tajirian & Goldberg, 2010;
Chellamani KP et al. 2013). Pada benang monofilamen non-absorbable setelah
implantasi, 30% kekuatan tarikan aslinya akan hilang setelah 2 tahun karena degradasi
kimiawi atau sekitar 15-20% setiap tahunnya (Tajirian & Goldberg, 2010; Chellamani
KP et al. 2013). Kelemahan jenis benang nylon adalah handling yang buruk dan
keamanan simpulnya (Chellamani KP et al. 2013). Selain itu, nylon juga memiliki
memori yang signifikan dan tidak terlalu lembut sehingga sulit untuk digunakan
(Tajirian & Goldberg, 2010).
2) Polypropylene
Benang jahit ini disintesis dari plastik polyolefin yang dibentuk dengan polimerasis
katalis propylene dan hanya tersedia dalam bentuk monofilamen (Chellamani KP et
al. 2013; Tajirian & Goldberg, 2010). Kekuatan tarikannya tidak berkurang setelah
implantasi, dan keamanan simpulnya lebih tinggi dibandingkan benang jahit
monofilamen yang terbuat dari bahan sintesis non-metallic lainnya (Chellamani KP et
al. 2013). Benang ini mudah menembus jaringan sehingga menginduksi respon inang
nya minimal (Tajirian & Goldberg, 2010). Oleh karena itu, benang polypropylene
paling baik digunakan untuk penutupan luka di kulit karena bisa menghilangkan
reaktivitas atau, pada bagian yang terkontaminasi, bisa meminimalisir pembentukan
sinus yang tertunda dan juga ekstrusi, dan juga mudah dimasukkan serta dilepas dari
kulit (Tajirian & Goldberg, 2010; (Byrne & Aly, 2019; Chellamani KP et al. 2013).
Benang ini biasanya digunakan dalam pull-through suture di laserasi wajah dan
trauma, dimana estetik adalah hal terpenting dan bekas luka harus dihindari (Byrne &
Aly, 2019). Meskipun demikian, kekuatan tarikan benang jenis ini lebih rendah
dibandingkan benang jahit monofilamen nonmetallic lainnya (Chellamani KP et al.
2013). Karena permukaannya yang lembut, keamanan simpulnya berkurang sehingga
harus dikompensasi dengan simpul jahit ekstra. Selain itu, benang jahit ini memiliki
elastisitas yang tinggi sehingga bisa membiarkan terjadinya peregangan yang
diinduksi pembengkakan jaringan post-operasi (Tajirian & Goldberg, 2010).
3) Polybutester
Merupakan bentuk monofilamen yang kopolimer dari polybutylene, polyglycol dan
polytetramethylene terephtalates (Chellamani KP et al. 2013). Kelebihan polybutester
adalah kekuatan penghancuran yang tidak berkurang setelah implantasi, karakteristik
handling yang baik, keamanan simpul baik, inflamasi yang dihasilkan minimal,
elastisitas tinggi dan juga sangat mendukung pada jaringan yang proses
penyembuhannya lambat, serta koefisien gesekan yang lebih rendah dibanding nylon
maupun polypropylene (Tajirian & Goldberg, 2010; Chellamani KP et al. 2013).
Elastisitas yang tinggi ini membuat jaringan bisa meregang pada edema luka namun
kembali pada kekuatan awalnya setelah pembengkakannya mereda. Selain itu juga
menjadikannya berkemungkinan kecil melukai kulit ketika pembengkakan jaringan
dan menjadikan penutupan jaringan yang efektif selama proses penyembuhan luka
(Tajirian & Goldberg, 2010). Sedangkan kelemahan benang jenis ini yaitu kualitas
simpul tepi yang jika kekuatan diberikan pada benang jahit ini, akan menyebabkan
serat saling mengunci (Chellamani KP et al. 2013).
4) Pronova poly
Benang ini tidak terlalu dikenal, dan resisten secara relatif terhadap infeksi dan
kontaminasi. Benang pronova poly adalah polimer gabungan dari poly (vinylidene
fluoride) dan poly (vinylidene fluoride-co-hexafluoropropyelene). Biasanya
digunakan pada ligasi dan penutupan luka, dimana bisa membuat lapisan peling ke
jaringan sekitarnya pada prosedur kardiovaskuler, ophtalmic, dan neurosurgical
(Byrne & Aly, 2019).
5) Stainless steel
Merupakan satu-satunya benang jahit metallic yang masih digunakan secara luas.
Benang ini tersedia dalam bentuk monofilamen dan multifilamen. Kelebihan benang
jenis stainless steel adalah memiliki kekuatan tarikan yang paling tinggi, keamanan
simpul paling bagus, serta memelihara kekuatan tersebut ketika diimplantasikan
dalam jaringan sehingga baik untuk jaringan yang kemampuan penyembuhannya
lambat. Monofilamen stainless steel digunakan secara efektif dalam luka infeksi dan
terkontaminasi karena tidak mendukung terjadinya infeksi sekunder. Namun,
kelemahan benang stainless steel adalah kecenderungannya untuk melukai jaringan,
karakterisitk handling yang buruk, dan kemampuannya akan menghilang dalam
menahan pembengkokan berulang tanpa merusaknya (Chellamani KP et al. 2013).

Secara ringkas, perbandingan antar masing-masing benang jahit monofilamen non


absorbable pada Tabel X.

Jenis benang Kekuatan Kemudahan Keamanan Reaktivitas Penggunaan


jahit tarikan digunakan simpul jaringan
Nylon Berkurang Baik hingga Buruk Rendah Penutupan
20% per cukup pada kulit
tahun
Polypropylene Baik Baik hingga Buruk Paling Jahitan
cukup sedikit subkutikular
Polybutester Tinggi Baik hingga Buruk Rendah Permukaan
cukup mukosa
(elastisitas
tinggi)
Tabel X. Perbandingakn masing-masing jenis benang jahit monofilamen non absorbable (Al
Mubarak & Al Haddab, 2013).

Perbedaan Benang jahit monofilamen dan multifilamen non absorbable dalam penyembuhan
luka

Benang multifilamen lebih berpotensi terhadap infeksi dibanding benang jahit


monofilamen. Beberapa dokter bedah lebih memilih benang jahit monofilamen non
absorbable karena lebih mudah meluncur melalui jaringan, mudah digunakan, dan respon
inflamasi minimal serta kemungkinannya kecil untuk hancur lebih awal. Namun kerugian
paling utamanya adalah perlu untuk diambil benang jahitnya dalam 5-10 hari setelah
dipasang. Hal ini menyebabkan perlunya kunjungan tambahan, yang kadang membuat
pekerjaan menjadi terabaikan dan biaya yang lebih mahal (Al Mubarak & Al Haddab, 2013).
Pernyataan tersebut didukung oleh sebuah penelitian pada ikan trout yang melaporkan
bahwa benang jahit multifilament menyebabkan inflamasi yang lebih makroskopis di lokasi
jahitan dibanding benang jahit monofilamen pada 2-4 minggu setelah operasi. Sedangkan
kekuatan luka setelah 4 minggu, baik kekuatan menghancurkan maupun energi penghancuran
tidak ada perbedaan secara signifikan. Lokasi insisi yang dijahit dengan benang jahit
multifilamen jenis silk lebih terinflamasi dibanding yang dijahit menggunakan benang jahit
monofilament dengan tipe jahitan simple interrupted. Pada 3 dan 6 minggu post operasi,
lokasi masuk dan keluarnya benang multifilamen silk dengan tipe jahitan simple interrupted
menunjukkan inflamasi yang lebih makroskopis secara signifikan dibanding benang
monofilamen (Wagner et al., 2000).

Pada penelitian tersebut membuktikan bahwa benang jahit multifilamen silk


menyebabkan respon inflamasi jaringan sedang hingga berat pada kulit ikan dibandingkan
dengan benang jahit monofilamen. Selain itu juga didapatkan adanya inflamasi makroskopis
pada lokasi benang jahit silk dan lokasi insisi matras vertikal namun tidak didapatkan dalam
pemeriksaan mikroskopis. Hal ini menunjukkan bahwa benang jahit multifilamen silk dan
tipe jahita matras vertikal hanya menyebabkan inflamasi berlebih pada permukaan luar
jaringan karena peningkatan bakteri lokal dan trauma jaringan (Wagner et al., 2000). Dapat
diismpulkan, bahwa meskipun inflamasi makroskopis yang disebabkan benang jahit silk
tidak berhubungan secara signifikan dengan penurunan kekuatan insisi, inflamasi jaringan
yang tinggi mungkin masih mempengaruhi kesehatan ikan secara umum.

Sedangkan penelitian lain pada tikus usia 12 bulan di Turki melaporkan bahwa baik
benang jahit polypropylene dan silk menunjukkan adanya sel infeksi kronis yang lebih tinggi
secara signfiikan pada hari ketujuh post operasi dibanding hari pertama post operasi. Selain
itu, dibandingkan benang jahit jenis lainnya dalam penelitian ini, pada hari ketujuh post
operasi, polypropylene menunjukkan reaksi tubuh terhadap benda asing yang sedikit lebih
rendah (tidak berat). Benang jahit silk (multifilamen non absorbable) dan polyglactin 910
(multifilamen absorbable) memiliki reaksi tubuh terhadap benda asing yang lebih tinggi
dibandingkan polypropylene (monofilamen non absorbable) dan polyglecaprone 25
(monofilamen absorbable). Penelitian-penelitian yang mirip juga melaporkan bahwa benang
jahit monofilamen menurunkan respon inflamasi pada luka di mulut dibandingkan benang
jahit multifilamen. Benang multifilamen bisa mendorong berkumpulnya bakteri pada lokasi
steril lainnya melalui kapiler, sehingga meningkatkan proses infeksi. Selain itu benang jahit
monofilamen memiliki reaksi jaringan yang lebih rendah dibanding benang jahit
multifilamen. Akan tetapi, karena kondisi kelembaban mulut dan kerawanan terhadap infeksi
oleh saliva, makanan yang ditelan, mikroorganisme, dll, benang jahit yang terdapat di kavital
oral dipengaruhi secara berbeda dibandingkan benang jahit yang berada di kondisi ekstraoral
(Selvi et al., 2016).

Selain tingkat inflamasi dan reaksi tubuh terhadap benda asing yang lebih rendah,
benang jahit monofilamen non absorbable diketahui memiliki tingkat penyembuhan yang
lebih baik dibandingkan multifilamen non absorbable. Penelitian pada domba di Bangladesh
menunjukkan bahwa dibandingkan benang jahit silk, luka yang dijahit menggunakan nylon
dengan tipe jahitan apapun memiliki skor penyembuhan luka yang baik. Penelitian lain
menunjukkan bahwa stres lokal yang disebabkan benang jahit bisa mengakibatkan tanda
inflamasi, perubahan sintesis matriks ekstrasekuler, mempengaruhi sekresi faktor
pertumbuhan, dan mempengaruhi pembentuk scar atau bekas luka. Silk menunjukkan
kapilaritas yang tinggi sehingga meningkatkan resiko terhadap infeksi. Serat benangnya
menahan darah yang merupakan medium yang baik untuk proliferasi bakteri. Silk diketahui
bisa menyerap atau memanggil bakteri ke tempat luka serta menunjukkan reaksi jaringan
yang signfiikan pada berbagai spesies. Sedangkan Nylon memiliki hasil yang baik terlepas
dari tipe jahitan yang digunakan. Benang ini memiliki kelebihan pada kekuatan, kelembutan,
tidak memiliki sifat kapiler, dan kelembamannya. Benang ini paling resisten terhadap
penempelan bakteri ketika digunakan untuk menutup luka pada kavitas oral kucing. Sehingga
bisa disimpulkan bahwa nylon hampir merupakan benang jahit yang ideal untuk penutupan
luka di kulit (Islam et al., 2014).

Sebuah penelitian secara in vivo dan invitro pada tikus menggunakan berbagai jenis
benang jahit yang diletakkan di vesica urinaria, abdomen, intestinum, dan duktus biliaris
(setelah ikterus obstruktif) melaporkan bahwa hanya polypropylene yang mempertahankan
stabilitasnya baik dalam in vivo maupun in vitro. Sedangkan silk kekuatan tarikannya pada
semua kondisi kecuali pada abdomen dan istestinum. Pada operasi intestinum, lebih dipilih
polypropylene dan silk. Silk akn larut dan mengalami disintegrasi pada asam dan basa. Pada
penelitian ini benang jahit silk menunjukkan kehilangan kekuatan tarikan lebih tinggi
daripada yang diestimasikan, dimana pada hari kelima post operasi, menunjukkan
kehilangannya sebanyak 3% pad aintragastric, 0% intraintestinal, 58% pada empedu, 24%
pad aintravesical, sedangkan pada in vitro, 36% pada asam dan basa, 49% pada empedu. Hal
ini bisa disimpulkan bahwa penggunaan silk dipertimbangkan khusunya pada operasi
lambung dan intestinum dimana kapasitas mengikat lukanya benar-benar bertahan setelah 5
hari post operasi. Poly propylene bisa mempertahankan kekuatan tarikan mereka hingga >2
tahun. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa dalam kondisi in vitro, pada hari kelima psot
operaasi, kehilangan kekuatan tarikan hanya 2% pada empedu, dan kondisi in vivo sebanyak
22% intragaster, 11% intraintestinal, 10% pada empedu, dan 8% intravesical. Sehingga bisa
disimpulkan bahwa polypropyelene mempertahankan stabilitasnya dalam semua kondisi dan
nilai pH berapapun. Namun pada operasi empedu, polypropylene tidak direkomendasikan
karena benang ini non absrobable dan bisa menyebabkan pembentukan batu (Karabulut et
al., 2010). Penelitian ini berkebalikan dengan penelitian pada ikan trout yang menunjukkan
bahwa tingkat kekuatan baik benang jahit monofilamen dan multifilamen tidak berbeda.
Karena pada penelitian ini, inflamasi berlebih pada benang jahit multifilamen hanya pada
permukaan luar dan tidak mempengaruhi proses penyembuhan di jaringan subkutan.
Sehingga penelitian pada ikan troud menyimpulkan bahwa pengumpulan kolagen tidak
terpengaruh oleh peningkatan inflamasi pada permukaan oleh karena tipe benang jahit
maupun tipe jahitan yang digunakan (Wagner et al., 2000). Tapi perbedaan tersebut bisa saja
dikarenakan sampel yang digunakan berbeda, dimana satunya menggunakan tikus dan yang
lain menggunakan ikan trout. Maka diperlukan penelitian lebih lanjut pada manusia untuk
mengetahui apakah tingkat kekuatan tarikan atau kekuatan luka pada benang jahit
monofilamen non absorbable dan multifilamen berbeda atau sama.

Namun meksipun lebih baik dalam hal reaksi inflamasi yang rendah, tingkat
penyembuhan luka lebih tinggi, dan kekuatan tarikan yang baik, benang jahit non absorbable
dilaporkan memiliki tingkat nyeri luka post operasi lebih tinggi dibanding benang jahit
absorbable. Sebuah penelitian cohort pada 64 pasien yang telah melakukan operasi pada
tangan dan pergelangan tangan, melaporkan bahwa bekas luka akibat benang jahit non-
absorbable lebih sakit dibandingkan dengan absorbable. Hal ini dikarenakan benang jahit
absorbable mengalami biodegradasi dimana mereka dengan mudah terdegradasi didalam
tubuh, sedangkan pasien merasa kesakitan ketika benang jahit non absorbable diambil. Selain
itu, benang jahit non absrobable dilaporkan lebih mengalami kekakuan dan iregularitas pada
bekas lukanya, sehingga hasil estetik yang dirasakan pasien lebih tidak memuaskan.
Meskipun demikian, disimpulkan bahwa dari segi estetika pada bekas luka operasi, tidak ada
perbedaan yang signifikan antara penggunaan benang jahit absrobable maupun non
absrobable. Namun memang benang jahit non absorbable melaporkan lebih banyak kasus
dengan sakit (Baghel et al., 2015).
Dari berbagai jenis penelitian di atas, bisa disimpulkan bahwa benang jahit
monofilamen non absorbable memiliki tingkat inflamasi yang lebih rendah dibandingkan
multifilamen non absrobable. Hal ini dikarenakan benang multifilamen non absorbable bisa
mendorong penempelan bakteri pada lokasi steril lainnya melalui kapiler, sehingga
meningkatkan proses infeksi. Selain itu, benang jahit monofilamen non absorbable memicu
reaksi tubuh terhadap benda asing yang lebih rendah dibanding benang jahit multifilamen
non absorbable. Dari sisi estetika, benang jahit monofilamen non absorbable memiliki
tingkat penyembuhan luka yang lebih tinggi dibanding benang jahit multifilamen non
absorbable. Benang jahit multifilamen yang memiliki aktivitas kapilaritas tinggi bisa
memanggil bakteri dan mengakibatkan stres lokal sehingga tanda inflamasi, perubahan
sintesis matriks ekstrasekuler, mempengaruhi sekresi faktor pertumbuhan, dan mempengaruhi
pembentuk scar atau bekas luka. Sedangkan benang jahit nylon paling resisten terhadap
penempelan bakteri sehingga benang ini paling baik untuk penutupan luka di kulit. Benang
jahit monofilamen non absrobable juga memiliki kekuatan tarikan yang bisa bertahan baik
dalam kondisi asam maupun basa dibandingkan benang jahit jenis lainnya. Namun,
kekurangan benang jahit monofilamen non absorbable adalah adanya tingkat nyeri pada luka
psot operasi yang lebih tinggi dibanding benang absorbable karena benang jahit absrobable
bisa langsung terdegradasi di dalam tubuh. Dari pemaparan diatas, penelitian-penelitian
tersebut mayoritas dilakukan pada hewan dan hanya beberapa yang dilakukan pada manusia.
Masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai efektivitas penggunaan benang jahit
monofilamen non absorbable dibanding benang jahit multifilamen non absorbable dalam
penyembuhan luka di manusia.

Karabulut R et al., 2010. An in vitro and in vivo evaluation of tensile strength and durability
of seven suture materials in various pH and different conditions: an experimental study
in rats. Indian J Surg (September–October 2010) 72(5):386–390
Arvind Baghel, Anil Haripriya, Vibha Haripriya. “Evaluation of Absorbable and Non-
Absorbable Sutures in a Cohort Study”. Journal of Evolution of Medical and Dental
Sciences 2015; Vol. 4, Issue 52, June 29; Page: 9088-9093, DOI:
10.14260/jemds/2015/1317

Islam MA, et al., 2014. Effects of different suture patterns and materials on healing of incised
skin wounds in cattle. The Bangladesh Veterinarian (2014) 31(1): 27 - 37

Selvi F, et al., 2016. Effects of different suture materials on tissue healing. J Istanbul Univ
Fac Dent 2016;50(1):35-42.

Wagner GN, Stevens ED, Byrne P. 2000. Effects of suture type and patterns on surgical
wound healing in rainbow trout. Transactions of the American Fisheries Society, 129:5,
1196-1205, DOI:10.1577/1548-8659(2000)129<1196:EOSTAP>2.0.CO;2

Al Mubarak L, AL Haddab MM. 2013. Cutaneous Wound Closure materials: an overview


and update. Journal of Cutaneous and Aesthetic Surgery - Oct-Dec 2013, Volume 6,
Issue 4

Chellamani KP et al. 2013. Surgical sutures: An overview. J. Acad. Indus. Res. Vol. 1(12)
May 2013

Byrne M, Aly A. 2019. The surgical suture. Aesthetic Surgery Journal 2019, Vol 39(S2)
S67–S72

Tajirian AL, Goldberg DJ. 2010. A review of sutures and other skin closure materials.
Journal of Cosmetic and Laser Therapy, 12:6, 296-302

Anda mungkin juga menyukai