NIM : J045231001
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2023
BAB I
PENDAHULUAN
Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh (diskontinuitas jaringan).
Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia,
ledakan, sengatan listrik atau gigitan hewan. Proses yang kemudian terjadi pada jaringan yang
rusak ini ialah penyembuhan luka yang dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu fase inflamasi,
poliferasi dan penyudahan yang merupakan perupaan kembali (remodelling) jaringan.
Penyembuhan luka kulit tanpa pertolongan dari luar, berjalan secara alami. Luka akan
terisi jaringan granulasi dan kemudian ditutup jaringan epitel. Penyembuhan ini disebut
penyembuhan sekunder (sanatio per secundam) cara ini biasanya makan waktu cukup lama dan
meninggalkan parut yang kurang baik, terutama kalau lukanya menganga lebar. Jenis
penyembuhan yang lain adalah penyembuhan primer ( sanatio per primam) yang terjadi bila luka
segera diusahakan bertaut, biasanya dengan bantuan jahitan. Parut yang terjadi biasanya lebih
halus dan kecil. Namun penjahitan luka tidak dapat langsung dilakukan pada luka yang
terkontaminasi berat dan/ atau tidak berbatas tegas. Luka yang compangcamping seperti luka
tembak sering meninggalkan jaringan yhang tidak dapat hidup yang pada pemeriksaan pertama
sukar dikenal. Keadaan ini diperkirakan akan menyebabkan infeksi bila luka langsung dijahit.
Luka yang demikian sebaikmya dibersihkan dan dieksisi (dedridemen) dahulu dan kemudiam
dibiarkan selama 4-7 hari. Baru selanjutnya dijahit dan akan sembuh secara primer. Cara ini
umumnya disebut penyembuhan primer tertunda. Terjadinya infeksi pada luka pascaeksisi
umumnya terjadi karena eksisi luka tidak cukup luas dan teliti. Jika setelah debridemen luka
langsung dijahit, dapat diharapkan terjadi penyembuhan primer. Pada manusia, penyembuhan
luka denga cara reorganisasi dan regenerasi hanya terjadi pada epidermis, hati, dan tulang yang
dapat menyembuh alami tanpa meninggalkan bekas. Organ lain, termasuk kulit mengalami
penyembuhan secara epimorfis, artinya jaringan yang rusak diganti oleh jaringan ikat yang tidak
sama dengan jaringan semula.
Metode unik untuk menutup luka telah ada di banyak budaya kuno. Galen (75 M) adalah
orang pertama yang bereksperimen dengan catgut. Pada tahun 1869, Lord Joseph Lister
mengembangkan konsep impregnasi asam kromat dalam catgut dan mensterilkan bahan jahitan.
Halstead menyatakan keunggulan sutra dibandingkan catgut di awal abad ke-20 dan, sebagai
hasilnya, sutra segera menjadi bahan jahitan yang paling umum dalam praktik bedah.
Tujuan dari jahitan adalah untuk menahan jaringan pada posisinya sampai luka cukup
sembuh untuk dapat menopang dirinya sendiri.
Jahitan berfungsi terutama untuk mempertahankan penutupan luka dan untuk penyembuhan luka
selama waktu ketika luka paling rentan. Proses penyembuhan luka dapat dipengaruhi oleh
jumlah bahan jahitan yang digunakan, jenis jahitan, teknik penjahitan dan besarnya tegangan
pada jahitan.
Dengan melihat latar belakang yang telah dikemukakan, maka beberapa masalah yang
dapat dirumuskan dan akan dibahas dalam makalah ini, yaitu sebagai berikut.
1. Apa itu Teknik Penjahitan Luka?
2. Apa Fungsi Penjahitan Luka?
3. Bagaimana Teknik Penjahitan Luka?
4. Bagaimana Proses Penyembuhan Luka?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 SUTURING
Menjahit Luka (Hecting) adalah suatu tindakan operasi kecil yang bertujuan menyatukan
jaringan yang terputus, meningkatkan proses penyambungan jaringan,serta mencegah luka
terbuka yang akan mengakibatkan masuknya mikroorganisme atau infeksi. Jahitan berfungsi
terutama untuk mempertahankan penutupan luka dan untuk mempromosikan penyembuhan luka
selama waktu ketika luka paling rentan. Proses penyembuhan luka dapat dipengaruhi oleh
jumlah bahan jahitan yang digunakan, jenis jahitan, teknik penjahitan dan besarnya tegangan
pada jahitan.
Penjahitan luka bedah perlu dilakukan untuk mempertahankan flap tetap berada diatas
luka, melindungi jaringan di bawahnya, dari infeksi atau faktor iritan lainnya, dan mencegah
perdarahan pascaoperatif. Penjahitan juga harus dilakukan untuk membantu dalam keadaan
berikut.
- Ketika terjadi perdarahan yang dalam pada jaringan dan ligasi diperlukan atau ketika ligasi
pembuluh darah besar dilakukan.
- Pada laserasi jaringan lunak yang umum.
- Pada kasus perdarahan berat dimana penjahitan mempertahankan plug hemostatik pada
tempatnya.
- Ketika terjadi infeksi setelah insisi, untuk stabilisasi rubber drain pada area insisi.
- Untuk imobilisasi flep pedicle pada posisi barunya.
Pembuatan simpul bertujuan untuk stabilisasi jahitan, baik simpul sederhana maupun simpul
bedah, yang dieratkan dengan bantuan jemari dari kedua tangan atau dengan bantuan needle
holder. Teknik yang dilakukan untuk membuat simpul meliputi :
- Setelah jarum melalui kedua sisi luka, jahitan ditarik sehingga jarum yang terhubung
dengan jahitan menjadi lebih panjang. Setelah itu, ujung jahitan yang panjang dililit pada
handle dari needle holder sebanyak dua kali. Sementara, ujung jahitan yang pendek
(biasanya dipegang menggunakan tang anatomis oleh asisten) dipegang dengan needle
holder dan ditarik melalui loop. Jahitan kemudian dieratkan melalui kedua ujungnya untuk
menciptakan simpul ganda pertama, yang disebut dengan surgeon’s knot. Setelah itu
dilakukan reposisi flap, diikuti dengan pembuatan simpul tunggal, yang dililit pada handle
dari needle holder berlawanan dengan arah jarum jam yang disebut dengan safety knot.
Simpul harus berada di samping dari insisi dan jangan diletakkan tepat diatas insisi. Hal ini
dilakukan memudahkan pengencangan, mengurangi iritasi luka, dan memudahkan pada
saat memotong dan melepaskan jahitan.
Gambar 1. Surgeon’s Knot (atas) dan Safety Knot (bawah)
1. Absorbable: semua benang bedah yang diserap oleh enzim tubuh atau terhidrolisis oleh
cairan jaringan. Benang absorbable dibedakan menjadi dua jenis yaitu bahan alami dan
sintesis. Salah satu contoh benang absorbable adalah catgut.
2. Non-absorbable: benang yang tidak dapat diserap oleh enzim jaringan. Dan harus dilepaskan
setelah luka sembuh. Benang non-absorbable dibedakan menjadi bahan alami, sintesis dan
metalik. Salah satu contoh benang non-absorbable adalah silk
1. Monofilamen: dibuat dari untai tunggal. Beberapa contoh benang yang termasuk
monofilamen adalah benang gut plain chromic, polyamide, stainless steel.
2. Multifilamen: benang terdiri dari beberapa filamen yang di putar dan dijalin bersamaan.
Beberapa contoh benang yang termasuk multifilamen adalah silk, polyglicolid
acid,polyester braided, polyester braided coated. Benang multifilamen memiliki keunggulan
lebih mudah mudah dalam pengerjaannya yaitu dari segi mudah diikat serta ikatan
cenderung tidak lepas. Tetapi karena benang ini multifilamen maka benang cenderung
mengalami wick sepanjang jahitan dan jaringan di bawahnya. Efek wick ini dapat membawa
bakteri melalui saliva. Bahan monofilament tidak menghasilkan efek wick tetapi benang ini
lebih sulit diikat serta adanya kecenderungan ikatan lepas. Selain itu juga ujung jahitan yang
kaku dan lebih mengiritasi lidah dan jaringan lunak lain disekitarnya.
Gambar 2. Berbagai jenis benang bedah yang dapat diserap terbuat dari jaringan gut dan material sintetis
Bahan benang bedah yang paling sering digunakan adalah benang silk dengan ukuran 3,0.
Ukuran 3.0 memiliki besar kekuatan yang tepat, serta termasuk jenis multifilamen sehingga
mudah diikat dan dapat ditoleransi dengan baik oleh lidah pasien karena ujung-ujung jahitan
cenderung rata dan tidak menonjol. Benang silk menghasilkan akumulasi bakteri yang lebih
banyak dari pada catgut (monofilament) tetapi bila dibandingkan dari segi kemudahan untuk
mengikat serta mempertahankan ikatan tidak lepas benang silk lebih unggul. Selain itu benang
silk juga lebih dipilih untuk digunakan dari segi cost-effetiveness karena benang silk lebih
murah dibandingkan dengan benang non-absorable.
Jarum
Jarum terbuat dari stainless steel atau baja karbon. Pada dasarnya ada dua
bentuk jarum (Gabmbar 3) : Jarum Lurus dan Jarum Lengkung
Jarum Lurus
Taper cut —Segitiga dalam penampang dan cukup tajam untuk melewati
mukosayang berkeratin.
Jarum melengkung
Jarum melengkung biasanya digunakan untuk operasi kulit dan selaput lendir.
Lengkungan datang dalam berbagai jenis seperti 1/4, 3/8, 1/2 dan 5/8
Gambar 5. Jenis Jarum Melengkung
1. Round bodied
2. Taper cut
3. Conventional cutting
4. Reverse cutting
Conventional cutting—memiliki salah satu dari tiga ujung tombak pada permukaan internal
jarum
Reverse cutting—permukaan bagian dalam rata. Ini adalah jarum yang paling popular
digunakan Kegunaan :
Prinsip Penjahitan :
• Jarum harus digenggam dengan bantuan needle holder kira-kira 3/4 jaraknya dari ujung
jarum.
• Jarum tidak boleh dipegang pada ujung jahitan karena ini adalah titik jarum yang paling
lemah dan menggenggam pada titik ini menghasilkan tekukan atau patahnya jarum.
• Jarum harus menembus jaringan tegak lurus dengan permukaannya, karena menusuk
jaringan secara miring dapat menyebabkan robekan.
• Jarum melengkung melewati jaringan harus mengikuti kelengkungan jarum untuk
mencegah robeknya jaringan.
• Jahitan harus ditempatkan pada jarak yang sama (2–3 mm) dari sayatan garis. Kedalaman
penetrasi juga harus sama di kedua sisi garis
Keuntungan :
• Dapat menyebabkan bekas jahitan (bekas luka rel kereta api di kulit)
permukaan) setelah edema pasca operasi telah terjadi.
• Karena ada peningkatan jumlah simpul, cenderung mengurangi
kekuatan benang hingga 50%.
b. Teknik Continuous
Teknik ini menghasilkan penutupan yang aman dengan distribusi tekanan yang merata
sepanjang luka, mencegah jahitan terlalu ketat pada satu area. Jahitan ini biasa digunakan
pada luka yang superfisial dan panjang. Teknik ini diaplikasikan dengan cara : setelah
melewatkan jarum ke kedua tepi flep, knot awal dibuat seperti pada jahitan interrupted
tapi hanya bagian akhir jahitan yang dipotong. Keuntungan dari jahitan continuous
adalah dapat dibuat dengan cepat dan membutuhkan sedikit knot sehingga tepi luka tidak
terlalu ketat. Kekurangan dari teknik jahitan ini adalah apabila ada salah satu bagian
benang yang terputus maka akan mempengaruhi bagian benang lainnya.1,2,6,7
Keuntungan :
Keuntungan dari metode ini adalah cepat dan memiliki simpul yang lebih sedikit.
Jika jaringan membengkak di satu area, jahitan yang tersisa
dapat memberikantingkat kendur yang akan membantu
meringankan tekanan.
Kekurangan :
Tidak mungkin untuk membebaskan beberapa jahitan sekaligus dalam jahitan kontinu.
bahkan ketika satu jahitan putus, seluruh penutupan akan terpengaruh
c. Teknik Mattress
Teknik mattress dapat berupa jahitan horizontal dan vertikal. Jahitan ini digunakan ketika
penutupan flep bebas tekanan tidak tercapai. Pada jahitan horizontal, jarum dilewatkan
dari satu tepi insisi ke sisi lainnya, kemudian dari bagian tepi akhir ke bagian tepi awal,
lalu kemudian disimpul. Jarak penetrasi jarum dari tepi insisi dan kedalaman penetrasi
jarum sama pada setiap jahitan, tetapi jarak horizontal titik penetrasi berbeda. Jahitan
vertikal pada dasarnya mirip dengan horizontal hanya berbeda pada variasi kedalaman
penetrasi.1,5,6,8
Keuntungan :
Jahitan subkutis dilakukan untuk luka pada daerah yang memerlukan kosmetik,
untuk menyatukan jaringan dermis/kulit. Teknik ini tidak dapat diterapkan untuk jaringan
luka dengan tegangan besar. Pada teknik ini benang ditempatkan bersembunyi di bawah
jaringan dermis sehingga yang terlihat hanya bagian kedua ujung benang yang terletak di
dekat kedua ujung luka. Hasil akhir pada teknik ini berupa satu garis saja.
Fase proliferasi: setelah debris dan bakteri pada luka dihancurkan, substrat untuk
sintesis kolagen dibentuk. Fase ini dikarakteristikkan migrasi dan proliferasi sel
tambahan, angiogenesis, dan produksi kolagen pada luka yang menghasilkan
peningkatan kekuatan luka. Sel utama pada fase ini adalah sel fibroblas. Growth
factor dari derivat makrofag bertindak pada level yang berbeda pada fibroblas,
mendukung migrasi, menyebabkan proliferasi dan mendukung aktivitas
sintesiskolagen. Kontinuitas jaringan diperbaiki selama fase
ini, secara umum melibatkan neoangiogenesis dan re-epitelisasi. Matriks
sementara yang telah berada pada luka menghasilkan tempat sitokin, sinyal ini
dapat menyambungkan sel spesifik untuk menjalankan tugasnya. Selama fase ini,
protein bekerja sebagai reseptor untuk faktor kemotaktik dan memiliki peran
terpenting. Protein ini diatur pada permukaan sel dan berhubungan dengan kolagen
serta fibronektin dari matriks sementara. Aktivitas dari sel mesenkim sanga
penting danterbatasnya faktor yang memungkinkan pembentukan jaringan
granulasi. Fase ini terjadi 3 hari setelah fase inisial. Kunci dari sitokin untuk
kemotaksis dan aktivitas sel mesenkim adalah PDGF dan THF-β. PDGF dilepaskan
oleh granula platelet, di mana TGF-β diproduksi dari jaringan makrofag. Dengan
adanya stimulus, sel mesenkim bergerak menuju area lesi dan setelah mencapai
fibroblast dan makrofag mulai memproduksi protein dan matriks ekstraseluler
yang kemudian terdapat banyak faktor, seperti glycosamicanes, proteoglycans.
Sejalan dengan ini neo-angiogenesis diaktifkan.
Kolagen juga diatur ulang melalui proses proteolisis dan neosintesis. Selama
hari pertama pembentukan bekas luka, yang terutama diproduksi adalah kolagen tipe
III. Melalui kolagenase ini selanjutnya akan digantikan kolagen tipe I yang
memberikan kekuatan tarik dan elastisitas yang lebih baik. Bekas luka menjadi lebih
rata, kurang menonjol, lebih pucat dan fleksibel.
BAB III
PENUTUP
Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh (diskontinuitas jaringan).
Menjahit Luka (Hecting) adalah suatu tindakan operasi kecil yang bertujuan menyatukan
jaringan yang terputus, meningkatkan proses penyambungan jaringan,serta mencegah luka
terbuka yang akan mengakibatkan masuknya mikroorganisme atau infeksi. Jahitan berfungsi
terutama untuk mempertahankan penutupan luka dan untuk mempromosikan penyembuhan luka
selama waktu ketika luka paling rentan. Proses penyembuhan luka dapat dipengaruhi oleh
jumlah bahan jahitan yang digunakan, jenis jahitan, teknik penjahitan dan besarnya tegangan
pada jahitan.
Penjahitan luka memiliki prinsip dan beberapa macam teknik dengan keuntungan dan
kekurangannya masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
1. Acar AH, Kazancioglu HO, Erdem NF, Asutay F. Is horizontal mattress suturing
more effective than simple interrupted suturing on postoperative complications and
primary wound healing after impacted third molar surgery. J Craniofacial Surg 2017;
1-4.
2. Minuzzi F, Bollero P, Unfer V, Dolci A, Galli M. The sutures in dentistry. European
Review for Medical and Pharmacological Science 2009: 13-217-26.
3. Acar AH, Kazancioglu HO, Erdem NF, Asutay F. Is horizontal mattress suturing
more effective than simple interrupted suturing on postoperative complications and
primary wound healing after impacted third molar surgery. J Craniofacial Surg 2017;
1-4.
4. Hupp JR. Guide to suturing with sections on diagnosing oral lesions and post
operative medications. J o Oral and Maxillofacial Surgery 2015; 73: 1-62.
5. Malik NA. Textbook of oral and maxillofacial surgery.3rded. New Delhi:
Jaypee Brothers Medical Publishers, 2012: 68-79, 143-8
6. Richardson M. The development of third molar impaction. British J o Orthodontics
2016; 2: 231-4.
7. Sahetapy DT, Anindita PS, Hutagalung BSP. Prevalensi gigi impaksi molar tiga
partial erupted pada masyarakat desa Totabuan. J e-Gigi (eG) 2015; 3:641-6
8. Amaliyana E. Deskripsi gigi impaksi molar ketiga rahang bawah di RSUD Ulin
Banjarmasin. Dentino J Kedokteran Gigi 2014;2: 134-7.
9. Copeland AW, Fraser S, Holder-Haynes JG, Lewis B. Wounds and wound healing.
In: Lawrence PF, ed. Essentials of general surgery and surgical specialties, 6 th ed.
Philadelphia: Wolters Kluwer, 2019; 150-5.
10. Hupp JR. Wound repair. In: Hupp JR, Ellis E, Tucker MR, eds. Contemporary oral
and maxillofacial surgery. China: Elsevier, 2018: 44-55.
11. Shetty V, Bertolami CN. Wound healing. In: Miloro M, ed. Peterson’s principels of
oral and maxillofacial surgery, 2nd ed. London: BC Decker Inc, 2004: 3-15
12. Leong M, Murphy KD, Philips LG. Wound healing. In: Townsend CM, Evers BM,
Beauchamp RD, Mattox KL, eds. Sabiston textbook of surgery the biological basis of
modern surgical practice. Philadelphia: Elsevier, 2017: 130- 62. Universitas Sumatera
Utara 45
13. Fragiskos D Fragiskos, Oral Surgery, Springer : 2007