Anda di halaman 1dari 46

PRESENTASI KASUS

Seorang Bayi Laki-laki dengan Hiperbilirubinemia High Risk Zone ec susp


inkompatibilitas ABO, Anemia Hemolitik ec susp inkompatibilitas ABO

Disusun Oleh:
Lestari Eliza Handoko G99172102/B-17
Marwatunnisa Al Mubarokah G991902039/ B-25

Pembimbing:
dr. Dwi Hidayah, Sp.A (K), M. Kes

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
2019

0
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik


Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr.
Moewardi. Presentasi kasus dengan judul:

Seorang Bayi Laki-laki dengan Hiperbilirubinemia High Risk Zone ec susp


inkompatibilitas ABO, Anemia Hemolitik ec susp inkompatibilitas ABO

Hari, tanggal : , Maret 2019

Oleh:
Lestari Eliza Handoko G99172102/B-17
Marwatunnisa Al Mubarokah G991902039/ B-25

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Presentasi Kasus

dr. Dwi Hidayah, Sp.A (K), M. Kes

1
BAB I
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : By. Ny. R
Usia : 3 hari
Tanggal Lahir : 18 Febuari 2019
Berat Badan : 3,4 kg
Panjang Badan : 50 cm
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Bulu, Sukoharjo
Tanggal Pemeriksaan : 21 Februari 2019
Nomor Rekam Medis : 01 45 xx xx

B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan terhadap orang tua pasien (alloanamnesis) di
bangsal Melati I Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Moewardi
Surakarta.
1. Keluhan Utama
Bayi tampak kuning
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien lahir pada tanggal 18 Februari 2019 pukul 17.57 melalui
operasi sesar dikarenakan kekurangan air ketuban. Menurut orang tua pasien,
bayi menangis kuat setelah lahir dan tidak tampak kelainan, operasi sesar juga
berlangsung tanpa kendala. Bayi mulai minum ASI ±1,5 jam setelah
kelahiran, kemudian bayi dirawat di ruang perawatan.
Satu hari setelah kelahiran (19 Februari 2019), kulit bayi mulai
tampak kuning, mulai dari area mata, wajah, badan, punggung, hingga tangan
dan kaki. Warna kuning tersebut muncul tiba-tiba dan baru diketahui di pagi
hari. Orang tua pasien diberitahu bahwa anaknya memerlukan peemeriksaan
laboratorium terlebih dahulu, dan apabila ada kelainan akan dilakukan

2
fototerapi. Dua hari setelah kelahiran (20 Februari 2019), kulit bayi masih
tampak lebih kuning dibanding hari sebelumnya, dan meluas hingga telapak
tangan. Setelah diketahui bahwa kadar bilirubin pasien tinggi, pasien
diberikan fototerapi 2x24 jam.
Saat ini usia pasien adalah tiga hari (21 Februari 2019), bayi masih
tampak kuning, namun sudah berkurang. Kuning di telapak tangan sudah
menghilang. Demam dan kejang tidak didapatkan. BAB cair (-), warna seperti
dempul (-).
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit ibu saat kehamilan:
Riwayat darah tinggi : disangkal
Riwayat sakit gula : disangkal
Riwayat demam : disangkal
Riwayat sakit kuning : disangkal
Riwayat transfusi : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga dan Sosial Ekonomi
Riwayat keluarga :
Riwayat serupa saat masih bayi disangkal
Riwayat sakit kuning disangkal
Riwayat demam disangkal
Riwayat Sosial Ekonomi
Ayah pasien bekerja sebagai karyawan swasta, ibu pasien adalah
ibu rumah tangga. Pasien periksa tidak menggunakan fasilitas
BPJS/asuransi lainnya (umum). Kesan sosial ekonomi cukup.
5. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Status ibu G1P0A0, usia ibu saat hamil adalah 27 tahun. Ibu rutin
kontrol selama masa kehamilan di bidan dan menerima vitamin dan
suplemen. Riwayat penyakit saat kehamilan disangkal. Kesan kehamilan
normal.
Pasien lahir melalui SC (sectio caesaria) atas indikasi
oligohidramnion, cukup bulan, dan berat lahir 3200 gram, panjang badan

3
50 cm. Saat lahir langsung menangis kuat, tidak biru, tonus baik, gerak
aktif, tidak kuning, air ketuban jernih. Kesan kelahiran tidak normal.
6. Riwayat Imunisasi
Riwayat imunisasi pasien :
0 bulan : Hep B (19 Februari 2019)
7. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
Pertumbuhan :
- BB = 3,4 kg, PB 50 cm
Perkembangan :
- Membuka mata (+), gerak atif (+), menangis (+), ditemukan refleks:
glabella, rooting, sucking, grasping.
Kesan : pertumbuhan dan perkembangan sesuai usia.
8. Riwayat Nutrisi
Saat ini pasien mengkonsumsi Air Susu Ibu (ASI) 8x per hari
dengan rata-rata tiap kali minum 10-15 cc dan dinaikkan bertahap. Kesan
nutrisi cukup.
9. Pohon Keluarga

II

III

By. Ny. R usia 3 hari


Keterangan:
Laki-laki Pasien
Perempuan

C. PEMERIKSAAN FISIK

4
1. Keadaan Umum
Membuka mata (+), menangis kuat (+), gerak aktif (+), sadar penuh, tidak
tampak ada cacat bawaan, E4V5M6.
2. Tanda vital
Suhu : 36,7oC
Denyut nadi : 135 x/menit
Saturasi O2 : 99%
Frekuensi pernapasan : 56 x/menit
3. Kulit
Ikterik di area wajah, meluas hingga ke badan dan extremitas
(derajat Kramer IV, petekie (-), ekimosis (-), sianosis (-)
4. Kepala
Mesocephal, normocephal = LK 36 cm (0 SD < LK < +2 SD skala
nellhaus), UUB datar.
5. Mata
Pupil isokor 2mm/2mm, sklera ikterik (+/+), konjungtiva anemis (-/-),
refleks cahaya (+/+)
6. Telinga
Sekret (-), normotia
7. Hidung
Nafas cuping hidung (-/-), sekret (-)
8. Mulut
Stomatitis (-), mukosa bibir basah, pseudomembran (-), detritus (-)
9. Leher
Pembesaran kelenjar getah bening (-)
10. Thorax
Simetris, retraksi (-), normochest (+)
11. Cor
Inspeksi : iktus cordis tak tampak
Palpasi : iktus cordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : bunyi Jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-)

5
12. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan//kiri
Palpasi : fremitus raba sde
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
13. Abdomen
Inspeksi : dinding dada sejajar dinding peurt
Auskultasi : bising usus (+) (8x/menit)
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba membesar, nyeri (-),
undulasi (-), pekak alih (-), turgor kulit kembali cepat
14. Ekstremitas
Akral dingin (-/ -), arteri dorsalis pedis teraba kuat, CRT < 2 detik
15. Status gizi
Perhitungan Status Gizi
PB/U : 0 SD, normoheight
BB/U : 0 SD < BB/U < +2 SD , normoweight
PB/BB : 0 SD < PB/BB < +1 SD, gizi cukup
Kesan gizi cukup, normoweight, normoheight.
D. HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Laboratorium Darah (20/2/2019)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hematologi rutin
Hemoglobin 11,9 g/dl 14,9-23,7
Hematokrit 37 % 47-75
Leukosit 11.1 ribu/ul 5,0-19,5
Trombosit 289 ribu/ul 150-450
Eritrosit 3,15 juta/ul 3,70-6,50
Index eritrosit
MCV 115,8 /um 80,0-96,0
MCH 37,8 Pg 28,0-33,0
MCHC 32,6 g/dl 33,0-36,0
RDW 14,6 % 11,6-14,6
MPV 9,6 Fl 7,2-11,1
PDW 18 % 25-65

Hitung jenis

6
Eosinofil 0,80 % 0,00-4,00
Basofil 0,20 % 0,00-1,00
Netrofil 71,20 % 18,00-74,00
Limfosit 17,00 % 60,00-66,00
Monosit 10,80 % 0,00-6,00

Golongan darah A

Kimia Klinik
Gula Darah Sewaktu 65 mg/dl 50-80
Albumin 3,8 g/dl 2,8-4,4
Bilirubin Total 20,01 mg/dl 6,00-10,00
Bilirubin Direk 0,88 mg/dl 0,00-1,20
Bilirubin Indirek 19,13 mg/dl 0,00-0,70

Elektrolit
Natrium darah 135 mmol/L 129-147
Kalium darah 5,3 mmol/L 3.6-6.1
Chlorida darah 103 mmol/L 98-106
Calsium ion 1,13 mmol/L 1.17-1.29

Gambaran Darah Tepi (21 Februari 2019)


Eritrosit: normokrom, normosit, ovalosit, sel target, polikromasi, eritroblas (-)
Leukosit: jumlah dalam batas normal, neutrofilia, metamielosit neutrofil (+), sel
blast (-), IT ratio 0:12
Trombosit: jumlah dalam batas normal, makrotrombosit, clumping (-)
Simpulan: gambaran darah tepi dengan neutrofilia relatif mengarah ke proses
infeksi
Saran: CRP

Laboratorium Darah (22/2/2019)


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hematologi rutin
Hemoglobin 10,4 g/dl 14,9-23,7
Hematokrit 31 % 47-75
Leukosit 12,6 ribu/ul 5,0-19,5
Trombosit 286 ribu/ul 150-450
Eritrosit 3,06 juta/ul 3,70-6,50
Index eritrosit
MCV 102,0 /um 80,0-96,0
MCH 34,2 Pg 28,0-33,0
MCHC 33,5 g/dl 33,0-36,0

7
RDW 22,6 % 11,6-14,6
HDW 5,6 g/dl 2,2-3,2
MPV 9,6 Fl 7,2-11,1
PDW 56 % 25-65

Hitung jenis
Eosinofil 5,00 % 0,00-4,00
Basofil 0,70 % 0,00-1,00
Netrofil 48,00 % 18,00-74,00
Limfosit 31,20 % 60,00-66,00
Monosit 11,70 % 0,00-6,00
LUC/AMC 3,50 %
Retikulosit 12,96 % 1,00-3,00
CHr 40,8 pg 26,0-35,0

Kimia Klinik
Bilirubin Total 8,64 mg/dl 40,0-8,00
Bilirubin Direk 0,85 mg/dl 0,00-1,20
Bilirubin Indirek 7,79 mg/dl 0,00-0,70

Laboratorium Darah (25/2/2019)


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hematologi rutin
Hemoglobin 10,2 g/dl 15,0-24,6
Hematokrit 31 % 47-75
Leukosit 11,8 ribu/ul 5,0-19,5
Trombosit 330 ribu/ul 150-450
Eritrosit 3,03 juta/ul 3,70-6,80
Index eritrosit
MCV 102,1 /um 80,0-96,0
MCH 33,5 Pg 28,0-33,0
MCHC 32,8 g/dl 33,0-36,0
RDW 20,7 % 11,6-14,6
HDW 5,3 g/dl 2,2-3,2
MPV 11,0 Fl 7,2-11,1
PDW 62 % 25-65

Hitung jenis
Eosinofil 4,50 % 0,00-4,00
Basofil 0,30 % 0,00-1,00
Netrofil 37,30 % 18,00-74,00
Limfosit 43,80 % 60,00-66,00
Monosit 8,80 % 0,00-6,00
LUC/AMC 5,40 %

Kimia Klinik
Bilirubin Total 11,94 mg/dl 0,00-1,00
Bilirubin Direk 0,80 mg/dl 0,00-1,20

8
Bilirubin Indirek 11,14 mg/dl 0,00-0,70
hs-CRP 0,02 mg/dl <5

Laboratorium Darah (27/2/2019)


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Kimia Klinik
Bilirubin Total 6,21 mg/dl 0,00-1,00
Bilirubin Direk 0,63 mg/dl 0,00-1,20
Bilirubin Indirek 5,58 mg/dl 0,00-0,70
hs-CRP 0,01 mg/dl <5

D. DAFTAR MASALAH
Bayi laki-laki berusia 3 hari, berat badan 3,4 kg dengan :
Anamnesis:
Ikterik mulai dari area mata, wajah, badan, punggung hingga tangan dan kaki
dalam rentang waktu kurang dari 24 jam setelah lahir.
Demam (-), kejang (-), BAB cair (-) dan warna dempul (-).
Ikterik masih didapatkan pada hari kedua pasca kelahiran dan tampak lebih
kuning dibanding hari sebelumnya serta meluas hingga telapak tangan.
Bayi bergolongan darah A, sedangkan ibu bayi bergolongan darah O+.
Dilahirkan secara SC atas indikasi oligohidroamnion dengan kesan kelahiran
normal.
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan:
sklera ikterik (+/+) dan Kramer derajat IV-V
Hasil pemeriksaan laboratorium:
Hiperbilirubinemia yaitu bilirubin total 20,01 mg/dl dan bilirubin indirek 19,13
mg/dl pada hari kedua pasca kelahiran
Anemia makrositer hiperkromik, disertai kenaikan retiklosit

E. DIAGNOSIS BANDING
Hiperbilirubinemia high risk zone ec inkompatibilitas ABO dd inkompatibilitas
Rh dd defisiensi enzim G6PD
Anemia hemolitik ec inkompatibilitas ABO dd inkompatibilitas Rh dd defisiensi
enzim G6PD

9
F. DIAGNOSIS KERJA
Hiperbilirubinemia high risk zone ec suspek inkompatibilitas ABO
Anemia hemolitik ec suspek inkompatibilitas ABO

G. PENATALAKSANAAN
Rawat di HCU Neonatus ruang pemulihan
Cairan: maintenance dengan D5 1/4NS 4 ml/jam
Diet ASI/ASB 5 x 25-30 ml
Fototerapi 2x24 jam (mulai 20 Februari 2019 17.30 WIB)

H. PLANNING
Cek laboratorium bilirubin total, direk, indirek besok pagi

I. MONITORING
KUVS/3 jam
Balance cairan/8 jam
Status hidrasi/8 jam

J. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad sanationam : bonam
Ad fungsionam : bonam

10
K. FOLLOW UP PASIEN
Follow Up 21/02/2019(DPH-3) 22/02/2019(DPH-4) 23/02/2019 (DPH-5)
Subjektif Badan kuning, demam (-), Badan kuning, demam (-), Badan kuning berkurang,
kejang (-), BAB cair (-) kejang (-), BAB cair (-) demam (-), kejang (-),
BAB cair (-)
Objektif
Keadaan Membuka mata (+), Membuka mata (+), Membuka mata (+),
umum menangis kuat (+), gerak menangis kuat (+), gerak menangis kuat (+), gerak
aktif (+), sadar penuh, aktif (+), sadar penuh, aktif (+), sadar penuh,
GCS E4V5M6 E4V5M6 E4V5M6
Tanda 1. Suhu: 36,7oC 1. Suhu: 37,4oC 1. Suhu: 37,3oC
Vital 2. Denyut nadi: 135 2. Denyut nadi: 141 2. Denyut nadi: 139
x/menit x/menit x/menit
3. Saturasi O2 : 99% 3. Saturasi O2 : 98% 3. Saturasi O2 : 98%
4. Frekuensi 4. Frekuensi 4. Frekuensi
pernapasan:56 x/menit pernapasan:52 x/menit pernapasan:54 x/menit
BCD BC: +89,72 ml BC : - 14,3 ml BC : +35,4 ml
D: 2,77 ml/KgBB/jam D: 2,85 ml/KgBB/jam
D: 0,63cc/kgBB/jam
(oliguria)
Kulit Ikterik di area wajah, Ikterik di area wajah, Ikterik di area wajah,
meluas hingga ke badan meluas hingga ke badan meluas hingga ke badan
dan extremitas (derajat dan extremitas (derajat dan extremitas (derajat
Kramer IV, petekie (-), Kramer IV, petekie (-), Kramer III-IV, petekie (-),
ekimosis (-), sianosis (-) ekimosis (-), sianosis (-) ekimosis (-), sianosis (-)
Kepala Mesocephal, normocephal Mesocephal, normocephal Mesocephal, normocephal
= LK 36 cm (0 SD < LK = LK 36 cm (0 SD < LK = LK 36 cm (0 SD < LK <
< +2 SD skala nellhaus), < +2 SD skala nellhaus), +2 SD skala nellhaus),
UUB datar UUB datar UUB datar
Mata Konjungtiva anemis (-/-), Konjungtiva anemis (-/-), Konjungtiva anemis (-/-),
sklera ikterika (+/+), mata sklera ikterika (+/+), mata sklera ikterika (+/+), mata
cekung (-/-), air mata (+/ cekung (-/-), air mata (+/ cekung (-/-), air mata (+/
+) +) +)
Hidung Nafas cuping hidung (-), Nafas cuping hidung (-), Nafas cuping hidung (-),
sekret (-) sekret (-) sekret (-)
Telinga Sekret (-),tidak nyeri Sekret (-),tidak nyeri Sekret (-),tidak nyeri tekan
tekan, normotia tekan
Mulut Mukosa basah , tonsil T1- Mukosa basah , tonsil T1- Mukosa basah , tonsil T1-
T1 T1 T1

11
Leher Pembesaran KGB (-) Pembesaran KGB (-) Pembesaran KGB (-)
Thorax Simetris, retraksi (-) Simetris, retraksi (-) Simetris, retraksi (-)
Cor Inspeksi : iktus cordis tak Inspeksi : iktus cordis tak Inspeksi : iktus cordis tak
tampak tampak tampak
Palpasi : iktus cordis Palpasi : iktus cordis Palpasi : iktus cordis tidak
tidak teraba tidak teraba teraba
Perkusi : batas jantung Perkusi : batas jantung Perkusi : batas jantung
dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi Auskultasi : Bunyi Auskultasi : Bunyi
Jantung I-II intensitas Jantung I-II intensitas Jantung I-II intensitas
normal, regular, bising (-) normal, regular, bising (-) normal, regular, bising (-)
Pulmo Inspeksi : pengembangan Inspeksi : pengembangan Inspeksi : pengembangan
dinding dada kanan//dada dinding dada kanan//dada dinding dada kanan//dada
kiri kiri kiri
Palpasi : fremitus raba Palpasi : fremitus raba Palpasi : fremitus raba
kanan = kiri kanan = kiri kanan = kiri
Perkusi : sonor/sonor Perkusi : sonor/sonor Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : SDV (+/+), Auskultasi : SDV (+/+), Auskultasi : SDV (+/+),
suara tambahan (-/-) suara tambahan (-/-) suara tambahan (-/-)
Abdomen Inspeksi: dinding perut Inspeksi: dinding perut Inspeksi: dinding perut
sejajar dengan dinding sejajar dengan dinding sejajar dengan dinding
dada dada dada
Auskultasi : Bising usus Auskultasi : Bising usus Auskultasi : Bising usus
(+) normal (+) normal (+) normal
Perkusi : Timpani Perkusi : Timpani Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, hepar dan Palpasi : Supel, hepar dan Palpasi : Supel, hepar dan
lien tidak teraba lien tidak teraba lien tidak teraba
membesar, nyeri (-), membesar, nyeri (-), membesar, nyeri (-),
turgor kulit kembali cepat turgor kulit kembali cepat turgor kulit kembali cepat
GIT BAB (+) BAB (+) BAB (+)
NGT(-) NGT(-) Muntah (-)
Muntah (-) Muntah (-) Residu (-)
Residu (-) Residu (-) NGT (-)
Hasil Lab Gambaran Darah Tepi (21 - St. Hematologi
Februari 2019) - Perdarahan (-)
 Eritrosit: normokrom, - Hb 10,4 g/dl

12
normosit, ovalosit, sel - Ht 31%
target, polikromasi, - AT 286 ribu/ul
eritroblas (-) - AE 3,06 juta/ul
 Leukosit: jumlah - MCV 102,0/um
dalam batas normal, - MCH 34,2 pg
neutrofilia, - MCHC 33,5 ng/dl
metamielosit neutrofil - RDW 22,6 %
(+), sel blast (-), IT - MPV 9,6 fl
ratio 0:12 - PDW 56%
 Trombosit: jumlah - Retikulosit
dalam batas normal, 12,96%
makrotrombosit, - St. Infeksi
clumping (-) - AL: 12,6 ribu/ul
 Simpulan: gambaran - Neutrofil: 48,00%
darah tepi dengan - Limfosit:
neutrofilia relatif 31,20%
mengarah ke proses - Monoait:
infeksi 11,70%

 Saran: CRP - St. Metabolik


- Bilirubin total:
8,64 mg/dl
- Bilirubin direk:
0,85 mg/dl
- Bilirubin
indirek: 7,79
mg/dl
Ekstremitas Akral hangat, ADP teraba Akral hangat, ADP teraba Akral hangat, ADP teraba
kuat, CRT < 2 detik kuat, CRT < 2 detik kuat, CRT < 2 detik
Asesment 1. Hiperbilirubinemia 1. Hiperbilirubinemia 1. Hiperbilirubinemia
high risk zone ec suspek low risk zone ec suspek low risk zone ec suspek
inkompatibilitas ABO inkompatibilitas ABO inkompatibilitas ABO
2. Anemia hemolitik ec 2. Anemia hemolitik ec 2. Anemia hemolitik ec
suspek inkompatibilitas suspek inkompatibilitas suspek inkompatibilitas
ABO ABO ABO
Plan 1. Cek laboratorium 1. Ambil hasil GDT 1. Cek laboratorium

13
bilirubin total, direk, bilirubin total, direk,
indirek indirek
Terapi 1. Rawat di HCU
Neonatus ruang 1. Infus maintenance 1. Infus maintenance
pemulihan dengan D5 1/4NS 4 dengan D5 1/4NS 4
2. Cairan: maintenance ml/jam ml/jam
dengan D5 1/4NS 4
2. Diet susu ASI/ASB 2. Diet susu ASI/ASB 8
ml/jam
8 x 40-50 ml x 40-50 ml
3. Diet ASI/ASB 5 x 25-
30 ml
4. Fototerapi 2x24 jam
(mulai 20 Febrari
2019 17.30 WIB)
Monitoring 1. KUVS/3 jam 1. KUVS/Si02 / 8 jam 1. KUVS /Si02 / 8 jam
2. BCD/8 jam 2. BCD/8 jam 2. BCD/8 jam
3. Status hidrasi/8 jam 3. Saturasi hidrasi/8 jam 3. Saturasi hidrasi/ 8jam

Follow Up 24/02/2019(DPH-6) 25/02/2019(DPH-7) 26/02/2019 (DPH-8)


Subjektif Badan kuning berkurang, Badan kuning berkurang, Badan kuning berkurang,
demam (-), kejang (-), demam (-), kejang (-), demam (-), kejang (-),
BAB cair (-) BAB cair (-) BAB cair (-)
Objektif
Keadaan Membuka mata (+), Membuka mata (+), Membuka mata (+),
umum menangis kuat (+), gerak menangis kuat (+), gerak menangis kuat (+), gerak
aktif (+), sadar penuh, aktif (+), sadar penuh, aktif (+), sadar penuh,
GCS E4V5M6 E4V5M6 E4V5M6
Tanda 1. Suhu: 37,4oC 1. Suhu: 37,1oC 1. Suhu: 37,4oC
Vital 2. Denyut nadi: 143 2. Denyut nadi: 144 2. Denyut nadi: 135
x/menit x/menit x/menit
3. Saturasi O2 : 99% 3. Saturasi O2 : 98% 3. Saturasi O2 : 98%
4. Frekuensi 4. Frekuensi 4. Frekuensi
pernapasan:56 x/menit pernapasan:55 x/menit pernapasan:54 x/menit
BCD BC: +39,56 ml BC : +14,73 ml BC : +35,8 ml
D: 2,79 ml/KgBB/jam D: 2,95 ml/KgBB/jam
D: 2,66cc/kgBB/jam

BB 3350 gram 3350 gram 3400 gram


Kulit Ikterik di area wajah, Ikterik di area wajah, Ikterik di area wajah,
meluas hingga ke badan meluas hingga ke badan meluas hingga ke badan

14
dan extremitas (derajat dan extremitas (derajat dan extremitas (derajat
Kramer IV, petekie (-), Kramer IV, petekie (-), Kramer IV, petekie (-),
ekimosis (-), sianosis (-) ekimosis (-), sianosis (-) ekimosis (-), sianosis (-)

Kepala Mesocephal, normocephal Mesocephal, normocephal Mesocephal, normocephal


= LK 36 cm (0 SD < LK = LK 36 cm (0 SD < LK = LK 36 cm (0 SD < LK <
< +2 SD skala nellhaus), < +2 SD skala nellhaus), +2 SD skala nellhaus),
UUB datar UUB datar UUB datar
Mata Konjungtiva anemis (-/-), Konjungtiva anemis (-/-), Konjungtiva anemis (-/-),
sklera ikterika (+/+), mata sklera ikterika (+/+), mata sklera ikterika (+/+), mata
cekung (-/-), air mata (+/ cekung (-/-), air mata (+/ cekung (-/-), air mata (+/
+) +) +)
Hidung Nafas cuping hidung (-), Nafas cuping hidung (-), Nafas cuping hidung (-),
sekret (-) sekret (-) sekret (-)
Telinga Sekret (-),tidak nyeri Sekret (-),tidak nyeri Sekret (-),tidak nyeri tekan
tekan, normotia tekan
Mulut Mukosa basah , tonsil T1- Mukosa basah , tonsil T1- Mukosa basah , tonsil T1-
T1 T1 T1
Leher Pembesaran KGB (-) Pembesaran KGB (-) Pembesaran KGB (-)
Thorax Simetris, retraksi (-) Simetris, retraksi (-) Simetris, retraksi (-)
Cor Inspeksi : iktus cordis tak Inspeksi : iktus cordis tak Inspeksi : iktus cordis tak
tampak tampak tampak
Palpasi : iktus cordis Palpasi : iktus cordis Palpasi : iktus cordis tidak
tidak teraba tidak teraba teraba
Perkusi : batas jantung Perkusi : batas jantung Perkusi : batas jantung
dalam batas normal dalam batas normal dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi Auskultasi : Bunyi Auskultasi : Bunyi
Jantung I-II intensitas Jantung I-II intensitas Jantung I-II intensitas
normal, regular, bising (-) normal, regular, bising (-) normal, regular, bising (-)
Pulmo Inspeksi : pengembangan Inspeksi : pengembangan Inspeksi : pengembangan
dinding dada kanan//dada dinding dada kanan//dada dinding dada kanan//dada
kiri kiri kiri
Palpasi : fremitus raba Palpasi : fremitus raba Palpasi : fremitus raba
kanan = kiri kanan = kiri kanan = kiri
Perkusi : sonor/sonor Perkusi : sonor/sonor Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : SDV (+/+), Auskultasi : SDV (+/+), Auskultasi : SDV (+/+),
suara tambahan (-/-) suara tambahan (-/-) suara tambahan (-/-)
Abdomen Inspeksi: dinding perut Inspeksi: dinding perut Inspeksi: dinding perut

15
sejajar dengan dinding sejajar dengan dinding sejajar dengan dinding
dada dada dada
Auskultasi : Bising usus Auskultasi : Bising usus Auskultasi : Bising usus
(+) normal (+) normal (+) normal
Perkusi : Timpani Perkusi : Timpani Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, hepar dan Palpasi : Supel, hepar dan Palpasi : Supel, hepar dan
lien tidak teraba lien tidak teraba lien tidak teraba
membesar, nyeri (-), membesar, nyeri (-), membesar, nyeri (-),
turgor kulit kembali cepat turgor kulit kembali cepat turgor kulit kembali cepat
GIT BAB (+) BAB (+) BAB (+)
NGT(-) NGT(-) Muntah (-)
Muntah (-) Muntah (-) Residu (-)
Residu (-) Residu (-) NGT (-)
Hasil Lab 1) St. Hematologi
- Perdarahan (-)
- Hb 10,2 g/dl
- Ht 31%
- AT 330 ribu/ul
- AE 3,03 juta/ul
- MCV 102,1/um
- MCH 33,5 pg
- MCHC 32,8 g/dl
- RDW 20,7 %
- MPV 11,0 fl
- PDW 62%
2) St. Infeksi
- AL: 11,8 ribu/ul
- Neutrofil:
37,30%
- Limfosit 43,80%
- Monosit: 8,80%
3) St. Metabolik
- Bilirubin total:
11,94 mg/dl
- Bilirubin direk:

16
0,80 mg/dl
- Bilirubin indirek:
11,14 mg/dl
Ekstremitas Akral hangat, ADP teraba Akral hangat, ADP teraba Akral hangat, ADP teraba
kuat, CRT < 2 detik kuat, CRT < 2 detik kuat, CRT < 2 detik
Asesment 1.Hiperbilirubinemia low 1. Hiperbilirubinemia 1. Hiperbilirubinemia
risk zone ec suspek low risk zone ec suspek low risk zone ec suspek
inkompatibilitas ABO inkompatibilitas ABO inkompatibilitas ABO
2.Anemia hemolitik ec 2. Anemia hemolitik ec 2. Anemia hemolitik ec
suspek inkompatibilitas suspek inkompatibilitas suspek inkompatibilitas
ABO ABO ABO
Plan 1. Konsul hemato 1. Cek laboratorium DL2 1. Coomb’s test (Prodia)
bilirubin total, direk,
indirek

Terapi
1. Diet ASI/ASB 8x 40- 1. Diet ASI/ASB 8x 1. Diet ASI/ASB 8x 40-
50 ml 40-50 ml 50 ml
2. Fototerapi 1x24 jam
mulai 11.00 hari ini

Monitoring 1. KUVS/3 jam 1. KUVS/Si02 / 8 jam 1. KUVS /Si02 / 8 jam


2. BCD/8 jam 2. BCD/8 jam 2. BCD/8 jam
3. Status hidrasi/8 jam 3. Saturasi hidrasi/8 jam 3. Saturasi hidrasi/
8jam

Follow Up 27/02/2019(DPH-9)
Subjektif Badan kuning berkurang, sudah semakin samar, demam (-), kejang (-), BAB
cair (-)
Objektif
Keadaan Membuka mata (+), menangis kuat (+), gerak aktif (+), sadar penuh,
umum
GCS E4V5M6
Tanda Vital 1. Suhu: 37,4oC
2. Denyut nadi: 143 x/menit
3. Saturasi O2 : 99%
4. Frekuensi pernapasan:56 x/menit
BCD BC: +101,16 ml
D: 1,97 cc/kgBB/jam

17
BB 3400 gram
Kulit Ikterik di area wajah, meluas hingga ke badan (derajat Kramer III, petekie (-),
ekimosis (-), sianosis (-)
Kepala Mesocephal, normocephal = LK 36 cm (0 SD < LK < +2 SD skala nellhaus),
UUB cekung (+)
Mata Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterika (+/+), mata cekung (-/-), air mata (+/+)
Hidung Nafas cuping hidung (-), sekret (-)
Telinga Sekret (-),tidak nyeri tekan, normotia
Mulut Mukosa basah , tonsil T1-T1
Leher Pembesaran KGB (-)
Thorax Simetris, retraksi (-)
Cor Inspeksi : iktus cordis tak tampak
Palpasi : iktus cordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi Jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-)
Pulmo Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan//dada kiri
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : SDV (+/+), suara tambahan (-/-)
Abdomen Inspeksi: dinding perut sejajar dengan dinding dada
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba membesar, nyeri (-), turgor kulit
kembali cepat

GIT BAB (+)


NGT(-)
Muntah (-)
Residu (-)
Hasil Lab 1. St. Metabolik
- Bilirubin total: 6,21 mg/dl
- Bilirubin direk: 0,63 mg/dl
- Bilirubin indirek: 5,58 mg/dl
Ekstremitas Akral hangat, ADP teraba kuat, CRT < 2 detik
Asesment 1. Hiperbilirubinemia low risk zone ec suspek inkompatibilitas ABO
2. Anemia hemolitik ec suspek inkompatibilitas ABO
Plan 1. Cek laboratorium bilirubin total, direk, indirek besok post fototerapi
2. BLPL
Terapi
1. Diet ASI/ASB 8x 40-50 ml

18
Monitoring 1. KUVS/3 jam
2. BCD/8 jam
3. Status hidrasi/8 jam

19
BAB II
ANALISIS KASUS

Pada kasus ini didapatkan keluhan badan kuning, di seluruh badan dalam
waktu kurang dari 24 jam setelah lahir. Warna kuning juga meluas ke tangan dan
kaki, maka termasuk dalam derajat Kramer IV-V. Setelah dilakukan pemeriksaan
laboratorium, kadar bilirubin total, direk, dan indirek, masing-masing mencpai
angka 20,01 mg/dl, 0,88 mg/dl, 19,13 mg/dl. Dengan demikian ikterik yang
didapati pada pasien disebabkan karena hiperbilirubinemia indirek (tak
terkonjugasi). Munculnya ikterik kurang dari 24 jam setelah lahir dengan kadar
bilirubin indirek naik melebihi cutoff, yaitu >12mg/dl pada bayi cukup bulan atau
>14mg/dl pada bayi prematur dengan derajat Kramer IV-V merupakan tanda dari
ikterus patologis atau ikterus non-fisiologik. Pasien juga memerlukan fototerapi, dan
adanya ikterik bertahan hingga lebih dari 8 hari, sehingga hal ini mendukung bahwa
ikterik yang terjadi pada pasien adalah ikterik patologis (Sukadi A, 2010; Martin &
Cloherty, 2004).
Untuk mengetahui penyebab dari hiperbilirubinemia, maka perlu ditinjau
di tahap proses metabolisme bilirubin mana yang mengalami gangguan. Tahapan
tersebut meliputi: produksi, transportasi, konjugasi, hingga ekskresi. Selanjutnya,
perlu ditinjau proses patologis apa yang menyebabkan hiperbilirubinemia pada
pasien. Hal ini dapat diketahi melalui temuan klinis dengan jenis bilirubin yang
meningkat. Pada pasien ini, bilirubin indirek, dan sebagai konsekuensi, bilirubin
total mengalami peningkatan. Hal ini menandakan adanya kelainan prehepatal
dimana bilirubin indirek (tak terkonjugasi) dalam kadar sangat tinggi sehingga
melampaui kemampuan hepar dalam melakukan konjugasi. Hal ini sebetulnya
merupakan proses fisiologis karena fungsi hepar pada neonatus belum sempurna.
Namun, onset, klinis, dan kadar bilirubin merujuk pada bentuk patologis. Proses
patologis yang bisa menyebabkan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi salah
satunya adalah peningkatan produksi, antara lain melalui proses hemolisis.
Proses hemolisis ini didukung dengan ditemukannya Hb rendah, hitung
eritrosit di bawah normal, dan peningkatan retikulosit. Proses hemolisis dapat
disebabkan oleh proses imun dan non imun. Inkompatibilitas Rh dan ABO

20
merupakan penyebab anemia hemolitik yang didasari oleh proses imunologi,
sedangkan proses non imun dapat disebabkan oleh kelainan membran herediter
eritrosit maupuun defek enzim eritrosit. Hasil pemeriksaan gambaran darah tepi
dalam batas normal, sehingga kemungkinan penyebab adanya kelainan membran
eritrosit dapat disingkirkan, sedangkan defek enzim eritrosit perlu dibuktikan
dengan pemeriksaan kadar enzim. Inkompatibilitas ABO menjadi dugaaan
penyebab proses hemolisis, dikarenakan golongan darah pasien adalah A
sedangkan ibunya memiliki golongan darah O. Inkompatibilitas ABO karena anti-
A lebih sering terjadi daripada karena anti-B. Pada pasien kemungkinan
inkompatibilitas ABO juga perlu dicurigai karena pasien mengalami
hiperbilirubinemia yang lebih dominan dengan tanpa adanya anemia berat jam
(Murray & Roberts, 2007). Akan tetapi ini perlu dibuktikan dengan pemeriksaan
coomb’s test direct. Pasien dengan inkompatibilitas ABO akan menunjukkan hasil
coomb’s test direct positive. Pada neonatus hasil tidak selalu menunjukkan hasil
positif dan jika memberikan hasil positif tidak selalu menjadi indikasi untuk
dilakukannya fototerapi pada pasien (Murray & Roberts, 2007).
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,
tatalaksana awal yang diberikan kepada pasien adalah fototerapi. Karena bilirubin
indirek serum pasien yang meningkat, maka fototerapi adalah tatalaksana awal
untuk hiperbilirubinemia indirek pada bayi baru lahir (Mitra S & Rennie J, 2017).
Fototerapi diberikan dengan indikasi pasien lahir cukup bulan (>= 38 minggu)
dengan nilai serum bilirubin total >=15 mg/dL pada saat berusia 48 jam. Pasien
tidak memerlukan transfusi tukar karena pada bayi dengan resiko rendah dan
berusia 48 jam, transfusi tukar diberikan jika nilai bilirubin total serum >=20
mg/dL dan fototerapi intensif telah gagal dilakukan (Sukadi A, 2010). Pada
pasien, fototerapi diberikan selama 2x24 jam dan menunjukkan hasil signifikan
ditandai dengan kulit tubuh bayi yanng sudah tidak tampak kuning penurunan
nilai bilirubin total serum dari 20,1 mg/dL menjadi 8.64 mg/dL setelah hari kedua
fototerapi.
Ikterus pada neonatus merupakan salah satu hal yang paling perlu
diperhatikan pada neonatus. Jika nilai bilirubin indirek pada pasien tetap tinggi
dan tidak turun, maka beresiko menyebabkan kerusakan pada otak secara

21
permanen seperti kernicterus (Murray & Roberts, 2007). Akan tetapi karena angka
bilirubin total dan indirek serum telah menurun setelah fototerapi, dan ikterus
sudah mulai tidak tampak, maka pasien hanya perlu diawasi lebih lanjut sehingga
resiko berkembangnya menjadi hiperbilirubinemia berat menjadi berkurang dan
pasien diperbolehkan untuk dipulangkan (Sukadi A, 2010).
Pada pasien masih tidak didapatkan adanya demam, kejang, maupun BAB
cair. Pasien juga masih mau minum susu, menangis (+), tonus otot baik. Secara
keseluruhan dapat disimpulkan kondisi umum pasiem baik. Saat ini pasien berusia
5 bulan dengan berat badan 3,4 kg dan panjang badan 50 cm. Pada antropometri
didapatkan gizi cukup, normoweight, normoheight. Anjuran gizi pasien pada
keluarga adalah mengupayakan ASI eksklusif bagi anaknya.

22
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Hiperbilirubinemia
1. Definisi
Hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan kadar plasma
bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan
berdasarkan umur bayi atau lebih dari persentil 90 (Sukadi A, 2010). Kadar
bilirubin serum orang normal umumnya kurang lebih 0,8 mg % (17mmol/l),
akan tetapi kira-kira 5% orang normal memiliki kadar yang lebih tinggi (1 –
3 mg/ dl). Hiperbilirubinemia secara klinis kondisi ini ditandai oleh adanya
ikterus, baik yang disebabkan oleh faktor fisiologik maupun non-fisiologik
(Wong et al. 2007).
Ikterus fisiologik umumnya terjadi pada bayi baru lahir dengan kadar
bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama >2 mg/dL. Pada bayi cukup
bulan yang diberi susu formula, kadar bilirubin akan mencapai puncaknya
sekitar 6-8 mg/dl pada hari ke-3 kehidupan dan kemudian akan menurun
cepat selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan lambat sebesar 1 mg/dL
selama 1 sampai 2 minggu. Pada bayi cukup bulan yang mendapat ASI,
kadar bilirubin puncak akan mencapai kadar yang lebih tinggi (7-14 mg/dL)
dan penurunan terjadi lebih lambat, bisa terjadi selama 2-4 minggu, bahkan
dapat mencapai 6 minggu (Sukadi A, 2010).
Pada bayi kurang bulan yang mendapat susu formula juga akan terjadi
peningkatan kadar bilirubin dengan kadar puncak yang lebih tinggi dan
bertahan lebih lama, demikian pula dengan penurunannya bila tidak
diberikan fototerapi pencegahan. Peningkatan kadar billirubin sampai 10-12
mg/dl masih dalam kisaran fisiologik, bahkan hingga 15 mg/dL tanpa
disertai kelainan metabolism bilirubin. Kadar normal bilirubin tali pusat
kurang dari 2 mg/dL dan berkisar dari 1.4 sampai 1.9 mg/dL (Halamek &
Stevonson, 2002).
Frekuensi ikterus pada bayi cukup bulan dan kurang bulan ialah secara

berurut 50-60% dan 80%. Umumnya fenomena ikterus ini ringan dan dapat

23
membaik tanpa pengobatan. Ikterus fisiologik tidak disebabkan oleh faktor

tunggal tetapi kombinasi dari berbagai faktor yang berhubungan dengan

maturitas fisiologik bayi baru lahir. Peningkatan kadar bilirubin tidak

terkonjugasi dalam sirkulasi bayi baru lahir disebabkan oleh kombinasi

peningkatan ketersediaan bilirubin dan penurunan klirens bilirubin (Sukadi

A, 2010).
Ikterus non-fisiologik tidak mudah dibedakan dengan ikterus fisiologik.
Petunjuk untuk tindak lanjut mengenai tanda-tandanya antara lain:ikterus yang
terjadi sebelum usia 24 jam; setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang
memerlukan fototerapi; peningkatan kadar bilirubin total serum >0,5
mg/dL/jam; adanya tanda-tanda penyakit yang mendasar pada setiap bayi
(muntah, letargis, malas menetek, penurunan berat badan yang cepat, apnea,
takipnea, atau suhu yang tidak stabil); ikterus yang bertahan setelah delapan
hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada bayi kurang bulan (Martin
& Cloherty, 2004).
2. Etiologi
Etiologi ikterus yang sering ditemukan ialah: hiperbilirubinemia
fisiologik, inkompabilitas golongan darah ABO dan Rhesus, breast milk
jaundice, infeksi, bayi dari ibu penyandang diabetes melitus, dan
polisitemia/hiperviskositas.
Pada bayi, hiperbilirubinemia bisa terjadi akibat proses fisiologis,
patologis, atau kombinasi keduanya. Resiko hiperbilirubinemia meningkat
pada bayi yang mendapat ASI, bayi kurang bulan (prematur), dan bayi yang
mendekati cukup bulan. Hiperbilirubinemia neonatus bisa disebabkan
karena produksi yang meningkat atau klirens yang menurun. Jika
hiperbilirubinemia terjadi dalam 36 jam pertama, penyebabnya lebih sering
karena produksi yang meningkat akibat proses hemolisis. Kadar bilirubin
akan meningkatn hingga 4x lipat jika penghancuran Hb meningkat sebanyak
1% (Stevry et al. 2013).
3. Patofisiologi

24
Bilirubin diproduksi dalam sistem retikuloendotelial sebagai produk
akhir dari katabolisme heme dan terbentuk melalui reaksi oksidasi reduksi.
Pada langkah pertama oksidasi, biliverdin terbentuk dari heme melalui kerja
heme oksigenase, dan terjadi pelepasan besi dan karbon monoksida. Besi
dapat digunakan kembali, sedangkan karbon monoksida diekskresikan
melalui paru-paru. Biliverdin yang larut dalam air direduksi menjadi
bilirubin yang hampir tidak larut dalam air dalam bentuk isomerik (oleh
karena ikatan hidrogen intramolekul). Bilirubin tak terkonjugasi yang
hidrofobik diangkut dalam plasma, terikat erat pada albumin. Bila terjadi
gangguan pada ikatan bilirubin tak terkonjugasi dengan albumin baik oleh
faktor endogen maupun eksogen (misalnya obat-obatan), bilirubin yang
bebas dapat melewati membran yang mengandung lemak (double lipid
layer), termasuk penghalang darah otak, yang dapat mengarah ke
neurotoksisitas (Gomella et al. 2004).
Bilirubin yang mencapai hati akan diangkut ke dalam hepatosit,
dimana bilirubin terikat ke ligandin. Masuknya bilirubin ke hepatosit akan
meningkat sejalan dengan terjadinya peningkatan konsentrasi ligandin.
Konsentrasi ligandin ditemukan rendah pada saat lahir namun akan
meningkat pesat selama beberapa minggu kehidupan (Sukadi A, 2010).
Bilirubin terikat menjadi asam glukuronat di retikulum endoplasmik
retikulum melalui reaksi yang dikatalisis oleh uridin difosfoglukuronil
transferase (UDPGT). Konjugasi bilirubin mengubah molekul bilirubin
yang tidak larut air menjadi molekul yang larut air. Setelah diekskresikan
kedalam empedu dan masuk ke usus, bilirubin direduksi dan menjadi
tetrapirol yang tak berwarna oleh mikroba di usus besar. Sebagian
dekonjugasi terjadi di dalam usus kecil proksimal melalui kerja B-
glukuronidase. Bilirubin tak terkonjugasi ini dapat diabsorbsi kembali dan
masuk ke dalam sirkulasi sehingga meningkatkan bilirubin plasma total.
Siklus absorbsi, konjugasi, ekskresi, dekonjugasi, dan reabsorb-si ini disebut
sirkulasi enterohepatik. Proses ini berlangsung sangat panjang pada neo-
natus, oleh karena asupan gizi yang terbatas pada hari-hari pertama
kehidupan (Sukadi A, 2010).

25
4. Gambaran klinis
Sebagian besar kasus hiperbilirubinemia tidak berbahaya, tetapi
kadang-kadang kadar bilirubin yang sangat tinggi bisa menyebabkan kerusakan
otak (Kernicterus). Gejala klinis yang tampak ialah rasa kantuk, tidak kuat
menghisap ASI/susu formula, muntah, opistotonus, mata terputar-putar ke atas,
kejang, dan yang paling parah bisa menyebabkan kematian. Efek jangka
panjang Kernicterus ialah retardasi mental, kelumpuhan serebral, tuli, dan mata
tidak dapat digerakkan ke atas (American Academy of Pediatrics, 2004)
5. Diagnosis
Visual
Metode visual memiliki angka kesalahan yang cukup tinggi, namun
masih dapat digunakan bila tidak tersedia alat yang memadai. Pemeriksaan
ini sulit diterapkan pada neonatus kulit berwarna, karena besarnya bias
penilaian. Secara evident base, pemeriksaan metode visual tidak
direkomendasikan, namun bila terdapat keterbatasan alat masih boleh
diguna-kan untuk tujuan skrining. Bayi dengan skrining positif harus segera
dirujuk untuk diagnosis dan tata laksana lebih lanjut (Stevry et al., 2013).
Panduan WHO mengemukakan cara menentukan ikterus secara visual,
sebagai berikut:
1. Pemeriksaan dilakukan pada pencahayaan yang cukup (di siang hari
dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila
dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada
pencahayaan yang kurang.

2. Kulit bayi ditekan dengan jari secara lembut untuk mengetahui warna di
bawah kulit dan jaringan subkutan.

3. Keparahan ikterus ditentukan berdasarkan usia bayi dan bagian tubuh


yang tampak kuning.

Secara visual atau klinis, ikterus biasanya dinilai dengan menggunakan


derajat Kamer seperti pada tabel 1.

Daerah/Kramer Luas ikterus Kadar bilirubin


(mg%)

26
I Kepala dan leher 5
II Daerah 1 (+) badan bagian atas 9
III Daerah 1,2 (+) badan bagian bawah dan 11
tungkai
IV Daerah 1,2,3 (+) lengan dan kaki dibawah 12
lutut
V Daerah 1,2,3,4 (+) tangan dan kaki 16
Tabel 1. Pembagian derajat Ikterus menurut Kramer

Gambar 1. Pembagian Derajat Ikterus menurut Kramer

Bilirubin serum
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan
diagnosis ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi

27
lebih lanjut. Pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin total perlu
dipertimbangkan karena hal ini merupakan tindakan invasif yang dianggap
dapat meningkatkan morbiditas neonatus (Stevry et al., 2013).

Bilirubinometer transkutan

Bilirubinometer merupakan instrumen spektrofotometrik dengan


prinsip kerja memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya (panjang
gelombang 450 nm). Cahaya yang dipantulkan merupakan representasi
warna kulit neonatus yang sedang diperiksa (Stevry et al., 2013).
6. Tatalaksana
Fototerapi

Fototerapi dapat digunakan tunggal atau dikombinasi dengan


transfusi pengganti untuk menurunkan bilirubin. Bila neonatus dipapar
dengan cahaya berintensitas tinggi, tindakan ini dapat menurunkan bilirubin
dalam kulit. Secara umum, fototerapi harus diberikan pada kadar bilirubin
indirek 4-5 mg/dl. Sedangkan jika melihat nilai bilirubin total serum,
indikasi dilakukannya fototerapi disesuaikan dengan usia bayi, dan
kelompok bayi apakah beresiko rendah/sedang/tinggi. Secara lebih jelasnya
bisa dilihat pada grafik 1.

28
Grafik 1. Panduan fototerapi bayi usia kehamilan >=35 minggu (Sukadi A,
2010)
Meskipun efektif dalam mengurangi hiperbilirubinemia pada
neonatus, ada beberapa faktor yang mempengaruhinya, antara lain:
- Kualitas spektrum cahaya yang diberikan (panjang gelombang optimal
rentang 400-520 nm);
- Intensitas cahaya
- Luas permukaan yang terpapar fototerapi
- Pigmentasi kulit
- Konsentrasi bilirubin total serum saat fototerapi dimulai
- Durasi paparan fototerapi (Mitra S & Rennie J, 2017)
Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram
harus difototerapi bila konsentrasi bilirubin 5 mg/dl. Beberapa pakar
mengarahkan untuk memberikan fototerapi profilaksis 24 jam pertama pada
bayi berisiko tinggi dan berat badan lahir rendah (Stevry et al., 2013).

29
Efek terapi yang signifikan dari fototerapi menjadikan terapi ini
yang paling layak untuk menggantikan transfusi tukar pada
hiperbilirubinemia sedang hingga berat (Mitra S & Rennie J, 2017). Akan
tetapi, fototerapi juga beresiko terhadap beberapa efek samping pada pasien.
Seperti kulit kemerahan, rasa terbakar pada kulit, frekuensi dan jumlah
buang air besar yang meningkat, feses cair dan berwarna hijau ekcokelatan,
letargis dan gelisah, dan beberapa efek samping lainnya (Sukadi A, 2010).
Oleh karena itu, tetap diperlukan pengawasan yang baik terhadap neonatus
yang mendapatkan fototerapi.
Intravena immunoglobulin (IVIG)
Pemberian IVIG digunakan pada kasus yang berhubungan dengan
faktor imunologik. Pada hiperbilirubinemia yang disebabkan oleh
inkompatibilitas golongan darah ibu dan bayi, pemberian IVIG dapat menu-
runkan kemungkinan dilakukannya transfusi tukar. Dosis IVIG yang
diberikan adalah 0.5-1 gr/kg (Sana Ullah et al., 2016).
Transfusi pengganti
Transfusi pengganti digunakan untuk mengatasi anemia akibat
eritrosit yang rentan terhadap antibodi erirtosit maternal; menghilangkan
eritrosit yang tersensitisasi; mengeluarkan bilirubin serum; serta
meningkatkan albumin yang masih bebas bilirubin dan meningkatkan
keterikatannya dangan bilirubin (Stevry et al., 2013). Transfusi pengganti
atau transfusi tukar dilakukan jika terjadi anemia parah dengan nilai
hemoglobin <10 mg/dL saat lahir) dan atau hiperbilirubinemia berat dengan
nilai serum bilirubin total >350 mikro mol/L dalam 48 jam pertama
kehidupan atau hiperbilirubinemia yang meningkat secara pesat dengan
peningkatan >10 mikromol/L/jam (Murray & Roberts, 2007).
Penghentian ASI
Pada hiperbilirubinemia akibat pemberian ASI, penghentian ASI
selama 24-48 jam akan menurunkan bilirubin serum. Mengenai pengentian
pemberian ASI (walaupun hanya sementara) masih terdapat perbedaan
pendapat (Stevry et al., 2013).

30
Terapi medikamentosa
Phenobarbital dapat merangsang hati untuk menghasilkan enzim
yang meningkatkan konjugasi bilirubin dan mengekskresikannya. Obat ini
efektif diberikan pada ibu hamil selama beberapa hari sampai beberapa
minggu sebelum melahirkan. phenobarbitol diberikan sebagai profilaksis
selama 3-5 hari dengan dosis 5mg/kg setelah bayi lahir terbukti pada bayi
dengan penyakit hemolitik, ekstravasasi darah, dan bayi-bayi preterm
dengan efek samping yang minimal. Phenobarbital terbukti mampu
mengurangi jumlah transfusi tukar pada pasien dengan inkompatibilitas Rh.
Penggunaan phenobarbital post natal masih menjadi pertentangan
oleh karena efek sampingnya (letargi). Hal ini membuat pada bayi lebih
direkomendasikan fototerapi dibanding dengan terapi medikamentosa.
Coloistrin dapat mengurangi bilirubin dengan mengeluarkannya melalui
urin sehingga dapat menurunkan kerja siklus enterohepatika (Stevry et al.,
2013).
Hiperbilirubinemia juga bisa dicegah dengan menggunakan
metalloprotophyrin. Zat ini merupakan analog sintetis heme sehingga efektif
sebagai inhibitor kompetitif dari heme oksigenase, enzim yang
berperanpada katabolisme heme menjadi biliverdin. Efek kerja zat ini
membuat heme tidak bisa mengalami katabolisme sehingga bisa
diekskresikan secara utuh didalam empedu (Stevry et al., 2013).

B. Anemia Hemolitik pada Neonatus


1. Definisi
Anemia hemolitik adalah konsentrasi hemoglobin dibawah rentang normal
sesuai umur dan jenis kelamin akibat proses pemendekan usia eritrosit (<120
hari). Pada neonatus, anemia hemolitik biasanya bermanifestasi sebagai salah
satu dari:
a. Peningkatan hitung retikulosit secara persisten tanpa atau dengan
penurunan kadar Hb dan tanpa riwayat perdarahan.
b. Penurunan kadar Hb yang cepat tanpa peningkatan hitung retikulosit,
dan tanpa adanya perdarahan (Yulidar H et al., 2010).

31
2. Etiologi
Anemia karena proses hemolitik bisa disebabkan karena proses autoimun
maupun non-imun.
a. Imun
Anemia hemolititik autoimun merupakan akibat interaksi abnormal antara
eritrosit dan sistem imun. Aliran eritrosit fetal yang masuk ke aliran darah
maternal dikenal sebagai antigen sehingga komponen imun tubuh maternal
memproduksi antibodi untuk melawannya. Kondisi ini membuat antibodi
maternal mengikat antigen permukaan eritrosit fetal dan merusaknya
melalui sistem fagosit mononukelar. Insiden dan manifestasi klinis anemia
akibat sistem imun ini tergantung tipe inkompatibilitas darah antara ibu
dan bayi. Autoimun hemolitik anemia (AIHA) ditandai dengan produksi
antibodi melawan sel eritrosit. Sedangkan alloimun anemia hemolitik
mengikuti paparan terhadap sel eritrosit nonself antigen (Yulidar H et al.,
2010).
1) Inkompatibilitas Rhesus
Ibu dengan Rhesus (-) dapat terpapar dengan antigen
Rhesus melalui 2 cara transfusi fetomaternal dan transfusi darah.
Risiko terjadinya transfusi fetomaternal meningkat pada abrupsi
plasenta, abortus, toksemia, seksio sesaria kehamilan ektopik serta
beberapa prosedur seperti amniosintesis dan kardiosintesis.
Paparan akibat transfusi darah lebih jarang terjadi karena
proses cross match antara pendonor dan resipien sangat ketat.
Paparan darah Rh (+) sebanyak 0.1 mL sudah mampu memicu
terbentuknya anti-Rh. Jika terjadi paparan ulang, maka antibodi
yang terbentuk menjadi lebih banyak sehingga proses hemolisis
menjadi lebih parah. Hal ini yang menyebabkan inkompatibilitas
rhesus pada kehamilan berikutnya mengakibatkan manifestasi
anemia yang lebih parah dibandingkan kehamilan pertama.
Meskipun bisa dicegah, penyakit hemolisis masih
merupakan penyebab paling sering anemia berat. Coomb test

32
positif kuat dan retikulosit meningkat setelah bayi lahir. Anemia
yang terjadi bervariasi dari ringan sampai dengan berat.
2) Inkompatibilitas ABO
Inkompatibilitas maternal-fetal ABO adalah terjadi pada
15-20% dari seluruh kehamilan. Sensitisasi maternal pada ibu
dengan golongan darah O oleh antigen A atau B janin akan
memproduksi anti-A dan anti-B berupa IgG, yang dapat menembus
plasenta, masuk ke sirkulasi janin dan menimbulkan hemolisis. Ibu
dengan golongan darah A atau B memiliki anti-A atau anti-B
berupa IgM, yang tidak dapat menembus plasenta. Kondisi ini
sering merupakan penyebab hiperbilirubinemia. Biasanya terjadi
pada ibu dengan golongan darah O dan bayi dengan golongan
darah A/B. Test antiglobulin direk hanya positif lemah. Diagnosis
dapat ditegakkan dengan apusan sel darah tepi dengan didapatkan
gambaran mikrosferosit.
b. Non-Imun
Anemia hemolitik non-imun dapat terjadi karena kelainan membran
eritrosit herediter dan defek enzim eritrosit.
1) Kelainan membran eritrosit herediter
Kelainan membran eritrosit herediter meliputi sferositosis herediter,
eliptositosis herediter dan xerosis herediter. Semua kelainan ini
bermanifestasi pada periode neonatal. Manifestasi klinis yang
muncul pada pasien bukan hanya hiperbilirubinemia, namun juga
gambaran anemia hemolitik.
Sferositosis herediter merupakan kelainan dominan autosom yang
paing sering dijumpai diantara kelainan membran eritrosit. Sferosit
mempunyai diameter yang lebih kecil dari eritrosit normal tetapi
volumenya sama. Defek yang terjadi pada sferosit adalah
berkurangnya luas permukaan membran. Kakunya membran pada
sferosit mempermudah terjadinya sekuestrasi dan hemolisis oleh
limpa. Manifestasi klinis yang muncul mirip dengan anemia akibat
inkompatibilitas ABO. Hal ini menyebabkan diagnosis lebih mudah

33
ditegakkan jika ditemukan gambaran kelainan morfologi eritrosit
(Yulidar H et al., 2010).
Pada eliptositosis herediter presentase sel eritrosit yang berbentuk
elips meningkat sekitar 25-75%. Kelainan disebabkan karena defek
protein sehingga struktur eritrosit menjadi lebih lemah dan
stabilitasnya serta deformalibitasnya terganggu. Eritrosit pun
menjadi lebih mudah mengalami lisis. Penyakit ini bersifat
dominan autosom, namun manifestasi klinisnya sangat bervariasi
(Yulidar H et al., 2010).
2) Defek enzim eritrosit
Kelainan yang paling umum pada kelainan enzim eritrosit adalah
defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD). Enzim ini
berperan penting dalam proses metabolisme eritrosit, yaitu
mengubah glukosa-6-fosfat menjadi 6-fosfoglukonat serta
mereduksi NADP (nikotinamide adenosin dinukeotide phosphate)
menjadi NADPH NADP tereduksi). Kekurangan enzim ini secara
tidak langusng menyebabkan eritrosit menjadi lebih rentan terhadap
oksidasi dari luar sehingga mudah terhemolisis. Defisiensi G6PD
diturunkan secara X-linked dan dapat ditemukan pada etnis tertentu
seperti Afrika, Mediterania dan Asia (Yulidar H et al., 2010).
3. Diagnosis
Diagnosis anemia pada neonatus dapat dimulai dengan evaluasi
riwayat pasien meliputi medis, diet, perdarahan, transfusi, dan riwayat
sakit sebelumnya. Pada neonatus, riwayat mengenai kehamilan dan
kelahiran fetal penting untuk menentukan diagnosis penyakit yang
diderita. Ada tidaknya riwayat perdarahan pada ibu selama trimester
ketiga, riwayat meminum obat-obatan selama hamil, riwayat ibu
mengalami infeksi saat hamil. Harus diketahui juga riwayat selama
kelahiran, bagaimana caranya, adakah penyulit, adakah trauma, adakah
manipulasi saat melahirkan, dan dilakukan atau tidaknya amniosintesis.
Riwayat anggota keluarga anemia, ikterik, kolestasis atau
splenektomi. Umur saat anemia timbul juga mempunyai nilai diagnostik.

34
Anemia yang timbul saat lahir dapat diakibatkan oleh perdarahan atau
alloimmunisasi berat. Anemia yang timbul selama 2 hari pertama
kehidupan sering disebabkan oleh perdarahan eksternal dan internal.
Anemia yang timbul pada 48 jam pertama kehidupan biasanya karena
hemolitik dan biasanya disertai dengan ikterik.
Manifestasi klinis secara umum pada anemia akut adalah syok,
perfusi perifer yang buruk, distres pernafasan, takikardi, pucat, letargi dan
hipotensi. Kondisi tersebut biasanya baru muncul ketika kadar hemoglobin
telah mencapai <12 g/dL. Pada anemia kronik didapatkan pucat, biasanya
disertai hepatosplenomegali. Pada pemeriksaan apusan darah tepi
didapatkan eritrosit hipokromik mikrositik dan banyak eritrosit imatur.
Evaluasi laboratorium awal meliputi pemeriksaan darah lengkap,
retikulosit dan apusan darah tepi, selanjutnya dapat dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut disesuaikan dengan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
yang didapat. Algoritma untuk mengetahui penyebab anemia yang diderita
neonatus bisa dilihat pada gambar dibawah ini.
Data yang ada saat ini menunjukkan dengan nilai hematokrit
dibawah 20% memiliki oksigenasi jaringan yang mencukupi, sedangkan
nilai hematokrit yang lebih tinggi dapat ditemukan pada bayi yang
mengalami hipoksia. Sehingga hemoglobin / hematokrit menunjukkan
prediktor yang buruk untuk menentukan hipoksia jaringan pada anemia
neonatus. Parameter hipoksia jaringan yang lain telah banyak diteliti. Nilai
asam laktat dan fractional oxygen extraction dapat menunjukkan
terjadinya hipoksia jaringan pada anemia neonatus. Kedua parameter ini
memiliki respon yang cepat terhadap hipoksia pada anemia. Namun
perubahan hemodinamik dapat meningkatkan nilai kedua parameter ini.

35
Gambar 1. Algoritma diagnostik anemia pada neonatus (Yulidar H et al., 2010)

4. Tatalaksana
Manajemen umum
Penanganan pertama yang harus dilakukan pada pasien neonatus
dengan anemia adalah menstabilisasikan kondisi pasien. Stabilisasi ini
mencakup menjaga kehangatan, monitor tanda vital, evaluasi, keseimbangan
input dan output cairan serta pemasangan infus sebagai penggantian cairan.

36
Setelah kondisi pasien stabil, langkah selanjutnya yaitu dengan mencegah
perdarahan lebih lanjut dan mengeliminasi penyebab anemia.
Transfusi darah pada anemia bertujuan untuk menjamin oksigenasi
jaringan yang adekuat. Namun pemilihan terapi ini perlu pertimbangan yang
sangat selektif karena efek samping yang timbul bisa membahayakan
kondisi pasien, seperti infeksi, graft versus host disease, gangguan asam
basa dan elektrolit, hemolisis, gangguan eritropoiesis, dan imunosupresi.
Manajemen khusus
Tatalaksana selanjutnya yang harus diberikan kepada penderita yaitu
dengan menyingkirkan penyebab dari terjadinya anemia. Pada anemia
hemolitik, terapi yang diberikan juga tergantung dari penyebab lisisnya
eritrosit.
1) Inkompatibilitas Rh
Respon maternal awal biasanya berupa IgM yang tidak dapat
melalui plasenta tetapi respon selanjutnya berupa pembentukan IgG
yang dapat melalui plasenta. Hal penting menyebabkan terjadinya
hemolisis ialah IgG dan derajat hemolisis ditentukan oleh
banyaknya antibody IgG yang melekat pada eritrosit fetus.
Hemolisis ringan umumnya tanpa anemia, kadar Hb darah tali
pusat > 14 g/dL, kadar bilirubin < 4 mg/dL, tidak memerlukan
pengobatan yang spesifik kecuali bilirubin meningkat tidak
terkendali. Hemolisis sedang ditandai dengan anemia ringan, kadar
bilirubin > 4 mg/dL, dan disertai trombositopenia tanpa sebab yang
diketahui, timbul ikterus jika tidak ditangani secara cepat dan tepat.
Pada hemolitik sedang terapi yang diberikan adalah transfusi ganti.
Hemolitik berat, adanya hepatosplenomegali dan terjadinya hidrops
fetalis atau lahir mati. Pengobatan yang diberikan bertujuan untuk
mencegah anemia berat dan kematian janin.
Tindakan terpenting dalam mengurangi kematian janin yaitu
pencegahan terhadap sensitisasi ibu oleh eritrosit janin.
Memberikan Ig Anti D pada ibu untuk mengikat eritrosit janin yang
masuk ke dalam sirkulasi maternal. Dosis yang diberikan 300 μg

37
anti-D secara injeksi dalam waktu 72 jam setelah kelahiran atau
abortus.
1) Inkompatibilitas ABO
Manifestasi klinis pada pasien dengan inkompatibilitas ABO
mayoritas hanyalah ikterus. Oleh karena itu, ada beberapa hal
yang menjadi pedoman untuk menegakkan diagnosis antara lain:
a. Hiperbilirubinemia mulai tampak pada 24 jam pertama
kelahiran
b. Anemia ringan, retikulositosis, normoblastemia, dan banyak
sferosit dalam darah tepi
c. Uji Coombs direk serum bayi (-), kadang-kadang (+) lemah,
dikonfirmasi dengan pemeriksaan Eluat meamakai panel
eritrosit orang dewasa
d. Ditemukan anti-A atau anti-B bebas tipe IgG dalam serum
janin
e. Terdapatnya anti-A atau anti-B tipe IgG dalam serum ibu
dengan titer tinggi
Anemia yang disebabkan oleh ini umumnya ringan sehingga
pengobatan yang diberikan hanya berupa pemberian luminal,
fototerapi, Sn-protoporfirin atau infus albumin. Transfusi ganti
hanya diberikan terkadang sedangkan transfusi intrauterine sangat
jarang diberikan. Transfusi ganti harus menggunakan darah yang
identik dengan darah ibu, tidak perlu pencegahan, karena tidak
terjadi sensitisasi pada kehamilan berikutnya.
2) Kelainan membran eritrosit herediter
Pada sferositosis herediter, sektar setengah dari keseluruhan kasus
yang terjadi tidak menunjukkan gejala hemolisis atau
hiperbilirubinemia pada masa neonatus. Maka cara penegakkan
diagnosis yaitu:
a. Adanya hemolisis terlihat dengan adanya sferosit pada darah
tepi
b. Meningkatnya fragilitas eritrosit

38
c. Hasil observasi lain pada masa bayi
Karena gejala klinis dan laboratorium mirip dengan
inkompatibilitas ABO, maka harus dilakukan pemeriksaan gol.
darah dan uji Coombs. Sedangkan pada eliptositosis herediter
manifestasi klinis yang muncul bisa sangat bervariasi. Bisa sangat
ringan sehingga hanya terdeteksi secra kebetulan. Manifestasi juga
dapat menunjukkan gejala hemolisis yang nyata (anemia, ikterus,
dan splenomegali) (Yulidar H et al., 2010).
Karena manifestasi yang sering muncul dan mengganggu adalah
hiperbilirubinemia, maka terapi bertujuan untuk mengembalikan
kadar bilirubin ke rentang kadar normal. Apabila
hiperbilirubinemia ringan, pasien cukup diberikan fototerapi.
Namun jika bayi lahir dengan Hb tali pusat 14 g/dL dan bilirubin
serum >14 mg/L, ataupun bilirubin 12-14 jam pasca lahir >10
mg/dL, pasien diberikan transfusi tukar (Yulidar H et al., 2010).
3) Defek enzim eritrosit
Hingga saat ini tidak ada pengobatan khusus terhadap defisiensi
enzim G-6-PD karena kelainan tersebut merupakan anomali
genetik. Penanganan yang paling bisa dilakukan adalah pencegahan
pemberian bahan oksidan bila tidak sangat diperlukan. Jika
manifestasinya sudah sampai krisis hemolitik, maka diperlukan
transfusi darah. Neonatus dengan hiperbilirubinemia pada kasus
gawat darurat memerlukan pemantauan kadar bilirubin secara
berkala. Tergantung derajat hiperbilirubin dapat juga diberikan
luminal, fototerapi, Sn-protoporfirin, infus plasma atau albumin,
dan transfusi ganti. Hal lain yang harus dilakukan adalah dengan
menanggulangi factor pencetus yaitu infeksi dan bahan oksidan.
Pada neonatus dengan penanganan yang tepat memiliki prognosis
baik. Jika penanganan yang tepat terlambat diberikan, maka bisa
menimbulkan kernikterus sehingga berakibat cacat berat sepanjang
hidup sampai dengan kematian.

39
3. Inkompatibilitas ABO
1. Definisi
Inkompatibilitas ABO dibedakan menjadi inkompatibilitas ABO mayor
dan minor. Inkompatibilitas ABO mayor didefinisikan sebagai ekspresi antigen
ABO pada eritrosit pendonor namun tidak terekspresikan pada eritrosit resipien
(donor bergolongan darah A, dan resipien bergolongan darah O. Tubuh resipien
pun membuat antibodi untuk melawan antigen eritrosit pendonor. Sedangkan
inkompatibilitas ABO minor didefiniskan sebagai ekspresi antibodi ABO di
eritrosit resipien yang tidak ada di eritrosit pendonor (donor bergolongan darah O,
dan resipien bergolongan darah A). Sistem imun pendonor pun teraktivasi untuk
membentuk antibodi melawan eritrosit resipien (Daniele N et al., 2014).
2. Etiologi
Secara normal, tubuh manusia akan menghasilkan antibodi yang
mengenali antigen ABH asing. Antibodi alami ini akan menetralisasi viru-viru
yang mengekspresikan antigen ABH. Antibodi ABO paling banyak dalam bentuk
molekul IgM berafinitas rendah yang bereaksi silang dengan berbagai antigen.
Titer antibodi melawan antigen A maupun B lebih banyak pada tubuh orang-orang
yang tidak mengekspresikan antigen tersebut, yaitu orang-orang bergolongan
darah O.
Ketika eritrosit yang inkompatibel ABO tertransfusi, antibodi yang berada
dalam sirkulasi akan berikatan dengan antigen ABH dan menyebabkan terjadinya
hemolisis. Julah eritrosit yang terhemolisis tergantung dari titer IgM. Hemolisis
terjadi baik di pembuluh darah, liver, lien dalam hitungan menit, lalu hemolisis
juga terjadi oleh monosit yang memfagositosis eritrosit yang telah dilapisi oleh
IgG, C3b dan C3a.
Pentamer IgM sufisien untuk memanggil faktor komplemen, sedangkan
IgG membutuhkan sedikitnya dua molekul IgG yang terikat bersama untuk
memanggil faktor komplemen. Antigen ABH yang terekspresikan akan membuat
antibodi yang terikat memanggil faktor komplemen dengan cepat sehingga
membentuk membrane attack complex melalui jalur klasik.

40
Inkompatibilitas ABO bisa terjadi disebabkan karena berbagai kondisi,
antara lain:
a) Transfusi sel darah merah yang inkompatibel
b) Ketidakcocokan plasma atau platelet
c) Penyakit hemolisis pada bayi baru lahir
d) Transplantasi Hematopoietic stem cell
e) Transplantasi organ padat
f) Immunoglobulin intravena (Daimon & William, 2015)
3. Manifestasi Klinis
Gejala yang paling sering muncul dari inkompatibilitas ABO adalah
demam, menggigil, nyeri punggung, kulit kemerahan, dan hematuria. Sedangkan
gejala-gejala lain yang mungkin timbul adalah agitas, gelisah, sesak nafas,
takikardi, oliguria, hipotensi, hipertensi, gagal ginjal, koagulasi intravaskuler
difus, dan kejang (Daimon & William, 2015).
4. Terapi
Jika saat transfusi proses hemolisis terdeteksi, segera hentikan transfusi
darah dan berikan 0.9% saline secara IV. Pengecekan identitas pasien dan produk
darah harus segera dilakukan dan produk darah langsung dikembalikan ke bank
darah untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium yang
dilakukan dan hasilnya bisa dilihat pada tabel 2.
Terapi supportif diberikan untuk mencegah gagal ginjal serta koagulasi
intravaskular difus. Hidrasi secara agresif dengan pemberian cairan kristaloid IV
direkomendasikan untuk mencegah gagal ginjal. Cairan bikarbonat IV juga
direkomendasikan untuk melawan asidosis dan meng-alkalisasi urin. Selain itu
bisa juga dipertimbangkan replesi plasma dan platelet pada pasien koagulasi
intravaskular diseminata (Daimon & William, 2015).

Pemeriksaan laboratorium Hasil pemeriksaan pada anemia


hemolitik
Hitung darah lengkap Penurunan hematokrit, peningkatan
hitung retikulosit (subakut)
Bilirubin serum Bilirubin meningkat, terutama bilirubin
indirek
Haptoglobin serum Menurun

41
Laktat dehidrogenase serum Meningkat
Hemoglobin urin Ditemukan
Direct antiglobulin test Positif
(Daimon & William, 2015).

42
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ikterik dapat menjadi temuan yang fisiologis maupun patologis, oleh karena
itu keduanya perlu dibedakan dengan cermat. Ikterik yang disebabkan oleh
hiperbilirubinemia perlu ditinjau penyebabnya. Pada pasien ini,
hiperbilirubinemia indirek disertai dengan anemia dan peningkatan retikulosit
mengarah pada kecurigaan adanya proses hemolitik, dengan etiologi suspek
inkompatibilitas ABO. Hal ini perlu dibuktikan lebih lanjut dengan menunggu
hasil pemeriksaan coomb’s test.
B. Saran
1. Untuk orang tua dan pasien
a. Jaga kesehatan orang tua dan bayi, memberikan ASI eksklusif pada
anak. Berikan ASI yang cukup pada bayi.
b. Segera bawa kedokter jika bayi semakin kuning ata kembali kuning
setelah sebelumnya sudah didapatkan perbaikan.
2. Untuk dokter
a. Diharapkan dokter dapat lebih mempertajam kemampuan anamnesis
b. Diharapkan dapat melakukan pemeriksaan fisik dan menentkan
pemeriksaan penunjang dengan benar sehingga dapat menyingkirkan
diagnosis banding.

43
DAFTAR PUSTAKA
1) American Academy of Pediatrics. Subcommitteee on hyperbilirubinemia.
Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more
weeks of gestation. Clinical Practice Guidelines. Pediatrics. 2004;114:297-
316.
2) Daimon P. Simmons, William J. Savage. Hemolysis from ABO
incompatibility. Hematol Oncol Clin N Am 2015.
http://dx.doi.org/10.1016/j.hoc.2015.01.003
3) Daniele N, Scerpa MC, Rossi C, et al. The processing of stem cell
concentrates from the bone marrow in ABO-incompatible transplants: how
and when. Blood Transfus. 2014;12(2):150-8.
4) Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Hyperbilirubinemia.
In: Gomella TL, editor. Neonatology; Management procedures, on-call
problems, disease and drugs. New York: Lange Medical Book/McGraw-
Hill Co, 2004; p.381-95.
5) Halamek LP, Stevenson DK. Neonatal jaundice and liver disease. In:
Fanaroff AA, Martin RJ, editors. Neonatal-perinatal Medicine. Disease of
the Fetus and Infant (Seventh Edition). St Louis: Mosby Inc, 2002;
p.1309-50.
6) Martin CR, Cloherty JP. Neonatal hyperbilirubinemia. In: Cloherty JP,
Eichenwaald EC, Stark AR, editors. Manual of Neonatal Care (Fifth
Edition). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2004; p.185-221.
7) Neil A Murray, Irene A G Roberts. 2007. Haemolytic disease of the
newborn. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2007 Mar; 92(2): F83–F88.
doi: 10.1136/adc.2005.076794
8) Sana ullah, Khaitsa rahman, Mehdi Hedayati. Hyperbilirubinemia in
neonates: Types, causes, clinical examinations, preventive measures and
treatments: A narrative review article. Iran J Public Health, Vol 45, No 5,
May 2016, pp.558-568
9) Stevry Mathindas, Rocky Wilar, Audrey Wahani. Hiperbilirubinemia pada
neonatus. Jurnal Biomedik, Volume 5, Nomor 1, Suplemen, Maret 2013,
hlm. S4-10

44
10) Subhabrata Mitra, Jannet Rennie. Neonatal jaundice: aetiology, diagnosis,
and treatment. British Journal of Hospital Medicine, December 2017, Vol
78, No 12
11) Sukadi A. Hiperbilirubinemia. In: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa
GI, Usman A, penyunting. Buku Ajar Neonatologi (Edisi Ke-1). Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2010; p. 147-53.
12) Wong RJ, Stevenson DK, Ahlfors CE, Vreman HJ. Neonatal Jaundice:
Bilirubin physiology and clinical chemistry. NeoReviews 2007;8:58-67.
1) Yulidar Hafidh, Dwi Hidayah, Sunyataningkamto. Anemia pada Bayi Baru
Lahir. In: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A,
penyunting. Buku Ajar Neonatologi (Edisi Ke-1). Jakarta: Ikatan Dokter
Anak Indonesia, 2010; p. 199-209

45

Anda mungkin juga menyukai