Anda di halaman 1dari 19

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hiperbilirubinemia
1. Definisi
Hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan kadar plasma
bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan
berdasarkan umur bayi atau lebih dari persentil 90 (Sukadi A, 2010). Kadar
bilirubin serum orang normal umumnya kurang lebih 0,8 mg % (17mmol/l),
akan tetapi kira-kira 5% orang normal memiliki kadar yang lebih tinggi (1 –
3 mg/ dl). Hiperbilirubinemia secara klinis kondisi ini ditandai oleh adanya
ikterus, baik yang disebabkan oleh faktor fisiologik maupun non-fisiologik
(Wong et al. 2007).
Ikterus fisiologik umumnya terjadi pada bayi baru lahir dengan kadar
bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama >2 mg/dL. Pada bayi cukup
bulan yang diberi susu formula, kadar bilirubin akan mencapai puncaknya
sekitar 6-8 mg/dl pada hari ke-3 kehidupan dan kemudian akan menurun
cepat selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan lambat sebesar 1 mg/dL
selama 1 sampai 2 minggu. Pada bayi cukup bulan yang mendapat ASI,
kadar bilirubin puncak akan mencapai kadar yang lebih tinggi (7-14 mg/dL)
dan penurunan terjadi lebih lambat, bisa terjadi selama 2-4 minggu, bahkan
dapat mencapai 6 minggu (Sukadi A, 2010).
Pada bayi kurang bulan yang mendapat susu formula juga akan terjadi
peningkatan kadar bilirubun dengan kadar puncak yang lebih tinggi dan
bertahan lebih lama, demikian pula dengan penurunannya bila tidak
diberikan fototerapi pencegahan. Peningkatan kadar billirubin sampai 10-12
mg/dl masih dalam kisaran fisiologik, bahkan hingga 15 mg/dL tanpa
disertai kelainan metabolism bilirubin. Kadar normal bilirubin tali pusat
kurang dari 2 mg/dL dan berkisar dari 1.4 sampai 1.9 mg/dL (Halamek &
Stevonson, 2002).
Frekuensi ikterus pada bayi cukup bulan dan kurang bulan ialah secara

berurut 50-60% dan 80%. Umumnya fenomena ikterus ini ringan dan dapat

0
membaik tanpa pengobatan. Ikterus fisiologik tidak disebabkan oleh faktor

tunggal tetapi kombinasi dari berbagai faktor yang berhubungan dengan

maturitas fisiologik bayi baru lahir. Peningkatan kadar bilirubin tidak

terkonjugasi dalam sirkulasi bayi baru lahir disebabkan oleh kombinasi

peningkatan ketersediaan bilirubin dan penurunan klirens bilirubin (Suakdi

A, 2010).
Ikterus non-fisiologik tidak mudah dibedakan dengan ikterus fisiologik.
Petunjuk untuk tindak lanjut mengenai tanda-tandanya antara lain:ikterus yang
terjadi sebelum usia 24 jam; setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang
memerlukan fototerapi; peningkatan kadar bilirubin total serum >0,5
mg/dL/jam; adanya tanda-tanda penyakit yang men-dasar pada setiap bayi
(muntah, letargis, malas menetek, penurunan berat badan yang cepat, apnea,
takipnea, atau suhu yang tidak stabil); ikterus yang bertahan setelah delapan
hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada bayi kurang bulan (martin
& Cloherty, 2004).
2. Etiologi
Etiologi ikterus yang sering ditemukan ialah: hiperbilirubinemia
fisiologik, inkompabilitas golongan darah ABO dan Rhesus, breast milk
jaundice, infeksi, bayi dari ibu penyandang diabetes melitus, dan
polisitemia/hiperviskositas.
Pada bayi, hiperbilirubinemia bisa terjadi akibat proses fisiologis,
patologis, atau kombinasi keduanya. Resiko hiperbilirubinemia meningkat
pada bayi yang mendapat ASI, bayi kurang bulan (prematur), dan bayi yang
mendekati cukup bulan. Hiperbilirubinemia neonatus bisa disebabkan
karena produksi yang meningkat atau clearance yang menurun. Jika
hiperbilirubinemia terjadi dalam 36 jam pertama, penyebabnya lebih sering
karena produksi yang meningkat akibat proses hemolisis. Kadar bilirubin
akan meningkatn hingga 4x lipat jika Penghancuran Hb meningkat sebanyak
1%. Sedangkan etiologi untuk hiperbilirubinemia indirek bisa dilihat pada
tabel 1.
Dasar Penyebab

1
Peningkatan produksi bilirubin Inkompatibilitas darah fetomaternal
(Rh, ABO)
Peningkatan penghancuran hemoglobin Defisiensi enzim kongenital (G6PD,
galaktosemia), perdarahan tertutup
(sefalohematoma, memar), sepsis
Peningkatan jumlah hemoglobin Polsitemia (twin to twin transfusion,
SGA), keterlambatan klem tali pusat
Peningkatan sirkulasi enterohepatik Keterlambatan pasase mekonium, ileus
mekonium, Meconium plug syndrome,
puasa atau keterlambatan minum,
atresia atau stenosis intestinal
Perubahan clearance bilirubin hari Imaturitas
Perubahan produksi atau aktivitas Gangguan metabolik/endokrin (Criglar-
uridine Diphosphoglucoronyl Najjlar disease, hipotiroidisme,
transfferase gangguan metabolisme asam amino)
Perubahan fungsi dan perfusi hari Asfiksia, hipoksia, hipotermi,
(kemampuan konjugasi) hipoglikemi, sepsis (juga proses
inflamasi), obat-obatan dan hormon
(novoblasin, pregnanediol)
Obstruksi hepatik (berhubungan dengan Anomali kongenital (atresia biliaris,
hiperbilirubinemia direk) fibrosis kistik), statis biliaris (hepatitis,
sepsis), Billirubin load berlebihan
(sering pada hemolisis berat)
(Stevry et al. 2013)
3. Patofisiologi
Bilirubin diproduksi dalam sistem retikuloendotelial sebagai produk
akhir dari katabolisme heme dan terbentuk melalui reaksi oksidasi reduksi.
Pada langkah pertama oksidasi, biliverdin terbentuk dari heme melalui kerja
heme oksigenase, dan terjadi pelepasan besi dan karbon monoksida. Besi
dapat digunakan kembali, sedang-kan karbon monoksida diekskresikan
melalui paru-paru. Biliverdin yang larut dalam air direduksi menjadi
bilirubin yang hampir tidak larut dalam air dalam bentuk isomerik (oleh
karena ikatan hidro-gen intramolekul). Bilirubin tak terkonjugasi yang
hidrofobik diangkut dalam plasma, terikat erat pada albumin. Bila terjadi
gangguan pada ikatan bilirubin tak ter-konjugasi dengan albumin baik oleh

2
faktor endogen maupun eksogen (misalnya obat-obatan), bilirubin yang
bebas dapat me-lewati membran yang mengandung lemak (double lipid
layer), termasuk penghalang darah otak, yang dapat mengarah ke neuro-
toksisitas (Gomella et al. 2004).
Bilirubin yang mencapai hati akan diangkut ke dalam hepatosit,
dimana bilirubin terikat ke ligandin. Masuknya bilirubin ke hepatosit akan
meningkat sejalan dengan terjadinya peningkatan konsentrasi ligandin.
Konsentrasi ligandin ditemukan rendah pada saat lahir namun akan
meningkat pesat selama beberapa minggu kehidupan (Sukadi A, 2010).
Bilirubin terikat menjadi asam gluku-ronat di retikulum endoplasmik
retikulum melalui reaksi yang dikatalisis oleh uridin difosfoglukuronil
transferase (UDPGT). Konjugasi bilirubin mengubah molekul bilirubin
yang tidak larut air menjadi molekul yang larut air. Setelah diekskresikan
kedalam empedu dan masuk ke usus, bilirubin direduksi dan menjadi
tetrapirol yang tak berwarna oleh mikroba di usus besar. Sebagian
dekonjugasi terjadi di dalam usus kecil proksimal melalui kerja B-
glukuronidase. Bilirubin tak terkonjugasi ini dapat diabsorbsi kembali dan
masuk ke dalam sirkulasi sehingga meningkatkan bilirubin plasma total.
Siklus absorbsi, konjugasi, ekskresi, dekonjugasi, dan reabsorb-si ini disebut
sirkulasi enterohepatik. Proses ini berlangsung sangat panjang pada neo-
natus, oleh karena asupan gizi yang ter-batas pada hari-hari pertama
kehidupan (Sukadi A, 2010).
4. Gambaran klinis
Sebagian besar kasus hiperbilirubinemia tidak berbahaya, tetapi
kadang-kadang kadar bilirubin yang sangat tinggi bisa menyebabkan kerusakan
otak (Kern icterus). Gejala klinis yang tampak ialah rasa kantuk, tidak kuat
menghisap ASI/susu formula, muntah, opistotonus, mata ter-putar-putar keatas,
kejang, dan yang paling parah bisa menyebabkan kematian. Efek jangka
panjang Kern icterus ialah retardasi mental, kelumpuhan serebral, tuli, dan
mata tidak dapat digerakkan ke atas (American Academy of Pediatrics, 2004)
5. Diagnosis
Visual

3
Metode visual memiliki angka ke-salahan yang cukup tinggi, namun
masih dapat digunakan bila tidak tersedia alat yang memadai. Pemeriksaan
ini sulit di-terapkan pada neonatus kulit berwarna, karena besarnya bias
penilaian. Secara evident base, pemeriksaan metode visual tidak
direkomendasikan, namun bila ter-dapat keterbatasan alat masih boleh
diguna-kan untuk tujuan skrining. Bayi dengan skrining positif harus segera
dirujuk untuk diagnosis dan tata laksana lebih lanjut (Stevry et al., 2013).
Panduan WHO mengemukakan cara menentukan ikterus secara visual,
sebagai berikut:
1. Pemeriksaan dilakukan pada pencaha-yaan yang cukup (di siang hari
dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila
dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada
pencahayaan yang kurang.

2. Kulit bayi ditekan dengan jari secara lembut untuk mengetahui warna di
bawah kulit dan jaringan subkutan.

3. Keparahan ikterus ditentukan berdasar-kan usia bayi dan bagian tubuh


yang tampak kuning.

Bilirubin serum
Pemeriksaan bilirubin serum merupa-kan baku emas penegakan
diagnosis ikterus neonatorum serta untuk menentu-kan perlu-nya intervensi
lebih lanjut. Pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin total perlu
dipertimbangkan karena hal ini merupakan tindakan invasif yang dianggap
dapat meningkatkan morbiditas neonatus (Stevry et al., 2013).

Bilirubinometer transkutan

Bilirubinometer merupakan instrumen spektrofotometrik dengan


prinsip kerja memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya (panjang
gelombang 450 nm). Cahaya yang dipantulkan merupakan representasi
warna kulit neonatus yang sedang diperiksa (Stevry et al., 2013).
Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO

4
Bilirubin bebas dapat melewati sawar darah otak secara difusi. Oleh
karena itu, ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin
serum yang rendah.
Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar bilirubin
bebas, antara lain dengan metode oksidase-peroksidase. Prinsip cara ini
yaitu berdasar-kan kecepatan reaksi oksidasi peroksidasi terhadap bilirubin
dimana bilirubin menjadi substansi tidak berwarna. Dengan pendekatan
bilirubin bebas, tata laksana ikterus neonatorum akan lebih terarah.
Pemecahan heme menghasilkan biliru-bin dan gas CO dalam jumlah yang
ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka peng-ukuran konsentrasi CO yang
dikeluarkan melalui pernapasan dapat digunakan sebagai indeks produksi
bilirubin (Stevry et al., 2013).

6. Tatalaksana
Fototerapi

Fototerapi dapat digunakan tunggal atau dikombinasi dengan


transfusi peng-ganti untuk menurunkan bilirubin. Bila neonatus dipapar
dengan cahaya ber-intensitas tinggi, tindakan ini dapat menurunkan
bilirubin dalam kulit. Secara umum, fototerapi harus diberikan pada kadar
bilirubin indirek 4-5 mg/dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang
dari 1000 gram harus difototerapi bila kon-sentrasi bilirubin 5 mg/dl.
Beberapa pakar mengarahkan untuk memberikan fototerapi profilaksis 24
jam pertama pada bayi berisiko tinggi dan berat badan lahir rendah (Stevry
et al., 2013).

Intravena immunoglobulin (IVIG)


Pemberian IVIG digunakan pada kasus yang berhubungan dengan
faktor imunologik. Pada hiperbilirubinemia yang disebabkan oleh
inkompatibilitas golongan darah ibu dan bayi, pemberian IVIG dapat menu-

5
runkan kemungkinan dilakukannya transfusi tukar. Dosis IVIG yang
diberikan adalah 0.5-1 gr/kg (Sana Ullah et al., 2016).
Transfusi pengganti
Transfusi pengganti digunakan untuk mengatasi anemia akibat
eritrosit yang rentan terhadap antibodi erirtosit maternal; menghilangkan
eritrosit yang tersensitisasi; mengeluarkan bilirubin serum; serta
meningkatkan albumin yang masih bebas bilirubin dan meningkatkan
keterikatannya dangan bilirubin (Stevry et al., 2013).
Penghentian ASI
Pada hiperbilirubinemia akibat pemberian ASI, penghentian ASI
selama 24-48 jam akan menurunkan bilirubin serum. Mengenai pengentian
pemberian ASI (walaupun hanya sementara) masih terdapat perbedaan
pendapat (Stevry et al., 2013).

Terapi medikamentosa
Phenobarbital dapat merangsang hati untuk menghasilkan enzim
yang meningkatkan konjugasi bilirubin dan mengekskresikannya. Obat ini
efektif diberikan pada ibu hamil selama beberapa hari sampai beberapa
minggu sebelum melahirkan. phenobarbitol diberikan sebagai profilaksis
selama 3-5 hari dengan dosis 5mg/kg setelah bayi lahir terbukti pada bayi
dengan penyakit hemolitik, ekstravasasi darah, dan bayi-bayi preterm
dengan efek samping yang minimal. Phenobarbital terbukti mampu
mengurangi jumlah transfusi tukar pada pasien dengan inkompatibilitas Rh.
Penggunaan phenobarbital post natal masih menjadi pertentangan
oleh karena efek sampingnya (letargi). Hal ini membuat pada bayi lebih
direkomendasikan fototerapi dibanding dengan terapi medikamentosa.
Coloistrin dapat mengurangi bilirubin dengan mengeluarkannya melalui
urin sehingga dapat menurunkan kerja siklus enterohepatika (Stevry et al.,
2013).

Hiperbilirubinemia juga bisa dicegah dengan menggunakan


metalloprotophyrin. Zat ini merupakan analog sintetis heme sehingga efektif
sebagai inhibitor kompetitif dari heme oksigenase, enzim yang

6
berperanpada katabolisme heme menjadi biliverdin. Efek kerja zat ini
membuat heme tidak bisa mengalami katabolisme sehingga bisa
diekskresikan secara utuh didalam empedu (Stevry et al., 2013).
B. Anemia Hemolitik pada Neonatus
1. Definisi
Anemia hemolitik adalah konsentrasi hemoglobin dibawah rentang
normal sesuai umur dan jenis kelamin akibat proses pemendekan usia
eritrosit (<120 hari). Pada neonatus, anemia hemolitik biasanya
bermanifestasi sebagai salah satu dari:
a. Peningkatan hitung retikulosit secara persisten tanpa atau dengan
penurunan kadar Hb dan tanpa riwayat perdarahan.
b. Penurunan kadar Hb yang cepat tanpa peningkatan hitung retikulosit,
dan tanpa adanya perdarahan (Yulidar H et al., 2010).
2. Etiologi
Anemia karena proses hemolitik bisa disebabkan karena proses autoimun
maupun non-imun.
a. Imun
Anemia hemolititik autoimun merupakan akibat interaksi abnormal antara
eritrosit dan sistem imun. Aliran eritrosit fetal yang masuk ke aliran darah
maternal dikenal sebagai antigen sehingga komponen imun tubuh maternal
memproduksi antibodi untuk melawannya. Kondisi ini membuat antibodi
maternal mengikat antigen permukaan eritrosit fetal dan merusaknya
melalui sistem fagosit mononukelar. Insiden dan manifestasi klinis anemia
akibat sistem imun ini tergantung tipe inkompatibilitas darah antara ibu
dan bayi. Autoimun hemolitik anemia (AIHA) ditandai dengan produksi
antibodi melawan sel eritrosit. Sedangkan alloimun anemia hemolitik
mengikuti paparan terhadap sel eritrosit nonself antigen (Yulidar H et al.,
2010).
1) Inkompatibilitas Rhesus
Ibu dengan Rhesus (-) dapat terpapar dengan antigen
Rhesus melalui 2 cara transfusi fetomaternal dan transfusi darah.
Risiko terjadinya transfusi fetomaternal meningkat pada abrupsi

7
plasenta, abortus, toksemia, seksio sesaria kehamilan ektopik serta
beberapa prosedur seperti amniosintesis dan kardiosintesis.
Paparan akibat transfusi darah lebih jarang terjadi karena
proses cross match antara pendonor dan resipien sangat ketat.
Paparan darah Rh (+) sebanyak 0.1 mL sudah mampu memicu
terbentuknya anti-Rh. Jika terjadi paparan ulang, maka antibodi
yang terbentuk menjadi lebih banyak sehingga proses hemolisis
menjadi lebih parah. Hal ini yang menyebabkan inkompatibilitas
rhesus pada kehamilan berikutnya mengakibatkan manifestasi
anemia yang lebih parah dibandingkan kehamilan pertama.
Meskipun bisa dicegah, penyakit hemolisis masih
merupakan penyebab paling sering anemia berat. Coomb test
positif kuat dan retikulosit meningkat setelah bayi lahir. Anemia
yang terjadi bervariasi dari ringan sampai dengan berat.
2) Inkompatibilitas ABO
Inkompatibilitas maternal-fetal ABO adalah terjadi pada 15-20%
dari seluruh kehamilan. Sensitisasi maternal pada ibu dengan
golongan darah O oleh antigen A atau B janin akan memproduksi
anti-A dan anti-B berupa IgG, yang dapat menembus plasenta,
masuk ke sirkulasi janin dan menimbulkan hemolisis. Ibu dengan
golongan darah A atau B memiliki anti-A atau anti-B berupa IgM,
yang tidak dapat menembus plasenta. Kondisi ini sering merupakan
penyebab hiperbilirubinemia. Biasanya terjadi pada ibu dengan
golongan darah O dan bayi dengan golongan darah A/B. Test
antiglobulin direk hanya positif lemah. Diagnosis dapat ditegakkan
dengan apusan sel darah tepi dengan didapatkan gambaran
mikrosferosit.
b. Non-Imun
Anemia hemolitik non-imun dapat terjadi karena kelainan membran
eritrosit herediter dan defek enzim eritrosit.
1) Kelainan membran eritrosit herediter

8
Kelainan membran eritrosit herediter meliputi sferositosis herediter,
eliptositosis herediter dan xerosis herediter. Semua kelainan ini
bermanifestasi pada periode neonatal. Manifestasi klinis yang
muncul pada pasien bukan hanya hiperbilirubinemia, namun juga
gambaran anemia hemolitik.
Sferositosis herediter merupakan kelainan dominan autosom yang
paing sering dijumpai diantara kelainan membran eritrosit. Sferosit
mempunyai diameter yang lebih kecil dari eritrosit normal tetapi
volumenya sama. Defek yang terjadi pada sferosit adalah
berkurangnya luas permukaan membran. Kakunya membran pada
sferosit mempermudah terjadinya sekuestrasi dan hemolisis oleh
limpa. Manifestasi klinis yang muncul mirip dengan anemia akibat
inkompatibilitas ABO. Hal ini menyebabkan diagnosis lebih mudah
ditegakkan jika ditemukan gambaran kelainan morfologi eritrosit
(Yulidar H et al., 2010).
Pada eliptositosis herediter presentase sel eritrosit yang berbentuk
elips meningkat sekitar 25-75%. Kelainan disebabkan karena defek
protein sehingga struktur eritrosit menjadi lebih lemah dan
stabilitasnya serta deformalibitasnya terganggu. Eritrosit pun
menjadi lebih mudah mengalami lisis. Penyakit ini bersifat
dominan autosom, namun manifestasi klinisnya sangat bervariasi
(Yulidar H et al., 2010).
2) Defek enzim eritrosit
Kelainan yang paling umum pada kelainan enzim eritrosit adalah
defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD). Enzim ini
berperan penting dalam proses metabolisme eritrosit, yaitu
mengubah glukosa-6-fosfat menjadi 6-fosfoglukonat serta
mereduksi NADP (nikotinamide adenosin dinukeotide phosphate)
menjadi NADPH NADP tereduksi). Kekurangan enzim ini secara
tidak langusng menyebabkan eritrosit menjadi lebih rentan terhadap
oksidasi dari luar sehingga mudah terhemolisis. Defisiensi G6PD

9
diturunkan secara X-linked dan dapat ditemukan pada etnis tertentu
seperti Afrika, Mediterania dan Asia (Yulidar H et al., 2010).
3. Diagnosis
Diagnosis anemia pada neonatus dapat dimulai dengan evaluasi
riwayat pasien meliputi medis, diet, perdarahan, transfusi, dan riwayat
sakit sebelumnya. Pada neonatus, riwayat mengenai kehamilan dan
kelahiran fetal penting untuk menentukan diagnosis penyakit yang
diderita. Ada tidaknya riwayat perdarahan pada ibu selama trimester
ketiga, riwayat meminum oabt-obatan selama hamil, riwayat ibu
mengalami infeksi saat hamil. Harus diketahui juga riwayat selama
kelahiran, bagaimana caranya, adakah penyulit, adakah trauma, adakah
manipulasi saat melahirkan, dan dilakukan atau tidaknya amniosintesis.
Riwayat anggota keluarga anemia, ikterik, kolestasis atau
splenektomi. Umur saat anemia timbul juga mempunyai nilai diagnostik.
Anemia yang timbul saat lahir dapat diakibatkan oleh perdarahan atau
alloimmunisasi berat. Anemia yang timbul selama 2 hari pertama
kehidupan sering disebabkan oleh perdarahan eksternal dan internal.
Anemia yang timbul pada 48 jam pertama kehidupan biasanya karena
hemolitik dan biasanya disertai dengan ikterik.
Manifestasi klinis secara umum pada anemia akut adalah syok,
perfusi perifer yang buruk, distres pernafasan, takikardi, pucat, letargi dan
hipotensi. Kondisi tersebut biasanya baru muncul ketika kadar hemoglobin
telah mencapai <12 g/dL. Pada anemia kronik didapatkan pucat, biasanya
disertai hepatosplenomegali. Pada pemeriksaan apusan darah tepi
didapatkan eritrosit hipokromik mikrositik dan banyak eritrosit imatur.
Evaluasi laboratorium awal meliputi pemeriksaan darah lengkap,
retikulosit dan apusan darah tepi, selanjutnya dapat dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut disesuaikan dengan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
yang didapat. Algoritma untuk mengetahui penyebab anemia yang diderita
neonatus bisa dilihat pada gambar dibawah ini.
Data yang ada saat ini menunjukkan dengan nilai hematokrit
dibawah 20% memiliki oksigenasi jaringan yang mencukupi, sedangkan

10
nilai hematokrit yang lebih tinggi dapat ditemukan pada bayi yang
mengalami hipoksia. Sehingga hemoglobin / hematokrit menunjukkan
prediktor yang buruk untuk menentukan hipoksia jaringan pada anemia
neonatus. Parameter hipoksia jaringan yang lain telah banyak diteliti. Nilai
asam laktat dan fractional oxygen extraction dapat menunjukkan
terjadinya hipoksia jaringan pada anemia neonatus. Kedua parameter ini
memiliki respon yang cepat terhadap hipoksia pada anemia. Namun
perubahan hemodinamik dapat meningkatkan nilai kedua parameter ini.

11
Gambar 1. Algoritma diagnostik anemia pada neonatus (Yulidar H et al.,
2010)
4. Tatalaksana
a. Manajemen umum
Penanganan pertama yang harus dilakukan pada pasien neonatus dengan
anemia adalah menstabilisasikan kondisi pasien. Stabilisasi ini mencakup
menjaga kehangatan, monitor tanda vital, evaluasi, keseimbangan input
dan output cairan serta pemasangan infus sebagai penggantian cairan.
Setelah kondisi pasien stabil, langkah selanjutnya yaitu dengan mencegah
perdarahan lebih lanjut dan mengeliminasi penyebab anemia.
Transfusi darah pada anemia bertujuan untuk menjamin oksigenasi
jaringan yang adekuat. Namun pemilihan terapi ini perlu pertimbangan
yang sangat selektif karena efek samping yang timbul bisa
membahayakan kondisi pasien, seperti infeksi, graft versus host disease,
gangguan asam basa dan elektrolit, hemolisis, gangguan eritropoiesis,
dan imunosupresi.
b. Manajemen khusus
Tatalaksana selanjutnya yang harus diberikan kepada penderita yaitu
dengan menyingkirkan penyebab dari terjadinya anemia. Pada anemia
hemolitik, terapi yang diberikan juga tergantung dari penyebab lisisnya
eritrosit.
1) Inkompatibilitas Rh
Respon maternal awal biasanya berupa IgM yang tidak dapat
melalui plasenta tetapi respon selanjutnya berupa pembentukan IgG
yang dapat melalui plasenta. Hal penting menyebabkan terjadinya
hemolisis ialah IgG dan derajat hemolisis ditentukan oleh
banyaknya antibody IgG yang melekat pada eritrosit fetus.
Hemolisis ringan umumnya tanpa anemia, kadar Hb darah tali
pusat > 14 g/dL, kadar bilirubin < 4 mg/dL, tidak memerlukan
pengobatan yang spesifik kecuali bilirubin meningkat tidak
terkendali. Hemolisis sedang ditandai dengan anemia ringan, kadar
bilirubin > 4 mg/dL, dan disertai trombositopenia tanpa sebab yang

12
diketahui, timbul ikterus jika tidak ditangani secara cepat dan tepat.
Pada hemolitik sedang terapi yang diberikan adalah transfusi ganti.
Hemolitik berat, adanya hepatosplenomegali dan terjadinya hidrops
fetalis atau lahir mati. Pengobatan yang diberikan bertujuan untuk
mencegah anemia berat dan kematian janin.
Tindakan terpenting dalam mengurangi kematian janin yaitu
pencegahan terhadap sensitisasi ibu oleh eritrosit janin.
Memberikan Ig Anti D pada ibu untuk mengikat eritrosit janin yang
masuk ke dalam sirkulasi maternal. Dosis yang diberikan 300 μg
anti-D secara injeksi dalam waktu 72 jam setelah kelahiran atau
abortus.
2) Inkompatibilitas ABO
Manifestasi klinis pada pasien dengan inkompatibilitas ABO
mayoritas hanyalah ikterus. Oleh karena itu, ada beberapa hal
yang menjadi pedoman untuk menegakkan diagnosis antara lain:
a. Hiperbilirubinemia mulai tampak pada 24 jam pertama
kelahiran
b. Anemia ringan, retikulositosis, normoblastemia, dan banyak
sferosit dalam darah tepi
c. Uji Coombs direk serum bayi (-), kadang-kadang (+) lemah,
dikonfirmasi dengan pemeriksaan Eluat meamakai panel
eritrosit orang dewasa
d. Ditemukan anti-A atau anti-B bebas tipe IgG dlam serum janin
e. Terdapatnya anti-A atau anti-B tipe IgG dalam serum ibu
dengan titer tinggi
Anemia yang disebabkan oleh ini umumnya ringan sehingga
pengobatan yang diberikan hanya berupa pemberian luminal,
fototerapi, Sn-protoporfirin atau infus albumin. Transfusi ganti
hanya diberikan terkadang sedangkan transfusi intrauterine sangat
jarang diberikan. Transfusi ganti harus menggunakan darah yang
identik dengan darah ibu, tidak perlu pencegahan, karena tidak
terjadi sensitisasi pada kehamilan berikutnya.

13
3) Kelainan membran eritrosit herediter
Pada sferositosis herediter, sektar setengah dari keseluruhan kasus
yang terjadi tidak menunjukkan gejala hemolisis atau
hiperbilirubinemia pada masa neonatus. Maka cara penegakkan
diagnosis yaitu:
a. Adanya hemolisis terlihat dengan adanya sferosit pada darah
tepi
b. Meningkatnya fragilitas eritrosit
c. Hasil observasi lain pada masa bayi
Karena gejala klinis dan laboratorium mirip dengan
inkompatibilitas ABO, maka harus dilakukan pemeriksaan gol.
darah dan uji Coombs. Sedangkan pada eliptositosis herediter
manifestasi klinis yang muncul bisa sangat bervariasi. Bisa sangat
ringan sehingga hanya terdeteksi secra kebetulan. Manifestasi juga
dapat menunjukkan gejala hemolisis yang nyata (anemia, ikterus,
dan splenomegali) (Yulidar H et al., 2010).
Karena manifestasi yang sering muncul dan mengganggu adalah
hiperbilirubinemia, maka terapi bertujuan untuk mengembalikan
kadar bilirubin ke rentang kadar normal. Apabila
hiperbilirubinemia ringan, pasien cukup diberikan fototerapi.
Namun jika bayi lahir dengan Hb tali pusat 14 g/dL dan bilirubin
serum >14 mg/L, ataupun bilirubin 12-14 jam pasca lahir >10
mg/dL, pasien diberikan transfusi tukar (Yulidar H et al., 2010).
4) Defek enzim eritrosit
Hingga saat ini tidak ada pengobatan khusus terhadap defisiensi
enzim G-6-PD karena kelainan tersebut merupakan anomali
genetik. Penanganan yang paling bisa dilakukan adalah pencegahan
pemberian bahan oksidan bila tidak sangat diperlukan. Jika
manifestasinya sudah sampai krisis hemolitik, maka diperlukan
transfusi darah. Neonatus dengan hiperbilirubinemia pada kasus
gawat darurat memerlukan pemantauan kadar bilirubin secara
berkala. Tergantung derajat hiperbilirubin dapat juga diberikan

14
luminal, fototerapi, Sn-protoporfirin, infus plasma atau albumin,
dan transfusi ganti. Hal lain yang harus dilakukan adalah dengan
menanggulangi factor pencetus yaitu infeksi dan bahan oksidan.
Pada neonatus dengan penanganan yang tepat memiliki prognosis
baik. Jika penanganan yang tepat terlambat diberikan, maka bisa
menimbulkan kernikterus sehingga berakibat cacat berat sepanjang
hidup sampai dengan kematian.
C. Inkompatibilitas ABO
1. Definisi

Inkompatibilitas ABO dibedakan menjadi inkompatibilitas ABO mayor dan


minor. Inkompatibilitas ABO mayor didefinisikan sebagai ekspresi antigen
ABO pada eritrosit pendonor namun tidak terekspresikan pada eritrosit
resipien (donor bergolongan darah A, dan resipien bergolongan darah O_.
Tubuh resipien pun membuat antibodi untuk melawan antigen eritrosit
pendonor. Sedangkan inkompatibilitas ABO minor didefiniskan sebagai
ekspresi antibodi ABO di eritrosit resipien yang tidak ada di eritrosit pendonor
(donor bergolongan darah O, dan resipien bergolongan darah A). Sistem imun
pendonor pun teraktivasi untuk membentuk antibodi melawan eritrosit
resipien (Daniele N et al., 2014).
2. Etiologi
Secara normal, tubuh manusia akan menghasilkan antibodi yang mengenali
antigen ABH asing. Antibodi alami ini akan menetralisasi viru-viru yang
mengekspresikan antigen ABH. Antibodi ABO paling banyak dalam bentuk
molekul IgM berafinitas rendah yang bereaksi silang dengan berbagai antigen.
Titer antibodi melawan antigen A maupun B lebih banyak pada tubuh orang-
orang yang tidak mengekspresikan antigen tersebut, yaitu orang-orang
bergolongan darah O.
Ketika eritrosit yang inkompatibel ABO tertransfusi, antibodi yang berada
dalam sirkulasi akan berikatan dengan antigen ABH dan menyebabkan
terjadinya hemolisis. Julah eritrosit yang terhemolisis tergantung dari titer
IgM. Hemolisis terjadi baik di pembuluh darah, liver, lien dalam hitungan

15
menit, lalu hemolisis juga terjadi oleh monosit yang memfagositosis eritrosit
yang telah dilapisi oleh IgG, C3b dan C3a.
Pentamer IgM sufisien untuk memanggil faktor komplemen, sedangkan IgG
membutuhkan sedikitnya dua molekul IgG yang terikat bersama untuk
memanggil faktor komplemen. Antigen ABH yang terekspresikan akan
membuat antibodi yang terikat memanggil faktor komplemen dengan cepat
sehingga membentuk membrane attack complex melalui jalur klasik.
Inkompatibilitas ABO bisa terjadi disebabkan karena berbagai kondisi, antara
lain:
a. Transfusi sel darah merah yang inkompatibel
b. Ketidakcocokan plasma atau platelet
c. Penyakit hemolisis pada bayi baru lahir
d. Transplantasi Hematopoietic stem cell
e. Transplantasi organ padat
f. Immunoglobulin intravena (Daimon & William, 2015)
3. Manifestasi Klinis
Gejala yang paling sering muncul dari inkompatibilitas ABO adalah demam,
menggigil, nyeri punggung, kulit kemerahan, dan hematuria. Sedangkan
gejala-gejala lain yang mungkin timbul adalah agitas, gelisah, sesak nafas,
takikardi, oliguria, hipotensi, hipertensi, gagal ginjal, koagulasi intravaskuler
difus, dan kejang (Daimon & William, 2015).
4. Terapi
Jika saat transfusi proses hemolisis terdeteksi, segera hentikan transfusi darah
dan berikan 0.9% saline secara IV. Pengecekan identitas pasien dan produk
darah harus segera dilakukan dan produk darah langsung dikembalikan ke
bank darah untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan
laboratorium yang dilakukan dan hasilnya bisa dilihat pada tabel 2.
Terapi supportif diberikan untuk mencegah gagal ginjal serta koagulasi
intravaskular difus. Hidrasi secara agresif dengan pemberian cairan kristaloid
IV direkomendasikan untuk mencegah gagal ginjal. Cairan bikarbonat IV juga
direkomendasikan untuk melawan asidosis dan meng-alkalisasi urin. Selain
itu bisa juga dipertimbangkan replesi plasma dan platelet pada pasien
koagulasi intravaskular diseminata (Daimon & William, 2015).

16
Pemeriksaan laboratorium Hasil pemeriksaan pada anemia hemolitik
Hitung darah lengkap Penurunan hematokrit, peningkatan
hitung retikulosit (subakut)
Bilirubin serum Bilirubin meningkat, terutama bilirubin
indirek
Haptoglobin serum Menurun
Laktat dehidrogenase serum Meningkat
Hemoglobin urin Ditemukan
Direct antiglobulin test Positif
(Daimon & William, 2015).

Daftar pustaka:
1. Sukadi A. Hiperbilirubinemia. In: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R,
Sarosa GI, Usman A, penyunting. Buku Ajar Neonatologi (Edisi Ke-1).
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2010; p. 147-53.
2. Wong RJ, Stevenson DK, Ahlfors CE, Vreman HJ. Neonatal Jaundice:
Bilirubin physiology and clinical chemistry. NeoReviews 2007;8:58-67.
3. Halamek LP, Stevenson DK. Neonatal jaundice and liver disease. In:
Fanaroff AA, Martin RJ, editors. Neonatal-perinatal Medicine. Disease of
the Fetus and Infant (Seventh Edition). St Louis: Mosby Inc, 2002;
p.1309-50.
4. Martin CR, Cloherty JP. Neonatal hyperbilirubinemia. In: Cloherty JP,
Eichenwaald EC, Stark AR, editors. Manual of Neonatal Care (Fifth
Edition). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2004; p.185-221.
5. Stevry Mathindas, Rocky Wilar, Audrey Wahani. Hiperbilirubinemia
pada neonatus. Jurnal Biomedik, Volume 5, Nomor 1, Suplemen, Maret
2013, hlm. S4-10
6. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE.
Hyperbilirubinemia. In: Gomella TL, editor. Neonatology; Management

17
procedures, on-call problems, disease and drugs. New York: Lange
Medical Book/McGraw-Hill Co, 2004; p.381-95.
7. American Academy of Pediatrics. Subcommitteee on hyperbilirubinemia.
Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more
weeks of gestation. Clinical Practice Guidelines. Pediatrics.
2004;114:297-316.
8. Sana ullah, Khaitsa rahman, Mehdi Hedayati. Hyperbilirubinemia in
neonates: Types, causes, clinical examinations, preventive measures
and treatments: A narrative review article. Iran J Public Health, Vol
45, No 5, May 2016, pp.558-568
9. Yulidar Hafidh, Dwi Hidayah, Sunyataningkamto. Anemia pada Bayi
Baru Lahir. In: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A,
penyunting. Buku Ajar Neonatologi (Edisi Ke-1). Jakarta: Ikatan Dokter
Anak Indonesia, 2010; p. 199-209
10. Daniele N, Scerpa MC, Rossi C, et al. The processing of stem cell
concentrates from the bone marrow in ABO-incompatible
transplants: how and when. Blood Transfus. 2014;12(2):150-8.
11. Daimon P. Simmons, William J. Savage. Hemolysis from ABO
incompatibility. Hematol Oncol Clin N Am 2015.
http://dx.doi.org/10.1016/j.hoc.2015.01.003

18

Anda mungkin juga menyukai