PENDAHULUAN
1
Diabetes mellitus adalah penyakit kronik yang tidak menyebabkan kematian
secara langsung, tetapi dapat berakibat fatal apabila pengobatannya tidak tepat.
Penatalaksanaan DM yang tidak tepat menyebabkan glukosa darah pasien menjadi
sulit terkontrol sehingga dapat meningkatkan biaya terapi pasien dan menimbulkan
munculnya berbagai komplikasi seperti neuropati diabetik, nefropati diabetik, stroke,
kebutaan, dan ulkus diabetik yang berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien DM.6,7
Salah satu faktor yang berperan dalam kegagalan pengontrolan glukosa darah
pasien DM adalah ketidakpatuhan pasien terhadap pengobatan. Kepatuhan
pengobatan adalah kesesuaian diri pasien terhadap anjuran atas medikasi yang telah
diresepkan yang terkait dengan waktu, dosis, dan frekuensi.Ketidakpatuhan terhadap
pengobatan DM saat ini masih menjadi masalah yang cukup penting dalam
pengelolaan DM. Beberapa studi melaporkan bahwa tingkat kepatuhan penderita DM
tipe 1 berkisar antara 70-83% sedangkan DM tipe 2 sekitar 64-78%. Tingkat
kepatuhan pasien DM tipe 2 lebih rendah dibandingkan DM tipe 1 dapat disebabkan
oleh regimen terapi yang umumnya lebih bersifat kompleks dan polifarmasi, serta
efek samping obat yang timbul selama pengobatan. Suatu penelitian menyatakan
bahwa kepatuhan pasien DM tipe 2 yang diterapi dengan sulfonylurea sekali sehari
adalah 94% sedangkan dengan regimen sulfonylurea dua atau tiga kali sehari adalah
57%. Selain factor yang berhubungan dengan medikasi, keberhasilan penatalaksanaan
penderita DM harus dipertimbangkan pada kelainan dasar, disamping faktor-faktor
lain, seperti pengendalian berat badan, pengaturan asupan makanan dan faktor-faktor
penyerta lain, mengenai perjalanan penyakit, pencegahan, penyulit, dan
penatalaksanaan DM. Selain itu, status sosial ekonomi, tingkat pendidikan dan
pengetahuan yang rendah serta depresi yang dialami psaien juga dikaitkan dengan
kepatuhan yang rendah dan tingkat morbiditas yang tinggi pada pasien DM. 6,8,9
Sangat sulit menilai tingkat kepatuhan penderita dalam mengikuti anjuran
dokter untuk dapat mengendalikan kadar glukosa darah, baik menyangkut jadwal
minum obat dan dosis, maupun pola hidup (pola makan, olah raga, dan lain-lain).
Ada beberapa parameter laboratorium yang dapat digunakan untuk menilai tingkat
kepatuhan penderita, salah satunya adalah hemoglobin A1c ( HbA1c ), yaitu glukosa
2
yang terikat pada N- terminal valin hemoglobin rantai ß, yang terjadi melalui reaksi
non enzimatik. Pengukuran HbA1c sebagai indikator kepatuhan pasien DM adalah
paling baik dibandingan menggunakan pengukuran glukosa dalam darah maupun urin
karena HbA1c yang terbentuk merupakan hasil dari reaksi kimia antara glukosa yang
ada di dalam darah dengan hemoglobin sehingga HbA1c dapat bersinergi dalam tubuh
selama masa hidup sel darah merah. Dengan demikian, HbA1c dapat menggambarkan
konsentrasi glukosa darah rata-rata selama periode 8-12 minggu sebelumnya. 1, 2 ,10
Kadar HbA1c lebih dari 6.5% menunjukkan kepatuhan pasien DM dalam
mengontrol glukosa darah adalah kurang baik sehingga dapat meningkatkan resiko
timbulnya komplikasi diabetik, baik komplikasi mikrovaskular maupun
makrovaskular. Selain HbA1c, tingkat kepatuhan pada pasien DM tipe 2 juga dapaat
diukur dengan menggunakan kuisioner Morisky Medication Adherence Scale
(MMAS-8). Kuesioner MMAS-8 adalah alat penilaian dari WHO yang sudah
divalidasi dan sering digunakan untuk menilai kepatuhan pengobatan pasien dengan
penyakit kronik, seperti diabetes mellitus. MMAS-8 berisi delapan pertanyaan
tentang penggunaan obat dengan jawaban ya dan tidak. Nilai MMAS-8 yang tinggi
menunjukkan tingkat kepatuhan pasien terhadap pengobatan rendah. 8, 11
3
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Menganalisis hubungan antara kepatuhan minum obat pasien pasien diabetes
mellitus tipe 2 yang ditinjau dari kadar HbA1c dan nilai MMAS-8
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Memperoleh gambaran karakteristik umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
pekerjaan, jumlah obat, regimen dosis obat, efek samping obat, durasi penyakit
DM, pada pasien DM tipe 2 di Poli Endokrin Rumah Sakit Wahidin
Sudirohusodo.
b. Mengevaluasi faktor-faktor yang memmpengaruhi tingkat kepatuhan minum obat
psien DM tipe 2 di Poli Endokrin Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo meliputi
umur, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat pendidikan, jumlah obat, regimen, dosis
obat, efek samping obat, durasi penyakit DM, pola diet, dan olahraga
c. Mengevaluasi korelasi tingkat kepatuhan minum obat pasien DM tipe 2 di Poli
Endokris RS Wahidin Sudirohusodo berdasarkan nilai HbA1c dengan skor
MMAS-8.
a. Sebagai masukan bagi rumah sakit dalam program penyuluhan dan edukasi untuk
meningkatkan pengetahuan, kepatuhan, dan kontrol glukosa darah pada penderita
DM tipe 2.
b. Sebagai masukan bagi para dokter untuk lebih meningkatkan peran dokter di
rumah sakit dalam meningkatkan kepatuhan minum obat dan kontrol kadar
glukosa darah pada penderita DM tipe 2
c. Meningkatkan pengetahuan pasien DM tipe 2 khususnya tentang terapinya
sehingga dapat meningkatkan kepatuhannya dalam minum obat
4
d. Menambah pemahaman peneliti terhadap permasalahan yang dialami pasien
berkenaan dengan penyakit dan kepatuhan pasien DM tipe 2 dalam meminum
obat sehingga dapat meningkatkan rasa percaya diri dalam memberikan edukasi
pada waktu berikutnya
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
6
2.1.2 Epidemiologi
Diabetes mellitus secara global adalah salah satu dari penyebab terbanyak
penyakit tidak menular. Dilaporkan terdapat sebanyak 366 juta penderita diabetes
pada tahun 2011 dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlahnya akan meningkat
menjadi 552 juta penderita. DM merupakan penyebab kematian 4,6 juta pada tahun
2011 dan menempati peringkat keempat dari lima penyakit yang menyebabkan
kematian pada negara dengan pendapatan tinggi. Terdapat bukti berarti bahwa DM
merupakan sebuah epidemic pada negara berkembang. Terhitung sekitar 400 orang
setiap hari, 17 orang setiap jam, dan 3 orang setiap 10 menit menderita diabetes. 4,5
Menurut IDF, Indonesia menempati peringkat 10 negara yang memiliki
penderita diabetes terbanyak, yaitu 7,3 juta penderita dan diperkirakan di tahun 2030
naik satu peringkat melejit menjadi 11,8 juta penderita. Jumlah ini masih diluar dari
penderita DM tipe 2 yang tidak terdiagnosis karena ada beberapa gejala tidak
terdeteksi pada fase awal penyakit. Di Indonesia saat ini penyakit DM belum
menempati skala prioritas utama pelayanan kesehatan walaupun sudah jelas dampak
negatifnya, yaitu berupa penurunan kualitas SDM, terutama akibat penyulit menahun
yang ditimbulkannya. 5
Dari berbagai penelitian epidemiologis di Indonesia didapatkan prevalensi
DM sebesar 1,5 – 2,3 % pada penduduk usia lebih dari 15 tahun, bahkan pada suatu
penelitian epidemiologis di Manado didapatkan prevalensi DM 6,1 %. Penelitian
yang dilakukan di Jakarta, Surabaya, Makasar dan kota-kota lain di Indonesia
membuktikan adanya kenaikan prevalensi dari tahun ketahun. Berdasarkan pola
pertambahan penduduk , diperkirakan pada tahun 2020 nanti akan ada sejumlah 178
juta penduduk berusia diatas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM sebesar 4 %
akan didapatkan 7 juta pasien DM, suatu jumlah yang sangat besar untuk dapat
ditangani oleh dokter spesialis / subspesialis / endokrinologis. 13, 15
7
2.1.3 Etiologi
Pada pasien-pasien dengan diabetes melitus tipe II, penyakitnya mempunyai
pola familial yang kuat. Indeks untuk diabetes melitus tipe II pada kembar monozigot
hampir 100%. Resiko berkembangnya DM tipe II pada saudara kandung mendekati
40% dan 33% untuk anak cucunya. Transmisi genetik adalah paling kuat dan contoh
terbaik terdapat dalam diabetes awitan dewasa muda (MODY), yaitu subtipe penyakit
diabetes yang diturunkan dengan pola autosomal dominan. Jika orang tua menderita
diabetes tipe II, rasio diabetes dan nondiabetes pada anak adalah 1:1, dan sekitar
90% pasti membawa (carrier) diabetes tipe II. 14
2.1.4 Klasifikasi
Menurut American Diabetes Association (ADA), terdapat 4 klasifikasi
diabetes mellitus, yaitu : 2
a. Diabetes Mellitus Tipe 1
Diabetes mellitus tipe I disebut juga dengan istilah diabetes tergantung insulin
atau diabetes yang muncul sejak kanak-kanakatau remaja (juvenile diabetes). Kasus
DM tipe I berkisar antara 5-10% dari seluruh populasi penderita diabetes. Lebih dari
95% penderita DM tipe I berkembang menjadi penyakit diabetes sebelum umur 25
tahun. 2
Diabetes jenis ini dikarekteristikkan oleh defisiensi produksi insulin absolut
akibat destruksi sel β pancreas sehingga membutuhkan pemberian insulin eksogen
setiap harinya. Destruksi sel β pancreas dapat disebabkan karena reaksi autoimun
seperti autoantibodi sel islet, autoantibodi terhadap insulin, antibody terhadap
dekarboksilase asam glutamate, dan autoantibodi terhadap fosfatase tirosi 1A-2 dan
1A-2β. 2, 16
b. Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes Mellitus tipe 2 juga dikenal dengan istilah diabetes yang tidak
tergantung insulin atau diabetes yang muncul setalh dewasa (adult onset). Penderita
DM tipe 2 mencapai sekitar 90% dari seluruh populasi penderita diabetes. Diabetes
8
jenis ini dikarakterisasi oleh resistensi insulin dan berkurangnya sensitivitas insulin
sehingga mengakbatkan peningkatan lipolysis dan produksi asam lemak, peningkatan
produksi glukosa hati, dan penurunan ambilan glukosa oleh otot skeletal. Timbulnya
DM tipe 2 dikaitkan dengan pola gaya hidup yang buruk, seperti kurangnya olahraga,
obesitas, dan diet tinggi lemak dan rendah serat. 2, 16
c. Diabetes Mellitus Gestasional
Diabetes mellitus gestasional adalah hiperglikemia yang timbul selama masa
kehamilan. Hiperglikemia timbul akibat intoleransi glukosa dan biasanya berlangsung
hanya sementara. Sekitar 7% wanita hamil diketahui menderita diabetes mellitus
gestasional dan umumnya terdeteksi pada atau setelah trimester kedua 2
d. Diabetes Mellitus Tipe Lain
Diabetes yang disebabkan oleh-oleh factor-faktor lain terjadi pada sekitar 1-
2% dari semua kasus diabetes. Penyebab-penyebab lain yang dapat menimbulkan
diabetes mellitus jenis ini diantaranya, yaitu defek gentik fungsi sel β, defek genetic
kerja insulin, penyakit eksokrin pancreas seperti cystic fibrosis, dan obat atau zat
kimia yang dapat menginduksi diabetes, seperti glukokortikoid. 2
2.1.5 Patofisiologi
Karbohidrat terdapat dalam berbagai bentuk, termasuk gula sederhana atau
monosakarida, dan unit-unit kimia yang kompleks, seperti disakarida dan
polisakarida. Karbohidrat yang sudah ditelan dicerna menjadi monosakarida dan
diabsorpsi, terutama dalam duodenum dan jejunum proksimal. Sesudah diabsorpsi,
kadar glukosa darah akan meningkat untuk sementara waktu dan akhirnya akan
kembali lagi ke kadar semula. Pengaturan fisiologis kadar glukosa darah sebagian
besar bergantung pada hati yang (1) mengekstraksi glukosa, (2) menyintesis glikogen
dan (3) melakukan glikogenolisis. Dalam jumlah yang lebih sedikit, jaringan perifer
otot dan adiposa juga mempergunakan ekstrak glukosa sebagai sumber energi
sehingga jaringan-jaringan ini ikut berperan dalam mempertahankan kadar glukosa
darah. 14
9
Jumlah glukosa yang diambil dan dilepaskan oleh hati dan yang digunakan
oleh jaringan jaringan perifer bergantung pada keseimbangan fisiologis beberapa
hormon yaitu (1) glukagon yang disertai sel-sel alfa pulau langerhans, (2) epinefrin
yang disekresi oleh medula adrenal dan jaringan kromafin lain, (3) glukokortikoid
yang disekresi oleh korteks adrenal, dan (4) growth hormon yang disekresi oleh
kelenjar hipofisis anterior. Glukagon, epinefrin, glukokortikoid, dan growth hormon,
membentuk suatu pelayanan mekanisme regulator yang mencegah timbulnya
hipoglikemi akibat pengaruh insulin. 14
Diabetes Melitus tipe II ditandai dengan kelainan sekresi insulin, serta kerja
insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi sel-sel sasaran terhadap kerja
insulin. Insulin mula mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel
tertentu, kemudian terjadi sekresi intrasellular yang menyebabkan mobilisasi
pembawa GLUT 4 glukosa dan meningkatkan transpor glukosa menembus membran
sel. Pada pasien-pasien dengan DM tipe II terdapat kelainan dalam pengikatan insulin
dengan reseptor. Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat
reseptor pada membran sel yang selnya responsif terhadap insulin atau akibat
ketidaknormalan reseptor insulin intrinsik. Akibatnya, terjadi pengabungan abnormal
antara kompleks reseptor insulin dengan sistem transpor glukosa. Ketidaknormalan
postreseptor dapat menggangu kerja insulin. Pada akhirnya, timbul kegagalan sel beta
dengan menurunnya jumlah insulin yang beredar dan tidak lagi memadai untuk
mempertahankan euglikemia. Sekitar 80% pasien DM tipe II mengalami obesitas.
Karena obesitas berkaitan dengan resistensi insulin, maka kelihatan akan timbul
kegagalan toleransi glukosa yang menyebabkan diabetes tipe II. Pengurangan berat
badan sering kali dikaitkan dengan perbaikan dalam sensitivitas insulin dan
pemulihan toleransi glukosa. 14
10
2.1.6 Diagnosis
a. Gejala klinis
Manifestasi klinis DM dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi
insulin. Pasien- pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar
glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat.
Jika hiperglikeminya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbulnya
glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotic yang meningkatkan
pengeluaran urin (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang
bersama urin, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan
berkurang. Rasa lapar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan
kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk. 3, 10, 14
Pada pasien DM tipe II munkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala
apapun, dan diagnosis dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan
melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat, pasien tersebut
mungkin menderita polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya mereka tidak
mengalami ketoasidosis karena pasien ini tidak defisiensi insulin secara absolut
namun hanya relatif. Sejumlah insulin tetap disekresi dan masih cukup untuk
menghambat ketoasidosis. Kalau hiperglikemia berat dan pasien tidak berespons
terhadap terapi diet, atau terhadap obat-obat hipoglikemi oral mungkin diperlukan
terapi insulin untuk menormalkan kadar glukosanya. Pasien ini biasanya
memperlihatkan kehilangan sensitivitas perifer terhadap insulin. Kadar insulin pasien
sendiri mungkin berkurang, normal atau malahan tinggi, tetapi tidak memadai untuk
mempertahankan kadar glukosa normal. Penderita juga resisten terhadap insulin
eksogen. 14
b. Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah
Diagnosa DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar gula darah. Dalam
menentukan diagnosa DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara
pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosa, pemeriksaan yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk
11
memastikan diagnosa DM, pemeriksaan glukosa darah seyogyanya dilakukan di
laboratorium klinik yang terpercaya. Walaupun demikian, sesuai dengan kondisi
setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler
dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai
pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa
darah kapiler. Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring.
Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala atau tanda-tanda
DM, sedangkan pemeriksaan penyaring DM bertujuan untuk mengidentifikasi mereka
yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko DM. Serangkaian uji diagnostik DM
akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringan positif,
untuk memastikan diagnostik definitive. 3, 10, 15
Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan resiko tinggi
untuk DM, yaitu kelompok usia dewasa tua (> 40 tahun), obesitas, tekanan darah
tinggi, riwayat keluarga DM, riwayat kehamilan dengan berat badan bayi > 4000 gr,
riwayat DM pada kehamilan dan dislipidemia. Pemeriksaan penyaring dapat
dilakukan dengan pemeriksan glukosa darah sewaktu, dan kadar glukosa darah
puasa. Kemudian dapat diikuti dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) standar.
Cara pemeriksaan TTGO, adalah: 3, 10
1. Tiga hari sebelum pemeriksaan pasien makan seperti biasa.
2. Kegiatan jasmani sementara cukup, tidak terlalu banyak.
3. Pasien puasa semalam selama 10-12 jam.
4. Periksa glukosa darah puasa.
5. Berikan glukosa 75 gr yang dilarutkan dalam air 250 ml, lalu minum dalam 5
menit.
6. Periksa glukosa darah 1 jam dan 2 jam sesudah beban glukosa.
Selama pemeriksaan, pasien yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.
Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu
>200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. bila hasil pemeriksaan
glukosa darah meragukan, pemeriksaaan TTGO diperlukan untuk memastikan
12
diagnosis DM. Untuk diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa lainnya
diperiksa glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa. Sekurang-kurangnya diperlukan
kadar glukosa darah 2 kali abnormal untuk konfirmasi diagnosis DM pada hari yang
lain atau TTGO yang abnormal. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa dengan
metode enzimatik sebagai patokan penyaring dan diagnosis (mg/dl). 15
2.1.7 Penatalaksanaan
2.1.7.1 Nonfarmakologi
Penatalaksanaan nonfarmakologi diartikan sebagai penatalaksanaan tanpa
obat yang meliputi, : 16
13
a. Pengaturan diet
Fokus utama penatalaksanaan DM adalah diet seimbang untuk mencapai dan
mempertahankan berat badan ideal. Prinsip pengaturan pola makan pada penderita
diabetes hamper sama dengan anjuran makan utnk masyarakat umum, yaitu makanan
yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan klaori dan zat gizi masing-masing
individu. Pada penderita diabetes yang perlu ditekankan adalah pentingnya
keteraturan jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Penerapan
pengaturan diet yang baik pada penderita DM tipe 2 dapat membantu mengontrol
glukosa darah sehingga dapat menurunkan kadar HbA1c, yang akhirnya dapat
menurunkan resiko progresivitas berbagai komplikasi yang mungkin dapat timbul
akibat penyakit DM. Dari hasil penelitian pada tahun 2004 menyatakan bahwa
penatalaksaan diet pada penderita DM tipe 2 dapat menurnkan kadar HbA1c setelah 8
minggu program diet dilaksanakan (p=0,001). 1
b. Olahraga
Olahraga dapat meningkatkan sensitivitas insulin, membantu mengontrol
glukosa darah, memnurunkan factor resiko kardiovaskular, dan membantu
menurunkan atau mempertahankan berat badan. Pberdasarkan penelitian juga
didapatkan bahwa pelaksanaan olahraga pada penderita DM tipe 2 dapat menurunkan
kadar HbA1c setelah 8 minggu program olahraga dilaksanakan (p=0,001). 1
2.1.7.2 Farmakologi
a. Insulin
Insulin memnurunkan kadar gula darah dengan menstimulasi ambilan glukosa
di periger dan menghambat produksi glukosa hepatic. Terapi insulin merupakan
terapi pilihan untuk penderita DM tipe 1 karena pada DM tipe 1 terjadi defisiensi
produksi insulin absolut akibat destruksi sel β pancreas sehingga membutuhkan
pemberian insulin eksogen. Pemberian insulin juga diperlukan untuk beberapa
keadaan lain, yaitu penderita DM tipe 2 yang glukosa darahnya tidak dapat
dikendalikan dengandiet dan anti diabetic oral, DM dengan berat badan yang
menurun cepat, DM dengan ketoasidosis dan hyperosmolar non ketotk, DM dengan
14
kehamilan, kontraindikasi atau alergi dengan antidiabetik oral, gangguan fungsi hati
atau ginjal yang berat, dan stress berat, seperti infeksi sistemik, operasi besar. 17
Rata-rata kebutuhan insulin pada DM tipe 1 yaitu 0,5-0,6 unit/kg, sedangkan
pada DM tipe 2, rata-rata sebesar 0,7-2,5 unit/kg. efek samping yang umum
ditimbulkan, yaitu hipoglikemia dan peningkatan berat badan. Terapi hipoglikemia
dapat diatasi dengan pemberian glukosa (1015 gr) yang diberikan secara oral untuk
terapi pada pasien yangs adar, pemberian dekstrosa IV untuk pasien yangkehilangan
kesadaran, atau glucagon 1 gt secara intramuscular untuk pasien yang tidak sadar
ketikan pemberian secara IV tidak dapat dilakukan. Sediaan insulin untuk terapi DM
terdapat dalam berbagai jenis, yang berbeda dalam hal onset dan durasinya. 16
b. Sulfonylurea
Sulfonilurea digunakan sebagai salah satu terapi pada DM tipe 2 karena dapat
menstimulasi sekresi insulin. Mekanisme sekresi insulim terjadi karena sulfonylurea
dapat berikatan dengan subunit SUR 1 pada kanal kalium yang sensitive ATP (k-
ATP) di sel β pancreas sehingga kanal Ca2+ yang sensitig tegangan terbuka dan terjadi
ind=fluks kalsium. Peningkatan kalsium intraseluler menstimulasi eksositosis
pelepasan granul insulin dan meningkatkan sekresi insulin. 18
Sulfonylurea dapat menurunkan kadar HbA1c hingga 0,8-2,0% dan
menurunkan kadar lukosa puasa 60-70 mg/dL (3,3-3,9 mmol/L). Obat yang termasuk
dalam golongan ini yaitu glibenklamid, gliklazid, glipizid, glikuidon, dan glimepiride.
Efek samping obat golongan ini yang sering terjadi yaitu hipoglikemia dan
peningkatan berat badan. 16
c. Biguanid
Biguanid adalah obat antidiabetes oral yang tidak memliki efek stimulasi
sekresi insulin sehingga tidak memiliki efek hipoglikemia. Obat yang termasuk dalam
golongan ini, yaitu metformin. Metformin berperan meningkatkan sensitivitas insulin
dengan cara meningkatkan ambilan glukosa di jaringa nperifer. Selain itu, metformin
juga menurunkanproduksi glukosa hati degan menurunkan glikogenolisis dan
gluconeogenesis. Metformin juga dapat menurunkan absorpsi glukosa di usus.
15
Metformin menurunkan kadar HbA1c sekitar 1,5-2,0% dan kadar glukosa puasa 60-80
mg/dL. Selain itu metformin juga meningkatkan kadar HDL dan menurunkan kadar
trigliserida dan LDL. Efek samping yang sering timbul pada penggunaan metformin,
yaitu laktat asidosis, rasa logam dan ganguan saluran pencernaan, seperti mual, diare,
kembung, dan kram abdominal.
d. Tiazolidindion
Tiazolidindion adalah obat antidiabetes oral golongan activator sintetik
peroksisom proliferator activator reseptor-γ (PPAR-γ). GOlongan tiazolidindion
berperan meningkatkan sensitivitas tubuh terhadap insulin dengan cara berikatan
dengan PPAR-γ di otot skelet, jaringan lemak, dan hati sehingga dapat menurunkan
kadar asam lemak bebas dan menghambat priduksi glukosa hati serta meningkatkan
transport glukosa kedalam sel sehingga ambilan glukosa kedalam sel meningkat. 16
Pengunaan tiazolidindion menurunkan HbA1c sekitar 0,5-1,5% dan kadar
glukosa darah puasa 25-50 mg/dL (1,4-2,8 mmol/L). obat-obat yang termasuk
golongan tiazolidindion meliputi Rosiglitazon dan Pioglitazon. Efek sampng yang
sering timbul akibat pengguaan obat ini yaitu peningkatan berat badan dan
peningkatan kadar transaminase. 16
e. Αlpha (α) glucosidase inhibitor
Golongan inhibitor α-glukosidase bekerja menghambat enzim alfa
glukosidase yang terdapat di usus halus. Enzim-enzim α-glukosidase seperti maltase,
isomaltase, glukomaltase, dan sukrase berfungsi untuk menghidrolisis oligosakarida
di usus halus. Inhibisi kerja enzim ini secara efektif dapat mengurangi pencernaan
karbohidrat dan absorbsinya, sehingga dapat mengurangi peningkatan kadar glukosa
post prandial pada penderita diabetes. Selain itu senyawa inhibitor α-glukosidase juga
menghambat enzim α amylase pancreas yang bekerja menghidrolisis polisakarida
dalam lumen usus halus. Pengguanaan inhibitor α-glukosidase dapat menurunkan
kadar HbA1c sekitar 0,3-1,0% dan kadar glukosa darah puasa 40-50 mg/dL (1,9-2,2
mmol/L). Obat-obat yang termasuk dalam golonga n α-glukosidase meliputi acarbose
16
dan miglitol. Inhibitor α-glukosidase umumnya menimbulkn efek samping berupa
flatulensi, mual, diare. 16
17
mengindikasikan DM yang tidak terkendali dan beresiko tinggi untuk menjadikan
komplikasi jangka panjang seperti nefropati, retinopati, atau kardiopati, Penurunan
1% dari HbA1c akan menurunkan komplikasi sebesar 35% . 19
Berdasarkan rekomendasi ADA, digunakan batas cut-off point kadar HbA1c ≥
6,5 % (American Diabetes Associstion) dalam mendiagnosis diabetes. Pemeriksaan
HbA1c dianjurkan untuk dilakukan secara rutin pada pasien DM Pemeriksaan
pertama untuk mengetahui keadaan glikemik pada tahap awal penanganan,
pemeriksaan selanjutnya merupakan pemantauan terhadap keberhasilan
pengendalian. 20
18
c. Penurunan sel darah merah
(Anemia, talasemia, kehilangan darah jangka panjang) akan menurunkan kadar
HbA1c palsu Anemia didefenisikan sebagai berkurangnya kadar Hb darah,
penurunan kadar Hb biasanya disertai penurunan Eritrosit dan Hematokrit.
Definisi anemia adalah keadaan dimana kadar hemoglobin < 12 g/dL untuk
wanita dan <14 g/dL untuk pria.
2.3 Kepatuhan
Kepatuhan adalah tingkat perilaku pasien yang tertuju terhadap intruksi atau
petunjuk yang diberikan dalam bentuk terapi apapun yang ditentukan, baik diet,
latihan, pengobatan atau menepati janji pertemuan dengan dokter. 8
Faktor – faktor yang mendukung kepatuhan pasien menurut Feuer Stein
diantaranya : 8
1. Pendidikan .
Pendidikan adalah suatu kegiatan, usaha manusia meningkatkan kepribadian atau
proses perubahan perilaku menuju kedewasaan dan penyempurnaan kehidupan
manusia dengan jalan membina dan mengembangkan potensi kepribadiannya,
yang berupa rohni (cipta, rasa, karsa) dan jasmani. Domain pendidikan dapat
diukur dari
a. Pengetahuan terhadap pendidikan yang diberikan (knowledge).
b. Sikap atau tanggapan terhadap materi pendidikan yang diberikan (attitude).
c. Praktek atau tindakan sehubungan dengan materi pendidikan yang diberikan.
2. Akomodasi : Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian
pasien yang dapat mempengaruhi kepatuhan. Pasien yang mandiri harus
dilibatkan secara aktif dalam program pengobatan.
19
3. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial .
Membangun dukungan sosial dari keluarga dan teman – teman sangat penting,
kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu memahami kepatuhan
terhadap program pengobatan.
4. Perubahan model terapi .
Program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin dan pasien terlibat aktif
dalam pembuatan program tersebut.
5. Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan pasien . Suatu hal yang
penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah memperoleh
informasi diagnose
Ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam meningkatkan
kepatuhan pasien yaitu : 8
1. Buat intruksi tertulis yang mudah diinterprestasikan .
2. Berikan informasi tentang pengobatan sebelum menjelaskan hal lain.
3. Jika seseorang memberi daftar tertulis tentang hal-hal yang harus diingat maka
akan ada keunggulan yaitu mengingat hal yang pertama ditulis.
4. Intruksi – intruksi harus ditulis dengan bahasa umum (non medis) dalam hal yang
perlu ditekankan .
Kepatuhan seseorang sangat berhubungan dengan : 8
1. Interaksi kompleks antara dukungan keluarga dan pengalaman.
2. Interaksi perilaku dengan kepercayaan kesehatan seseorang.
3. Kepercayaan yang ada sebelumnya.
20
membawa anaknya ke posyandu, karena tahu bahwa disana akan dilakukan
penimbangan anak untuk mengetahui pertumbuhannya serta akan memperoleh
imunisasi untuk mencegah penyakit. Tanpa adanya pengetahuan ini, ibu tersebut
mungkin tidak akan membawa anaknya ke posyandu
2. Faktor - faktor pemungkin (Enabling Factors) adalah faktor - faktor yang
memungkinkan atau memfasilitasi perilaku atau tindakan. Yang dimaksud
dengan faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk
terjadinya perilaku kesehatan, misalnya Puskesmas, Posyandu, rumah sakit,
makanan bergizi. Sebuah keluarga yang sudah tahu masalah kesehatan
mengupayakan keluarganya untuk menggunakan air bersih, makan bergizi dan
sebagainya. Tetapi apabila keluarga tersebut tidak mampu mengadakan fasilitas
itu semua, maka dengan terpaksa menggunaka air kali, makan seadanya.
3. Faktor - faktor penguat (Reinforcing Factors) adalah faktor yang mendorong atau
memperkuat terjadinya perilaku. Kadang – kadang meskipun seseorang tahu dan
mampu untuk berperilaku sehat, tetapi tidak melakukannya . Perlu adanya contoh
– contoh perilaku sehat dari para tokoh masyarakat.
21
Tingkat kepatuhan pada pasien menggunakan metode tidak langsung dapat
diukur dengan menggunakan kuisioner Morisky Medication Adherence Scale
(MMAS)-8. Kuesioner MMAS-8 adalah alat penilaian dari WHO yang sudah
divalidasi dan sering digunakan untuk menilai kepatuhan pengobatan pasien dengan
penyakit kronik, seperti diabetes mellitus. MMAS-8 berisi delapan pertanyaan
tentang penggunaan obat dengan jawaban ya dan tidak. Nilai MMAS-8 yang tinggi
menunjukkan tingkat kepatuhan pasien terhadap pengobatan rendah. 8, 11
22
BAB 3
DEFINISI OPERASIONAL
`
Pasien DM Umur
Jenis Kelamin
Terapi Antidiabetes oral Pendidikan
Mengontrol Pekerjaan
glukosa darah Perlu kepatuhan terhadap Jumlah Obat
Efek samping obat
pengobatan untuk mencegah
Durasi DM
atau mengurangi terjadinya Diet
komplikasi diabetik Olahraga
Evaluasi
23
3.2 Kerangka Konsep
3.2.1 Variabel Independen
Variabel independen atau tidak terikat atau bebas dari penelitian ini adalah
adalah :
1. Umur penderita
2. jenis kelamin penderita
3. Pendidikan pekerjaan penderita
4. Jumlah obat
5. Regimen dosis obat
6. Efek samping obat
7. Durasi DM
8. Diet
9. Olahraga.
3.2.2 Variabel Dependen
Variabel dependen atau terikat ialah parameter tingkat kepatuhan, yaitu kadar
HbA1c dan skor MMAS-8
Umur
Jenis Kelamin HbA1c
Pendidikan
Pekerjaan
p
Jumlah Obat
Regimen dosis obat
Efek samping obat
Durasi DM MMAS-8
Diet
Olahraga
27
11. Kadar HbA1c
Definisi : nilai pemeriksaan HbA1c pasien DM tipe 2 berdasarkan hasil
pemeriksaan di laboratorium dengan satuan %
Skala : nominal dan rasio
Alat Ukur : kuesioner
Cara ukur : Subjek mengisi kolom kadar pada kuesioner yang disediakan
Kategori : a. terkontrol : bila pemeriksaan < 6,5%
b. tidak terkontrol : bila pemeriksaan ≥ 6.5%
12. Skor MMAS-8
Definisi : skor kepatuhan pasien DM tipe 2 yang dihitung berdasarkan 8
pertanyaan dari kuesioner MMAS-8
Skala : ordinal dan rasio
Alat Ukur : kuesioner
Cara ukur : Subjek mengisi kuesioner MMAS-8 yang disediakan
Kategori : a. Patuh : bila skor MMAS-8 adalah 0-2
b. Tidak patuh : bila skor MMAS-8 > 2
28
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
29
Rumus untuk besar sampel jenis penelitian cross-sectional :
n = Z2 . p. (1-p)
d2
Keterangan:
n = jumlah sampel minimal yang diperlukan
Z = nilai baku distribusi normal (1,96)
P = proporsi variable dependen dan independen pada penelitian sebelumnya
q = 1-p (proporsi penderita DM tipe 2 yang patuh namun tidak mengalami
perubahan kadar HbA1c)
d = derajat akurasi atau presisi absolut.
30
4.4.2 Kriteria Eksklusi
a. Pasien wanita hamil
b. Pasien DM tipe 2 dengan penyakit kronik lain, seperti hipertensi atau
penyakit ginjal
c. Pasien DM tipe 2 yang menggunakan insulin
31
Untuk melihat distribusi frekuensi dari variable pada penelitian ini digunakan
mean dan standar deviasai untuk variable numeric sedangkan untuk variable
kategorik digunakan modus dan proporsi
Metode statistik yang digunakan untuk melihat kemaknaan dan hubungan
antara variable kategorik table 2x2 adalah Chi Square (X2)
Syarat uji Chi Square adalah :
a. Setiap sel yang mempunyai nilai expected (harapan) sebesar 1
b. Sel-sel dengan frekuensi kurang dari 5 maksimal 20% dari jumlah sel
c. Besar sampel sebaiknya > 4 0
Jika syarat uji Chi Square tidak terpenuhi maka uji alternative yang digunakan
adalah uji Fisher. Untuk interpreatsi hasil menggunakan derajat kemaknaan α (P
alpha) sebesar 10% dengan catatan jika p < 0,1 (p value ≤ p alpha) maka H0 di tolak
(ada hubungan antara variable bebas dengan terikat) sedangkan bila p> 0,1 maka H0
diterima (tidak ada hubungan antara variable bebas denga nterikat). Sedangkan untuk
mengetahui besarnya factor resiko makan digunakan analisis Prevalence Odds Ratio
(POR)
Untuk menghitung POR, data untuk tiap variable dependen dan independen
dimasukkan di dalam tabel, dan diolah menggunakan rumus berikut:
POR = a/b = ad
c/d bc
32
Interpretasi Prevalence Odds Ratio (POR) adalah sebagai berikut :
a. Bila POR = 1, variable yang diduga factor resiko tersebut tidak berpengaruh
dalam terjadinya efek (tidak ada hubungan)
b. Bila POR > 1 dan rentang interval kepercayaan tidak mencakup angka 1 berarti
exposure merupakan factor resiko terjadinya efek
c. Bila POR < 1, dan rentang interval kepercayaan tidak mencakup angka 1 berarti
exposure yang diteliti dapat mengurangi terjadinya efek (factor pencegah)
33
4.9 Alur Penelitian
Rumusan Masalah
Hasil Penelitian
Kesimpulan
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Acik, Y., Hulya, Y.B., Canan, G., Ozge, A., & Nevin I. (2004). Effectiveness of a
Diabetes Education and Control Intervention Program on Blood Glucose
Conttrol for Patient with Type 2 Diabetes in Turkish Community. Southeast Asian
J Trop Med Public Health; 34(4), 1012.
2. American Diabetes Association (ADA). (2013) Diagnosis and Classification of
Diabetes Mellitus. Diabetes Care Journal, 36(1), 67-74
3. World Health Organization (WHO). Department of Noncommunicable Disease
Surveillance Geneva.(1999). Definition, Diagnosis, and Classification of
Diabetes Mellitus and its Complications. Report of a WHO Consultation Part 1 :
Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Geneva : WHO
4. United Kingdom. (2010). Key Statistics on Diabetes in the UK [online]. Dari
http://www.diabetes.org.uk/Documents/Reports/Diabetes_in_the_UK_2010.pdf.
[13 November 2013]
5. Sicree, R., Shaw, J., Zimmet, P. (2012). The Global Burden : Diabetes and
Impaired Glucose Tolerance. IDF Diabetes Atlas 4th edition. Baker IDI Heart and
Diabetes Institute International Diabetes Federation.
6. Kocurek, B. (2009). Promoting Medication Adherence in Older Adults and the
Rest of Us. Diabetes Spectrum Journal: 22(2), 80-84.
7. Salas, M., Dyfrig, H., Alvaro, Z., Kawitha, V., & Maximilian, L. (2009). Costs of
Medication Nonadherence in Patients with Diabetes Mellitus : a Systemic Review
and Critical Analysis of the Literature. Value in Helath; 12(6), 915-920
8. United States. Centers for Disease Control and Prevention. (2013). Medication
Adherence [online]. CDC’s Noon Conference. Source:
http://www.cdc.gov/primarycare/materials/medication/docs/medication-
adherence-01ccd.pdf. [13 November 2013]
9. Delamater, A.M. (2006). Improving Patient Adherence. Clinical Diabetes Journal;
24(2), 771-7.
35
10. World Health Organization (WHO).(2011). Use of Glycated Haemoglobin
(HbA1c) in the Diagnosis of Diabetes Mellitus. Geneva: WHO 1-9.
11. Coppel, K.,et al. (2008). Medication Adherence amongst People with Less than
Ideal Glycaemic Control-the Lifestyle Over and above Drugs in Diabetes
(LOADD study). Diabetes Research and Clinical Practice; 79,572.
12. Setyani. (2007). Hubungan antara Pengetahuan dan Sikap tentang Diabetes
Mellitus dengan Kepatuhan dalam Melaksanakan Diet pada Pasien Diabetes
Mellitus di BRSD RSU RAA Soewondo Kabupaten Pati [skripsi]. Jawa Tengah :
Universitas Diponegoro.
13. Selamet, S., Reno G., Sidartawan, S. (2007). Diabetes Melitus di Indonesia,
Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus, Farmakoterapi pada Pengendalian
DM tipe II. In: Aru W.Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus
Simadibrata K, Siti Setiati, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV.
Jakarta, Indonesia: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran UI, 1852-1863.
14. Schteingart, D. (2006). Pankreas: Metabolisme Glukosa dan Diabetes Melitus.
In: Sylvia A.Price, Lorraine M. Wilson, ed. Patofisiologi: Konsep Klinis Dan
Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1259-
1272.
15. Shahab, A. (2008). Diagnosis dan penatalaksanaan DM. Konsensus Pengelolaan
Diabetes Melitus di Indonesia : Perkeni.
16. Dipiro, J.T., Well, B.G., Scwinghhammer, T.L., & Dipiro, C.V. (2009).
Pharmacotherapy Handbook 7th Edition. USA: McGraw-Hill, 210-226.
17. Perkeni.(2006). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellits Tipe
2 di Indonesia. Jakarta : PB Perkeni.
18. Proks, P., Frank, R., Nick, G., Fiona, G., & Frances A. (2002). Sulfonyurea
Stimulation of Insulin Secretion. Diabetes; 51(3), S369-371
19. The National Diabetes Information Clearing House. (2012). The A1C Test and
Diabetes [online]. The National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney
36
Diseases, National Institute of Health. Dari:
http://diabetes.niddk.nih.gov/dm/pubs/A1CTest/
20. Sikaris, K. (2009). The Correlation of Haemoglobin A1C to Blood Glucose. J
Diabetes Sci Techonology; 3(3): 429-438
21. McMillin, J.M. Blood Glucose. In Walker, HK., Hall, WD., Hurst, JW., ed.
Clinical Methods: the History, Physical, and Laboratory Examinations 3rd Edition.
Boston: Butterworths
22. Morisky, D.E., & DiMatteo, M.R. (2011) The Morisky 8-item Self-Report
Measure of Medication-taking Behaviour (MMAS-8). Journal of Clinical
Epidemiology;64:262-3
37