Anda di halaman 1dari 5

1.

Pemeriksaan penunjang pasien penurunan kesadaran


Pemeriksaan penunjang dibutuhkan untuk mencari etiologinya.
a. Pada pasien dengan tanda dan gejala lesi struktural atau peningkatan tekanan
intrakranial, memerlukan pemeriksaan CT scan atau MRI kepala.

b. Pungsi lumbal dilakukan jika terdapat kecurigaan infeksi intrakranial, asal berhati-
hati dengan resiko herniasi.

c. Jika penurunan kesadaran dicurigai akibat intoksikasi zat tertentu, dapat dilakukan
aspirasi dan analisis isi lambung, juga analisis kromatografi darah dan urin untuk
mengetahui konsentrasi opiat, benzodiazepin, barbiturat, alkohol, dan substansi
toksik lainnya.

d. Spesimen urin dikumpulkan dengan kateter guna menentukan kadar glukosa


keton, dan protein urin. Proteinuria dapat ditemukan 2-3 hari pasca perdarahan
subarakhnoid. Urin dengan kadar glukosa dan keton tinggi ditemukan pada pasien
diabetikum, sedangkan urin dengan glikosuria transien dan hiperglikemia dapat
ditemukan pada pasien dengan lesi serebral

e. Pemeriksaan darah terhadap konsentrasi glukosa, ureum, kreatinin, amonia,


elektrolit, SGOT, dan SGPT perlu dilakukan pada evaluasi awal pasien dengan
mengeksklusi kemungkinan penurunan kesadaran akibat gangguan metabolik.

f. Analisis gas darah hanya jika pasien menunjukan tanda dan gejala insufisiensi
pernapasan atau gangguan asam-basa.

g. Hitung jenis dan apus darah tebal-tipis dilakukan pada pasien dengan riwayat
bepergian ke daerah endemik malaria

h. Leukositosis neutrofilik ditemukan pada kasus infeksi bakteri dan perdarahan


serta infark otak.

i. EEG dilakukan jika pada pemeriksaan awal tidak ditemukan bukti yang adekuat,
untuk menegakkan status epileptikus nonkonvulsif yang dapat menyebabkan
penurunan kesadaran.

2. Tatalaksana pasien penurunan kesadaran

1
Pada kegawatdaruratan medis, hal pertama yang harus selalu diperhatikan adalah
ABC, yaitu Airway, Breathing dan Circulation.

Airway
Harus dipastikan bahwa jalan nafas aman/tidak tersumbat. Integritas jalan nafas
tergantung pada tingkat kesadaran dan fungsi refleks batang otak (refleks muntah,
menelan dan batuk). Bila salah satu terganggu, maka pasien beresiko tinggi
mengalami terjadinya obstruksi jalan nafas dan aspirasi pneumoni. Untuk mencegah
hal tersebut, diperlukan posisi kepala lebih tinggi sekitar 30o dan semi ekstensi pada
leher, bila diperlukan, dipasang pipa orofaring untuk menjaga posisi lidah tidak jatuh
dan memudahkan penyedotan lendir.

Penurunan kesadaran yang berat dengan GCS 8 merupakan indikasi untuk


dilakukan intubasi, yaitu pemasangan endotracheal tube (ETT) atau laryngeal mask
airway (LMA). Pemasangan ETT sebaiknya tidak lebih 2 minggu, bila diperlukan
waktu lebih lama sebaiknya dilakukan trakheostomi. Bila akan dilakukan intubasi, hal
yang perlu diperhatikan adanya stabilitas servikal dan adanya TTIK. Pada trauma
kepala/servikal harus dihindari ekstensi leher yang berlebihan supaya tidak
memperberat kerusakan yang sudah ada, sehingga teknik pemasangan nasotracheal
tube lebih baik daripada orotracheal tube, dan akan lebih aman bila dilakukan dengan
menggunakan fiber optic. Pada keadaan TTIK, intubasi perlu dilakukan dengan cara
cepat (Rapid Sequence Intubation). Pemberian obat sedasi dan pem-blok
neuromuskuler yang adekuat, diikuti lidokain (iv atau intra trakheal) dapat
mengurangi risiko peningkatan TTIK yang mendadak. Juga perlu diperhatikan
kemungkinan adanya hiperkalemi dan perburukan kelemahan otot pada penggunaan
obat pem-blok neuromuskuler golongan depolarizing, terutama pada pasien dengan
gangguan ginjal atau dijumpai kelumpuhan saraf otot. Oleh karena itu, diperlukan
monitoring kardiovaskuler dan pemeriksaan kalium secara berkala.

Breathing
Setelah airway diamankan, harus dipastikan bahwa pernafasan pasien adekuat.
Perhatikan frekuensi dan pola nafas, adanya retraksi/kerja otot-otot pernafasan
tambahan, adanya wheezing atau ronki di paru-paru dan status oksigenasi. Saturasi
oksigen yang diharapkan dari pulse oximetry adalah 92-95%. Bila diperlukan dapat
diberikan oksigen melalui pipa hidung (binasal canul) atau dengan sungkup (simple
mask). Bila target tidak tercapai, lakukan pemeriksaan analisis gas darah (AGD).

2
Bila terjadi kegagalan nafas akut, yaitu bila sistem respirasi gagal mencapai
oksigenasi, ventilasi atau kebutuhan metabolisme, maka perlu dilakukan pemasangan
alat bantu nafas (ventilator). Gagal nafas dapat dibagi 2, yaitu: tipe 1 (hipoksemi) bila
PaO2 < 60 mmHg dan tipe 2 (hiperkapni) bila PaCO 2 > 50 mmHg. Hipoksemi sering
ditemukan pada kerusakan parenkim paru seperti pneumoni, emboli paru dan acute
respiratory distress syndrome (ARDS). Hiperkapni sering ditemukan pada pasien
dengan penyakit neuromuskuler seperti miastenia gravis (MG) dan Gullain Barre
Syndrome. Pada keadaan tertentu dapat terjadi gagal nafas tipe 1 dan 2 secara
bersamaan.

Circulation
Langkah selanjutnya adalah memastikan sirkulasi yang adekuat dan stabilisasi
hemodinamik. Dianjurkan pemasangan Central Venous Catheter (CVC), dengan
tujuan memantau kecukupan cairan, dan juga sebagai sarana untuk memasukkan
cairan serta nutrisi. Usahakan tekanan vena central (CVP) antara 5 12 mmHg.
Berikan cairan kristaloid atau koloid intra vena, hindari pemberian cairan hipotonik
seperti glukosa, terutama pada kelainan serebrovaskuler.

Optimalkan tekanan darah, secara umum target minimal mean arterial pressure
(MAP) adalah 70 mmHg. Hipotensi arterial harus dihindari dan dicari penyebabnya.
Bila terdapat hipovolemia harus dikoreksi dengan larutan salin normal dan aritmia
jantung yang mengakibatkan penurunan curah jantung sekuncup harus dikoreksi. Pada
stroke iskemik dan trauma medulla spinalis, harus diusahakan MAP sekitar 100 120
mmHg untuk mempertahankan cerebral perfussion pressure (CPP) sekitar 70 mmHg.
Bila MAP tidak tercapai dan cairan sudah, mencukupi dapat diberikan obat-obat
vasopresor secara titrasi seperti dopamin, norepinefrin atau epinefrin. Lakukan
monitoring kardiopulmonal secara kontinyu dan segera atasi bila ada kelainan.

Pencegahan dan Penatalaksanaan TIK


Pemantauan ketat terhadap penderita dengan risiko edema serebral harus dilakukan
dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda neurologik. Bila memungkinkan
dilakukan monitoring tekanan intrakranial pada pasien dengan GCD < 9 dan penderita
yang mengalami penurunan kesadaran karena kenaikan tekanan intrakranial. Sasaran
terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan CPP > 70 mmHg.

Penatalaksanaan penderita dengan peningkatan tekanan intrakranial meliputi:

3
- Tinggikan posisi kepala 20-30o. Posisi pasien hendaklah menghindari
penekanan vena jugular.
- Jaga normovolemia atau balans sedikit negatif, hindari pemberian cairan
glukosa atau cairan hipotonik.
- Hipotermia dan hindari hipertermia.

Beberapa cara yang dapat dilakukan: selimut dingin, kompres alkohol topikal, kateter
intravaskuler, lavage nasogastrik dengan air es, ice pack, dan lain-lain.
- Osmoterapi:
Larutan manitol 20% dengan dosis 1-1,5 gr/kgBB intravena habis dalam 15
menit dilanjutkan dengan 0,25 0,5 g/kgBB diulang setiap 4-6 jam, diberikan
selama 5 hari untuk mencegah terjadinya rebounf phenomena. Sebaiknya
osmolalitas darah diperiksa setiap hari selama pemberian osmoterapi dengan
target osmolalitas 310 mOsm/L.

- Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35 40 mmHg)


Hiperventilasi sampai pCO2 30 mmHg mungkin diperlukan bila akan
dilakukan tindakan operatif.

- Paralisis neuromuskuler yang dikombinasi dengan sedasi yang adekuat dapat


mengurangi naiknya TIK dengan cara mengurangi naiknya tekanan
intratorakal dan tekanan vena akibat batuk, suction, bucking ventilator, dan
lain-lain. Obat nondepolarized seperti venkuronium atau pankuronium yang
sedikit berefek pada histamin dan blok pada ganglion lebih baik digunakan.
Pasien dengan kenaikan kritis TIK sebaiknya diberikan relaksan otot sebelum
suctioning atau lidokain sebagai alternatif.

- Kortikosteroid digunakan pada edema serebri vasogenik atau akibat gangguan


pada sawar darah otak, seperti edema pada tumor intrakranial atau meningitis.
Kortikosteroid tidak direkomendasi untuk mengatasi udem otak dan tekanan
tinggi intrakranial pada stroke iskemik.

- Drainase ventrikuler dapat dilakukan bila terjadi hidrosefalus akut.

- Tindakan bedah dekompresif dapat dilakukan pada keadaan TTIK yang


disebabkan oleh efek masa

- Atasi kejang: bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5-20 mg
dan diikuti oleh fenitoin loading dose 15-20 mg/kg bolus dengan kecepatan
maksimum 50 mg/menit. Fenitoin dilarutkan dalam cairan isotonik seperti

4
normal salin, karena memiliki kecenderungan untuk mengkristal pada larutan
hipertonik. Bila kejang belum teratasi maka perlu dirawat di ICU.

Penatalaksanaan Medis Lain


a) Hiperglikemi pada penderita sakit kritis harus diobati, bila diperlukan dapat
diberikan insulin drip dengan target yang harus dicapai adalah normoglikemia.
b) Jika gelisah lakukan terapi psikologi, kalau perlu berikan minor dan mayor
tranquilizer seperti benzodiazepin short acting atau propofol bisa digunakan.
c) Berikan analgesik dan anti muntah sesuai indikasi.
d) Berikan H2 antagonis, apabila ada indikasi (perdarahan lambung).
e) Hati-hati dalam mobilisasi, penyedotan lendir atau memandikan pasien karena
dapat mempengaruhi TIK.
f) Mobilisasi bertahap bila hemodinamik dan pernafasan stabil.
g) Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan katerisasi
intermitten.
h) Rehabilitasi medis.

Anda mungkin juga menyukai