b. Pungsi lumbal dilakukan jika terdapat kecurigaan infeksi intrakranial, asal berhati-
hati dengan resiko herniasi.
c. Jika penurunan kesadaran dicurigai akibat intoksikasi zat tertentu, dapat dilakukan
aspirasi dan analisis isi lambung, juga analisis kromatografi darah dan urin untuk
mengetahui konsentrasi opiat, benzodiazepin, barbiturat, alkohol, dan substansi
toksik lainnya.
f. Analisis gas darah hanya jika pasien menunjukan tanda dan gejala insufisiensi
pernapasan atau gangguan asam-basa.
g. Hitung jenis dan apus darah tebal-tipis dilakukan pada pasien dengan riwayat
bepergian ke daerah endemik malaria
i. EEG dilakukan jika pada pemeriksaan awal tidak ditemukan bukti yang adekuat,
untuk menegakkan status epileptikus nonkonvulsif yang dapat menyebabkan
penurunan kesadaran.
1
Pada kegawatdaruratan medis, hal pertama yang harus selalu diperhatikan adalah
ABC, yaitu Airway, Breathing dan Circulation.
Airway
Harus dipastikan bahwa jalan nafas aman/tidak tersumbat. Integritas jalan nafas
tergantung pada tingkat kesadaran dan fungsi refleks batang otak (refleks muntah,
menelan dan batuk). Bila salah satu terganggu, maka pasien beresiko tinggi
mengalami terjadinya obstruksi jalan nafas dan aspirasi pneumoni. Untuk mencegah
hal tersebut, diperlukan posisi kepala lebih tinggi sekitar 30o dan semi ekstensi pada
leher, bila diperlukan, dipasang pipa orofaring untuk menjaga posisi lidah tidak jatuh
dan memudahkan penyedotan lendir.
Breathing
Setelah airway diamankan, harus dipastikan bahwa pernafasan pasien adekuat.
Perhatikan frekuensi dan pola nafas, adanya retraksi/kerja otot-otot pernafasan
tambahan, adanya wheezing atau ronki di paru-paru dan status oksigenasi. Saturasi
oksigen yang diharapkan dari pulse oximetry adalah 92-95%. Bila diperlukan dapat
diberikan oksigen melalui pipa hidung (binasal canul) atau dengan sungkup (simple
mask). Bila target tidak tercapai, lakukan pemeriksaan analisis gas darah (AGD).
2
Bila terjadi kegagalan nafas akut, yaitu bila sistem respirasi gagal mencapai
oksigenasi, ventilasi atau kebutuhan metabolisme, maka perlu dilakukan pemasangan
alat bantu nafas (ventilator). Gagal nafas dapat dibagi 2, yaitu: tipe 1 (hipoksemi) bila
PaO2 < 60 mmHg dan tipe 2 (hiperkapni) bila PaCO 2 > 50 mmHg. Hipoksemi sering
ditemukan pada kerusakan parenkim paru seperti pneumoni, emboli paru dan acute
respiratory distress syndrome (ARDS). Hiperkapni sering ditemukan pada pasien
dengan penyakit neuromuskuler seperti miastenia gravis (MG) dan Gullain Barre
Syndrome. Pada keadaan tertentu dapat terjadi gagal nafas tipe 1 dan 2 secara
bersamaan.
Circulation
Langkah selanjutnya adalah memastikan sirkulasi yang adekuat dan stabilisasi
hemodinamik. Dianjurkan pemasangan Central Venous Catheter (CVC), dengan
tujuan memantau kecukupan cairan, dan juga sebagai sarana untuk memasukkan
cairan serta nutrisi. Usahakan tekanan vena central (CVP) antara 5 12 mmHg.
Berikan cairan kristaloid atau koloid intra vena, hindari pemberian cairan hipotonik
seperti glukosa, terutama pada kelainan serebrovaskuler.
Optimalkan tekanan darah, secara umum target minimal mean arterial pressure
(MAP) adalah 70 mmHg. Hipotensi arterial harus dihindari dan dicari penyebabnya.
Bila terdapat hipovolemia harus dikoreksi dengan larutan salin normal dan aritmia
jantung yang mengakibatkan penurunan curah jantung sekuncup harus dikoreksi. Pada
stroke iskemik dan trauma medulla spinalis, harus diusahakan MAP sekitar 100 120
mmHg untuk mempertahankan cerebral perfussion pressure (CPP) sekitar 70 mmHg.
Bila MAP tidak tercapai dan cairan sudah, mencukupi dapat diberikan obat-obat
vasopresor secara titrasi seperti dopamin, norepinefrin atau epinefrin. Lakukan
monitoring kardiopulmonal secara kontinyu dan segera atasi bila ada kelainan.
3
- Tinggikan posisi kepala 20-30o. Posisi pasien hendaklah menghindari
penekanan vena jugular.
- Jaga normovolemia atau balans sedikit negatif, hindari pemberian cairan
glukosa atau cairan hipotonik.
- Hipotermia dan hindari hipertermia.
Beberapa cara yang dapat dilakukan: selimut dingin, kompres alkohol topikal, kateter
intravaskuler, lavage nasogastrik dengan air es, ice pack, dan lain-lain.
- Osmoterapi:
Larutan manitol 20% dengan dosis 1-1,5 gr/kgBB intravena habis dalam 15
menit dilanjutkan dengan 0,25 0,5 g/kgBB diulang setiap 4-6 jam, diberikan
selama 5 hari untuk mencegah terjadinya rebounf phenomena. Sebaiknya
osmolalitas darah diperiksa setiap hari selama pemberian osmoterapi dengan
target osmolalitas 310 mOsm/L.
- Atasi kejang: bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5-20 mg
dan diikuti oleh fenitoin loading dose 15-20 mg/kg bolus dengan kecepatan
maksimum 50 mg/menit. Fenitoin dilarutkan dalam cairan isotonik seperti
4
normal salin, karena memiliki kecenderungan untuk mengkristal pada larutan
hipertonik. Bila kejang belum teratasi maka perlu dirawat di ICU.