Anda di halaman 1dari 26

• Cairan lain: Ringer-laktat, NaCI 0,9%.

Harus
dikombinasi dengan cairan lain, karena cepat keluar ke
ruangan ekstravaskular.
- Untuk memperoleh hasil yang optimal, letakkan botol infus
setinggi mungkin dan gunakan jarum yang besar; bila perlu
gunakan beberapa vena sekaligus, dan lakukan venaseksi.
- Pengawasan yang perlu :
• Auskultasi paru untuk mencari tanda overhidrasi,
berupa ronki basah halus dibasal akibat edema paru.
• CVP ( bila mungkin) dipertahankan pada 16-19
cmH2O.
• Pengukuran diuresis melalui pemasangan kateter,
pertahankan sekitar 30 mL/jam.
- Kecuali pada syok ireversibel, perbaiki keadaan biasanyan
tercapai setelah pemberian kurang lebih 3000 mL cairan
koloid (plasma / ekspender), bla digunakan cairan nonkoloid
bisa sampai 8000mL.
a. Pemberian obat-obatan suportif
- Vasodilator
Dapat diberikan setelah terdapat perbaikan umum, sambil
terus diberikan cairan, dengan tujuan:
• Diagnostik: bial terjadi penurunan tekanan darah
berarti ubuh masih kekurangan caitan
• Terapeutik: untuk memperbaiki perfusi organ penting
dengan membuka pre dan post-capillary sphincter.
• Isoproterenol (isuprel)
 Dosis 2 mg dalam 500 mL glukosa 5-10%
 Tetesan disesuikan untuk mempertahankan
tekanan sistolik disekitar 60mmHg
 Tidak dapat diberikan bila frekuensi jantung
>120x/menit atau diketahui mempunyai
kelainan jantung karena mempunyai efek

Page 1
memperbesar kebutuhan oksigen jantung
mempertinggi irritabilitas miokardium.
 Hentikan pengobata bila frekuensi jantung
≥150/menit atau aritmia.
- Koreksi asidosis
Dinerikan Na-bikarbonat dengan dosis (0,3x BBx base excess)
meq IV.
- Diuresis bila tekanan darah CVP telah membaik tetapi diuresis
tetap <30 mL/jam, berikan menitol 20% 100 mL per drip dalam
waktu 1 jam (Purwadianto, 2013).

1. Penatalaksanaan Syok Anafilaktik


Penatalaksanaan syok anafilaktik menurut Haupt MT and Carlson
RW (1989,hal 993-1002) adalah Kalau terjadi komplikasi syok
anafilaktik setelah kemasukan obat atau zat kimia, baik peroral
maupun parenteral, maka tindakan yang perlu dilakukan, adalah:
a. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat
lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik
vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan
tekanan darah.
b. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:
1) Airway (membuka jalan napas). Jalan napas harus dijaga tetap
bebas, tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang
tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh
ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan
ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut.
2) Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan
bila tidak ada tanda-tanda bernapas, baik melalui mulut ke
mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai
udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan
napas total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan
jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga
harus diberikan bantuan napas dan oksigen. Penderita dengan

Page 2
sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih
aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau
trakeotomi.
3) Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri
besar (a. karotis, atau a. femoralis), segera lakukan kompresi
jantung luar.

Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan


bantuan hidup dasar yang penatalaksanaannya sesuai dengan protokol
resusitasi jantung paru (Thijs, 1996).

- Segera berikan adrenalin 0.3–0.5 mg larutan 1 : 1000 untuk


penderita dewasa atau 0.01 mk/kg untuk penderita anak-anak,
intramuskular. Pemberian ini dapat diulang tiap 15 menit sampai
keadaan membaik. Beberapa penulis menganjurkan pemberian
infus kontinyu adrenalin 2–4 ug/menit.
- Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin
kurang memberi respons, dapat ditambahkan aminofilin 5–6
mg/kgBB intravena dosis awal yang diteruskan 0.4–0.9
mg/kgBB/menit dalam cairan infus.
- Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg
atau deksametason 5–10 mg intravena sebagai terapi penunjang
untuk mengatasi efek lanjut dari syok anafilaktik atau syok yang
membandel.
- Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur
intravena untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke
ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok
anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah
dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis
cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan
perdebatan didasarkan atas keuntungan dan kerugian mengingat
terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada
dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan
jumlah 3–4 kali dari perkiraan kekurangan volume plasma.

Page 3
Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat
kehilangan cairan 20–40% dari volume plasma. Sedangkan bila
diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama
dengan perkiraan kehilangan volume plasma. Tetapi, perlu
dipikirkan juga bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran
juga bisa melepaskan histamin.
- Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok
anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam
perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita
di tempat kejadian sudah harus semaksimal mungkin sesuai dengan
fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh
dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang
dengan kaki lebih tinggi dari jantung.
- Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat
dipulangkan, tetapi harus diawasi/diobservasi dulu selama kurang
lebih 4 jam. Sedangkan penderita yang telah mendapat terapi
adrenalin lebih dari 2–3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit
semalam untuk observasi.

2. Penatalaksanaan Syok Neurogenik


Konsep dasar untuk syok distributif adalah dengan pemberian
vasoaktif seperti fenilefrin dan efedrin, untuk mengurangi daerah
vaskuler dengan penyempitan sfingter prekapiler dan vena kapasitan
untuk mendorong keluar darah yang berkumpul ditempat tersebut.
Penatalaksanaannya menurut (Wilson R F, 1981) adalah:
a. Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki
(posisi Trendelenburg).
b. Pertahankan jalan nafas dengan memberikan oksigen, sebaiknya
dengan menggunakan masker. Pada pasien dengan distress
respirasi dan hipotensi yang berat, penggunaan endotracheal tube
dan ventilator mekanik sangat dianjurkan. Langkah ini untuk
menghindari pemasangan endotracheal yang darurat jika terjadi
distres respirasi yang berulang. Ventilator mekanik juga dapat

Page 4
menolong menstabilkan hemodinamik dengan menurunkan
penggunaan oksigen dari otot-otot respirasi.
c. Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang dengan
resusitasi cairan. Cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer
Laktat sebaiknya diberikan perinfus secara cepat 250-500 cc bolus
dengan pengawasan yang cermat terhadap tekanan darah, akral,
turgor kulit, dan urin output untuk menilai respon terhadap terapi.
d. Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak segera pulih, berikan
obat-obat vasoaktif (adrenergik; agonis alfa yang indikasi kontra
bila ada perdarahan seperti ruptur lien) :
1) Dopamin: Merupakan obat pilihan pertama. Pada dosis > 10
mcg/kg/menit, berefek serupa dengan norepinefrin. Jarang
terjadi takikardi.
2) Norepinefrin: Efektif jika dopamin tidak adekuat dalam
menaikkan tekanan darah. Epinefrin. Efek vasokonstriksi
perifer sama kuat dengan pengaruhnya terhadap jantung
Sebelum pemberian obat ini harus diperhatikan dulu bahwa
pasien tidak mengalami syok hipovolemik. Perlu diingat obat
yang dapat menyebabkan vasodilatasi perifer tidak boleh
diberikan pada pasien syok neurogenik.
3) Dobutamin: Berguna jika tekanan darah rendah yang
diakibatkan oleh menurunnya cardiac output. Dobutamin dapat
menurunkan tekanan darah melalui vasodilatasi perifer.

1. Sejak 3 hari yang lalu, panas tinggi terus menerus namun tidak disertai kejang
dan tidak disertai batuk pilek. Sejak tadi pagi, panas sudah mulai turun.
a. Apa makna Sejak 3 hari yang lalu, panas tinggi terus menerus namun tidak
disertai kejang dan tidak disertai batuk pilek. Sejak tadi pagi, panas sudah
mulai turun?
Jawab
- Pada DBD (Demam Berdarah Dengue) tipe demam yang dialami
adalah tipe demam siklik, yaitu kenaikan suhu badan selama beberapa

Page 5
hari yang diikuti oleh periode bebas demam untuk beberapa hari yang
kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula.
- Makna 3 hari yang lalu panas tinggi dan tadi pagi panas sudah turun
menunjukkan fase dari DBD yang mana terdapat 3 fase yaitu fase
demam (hari sakit ke 1-3), fase kritis/syok (hari sakit ke 4-7), atau fase
penyembuhan (hari sakit lebih dari 7). Pada kasus kemungkinan telah
memasuki fase kritis/syok (Raihan, 2010).
- Makna tidak disertai kejang: kemungkinan demam tersebut tidak
sampai mengganggu set point termal di hipotalamus dan
memnyebabkan gangguan neurologis berupa kejang demam.
- Makna tidak disertai batuk dan pilek: kemungkinan tidak ada infeksi
dan gangguan pada traktus respiratorius bagian atas.
- Makna Sejak tadi pagi, panas sudah mulai turun : telah memasuki fase
penurunan demam (fase febris) yang terjadi pada hari ke 3- 5,
dikatakan sebagai periode kritis (the time of deversescense) dimana
terjadi perembesan plasma dan merupakan fase awal kegegalan
sirkulasi yang dapat menyebabkan syok, anoksia dan kematian
(Raihan, 2010).

b. Bagaimana hubungan riwayat demam dengan keluhan lesu disertai tangan


dan kaki dingin?
Jawab :
Hubungannya yaitu kemungkinan telah terjadi infeksi virus dengue
yang mana pada fase awal yaitu demam selama 1-3 hari. Adapun Gejala
klinis pada pasien DBD didahului oleh demam disertai gejala yang tidak
spesifik seperti anoreksia, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri perut dan nyeri
kepala. Hal ini terjadi karena sel fagosit mononuklear (monosit, makrofag,
histiosit, dan sel Kupffer) merupakan tempat terjadinya infeksi primer
virus dengue. Lalu fase DBD yang kedua adalah fase kritis/syok yaitu
terjadi pada hari ke 4-7. Kebocoran plasma terhebat terjadi setelah demam
tiga hari dan berlangsung selama 24-48 jam. Jadi pada kasus riwayat
demam Boni merupakan penyebab timbulnya lesu dan akral dingin/ telah
tejadi syok hipovolemik (Raihan, 2010).

Page 6
Sintesi :
Fase pelana kuda terbagi menjadi 3 fase :
a. Hari 1-3 fase demam tinggi
Demam mendadak tinggi, dan disertai sakit kepala hebat, sakit
dibelakang mata, badan ngilu dan nyeri, serta mual atau muntah, kdang
disertai bercak merah dikulit
b. Hari 4-5 fase kritis
Fase demam turun drastic dan sering mengiceh seolah terjadi
kesembuhan, namun inilah fase kritis kemungkinan terjadi “Dengue
shock syndrome”
c. Hari 6-7 fase penyembuhan
Fase demam kembali tinggi sebagai bagian dari reaksi terhadap
penyembuhan (Raihan, 2010).

c. Apa saja jenis-jenis demam?


Jawab
1. Demam septik
Pada tipe demam septik, suhu badan berangsur naik ke tingkat
yang tinggi sekali ada malam hari dan turun kembali ke tingkat diatas
normal pada pagi hari. Sering disertai keluhan menggigil dan
berkeringat. Bila demam yang tinggi tersebut turun ke tingkat yang
normal dinamakan juga demam hektik.
2. Demam Remitten
Pada tipe demam remitten, suhu badan dapat turun setiap hari
tetapi tidak pernah mencapai suhu badan normal. Contoh : thypoid
fever, infeksi virus & mycoplasma. Perbedaan suhu yang mungkin
tercatat dapat mencapai dua derajat dan tidak sebesar perbedaan suhu
yang dicatat pada demam septik.
3. Demam Intermitten
Pada demam intermitten, suhu badan turun ke tingkat yang
normal selama beberapa jam dalam satu hari. Bila demam seperti ini
terjadi setiap dua hari sekali disebut tersiana dan bila terjadi dua hari

Page 7
bebas demam diantara dua serangan demam disebut kuartana,
contohnya Malaria.
4. Demam Kontinyu
Pada tipe demam kontinyu variasi suhu sepanjang hari tidak
berbeda lebih dari satu derajat. Pada tingkat demam yang terus
menerus tinggi sekali disebut hiperpireksia, contohnya Pneumonia
5. Demam Siklik
Pada tipe demam siklik terjadi kenaikan suhu badan selama
beberapa hari yang diikuti periode bebas demam untuk beberapa hari
yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu tubuh seperti semula.
Contoh : Limfoma Hodgkin's (Nelwan, 2009 dan El-Radhi, 2009).
Pada DBD tipe demam yang dialami adalah tipe demam siklik,
dan pada DBD terdapat 3 fase yaitu fase demam tinggi, Fase kritis
dan fase penyembuhan. Pada kasus ini telah terjadi fase kritis dimana
terjadi penurunan suhu, yang mengarah ke dengue shock syndrome
(Isselbacher et al, 1999).

d. Apa peyenbab demam pada kasus?


Jawab
Kemungkinan infeksi virus dengue yang mana dapat ditularkan oleh
nyamuk Aedes aegypti dan Ae.albopictus yang terinfeksi. Host alami DBD
adalah manusia, agentnya adalah virus dengue yang termasuk ke dalam
famili Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1,
Den-2, Den3 dan Den-4. Masa inkubasi ekstrinsik (di dalam tubuh
nyamuk) berlangsung sekitar 8-10 hari, sedangkan inkubasi intrinsik
(dalam tubuh manusia) berkisar antara 4-6 hari dan diikuti dengan respon
imun (Chandra, 2010).

Page 8
e. Bagaimana patofisiologi panas tinggi terus menerus namun tidak disertai
kejang dan tidak disertai batuk pilek. Sejak tadi pagi, panas sudah mulai
turun?
Jawab
Patofisiologi demam:
Infeksi (eksotoksin)  peningkatatan endotoksin, sitokin, dan
proinflamasi  peningkatan prostaglandin  prostaglandin dilepaskan ke
jaringan sekitar hipotalamus anterior  inhibisi firing rate di warm
sensitive neurons (peningkatan set point)  sel diteruskan ke neuron
otonom di nukleus paraventrikular lalu diproyeksikan ke batang otak,
medulla spinalis (sistem otonom)  demam (Guyton, 2014).

2. BAB biasa namun tidak BAK sejak 12 jam yang lalu.


a. Bagaimana hubungan BAB biasa namun tidak BAK sejak 12 jam yang
lalu dengan keluhan utama ?
Jawab
• Hubungan BAB biasa menyingkirkan penyebab syok akibat diare.
• Hubungan tidak BAK sejak 12 jam (anuria ) merupakan tanda-tanda
syok hipovolemia derajat berat. Jadi, keluhan tersebut berhubungan
bahwa kemungkinan Boni telah mengalami syok hipovolemia derajat
berat (Price dan Wilson, 2005).

b. Bagaimana frekuensi normal BAK pada anak ?


Jawab

Umur (Tahun) Volume Urin (ml/24 jam)


Neonatus
- 1-2 hari - 15-60
- 4-12 hari - 100-300
- 15-60 hari - 250-450
Anak
- 1 - 500
- 3 - 600

Page 9
- 5 - 700
- 7-8 - 1000
- 15 - 1500
Pengeluaran urine normal :
• bayi baru lahir sampai dengan umur 1 tahun adalah 2 ml/kgBB/jam.
• anak-anak 1,5 ml/kgBB/jam.
• anak yang lebih besar 1 ml/kgBB/jam.
• masa akil baliq sama dengan dewasa adalah 0.5 ml/kgBB/jam.

Pada kasus: anak 4 tahun  volume normal urine 1 ml/kgBB/jam  BB


16 kg = 16 ml/kgBB/jam  selama 12 jam, urine yg seharusnya
dikeluarkan 180 ml/kgBB/jam.

c. Bagaimana patofisiologi dari tidak BAK sejak 12 jam ?


Jawab
Kebocoran plasma (Plasma leakage) Volume cairan darah menurun 
Hipoperfusi pada organ tubuh (Ginjal, Jantung, dll)  Ginjal
mengeluarkan hormon aldosteron  Penyerapan air dan natrium
meningkat  Urine yang dihasilkan sedikit  anuria (Price and Wilson,
2005).

3. Primary survey:
- Airway : bisa berbicara jika dipanggl namanya dengan suara keras.
- Breathing : pernapasan 30x/menit, suara napas kiri dan kanan vesikuler,
ronkhi tidak ada, wheezing tidak ada.
- Circulation : tekanan darah tidak terukur, nadi sulit teraba,
ekstremitas terlihat pucat dan teraba dingin, capillary refilled time >3
detik, sumber perdarahan tidak tampak. Dokter IGD melakukan tindakan
pertolongan pertama, yaitu memposisikan anak dalam posisi hirup
kemudian saat akan memberikan cairan resusitasi, akses vena sulit didapat.
- Disability : membuka mata dengan panggilan, gerakan ekstremitas dengan
rangsangan nyeri,mengerang, pupil isokor, refleks cahaya (+)
- Exposure :

Page 10
1) Suhu 36°C
2) Rumpled leed (+)
3) Kutis marmorata
a. Bagaiaman interpretasi dari pemeriksaan fisik primary survey pada kasus ?
Jawab

Keadaan Normal Interpretasi

Airway:

Berbicara jika dipanggil Sadar Abnormal

namanya dengan keras

Breathing: Normal 16-


Takipnea
Pernapasan 30x/menit 24x/menit

Suara nafas kiri dan kanan


Vesikuler Normal
vesikuler

Rongki dan
Ronki tidak ada dan
wheezing tidak Normal
wheezing tidak ada
ada

Circulation:

Tekanan darah tidak terukur, Tekanan darah

nadi sulit teraba, ekstremitas dapat diukur, nadi

terlihat pucat dan teraba teraba, Syok

dingin, capillary refill time > ekstremitas

3 detik, sumber perdarahan hangat,

tidak napak

Disability : GCS = 15 GCS 10

E : Membuka mata dengan Penurunan


panggilan=3 kesadaran sedang

M : gerakan ekstremitas
dengan rangsang nyeri=5

Page 11
V : mengerang =2

Exposure: Suhu normal


Hipotermis
Suhu 36 C 0 36,50C - 37,50C

Terdapat > 20
ptechiae pada
lingkaran dengan
Rumple leed (+) Rumple leed (-) diameter 2,8 cm.
Pecahnya kapiler
akibat kerapuhan
pembuluh darah.
Karena mengalami
Kutis marmorata Abnormal
hipotermia

b. Bagaimana mekanisme abnormal dari pemeriksaan fisik primary survey


pada kasus ?
Jawab
 Takipnea
Infeksi virus dengue  terjadi replikasi virus  kompleks virus
antibody  agregasi trombosit  penghancuran trombosit  perdarah
massif  O2 di jaringan meurun  kompensasi tubuh  peningkatan
pengambilan O2  RR meningkat  takipnea.

 Tekanan darah tidak teratur


Permeabilitas dinding pembuluh darah meningkat  Kebocoran
plasma hipovolemia Aliran balik vena menurun  Isi sekuncup
menurun Curah jantung menurun  Tekanan darah tidak terukur.
 Nadi sulit teraba
Permeabilitas dinding pembuluh darah meningkat  Kebocoran
plasma hipovolemia Aliran balik vena menurun  Isi sekuncup
menurun  nadi melemah nadi tidak teraba.
 Nadi filiformis, TD tidak terukur, Capillary Refilled Time > 3
detik:
Page 12
Syok Hipovolemik  penurunan curah jantung  penurunan CO 
aktivasi simpatis  vasokontriksi perifer  penurunan aliran darah
perifer  perfusi ke jaringan tidak adekuat  TD tidak terukur 
nadi filiformis  Capillary Refilled Time > 3 detik. (Silbernagl, 2014).
 Hipotermia
Infeksi virus dengue → plasma leakage  trombositopenia →kardiak
output berkurang→ perfusi darah diutamakan untuk organ-organ
penting → perfusi darah ke kulit berkurang → hipotermi
 Frekuensi nafas 30x/menit :
Syok Hipovolemik  penurunan curah jantung  penurunan CO 
aktivasi simpatis  pengeluaran epineprin  vasokontriksi perifer 
penurunan aliran darah perifer  peningktatan usaha mendapatkan O2
untuk organ vital  Frekuensi Nafas 44x/menit atau Takipneu.
(Silbernagl, 2014).
 Teraba dingin :
virus dengue (antigen)  bereaksi dengan tubuh membentuk
kompleks antigen-antibodi menghasilkan Anafilatoksin ↑
permeabilitas pembuluh darah  kebocoran pembuluh darah kapiler
 plasma darah keluar dari intravascular ke ekstravaskular  volume
darah ↓  CO ↓  aliran darah ke perifer ↓  acral teraba dingin
(Silbernagl, 2014).

 Rumple leed (+)


Dibendungnya aliran darah bagian lengan atas  aliran darah
terhambat pd area fossa cubiti  timbul ptechie (spot merah yang
timbul / kerapuhan vaskuler) +/- 4 cm dibawah fossa cubiti (fragilitas
pembuluh darah menurun)rumple leede test (+)(Silbernagl, 2014).
 Kutis marmorata
Syok  penurunan perfusi jaringan  penurunan aliran darah ke
perifer  pengisian darah di kapiler perifer tidak rata  kutis
marmorata (Silbernagl, 2014).

4. Secodary survey:

Page 13
- Kepala:
a. Mata : konjungtiva tidak pucat
b. Hidung : napas cuping hidung tidak ada
c. Telinga : tidak ada kelainan
d. Mulut : bibir kering
- Leher: dalam batas normal, vena jugularis datar (tidak distensi)
- Thoraks:
a. Inspeksi : gerak nafas simetris, retraksi tidak ada, frekuensi nafas
30x/menit
b. Palpasi : iktus kordis teraba pada ICS 5 midclavicula sinistra,
strem fremitus kanan kiri sama
c. Perkusi : batas jantung normal, sonor pada kanan dan kiri
d. Auskultasi : suara jantung jelas dan reguler, suara paru vesikuler,
ronki tidak ada, wheezing tidak ada
- Abdomen:
a. Inspeksi : datar
b. Palpasi : lemas, nyeri tekan (-),hepar lien dalam batas normal
c. Perkusi : timpani
d. Auskultasi : bising usus dalam batas normal
- Ekstremitas inferior dan superior: akral dingn capillary refilled time >3
detik.

a. Bagaiaman interpretasi abnormal dari pemeriksaan fisik secondary survey


pada kasus ?
Jawab

Keadaan Normal Interpretasi


Mulut: bibir kering Tidak kering Dehidrasi
Ekstremitas inferior ekstremitas syok
dan superior : akral hangat
dingin,
capillary refilled time > <2 detik Tanda syok
3

Page 14
b. Bagaimana mekanisme abnormal dari pemeriksaan fisik secondary survey
pada kasus ?
Jawab

Akral dingin Capillary refilled time > 3


Suspek DBD  aktivasi komplemen (kinin, komplemen C3a da C5a,
serta histamin yang dihasilkan oleh sel mast, kerusakan sel endotel kapiler
 plasma leakage  Kebocoran plasma darah + Melena  hipovolemi
 refleks simpatis  Vasokonstriksi yang paling kuat terjadi pada
pembuluh darah skeletal, sphlanchnic dan kulit, sedang pada pembuluh
darah otak dan koronaria tidak terjadi vasokonstriksi  suhu tubuh perifer
menjadi dingin dan kulit menjadi pucat + Capillary refilled time > 3
(Silbernagl, 2014).

5. Kondisi Boni memburuk,kesadaran semakin menurun, frekuensi nafas


10x/menit, nadi tidak teraba. Dokter IGD mencoba resusitasi intraosseus tetapi
boni tidak dapat tertolong.
a. Bagaimana interpretasi dari kesadaran Boni semakin menurun, frekuensi
nafas 10x/menit, nadi tidak teraba?
Jawab
Interpretasinya sudah mengalami syok berat. Lebih lanjut, ketika
mekanisme kompensasi tidak dapat lagi mempertahankan homeostasis
tubuh akan dijumpai penurunan kesadaran, hipotermia atau hipertermia,
penurunan produksi urine, asidosis metabolik atau peningkatan kadar
laktat darah. Selanjutnya tekanan darah menurun hingga tidak terukur,
nadi tidak teraba, kesadaran semakin menurun, anuria, disertasi kegagalan
sistem organ lain (IDAI,2009).

Page 15
b. Bagaimana patofisiologi dari kesadaran Boni semakin menurun, frekuensi
nafas 10x/menit, nadi tidak teraba?
Jawab
 Kesadaran menurun
Permeabilitas dinding pembuluh darah meningkat  Kebocoran
plasma hipovolemia sirkulasi darah ke otak inadekuat 
kompensasi tidak dapat lagi mempertahankan homeostasis
(dekompensasi)  penurunan kesadaran (Silbernagl, 2014).

 Nadi tidak teraba


Permeabilitas dinding pembuluh darah meningkat  Kebocoran
plasma hipovolemia Aliran balik vena menurun Isi sekuncup
menurun nadi melemah kompensasi tidak dapat lagi
mempertahankan homeostasis (dekompensasi)  nadi tidak teraba
(Silbernagl, 2014).

c. Apa saja jenis-jenis cairan resusitasi ?


Jawab
Ada dua jenis cairan pengganti cairan tubuh :
1. Cairan kristaloid : merupakan cairan yang mengandung
partikel dengan berat molekul (BM) rendah (<8000 Dalton),
dengan atau tanpa glukosa.
Tekanan onkotik rendah, sehingga cepat terdistribusi ke seluruh
ruang ekstraseluler.
Contoh cairan kristaloid:
a. Larutan ionic
 Ringer Lactat (RL)
Merupakan cairan paling fisiologis jika sejumlah volume besar
+ + - ++
diperlukan. Komposisi : Na 130, K 4, Cl 109, Ca 3,
-
Lactate 28

Page 16
Indikasi : sebagai replacement therapy, seperti syok
hipovolemik, diare, trauma, luka bakar.
Catatan :
 Laktat yang terdapat di dalam RL akan
dimetabolisme oleh hati menjadi bikarbonat untuk
memperbaiki keadaan seperti asidosis metabolik
 Kalium yang terdapat di dalam RL tidak cukup untuk
maintenance sehari-hari, apalagi untuk defisit kalium
 Tidak mengandung gukosa sehingga bila dipakai
sebagai cairan maintenance harus ditambah glukosa
untuk mencegah terjadinya ketosis

 Ringer Acetate
+ - ++ –
Komposisi : Na 130, K+ 4, Cl 109, Ca 3, Acetate 28
Indikasi : digunakan sebagai terapi pengganti cairan pada
pasien dengan gangguan hepar, karena metabolisme asetat
terjadi di otot, berbeda dengan laktat yang dimetabolisme di
hati (hepar).
 NaCl physiologic (0,9% saline
+ -
Komposisi : Na 154 Cl 154
Digunakan sebagai cairan resusitasi (Replacement Therapy)

+
terutama untuk kasus kadar Na rendah, keadaan dimana RL
tidak cocok digunakan, misalnya pada alkalosis, retensi
kalium, cairan pilihan untuk trauma kapitis, dipakai untuk
mengencerkan darah merah sebelum transfusi.
Kekurangan cairan ini:
-
 Tidak mengandung HCO3
+
 Tidak mengandung K
+ -
 Kadar Na dan Cl relatif tinggi sehingga dapat
terjadi acidosis hyperchloremia, acidosis dilutional

Page 17
dan hypernatremia.
 Hartmann’s solution :Non-ionik
 Dextrose 5% dan 10%
Indikasi : digunakan sebagai cairan maintenance pada pasien
dengan pembatasan intake natrium atau cairan pengganti pada
pure water deficit, dan penggunaan perioperatif.
Kekurangan :
 Tidak mengandung elektrolit
 Cairan hipotonik sehingga menambah volume intrasel
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya edema anasarka
(edema seluruh tubuh).
 Menyebabkan hiponatremia dan hipokloremia (gangguan
keseimbangan elektrolit).
2. Cairan Koloid : merupakan cairan yang mengandung zat dengan
BM tinggi (>8000 Dalton), misalnya protein. Tekanan onkotik tinggi
sehingga sebagian besar akan tetap tinggal di ruang intravaskuler.
Contohnya plasma protein fraction (plasmanat), albumin, blood
product (fresh frozen plasma, red blood cells concentration,
cryoprecipitate), koloid sintetik (dextran, hetastarch, gelatin)
(Stoelting dan Hillier, 2006).

d. Bagaimana cara melakukan resusitasi intraosseus ?


Jawab
1. Tempatkan penderita dengan posisi terlentang. Pilih extremitas inferior
yang tidak cedera, taruh lapisan (padding) secukupnya dibawah
lututuntuk mendapatkan bengkokan lutut sekitar 30° dan biarkan tumit
penderita terletak dengan santai di atas usungan.
2. Cuci tangan dan pasang sarung tangan
3. Tentukan tempat pungsi (permukaan anteromedial dan proksimal
tulang betis), sekitar 1-3 cm dibawah tuberositas tibia
4. Bersihkan kulit disekeliling daerah pungsi dengan baik dan pasang
kain steril disekelilingnya
5. Bila penderita sadar, gunakan anastesi lokal ditempat pungsi.

Page 18
6. Pada permulaan dengan posisi jarum 90° masukkan jarum aspirasi
sumsum tulang caliber besar ke dalam kulit dan periostium dengan
sudut jarum diarahkan ke kaki menjauhi lapisan epiphysis.
7. Setelah memeroleh empat masuk tulang, arahkan jarum 45 derajat – 60
menjauhi lapisan epiphysis.
8. Suntikan cairan saline ke dalam jarum untuk mengeluarkan bekuan
yang mungkin menyumbat jarum.
9. Bil cairan saline disuntikkan dengan mudah dan tidak ada bukti
pembengkakan, berarti jarum berada di tempat yang benar. Bila
sumsum tulang tidak aspirasi seperti yang diuraikan pada point 7,
tetapi cairan saline yang diinjeksi mengalir dengan mudah tanpa bukti
pembengkakan, jarum berada di tempat yang benar. Sebagai tambahan,
penempatan jarum yang benar, tertanda bila jarum tegk lurus tanpa
bantuan dan larutan intravena mengalir bebas tanpa bukti infiltrasi di
bawah kulit.
10. Hubungkan jarum dengan selang infus, dan mulailah infus cairan.
Jarumnya kemudian di putar masuk lebih jauh ke dalam medulla
sampai pusat jarum berada di kulit penderita. Bila digunakan jarum
licin, jarum itu harus distabilkan dengan sudut 45° sampai 60° dengan
permukaan anteomedial dari kaki anak.
11. Berikanlah salep antibiotik dan perban steril ukuran 3x3. Fiksasi IV
kateter dan selan infus dengan plaster.
12. Secara rutin lakukan evaluasi ualng mengenai tempat jarm intraosseus,
dengan memastikan bahwa jarumnya tetap di dalam korteks tulang dan
di saluran medulla. Ingat, infus intraosseus harus dibatasi pada
resusitasi darurat anak dan dihentikan segera begitu terdapat akses
vena lain ( Tambunan, 1990).

13. Bagaimana cara mendiagnosis pada kasus?


Jawab:
1. Anamnesis
a. Keluhan utama : Boni, laki-laki berusia 4 tahun BB 16 kg tampak lesu
sejak 12 jam yang lalu.

Page 19
b. Keluhan penyerta : Keluhan juga disertai tangan dan kaki dingin. Sejak
tadi pagi, panas sudah mulai turun. BAB biasa namun tidak BAK sejak
12 jam yang lalu.
c. Riwayat penyakit sekarang: Sejak 3 hari yang lalu, panas tinggi terus
menerus namun tidak disertai kejang dan tidak disertai batuk pilek.
2. Pemeriksaan fisik:
1) Primary survey:
- Airway : bisa berbicara jika dipanggl namanya dengan suara
keras.
- Breathing : pernapasan 30x/menit, suara napas kiri dan kanan
vesikuler, ronkhi tidak ada, wheezing tidak ada.
- Circulation : tekanan darah tidak terukur, nadi sulit teraba,
ekstremitas terlihat pucat dan teraba dingin, capillary refilled time
>3 detik, sumber perdarahan tidak tampak. Dokter IGD melakukan
tindakan pertolongan pertama, yaitu memposisikan anak dalam
posisi hirup kemudian saat akan memberikan cairan resusitasi,
akses vena sulit didapat.
- Disability : membuka mata dengan panggilan, gerakan ekstremitas
dengan rangsangan nyeri,mengerang, pupil isokor, refleks cahaya
(+)
- Exposure :
a. Suhu 36
b. Rumpled leed (+)
c. Kutis marmorata
2) Secodary survey:
- Mulut : bibir kering
- Ekstremitas inferior dan superior: akral dingn capillary refilled
time >3 detik
3) Kondisi boni memburuk,kesadaran semakin menurun, frekuensi
nafas 10x/menit, nadi tidak teraba. Dokter IGD mencoba resusitasi
intraosseus tetapi boni tidak dapat tertolong.

14. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada kasus?

Page 20
Jawab

1. Pemeriksaan Darah Rutin


2. Kimia Darah
3. Pemeriksaan Hemostasis
4. Uji diagnostik: Isolasi Virus (chen, 2009).

15. Bagaimana diagnosis kerja pada kasus?


Jawab
Syok Hipovolemik derajat berat et causa Dengue Syok Sindrom.

16. Bagaimana tatalaksana pada kasus?


Jawab
1. Pertahankan jalan napas, berikan oksigen (FiO2 100%), bila perlu berikan
tunjangan ventilator
2. Pasang akses vaskular secepatnya (60-90 detik), lalu berikan cairan
kristaloid 20ml/kgBB dalam waktu kurang 10 menit. Nilai respon terhadap
pemberian cairan dengan menilai perubahan denyut nadi dan perfusi
jaringan. Respon yang baik ditandai dengan penurunan denyut
nadi,perbaikan perfusi jaringan dan perbaikan tekanan darah bila terdapat
hipotensi sebelumnya.
3. Pasang kateter urin untuk menilai sirkulasi dengan mamantau produksi
urin.
4. Penggunaan koloid, dalam jumlah yang terukur dapat dipertimbangkan
untuk mengisi volume intravaskular.
5. Pemberian cairan resusitasi dapat diulangi, bila syok belum teratasi,
hingga volume intravaskular optimal. Target resusitasi cairan:
 Capillary refil time kurang dari 2 detik
 Kualitas nadi perifer dan sentral sama
 Akral hangat
 Produksi urine >1 ml/kg/jam
 Kesadaran normal

Page 21
6. Pemberian cairan resusitasi dihentikan bila penambahan volume tidak lagi
mengakibatkan perbaikan hemodinamik, dapat disertai terdapatnya ronki
basah halus tidak nyaring, peningkatan tekanan vena jugular atau
pembesaran hati akut.
7. Periksa dan atasi gangguan metabolik seperti hipoglikemi, hipokalsemi
dan asidosis. Sedasi dan pemasangan ventilator untuk mengurnagi
konsumsi oksigen dapat dipertimbangkan.
8. Bila syok belum teratasi, lakukan pemasangan vena sentral. Bila tekanan
vena sentral kurang dari 10 mmHg, pemberian cairan resusitasi dapat
dilanjutkan.
9. Bila syok belum teratasi, berikan dopamin 2−10 μg /kg/¿ menit atau
dobutamin 5-20 μg/ kg /¿ menit.
10. Bila syok belum teratasi, berikan epinefrin 0,05−2 μg /kg/ ¿ menit, bila
akral dingin (vasokonstriksi) atau norepinefrin 0,05−2 μg /kg/ ¿ menit, bila
akral hangat (vasodilatasi pada syok distributif). Pada syok kardiogenik
dengan resistensi vaskular tinggi, dapat dipertimbangkan milrinone yang
mempunyai efek inotropik dan vasodilator. Dosis milirinone adalah 50
μg/kg /¿ menit bolus dalam 10 menit, kemudian dilanjutkan dengan
0,25−0.75 μg / kg /¿ menit (maksimum 1.13 μg/ kg /¿ hari)
11. Bila syok belum teratasi, pertimbangkan pemberian hidrokortison, metil
prednisolon atau dexamethason, terutama pada anak yang sebelumnya
mendapatkan terapi steroid lama (misalnya asma, penyakit autoimun, dll)
Dosis hidrokortison dimulai dengan 2mg/kg, setara dengan metil
prednisolon 1,3 mg/kg dan dexamethason 0,2 mg/kg.
12. Bila syok belum teratasi, dibutuhkan pemasangan pulmonary artery
catheter (PAC) untuk pengukuran dan intervensi lebih lanjut. Inotropik dan
vasodilator digunakan untuk kasus dengan curah jantung rendah dan
resistensi vaskular sistemik rendah. Inotropik dan vasopressor untuk kasus
dengan curah dengan curah jantung rendah dan resistensi vaskular sistemik
rendah (dosis inotropik, vasopressor dan vasodilator). Saat ini telah
tersedia berbagai alat diagnostik untuk mengukur parameter hemodinamik
sebagai alternatif pemasangan pulmonary artery catheter. Terapi target:
 Cardiac Index >3,3 dan <6L/Menit/M2

Page 22
 Perfusion Pressure (Mean Arterial Pressure-Central Venosus Pressure)
normal (<1 tahun 60 cm H20; >1tahun : 60 cm H20)
 Saturasi vena sentral (Mixed Vein) > 70%
 Kadar laktat <2 Mmol/L
13. Bila kadar laktat tetap > mmol/L, saturasi vena sentral <70% dan
hematokrit <30%, dapat dilakukan transfusi packed red cells disertai upaya
menurunkan konsumsi oksigen (IDAI, 2010).

17. Bagaimana prognosis pada kasus ?


Jawab
Vitam : malam
Fungsional : malam

18. Bagaimana KDU pada kasus?


Jawab
1. Syok Hipovolemik
3B yaitu mampu membuat diagnosis klinis berdasarkan pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya:
pemeriksaan laboratorium sederhana atau X-ray). Dokter dapat
memutuskan untuk memberi terapi pendahuluan serta merujuk ke spesialis
yang relevan (kasus gawat darurat) (KKI, 2012).
2. Dengue shock syndrome
3B yaitu mampu membuat diagnosis klinis berdasarkan pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya:
pemeriksaan laboratorium sederhana atau X-ray). Dokter dapat
memutuskan untuk memberi terapi pendahuluan serta merujuk ke spesialis
yang relevan (kasus gawat darurat) (KKI, 2012).

19. Bagaimana nilai-nilai islam pada kasus?


Jawab

Page 23
“Janganlah engkau mencela penyakit demam, karena ia akan
menghapuskan kesalahan-kesalahan anak adam, sebagaimana alat pandai besi
itu bisa menghilangkan karat besi”. (HR. Imam Muslim)

2.6 Kesimpulan

Boni, anak laki-laki usia 4 tahun meninggal dunia akibat syok hipovolemik berat et
causa DSS.

2.7 Kerangka Konsep

Infeksi virus
Faktor risiki: usia
dengue

Respon antigen antibody

Kebocoran plasma

DSS

Syok hipovolemik berat


Page 24

Dekompensasi
DAFTAR PUSTAKA

Chandra, Ayu. 2010. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis dan faktor risiko.
www.ejournal.litbang.depkes.go.id (Diakses pada hari selasa tanggal 20 Juni 2017).

Chen, Khie, et. All. 2009. Diagnosis dan Terapi Cairan Pada Demam Berdarah Dengu.
Jakarta. EGC.

Fitria , Nita. 2010. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Guyton and Hall. 2014. Buku Ajaran Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Jakarta: EGC

Haupt M T, Carlson R W., 1989, Anaphylactic and Anaphylactoid Reactions. Dalam buku:
Shoemaker.
IDAI.2009. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta: EGC.

Isselbacher, et all. 1999. Prinsip- prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : EGC.

Konsil Kedokteran Indonesia. 2012. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Jakarta: Konsil
Kedokteran Indonesia.

Page 25
Price, S., A., dan Wilson, L., M. 2013. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Purwadianto, a. Sampurna, B. 2013. Kedaruratan Medik. Tnggeran Selatan. BINARUPA


AKSARA.

Raihan. 2010. Faktor Prognosis terjadinya Syok Pada DBD. www.saripediatri.idai.or.id


(Diakses pada hari selasa 20 Juni 2017)

Silbernagl, S. 2014. In: Silbernagl, S., Lang, F. editor. Teks dan Atlas Berwarna
Patofisiologi. Jakarta : EGC .

Stoelting R. Opioid agonist and antagonist. In: Stoelting RK, Hiller SC, editors.
Pharmacology & phisiology in anesthetic practice. 4thed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2006,p.87-122.

Tambunan Karmell., et. All., 1990. Buku Panduan Penatalaksanaan Gawat Darurat. Jakarta.
FKUI.
Thijs L G. The Heart in Shock (With Emphasis on Septic Shock). Dalam kumpulan makalah:
Indonesian Symposium On Shock & Critical Care. Jakarta-Indonesia. 29 juni 2017 ; 1 -
4.
Wilson R F, ed. 1981;.Shock. Dalam buku: Critical Care Manual. Philadelphia. Hal 1-42.

Page 26

Anda mungkin juga menyukai