Anda di halaman 1dari 31

i

BAB I
PENDAHULUAN

Herpes zoster atau shingles merupakan penyakit neurokutan karena infeksi


laten endogen virus varisela zoster di dalam neuron ganglion sensoris radiks
dorsalis, ganglion saraf kranialis atau ganglion saraf autonomik yang menyebar ke
jaringan saraf dan kulit dengan segmen yang sama dengan manifestasi erupsi
vesikular berkelompok dengan dasar eritematosa dan disertai nyeri radikular
unilateral yang terbatas pada satu dermatom.1
Angka kejadian HZ meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Lebih
dari dua pertiga kasus terjadi pada usia di atas 50 tahun dan kurang dari 10% di
bawah 20 tahun. Peningkatan kejadian HZ berkorelasi dengan bertambahnya usia
terkait perubahan sistem imunitas terhadap VVZ yang diperantarai sel limfosit T
spesifik. Herpes zoster dan NPH dapat mempengaruhi kualitas hidup orang tua,
baik pada kondisi akut dan kronis.5
Pada penyakit herpes zoster, terdapat gejala prodromal seperti nyeri dan
parestesia pada dermatom yang terlibat selama beberapa hari sebelum timbulnya
erupsi, nyeri dapat bervariasi dari nyeri superfisial, atau rasa terbakar yang berat
atau nyeri seperti tertusuk-tusuk, gejala konstitusi juga dapat dijumpai seperti
nyeri kepala, malaise dan demam. Gejala khas dari herpes zoster adalah lokalisasi
dan distribusi dari ruam, yang hampir selalu unilateral dan terbatas pada area kulit
yang di inervasi oleh satu ganglion sensorik. Area dermatom trunkus T3 sampai
L2 seringkali dipengaruhi, dan lesi jarang timbul pada daerah distal dibawah siku
atau lutut. Lesi herpes zoster biasanya berkembang dengan lambat dan biasanya
terdiri dari makula kemerahan, berkembang menjadi papul, vesikel jernih yang
berdekatan/berkelompok.1
Penegakan diagnosis awal serta penanganan yang efektif sangat diperlukan
untuk mengatasi keadaan akut, membatasi berkembangnya penyakit, membatasi
lama penyakit, menurunkan risiko nyeri dan lesi di kulit, serta mencegah
komplikasi HZ sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.
Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik membahas tentang
Herpes Zoster sebagai laporan kasus di bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
RSUD Palembang BARI sehingga kita mampu mengenali, mendiagnosis, dan
memutuskan tindakan yang tepat bagi pasien.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Herpes Zoster


2.1.1 Definisi
Herpes zoster atau shingles merupakan penyakit neurokutan
karena infeksi laten endogen virus varisela zoster di dalam neuron
ganglion sensoris radiks dorsalis, ganglion saraf kranialis atau ganglion
saraf autonomik yang menyebar ke jaringan saraf dan kulit dengan
segmen yang sama dengan manifestasi erupsi vesikular berkelompok
dengan dasar eritematosa dan disertai nyeri radikular unilateral yang
terbatas pada satu dermatom.1

2.1.2 Epidemiologi
HZ cenderung menyerang orang pada usia lanjut dan penderita
penyakit imunosupresif seperti penderita HIV/AIDS, leukemia, lupus,
limfoma, dan orang berusia diatas 60 tahun. Kejadian HZ meningkat
seiring dengan bertambahnya usia, di mana lebih dari 2/3 kasus terjadi
pada usia lebih dari 50 tahun dan kurang dari 10% di bawah 20 tahun. 11
Kira-kira 30% populasi (1 dari 3 orang) akan mengalami HZ
selama hidupnya, bahkan pada usia 85 tahun, 50% (1 dari 2 orang) akan
mengalami HZ. Insiden HZ pada anak-anak adalah 0,74 per 1000 orang
per tahun. Insiden ini meningkat menjadi 2,5 per 1000 orang di usia 20-
50 tahun, 7 per 1000 orang di usia lebih dari 60 tahun dan mencapai 10
per 1000 orang per tahun di usia 80 tahun. Meningkatnya usia setelah
terinfeksi cacar air menimbulkan reduksi pada imunitas terhadap VZV
yang berhubungan dengan kemampuan proteksi terhadap HZ.11

2.1.3 Etiopatogenesis
Virus varisela zoster adalah anggota keluarga virus herpes. Semua
virus herpes secara morfologis tidak dapat dibedakan dan memiliki
sejumlah sifat, termasuk kemampuan untuk membentuk infeksi laten

3
yang bertahan seumur hidup. VVZ dan virus herpes simplex (Tipe I
dan II) selanjutnya diklasifikasikan sebagai α-herpesvirus karena
mereka menjadi laten di neuron sensorik setelah infeksi primer.4
Saat terjadi infeksi varisela, VVZ berpindah dari lesi di kulit dan
permukaan mukosa ke ujung saraf sensorik yang berdekatan dan
ditransportasikan ke serabut saraf sensorik dan ganglia sensorik. Di
ganglia, VVZ membentuk infeksi laten di neuron yang bertahan seumur
hidup. Viremia yang terjadi selama varicella dapat memberikan VVZ
cara lain untuk mengakses neuron sensorik.4
Saat kadar imunitas spesifik VVZ yang dimediasi oleh sel T
turun, virus yang teraktivasi tidak dapat ditahan dan akhirnya
bermultiplikasi serta menyebar di dalam ganglion sehingga
menyebabkan nekrosis saraf dan peradangan hebat, yakni proses yang
sering disertai dengan nyeri neuropatik berat. VVZ kemudian menyebar
ke saraf sensorik dan dilepaskan dari ujung saraf sensorik di kulit, di
mana ia menghasilkan cluster vesikula zoster yang khas. Infeksi
ganglionik yang menyebar ke proksimal sepanjang serabut saraf
posterior ke meninges dan medulla spinalis dapat menyebabkan
leptomeningitis lokal, pleositosis cairan serebrospinal, dan mielitis
segmental. Penyebaran infeksi ke sistem saraf pusat (SSP) dapat
menyebabkan komplikasi herpes zoster yang jarang, seperti
meningoensefalitis dan mielitis transversal.4

2.1.4 Gejala Klinis


Pada penyakit herpes zoster, terdapat gejala prodromal seperti
nyeri dan parestesia pada dermatom yang terlibat selama beberapa hari
sebelum timbulnya erupsi, nyeri dapat bervariasi dari nyeri superfisial,
atau rasa terbakar yang berat atau nyeri seperti tertusuk-tusuk, gejala
konstitusi juga dapat dijumpai seperti nyeri kepala, malaise dan demam.
Gejala prodromal dapat berlangsung beberapa hari (1-10 hari, rata-rata
2 hari). Nyeri dapat konstan atau hilang timbul dan bersamaan dengan
nyeri tekan dan hiperestesia dari kulit di dermatom yang terlibat.1,3
Gejala khas dari herpes zoster adalah lokalisasi dan distribusi dari

4
ruam, yang hampir selalu unilateral dan terbatas pada area kulit yang di
inervasi oleh satu ganglion sensorik. Area dermatom trunkus T3 sampai
L2 seringkali dipengaruhi, dan lesi jarang timbul pada daerah distal
dibawah siku atau lutut1. Lesi herpes zoster biasanya berkembang
dengan lambat dan biasanya terdiri dari makula kemerahan,
berkembang menjadi papul, vesikel jernih yang
berdekatan/berkelompok selama 3-5 hari. Selanjutnya isi vesikel
menjadi keruh dan akhirnya pecah menjadi krusta (berlangsung 7-10
hari). erupsi kulit mengalami involusi setelah 2-4 minggu. Sebagian
besar kasus herpes zoster kulitnya menyembuh secara spontan tanpa
gejala sisa.1

2.1.5 Diagnosis
Herpes zoster ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis berupa
nyeri prodromal dan erupsi kulit dengan distribusi yang khas. Pada
beberapa kasus, diagnosis HZ dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan
penunjang antara lain Tzanck smear, biopsi kulit, direct fluorescent
assay (DFA), dan polymerase chain reaction (PCR). Pemeriksaan
Tzanck smear pada HZ memberikan sensitivitas sekitar 84%,
menunjukkan multinucleated giant cells (sel raksasa berinti banyak).
Pemeriksaan Tzanck tidak dapat membedakan antara VVZ dan virus
herpes simpleks, tetapi dapat membedakan dengan lesi erupsi vesikuler
lainnya (misalnya, yang disebabkan oleh variola dan pox virus lainnya,
coxsackieviruses dan echoviruses).5
Pemeriksaan biopsi dilakukan bila klinis meragukan. Pada hasil
pemeriksaan histopatologis tampak vesikel intraepidermis dengan
degenerasi sel epidermis dan akantolisis, pada dermis bagian atas
dijumpai infiltrat limfosit 3 Pemeriksaan DFA memberikan hasil yang
cepat untuk membantu membedakan antara infeksi virus VVZ dan virus
herpes simpleks. Pemeriksaan ini kurang sensitif karena tidak dapat
menemukan antigen VVZ. Pemeriksaan PCR adalah metode sangat

5
sensitif (97-100%) dengan hasil yang cepat untuk mendeteksi DNA
VVZ sehingga PCR menjadi pemeriksaan baku emas untuk diagnosis.5
Pemeriksaan PCR berguna pada kasus-kasus atau spesimen yang
tidak biasa (misalnya lesi hanya berupa krusta), tidak muncul ruam
(kecurigaan HZ sine herpete) dengan spesimen diambil dari kerokan
dasar vesikel atau lesi saat terbentuk krusta.5
Keluhan nyeri akut segmental pada stadium prodormal HZ sulit
dibedakan dengan nyeri yang timbul akibat penyakit sistemik,
sedangkan stadium erupsi perlu dibedakan dengan herpes simpleks
zosteriformis, dermatitis kontak, gigitan serangga, luka bakar, dan
pioderma.5

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Penunjang Diagnostik
1. Tzank Test
Apusan cairan vesikuler Tzanck menunjukkan giant cell berinti
banyak. Tes ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih
rendah daripada antibodi fluoresen langsung (DFA) atau
polymerase chain reaction (PCR).
2. Tes PCR digunakan untuk mendeteksi DNA VVZ dengan cepat
dan sensitif dan sekarang tersedia secara luas. Sampel yang ideal
adalah usapan lesi vesikuler yang tidak dilapisi dan keropeng dari
lesi berkrusta; DNA virus dalam saliva juga dapat dideteksi selama
penyakit akut, tetapi sampel saliva kurang dapat diandalkan untuk
herpes zoster daripada untuk varisela. Sampel biopsi juga
merupakan sampel uji yang berguna dalam kasus penyakit
diseminata.

Pemeriksaan Histopatologi
Tampak vesikula bersifat unilokular, biasanya pada stratum
granulosum, kadang-kadang subepidermal. Yang penting adalah
temuan "sel balon" yaitu sel stratum spinosum yang mengalami
degenerasi dan membesar, juga badan inklusi ('lipschutz') yang tersebar

6
dalam inti sel epidermis, dalam jaringan ikat dan endotel pembuluh
darah. Dermis: dilatasi pembuluh darah dan sebukan limfosit.6

2.1.7 Diagnosis Banding


Penyakit ini dibedakan dengan dermatitis venenata dan impetigo
vesikobulosa. Pada dermatitis venenata kelainan kulit timbul beberapa
saat sesudah kontak pertama dengan kontaktan eksternal (hewani).
Penderita akan mengeluh rasa panas, nyeri atau gatal. Pada impetigo
vesikobulosa, lebih sering pada anak-anak, dengan gambaran vesikel
dan bula yang cepat pecah dan menjadi krusta.6

2.1.8 Penatalaksanaan
Terapi HZ bertujuan untuk mempercepat proses penyembuhan lesi,
mengurangi keluhan nyeri akut, serta mengurangi risiko komplikasi
NPH. Pemberian obat atau terapi pada geriatri harus diperhatikan
karena orang tua sering menderita penyakit pada banyak organ dan
beberapa obat sering berinteraksi akibat pemberian multidrug therapy.
Pemberian nonsteroid antiinflammatory drugs (NSAID) bersamaan
dengan warfarin akan menimbulkan perdarahan, international
normalised ratio (INR) meningkat, sehingga perlu menghindari
penggunaan secara bersamaan, dan diganti dengan inhibitor COX-2.5
Pencegahan NPH merupakan hal penting yang perlu diperhatikan,
meliputi pendekatan medis dan keterlibatan pasien serta keluarga.
Pendekatan medis meliputi pemberian obat antivirus sedini mungkin
tanpa melihat waktu timbulnya lesi. Semua obat antivirus (asiklovir,
valasiklovir, famsiklovir) merupakan obat yang dapat diterima. Faktor
lain dalam pemilihan jenis obat antivirus selain efikasi adalah biaya dan
jadwal pemberian dosis. Dosis pemberian antivirus antara lain
famsiklovir 500 mg setiap 8 jam diminum setelah makan, atau
valasiklovir 1 g setiap 8 jam atau asiklovir 800 mg diberikan 5 kali
sehari yang semuanya dikonsumsi selama 7 hari.5

7
Penanganan HZ yang adekuat dengan terapi antivirus maupun
analgesik dapat memberikan keuntungan dalam mencegah NPH,
sehingga pengenalan gejala HZ secara dini merupakan hal yang sangat
penting.6

2.1.9 Prognosis
Lesi kulit biasanya menyembuh dalam 2-4 minggu tetapi
penyembuhan sempurna membutuhkan waktu >4 minggu. Pasien usia
lanjut dan imunokompromais membutuhkan waktu yang lebih lama
untuk resolusi. Dalam studi kohort retrospektif, pasien herpes zoster
yang dirawat di rumah sakit memiliki mortalitas 3% dengan berbagai
penyebab. Tingkat rekurensi herpes zoster dalam 8 tahun sebesar

6,2%.7

2.2. Dermatitis Venenata


2.2.1 Definisi
Dermatitis venenata merupakan salah satu bagian dari dermatitis
kontak iritan tipe akut lambat yang biasanya disebabkan oleh gigitan,
liur, atau bulu serangga yang terbang pada malam hari, dimana
gambaran klinis dan gejalanya baru muncul 8 sampai 24 jam atau 1
lebih setelah kontak.8

2.2.2 Etiologi dan Faktor Predisposisi


Dermatitis kontak iritan akut akibat toxin serangga, dapat terjadi
pada semua usia dan semua jenis kelamin, paling sering terjadi di
daerah yang panas serta beriklim tropis, salah satu yang tersering adalah
paederin, suatu toksin yang disekresi oleh serangga dari genus
paederus, yang termasuk dalam ordo Coleoptera. Paederus dewasa
lebih suka bertelur di tempat lembab, vegetasi dirawa dan ladang
pertanian, seranga ini berukuran kecil dengan permukaan tubuh yang
halus, memiliki panjang sekitar 7–13 mm. berwarna oranye, kecuali

untuk kepala, sayap depan dan ujung perut yang berwarna hitam.8

8
Paederus sabaeus merupakan spesies Nairobi fly (sejenis
kumbang), yang hidup di Afrika Timur. Kumbang ini tidak menyengat
atau menggigit, namun haemolymph yang dimiliki oleh spesies ini
terdiri atas pederin yaitu suatu toksin yang dapat menyebabkan luka
lepuh. Toksin ini dikeluarkan serangga bila terjadi sentuhan atau
benturan dengan kulit manusia secara langsung atau tidak langsung
melalui handuk, baju, atau alat lain yang tercemar oleh racun serangga
tersebut.9

2.2.3 Gejala Klinis


Pasien seringkali tidak menyadari kontak dengan serangga jika
terjadi pada malam hari saat tidur ketika serangga tersebut akan
menyengat dan kita menepuk secara refleks. Lesi biasanya terlihat saat
bangun di pagi hari dan karenanya dikenal sebagai “wake and see
disease”. Penundaan waktu antara kontak pertama kulit dengan toksin
dan timbulnya lesi eritematosa awal dikenal sebagai periode laten.
Pederin dapat berpindah melalui seprai atau pakaian dan mempengaruhi
area tubuh yang lain. Area tubuh yang terpapar seperti wajah, leher dan
lengan paling sering terkena, telapak tangan dan telapak kaki tidak
biasanya tidak. Toksin juga biasanya menyisakan mukosa mulut.
Insiden kasus meningkat segera setelah musim hujan. Gejala biasanya
dimulai antara 8 dan 48 jam setelah kontak dengan serangga dengan
sensasi gatal dan terbakar atau perih yang paling umum. Karakteristik
lesi linier biasanya dari penghancuran serangga dan selanjutnya toksin
tersebar pada kulit. Namun, ada laporan tentang serangga yang
menyengat dan melepaskan racun selama gerakan sederhana; terkadang,
tampilan linier mungkin menyarankan "pola rel kereta api". Lesi
berkembang melalui fase eritematosa awal diikuti oleh vesikulasi dan
pengerasan kulit berikutnya dan deskuamasi. Kasus ringan dengan
eritema saja bisa sembuh dalam 2 hari. Kasus yang cukup parah dengan
vesikulasi yang signifikan dapat mengering dan terkelupas (fase
skuamosa) dalam waktu sekitar 7-8 hari. Gejala sisa termasuk

9
hiperpigmentasi yang bisa berlangsung hingga sebulan. Nekrosis kulit
kadang-kadang dapat terjadi. Kasus yang parah ditandai dengan
keterlibatan kulit yang lebih luas dan gambaran sistemik seperti demam,
artralgia, neuralgia, rinitis, dan timpanitis. Eritema bisa bertahan selama
berbulan-bulan. Lesi kulit tidak dibatasi oleh batas dermatomal.9

2.2.4 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan sebagai dermatitis venenata melalui anamesa
dan gambaran klinis. Dermatitis venenata adalah dermatitis kontak
iritan akut yang disebabkan oleh pederin, suatu toksin yang disekresi
oleh serangga dari genus paederus. Penyakit ini ditandai dengan adanya
vesikel, bula dan kadang-kadang pustul kecil di atas kulit eritematous,
terjadi secara tiba-tiba.9
Dermatitis venenata menimbulkan rasa menyengat, dan sensasi
terbakar. Dermatitis ini paling sering terjadi di daerah yang panas serta
beriklim tropis yang disebabkan oleh Erichson paederus sabaeu,
merupakan spesies Nairobi fly (sejenis kumbang). Serangga ini
merupakan predator yang aktif dari beberapa serangga yang merusak
tanaman dan terdapat dalam iklim tropis yang hangat. Kumbang ini
tidak menyengat atau menggigit, namun haemolymph yang dimiliki
oleh spesies ini terdiri atas pederin yaitu suatu toksin, yang dapat
menyebabkan luka lepuh. Toksin ini dikeluarkan serangga bila terjadi
sentuhan atau benturan dengan kulit manusia secara langsung atau tidak
langsung melalui handuk, baju, atau alat lain yang tercemar oleh racun
serangga tersebut. Kelainan kulit dapat berupa kulit melepuh, kulit
kemerahan, di atasnya terdapat vesikel papul pustule, polimorf,
multiple, tersebar tergantung penyebaran racun. Dapat pula terjadi
kondisi kissing lesion yaitu sepasang lesi kulit yang sama yang terjadi
akibat lesi kulit pertama menempel pada kulit yang lain terjadi.9

10
2.2.5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaannya mirip dengan dermatitis iritan akut. Eliminasi
toksin dengan segera dapat dilakukan jika pasien datang segera setelah
kontak dengan serangga. Namun, sebagian besar pasien datang ke
rumah sakit setelah lesi terjadi. Pada pasien yang datang segera setelah
kontak. Area tersebut harus dicuci dengan sabun dan air. Kemudian
dapat diberikan tingtur yodium secara topikal menetralkan pederin.
Antihistamin oral dapat juga diberikan. Semua staf medis dan
paramedis di daerah endemis harus diberi tahu tentang penatalaksanaan
awal ini untuk memperbaiki keparahan dermatitis, sehingga mencegah
komplikasi. Agen penenang seperti kalamin, kamper, dan anestesi
topikal (lidokain, benzokain) telah digunakan untuk menghilangkan
rasa gatal dan sensasi terbakar sementara. Perak sulfadiazin memiliki
aktivitas antibakteri dan telah direkomendasikan untuk meredakan
gejala. Setelah munculnya lesi, steroid topikal dengan atau tanpa
antibiotik efektif. Qadir dkk. merekomendasikan rejimen yang terdiri
dari antihistamin oral, steroid topikal dan ciprofloxacin oral. Studi
tersebut menunjukkan penyembuhan dini dan tingkat komplikasi yang
lebih rendah. Steroid topikal diberikan sampai lesi kulit mengeras atau
menunjukkan tanda-tanda penyembuhan; ini biasanya membutuhkan
waktu 7–10 hari. Terapi steroid sistemik disediakan untuk kasus parah
yang jarang terjadi. Antihistamin berguna untuk meredakan pruritus.

2.3. Impetigo Vesikobulosa


2.3.1 Definisi
Impetigo vesikobulosa adalah penyakit infeksi piogenik akut kulit
yang mengenai epidermis superfisial, bersifat sangat menular. Impetigo
sering menyerang anak-anak terutama di tempat beriklim panas dan
lembap. Ditandai oleh lepuh-lepuh berisi cairan kekuningan dengan
dinding tegang, terkadang tampak hipopion.10

2.3.2 Epidemiologi

11
Impetigo dapat terjadi pada semua ras. Lebih sering dijumpai
pada laki-laki, dan pada usia 2 sampai 5 tahun. Impetigo bulosa paling
sering dijumpai pada neonatus dan bayi, 90% kasus anak di bawah 2
tahun.10

2.3.3 Etiopatogenesis
Impetigo vesikobulosa disebabkan oleh Staphylococcus aureus,
paling sering tipe 71. Strain ini memiliki toksin yang dapat
menyebabkan Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS). Faktor
predisposisi antara lain higiene buruk, malnutrisi, lingkungan kotor dan
musim panas dengan banyak debu, serta kerusakan epidermis.
Patofisiologi impetigo vesikobulosa disebabkan oleh eksotoksin
Staphylococcus aureus yang masuk melalui kulit terluka menyebabkan
lepasnya adhesi dermis superfisial yang menimbulkan lepuh dan
menyebabkan terkelupasnya kulit dengan membelahnya sel granular
epidermis.10

2.3.4 Gejala Klinis


Impetigo vesikobulosa sering ditemukan di daerah selangkangan,
ekstremitas, dada, punggung, dan daerah yang tidak tertutup pakaian.
Kelainan kulit diawali dengan makula eritematosa yang dengan cepat
akan menjadi vesikel, bula dan bula hipopion. Impetigo bulosa berisi
cairan jernih kekuningan berisi bakteri S.aureus dengan halo
eritematosa. Bula bersifat superfisial di lapisan epidermis, mudah pecah
karena letaknya subkorneal, meninggalkan skuama anular dengan
bagian tengah eritema (koleret), dan cepat mengering. Lesi dapat
melebar membentuk gambaran polisiklik.10
Sering kali bula sudah pecah saat berobat, sehingga yang tampak
ialah lesi koleret dengan dasar eritematosa. Pasien berusia di bawah 1
tahun atau bayi, akan tampak rewel karena rasa nyeri di kulit membuat
pasien merasa tidak nyaman. Keadaan umum biasanya baik.10

2.3.5 Pemeriksaan Penunjang

12
Adapun pemeriksaan yang dapat dilakukan dalam menunjang
diagnose, antara lain:10
1. Pewarnaan Gram: adanya bakteri S. aureus, tampak kuman
coccus berkelompok seperti anggur
2. Kultur Cairan: adanya Staphylococcus beta hemolyticus grup A.
3. Histopatologi: vesikel formasi subkorneum atau stratum
granulosum, sel akantolisis, edema papila dermis, serta infiltrat
limfosit dan neutrofil di sekitar pembuluh darah pada pleksus
superfisial.

2.3.6 Penatalaksanaan
Setelah diagnosis ditegakkan berdasarkan beberapa kriteria,
enatalaksanaan dapat diberikan berupa non-medikamentosa dan
medikamentosa.
Terapi non-medikamentosa10
1. Menjaga kebersihan dan kesehatan tubuh
2. Menghindari faktor predisposisi
3. Memperkuat daya tahan tubuh

Terapi medikamentosa10
1. Topikal: mupirocin krim 2%, asam fusidat krim 2%, atau
tetrasiklin krim atau salep, kompres NaCl 0,9%
2. Oral: eritromisin 2 x 500 mg pada dewasa, pada anak 40
mg/KgBB/hari dibagi 4 dosis; atau amoksisilin-klavulanat 3 x
500 mg pada dewasa, pada anak 25 mg/KgBB/hari dibagi 3
dosis; atau cephalexin 2 x 500 mg pada dewasa, pada anak 25
mg/KgBB/hari dibagi 4 dosis.

2.3.7 Prognosis
Impetigo vesikobulosa bukan penyakit yang mengancam nyawa
jika faktor risiko dihindari dan segera diobati. Jika ada faktor risiko

13
seperti higiene atau daya tahan tubuh rendah, angka kekambuhan cukup
tinggi. Prognosis umumnya baik.10

14
BAB III
LAPORAN KASUS

1.1. IDENTITAS
Nama : Tuan A
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir : Palembang, 2 Maret 1965
Usia : 55 tahun
BB : 60 kg
Agama : Islam
Alamat : Jl. Panca Usaha
Status Perkawinan : Menikah
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Pensiunan swasta
Bangsa : Indonesia
Tanggal Pemeriksaan : 19 September 2021

1.2.ANAMNESIS
(Anamnesis tanggal 19 September 2021)
Keluhan utama : Timbul lepuh-lepuhan kecil pada punggung kanan
bawah sejak 3 hari yang lalu.
Keluhan tambahan : Rasa terbakar dan nyeri

Riwayat penyakit sekarang :


Sejak 3 hari yang lalu pasien mengalami timbul lepuh-lepuh kecil
pada punggung kanan. Awalnya timbul berupa bercak-bercak kemerahan
kemudian timbul menjadi bintil seperti jerawat yang menjadi gelembung yang
semakin membesar. Pasien mengaku keluhan disertai nyeri, rasa terbakar
serta gatal pada daerah lepuh. Pasien juga mengalami nyeri otot namun hanya
dirasakan pada bagian yang mengalami keluhan kulit saja.
Sebelumnya pasien mengaku demam tidak terlalu tinggi. Pasien
mengatakan bahwa pernah menggaruk lepuh hingga pecah, lepuh berisi

15
cairan dan pasien pernah memberi bedak untuk mengurangi rasa gatalnya.
Pasien belum pernah berobat sebelumnya. Pasien mengatakan bahwa keluhan
ini baru pertama kali dirasakan. Kesehariannya pasien mandi 2 kali sehari dan
mengganti pakaian minimal 2 kali dalam sehari.
Pasien mengatakan pernah menderita penyakit cacar pada saat masih
kecil, riwayat keluhan serupa dalam keluarga disangkal. Riwayat alergi
disangkal, riwayat kontak dengan bahan iritan atau gigitan serangga
disangkal.

Riwayat penyakit dahulu :


- Riwayat keluhan serupa disangkal
- Riwayat penyakit cacar saat kecil (+)
- Riwayat alergi obat dan makanan disangkal
- Riwayat DM disangkal.
- Riwayat kontak dengan bahan iritan atau gigitan serangga disangkal.

Riwayat penyakit keluarga


- Riwayat penyakit dengan keluhan serupa pada keluarga disangkal.
- Tidak ada anggota keluarga serumah yang terkena cacar.
- Riwayat alergi dalam keluarga disangkal.

Riwayat personal hygiene


Kesehariannya pasien mandi 2 kali sehari dan mengganti pakaian
minimal 2 kali dalam sehari. .

1.3.PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
Vital sign  TD : 110/70 mmHg
HR : 78 x/menit
RR : 20 x/ menit
Suhu : 36,8 °C

16
Skala Nyeri : 8 (sangat menggangu)

Keadaan Spesifik
Kepala
a. Mata : conjungtiva tidak pucat, sklera ikterik (-/-), refleks cahaya
(+/+), pupil isokor kanan kiri
b. Hidung : tidak ada kelainan
c. Telinga : tidak ada kelainan
d. Mulut : tidak ada kelainan
Leher : tidak ada kelainan
Thoraks : tidak ada kelainan
Abdomen : tidak ada kelainan
Genital : laki-laki, dalam batas normal
Ekstremitas : tidak ada kelainan

Status Dermatologikus

Papul vesikel

bula

Pada regio thorako-lumbal posterior dextra dengan dermatom setinggi


T9 – T12 vesikel eritematosa, multipel, berbentuk bulat sampai

17
irreguler,berukuran 0.3-0.5 x 0.2-0.4, berkelompok, susunan herpetiformis
dengan dasar eritema. Sebagian terdapat papul, multipel, berbentuk bulat,
berukuran Ø 0,1 cm – 0,2 cm, unilateral dengan susunan lesi herpetiformis,
tersebar diskret sampai konfluens.

1.4. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK


1. Tes Tzanck (+) sel datia (multinucleated giant cell) mengandung badan
inklusi intranuklear asidofilik.

1.5. RENCANA PEMERIKSAAN


1. Pemeriksaan Histopatologis
2. PCR

1.6. DIAGNOSIS BANDING


1. Herpes Zoster Torakolumbalis
2. Dermatitis Venenata
3. Impetigo Vesikobulosa

1.7. DIAGNOSIS KERJA


Herpes Zoster Torakolumbalis

1.8. PENATALAKSANAAN
a. Non-farmakologi
 Mengedukasi kepada pasien tentang penyakit yang dialami pasien.
 Menjelaskan kepada pasien mengenai terapi yang akan diberikan,
cara pemberian, dan lama pengobatan.
 Meminta pasien untuk beristirahat yang cukup dan selalu menjaga
kebersihan badan terutama pada daerah lesi.

b. Farmakologi
1. Sistemik

18
 Antiviral : Asiklovir 5x800 mg (selama 7 hari)
 Antihistamin : CTM 3x4 mg (selama 5 hari)
 Analgesik : Parasetamol 3x500 mg (selama 5 hari)
2. Topikal
 Kompres terbuka dengan larutan Burowi (aluminium asetat
5%, diencerkan dalam destiled water dalam perbandingan
1:20). Cara kompres: menggunakan kain kasa tidak terlalu
tebal (3 lapis, kemudian kasa dicelupkan ke dalam larutan
dan tempelkan kasa tersebut ke lesi. Dilakukan 4 kali/hari
selama 30 menit.

1.9. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanactionam : bonam
Quo ad cosmetica : dubia ad bonam

19
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada laporan kasus membahas Tn. A seorang laki-laki, berusia 55 tahun


pekejaan saat ini sebagai pensiunan swasta dan beragama Islam dengan diagnosa
Herper Zoster Torakolumbalis. Herpes zoster atau shingles merupakan penyakit
neurokutan yang disebabkan oleh Varicella Zoster Virus (VZV) dengan
manifestasi erupsi vesikular berkelompok dengan dasar eritematosa disertai nyeri
radicular unilateral yang umumnya terbatas pada suatu dermatom.1
Kejadian HZ meningkat seiring dengan bertambahnya usia, di mana lebih
dari 2/3 kasus terjadi pada usia lebih dari 50 tahun dan kurang dari 10% di bawah
20 tahun. HZ cenderung menyerang orang pada usia lanjut, penderita penyakit
imunosupresif seperti penderita HIV/AIDS, leukemia, lupus, limfoma,
penggunaan obat-obatan imunosupresif dalam waktu lama serta riwayat
radioterapi. Tidak terdapat predileksi gender pada penyakit ini 11.
Pada penyakit herpes zoster, terdapat gejala prodromal seperti nyeri dan
parestesia pada dermatom yang terlibat selama beberapa hari sebelum timbulnya
erupsi, nyeri dapat bervariasi dari nyeri superfisial, atau rasa terbakar yang berat
atau nyeri seperti tertusuk-tusuk, gejala konstitusi juga dapat dijumpai seperti
nyeri kepala, malaise dan demam. Gejala prodromal dapat berlangsung beberapa
hari (1-10 hari, rata-rata 2 hari). Nyeri dapat konstan atau hilang timbul dan
bersamaan dengan nyeri tekan dan hiperestesia dari kulit di dermatom yang
terlibat. Gejala khas dari herpes zoster adalah lokalisasi dan distribusi dari ruam,
yang hampir selalu unilateral dan terbatas pada area kulit yang di inervasi oleh
satu ganglion sensorik. Lesi herpes zoster biasanya berkembang dengan lambat
dan biasanya terdiri dari makula kemerahan, berkembang menjadi papul, vesikel
jernih yang berdekatan/berkelompok selama 3-5 hari. Selanjutnya isi vesikel
menjadi keruh dan akhirnya pecah menjadi krusta (berlangsung 7-10 hari). erupsi
kulit mengalami involusi setelah 2-4 minggu. Sebagian besar kasus herpes zoster
kulitnya menyembuh secara spontan tanpa gejala sisa.1,3
Dari hasil anamnesis didapatkan usia pasien 55 tahun, datang dengan
keluhan mengalami timbul lepuh-lepuh kecil pada punggung kanan. Awalnya

38
timbul berupa bercak-bercak kemerahan kemudian timbul menjadi bintil seperti
jerawat yang menjadi gelembung yang semakin membesar. Pasien mengaku
keluhan disertai nyeri, rasa terbakar serta gatal pada daerah lepuh. Pasien juga
mengalami nyeri otot namun hanya dirasakan pada bagian yang mengalami
keluhan kulit saja. Sebelumnya pasien mengaku demam tidak terlalu tinggi.
Berdasarkan data tersebut, maka gejala yang dialami pasien mirip dengan gejala
prodromal dan gejala khas dari penyakit herpes zoster.
Dari hasil anamnesis juga didapatkan bahwa pasien mengatakan keluhan ini
baru pertama kali dirasakan. Kesehariannya pasien mandi 2 kali sehari dan
mengganti pakaian minimal 2 kali dalam sehari. Pasien mengatakan pernah
menderita penyakit cacar pada saat masih kecil, riwayat keluhan serupa dalam
keluarga disangkal. Riwayat alergi disangkal, riwayat kontak dengan bahan iritan
atau gigitan serangga disangkal. Berdasarkan teori, herpes zoster biasanya
terdapat riwayat didahului dengan infesi virus varisella zoster dimana partikel
virus dapat tetap tinggal didalam ganglion sensoris saraf spinalis, kranialis, atau
otonom selama tahunan. Pada saat respons imunitas selular dan titer antibodi
spesifik terhadap virus varisela-zoster menurun (misal oleh karena usia atau
penyakit imunosupresif) sampai tidak lagi efektif mencegah infeksi virus, maka
partikel virus varisela-zoster yang laten tersebut akan mengalami reaktivasi dan
menimbulkan ruam kulit yang terlokalisata dalam satu dermatom3.
Pada pemeriksaan fisik pada regio thorako-lumbal posterior dextra dengan
dermatom setinggi T9 – T12 terdapat vesikel eritematosa, multipel, berbentuk
bulat sampai irreguler,berukuran 0.3-0.5 x 0.2-0.4, berkelompok, susunan
herpetiformis dengan dasar eritema. Sebagian terdapat papul, multipel, berbentuk
bulat, berukuran Ø 0,1 cm – 0,2 cm, unilateral dengan susunan lesi herpetiformis,
tersebar diskret sampai konfluensi. Berdasarkan teori, gambaran efloresensi lesi
HZ adalah timbul makula eritema yang kemudian berubah menjadi papul, vesikel
jernih berkelompok selama 3-5 hari. Selanjutnya isi vesikel akan keruh dan
akhirnya pecah menjadi krusta. Predileksi lesi dapat terjadi bagian tubuh manapun
mengikuti susunan dermatomal.1
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis
herpes zoster adalah dengan pemeriksaan Tzanck test dan PCR. Tzanck test

39
dilakukan dengan cara mengerok dasar dari vesikel, lalu diletakkan pada kaca
objek, kemudian difiksasi dengan aseton atau methanol, diwarnai dengan
hematoxylin-eosin, Giemsa, Papanicolau, atau Paragon multiple stain.
Pemeriksaan Tzank positif akan menunjukkan sel datia (multinucleated giant cell)
mengandung badan inklusi intranuklear asidofilik. Pemeriksaan PCR adalah
metode sangat sensitif (97-100%) dengan hasil yang cepat untuk mendeteksi DNA
VVZ sehingga PCR menjadi pemeriksaan baku emas untuk diagnosis.
Pemeriksaan PCR berguna pada kasus-kasus atau spesimen yang tidak biasa
(misalnya lesi hanya berupa krusta), tidak muncul ruam (kecurigaan HZ sine
herpete) dengan spesimen diambil dari kerokan dasar vesikel atau lesi saat
terbentuk krusta5, sehingga pada kasus, dilakukan tes Tzank saja dan memberikan
hasil positif dan dapat memastikan diagnosis dari herpes zoster.
Berdasarkan hasil uraian diatas, akan dibahas perbandingkan kasus dengan
teori yang disajikan dalam tabel 2.1.
Tabel 2.1 Perbandingan kasus dengan teori
Kasus Herpes Zoster
Epidemiologi
 Usia Usia pasien 55 tahun Insiden dan keparahan
meningkat seiring
betambahnya usia, keadaan
imunosupresif
Jenis kelamin laki-laki
 Jenis Kelamin Kejadian pada laki-laki
maupun perempuan sama
Faktor Predisposisi Usia pasien 60 tahun  Usia lanjut
 Penyakit
immunosupresif (DM,
keganasan)
 Pemakaian obat
imunosupresif jangka
waktu lama
 Riwayat radioterapi

40
Gejala Klinis  Demam yang tidak terlalu  Adanya gejala prodromal
tinggi, pasien juga (nyeri otot lokal,
mengalami nyeri otot namun parastesia sepanjang
hanya dirasakan pada bagian dermatom, gatal, dan
yang mengalami keluhan rasa terbakar sepanjang
kulit saja. dermatom. Dapat
 Rasa panas terbakar disertai dijumpai pula nyeri
nyeri dan gatal kepala, malaise, dan
 lesi berupa vesikel demam.
eritematosa, multipel,  Gejala erupsi: gatal atau
berbentuk bulat sampai nyeri terlokalisata
irreguler,berukuran 0.3-0.5 x (terbatas satu
0.2-0.4, berkelompok, dermatom) berupa
susunan herpetiformis macula eritema.
dengan dasar eritema. Kemudian berubah
Sebagian terdapat papul, menjadi papul, vesikel
multipel, berbentuk bulat, jernih berkelompok
berukuran Ø 0,1 cm – 0,2 selama 3-5 hari.
cm, unilateral dengan Selanjutnya isi vesikel
susunan lesi herpetiformis, akan keruh dan
tersebar diskret sampai akhirnya pecah menjadi
konfluens. ada regio krusta.
thorako-lumbal posterior
dextra dengan dermatom
setinggi T9 – T12
Predileksi Punggung kanan bawah Sesuai dermatom
(setinggi T9-T12)
Efloresensi vesikel eritematosa, multipel, Macula eritema. Kemudian
berbentuk bulat sampai berubah menjadi papul,
irreguler,berukuran 0.3-0.5 x vesikel jernih berkelompok
0.2-0.4, berkelompok, susunan selama 3-5 hari.
herpetiformis dengan dasar Selanjutnya isi vesikel akan
eritema. Sebagian terdapat keruh dan akhirnya pecah
papul, multipel, berbentuk bulat, menjadi krusta
berukuran Ø 0,1 cm – 0,2 cm,
unilateral dengan susunan lesi

41
herpetiformis, tersebar diskret
sampai konfluens. ada regio
thorako-lumbal posterior dextra
dengan dermatom setinggi T9 –
T12
Pemeriksaan Tzanck test, hasil (+) Tzanck test
penunjang

Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik tersebut dapat dipikirkan tiga
diagnosis banding yaitu herpes zoster, dermatitis venenata, dan impetigo
vesikobulosa. Diagnosis banding dapat ditinjau dari epidemiologi, gejala klinis
dan daerah predileksinya. Bila ditinjau dari aspek epidemiologi, pada kasus ini
Tn. A berusia 55 tahun berjenis kelamin laki-laki, berdasarkan teori pada herpes
zoster, faktor risiko yang kuat ialah usia lanjut, dan kondisi imunosupresif 1. Dari
hasil anamnesis tidak ada riwayat yang mengarah pada kondisi imunosupresif
pada pasien, sehingga kemungkinan faktor risiko pasien dalam kasus ini adalah
usia lanjut. Dermatitis venenata merupakan salah satu bagian dari dermatitis
kontak iritan tipe akut lambat yang biasanya disebabkan oleh gigitan, liur, atau
bulu serangga Paederus sabaeus merupakan spesies yang terdiri atas pederin yaitu
suatu toksin yang dapat menyebabkan luka lepuh. Toksin ini dikeluarkan serangga
bila terjadi sentuhan atau benturan dengan kulit manusia secara langsung atau
tidak langsung melalui handuk, baju, atau alat lain yang tercemar oleh racun
serangga tersebut. Dermatitis ini dapat dialami oleh semua orang dari berbagai
golongan umur, ras, dan jenis kelamin. 8,9 Pada impetigo vesikobulosa sering
terjadi pada pada anak, namun dapat juga pada dewasa walaupun kejadian pada
laki-laki maupun perempuan sama.
Gejala klinis yang didapatkan pada pasien kasus ini adalah didahului dengan
timbulnya demam yang tidak terlalu tinggi, dan nyeri otot sebelum timbul keluhan
kulit. Setelah itu muncul lesi kulit berupa lepuh-lepuh kecil pada punggung kanan.
Awalnya timbul berupa bercak-bercak kemerahan kemudian timbul menjadi bintil
seperti jerawat yang menjadi gelembung yang semakin membesar. Pasien
mengaku keluhan disertai nyeri, rasa terbakar serta gatal pada daerah lepuh. Pada
herpes zoster akan timbul gejala prodromal antara lain nyeri dan parestesia pada

42
dermatom yang terlibat selama beberapa hari sebelum timbulnya erupsi, nyeri
dapat bervariasi dari nyeri superfisial, atau rasa terbakar yang berat atau nyeri
seperti tertusuk-tusuk, gejala konstitusi juga dapat dijumpai seperti nyeri kepala,
malaise dan demam. Gejala prodromal dapat berlangsung beberapa hari (1-10
hari, rata-rata 2 hari). Nyeri dapat konstan atau hilang timbul dan bersamaan
dengan nyeri tekan dan hiperestesia dari kulit di dermatom yang terlibat.1,3
Setelah itu akan muncul lesi kulit unilateral dan terbatas pada area kulit yang di
inervasi oleh satu ganglion sensorik yang terdiri dari makula kemerahan,
berkembang menjadi papul, vesikel jernih yang berdekatan/berkelompok selama
3-5 hari. Selanjutnya isi vesikel menjadi keruh dan akhirnya pecah menjadi krusta
(berlangsung 7-10 hari). erupsi kulit mengalami involusi setelah 2-4 minggu. 1
Pada dermatitis venenata gambaran klinis langsung terjadi 8-24 jam setelah
kontak, erupsi kulit berupa eritema yang kemudian terjadi vesikel yang tersusun
linear atau nekrosis. Pada kasus ringan, eritema ringan dapat berlangsung
beberapa hari. Pada kasus berat, lesi lebih luas dan terdapat gejala demam,
neuralgia, artralgia, muntah, dengan bagian tubuh yang paling sering terkena
termasuk wajah, leher, bahu, lengan dan area di sekitar pinggang. Lesi kulit tidak
dibatasi oleh batas dermatomal.9
Pada impetigo bulosa terdapat karakteristik khas berupa bula dengan
dinding tebal dan tipis, miliar hingga lentikular, kulit sekitarnya tak menunjukkan
peradangan, kadang-kadang tampak hipopion. Bula bersifat superfisial di lapisan
epidermis, mudah pecah karena letaknya subkorneal, meninggalkan skuama
anular dengan bagian tengah eritema (koleret), dan cepat mengering. Lesi dapat
melebar membentuk gambaran polisiklik. Lokasi predileksi lesi terdapat di ketiak,
dada, punggung dan ekstremitas atas dan bawah. 10

Adapun perbandingan antara kasus dan diagnosis banding disajikan dalam


tabel berikut.
Tabel 2.2 Perbandingan kasus dengan diagnosa banding2,5,6
Kasus Herpes Zoster Dermatitis Impetigo

43
Venenata Vesikobulosa
Epidemiologi
 Usia Usia pasien 55 Insiden dan Dapat dialami oleh Sering terjadi
tahun keparahan semua orang dari pada anak,
meningkat seiring berbagai golongan namun dapat
betambahnya umur, ras, dan jenis juga pada
usia, keadaan kelamin dewasa
 Jenis Jenis kelamin imunosupresif
Kelamin laki-laki
Kejadian pada Kejadian pada
laki-laki maupun laki-laki
perempuan sama maupun
perempuan sama
Faktor Usia pasien 60  Usia lanjut Pajanan dengan  Lebih
Predisposisi tahun  Penyakit bahan yang banyak pada
immunosupres bersifat iritan yang daerah tropis
if (DM, dapat dengan
keganasan) menyebabkan udara panas,
 Pemakaian dermatitis kontak  Musim
obat iritan lambat panas
imunosupresif misalnya produk dengan
jangka waktu hewani dari banyak
lama makanan laut dan debu.
 Riwayat daging, dari ulat  Higiene
radioterapi bulu, kumbang, kurang.
dan sekret  Lebih sering
serangga dan lebih
berat pada
keadaan
kurang gizi
dan anemia.
Gejala Klinis  Demam  Adanya gejala gambaran klinis Lepuh timbul
yang tidak prodromal baru terjadi 8-24 mendadak
terlalu (nyeri otot jam setelah pada kulit
tinggi, lokal, kontak, erupsi sehat,
pasien juga parastesia kulit berupa berwariasi

44
mengalami sepanjang eritema yang mulai miliar
nyeri otot dermatom, kemudian terjadi hingga
namun gatal, dan rasa vesikel yang lentikular,
hanya terbakar tersusun linear dapat bertahan
dirasakan sepanjang atau nekrosis 2-3 hari.
pada dermatom.  Pada kasus Berdinding
bagian Dapat ringan, eritema tebal dan ada
yang dijumpai pula ringan dapat hipopion. Jika
mengalami nyeri kepala, berlangsung pecah
keluhan malaise, dan beberapa hari15 menimbulkan
kulit saja. demam.  Pada kasus berat, krusta yang
 Rasa panas  Gejala erupsi: lesi lebih luas dan coklat datar
terbakar gatal atau terdapat gejala dan tipis.
disertai nyeri demam,
nyeri dan terlokalisata neuralgia,
gatal (terbatas satu artralgia,
 lesi berupa dermatom) muntah15
vesikel berupa macula
eritematos eritema.
a, multipel, Kemudian
berbentuk berubah
bulat menjadi
sampai papul, vesikel
irreguler,b jernih
erukuran berkelompok
0.3-0.5 x selama 3-5
0.2-0.4, hari.
berkelomp Selanjutnya
ok, isi vesikel
susunan akan keruh
herpetifor dan akhirnya
mis dengan pecah menjadi
dasar krusta.
eritema.
Sebagian

45
terdapat
papul,
multipel,
berbentuk
bulat,
berukuran
Ø 0,1 cm –
0,2 cm,
unilateral
dengan
susunan
lesi
herpetifor
mis,
tersebar
diskret
sampai
konfluens.
ada regio
thorako-
lumbal
posterior
dextra
dengan
dermatom
setinggi T9
– T12

Predileksi Punggung Sesuai dermatom Bagian tubuh yang Ketiak, dada,


kanan bawah paling sering terkena punggung dan
(setinggi T9- termasuk wajah, ekstremitas atas
T12) leher, bahu, lengan dan bawah.
dan area di sekitar
pinggang
1. dengan larutan Burowi (aluminium asetat 5%, diencerkan dalam air 1:10.
Dilakukan 4 kali/hari selama 30 menit.

46
47
DAFTAR PUSTAKA
1.

39

Anda mungkin juga menyukai