1. Terapi Cairan
Pada pasien orang dewasa terapi cairan pada awalnya ditujukan untuk memperbaiki
volume intravascular dan extravascular dan mempertahankan perfusi ginjal. Terapi cairan
juga akan menurunkan kadar glukosa darah tanpa bergantung pada insulin, dan menurunkan
kadar hormon kontra insulin (dengan demikian memperbaiki sensitivitas terhadap insulin).
Pada keadaan tanpa kelainan jantung, NaCl 0.9% diberikan sebanyak 15–20 ml/kg berat
badan/jam atau lebih besar pada jam pertama ( 1–1.5 l untuk rata-rata orang dewasa). Pilihan
yang berikut untuk mengganti cairan tergantung pada status hidrasi, kadar elektrolit darah,
dan banyaknya urin. Secara umum, NaCl 0.45% diberikan sebanyak 4–14 ml/kg/jam jika
sodium serum meningkat atau normal; NaCl 0.9% diberikan dengan jumlah yang sama jika
Na serum rendah. Selama fungsi ginjal diyakini baik, maka perlu ditambahkan 20–30 mEq/l
kalium ( 2/3 KCl dan 1/3 KPO4) sampai pasien stabil dan dapat diberikan secara oral.
Keberhasilan penggantian cairan dapat dilihat dengan pemantauan hemodinamik (perbaikan
dalam tekanan darah), pengukuran input/output cairan, dan pemeriksaan fisik. Penggantian
cairan diharapkan dapat mengkoreksi defisit dalam 24 jam pertama.
2. Terapi Insulin
Insulin reguler diberikan dengan infus intravena secara kontinu adalah terapi pilihan.
Pada pasien dewasa, jika tidak ada hipokalemia ( K+ < 3.3 mEq/l, maka pemberian insulin
intravena secara bolus dengan dosis 0.15 unit/kg bb, diikuti pemberian insulin reguler secara
infus intravena yang kontinu dengan dosis 0.1 unit· kg-1· h-1 ( 5–7 unit/jam pada orang
dewasa). Pemberian insulin secara bolus tidak dianjurkan pada pasien pediatrik; pemberian
insulin reguler dengan infus intravena secara kontinu dengan dosis 0.1 unit· kg-1· h-1 dapat
diberikan pada pasien-pasien tersebut. Dosis insulin rendah ini pada umumnya dapat
menurunkan konsentrasi glukosa plasma sebanyak 50–75 mg· dl-1· h-1, sebanding dengan
pemberian insulin dosis tinggi. Jika plasma glukosa tidak turun sebanyak 50 mg/dl dari awal
pada jam pertama, periksa dulu status hidrasi; jika baik, infus insulin dapat digandakan tiap
jam sampai tercapai penurunan glukosa yang stabil antara 50 dan 75 mg/jam dicapai. Ketika
glukosa plasma mencapai 250 mg/dl untuk KAD atau 300 mg/dl untuk SHH, mungkin dosis
insulin perlu diturunkan menjadi 0.05–0.1 unit· kg-1· h-1 ( 3–6 units/jam), dan dextrose ( 5–
10%) ditambahkan pada cairan intravena. Sesudah itu, dosis insulin atau konsentrasi dextrose
perlu disesuaikan untuk memelihara rata-rata kadar glukosa sampai asidosis pada KAD atau
status mental dan hyperosmolaritas pada SHH membaik.
Untuk mencegah hipokalemia, penambahan kalium diindikasikan pada saat kadar dalam
darah dibawah 5.5 mEq/l, dengan catatan output urin cukup. Biasanya, 20–30 mEq kalium
( 2/3 KCl dan 1/3 KPO4) pada setiap liter cairan infus cukup untuk mempertahankan
konsentrasi kalium serum antara 4–5 mEq/l. Penderita dengan KAD jarang menunjukkan
keadaan hipokalemia yang berat. Pada kasus-kasus demikian, kalium penggantian harus
dimulai bersamaan dengan cairan infus, dan terapi insulin harus ditunda sampai konsentrasi
kalium > 3.3 mEq/l untuk menghindari aritmia atau cardiac arrest dan kelemahan otot
pernapasan. Di samping kekurangan kalium dalam tubuh, hiperkalemia ringan sampai
sedang sering terjadi pada penderita dengan krisis hiperglikemia. Terapi insulin, koreksi
asidosis, dan penambahan volume cairan akan menurunkan konsentrasi kalium serum.
Apakah pasien mengalami keadaan syok? Jika iya, bagaimana cara mengatasi syok pasien
tersebut. Jika tidak, jelaskan alasan yang menguatkan pendapat Anda!
Iya pasien kasus diatas mengalami syok karena hiperglikemia, sehingga mengalami keadaan
tidak sadar, TD menurun (hipotensi) 70/50 mmHg, Nadi 120 kali/menit, RR 32 kali/menit
(sesak), Suhu 350C. Akral dingin, CRT > 3 detik.
Ketika kadar gula darah tinggi di luar kendali, ada risiko dehidrasi yang signifikan dan
dapat pula terjadi syok. Jika tidak ada cukup insulin dalam aliran darah, sel-sel tidak dapat
menggunakan glukosa yang ada di darah, dan justru beralih ke metabolisme anaerobik
alternatif untuk menghasilkan energi. Karena glukosa tidak bisa masuk ke dalam sel,
hiperglikemia (hiper= tinggi + gli= gula + emia) terjadi karena kadar glukosa menumpuk
dalam aliran darah. Ginjal mencoba untuk mengeluarkan kelebihan gula, tetapi karena
gradien konsentrasi kimia antara darah dan urine, sejumlah besar air juga hilang. Tubuh
dengan cepat mengalami dehidrasi dan tekanan darah menurun, menurunkan aliran darah ke
sel-sel. Sel yang sekarang kurang glukosa di dalamnya, sekarang juga kekurangan oksigen
dan beralih ke metabolisme anaerobik, menyebabkan produk hasil metabolisme anareob yang
berupa asam. Kelebihan asam dalam tubuh dapat mengubah metabolisme untuk semua organ,
sehingga oksigen lebih sulit digunakan. Kondisi ini akan terus memburuk hingga insulin dan
cairan diberikan kepada pasien. Kondisi ini seringkali disebut ketoasidosis diabetikum.
Pasien tersebut mengalami syok distributif bentuk syok septik yang menyebabkan
penurunan tajam pada resistensi vaskuler perifer. Patogenesis syok septic merupakan
gangguan kedua system vaskuler perifer dan jantung.
Pasien pada kasus tersebut mengalami syok septik fase hipodinamik karena adanya tanda di
salah satu ciri-ciri pada syok ini yaitu :
1) Tekanan vena sentral menurun
2) Hipotensi
4) Vasokonstriksi perifer
1. Posisi Tubuh
a. Posisi tubuh penderita diletakkan berdasarkan letak luka. Secara umum posisi
organ-organ vital.
b. Apabila terdapat trauma pada leher dan tulang belakang, penderita jangan
terjadinya luka yang lebih parah atau untuk memberikan pertolongan pertama
c. Penderita yang mengalami luka parah pada bagian bawah muka, atau penderita
tidak sadar, harus dibaringkan pada salah satu sisi tubuh (berbaring miring) untuk
memudahkan cairan keluar dari rongga mulut dan untuk menghindari sumbatan
jalan nafas oleh muntah atau darah. Penanganan yang sangat penting adalah
d. Penderita dengan luka pada kepala dapat dibaringkan telentang datar atau kepala
agak ditinggikan. Tidak dibenarkan posisi kepala lebih rendah dari bagian tubuh
lainnya.
e. Kalau masih ragu tentang posisi luka penderita, sebaiknya penderita dibaringkan
dengan kaki ditinggikan 30 cm sehingga aliran darah balik ke jantung lebih besar
dan tekanan darah menjadi meningkat. Tetapi bila penderita menjadi lebih sukar
2. Pertahankan Respirasi
a. Bebaskan jalan napas. Lakukan penghisapan, bila ada sekresi atau muntah.
b. Tengadah kepala-topang dagu, kalau perlu pasang alat bantu jalan nafas
(Gudel/oropharingeal airway).
3. Pertahankan Sirkulasi
Segera pasang infus intravena. Bisa lebih dari satu infus. Pantau nadi, tekanan
Konsep dasar untuk syok distributif adalah dengan pemberian vasoaktif seperti
sfingter prekapiler dan vena kapasitan untuk mendorong keluar darah yang
c:1-42) adalah
a. Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki (posisi
Trendelenburg).
menggunakan masker. Pada pasien dengan distress respirasi dan hipotensi yang
Cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer Laktat sebaiknya diberikan per
infus secara cepat 250-500 cc bolus dengan pengawasan yang cermat terhadap
tekanan darah, akral, turgor kulit, dan urin output untuk menilai respon terhadap
terapi.
d. Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak segera pulih, berikan obat-obat
vasoaktif (adrenergik; agonis alfa yang indikasi kontra bila ada perdarahan seperti
ruptur lien) :
Dopamin: Merupakan obat pilihan pertama. Pada dosis > 10 mcg/kg/menit,
terhadap jantung Sebelum pemberian obat ini harus diperhatikan dulu bahwa
pasien tidak mengalami syok hipovolemik. Perlu diingat obat yang dapat
neurogenik