Anda di halaman 1dari 8

Perekonomian Indonesia

EKU 307 (B1)


Dosen Pengampu : Drs. I Made Jember, M.Si

Oleh :

Kelompok 13

Luh Putu Indah Rahmasari (1607531014/08)

Ni Kadek Novita Madani (1607531018 / 10)

Ni Putu Esa Karisma Dewi (1607531020 / 12)

Program Studi Akuntansi

Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Udayana

2018
PEMBAHASAN

BAB 13

13.1 Perekonomian Indonesia dalam Wawasan Global


Perekonomian dunia tampaknya makin menjadi bebas. Hambatan tarif dan nontarif terus
dikikis melalui negosiasi dagang antar negara. Asosiasi perdagangan bebas makin meluas.
Perekonomian Indonesia dikepung oleh area perdagangan bebas seperti, SAARC,
ANZCERTA, Uni Eropa, NAFTA, dan malah telah tergabung dalam perdagangan bebas
seperti AFTA dan APEC. Mungkin dapat dikatakan bahwa semua partner dagang Indonesia
telah masuk pada salah satu kesepakatan daerah perdagangan bebas. Dalam hal yang
demikian ini rupanya sudah tertutup jalan bagi Indonesia untuk tidak melakukan hubungan
dagang ke luar negeri, dan begitu kita melihat hubungan dagang dengan luar negeri
Indonesia harus bersedia mengadakan perdagangan bebas atau setidaknya perdagangan yang
lebih bebas dengan negara partner dagangnya. Tampaknya pernyataan Presiden Suharto
pada penutupan pertemuan APEC di Bogor pada tahun 1994 harus diterima dengan lapang
dada. Pernyataannya adalah: "suka tidak suka, siap tidak siap, kita harus menerima
globalisasi perdagangan bebas". Beberapa kali pertemuan APEC selanjutnya menekankan
supaya komitmen Bogor direalisir, yakni membuka pergagangan bebas tahun 2010 bagi
negara maju dan tahun 2020 bagi negara berkembang. Oleh karena itu masalah yang
dihadapi perekonomian Indonesia yang makin bebas di masa depan adalah bagaimana cara
meraih keuntungan-keuntungan dari globalisasi.

13.2 Perekonomian Indonesia di masa yang akan datang


Sistem Negara dan Pemerintahan. Pada masa pemerintah Sukarno Indonesia merupakan
negara kesatuan, kemudian berubah menjadi negara federasi, setelah itu kembali lagi ke
negara kesatuan sampai sekarang setelah melewati pemerintahan Suharto, Habibie,
Abdulrahman Wahid, Megawati Sukarno Putri, dan terakhir Susilo Bambang Yudhoyono.
Namun pada masa reformasi dari tahun 1998 muncul kembali wacana untuk mengubah
sistem negara kesatuan menjadi negara federal.
Pada masa pemerintahan Sukarno Indonesia memakai sistem pemerintahan demokratis
dengan multipartai. Pada saat itu muncul pendapat bahwa demokrasi Barat tidak cocok
untuk bangsa Indonesia sehingga terjadi perubahan menjadi demokrasi terpimpin, atau
demokrasi Pancasila; dan dari demokrasi parlementer ke demokrasi presidensial. Pada masa
pemerintahan Suharto partai disederhanakan menjadi tiga dan sistem pemerintahan adalah
diktator militer. Sistem pemerintahan dengan tiga partai dan diktator militer ini runtuh pada
waktu krisis moneter yang dibarengi dengan jatuhnya Suharto dan muncul gerakan
reformasi di bidang politik dan ekonomi. Indonesia kembali ke sistem banyak partai, malah
jumlah partai jauh lebih banyak dibandingkan pada masa pemerintahan Sukarno. Kembali
menggunakan sistem demokrasi dan dilaksanakan pemilihan umum langsung. Pengalaman
pahit pada masa Sukarno dengan sistem demokrasi yang mengakibatkan pergantian Menteri
berkali-kali tampaknya ada gejala untuk muncul kembali pada pemerintahan Susilo
Bambang Yudoyono dengan munculnya isu pada awal 2010 akan ada pergantian kabinet,
padahal pemerintahan baru berjalan 100 hari. Hal yang mirip dengan keadaan di mana
Indonesia menganut demokrasi parlementer di tahun 1950an di mana kabinet jatuh bangun,
ada kabinet yang hanya berumur tiga bulan.
Sulit menghubungkan antara bentuk negara kesatuan atau federasi dengan tujuan
pembangunan ekonomi. Namun rupanya dalam waktu 10-20 tahun mendatang Indonesia
masih tetap menganut sistem negara kesatuan. Yang perlu di sini diperhatikan adalah
mengenai Otonomi Daerah, bahwa kewenangan yang tersentralisasi mengakibatkan
pembangunan yang tidak seimbang antara Jawa, Indonesia Bagian Barat, dan Indonesia
Bagian Timur. Pemberian otonomi yang lebih luas dan bertanggung jawab mungkin akan
lebih memeratakan pembangunan antar propinsi dan antar pulau, dan usaha ke arah otonomi
keuangan daerah yang makin luas akan meredakan kemauan beberapa pemerintah daerah
untuk memisahkan diri dari NKRI seperti yang muncul sebagai isu pada masa reformasi.
Banyak ahli berpendapat bahwa dalam jangka panjang sistem pemerintahan yang
demokratis mempunyai tingkat pertumbuhan sekonomi yang lebih tinggi dari pada sistem
pemerintahan yang diktator, dan sistem perekonomian sosialis atau komunis mempunyai
tingkat ketimpangan distribusi pendapatan yang lebih baik dari pada sistem pemerintahan
yang kapitalis. Selanjutnya mereka berpendapat bahwa yang lebih penting adalah stabilitas
politik dalam satu rejim. Dari pengalaman sejak Indonesia merdeka rupanya tidak terbukti
bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi pemerintahan yang demokratis (masa presiden
Sukarno dan masa setelah Suharto) lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi pada
pemerintahan diktator militer pemerintahan Suharto. Mungkin memerlukan waktu yang
lebih lama untuk membuktikan pendapat para ahli tersebut. Namun rupanya terbukti bahwa
stabilitas dalam satu sistem memegang peran penting, yakni tingkat pertumbuhan ekonomi
dalam pemerintahan diktator militer yang stabil (masa Suharto) tinggi dibandingkan dengan
sistem demokrasi dengan stabilitas politik yang goyah.
Mengenai beda distribusi pendapatan pada berbagai sistem pemerintahan, Indonesia
hanya mengalami sistem sosialis dalam kurun waktu yang pendek, pada masa akhir
pemerintahan Sukarno, barangkali tidak sampai 5 tahun, sedangkan masa dengan
perekonomian pasar dalam kurun waktu yang jauh lebih lama, masa pemerintah Suharto dan
sesudahnya sampai sekarang (lebih dari 40 tahun). Distribusi pendapatan sejak Suharto
sampai sekarang, sebagaimana ditunjukkan pada Bab 2 dengan rasio Gini, rasio Kuznets
ataupun IPM selalu menunjukkan tingkat ketimpangan yang sedang (menengah). Mungkin
dapat diduga bahwa tingkat ketimpangan distribusi pendapatan pada masa Indonesia dengan
sistem ekonomi sosialis ala Indonesia lebih jelek dari pada perekonomian dengan sistem
bukan sosialis. Jadi dari sudut sistem negara dan pemerintahan, tampaknya perekonomian
Indonesia di masa datang akan tetap berada di bawah naungan NKRI dengan sistem
pemerintah yang demokratis dan sistem ekonomi yang bukan sosialis melainkan condong ke
pasar bebas dengan peranan pemerintah yang cukup besar dalam bidang ekonomi untuk
meningkatkan laju pertumbuhan dan mempertahankan ketimpangan distribusi pendapatan
setidak-tidaknya pada tingkat yang sedang.
Politik, Ekonomi, dan Hukum. Sebelum dan setelah proklamasi Indonesia selalu
menghadapi gejolak politik dalam dan luar negeri yang tidak aman, maksudnya selalu
diwarnai oleh peperangan. Wacana pembenar pada masa itu adalah bahwa politik menjadi
komando dari setiap kebijakan pemerintah. Dalam kancah politik tidak ada masalah benar
salah, yang ada adalah siapa mendapat apa. Dapat dibayangkan bagaimana akibatnya
terhadap kesejahteraan masyarakat kalau politik adalah komando dari setiap kebijaksanaan.
Salah satunya adalah korupsi. Korupsi sesungguhnya telah banyak dipraktekkan pada masa
pemerintahan Sukarno, dan usaha untuk memberantas korupsi pun waktu itu telah banyak,
namun usaha tersebut macet. Ucapan bung Karno pada waktu itu adalah "kalau kita mencari
tikus jangan sampai membakar rumahnya". Ucapan tersebut memacetkan usaha
pemberantasan korupsi kalau korupsi itu menyangkut pejabat tinggi dalam pemerintahan.
Korupsi merupakan salah satu penolakan dari hal yang benar. Namun, mungkin karena
Indonesia merebut kemerdekaannya, bukan dengan jalan damai, seolah-olah masyarakat
Indonesia menolak semua hal-hal yang benar di masa penjajahan. Sampai-sampai tepat
waktu pun seolah-olah ditolak. Pada waktu itu timbul istilah jam karet, jam yang tidak
menunjukkan waktu yang tepat. Seorang pegawai (negeri) yang tepat waktu masuk dan
waktu pulangnya dikatakan sebagai pegawai Belanda, yang tidak karuan waktu masuk dan
waktu pulangnya disebut sebagai pegawai republik.
Kita dapat membayangkan akibatnya terhadap kesejahteraan masyarakat, kalau politik
sebagai komando tindakan pemerintah dan tindakan masyarakat. Hanya segelintir orang
yang mengalami keuntungan dari keadaan tersebut, sebagian besar masyarakat miskin dan
miskin sekali. Dalam kancah internasional, Indonesia dikatakan sebagai "a Nation of coolies
dan coolie among Nations (negara yang terdiri dari kuli, dan negara kuli di antara bangsa-
bangsa)". Pemerintahan Sukarno diakhiri dengan demonstrasi mahasiswa dan masyarakat
yang, antara lain, menuntut ekonomi "Yes", politik "No". Kemudian pada pemerintahan
Suharto, ekonomi sebagai komando setiap kebijaksanaan pemerintah. Ekonomi sebagai
komando juga akan menghasilkan pemerintahan dan masyarakat yang korup. Korupsi malah
merata di seluruh negeri, dan sulit membedakan mana perbuatan yang korup dan mana yang
tidak korup. Korupsi sudah dianggap sebagai kebudayaan. Istilah yang terkenal adalah KKN
(kroni, korupsi dan nepotisme). Di bidang ekonomi, karena ekonomi sebagai komando,
terlihat adanya kemajuan dalam arti pertumbuhan, malah sepanjang pemerintahan Suharto
pertumbuhan ekonomi termasuk tinggi, rata-rata 7-8 persen per tahun.
Pemerintah Suharto juga jatuh melalui demonstrasi mahasiswa dan masyarakat yang
menuntut, antara lain, pemberantasan korupsi (pemerintahan yang bersih) dan penegakan
hukum. Kebijaksanaan pemerintah dan tindakan masyarakat yang dikomandoi oleh ekonomi
selama pemerintahan Suharto (32 tahun) menimbulkan berbagai pungutan resmi maupun
itdak resmi oleh oknum pemerintah dan swasta yang tidak bertanggung jawab dan
menimbulkan istilah ekonomi biaya tinggi, penuh dengan pungutan yang tidak perlu. Di
masa datang, masalah korupsi, masalah ekonomi biaya tinggi, dan masalah penegakan
hukum rupanya tidak bisa ditolerir, kalau Indonesia menghadapi persaingan bebas dalam
bidang ekonomi yang dijanjikan oleh proses globalisasi ekonomi.
Kemajuan Teknologi dan Pertumbuhan Ekonomi. Pengalaman pembangunan ekonomi
pada masa Orde Baru, dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi, mungkin perlu ditiru di
masa mendatang. Kalau demikian halnya, maka pembangunan ekonomi di samping
menggunakan sumber daya dalam negeri juga menggunakan sumber daya dari luar negeri.
PMDN dan PMA terus digalakkan, swasta asing dibiarkan bersaing dan Joint venture
didorong berkembang di bumi pertiwi ini. Pinjaman dalam dan luar negeri mungkin
diperlukan untuk menambah modal dalam negeri. Penerimaan yang demikian ini rupanya
tidak bisa dibendung lagi karena globalisasi tidak hanya terjadi di sektor barang tetapi juga
di sektor jasa dan penanaman modal (investasi), dan bahkan di sektor pertanian.
Todaro dan Smith (2003 h.115) mengatakan bahwa Inggris menggandakan output per
orang dalam 60 tahun pertama sejak revolusi industrinya, Amerika Serikat melakukan hal
yang sama dalam waktu 45 tahun, Korea Selatan berhasil melakukan hal yang serupa hanya
dalam 11 tahun sejak 1966 sampai 1977. Sejarah pertumbuhan ekonomi juga menunjukkan
bahwa semakin terlambat satu negara memulai pertumbuhan ekonomi modernnya, maka
waktu yang diperlukan untuk menggandakan output per orang juga makin singkat. Untuk
Indonesia, kalau dihitung mulai sekarang (tahun 2010), barangkali tidak sampai memerlukan
waktu 5 tahun untuk menggandakan output per orang. Caranya adalah (i) loncat jauh dalam
bidang transfer teknologi, yang maksudnya langsung memakai teknologi produksi yang
paling mutakhir, dan (ii) memanfaatkan kesediaan modal dan tenaga ahli yang berlimpah
yang dimiliki oleh negara maju.
Subsidi dan Program Sosial. Kalau pemerintah Indonesia termasuk dalam "kelompok
Cairns" dalam putaran Uruguay yang menolak menandatangani kesepakatan kecuali ada
kemajuan di bidang pertanian (maksudnya pengurangan subsidi di bidang pertanian oleh
negara maju, lihat Seksi 12.3), maka tidaklah konsisten kalau Indonesia sendiri menerapkan
praktek subsidi pupuk di bidang pertanian dan di bidang lain seperti minyak bumi dan
listrik.
Dasar dari perekonomian Indonesia di masa datang yang dirumuskan dalam bab ini
adalah perdagangan internasional yang bebas tanpa hambatan seperti pada prinsip-prinsip
yang diterapkan pada GATT. Sistem ekonomi yang dianutnya adalah sistem pasar
berdasarkan atas kekuatan permintaan dan penawaran dengan intervensi yang minimum oleh
pemerintah. Dalam hal subsidi, harga dari barang yang diperdagangkan ditentukan oleh
pemerintah, bukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran. Misalnya subsidi bensin, atau
subsidi pupuk, sering kali mengakibatkan bensin dan pupuk hilang dari pasar dan timbul
pasar gelap. Di samping itu, yang menerima subsidi seperti ini kebanyakan golongan kaya,
bukan golongan yang semestinya dibantu oleh pemerintah. Selama harga tidak ditentukan
oleh pasar, maka hal tersebut tidak sesuai dengan sistem pasar. Ini termasuk, misalnya,
harga Sembako murah. Harga Sembako dalam hal ini ditentukan oleh pemerintah, dan oleh
karenanya tidak sesuai dengan sistem. Lagi pula, pengalaman mengenai penjualan Sembako
murah menunjukkan tidak sedikit pembeli yang mengendarai kendaraan roda dua atau roda
empat, malah dengan plat merah, yang tidak sesuai dengan tujuan pengadaan Sembako
murah tersebut. Oleh karena itu ditolak oleh sistem perekonomian pasar.
Namun apabila pemerintah mengintervensi pasar, seperti misalnya pada pasar beras
melalui Bulog, atau pasar devisa melalui cadangan devisa, maka hal ini masih sesuai dengan
dasar logika dari sistem pasar, karena harga masih tetap ditentukan oleh kekuatan
permintaan dan penawaran. Pemerintah bisa saja memberikan subsidi kepada mereka yang
betul-betul memerlukannya, asalkan tidak dengan cara menentukan harga. Jadi biarkan
harga barang ditentukan oleh permintaan dan penawaran, harga bisa distabilkan oleh
intervensi pemerintah, dan kalau harga masih terlalu tinggi bagi kelompok miskin, maka
mereka bisa dibantu oleh pemerintah. Misalnya jangan menjual Sembako murah, tetapi
Sembako atas kekuatan pasar, atau kalau toh disebut Sembako mahal, maka yang tidak
mampu dibantu oleh pemerintah. Semua pembeli tetap membayar harga barang dimaksud
sesuai dengan harga yang ditentukan oleh permintaan dan penawaran.
Pada prinsipnya sistem ekonomi yang disarankan oleh globalisasi adalah penggunaan
semua sumber daya masyarakat seefisien mungkin untuk mengejar pertumbuhan ekonomi
yang tinggi dan diimbangi oleh program sosial yang masif untuk mengejar distribusi
pendapatan yang tidak terlalu timpang.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai