PEMBAHASAN
A. Teori Asuransi
Teori asuransi ini hanya memberi landasan, karena pada dasarnya teori ini tidak
tepat untuk melandasi adanya pemungutan pajak. Premi kurang tepat bila diartikan sama
dengan pajak, karena premi dalam teori ini seharusnya sama dengan retribusi yang kontra-
prestasinya dapat dirasakan secara langsung oleh pemberi premi. Sementara pengertian
pajak tidak demikian. Premi yang diberikan kepada negara tidak sama dengan premi yang
diberikan kepada perusahaan dalam arti premi yang sesungguhnya. Apabila masyarakat
mengalami suatu kerugian, negara tidak dapat memberikan penggantian sebagaimana
layaknya perusahaan asuransi dan jumlah premi yang diberikan tidak bisa dihitung dalam
jumlah seimbang yang akan diberikan oleh negara.
B. Teori Kepentingan
Teori kepentingan sebagai landasan teori untuk pemungutan pajak kurang tepat,
sebab seharusnya kepentingan warga yang memiliki harta yang sedikit secara sosial
kepentingannya lebih banyak dan seharusnya membayar pajak juga seharusnya lebih banyak,
namun hal yang demikian tentunya tidak mungkin sehingga teori kepentingan sebagai
landasan pemungutan pajak kurang tepat.
Dasar teori ini adalah asas keadilan, yaitu setiap orang yang dikenakan pajak harus
sama beratnya. Pajak yang harus dibayar adalah menurut gaya pikul seseorang yang
ukurannya adalah besarnya penghasilan dan besarnya pengeluaran yang dilakukan. Mr. A.J.
Caren Stuart menyamakan asas gaya pikul dengan sebuah jembatan dengan menjelaskan
bahwa yang pertama harus dipikul adalah bobot jembatan itu sendiri baru kemudian
dibebani dengan beban yang lain. Artinya bahwa yang harus dipenuhi dalam kehidupan
seseorang tidak dimasukkan dalam pengertian gaya pikul. Kekuatan (gaya pikul) untuk
membayar pajak baru dilakukan setelah kebutuhan primer seseorang telah terpenuhi.
Kebutuhan primer ini merupakan asas minimum bagi kehidupan seseorang. Jika telah
terpenuhi, barulah pembayaran pajak dilakukan. Dalam konteks UU PPh asas minimum
kehidupan sebagaimana dimaksud tersebut bisa disebut dengan Penghasilan Tidak Kena
Pajak (PTKP). Apabila seseorang punya penghasilan di bawah batas PTKP berarti orang
tersebut tidak perlu membayar pajak, atau gaya pikulnya untuk membayar pajak adalah nihil.
Sebaliknya, bila penghasilannya di atas PTKP barulah terkena gaya pikul untuk membayar
pajak sesuai dengan ketentuan berdasarkan asas keadilan yang ditentukan dalam UU PPh.
Hal ini sesuai dengan pendapat dari Sinninghe Damste bahwa gaya pikul ditentukan
berdasarkan beberapa komponen, yaitu penghasilan, kekayaan, dan susunan keluarga Wajib
Pajak. Sama dengan pengertian tersebut, Prof. De Langen menjelaskan gaya pikul dalam
pengertian bahwa kekuatan seseorang untuk membayar uang kepada negara adalah setelah
dikurangi dengan minimum kehidupan. Teori gaya pikul ini ternyata diakui dan diikuti oleh
para sarjana karena lebih menekankan pada unsure seesorang dan rasa keadilan.
Teori ini menekankan bahwa pembayaran pajak yang dilakukan kepada negara
dimaksudkan untuk memelihara masyarakat dalam negara yang bersangkutan. Gaya beli
suatu rumah tangga dalam masyarakat adalah sama dengan gaya beli suatu rumah tangga
negara. Pembayaran pajak yang dilakukan pada negara lebih ditekankan pada fungsi
mengatur dari pajak agar masyarakat tetap eksis. Menurut Prof. Adriani, teori gaya beli ini
akan berlaku sepanjang masa terhadap masyarakat yang menganut sistem liberalism. Penulis
lebih condong menyebut teori gaya beli ini sebagai teori yang bersifat universal dan berlaku
di seluruh dunia. Dengan kata lain, kemaslahatan suatu masyarakat akan tetap terjamin
dengan pembayaran pajak berdasarkan teori gaya beli ini.
E. Teori Bakti
Teori ini menekankan pada paham organische staatsleer yang mengajarkan bahwa
karena sifat negara sebagai suatu organisasi (perkumpulan) dari individu-individu, maka
timbul hal mutlak negara untuk memungut pajak. Melihat sejarah terbentuknya suatu
negara, maka teori bakti ini bisa dikatakan sebagai adanya perjanjian dalam masyarakat (tiap-
tiap individu) untuk membentuk negara dan menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada
negara untuk memimpin masyarakat. Karena adanya kepercayaan yang diberikan masyarakat
kepada negara, maka pembayaran pajak yang dilakukan kepada negara merupakan bakti dari
masyarakat kepada negara, karena negaralah yang bertugas menyelenggarakan kepentingan
masyarakatnya. Teori bakti ini disebut juga teori kewajiban mutlak.
Yurisdiksi pemungutan pajak merupakan salah satu cara pemungutan pajak yang
didasarkan pada tempat tinggal seseorang atau berdasarkan kebangsaan seseorang atau
berdasarkan sumber di mana penghasilan diperoleh. Yuridiksi yang dimaksud adlah batas
kewenangan yang dapat dilakukan oleh suatu negara dalam memungut pajak terhadap
warga negaranya, agar pemungutannya tidka menjadi berulang-ulang yang bisa
memberatkan orang yang dikenakan pajak.
Merupakan suatu asas pemungutan pajak berdasarkan tempat tinggal atau domisili
seseorang. Suatu negara hanya dapat memungut pajak terhadap semua orang yang
bertempat tinggal atau berdomisili di negara yang bersangkutan atas seluruh penghasilan di
mana pun diperoleh, tanpa memperhatikan apakah orang yang bertempat tinggal tersebut
warga negaranya atau warga negara asing.
Contoh:
Tuan Ali bertempat tinggal dan bekerja di Indonesia. Selain memperoleh penghasilan
dari Indonesia. Tuan Ali juga memperoleh penghasilan dari Singapura dan Malaysia.
Berdasarkan UU PPh, maka Indonesia berhak mengenakan pajak dari seluruh penghasilan
yang diperoleh Tuan Ali dari Indonesia, Singapura, maupun Malaysia. Hal ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU PPh yang menegaskan bahwa atas penghasilan yang diterima
dari luar Indonesia adalah objek pajak. Dengan demikian, Tuan Ali harus melaporkan seluruh
penghasilan yang diterimanya dari seluruh dunia (world wide income) dalam laporan
pajaknya ke Indonesia.
B. Asas Kebangsaan
Merupakan suatu asas pemungutan pajak yang didasarkan pada kebangsaan suatu
negara. Suatu negara akan memungut pajak kepada setiap orang yang mempunyai
kebangsaan atas negara yang bersangkutan sekalipun orang tersebut tidak bertempat tinggal
di negara yang bersangkutan. Misalnya, Negara A akan memungut pajak terhadap semua
orang yang berkebangsaan Negara A sekalipun orang tersebut tidak bertempat tinggal di
Negara A. AS adalah contoh negara yang menganut asas kebangsaan atau kewarganegaraan.
Setiap orang yang memegang paspor Amerika akan dikenai pajak di Amerika sekalipun tidak
bertempat tinggal di Amerika.
UU PPH tidak menganut asas kebangsaan. Pasal 2 ayat (4) UU PPh menyebutkan
bahwa orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 hari disebut sebagai subjek pajak luar negeri. Bahkan dalam Peraturan
Dirjen Pajak No. 2/PJ/2009 diatur bahwa pekerja Indonesia di luar negeri adalah subjek pajak
luar negeri, dan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pekerja Indonesia di luar
negeri, tidak dikenai PPh di Indonesia.
Contoh:
Azis merupakan warga negara Indonesia yang berada di Thailand selama 5 bulan.
Dalam rentang waktu tersebut, Azis menerima penghasilan dari Thailand dan Indonesia.
Maka negara Indonesia berhak mengenakan pajak terhadap penghasilan yang diterima oleh
Azis baik dari Thailand maupun dari Indonesia.
C. Asas Sumber
Merupakan suatu asas pemungutan pajak yang didasarkan pada sumber atau tempat
penghasilan berada. Apabila suatu sumber penghasilan berada di suatu negara, maka negara
tersebut berhak memungut pajak kepada setiap orang yang memperoleh penghasilan dari
tempat atau sumber penghasilan tersebut berada.
Contoh :
Penghasilan yang diterima oleh Singapore Ltd (wajib pajak luar negeri) atas jasa yang
digunakan di Indonesia dapat dikenakan pajak.
UU PPh menganut ketiga asas tersebut. Khusus terhadap asas tempat tinggal atau
asas domisili, UU PPh (UU No. 17 Tahun 2000) menegaskan adanya batasan waktu untuk
bertempat tinggal atau berada di Indonesia, yaitu lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12
bulan. Keberadaan lebih dari 183 hari tidaklah haus berturut-turut, tetapi ditentukan oleh
jumlah hari seseorang berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 bulan sejak
kedatangannya di Indonesia. Untuk asas kebangsaan dan asas sumber dapat dipahami, yaitu
bahwa terhadap setiap warga negara Indonesia di mana pun berada akan dikenakan paak
oleh negara Indonesia, demikian pula halnya bila seseorang bukan warga negara Indonesia
tetapi memperoleh penghasilan dari Indonesia, maka negara Indonesia mempunyai hak
untuk mengenakan pajak kepada setiap orang yang memperoleh penghasilan dari sumber
penghasilan tersebut berada.
A. Stelsel Nyata
Menurut stelsel nyata, pengenaan pajak didasarkan pada objek atau penghasilan
yang sungguh-sungguh diperoleh dalam setiap tahun pajak atau periode pajak. Dalam stelsel
nyata pengenaan pajak didasarkan pada penghasilan yang sebenarnya dari wajib pajak.
Pemungutan pajak pada sistem ini dilakukan pada akhir tahun pajak, yaitu setelah
penghasilan sesungguhnya dari wajib pajak diketahui. Kelebihan dari stelsel ini adalah pajak
yang dikenakan realistis, sesuai dengan yang seharusnya dibayarkan oleh Wajib Pajak.
Sedangkan kelemahan dari stelsel ini pajak baru dapat dibayarkan pada akhir tahun pajak.
B. Stelsel Anggapan
Stelsel yang pemungutan pajak berdasarkan pada suatu anggapan (fiksi). Misalnya
dalam kaitannya dengan Pajak Penghasilan, umumnya anggapan yang digunakan adalah
penghasilan tahun sekarang (tahun berjalan) sama dengan penghasilan tahun yang lalu
(tahun sebelumnya), sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak
yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Dalam stelsel ini besarnya pajak yang harus
ditetapkan didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang.
Kelebihan dari sistem ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa
harus menunggu akhir tahun. Sedangkan kekurangan dari sistem ini terkadang besarnya
pajak yang dibayar tidak sesuai dengan besarnya pajak yang seharusnya dibayarkan.
C. Stelsel Campuran
Apabila ternyata pajak yang dibayarkan kurang, maka wajib pajak harus
menambahnya, dan apabila yang dibayarkan berlebih maka wajib pajak berhak untuk
mengambil kelebihan tersebut. kebaikan dari stelsel ini adalah bahwa pajak sudah dapat
dipungut di awal tahun pajak. Sedangkan kelemahannya adalah fiskus bertambah drastic dan
akibatnya seringkali tidak terselesaikan.
2.4 Penggolongan Jenis Pajak
Jenis-jenis pajak yang dapat dikenakan digolongkan dalam 3 golongan, yaitu menurut
sifatnya, sasaran/objeknya, dan lembaga pemungutannya.
1) Menurut Sifatnya
Jenis-jenis pajak menurut sifatnya dapat dibagi dua, yaitu pajak langsung dan pajak
tidak langsung. Pajak langsung adalah pajak-pajak yang bebannya harus dipikul sendiri oleh
Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain serta dikenakan secara berulang-
ulang pada waktu-waktu tertentu, misalnya PPh.
Pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya dapat dilimpahkan kepada orang
lain dan hanya dikenakan pada hal-hal tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu saja,
misalnya Pajak Pertambahan Nilai.
2) Menurut Sasaran/Objeknya
Menurut sasarannya, jenis-jenis pajak dapat dibagi dua, yaitu pajak subjektif dan
pajak objektif. Pajak subjektif adalah jenis pajak yang dikenakan dengan pertama-tama
memperhatikan keadaan pribadi Wajib Pajak (subjeknya). Setelah diketahui keadaan
subjeknya barulah diperhatikan keadaan objektifnya sesuai gaya pikul, apakah dapat
dikenakan pajak atau tidak, misalnya PPh.
Menurut lembaga pemungutnya, jenis pajak dapat dibagi dua, yaitu jenis pajak yang
dipungut oleh pemerintah pusat dan jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah,
yang sering disebut dengan pajak pusat dan pajak daerah.
Pajak pusat adalah jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang dalam
pelaksanaannya dilakukan oleh Departemen Keuangan cq. Direktorat jenderal Pajak. Hasil
dari pemungutan pajak pusat dikumpulkan dan dimasukkan sebagai bagian dari penerimaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Proses administrasi yang berkaitan
dengan pajak pusat dilaksanakan di Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Pelayanan
Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan, dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak serta
Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak.
Jenis pajak pusat yang dikelola oleh Departemen Keuangan cq. Direktorat Jenderal
Pajak adalah sebagai berikut.
a. PPh
e. Bea Meterai
Sedangkan untuk jenis pajak daerah dan retribusi daerah, pengelolaannya dilakukan
oleh Dinas Pelayanan Pajak yang berada dalam pengawasan pemerintah daerah masing-
masing. Pengaturan pajak daerah dan retribusi derah diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada
daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Retribusi daerah adalah
pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus
disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi
atau badan. Proses administrasinya dilaksanakan di Kantor Dinas Pendapatan Daerah atau
Kantor Pajak Daerah atau kantor sejenis yang dibawahi oleh pemerintah daerah setempat.
Pengelolaan pajak daerah dibagi atas pajak yang dikelola oleh provinsi dan pajak
yang dikelola oleh kabupaten/kota. Hasil dari pungutan jenis pajak ini kemudian digunakan
untuk membiayain belanja pemerintah daerah. Jenis pajak daerah yang dikelola oleh provinsi
adalah sebagai berikut.
a. Pajak Hotel
b. Pajak Restoran
c. Pajak Hiburan
d. Pajak Reklame
g. Pajak Parkir
c. Perizinan Tertentu
Perizinan tertentu adalah kegiatan tertentu pemerintah daerah
dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang
dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan
atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam,
barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi
kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
Pasal 110 UU No. 28 Tahun 2009 memberikan contoh apa saja yang termasuk dalam
jenis retribusi jasa umum, yaitu sebagai berikut.
c. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan
Sipil
Sedangkan yang tergolong jenis retribusi jasa usaha diatur dalam Pasal 127, terdiri
atas berikut.
d. Retribusi Terminal
Selanjutnya yang tergolong jenis retribusi perizinan tertentu diatur dalam Pasal 141,
yang terdiri atas berikut.
Sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi empat macam, yaitu official
assessment system, semiself assessment system, self assessment system, dan withholding
system.
1) Official assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada pemungut pajak (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar (pajak
yang terutang) oleh seseorang. Dengan sistem ini masyarakat (wajib pajak) bersifat pasif dan
menunggu dikeluarkannya suatu ketetapan pajak oleh fiskus. Besarnya utang pajak
seseorang baru diketahui setelah adanya surat ketetapan pajak.
Sistem ini juga diterapkan dalam hal pelunasan Pajak Bumi Bangunan (PBB), dimana KPP
akan mengeluarkan surat ketetapan pajak mengenai besarnya PBB yang terutang setiap
tahunnya. Jadi, Wajib Pajak tidak perlu menghitung sendiri, tapi cukup membayar PBB
tersebut berdasarkan Surat Pembayaran Pajak Terutang (SPPT) yang dikeluarkan oleh KPP
dimana tempat objek pajak tersebut terdaftar. Sistem pemungutan pajak ini memberi
wewenang kepada pemerintah (petugas pajak) untuk menentukan besarnya pajak terhutang
wajib pajak.
2) Semiself assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang pada fiskus dan wajib pajak untuk menentukan besarnya pajak seseorang yang
terutang. Dalam sistem ini, setiap awal tahun pajak Wajib Pajak menentukan sendiri
besarnya pajak yang terutang untuk tahun berjalan yang merupakan angsuran bagi wajib
pajak yang harus disetor sendiri. Baru kemudian pada akhir tahun pajak fiskus menentukan
besarnya utang pajak yang sesungguhnya berdasarkan data yang dilaporkan oleh Wajib
Pajak.
3) Self assement system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
penuh kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetorkan, dan
melaporkan sendiri besarnya utang pajak. Dalam sistem ini Wajib Pajak yang aktif sedangkan
fiskus tidak turut campur dalam penentuan besarnya pajak yang terutang seseorang, kecuali
Wajib Pajak melanggar ketentuan yang berlaku.
4) With holding system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang pada
pihak ketiga untuk memotong/memungut besarnya pajak yang terutang. Pihak ketiga yang
telah ditentukan tersebut selanjutnya menyetor dan melaporkannya kepada fiskus. Pad
sistem ini, fiskus dan Wajib Pajak tidak aktif. Fiskus hanya bertugas mengawasi saja
pelaksanaan pemotongan/pemungutan yang dilakukan oleh pihak ketiga.
Contohnya adalah pemotongan penghasilan karyawan yang dilakukan oleh bendahara suatu
perusahaan. Dalam sistem ini karyawan tidak usah pergi ke kantor pajak untuk membayar
pajak tersebut. With holding system dikenal juga dengan istilah pajak pot put (potong
pungut). Jenis pajak pot put di Indonesia yang menggunakan with holding system adalah PPh
pasal 22, pasal 23, pasal 21, PPh Final pasal 4 ayat (2) dan PPN.
Tahun 1968 sampai 1983, sistem perpajakan masih menggunakan sistem semiself
assessment dan withholding dengan tata cara yang disebut MPS dan MPO. Barulah tahun
1984 ditetapkan sistem self assessment secara penuh dalam sistem pemungutan pajak
Indonesia, yaitu dengan diundangkannya UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang mulai berjalan pada 1 Januari 1984.
Sistem self assessment yang diatur dalam UU KUP sampai saat ini tetap berlaku
sekalipun UU KUP sudah mengalami perubahan, yaitu dengan diundangkannya UU No. 28
Tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas UU KUP tahun 1984. Sistem self assessment
secara jelas dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 12 UU KUP, yang menegaskan sebagai
berikut.
Ayat (1): Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya
surat ketetapan pajak.
Ayat (2): Jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan (SPT) yang disampaikan
oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Ayat (3): apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang
menurut SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur Jenderal Pajak
menetapkan jumlah pajak yang terutang.
DAFTAR PUSTAKA
B. Ilyas, Wirawan dan Burton, Richard. 2014. Hukum Pajak. Jakarta: Salemba Empat