Anda di halaman 1dari 17

(REVISI) MAKALAH ETNOFARMASI

PERKEMBANGAN OBAT ANTIINFEKSI HIV

Dosen:

Bawon Triatmoko, S.Farm., M.Sc., Apt.

Disusun oleh:

Kelompok 5

1. Permata Sari Pratiwi 162210101069


2. Ni’matul Mauludiyah 162210101070
3. Ni Made Chandra N. 162210101073
4. Widiya Wahyu Windarti 162210101074

BAGIAN BIOLOGI FARMASI


FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS JEMBER
2018

ETNOFARMAKOLOGI Page i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ....................................................................................................................................ii


BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
BAB 2. PEMBAHASAN ...................................................................................................... 2
2. 1 Human Immunodeficiency Virus .............................................................................. 2
2. 2 Tanda dan Gejala ..................................................................................................... 2
2. 3 Pentingnya Penemuan Obat Anti-HIV Baru ............................................................. 3
2. 4 Perkembangan Penelitian Obat Baru HIV ................................................................ 3
2.4.1 Spektrum Uji ........................................................................................................ 4
2.4.2 Tahap Pra Klinis/Klinis ........................................................................................ 7
2.4.3 Tahap Studi Lapang............................................................................................ 10
BAB 3. PENUTUP ............................................................................................................. 14
3.1 Kesimpulan............................................................................................................ 14
3.2 Saran ..................................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 15

ETNOFARMAKOLOGI Page ii
BAB 1. PENDAHULUAN

Kasus AIDS pertama kali dilaporkan terjadi di Amerika Serikat pada Juni 1981. Saat
ini, ada lebih dari 1,1 juta orang hidup bersama dengan virus HIV dan lebih dari 700.000
orang dengan AIDS yang telah meninggal sejak awal kejadian epidemik ini. HIV terus
memiliki dampak yang tidak proporsional pada populasi tertentu, terutama ras dan etnis
minoritas dan kaum laki-laki gay dan biseksual dan atau kaum laki-laki dan perempuan
normal (KFF Henry J Kaiser Family Foundation, 2018).

Tes HIV penting untuk pengobatan dan upaya pencegahan. Namun, 14% dari mereka
yang terinfeksi HIV bahkan tidak menyadari bahwa mereka sedang terinfeksi (KFF
Henry J Kaiser Family Foundation, 2018).

Tanpa pengobatan, infeksi HIV akan berkembang menjadi AIDS dalam waktu sekitar
10 tahun, dengan kematian yang datang dalam jangka waktu 3 tahun setelah AIDS mulai
menunjukkan onsetnya. Dengan pengobatan yang tepat, seseorang yang berusia 20 tahun
yang terinfeksi HIV dapat berharap hidup hingga mencapai usia 71 tahun. Kondisi
dramatis ini meningkat pada tekanan harapan hidup yang memerlukan adanya diagnosis
dan pengobatan dini. Terlebih, dengan rejimen pengobatan dan guideline terbaru, ada
alasan untuk berpikir bahwa harapan untuk hidup akan terus meningkat pada pasien yang
dapat memperoleh pengobatan yang tepat (Nettleman dan David, 2017).

Penggunaan obat herbal masih sangat luas digunakan. Selain murah, banyak yang
percaya obat herbal dari bahan alam menimbulkan efek samping yang lebih sedikit
dibandingkan obat-obat sintetis. Banyak tumbuhan yang tersebar di berbagai belahan
dunia belum tereksplorasi kegunaannya untuk suatu penyakit tertentu.

Oleh karena itu pencarian dan pengembangan obat baru anti HIV dari bahan alam,
sangat penting untuk dilakukan. Kesempatan besar yang tersedia untuk mengeksplorasi
kekayaan alam untuk menyelamatkan penduduk bumi dari epidemik infeksi HIV yang
tiap tahun selalu memburuk.

ETNOFARMAKOLOGI Page 1
BAB 2. PEMBAHASAN
2. 1 Human Immunodeficiency Virus

Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan virus yang tersebar melalui darah
yang biasanya ditularkan melalui hubungan seksual, selain itu dapat juga ditularkan
melalui obat-obat intravena, dan penularan ibu-anak (Mother-To-Child Transmission
(MTCT)), yang dapat terjadi selama proses persalinan atau saat pemberian ASI. Penyakit
HIV disebabkan oleh adanya infeksi dari virus HIV-1 atau HIV-2, yang merupakan
retrovirus keluarga Retroviridae, genus Lentivirus (Bennett, 2018).

2. 2 Tanda dan Gejala

Pasien dengan HIV dapat mengalami tanda dan gejala dari berbagai tingkat dari
infeksi HIV. Tidak ada gejala perubahan fisik yang spesifik terhadap infeksi HIV; satu-
satunya gejala perubahan fisik itu sendiri ialah adanya infeksi atau penyakit (Bennett,
2018). Manifestasi klinisnya yaitu:

a. Manifestasi serokonversi akut (seroconversion acute) seperti sakit flu yang terdiri atas
demam, malaise, dan ruam-ruam umum
b. Fase asimptomatis umumnya bersifat jinak
c. Limfadenopati yang menyebar adalah umum dan dapat menimbulkan gejala lain
d. Manifestasi AIDS yaitu berupa infeksi yang terjadi berulang, parah, dan terkadang
bersifat mengancam nyawa atau dapat berupa keganasan oportunistik
e. Infeksi HIV dapat menyebabkan sequelae (konsekuensi dari penyakit atau cedera
sebelumnya), termasuk demensia atau encelopati yang berkaitan dengan AIDS dan
HIV Wasting Syndrome (diare kronis dan penurunan berat badan tanpa penyebab yang
dapat diidentifikasi) (Bennett, 2018).
ETNOFARMAKOLOGI Page 2
2. 3 Pentingnya Penemuan Obat Anti-HIV Baru

Sekitar 1,1 juta orang di Amerika yang menjalani hidupnya dengan virus HIV.
Penyebaran penyakit HIV semakin tidak terkontrol tiap tahun. Komplikasi dari infeksi
HIV kebanyakan merupakan stem dari ketidakcocokan sistem imum, terutama limfosit
CD4+. Sebagaimana HIV memasuki tahap 3, kerusakan sistem imum memberi
kecenderungan pasien menjadi AIDS—yang menegaskan adanya infeksi dan kanker.
Dengan pengobatan yang efektif, banyak pasien tidak akan lanjut ke tahap 3 infeksi. Ada
peningkatan tanda dari efek langsung HIV terhadap berbagai organ dan efek tidak
langsung melalui inflamasi atau pembengkakan yang terjadi terkait HIV. Kerusakan
organ dapat terjadi pada berbagai tingkatan infeksi. Meskipun ART efektif untuk
memperpanjang masa hidup dan mengurangi resiko dari berkembangnya penyakit, semua
rejimen pengobatan memiliki efek samping, dari masalah yang kecil seperti kelelahan
hingga masalah yang lebih serius seperti kerusakan hepar (Nettleman dan David, 2017).

Tanpa pengobatan, infeksi HIV akan berkembang menjadi AIDS dalam waktu sekitar
10 tahun, dengan kematian yang datang dalam jangka waktu 3 tahun setelah AIDS mulai
menunjukkan onsetnya. Dengan pengobatan yang tepat, seseorang yang berusia 20 tahun
yang terinfeksi HIV dapat berharap hidup hingga mencapai usia 71 tahun. Kondisi
dramatis ini meningkat pada tekanan harapan hidup yang memerlukan adanya diagnosis
dan pengobatan dini. Terlebih, dengan rejimen pengobatan dan guideline terbaru, ada
alasan untuk berpikir bahwa harapan untuk hidup akan terus meningkat pada pasien yang
dapat memperoleh pengobatan yang tepat. Ada beberapa faktor yang mengurangi harapan
untuk hidup, termasuk penggunaan obat-obat terlarang dan adanya kondisi lain seperti
hepatitis kronis (Nettleman dan David, 2017).

2. 4 Perkembangan Penelitian Obat Baru HIV

Dengan semakin meningkatnya jumlah peneliti yang berminat untuk meneliti dan
mengembangkan obat baru terkait infeksi HIV guna meningkatkan tingkat harapan hidup
penderita HIV, maka perkembangan penelitian obat HIV baru terus berkembang menjadi
lebih baik seiring dengan perkembangan dan kemajuan teknologi yang semakin modern.
Berikut merupakan penelitian yang telah dilakukan pada bahan alam guna mencari agen
anti HIV.

ETNOFARMAKOLOGI Page 3
2.4.1 Spektrum Uji

1. Uji Fitokimia

Pada perkembangan obat anti HIV, tidak lepas dari berbagai uji yang ada pada
tanaman yang memiliki aktivitas anti HIV. Sebelum mengetahui adanya aktivitas,
dilakukan uji salah satunya uji fitokimia. Pada uji fitokimia yaitu menguji kandungan
senyawa kimia yang mempunya aktivitas.

Pada tanaman Alchornea cordifolia, diteliti mempunyai aktivitas anti HIV tidak hanya
itu, tanaman ini mempunyai aktivitas antiinflamasi, antioksidan, immunomodulasi,
antimikroba. Tanaman ini mengandung senyawa kimia berupa terpenoid, flavonoid, asam
fenolitik, alkaloid, dan asam lemak. Bagian tanaman yang memiliki aktivitas anti HIV
yaitu bagian biji (Arg dkk., 2016) dan daun karena adanya kandungan polisakarida yang
kemudian akan diisolasi dan menghasilkan aktivitas immunomoduator untuk
menghasilkan jumlah makrofaq dan siste imun (Kouakou dkk., 2013).

Pada tanaman Terminalia sericea diteliti mempunyai aktivitas anti HIV, tidak hanya
itu, tanaman ini mempunyai aktivitas antifungi, antivirus, antioksidan. tanaman ini
mengandung triterpenoid, alkaloid, tannin, saponin dan flavonoid (Sancho dkk., 2008).
Bagian tanaman yang memiliki aktivitas yaitu akar dan daun (Staden, 2016).

Pada tanaman Sutherlandia frutescens, diteliti memiliki aktivitas anti HIV. Tanaman
ini mengandung flavonoid seperti quersetin dan glikosida (Prinsloo dkk., 2017) .

Untuk mengetahui senyawa alkaloid yang dapat menyebabkan reaksi positif palsu,
bagian dari ekstrak itu adalah alkalin dengan larutan amonia 40% kemudian diperlakukan
dua kali dengan kloroform. Ekstrak kloroform kedua dipekatkan dan kemudian diuji
ulang dengan Reagen Mayer dan Dragendorff. Flavonoid dideteksi dengan menggunakan
reaksi Shibata atau cyanide test, pengembangan warna merah-jingga atau keunguan
menunjukkan adanya flavon dalam glikon. dan untuk mendeteksi tannin diberikan
larutan ferric chloride perubahan warna hitam-biru menunjukkan adanya tannin
(Raymond dkk., 2015).

ETNOFARMAKOLOGI Page 4
2. Uji Sitotoksik

Tanaman yang melaui uji sitotoksik yaitu tanaman Elaeodendron transvaalense,


Terminalia sericea, Zanthoxylum davyi, Anredera cordifolia, Anogeissus acuminate
(Sancho dkk., 2008).

Pada uji sitotoksik anti HIV, digunakan sel MT2 (105/ml) dibenihkan di sumuran 96-
well pada media yang lengkap dan diberikan dengan peningkat dosis ekstrak selama 36
jam. Sampel kemudian diencerkan dengan 300 µL PBS dan diinkubasi selama 1 menit
pada suhu kamar dengan adanya propidium iodida (10 µg / ml). Setelah inkubasi, sel-sel
segera dianalisis dengan aliran sitometri. Semua hasil dihitung sebagai persentase
kematian sel dengan perangkat lunak GraphPad (Sancho dkk., 2008).

Ekstrak Elaeodendron transvaalense dalam aseton, etil asetat dan kloroform


menunjukkan persentase kematian sel yang lebih rendah setelah 36 jam pada konsentrasi
tertinggi yang diujikan (15 µg / ml). Ekstrak Zanthoxylum davyi dalam menunjukkan
sedikit toksisitas sel yaitu 2,4% kematian. Hasil ini menunjukkan bahwa, pada
konsentrasi yang diuji, aktivitas anti-NF-ᴋB dan anti-Tat bukan karena toksisitas seluler
(Sancho dkk., 2008). dan Ekstrak daun Alchornea cordifolia yang mengandung
polisakarida tidak menimbulkan ketoksikan sebagai immunomodulator (Kouakou dkk.,
2013).

3. Uji Bioassay

Pada ekstrak Anredera cordifolia, Clerodendrum glabrum, Elaeodendron


transvaalense, Poliathes tuberose, Senna petersiana, Rauvolfia caffra, Rotheca
myricoides, Senna occidental, Terminalia serices dan Zanthoxylum davyi dilakukan uji
bioassay, yaitu :

1. Glycohydrolase enzymes

Penghambatan enzim glikohidrolase,α -glucosidase dan β -glucuronidase ditentukan


dengan adanya substratnya, masing-masing dari ρ -nitrophenyl - α - D-glucopyranose dan
ρ –nitrophenyl β -D-glucuronide diteteskan pada sumuran microtitre 96-well di suatu
enzim kolorimetri berdasarkan pengujian (Sancho dkk., 2008).

ETNOFARMAKOLOGI Page 5
2. HIV reverse transcriptase (RT) assay

Efek dari ekstrak tumbuhan pada aktivitas RT dievaluasi dengan alat ELIM
colorimetric RT HIV- non-radioaktif. (Sancho dkk., 2008).

3.Cell lines assay

Sel MT2 dikultur dalam medium RPMI 1640 (Gibco BRL), mengandung 10% serum
fetal bovine, 2mM glutamin, penicillin, (50 IU/ml) dan streptomisin (50 µg /ml). Sel MT-
2 dikultur dalam CO2 5% pada suhu 37 ◦C di suasana lembab. 5.1 cell line
dipertahankan sebagai jalur sel MT2. Untuk menentukan aktivitas anti-NF-ᴋB dari
ekstrak yang dipilih, digunakan tes luciferase NF-ᴋB-dependent (Sancho dkk., 2008).

4. Hela-Tat-Luc assay

Untuk mengidentifikasi potensi ekstrak anti-Tat, digunakan sistem sel berbasis


luciferase yang lain (HeLa-Tat-Luc cell). Sel Hela-Tat-Luc secara stabil ditransfusikan
dengan plasmid pcDNA3-TAT bersama dengan reporter plasmid LTR-Luc (Sancho dkk.,
2008).

5. Hela-Tet-ON-Luc assay

Pengujia Ekstrak menjadi aktif di kedua NF-ᴋ B (> 50% penghambatan) dan Tat (>
30% penghambatan), kemudian dievaluasi oleh Hela-Tet-ON assay untuk membuang
aktivitas penghambatan luciferase nonspesifik (Sancho dkk., 2008).

Hasil pengujian bioassay pada ekstrak tanaman ini yaitu Terminalia serice memiliki
penghambatan pada α-glucosidase paling tinggi, kemudian diikuti Senna petersiana,
kemudian Anredera cordifolia, Clerodendrum glabrum, Elaeodendron transvaalense,
Poliathes tuberose, Rauvolfia caffra, Rotheca myricoides, Senna occidentalis dan
Zanthoxylum davyi yang tidak memiliki penghambatan pada α-glukosidase. Dalam uji β-
glukuronidase, ekstrak yang paling aktif adalah Senna petersiana dan Terminalia sericea
(Sancho dkk., 2008).

Pada ekstrak Bulbine alooides, Crinum macowant, Hypoxis sobolifera, Leonotis


leonurus dan Tulbaghia violacea juga dilakukan uji bioassay yang hamper mirip dengan
tanaman di atas. tetapi sebelum dilakukan uji bioassay dihilangkan kandungan taninnya

ETNOFARMAKOLOGI Page 6
untuk meningkatkan aktivitas anti HIV. Dalam ekstrak Bulbine alooides atau Leonotis
leonurus tidak ada senyawa penghambat HIV (Klos dkk., 2009).

2.4.2 Tahap Pra Klinis/Klinis

Pada sebagian besar uji etnofarmakologi pda obat anti HIV masih dalam uji pra klinis
yaitu baik secara in vitro maupun secara in vivo. Pada ekstrak tanaman Alchornea
cordifolia dilaporkan untuk aktivitas sebagai anti HIV secara in vitro. Pada uji, ekstrak air
dari biji tanaman ini dapat menghambat aktivitas HIV-1-reserve transcriptase (RT) pada
nilai EC50 <0.01-0.03 mg/ml (Arg dkk., 2016). Pada ekstrak daun (polisakarida) tanaman
Alchornea cordifolia memiliki aktivitas untuk mengaktifkan monocyte/makrofag
menghasilkan modulasi NO dan produksi sitokin (Kouakou dkk., 2013). Hal ini juga
berkaitan tentang mekanisme HIV pada tubuh dimana sel T dan makrofag dibunuh oleh
virus HIV tersebut.

Pada uji in vitro ekstrak air dan metanol daun Terminalia serice menunjukkan
penghambatan yang signifikan dari HIV-1 reverse transcriptase (RT) yang bergantung
fungsi RNA-dependent-DNA polymerase (RDDP) sebesar 74,2% dan 98,0% pada
konsentrasi 100 μg / ml dan nilai IC50 masing-masing 24,1 dan 7,2 μg / ml. Selanjutnya,
ekstrak berair dan metanol menunjukkan IC50 18,5 dan 8,1 μg / ml terhadap ribonuklease
H (RNase) fungsi HIV-1 RT, menunjukkan bahwa ekstrak ini menghambat fungsi RDDP
dan RNase H dari HIV-1 RT dengan cara yang sama. Para penulis Afrika lainnya
menyebut IC50 sekitar 90 μg / ml, sementara peneliti yang lain merekomendasikan
penghambatan sekitar 80% pada konsentrasi 5 mg / ml. Dalam penelitian lain, ekstrak etil
asetat dari akar tanaman ini menunjukkan 94% penghambatan HIV-1 reverse
transcriptase pada konsentrasi 200 μg / ml sedangkan ekstrak etanol dari akar
menunjukkan IC50 yang paling ampuh dari 0,0006 μg / ml dalam sel MAGI, pada
pengujian kadar logam. Meskipun data terbatas pada aktivitas spesies ini, dapat
diinformasikan bahwa ekstrak air dari spesies ini menghasilkan aktivitas sebagai obat
tradisional menggunakan air ketika menyiapkan decoctions untuk tujuan pengobatan
(Staden, 2016).

Pada tanaman Sutherlandia frutescens memiliki banyak data praklinis dan kemudian
diujikan secara in vivo. Sebuah studi fase I menunjukkan bahwa S. frutescens ditoleransi
dengan baik dan tidak menunjukkan efek samping yang signifikan. Baru-baru ini hasil

ETNOFARMAKOLOGI Page 7
dua tahap yang adaptif dari studi acak plasebo double-blind terkontrol diterbitkan. Studi
ini mengevaluasi keamanan mengkonsumsi S. frutescens oleh orang HIV dewasa
seropositif dengan CD4 T-lympocyt konsentrasi > 350 cell / μL. Sutherlandia frutescens
tidak mengubah viral load HIV, dan jumlah limfosit T CD4. Namun, rata-rata dan total
beban infeksi lebih besar pada S. frutescens yang dikaitkan dengan dua kasus
tuberkulosis pada subjek yang memakai terapi pencegahan isoniazid (IPT). Studi ini
menyimpulkan bahwa kemungkinan interaksi antara S. frutescens dan IPT perlu evaluasi
lebih lanjut, meskipun tidak ada masalah keamanan lain yang berkaitan dengan konsumsi
S. frutescens yang diidentifikasi. Aktivitas yang sama baiknya dari beberapa senyawa
seperti asam klorogenik pada virus lain seperti HSV juga mendukung penelitian intensif
in vivo untuk mendukung pengembangan ekstrak atau senyawa tumbuhan ini ke dalam
perawatan anti-viral. Selain S. frutescens yang memasuki studi klinis, tidak ada tanaman
lain dari wilayah ini yang telah maju ke tahap ini, meskipun mayoritas orang yang
terinfeksi HIV diobati dengan persiapan tanaman obat dari wilayah ini (Prinsloo dkk.,
2017).

Pada studi etnofarmakologi tahun 2016 dalam penelitian mengenai 3 step regimen
pengobatan HIV melalui beberapa jenis tanaman obat yang kemudian dilanjutkan
penelitiannya samapai pada tahun 2018, dilakukan uji sitotoksi in vivo oleh para peneliti
yang tertera dalam jurnalnya. Karena volume plasma virus dan jumlah sel CD4 + T dari
pasien yang menggunakan tiga langkah/step regimen tidak tersedia untuk peneliti, maka
peneliti menyelidiki efek dari ekstrak tanaman obat pada viabilitas sel dan penghambatan
replikasi HIV-1 menggunakan uji yang dijelaskan sebelumnya yaitu uji multi-cycle in
vitro viral replication (Tietjen et al., 2016). Uji ini menggunakan sel CEM-GXR, sel T
CD4-positif yang berisi reporter GFP yang digerakkan oleh LTR HIV-1, sehingga
ekspresi GFP menunjukkan infeksi HIV-1. Sel CEM-GXR terinfeksi dengan HIV-1
subtype B strain NL4.3 (HIV-1NL4.3) pada multiplisitas infeksi 0,03. Setelah 24 jam,
sel-sel dicuci dari supernatan yang mengandung virus, diperlakukan dengan ekstrak
tumbuhan dan / atau mengontrol ARV pada konsentrasi yang ditentukan, dan diinkubasi
selama 72 jam tambahan. Sel kemudian diukur untuk viabilitas dan infeksi HIV-1 (yaitu,
ekspresi GFP) relatif tidak diobati, kutur sel yang terinfeksi HIV. Hasil yang diperoleh
dari penelitian ini yaitu akar C. sieberiana, akar V. doniana, dan ekstrak kulit kayu C.
megalobotrys dapat menghambat replikasi HIV-1NL4.3 dengan dosis ketergantungan dan

ETNOFARMAKOLOGI Page 8
tanpa sitotoksisitas bersamaan. Ekstrak C. sieberiana dan V. doniana menghambat
replikasi HIV-1 sebesar 50% pada 84,8 µg / mL dan pada 25 µg / mL, sedangkan ekstrak
C. megalobotrys menghambat replikasi HIV-1 dengan maksimum 45% pada konsentrasi
rendah. 0,05 µg / mL. Ekstrak tidak mengganggu aktivitas antivirus ARV berlisensi
ketika digunakan secara bersamaan atau dikombinasikan. Selain itu juga menunjukkan
khasiat yang sebanding dalam membunuh virus bermutasi dan resistansi terhadap
protease berlisensi, reverse-transcriptase, atau integrase inhibitor (Tietjen dkk., 2016).

Setelah penelitian yang dilakukan oleh Tietjen dkk pada tahun 2016, penelitian
tersebut dilanjutkan kembali oleh Tietdjen dkk pada tahun 2018. Penelitian mengenai
obat anti HIV tersebut dijelaskan dalam jurnalnya dengan judul “The Croton
megalobotrys Müll Arg. Traditional medicine in HIV/AIDS management: Documentation
of patient use, in vitro activation of latent HIV-1 provirus, and isolation of active phorbol
esters” (“Croton megalobotrys Müll Arg. Obat Tradisional pada Penanganan HIV/AIDS:
Dokumentasi dari penggunaan pasien, aktivasi provirus laten HIV-1 secara in vitro, dan
isolasi ester phorbol aktif”).

Pengobatan HIV saat ini tidak bekerja pada HIV sel laten reservoir; yang
menyebabkan obat-obat tersebut tidak bersifat kuratif. Sementara senyawa percobaan
pembalik latensi (Latency Reversal Agents (LRA)) dapat mempromosikan ekspresi HIV
di sel-sel ini, sehingga memaparkan mereka pada sistem kekebalan tubuh, LRA yang
telah ada menunjukkan efikasi klinis yang terbatas dan toksisitas yang tinggi.
Sebelumnya penulis telah menjelaskan 3 step regimen tanaman obat tradisional yang
digunakan untuk penatalaksanaan HIV / AIDS di Botswana Utara yang dapat
menghambat replikasi HIV secara in vitro. Di sini kami menjelaskan penggunaan satu
komponen rejimen yang juga mengandung ester-ester phorbol baru yang memiliki sifat
pembalikan-latensi HIV (Tietjen dkk., 2018).

Tujuan dari penelitian ini adalah peneliti berusaha untuk mendokumentasikan


pengalaman dari pengguna obat tradisional, menilai kemampuan komponen obat
tradisional untuk membalikkan latensi HIV secara in vitro, dan mengidentifikasi senyawa
murni yang memberikan aktivitas ini (Tietjen dkk., 2018). Bahan yang diperlukan serta
metode yang dilakukan pada penelitian ini yaitu dari pengalaman dua pengguna obat
tradisional yang menderita HIV-positif (pasien) didokumentasikan menggunakan teknik

ETNOFARMAKOLOGI Page 9
wawancara kualitatif. Aktivitas pembalikan laten dinilai menggunakan model berbasis sel
(J-Lat, clone 9.2). Ekstrak tumbuhan kasar difraksinasi dengan kromatografi kolom
terbuka dan reversed-phase HPLC. Struktur senyawa dielusidasi menggunakan
spektroskopi NMR dan spektrometri massa (Tietjen dkk., 2018).

Hasil yang didapat dari penelitian ini yaitu pasien yang menggunakan 3 tahap
rejimen melaporkan peningkatan kesehatan selama beberapa tahun meskipun tidak ada
laporan penggunaan pengobatan HIV standar. Ekstrak kasar dari Croton megalobotrys
Müll Arg. (“Mukungulu”), komponen ketiga dari 3 tahap rejimen, yang menginduksi
ekspresi HIV dalam sel-sel J-lat ke tingkat yang sebanding dengan prostratin LRA yang
telah diketahui. Co-incubation dengan LRA yang telah diketahui dan inhibitor
farmakologis yang menunjukkan bahwa zat aktif dalam C. megalobotrys cenderung
menjadi aktivator protein kinase C (PKC). Sejalan dengan hasil ini, dua ester phorbol
baru (Namushen 1 dan 2) diisolasi sebagai komponen yang paling banyak dalam C.
megalobotrys dan cukup untuk menghasilkan pembalikan latensi HIV secara in vitro
(Tietjen dkk., 2018).

Sehingga pada akhir penelitian ini peneliti menyimpulkan telah


mengidentifikasi LRA baru kelas phorbol ester dari tanaman obat yang digunakan dalam
penatalaksanaan HIV / AIDS. Data ini, dikombinasikan dengan efek kesehatan yang
dilaporkan sendiri (self-reported health effects) dan aktivitas in vitro anti HIV dari 3-step
regimen tradisional ini seperti yang telah diuraikan sebelumnya, mendukung pengunaan
penelitian observasional longitudinal pada pasien yang menjalani rejimen ini untuk
mengukur dampaknya pada plasma yang memuat

2.4.3 Tahap Studi Lapang

Setelah pengajuan akar Cassia sieberiana DC ('Mororwe') oleh tabib tradisional Amos
Namushe pada penelitian tahun 2008–2009, tabib tersebut menyebutkan potensi sifat
anti-HIV dari akar V.doniana ('Mofofo ') dan kulit pohon C. megalobotrys (' Mukungulu')
selama penelitian lanjutan pada tahun 2010 dan 2012, masing-masing, di Maun,
Ngamiland District, Botswana, dan disediakan bagian tanaman kering untuk pengujian.
Pada bulan Februari dan Oktober 2014, dua tambahan bahan tanaman yang terdiri dari
akar V. doniana dan C. megalobotrys dewasa dikumpulkan dengan bantuan tabib
tradisional S. Simonambango (SS) di dua lokasi berbeda di Distrik Kazungula yang

ETNOFARMAKOLOGI Page 10
meliputi wilayah perbatasan Zambia / Botswana dan sekitar Maun di Botswana Utara-
Barat. Informasi tambahan tentang tanaman obat tradisional yang digunakan untuk
pengobatan dan manajemen HIV / AIDS diperoleh melalui pencarian literatur dan spesies
dikumpulkan di Gaborone. Selanjutnya, dua tabib tradisional dari desa Mmankgodi di
Botswana Selatan, Distrik Kweneng menyumbangkan pengetahuan tentang Jatropha
erythropoda dan Ozoroa paniculosa selama etnosurvey yang dilakukan antara 2008 dan
2010 (Andrae-Marobela et al., 2010). Etnosurvey ini termasuk wawancara mendalam dan
diskusi informal yang dilakukan setelah mendapatkan izin dari masyarakat dan informan.
Persetujuan etis dan izin penelitian selanjutnya diberikan oleh Kementerian Kesehatan,
Botswana (Izin no .: PPME: 13/18/1 Vol VIII (354)) dan Kementerian Infrastruktur,
Sains dan Teknologi, Botswana (Izin no: ETH 5 (1)). Selain itu, persetujuan yang
diinformasikan sebelumnya untuk mempublikasikan hasil penelitian ini dicari dan
diberikan oleh tabib tradisional Mr. Namushe dan Mr. Simonambango. Spesies tanaman
secara botanik dikonfirmasi oleh mantan kurator University of Botswana Herbarium M.
Muzila, dan spesimen-spesimen bukti disimpan di Herbarium Universitas Botswana
(UCBG) (Tietjen dkk., 2016).

Genus Vitex terdiri dari lebih dari 270 spesies tanaman yang terlibat dalam berbagai
penggunaan etnofarmakologi. Secara tradisional, spesies dari genus ini digunakan untuk
mengatur kondisi reproduksi wanita (Padmalatha et al., 2009). Di Afrika Selatan dan
Barat, Vitex juga telah dilaporkan digunakan secara tradisional untuk mengobati IMS,
luka dan kondisi kulit, dan diare, yang mungkin terjadi sebagai konsekuensi dari masalah
sistem imun Satu survei etnomedis melaporkan V. doniana khusus untuk penatalaksanaan
HIV / AIDS, di mana biasanya diberikan sebagai bagian dari campuran tanaman untuk
jangka waktu rata-rata 3 sampai 4 bulan (Tietjen dkk., 2016).

Genus Croton mewakili famili Euphorbiaceae yang lebih beragam dengan lebih dari
1.300 spesies morfologis yang tersebar di Amerika Selatan, Asia dan Afrika. Sekitar 50
spesies ditemukan di benua Afrika dengan 10 famili asli Afrika Selatan termasuk C.
megalobotrys dan spesies yang terkait erat, C. gratissimus (Tietjen dkk., 2016).
Umumnya, penggunaan dari spesies Croton digunakan di Afrika Selatan sebagai
pencahar, tetapi lebih khusus lagi, penggunaan C. gratissimus dilaporkan digunakan
dalam pengobatan batuk/penyakit pernapasan, demam, dan infeksi kulit. C. megalobotrys
telah dikaitkan dengan sifat penurun demam, dan penggunaan dari C. megalobotrys telah
ETNOFARMAKOLOGI Page 11
dilaporkan sebagai anti-malaria yang efektif. Selain itu, penggunaan kulit dan akar C.
megalobotrys digambarkan efektif terhadap STI di pedesaan Zambia. Sepengetahuan
peneliti, penelitian ini merupakan dokumentasi pertama pengetahuan tradisional rinci
tentang penggunaan terapeutik C. megalobotrys untuk HIV / AIDS (Tietjen dkk., 2016).

Pertemuan dengan dua tabib tradisional independen dari desa Mmankgodi selama
etnosurvey yang dilakukan antara tahun 2008 dan 2010 menyebabkan pengumpulan dua
tanaman tambahan, Jatropha erythropoda dan Ozoroa paniculosa. Praktisi kesehatan
tradisional di provinsi Limpopo (Afrika Selatan) menunjukkan penggunaan O. paniculosa
untuk pengobatan HIV / AIDS pada tahap awal penyakit, sambil menyadari bahwa
mereka tidak dapat menyembuhkan AIDS. Peneliti tidak menemukan penelitian yang
melibatkan J. erythropoda dalam pengobatan atau manajemen HIV / AIDS. Tanaman
ketiga, Artemisia afra, juga dipertimbangkan untuk diselidiki, karena penelitian baru-baru
ini menjelaskan sekitar 300 pasien positif HIV yang datang ke Rumah Sakit Ngwelezane
di Afrika Selatan dan menerima perawatan, A. afra dihubungkan dengan bentuk-bentuk
standar pengobatan, meskipun hasil kesehatannya tidak ditentukan (Tietjen dkk., 2016).

Pada Februari 2016, kolaborator peneliti, tabib Sundana Simonambogo (SS)


memfasilitasi kontak awal antara lima orang yang menderita HIV/AIDS (PLWHAs)
dengan tim peneliti, yang mengarah pada terbentuknya kelompok fokus diskusi (focus
group discussion) pada 24 Juni 2016 di Maun, Distrik Ngamiland, Botswana. Percakapan
yang tidak terstruktur berikutnya dengan dua ODHA yang disetujui berlangsung sebelum
3 Oktober 2016, yang memungkinkan kami untuk memverifikasi konsistensi pernyataan,
memperjelas rincian rejimen pengobatan / pengelolaan herbal dan menyusun kembali
sejarah / garis waktu perawatan (Tietjen dkk., 2018).

Kelompok focus diskusi (focus group discussion) merupakan metode penelitian


kualitatif untuk untuk mengumpulkan data deskriptif dari sub kelompok populasi tertentu
(dalam penelitian ini: ODHA mencari bantuan dari tabib tradisional). Metode ini sangat
cocok untuk mengeksplorasi tema yang melibatkan sudut pandang klien yang mungkin
berbeda dari penyedia layanan (dalam makalah ini: tabib tradisional). Seorang pemandu
diskusi menanyakan pertanyaan-pertanyaan terbuka yang ditujukan untuk mendorong
para peserta untuk berbicara secara bebas tentang pengalaman mereka menggunakan
kata-kata mereka sendiri. Pertanyaan yang diajukan apakah pasien telah menggunakan

ETNOFARMAKOLOGI Page 12
obat-obatan tradisional, bagaimana mereka mengkonsumsi obat yang diberikan oleh tabib
tradisional, bagaimana obat-obatan tersebut mempengaruhi gejala kondisi mereka,
apakah mereka memperhatikan efek samping, perkiraan kerangka waktu apa yang
dialokasikan untuk perawatan / manajemen, dan rekomendasi apa yang mereka miliki
untuk para peneliti (Tietjen dkk., 2018).

Meskipun pewawancara yang melakukan percakapan tidak terstruktur memiliki


rencana yang jelas mengenai fokus dan tujuan wawancara, namun pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan tetap menunjukkan sedikit kontrol atas tanggapan responden; sebaliknya,
ide dari percakapan ini adalah membiarkan responden mengekspresikan diri mereka
dalam istilah mereka sendiri dan dengan cara mereka sendiri (Bernard, 1995). Kami
menggunakan percakapan informal untuk menemukan kategori makna (Fetterman, 1989)
dalam konteks penyembuhan, yaitu, apa yang dipikirkan responden dan bagaimana
persepsi mereka dibandingkan satu sama lain (Tietjen dkk., 2018).

Sebelum kelompok fokus diskusi, penjelasan dan persetujuan diperoleh dari semua
peserta, yang menekankan bahwa semua data dan tanggapan akan dirahasiakan. Ini
sangat penting, karena HIV/AIDS dan penggunaan obat-obatan tradisional terus
distigmatisasi di Botswana dan di tempat lain. Data peserta dikodekan dan disimpan
secara fisik sehingga tidak ada informasi identitas pribadi yang dapat dikaitkan dengan
data studi. Izin untuk melakukan penelitian dan persetujuan etis diperoleh oleh
Kementerian Kesehatan Botswana (Nomor izin: 13/18/1 Vol. X (380)).

Pengumpulan tanaman, akar-akar Cassia sieberiana DC. (“Mororwe”), Vitex doniana


(Sweet) (“Mofofo”) dan kulit batang Croton megalobotrys Müll Arg. (“Mukungulu”)
dikumpulkan dengan bantuan dari tabib tradisional SS dan secara botani diautentikasi
seperti yang telah digambarkan sebelumnya (Tietjen et al., 2016, voucher spesimen KM-
Ks-3-2015). Ekstrak mentah tanaman disiapkan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
(Fotso et al., 2014). Secara singkat, udara yang telah kering, bahan tanaman dalam bentuk
serbuk dimaserasi dengan CH2Cl2 /MeOH 1:1 selama 48 jam pada suhu ruang. Solvent
dievaporasi dibawah tekanan yang dikurangi. Residunya kemudian diekstraksi kembali
dengan MeOH pada suhu ruang. Kedua ekstrak dikombinasikan didasarkan pada profil
kromatografi lapis tipisnya untuk menghasilkan ekstrak mentah akhir (Tietjen dkk.,
2018).

ETNOFARMAKOLOGI Page 13
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pengembangan studi etnofarmakologi pada penyakit infeksi HIV/AIDS banyak dilakukan
utamanya di negara-negara Afrika, mengingat pasien positif HIV/AIDS di negara-negara
Afrika sangatlah banyak. Dalam studi etnofarmakologi, khususnya untuk pengobatan
HIV/AIDS sebagain penelitiannya besar hanya sampai pada tahap uji praklinis saja. Selain
itu juga telah banyak tanaman yang digunakan untuk mengobati HIV/AIDS telah dilakukan
spektrum uji untuk mengetahui kandungan senyawa aktif dalam tanaman tersebut juga
bagaimana efek tanaman tersebut dalam perannya mengobati HIV/AIDS. Tahap praklinis
yang banyak dilakukan adalah uji in vivo dan uji in vitro.

Dalam perkembangannya baru-baru ini juga telah dilakukan studi lapang mengenai
tanaman anti HIV/AIDS yang telah terbukti efektif efeknya. Penelitian tersebut
dipublikasikan tahun 2016 dan kemudian berlanjut terus dikembangkan hingga tahun 2018.

3.2 Saran
Berbagai tanaman ini, perlu adanya pengembangan yang lebih lanjut dengan berbagai
penelitian sehingga didapatkan hasil yang dapat berpotensi untuk maslahat yang untuk
mengobati penyakit pada manusia terutama pada penyakit AIDS oleh HIV.

ETNOFARMAKOLOGI Page 14
DAFTAR PUSTAKA

Arg, T. M., P. K. Boniface, S. B. Ferreira, dan C. R. Kaiser. 2016. Author ’ s accepted


manuscript. Journal of Ethnopharmacology
Bennett, N. J. 2018. HIV Infection and AIDS.
https://emedicine.medscape.com/article/211316-overview [Diakses pada May 30, 2018].
KFF Henry J Kaiser Family Foundation. 2018. The HIV/AIDS Epidemic in the United States:
The Basics. https://www.kff.org/hivaids/fact-sheet/the-hivaids-epidemic-in-the-united-
states-the-basics/ [Diakses pada May 30, 2018].
Klos, M., M. Van De Venter, P. J. Milne, H. N. Traore, D. Meyer, dan V. Oosthuizen. 2009.
In vitro anti-hiv activity of five selected south african medicinal plant extracts. 124:182–
188.
Kouakou, K., I. A. Schepetkin, A. Yapi, L. N. Kirpotina, M. A. Jutila, dan M. T. Quinn. 2013.
Immunomodulatory activity of polysaccharides isolated from alchornea cordifolia.
Journal of Ethnopharmacology. 146(1):232–242.
Nettleman, M. D. dan G. R. David. 2017. HIV Treatment, Medications, Prognosis, and
Prevention.
https://www.medicinenet.com/hiv_treatment_drugs_prognosis_and_prevention/views.ht
m [Diakses pada May 30, 2018].Prinsloo, G., C. K. Marokane, dan A. Renée. 2017.
Author ’ s accepted manuscript. Journal of Ethnopharmacology
Raymond, G., F. Tchouya, A. Souza, J. Claude, J. Yala, M. Boukandou, H. Foundikou, G.
Delphang, N. Obiang, F. Fekam, R. Mabika, E. Zeuko, D. Tantoh, dan J. Lebibi. 2015.
Ethnopharmacological surveys and pharmacological studies of plants used in traditional
medicine in the treatment of hiv / aids opportunistic diseases in gabon. 162:306–316.
Sancho, R., M. Van De Venter, V. Oosthuizen, T. E. Tshikalange, J. J. M. Meyer, N. Lall, dan
E. Mu. 2008. In vitro anti-hiv-1 properties of ethnobotanically selected south african
plants used in the treatment of sexually transmitted diseases. 119:478–481.
Staden, J. Van. 2016. Author ’ s accepted manuscript. Journal of Ethnopharmacology
Tietjen, I., T. Gatonye, B. N. Ngwenya, A. Namushe, S. Simonambanga, M. Muzila, P.
Mwimanzi, J. Xiao, D. Fedida, Z. L. Brumme, M. A. Brockman, dan K. Andrae-
Marobela. 2016. Croton megalobotrys müll arg. and vitex doniana (sweet): traditional
medicinal plants in a three-step treatment regimen that inhibit in vitro replication of hiv-
1. Journal of Ethnopharmacology. 191:331–340.
Tietjen, I., B. N. Ngwenya, G. Fotso, D. E. Williams, S. Simonambango, B. T. Ngadjui, R. J.
Andersen, M. A. Brockman, Z. L. Brumme, dan K. Andrae-Marobela. 2018. The croton
megalobotrys müll arg. traditional medicine in hiv/aids management: documentation of
patient use, in vitro activation of latent hiv-1 provirus, and isolation of active phorbol
esters. Journal of Ethnopharmacology. 211:267–277.

ETNOFARMAKOLOGI Page 15

Anda mungkin juga menyukai