Anda di halaman 1dari 38

BAB I

STATUS PASIEN

1.1. IDENTIFIKASI
Nama : An. AN
Umur / Tanggal Lahir : 9 tahun / 07 Juli 2008
Jenis kelamin : Perempuan
Ayah
Nama : Tn. H
Umur : 36 Tahun
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Swasta
Ibu
Nama : Nn. Y
Umur : 34 Tahun
Pendidikan : S1
Pekerjaan : PNS
Agama : Islam
Alamat : Mendis Jaya

1.2. ANAMNESA
(Autoanamnesis dan Alloanamnesis dengan orang tua penderita 23
Desember 2017)
Keluhan Utama : Demam
Keluhan Tambahan : Mual muntah, batuk berdahak, sakit kepala
Riwayat Perjalanan Penyakit
Sejak ± 2 hari SMRS pasien mengeluh demam tinggi terus
menerus, menggigil (-), berkeringat (-), sesak nafas (-), batuk (+) berdahak
warna putih, darah(-), hilang timbul, pilek (-), nyeri tenggorokan (-), nyeri
menelan (-), nyeri kepala (+), nyeri telinga (-), nyeri otot dan sendi (-), nyeri
belakang bola mata (-), mual muntah (+) frekuensi ± 1 kali, masing-masing
sebanyak ±1/4-1/2 gelas aqua, isi apa yang dimakan, muntah darah (-),

1
nyeri perut (-), lesu, nafsu makan menurun, BAB cair (-), BAB hitam (-),
nyeri saat BAK (-), BAK sering dan sedikit-sedikit (-). Ruam kemerahan
pada kulit (-), mimisan (-), gusi berdarah (-).
Sejak ± 1 hari SMRS penderita mengeluh muntah, frekuensi ± 1
kali, sebanyak 1/2 gelas aqua, isi apa yang dimakan, darah (-). Penderita
juga masih mengeluh demam tinggi terus menerus, menggigil (-),
berkeringat (-), sesak nafas (-), batuk (+) berdahak, warna kuning, darah (-)
banyaknya 1 sendok makan, pilek (-), nyeri tenggorokan (-), nyeri menelan
(-), nyeri kepala (+), nyeri otot dan sendi (+), nyeri perut (-) sakit pinggang
(-), lesu, nafsu makan menurun. Nyeri saat BAK (-), BAK sering dan
sedikit-sedikit (-) dalam batas normal. Pasien lalu datang berobat ke RSUD
Bayung Lencir

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat bepergian ke luar kota disangkal
Riwayat malaria sebelumnya disangkal
Riwayat BAK berpasir atau keluar batu disangkal
Riwayat penyakit yang sama sebelumnya disangkal

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga


Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama dalam keluarga disangkal.

Riwayat Kebiasaan
Penderita sering jajan makanan gerobak di sekolah dan jajan di warung
Penderita sering menahan kencing di sekolah
Penderita mengaku jarang minum air putih

Riwayat Imunisasi
BCG : 1 kali
DPT : 3 kali
Polio : 4 kali
Hepatitis B : 3 kali
Campak : 1 kali

2
Kesan : Imunisasi dasar lengkap

Riwayat Perkembangan Fisik


Berbalik : 3 bulan
Tengkurap : 4 bulan
Duduk : 7 bulan
Merangkak : 8 bulan
Berdiri : 11 bulan
Berjalan : 12 bulan
Berbicara : 18 bulan
Bersosialisasi : 3 tahun
Kesan : Perkembangan anak sesuai usia

1.3. PEMERIKSAAN FISIK


PEMERIKSAAN FISIK UMUM
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Kompos Mentis
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Nadi : 104 x/menit, reguler,
isi dan tegangan cukup
Pernapasan : 24 x/menit
Suhu : 37 OC
Berat Badan : 24 kg
Tinggi Badan : 132 cm

3
PEMERIKSAAN FISIK KHUSUS
Kepala
Rambut : Hitam, lurus, halus, pendek, tidak mudah dicabut, lebat,
distribusi merata, kulit kepala tidak ada kelainan
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat,
isokor, diameter 3mm/3mm, refleks cahaya (+/+), edema
palpebra (-/-), mata cekung (-/-), injeksi konjungtiva (-/-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), deviasi septum (-)
sekret (-/-), hipertrofi konka (-/-), mukosa hiperemis (-/-),
epistaksis (-/-)
Telinga : Deformitas (-/-), nyeri tarik aurikula (-/-), nyeri tekan
tragus (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-), serumen (+/+)
minimal, sekret (-/-)
Mulut : Bibir kering (-), keilitis (-), sianosis (-) sirkumoral (-),
rhagaden (-), karies dentis (-), hipertrofi ginggiva (-),
arkus palatum simetris, atrofi papil lidah (-), coated
tongue (-), typhoid tongue (-), uvula di tengah, tonsil
T2/T2 hiperemis (+), detritus (-), kripta tidak melebar,
arcus faring hiperemis (+).
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
Thoraks
Paru-paru
- Inspeksi : Statis dan dinamis simetris, retraksi (-)
- Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
- Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru, batas paru hepar
ICS VI linea midclavicularis dekstra
- Auskultasi : Vesikuler (+) normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
- Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
- Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
- Perkusi : Batas atas : ICS II linea midclavicularis sinistra
Batas kanan : ICS V linea parasternalis dekstra

4
Batas kiri : ICS V linea midclavicularis sinistra
- Auskultasi : HR: 104 x/menit, irama reguler, pulsus defisit (-),
BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
- Inspeksi : Datar, massa (-)
- Palpasi : Lemas, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan
epigastrium (+), nyeri tekan suprapubik (-), cubitan
perut kembali cepat
- Perkusi : Timpani di seluruh bagian abdomen, nyeri ketok
costovertebrae (-)
- Auskultasi : Bising usus (+) normal

Lipat paha dan Genitalia


Pembesaran KGB (-)

Ekstremitas
Akral hangat, pucat (-), sianosis (-), edema pretibial (-), CRT <2”,

1.4. PEMERIKSAAN LABORATORIUM


Hb : 13,8 g/dl
Eritrosit : 5,0 x 106/mm3
Leukosit : 6.200/mm3
LED : 9 mm/jam
Hematokrit : 42%
Trombosit : 165.000 /uL
Malaria : Negatif
Leukosit Urin : 10-15/LPB

1.5. RESUME
Sejak ± 2 hari SMRS pasien mengeluh demam tinggi terus
menerus, menggigil (-), berkeringat (-), sesak nafas (-), batuk (+) berdahak

5
warna putih, darah(-), hilang timbul, pilek (-), nyeri tenggorokan (-), nyeri
menelan (-), nyeri kepala (+), nyeri telinga (-), nyeri otot dan sendi (-), nyeri
belakang bola mata (-), mual muntah (+) frekuensi ± 1 kali, masing-masing
sebanyak ±1/4-1/2 gelas aqua, isi apa yang dimakan, muntah darah (-),
nyeri perut (-), lesu, nafsu makan menurun, BAB cair (-), BAB hitam (-),
nyeri saat BAK (-), BAK sering dan sedikit-sedikit (-). Ruam kemerahan
pada kulit (-), mimisan (-), gusi berdarah (-).
Sejak ± 1 hari SMRS penderita mengeluh muntah, frekuensi ± 1
kali, sebanyak 1/2 gelas aqua, isi apa yang dimakan, darah (-). Penderita
juga masih mengeluh demam tinggi terus menerus, menggigil (-),
berkeringat (-), sesak nafas (-), batuk (+) berdahak, warna kuning, darah (-)
banyaknya 1 sendok makan, pilek (-), nyeri tenggorokan (-), nyeri menelan
(-), nyeri kepala (+), nyeri otot dan sendi (+), nyeri perut (-), lesu, nafsu
makan menurun. BAK dalam batas normal. Pasien lalu datang berobat ke
RSUD Bayung Lencir
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit
sedang, kesadaran anak kompos mentis, tekanan darah 100/70 mmHg, nadi
104x/menit, frekuensi pernapasan 24x/menit, suhu badan 37oC. Konjungtiva
anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),tonsil T2/T2 hiperemis (+), detritus (-), kripta
tidak melebar, arcus faring hiperemis (+), nyeri tekan epigastrium (+), hepar
dan lien tak teraba, Rumple Leede (-). Pada pemeriksaan laboratorium
darah rutin dalam batas normal, leukosit urin meningkat.

1.6. DIAGNOSIS BANDING


T. ISK + Tonsilofaringitis akut
T. DBD gr I + Tonsilofaringitis akut
Malaria + Tonsilofaringitis akut
Thypoid + Tonsilofaringitis akut

1.7. DIAGNOSIS KERJA


T. ISK + Tonsilofaringitis akut

6
1.8. PENATALAKSANAAN
1. Suportif
- Tirah baring
- Diet : Bubur biasa
- IVFD RL gtt xx/menit

2. Simptomatik
- Parasetamol 250 mg, bila suhu ≥ 38,5oC

3. Kausatif
- Ampisilin 4x500 mg
- Gentamisin 2x30 mg

4. Edukasi
- Meningkatkan higienitas, dan tidak menahan buang air kecil
- Banyak minum, dan perbanyak makanan yang bergizi
- Kurangi jajan makanan sembarangan, dan jangan makan makanan
atau minuman yang mengiritasi.
- Minum obat secara teratur sesuai petnjuk dokter

5. Monitoring
- Keadaan umum, kesadaran, tanda vital, gejala klinis ISK, tanda
syok, diuresis, perdarahan

1.9. PROGNOSIS
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad functionam : dubia ad bonam
- Quo ad sanationam : dubia ad bonam

7
1.10 FOLLOW UP

Tanggal Keterangan
24-12-2017 S : demam (+), nyeri kepala (+), nyeri menelan (+)
Pkl 07.00
Hari perawatan O :
ke-2 Status Generalis
KU: tampak sakit sedang
Sens : kompos mentis
TD : 100/60 mmHg
N : 104 x/m
RR : 20 x/m
T : 38,1 oC
Status Klinis
Kepala : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), pupil
bulat isokor ø 3mm, reflek cahaya +/+, tonsil
T2/T2 hiperemis (+), detritus (-), kripta tidak
melebar, arcus faring hiperemis (+)
Thorax : statis dinamis simetris kanan = kiri, retraksi (-).
Cor : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-).
Paru : vesikuler (+) normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba,
BU (+) normal, NT Epigastrium (+)
Ekstremitas : akral hangat, CRT <3”

A : T. DBD grade I dd/ thypoid, malaria, T.ISK +

Tonsilofaringitis Akut

P : - IVFD RL gtt xx/menit


- Ampisilin 4x500 mg
- Gentamisin 2x30 mg
- Paracetamol 250 mg bila T>38,5OC

8
- Cek DR, Urinalisa

Hari perawatan S : demam (+), nyeri kepala (-), nyeri menelan (-)
ke-3
O:
Status Generalis
KU: tampak sakit sedang
Sens : kompos mentis
TD : 100/70 mmHg
N : 96 x/m
RR : 24 x/m
T : 37,8 oC
Status Klinis
Kepala : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), pupil
bulat isokor ø 3mm, reflek cahaya +/+, tonsil
T2/T2 hiperemis (+), detritus (-), kripta tidak
melebar, arcus faring hiperemis (+)
Thorax : statis dinamis simetris kanan = kiri, retraksi (-).
Cor : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-).
Paru : vesikuler (+) normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba,
BU (+) normal
Ekstremitas : akral hangat, CRT <3”

A : T. DBD grade I dd/ thypoid, malaria, T.ISK +

Tonsilofaringitis Akut

P : - IVFD RL gtt xx/menit


- Ampisilin 4x500 mg
- Gentamisin 2x30 mg
- Paracetamol 250 mg bila T>38,5OC

9
Hari perawatan S : demam (-), nyeri kepala (-),
ke-4
O:
Status Generalis
KU: tampak sakit sedang
Sens : kompos mentis
TD : 90/60 mmHg
N : 90 x/m
RR : 23 x/m
T : 36,5 oC
Status Klinis
Kepala : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), pupil
bulat isokor ø 3mm, reflek cahaya +/+, tonsil
T2/T2 hiperemis (+), detritus (-), kripta tidak
melebar, arcus faring hiperemis (+)
Thorax : statis dinamis simetris kanan = kiri, retraksi (-).
Cor : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-).
Paru : vesikuler (+) normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba,
BU (+) normal
Ekstremitas : akral hangat, CRT <3”

A : T. ISK + Tonsilofaringitis Akut

P : - IVFD RL gtt xx/menit


- Ampisilin 4x500 mg
- Gentamisin 2x30 mg
- Paracetamol 250 mg bila T>38,5OC

Hari perawatan S : demam (-)


ke-5

10
O:
Status Generalis
KU: tampak sakit sedang
Sens : kompos mentis
TD : 100/60 mmHg
N : 100 x/m
RR : 24 x/m
T : 36 oC
Status Klinis
Kepala : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), pupil
bulat isokor ø 3mm, reflek cahaya +/+, tonsil
T2/T2 hiperemis (+), detritus (-), kripta tidak
melebar, arcus faring hiperemis (+)
Thorax : statis dinamis simetris kanan = kiri, retraksi (-).
Cor : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-).
Paru : vesikuler (+) normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba,
BU (+) normal
Ekstremitas : akral hangat, CRT <3”

A : T. ISK + Tonsilofaringitis Akut

P : Rencana Pulang
Obat diteruskan hingga 10-14 hari

11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1 Infeksi Saluran Kemih


1. Anatomi dan Fisiologi1
Sistem urinarius terdiri dari 2 ginjal (ren), 2 ureter, vesika urinaria
dan uretra. Sistem urinarius berfungsi sebagai system ekskresi dari cairan
tubuh. Ginjal berfungsi untuk membentuk atau menghasilkan urin dan
saluran kemih lainnya berfungsi untuk mengekskresikan atau
mengeliminasi urin. Sel-sel tubuh memproduksi zat-zat sisa seperti urea,
kreatinin dan ammonia yang harus diekskresikan dari tubuh sebelum
terakumulasi dan menyebabkan toksik bagi tubuh. Selain itu, ginjal juga
berfungsi untuk regulasi volume darah tubuh, regulasi elekterolit yang
terkandung dalam darah, regulasi keseimbangan asam basa, dan regulasi
seluruh cairan jaringan tubuh. Saluran kemih bagian atas adalah ginjal,
sedangkan ureter, kandung kemih (vesika urinaria) dan uretra merupakan
saluran kemih bagian bawah.

Gambar 1. Struktur Saluran Kemih Manusia

Sumber: www.kidney.org

Ginjal memiliki tiga bagian penting yaitu korteks, medulla dan


pelvis renal. Bagian paling superfisial adalah korteks renal, yang tampak
bergranula. Di sebelah dalamnya terdapat bagian lebih gelap, yaitu

12
medulla renal. Ujung ureter yang berpangkal di ginjal, berbentuk corong
lebar disebut pelvis renal. Pelvis renal bercabang dua atau tiga, disebut
kaliks mayor yang masing-masing bercabang membentuk beberapa kaliks
minor. Dari kaliks minor, urin masuk ke kaliks mayor, ke pelvis renal
kemudian ke ureter, sampai akhirnya ditampung di dalam kandung kemih.

Ureter terdiri dari dua saluran pipa yang masing-masing


menyambung dari ginjal ke kandung kemih (vesika urinaria). Panjangnya
kira-kira 25-30 cm, dengan penampang ± 0,5 cm. Ureter sebagian terletak
dalam rongga abdomen dan sebagian terletak dalam rongga pelvis.

Kandung kemih adalah kantong yang terbentuk dari otot tempat


urin mengalir dari ureter. Dinding kandung kemih terdiri dari lapisan
sebelah luar (peritonium).

Gambar 2. Struktur Anatomi Ginjal

Sumber: Essential of Anatomy and Physiology 5th edition, 2007, Hal. 422.

Bagian akhir saluran keluar yang menghubungkan kandung


kemih denganluar tubuh ialah uretra. Uretra pria sangat berbeda dari
uretra wanita. Pada laki-laki, sperma berjalan melalui uretra waktu
ejakulasi. Uretra pada laki-laki merupakan tuba dengan panjang kira-kira
17-20 cm dan memanjang dari kandung kemih ke ujung penis.
Uretra pada laki-laki mempunyai tiga bagian yaitu : uretra
prostatika, uretra membranosa dan uretra spongiosa. Uretra wanita jauh
lebih pendek daripada pria, karena hanya 2,5-4 cm panjangnya dan

13
memanjang dari kandung kemih ke arah ostium diantara labia minora kira-
kira 2,5 cm di sebelah belakang klitoris.

Gambar 3. Vesika Urinaria dan Uretra pada perempuan & laki – laki

Sumber: Essential of Anatomy and Physiology 5th edition,2007, Hal. 432

2. Definisi
Beberapa istilah yang perlu dipahami:
 Bakteriuria bermakna (significant backteriuri) adalah keberadaan
mikroorganisme murni (tidak terkontaminasi flora normal dari uretra)
lebih dari 105 colony forming units per mL (cfu/ml) biakan urin dan
tanpa lekosituria2,3
 Bakteriuria simtomatik adalah bakteriuria bermakna dengan
manifestasi klinik2,3
 Bakteriuria asimtomatik (covert bacteriuria) adalah bakteriuria
bermakna tanpa manifestasi klinik2,3.
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan istilah yang digunakan untuk
menunjukkan bakteriuria patogen dengan colony forming units per mL
CFU/ ml urin > 101, dan lekositouria >10 per lapangan pandang besar,
disertai manifestasi klinik3.

14
ISK akhir-akhir ini juga didefinisikan sebagai suatu respon inflamasi
tubuh terhadap invasi mikroorganisme pada urothelium4,5.

3. Epidemilogi
Infeksi saluran kemih merupakan salah satu penyakit yang paling
sering ditemukan di praktik umum. Kejadian ISK dipengaruhi oleh
berbagai faktor seperti usia, gender, prevalensi bakteriuria, dan faktor
predisposisi yang mengakibatkan perubahan struktur saluran kemih
termasuk ginjal. ISK cenderung terjadi pada perempuan dibandingkan
laki-laki. ISK berulang pada laki-laki jarang dilaporkan, kecuali disertai
factor predisposisi2.
Menurut penelitian, hampir 25-35% perempuan dewasa pernah
mengalami ISK selama hidupnya. Prevalensi bakteriuria asimtomatik lebih
sering ditemukan pada perempuan. Prevalensi selama periode sekolah
(School girls) 1% meningkat menjadi 5 % selama periode aktif secara
seksual. Prevalensi infeksi asimtomatik meningkat mencapai 30% pada
laki-laki dan perempuan jika disertai faktor predisposisi2.
Di Amerika Serikat, terdapat >7 juta kunjungan pasien dengan ISK
di tempat praktik umum. Sebagian besar kasus ISK terjadi pada
perempuan muda yang masih aktif secara seksual dan jarang pada laki-laki
<50 tahun5. Insiden ISK pada laki-laki yang belum disirkumsisi lebih
tinggi (1,12%) dibandingkan pada laki-laki yang sudah disirkumsisi
(0,11%)4.

Tabel 1. Epidemiologi ISK berdasarkan Umur & Jenis Kelamin

Sumber: Smith’s General urology 17th edition, 2008, halaman 194

15
4. Etiologi
Pada umumnya ISK disebabkan oleh mikroorganisme (MO) tunggal
seperti:2
 Eschericia coli merupakan MO yang paling sering diisolasi dari
pasien dengan ISK simtomatik maupun asimtomatik
 Mikroorganisme lainnya yang sering ditemukan seperti Proteus spp
(33% ISK anak laki-laki berusia 5 tahun), Klebsiella spp dan
Stafilokokus dengan koagulase negatif
 Pseudomonas spp dan MO lainnya seperti Stafilokokus jarang
dijumpai, kecuali pasca kateterisasi

Gambar 4. Bakteri E.Coli, berbentuk basil dan ada


fimbrae

Tabel 2. Bakteri Penyebab ISK

Sumber: Nefrologi Klinik, edisi III. 2006, hal.33

16
5. Patogenesis
Patogenesis bakteriuri asimtomatik menjadi bakteriuri simtomatik
tergantung dari patogenitas bakteri sebagai agent, status pasien sebagai
host dan cara bakteri masuk ke saluran kemih (bacterial entry) 2,4.
Peranan Patogenisitas Bakteri (agent)
Tidak semua bakteri dapat menginfeksi dan melekat pada jaringan
saluran kemih. Bakteri tersering yang menginfeksi saluran kemih adalah
E.coli yang bersifat uropathogen.2,4,6,7.
Strain bakteri E. coli hidup atau berkoloni di usus besar atau kolon
manusia. Beberapa strain bakteri E. coli dapat berkoloni di daerah
periuretra dan masuk ke vesika urinaria. Strain E. coli yang masuk ke
saluran kemih dan tidak memberikan gejala klinis memiliki strain yang
sama dengan strain E. coli pada usus (fecal E.coli), sedangkan strain E.
coli yang masuk ke saluran kemih manusia dan mengakibatkan timbulnya
manifestasi klinis adalah beberapa strain bakteri E. coli yang bersifat
uropatogenik dan berbeda dari sebagian besar E.coli di usus manusia
(fecal E.coli). Strain bakteri E.coli ini merupakan uropatogenik E.coli
(UPEC) yang memiliki faktor virulensi7. Penelitian intensif berhasil
menentukan faktor virulensi E.coli dikenal sebagai virulence
determinalis2.

Gambar 5. Penampang permukaan E.Coli


Sumber: Nefrologi Klinik Edisi III, 2006, hal. 86

Tabel 3. Faktor virulensi E. Coli

17
Penentu virulensi Alur
Fimbriae  Adhesi
 Pembentuk jaringan ikat (scarring)

Kapsul antigen K  Resistensi terhadap pertahanan tubuh


 Perlengketan (attachment)

Lipopolysaccharide side  Resistensi terhadap fagositosis


chains (O antigen)

Lipid A (endotoksin)  Inhibisi peristalsis ureter


 Proinflamatori

Membran protein
 Kelasi besi
lainnya
 Antibiotika resisten
 Kemungkinan perlengketan

 Inhibisi fungsi fagosit


Hemolysin
 Sekuestrasi besi
Sumber: Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V, 2009, hal.1010
Bakteri patogen dari urin dapat menyebabkan manifestasi klinis
bergantung pada perlengketan mukosa oleh bakteri, faktor virulensi, dan
variasi faktor virulensi2.
 Peranan Perlengketan Mukosa oleh Bakteri (Bacterial attachment of
mucosa)
Menurut penelitian, fimbriae (proteinaceous hair-like projection
from bacterial surface) merupakan salah satu pelengkap patogenesitas
yang mempunyai kemampuan untuk melekat pada permukaan mukosa
saluran kemih2.
Fimbriae atau pili memiliki ligand di permukaannya yang
berfungsi untuk berikatan dengan reseptor glikoprotein dan glikolipid pada
permukaan membran sel uroepithelial. Fimbriae atau pili dibagi

18
berdasarkan kemampuan hemaaglutinasi dan tipe sugar yang berada pada
permukaan sel. Pada umumnya P fimbriae yang dapat menaglutinasi
darah, berikatan dengan reseptor glikolipid antigen pada sel uroepithelial,
eritrosit (antigen terhadap P blood group) dan sel-sel tubulus renalis.
Sedangkan fimbriae tipe 1 berikatan dengan sisa mannoside pada sel
uroepithelial4.
Berdasarkan penelitian P fimbriae terdapat pada 90% bakteri E.coli
yang menyebabkan pyelonefritis dan hanya < 20% strain E.coli yang
menyebabkan ISK bawah. Sedangkan fimbriae tipe 1 lebih berperan dalam
membantu bakteri untuk melekat pada mukosa vesika urinaria4.
 Peranan Faktor Virulensi
Setelah fimbrae atau pili berhasil melekat pada sel uroepithelial
(sel epitel saluran kemih), maka proses selanjutnya dilakukan oleh faktor
virulensi lainnya. Sebagian besar uropatogenik E.coli (UPEC)
menghasilkan hemolysin yang befungsi untuk menginisiasi invasi UPEC
pada jaringan dan mengaktivasi ion besi bagi kuman patogen (sekuestrasi
besi). Keberadaan kaspsul K antigen dan O antigen pada bakteri yang
menginvasi jaringan saluran kemih melindungi bakteri dari proses
fagositosis oleh neutrofil. Keadaan ini mengakibatkan UPEC dapat lolos
dari berbagai mekanisme pertahanan tubuh host. Beberapa penelitian
terakhir juga mengatakan bahwa banyak bakteri seperti E.coli memiliki
kemampuan untuk menginvasi sel host sebagai patogen oportunistik
intraseluler2,4,5.
Sifat patogenitas lain dari strain E.coli yaitu toksin, dikenal
beberapa toksin seperti α-haemolysin, cytotoxic necrotizing factor-1
(CNF-1) dan iron uptake system (aerobactin dan enterobactin). Hampr
95% sifat α-haemolysin ini terikat pada kromosom dan berhubungan
dengan phatogenicity island (PAIS) dan hanya 5 % terikat pada gen
plasmid5.
 Peranan Variasi Fase Faktor Virulensi
Virulensi bakteri ditandai dengan kemampuan untuk mengalami
perubahan bergantung dari respon faktor luar. Konsep variasi MO ini

19
menunjukkan peranan beberapa penentu virulensi yang bervariasi di antara
individu dan lokasi saluran kemih. Oleh karena itu ketahanan hidup
bakteri berbeda dalam vesika urinaria dan ginjal2.
 Peranan Faktor Tuan Rumah (host)
 Faktor Predisposisi Pencetus ISK
Menurut penelitian, status saluran kemih merupakan faktor risiko pencetus
ISK. faktor bakteri dan status saluran kemih pasien mempunyai peranan
penting untuk kolonisasi bakteri pada saluran kemih. Kolonisasi bakteri
sering mengalami kambuh (eksaserbasi) bila sudah terdapat kelainan
struktur anatomi saluran kemih. Dilatasi saluran kemih termasuk pelvis
ginjal tanpa obstruksi saluran kemih dapat menyebabkan gangguan proses
klirens normal dan sangat peka terhadap infeksi2.
Selain itu urin juga memiliki karakter spesifik (osmolalitas urin,
konsentrasi urin, konsentrasi asam organik dan pH) yang dapat
menghambat pertumbuhan dan kolonisasi bakteri pada mukosa saluran
kemih. Menurut penelitian urin juga mengandung faktor penghambat
perlekatan bakteri yakni Tamm-Horsfall glycoprotein, dikatakan bahwa
bakteriuria dan tingkat inflamasi di saluran kemih meningkat pada defisit
THG. THG membantu mengeliminasi infeksi bakteri pada saluran kemih
dan berperan sebagai salah satu mekanisme pertahanan tubuh4.
Retensi urin, stasis, dan refluks urin ke saluran cerna bagian atas juga
dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri dan infeksi. Selain itu,
abnormalitas anatomi dan fungsional saluran kemih yang dapat menganggu
aliran urin dapat meningkatkan kerentanan host terhadap ISK2,4.
Keberadaan benda asing seperti adanya batu, kateter, stent dapat membantu
bakteri untuk bersembunyi dari mekanisme pertahanan host4,8

Tabel 4. Faktor Predisposisi (pencetus) ISK

Faktor predisposisi (pencetus) ISK


 Litiasis
 Obstruksi saluran kemih
 Penyakit ginjal polikistik

20
 Nekrosis papilar
 DM pasca transplantasi ginjal
 Nefropati analgesik
 Penyakit Sickle-cell
 Senggama
 Kehamilan dan peserta KB dengan tablet progesteron
 Kateterisasi
Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V, 2009, halaman 1009

 Status Imunologi Pasien


Lapisan epitel pada dinding saluran kemih mengandung membran
yang melindungi jaringan dari infeksi dan berkapasitas untuk mengenali
bakteri dan mengaktivasi mekanisme pertahanan tubuh. Sel uroepithelial
mengekspresikan toll-like receptors (TLRs) yang dapat mengikat
komponen spesifik dari bakteri sehingga menghasilkan mediator inflamasi.
Respon tubuh dengan mengsekresikan kemotraktan seperti interleukin-8
untuk merekrut neutrofil ke area jaringan yang terinvasi. Selain itu, ginjal
juga memproduksi antibodi untuk opsonisasi dan fagositosis bakteri serta
untuk mencegah perlekatan bakteri. Mekanisme imunitas seluler dan
humoral ini berperan dalam pencegahan ISK, oleh karena itu imunitas host
berperan penting dalam kejadian ISK4,5
Penelitian laboratorium mengungkapkan bahwa golongan darah
dan status secretor mempunyai kontribusi untuk kepekaan terhadap ISK.
Prevalensi ISK juga meningkat terkait dengan golongan darah AB, B dan
PI (antigen terhadap tipe fimbriae bakteri) dan dengan fenotipe golongan
darah lewis2.
 Cara Bakteri Menginvasi Saluran Kemih (bacterial entry)
Terdapat beberapa rute masuk bakteri ke saluran kemih. Pada
umumnya, bakteri di area periuretra naik atau secara ascending masuk ke
saluran genitourinaria dan menyebabkan ISK2,,3 Sebagian besar kasus
pielonefritis disebabkan oleh naiknya bakteri dari kandung kemih, melalui
ureter dan masuk ke parenkim ginjal. Kejadian ISK oleh karena invasi MO
secara ascending juga dipermudah oleh refluks vesikoureter. Pendeknya

21
uretra wanita dikombinasikan dengan kedekatannya dengan ruang depan
vagina dan rektum merupakan predisposisi yang menyebabkan perempuan
lebih sering terkena ISK dibandingkan laki-laki3,4
Penyebaran secara hematogen umumnya jarang, namun dapat
terjadi pada pasien dengan immunocompromised dan neonatus.
Staphylococcus aureus, Spesies Candida, dan Mycobacterium tuberculosis
adalah kuman patogen yang melakukan perjalanan melalui darah untuk
menginfeksi saluran kemih2,3,4,9.
Penyebaran limfatogenous melalui dubur, limfatik usus, dan
periuterine juga dapat menyebabkan invasi MO ke saluran kemih dan
mengakibatkan ISK. Selain itu, invasi langsung bakteri dari organ yang
berdekatan ke dalam saluran kemih seperti pada abses intraperitoneal, atau
fistula vesicointestinal atau vesikovaginal dapat menyebabkan ISK3.

6. Klasifikasi
Berdasarkan letak anatomi, ISK digolongkan menjadi:
 Infeksi Saluran Kemih Atas
Infeksi saluran kemih atas terdiri dari pielonefritis dan pielitis.
Pielonefritis terbagi menjadi pielonefritis akut (PNA) dan pielonefritis
kronik (PNK). Istilah pielonefritis lebih sering dipakai dari pada
pielitis, karena infeksi pielum (pielitis) yang berdiri sendiri tidak
pernah ditemukan di klinik5.
Pielonefritis akut (PNA) adalah radang akut dari ginjal, ditandai
primer oleh radang jaringan interstitial sekunder mengenai tubulus dan
akhirnya dapat mengenai kapiler glomerulus, disertai manifestasi
klinik dan bakteriuria tanpa ditemukan kelainan radiologik4,5. PNA
ditemukan pada semua umur dan jenis kelamin walaupun lebih sering
ditemukan pada wanita dan anak-anak. Pada laki-laki usia lanjut, PNA
biasanya disertai hipertrofi prostat5.
Pielonefritis Kronik (PNK) adalah kelainan jaringan interstitial
(primer) dan sekunder mengenai tubulus dan glomerulus, mempunyai
hubungan dengan infeksi bakteri (immediate atau late effect) dengan

22
atau tanpa bakteriuria dan selalu disertai kelainan-kelainan radiologi.
PNK yang tidak disertai bakteriuria disebut PNK fase inaktif.
Bakteriuria yang ditemukan pada seorang penderita mungkin berasal
dari pielonefritis kronik fase aktif atau bakteriuria tersebut bukan
penyebab dari pielonefritis tetapi berasal dari saluran kemih bagian
bawah yang sebenarnya tidak memberikan keluhan atau bakteriuria
asimtomatik. Jadi diagnosis PNK harus mempunyai dua kriteria yakni
telah terbukti mempunyai kelainan-kelainan faal dan anatomi serta
kelainan-kelainan tersebut mempunyai hubungan dengan infeksi
bakteri. Dari semua faktor predisposisi ISK, nefrolithiasis dan refluks
vesiko ureter lebih memegang peranan penting dalam patogenesis
PNK4. Pielonefritis kronik mungkin akibat lanjut dari infeksi bakteri
berkepanjangan atau infeksi sejak masa kecil. Pada PNK juga sering
ditemukan pembentukan jaringan ikat parenkim2.
 Infeksi Saluran Kemih Bawah
Infeksi saluran kemih bawah terdiri dari sistitis, prostatitis dan
epidimitis, uretritis, serta sindrom uretra. Presentasi klinis ISKB
tergantung dari gender. Pada perempuan biasanya berupa sistitis dan
sindrom uretra akut, sedangkan pada laki-laki berupa sistitis, prostatitis,
epidimitis, dan uretritis2.
Sistitis terbagi menjadi sistitis akut dan sistitis kronik. Sistitis akut
adalah radang selaput mukosa kandung kemih (vesika urinaria) yang
timbulnya mendadak, biasanya ringan dan sembuh spontan (self-limited
disease) atau berat disertai penyulit ISKA (pielonefritis akut). Sistitis akut
termasuk ISK tipe sederhana (uncomplicated type). Sebaliknya sistitis akut
yang sering kambuh (recurrent urinary tract infection) termasuk ISK tipe
berkomplikasi (complicated type), ISK jenis ini perlu perhatian khusus
dalam pengelolaannya5.
Sistitis kronik adalah radang kandung kemih yang menyerang
berulang-ulang (recurrent attact of cystitis) dan dapat menyebabkan
kelainan-kelainan atau penyulit dari saluran kemih bagian atas dan ginjal.

23
Sistitis kronik merupakan ISKB tipe berkomplikas, dan memerlukan
pemeriksaan lanjutan untuk mencari faktor predisposisi5.
Sindrom uretra akut (SUA) adalah presentasi klinis sistitis tanpa
ditemukan mikroorganisme (steril), sering dinamakan sistitis abakterialis
karena tidak dapat diisolasi mikroorganisme penyebabnya. Penelitian
terkini menunjukkan bahwa SUA disebabkan oleh MO anaerobik2,5.

7. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis ISK (simtomatologi ISK) dibagi menjagi gejala-
gejala lokal, sistemik dan perubahan urinalisis. Dalam praktik sehari-hari
gejala cardinal seperti disuria, polakisuria, dan urgensi sering ditemukan
pada hampir 90% pasien rawat jalan dengan ISK akut5.
Tabel 5. Simtomatologi ISK

Lokal Sistemik
 Disuria  Panas badan sampai
 Polakisuria menggigil
 Stranguria  Septicemia dan syok
 Tenesmus
 Nokturia
 Enuresis nocturnal Perubahan urinalisis

 Prostatismus  Hematuria

 Inkontinesia  Piuria

 Nyeri uretra  Chylusuria

 Nyeri kandung kemih  Pneumaturia

 Nyeri kolik
 Nyeri ginjal
Manifestasi klinik pada infeksi saluran kemih atas dan infeksi saluran
kemih bawah pada pasien dewasa dapat dilihat pada gambar berikut:

24
Gambar 6. Hubungan antara lokasi ISK dan keluhan
Sumber: Nefrologi Klinik Edisi III, 2006, hal. 85
Pada pielonefritis akut (PNA), sering ditemukan panas tinggi
(39.5°C-40,5°C), disertai menggigil dan sakit pinggang2. Pada
pemeriksaan fisik diagnostik tampak sakit berat, panas intermiten disertai
menggigil dan takikardia. Frekuensi nadi pada infeksi E.coli biasanya 90
kali per menit, sedangkan infeksi oleh kuman staphylococcus dan
streptococcus dapat menyebabkan takikardia lebih dari 140 kali per menit.
Ginjal sulit teraba karena spasme otot-otot. Distensi abdomen sangat nyata
dan rebound tenderness mungkin juga ditemukan, hal ini menunjukkan
adanya proses dalam perut, intra peritoneal. Pada PNA tipe sederhana
(uncomplicated) lebih sering pada wanita usia subur dengan riwayat ISKB
kronik disertai nyeri pinggang (flank pain), panas menggigil, mual, dan
muntah. Pada ISKA akut (PNA akut) tipe complicated seperti obastruksi,
refluks vesiko ureter, sisa urin banyak sering disertai komplikasi
bakteriemia dan syok, kesadaran menurun, gelisah, hipotensi hiperventilasi
oleh karena alkalosis respiratorik kadang-kadang asidosis metabolik5.
Pada pielonefritis kronik (PNK), manifestasi kliniknya bervariasi
dari keluhan-keluhan ringan atau tanpa keluhan dan ditemukan kebetulan
pada pemeriksaan urin rutin. Presentasi klinik PNK dapat berupa
proteinuria asimtomatik, infeksi eksaserbasi akut, hipertensi, dan gagal
ginjal kronik (GGK)5.

25
Manifestasi klinik pada sistitis akut dapat berupa keluhan-keluhan
klasik seperti polakisuria, nokturia, disuria, nyeri suprapubik, stranguria
dan tidak jarang dengan hematuria. Keluhan sistemik seperti panas
menggigil jarang ditemukan, kecuali bila disertai penyulit PNA. Pada
wanita, keluhan biasanya terjadi 36-48 jam setelah melakukan senggama,
dinamakan honeymoon cystitis. Pada laki-laki, prostatitis yang terselubung
setelah senggama atau minum alkohol dapat menyebabkan sistitis
sekunder2,5.
Pada sistitis kronik, biasanya tanpa keluhan atau keluhan ringan
karena rangsangan yang berulang-ulang dan menetap. Pada pemeriksaan
fisik mungkin ditemukan nyeri tekan di daerah pinggang, atau teraba suatu
massa tumor dari hidronefrosis dan distensi vesika urinaria5.
Manifestasi klinis sindrom uretra akut (SUA) sulit dibedakan
dengan sistitis. Gejalanya sangat miskin, biasanya hanya disuri dan sering
kencing2.

8. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis


a. Analisis urin rutin5
Pemeriksaan analisa urin rutin terdiri dari pH urin,
proteinuria (albuminuria), dan pemeriksaan mikroskopik urin.
Urin normal mempunyai pH bervariasi antara 4,3-8,0. Bila
bahan urin masih segar dan pH >8 (alkalis) selalu menunjukkan
adanya infeksi saluran kemih yang berhubungan dengan
mikroorganisme pemecah urea (ureasplitting organism).
Albuminuria hanya ditemukan ISK. Sifatnya ringan dan kurang
dari 1 gram per 24 jam.
Pemeriksaan mikroskopik urin terdiri dari sedimen urin
tanpa putar (100 x) dan sedimen urin dengan putar 2500 x/menit
selama 5 menit. Pemeriksaan mikroskopik dengan pembesaran
400x ditemukan bakteriuria >105 CFU per ml. Lekosituria (piuria)
10/LPB hanya ditemukan pada 60-85% dari pasien-pasien dengan
bakteriuria bermakna (CFU per ml >105). Kadang-kadang masih

26
ditemukan 25% pasien tanpa bakteriuria. Hanya 40% pasien-pasien
dengan piuria mempunyai bakteriuria dengan CFU per ml >101.
Analisa ini menunjukkan bahwa piuria mempunyai nilai lemah
untuk prediksi ISK.
Tes dipstick pada piuria untuk deteksi sel darah putih.
Sensitivitas 100% untuk >50 leukosit per HPF, 90% untuk 21-50
leukosit, 60% untuk 12-20 leukosit, 44 % untuk 6-12 leukosit.
Selain itu pada pemeriksaan urin yang tidak disentrifuge dapat
dilakukan pemeriksaan mikroskopik secara langsung untuk melihat
bakteri gram negatif dan gram positif. Sensitivitas sebesar 85 %
dan spesifisitas sebesar 60 % untuk 1 PMN atau mikroorganisme
per HPF. Namun pemeriksaan ini juga dapat mendapatkan hasil
positif palsu sebesar 10%11.
b. Uji Biokimia5
Uji biokimia didasari oleh pemakaian glukosa dan reduksi nitrat
menjadi nitrit dari bakteriuria terutama golongan
Enterobacteriaceae. Uji biokimia ini hanya sebagai uji saring
(skrinning) karena tidak sensitif, tidak spesifik dan tidak dapat
menentukan tipe bakteriuria.
c. Mikrobiologi5
Pemeriksaan mikrobiologi yaitu dengan Colony Forming
Unit (CFU) ml urin. Indikasi CFU per ml antara lain pasien-pasien
dengan gejala ISK, tindak lanjut selama pemberian antimikroba
untuk ISK, pasca kateterisasi, uji saring bakteriuria asimtomatik
selama kehamilan, dan instrumentasi. Bahan contoh urin harus
dibiakan lurang dari 2 jam pada suhu kamar atau disimpan pada
lemari pendingin. Bahan contoh urin dapat berupa urin tengah
kencing (UTK), aspirasi suprapubik selektif.
Interpretasi sesuai dengan kriteria bakteriura patogen yakni
CFU per ml >105 (2x) berturut-turut dari UTK, CFU per ml >105
(1x) dari UTK disertai lekositouria > 10 per ml tanpa putar, CFU
per ml >105 (1x) dari UTK disertai gejala klinis ISK, atau CFU per

27
ml >105 dari aspirasi supra pubik. Menurut kriteria Kunin yakni
CFU per ml >105 (3x) berturut-turut dari UTK
d. Renal Imaging Procedures2
Renal imaging procedures digunakan untuk mengidentifikasi
faktor predisposisi ISK, yang biasa digunakan adalah USG, foto
polos abdomen, pielografi intravena, micturating cystogram dan
isotop scanning. Investigasi lanjutan tidak boleh rutin tetapi harus
sesuai indikasi antara lain ISK kambuh, pasien laki-laki, gejala
urologik (kolik ginjal, piuria, hematuria), hematuria persisten,
mikroorganisme jarang (Pseudomonas spp dan Proteus spp), serta
ISK berulang dengan interval ≤6 minggu.
9. Terapi
a. Infeksi saluran kemih atas (ISKA) 2
Pada umumnya pasien dengan pielonefritis akut (PNA)
memerlukan rawat inap untuk memelihara status hidrasi dan terapi
antibiotik parenteral minimal 48 jam. Indikasi rawat inap pada
PNA antara lain kegagalan dalam mempertahankan hidrasi normal
atau toleransi terhadap antibiotik oral, pasien sakit berat, kegagalan
terapi antibiotik saat rawat jalan, diperlukan investigasi lanjutan,
faktor predisposisi ISK berkomplikasi, serta komorbiditas seperti
kehamilan, diabetes mellitus dan usia lanjut.
The Infectious Disease Society of America menganjurkan
satu dari tiga alternative terapi antibiotic IV sebagai terapi awal
selama 48-72 jam, sebelum adanya hasil kepekaan biakan yakni
fluorokuinolon, amiglikosida dengan atau tanpa ampisilin dan
sefalosporin spektrum luas dengan atau tanpa aminoglikosida.
b. Infeksi saluran kemih bawah (ISKB)
Prinsip manajemen ISKB adalah dengan meningkatkan
intake cairan, pemberian antibiotik yang adekuat, dan kalau perlu
terapi simtomatik untuk alkanisasi urin dengan natrium bikarbonat
16-20 gram per hari2,5

28
Pada sistitis akut, antibiotika pilihan pertama antara lain
nitrofurantoin, ampisilin, penisilin G, asam nalidiksik dan
tetrasiklin. Golongan sulfonamid cukup efektif tetapi tidak
ekspansif. Pada sistitis kronik dapat diberikan nitrofurantoin dan
sulfonamid sebagai pengobatan permulaan sebelum diketahui hasil
bakteriogram5.

10. Komplikasi2
Komplikasi ISK bergantung dari tipe yaitu ISK tipe sederhana
(uncomplicated) dan ISK tipe berkomplikasi (complicated).
a. ISK sederhana (uncomplicated)
ISK akut tipe sederhana yaitu non-obstruksi dan bukan pada
perempuan hamil pada umumnya merupakan penyakit ringan (self
limited disease) dan tidak menyebablan akibat lanjut jangka lama.
b. ISK tipe berkomplikasi (complicated)
ISK tipe berkomplikasi biasanya terjadi pada perempuan
hamil dan pasien dengan diabetes mellitus. Selain itu basiluria
asimtomatik (BAS) merupakan risiko untuk pielonefritis diikuti
penurun laju filtrasi glomerulus (LFG).
Komplikasi emphysematous cystitis, pielonefritis yang terkait spesies
kandida dan infeksi gram negatif lainnya dapat dijumpai pada pasien DM.
Pielonefritis emfisematosa disebabkan oleh MO pembentuk gas seperti
E.coli, Candida spp, dan klostridium tidak jarang dijumpai pada pasien
DM. Pembentukan gas sangant intensif pada parenkim ginjal dan jaringan
nekrosis disertai hematom yang luas. Pielonefritis emfisematosa sering
disertai syok septik dan nefropati akut vasomotor.
Abses perinefritik merupakan komplikasi ISK pada pasien DM (47%),
nefrolitiasis (41%), dan obstruksi ureter (20%).
Tabel 6. Morbiditas ISK selama kehamilan

Kondisi Risiko Potensial

29
BAS tidak diobati  Pielonefritis
 Bayi prematur
 Anemia
 Pregnancy-induced hypertension

 Bayi mengalami retardasi mental


ISK trimester III  Pertumbuhan bayi lambat
 Cerebral palsy
 Fetal death
Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, 2009, hal. 1012
11. Prognosis5
Prognosis pasien dengan pielonefritis akut, pada umumnya baik
dengan penyembuhan 100% secara klinik maupun bakteriologi bila terapi
antibiotika yang diberikan sesuai. Bila terdapat faktor predisposisi yang
tidak diketahui atau sulit dikoreksi maka 40% pasien PNA dapat menjadi
kronik atau PNK. Pada pasien Pielonefritis kronik (PNK) yang didiagnosis
terlambat dan kedua ginjal telah mengisut, pengobatan konservatif hanya
semata-mata untuk mempertahankan faal jaringan ginjal yang masih utuh.
Dialisis dan transplantasi dapat merupakan pilihan utama.
Prognosis sistitis akut pada umumnya baik dan dapat sembuh
sempurna, kecuali bila terdapat faktor-faktor predisposisi yang lolos dari
pengamatan. Bila terdapat infeksi yang sering kambuh, harus dicari faktor-
faktor predisposisi. Prognosis sistitis kronik baik bila diberikan antibiotik
yang intensif dan tepat serta faktor predisposisi mudah dikenal dan
diberantas.

2.2 TONSILO FARINGITIS


2.2.1 Definisi
Tonsilofaringitis merupakan peradangan pada tonsil atau faring ataupun
keduanya yang disebabkan oleh bakteri (seperti str. Beta hemolyticus, str.
Viridans, dan str. Pyogenes) dan juga oleh virus. Penyakit ini dapat menyerang
semua umur.

30
2.2.2 Etiologi
Virus merupakan etiologi terbanyak dari faringitis akut terutama pada
anak berusia ≤ 3 tahun. Virus penyebab penyakit respiratori seperti adenovirus,
rhinovirus, dan virus parainfluenza dapat menjadi penyebabnya. Streptococcus
beta hemolitikus grup A adalah bakteri terbanyak penyebab penyakit faringitis
atau tonsilofaringitis akut. Bakteri tersebut mencakup 15-30% pada anak
sedangkan pada dewasa hanya sekitar 5-10% kasus.mikroorganisme seperti
klamidia dan mikoplasma dilaporkan dapat menyebabkan infeksi, tetapi sangat
jarang terjadi.
Faringotonsilitis kronik memiliki faktor predisposisi berupa radang kronik
di faring, seperti rhinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh rokok, minum
alcohol, inhalasi uap dan debu, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang
buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan tonsillitis akut
sebelumnya yang tidak adekuat.

Gambar. Perbedaan Tonsilitis bakteri dan non bakteri

Tabel. Perbedaan Tonsilitis Akut dan Tonsilitis Kronik


Tonsilitis Akut Tonsilitis Kronik
Onset cepat, terjadi dalam beberapa Onset lama, beberapa bulan hingga
hari, hingga beberapa minggu beberapa tahun (menahun)
Penyebab kuman streptokokus beta Penyebab tonsillitis kronik sama halnya
hemolitikus grup A, pneumokokus, dengan tonsillitis akut, namun kadang-
streptokokus viridian, dan kadang bakteri berubah menjadi bakteri
streptokokus piogenes. golongan gram negatif
Tonsil hiperemis & edema Tonsil membesar / mengecil tidak edema
Kripte tidak melebar Kripte melebar
Detritus + / - Detritus +

31
2.2.3 Patogenesis

Nasofaring dan orofaring adalah tempat untuk organisme ini, kontak


langsung dengan mukosa nasofaring dan orofaring yang terinfeksi atau dengan
benda yang terkontaminasi, serta melalui makanan merupakan cara penularan
yang kurang berperan. Penyebaran SBGA memerlukan penjamu yang rentan dan
difasilitasi dengan kontak yang erat.
Bakteri maupun virus dapat secara langsung menginvasi mukosa faring
yang kemudian menyebabkan respon peradangan lokal. Sebagian besar
peradangan melibatkan nasofaring, uvula, dan palatum mole. Perjalanan
penyakitnya ialah terjadi inokulasi dari agen infeksius di faring yang
menyebabkan peradangan lokal sehingga menyebabkan eritem faring, tonsil, atau
keduanya. Infeksi streptococcus ditandai dengan invasi lokal serta penglepasan
toksin ekstraseluler dan protease. Transmisi dari virus dan SBHGA lebih banyak
terjadi akibat kontak tangan dengan sekret hidung atau droplet dibandingkan
kontak oral. Gejala akan tampak setelah masa inkubasi yang pendek yaitu 24-72
jam.

2.2.4 Manifestasi Klinik


Gejala faringitis yang khas akibat bakteri streptococcus berupa nyeri
tenggorokan dengan awitan mendadak, disfagia, dan demam. Urutan gejala yang
biasanya dikeluhkan oleh anak berusia di atas 2 tahun adalah nyeri kepala, nyeri
perut, dan muntah. Selain itu juga didapatkan demam tinggi dan nyeri tenggorok.
Gejala seperti rhinorrea, suara serak, batuk, konjungtivitis, dan diare biasanya
disebabkan oleh virus. Kontak dengan pasien rhinitis dapat ditemukan pada
anamnesa.
Pada pemeriksaan fisik, tidak semua pasien tonsilofaringitis akut
streptococcus menunjukkan tanda infeksi streptococcus yaitu eritem pada tonsil
dan faring yang disrtai pembesaran tonsil.
Faringitis streptococcus sangat mungkin jika dijumpai gejala seperti
awitan akut disertai mual muntah, faring hiperemis, demam, nyeri tenggorokan,
tonsil bengkak dengan eksudasi, kelenjar getah bening leher anterior bengkak dan
nyeri, uvula bengkak dan merah, ekskoriasi hidung disertai impetigo sekunder,

32
ruam skarlatina, petekie palatum mole. Tanda khas faringitis difteri adalah
membrane asimetris, mudah berdarah, dan berwarna kelabu pada faring. Pada
faringitis akibat virus dapat ditemukan ulkus di palatum mole, dan didnding faring
serta eksudat di palatum dan tonsil. Gejala yang timbul dapat menghilang dalam
24 jam berlangsung 4-10 hari dengan prognosis baik.

2.2.5 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium. Baku emas penegakan diagnosis faringitis bakteri atau
virus adalah melalui pemeriksaan kultur dari apusan tenggorok. Pada saat ini
terdapat metode cepat mendeteksi antigen streptococcus grup A dengan
sensitivitas dan spesivitas yang cukup tinggi.

2.2.6 Tatalaksana
Tujuan dari pemberian terapi ini adalah untuk mengurangi gejala dan
mencegah terjadinya komplikasi. Faringitis streptococcus grup A merupakan
faringitis yang memiliki indikasi kuat dan aturan khusus dalam penggunaan
antibiotik. Istirahat cukup dan pemberian cairan yang sesuai merupakan terapi
suportif yang dapat diberikan. Pemberian obat kumur dan obat hisap pada anak
cukup besar dapat mengurangi gejala nyeri tenggorok. Apabila terdapat nyeri
berlebih atau demam dapat diberikan paracetamol atau ibuprofen.
Antibiotik pilihan pada terapi faringitis akut streptococcus grup A adalah
penisislin V oral 15-30 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10 hari atau benzatin
penisilin G IM dosis tunggal dengan dosis 600.000 IU (BB<30 kg) dan 1.200.000
IU (BB>30 kg). Amoksisilin dapat digunakan sebagai pengganti pilihan pengganti
penisislin pada anak yang lebih kecil karena selain efeknya sama amoksisilin
memiliki rasa yang enak. Amoksisilin dengan dosis 50 mg/kgBB/ hari dibagi 2
selama 6 hari. Selain itu eritromisin 40mg/kgBB/hari, Klindamisin 30
mg/kgBB/hari, atau sefadroksil monohidrat 15 mg/kgBB/hari dapat digunakan
untuk pengobatan faringitis streptococcus pada penderita yang alergi terhadap
penisilin.

33
Pembedahan elektif adenoid dan tonsil telah digunakan secara luas untuk
mengurangi frekuensi tonsillitis rekuren. Indikator klinis yang digunakan adalah
Children’s Hospital of Pittsburgh Study yaitu tujuh atau lebih episode infeksi
tenggorokan yang diterapi dengan antibiotik pada tahun sebelumnya, lima atau
lebih episode infeksi tenggorok yang diterapi antibiotik setiap tahun selama 2
tahun sebelumnya, dan tiga atau lebih episode infeksi tenggorok yang diterapi
dengan antibiotik selama 3 tahun sebelumnya. Adenoidektomi sering
direkomendasikan sebagai terapi tambahan pada otitis media kronis dan berulang.
Indikasi tonsiloadenektomi yang lain adalah bila terjadi obstructive sleep apneu
akibat pembesaran adenotonsil.

2.2.7 Komplikasi
Kejadian komplikasi pada faringitis akut virus sangat jarang. Kompilkasi
biasanya menggambarkan perluasan infeksi streptococcus dari nasofaring.
Beberapa kasus dapat berlanjut menjadi otitis media purulen bakteri. Pada
faringitis bakteri dan virus dapat ditemukan komplikasi ulkus kronik yang luas.
Komplikasi faringitis bakteri terjadi akibat perluasan langsung atau secara
hematogen. Akibat perluasan langsung dapat terjadi rinosinusitis, otitis media,
mastoiditis, adenitis servikal, abses retrofaringeal atau faringeal, atau pneumonia.
Penyebaran hematogen SBHGA dapat mengakibatkan meningitis, osteomielitis,
atau arthritis septic, sedangkan komplikasi non supuratif berupa demam reumatik
dan gromerulonefritis.

34
BAB III
ANALISIS MASALAH

Dari hasil anamnesis didapatkan bahwa anak laki-laki berusia 9 tahun


memiliki keluhan utama demam. Demam tinggi terus menerus, dan hanya turun
sebentar ketika makan obat penurun panas, kemudian naik lagi. Pasien juga
mengeluh nyeri tenggorokan, nyeri menelan, nyeri kepala. Pasien juga mengeluh
mual muntah. Dari lingkungan didapatkan pada malam hari penderita tidur
menggunakan kelambu, penderita sering menahan kencing di sekolah, dan
penderita mnegaku jarang minum. Penderita juga sering jajan di sekolah dan di
warung. Dari pemeriksaan fisik didapatkan pembesaran tonsil T2/T2 hiperemis
(+), detritus (-), kripta tidak melebar, arkus faring hiperemis (+), Rumple Leede (-
). Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil lab darah rutin dalam batas
normal, DDR tidak ditemukan plasmodium, pada pemeriksaan urin didapatkan
leukosit urin meningkat.
Pada penderita didapatkan demam tinggi terus menerus dengan nyeri
kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorokan, nyeri menelan, nyeri tekan
epigastrium, Rumple Leede (-), hasil darah masih dalam batas normal. Pada
riwayat kebiasaan, penderita mengaku sering menahan kencing di sekolah (+),
jarang menggani pakaian dalam. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
leukosit urin meningkat, sehingga penderita di diagnosis tersangka infeksi saluran
kemih.
Penderita juga sering jajan diluar rumah, didapatkan demam tinggi, nyeri
tenggorokan, nyeri menelan, lesu, nafsu makan menurun, dengan pembesaran
tonsil T2/T2 hiperemis (+), detritus (-), kripta tidak melebar, arkus faring
hiperemis (+), sehingga penderita didiagnosis dengan tonsilofaringitis akut yang
kemungkinan disebabkan bakteri. Tonsilitis dikatakan akut karena tidak terdapat
pelebaran kripta
Sebagai terapi demam tinggi, penderita mendapatkan terapi simptomatis
berupa parasetamol 250 mg bila temperature >38,5oC. Kemudian sebagai terapi T.
ISK, penderita dianjurkan tidak menahan BAK selama di sekolah, kemudian

35
dilakukan monitoring terhadap keadaan umum, kesadaran, tanda vital. Sebagai
terapi tersangka infeksi saluran kemih dan tonsilofaringitis akut adalah ampisilin
3x700 mg dan gentamisin 2x30 mg.
Pada pasien juga disarankan meningkatkan higienitas, dan tidak menahan
buang air kecil. Banyak minum, dan perbanyak makanan yang bergizi. Kurangi
jajan makanan sembarangan, dan minum obat harus secara teratur sesuai petunjuk
dokter.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Scanlon, V.C & Sanders, T. Essential of Anatomy and Physiology 5th


edition. Philadelpia: FA Davis Company. 2007: 420-432

2. Sukandar, E. Infeksi Saluran Kemih. In Sudoyo A.W, et all.ed. Buku Ajar


Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Internal Publishing.
2009:1008-1014.

3. Sukandar, E. Infeksi (non spesifik dan spesifik) Saluran Kemih dan Ginjal.
In Sukandar E. Nefrologi Klinik Edisi III. Bandung: Pusat Informasi
Ilmiah (PII) Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD. 2006: 29-72

4. Nguyen, H.T. Bacterial Infections of The Genitourinary Tract. In Tanagho


E. & McAninch J.W. ed. Smith’s General urology 17th edition. Newyork:
Mc Graw Hill Medical Publishing Division. 2008: 193-195

5. Macfarlane, M.T. Urinary Tract Infections. In, Brown B, et all ed. 4th
Urology. California: Lippincott Williams & Wilkins. 2006: 83-16

6. Ronald A.R & Nicollé L.E. Infections of the Upper Urinary Tract. In
Schrier R.W, ed. Diseases of the Kidney and Urinary Tract 7th edition
Vol.1. Newyork: Lippincott Williams & Wilkins Publishers. 2001: 1687

7. Weissman, S.J, et all. Host-Pathogen Interactions and Host Defense


Mechanisms. In In Schrier R.W, ed. Diseases of the Kidney and Urinary
Tract 8th edition Vol.1. Newyork: Lippincott Williams & Wilkins
Publishers. 2007: 817-826

8. Abdelmalak, J.B, et all. Urinary Tract Infections in Adults. In Potts J.M,


ed. Essential Urology, A Guide to Clinical Practice. New Jersey: Humana
Press. 2004:183-189

37
9. Anonim. Urinary Tract Infections (Acute Urinary Tract Infection:
Urethritis, Cystitis, and Pyelonephritis). In Kasper, et all ed. Harrison’s
Manual of Medicine16th Edition. Newyork: Mc Graw Hill Medical
Publishing Division. 2005:724

10. Anonim. Pyelonephritis Acute. In Williamson, M.A & Snyder L.M.


Wallach’s Interpretation of Diagnostic Test 9th. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins a Wolters Kluwer Publishers. 2011: 730-731

11. Meyrier, A. Urinary Tract Infection. Available from:


http://www.kidneyatlas.org/book2/adk2_07.pdf

38

Anda mungkin juga menyukai