Anda di halaman 1dari 45

WRAP UP SKENARIO 3

BLOK RESPIRASI
“SESAK NAFAS”

KELOMPOK B 13

KETUA : RAFLI (1102013240)


SEKRETARIS : SELLY VIANI (1102012267)
ANGGOTA : M. NAUFAL YUMANSYAH DK (1102011165)
NABILA NURUL SHABRINA (1102013193)
REYNALDI FATTAH ZAKARIA (1102013246)
RINDAYU YUSTICIA INDIRA P
(1102013251)

RIZKI MARFIRA
(1102013255)
PRIMA PARAMITHA M (1102013229)

YOGA PRASETYO (1102013308)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
Jalan. Letjen Suprapto, Cempaka Putih, Jakarta 10510
Telp. 62.21.4244574 Fax. 62.21. 4244574
DAFTAR ISI

1
COVER .............................................................................................................................................. 1
DAFTAR ISI...................................................................................................................................... 2
SKENARIO ....................................................................................................................................... 3
KATA SULIT .................................................................................................................................... 4
PERTANYAAN ................................................................................................................................ 4
JAWABAN ........................................................................................................................................ 5
HIPOTESIS........................................................................................................................................ 6
SASARAN BELAJAR ...................................................................................................................... 7
LI 1. Memahami dan menjelaskan asma anak .................................................................................. 8
LO 1.1 Definisi..................................................................................................................... 8
LO 1.2 Etiologi..................................................................................................................... 8
LO 1.3 Klasifikasi ................................................................................................................ 9
LO 1.4 Epidemiologi ............................................................................................................ 11
LO 1.5 Patofisiologis ........................................................................................................... 11
LO 1.6 Manifestasi klinis ..................................................................................................... 14
LO 1.7 Diagnosis dan diagnosis banding ............................................................................. 15
LO 1.8 Tatalaksana .............................................................................................................. 20
LO 1.9 Komplikasi ............................................................................................................... 34
LO 1.10 Pencegahan .............................................................................................................. 34
LO 1.11 Prognosis.................................................................................................................. 35
LI 2. Memahami dan menjelaskan terapi inhalasi ............................................................................ 35
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................ 44

2
SKENARIO 3
SESAK NAFAS
Anak perempuan berusia 7 tahun di bawa ibunya ke Klinik YARSI dengan keluhan sulit
bernafas. Pasien 3 hari sebelum ke klinik demam, batuk, dan pilek. Sudah minum obata namun tidak
ada perubahan. Menurut ibu, pasien menderita alergi makanan terutama ikan laut. Ayah pasien juga
memiliki riwayat alergi.
Pada inspeksi terlihat pernafasan cepat dan sukar, Frekwensi nafas 48x/menit, di sertai batuk-
batuk proksismal, terdengar suara mengi, ekspirasi memanjang, terlihat retraksi daerah supraklavikular,
suprasternal, epigastrium dan sela iga. Pada perkusi terdengar hipersonor seluruh toraks. Pada
auskultasi bunyi napas keras/mengeras, terdengar juga ronkhi kering dan ronkhi basah serta suara lender
dan wheezing. Pasien di diagnosis sebagai Asma akut episodic sering.
Penanganan yang di lakukan pemebrian β-agonis secara nebulasi. Pasien di observasi selama
1-2 jam, respon baik pasien di pulangkan dengan di bekali obat bronkodilator. Pasien kemudian di
anjurkan control ke Klinik Rawat Jalan untuk re-evaluasi tatalaksananya.

KATA SULIT
1. BATUK PROKSISMAL : Serangan batuk yang mendadak dan berulang serta intesif
2. HIPERSONOR : Suara perkusi pada daerah yang lebih berongga (kosong /
udara)
3. RETRAKSI : Kontraksi yang terjadi pada otot perut dan iga yang tertarik
ke dalam saat bernafas
3
4. NEBULISASI : Penguapan yang menggunakan suatu alat (nebulizer)
Nebulizer : Alat yang di gunakan untuk merubah
cairan (obat) menjadi gas
5. MENGI : Suara yang di hasilkan ketika udara mengalir melalui
saluran nafas yang menyempit (pada saat ekspirasi)
6. WHEEZING : Bunyi yang seperti siul yang durasinya lebih lama akibat
udara melewati saluran nafas yang menyempit atau
tersumbat sebagian (hanya pada saat auskultasi
terdengarnya)
7. RONKHI : Suara yang I hasilkan saat udara melalui saluran nafas yang
penuh cairan atau moucus terdengar saat inspirasi maupun
ekspirasi
8. BRONKODILATOR : Agen yang menyebabkan perluasan lumen bronkus
9. ASMA AKUT EPISODIK SERING : Asma : Gangguan jalan nafas obstruktif
intermiten
Episodic sering : Frekuensi (1x/bln), Lama serangan (>1
minggu), Intensitas serangan (biasanya
sedang)

PERTANYAAN
1. Apa hubungannya alergi makanan dengan sesak nafas ?
2. Mengapa pemberian obat harus di berikan dengan cara nebulisasi ?
3. Mengapa terjadi retraksi supra sternal ?
4. Adakah obat lain selain β-antagonis ?
5. Apasajakah contoh obat β-antagonis ?
6. Kenapa di berikan bronkodilator ?
7. Pemeriksaan apa sajakah yang di lakukan untuk menegakkan diagnosis ?
8. Apa sajakah yang menjadi factor resiko terjadinya asma ?
9. Penyebab terjadinya penyempitan saluran nafas ?
10. Apa sajakah diagnosis banding pada kasus di atas ?
11. Kenapa sesak nafas di sertai demam
12. Kenapa terdengan hipersonor ?
13. Bagaimanakah dampak jangka panjang jika pasien tersebut terpapar allergen terus menerus ?
14. Asma dapat di klasifikasikan menjadi ?
15. Apakah asma bersifat herediter ?
16. Adakah rentang usia “paling memungkinkan” terkena / mengidap asma ?
17. Apa sajakah kandungan pada ikan laut yang mencetuskan timbulnya alergi ?
18. Bagaimanakah cara mencegah untuk meminimalisir kekambuhan asma ?

JAWABAN
1,9,11 : Riwayat allergen mencetuskan pengeluaran IgE yang akan berikatan dengan reseptor dan
nantinya akan mengeluarkan mediator mediator inflamasi berupa histamine dan leukotrin
yang menyebabkan sekresi pada mucousa yang nantinya akan menyebabkan
bronkokonstriksi hingga terjadi obtruksi saluran nafas sehingga meninbulkan hipoventilasi
2 : Penggunaan lebih efisien di karnakan dosis yang lebih sedikit dengan efektifitas yang sama
di bandingkan dengan penggunaan inhaler yang menggunakan dosis lebih banyak
3 : Kompensasi tubuh untuk mengambil 02 lebih banyak

4
4,5 : Bronkodilator : 1. Shortacting β-2 agonis : Epinefrin / Adrenalin
2. β-agonis selektif : Salbutamol, Terbutanin, Fenoterol
Metilsantin
Anticolinergic
Korticosteroid
6 : Di berikan bronkodilator terjadi bronkodilatasi, untuk mengurangi sesak nafas dan
meningkatnya kapasitas O2 paru
7 : Uji lapang paru, Uji darah (IgE, Eosinofil), Uji fungsi paru, Rontgen
8,15 : Aktifitas, polusi, makanan, genetic (hereditas), pisikosomatis, bahan iritan, gaya hidup
10 : Dewasa : Bronkhitis kronis, emfisema paru, gagal jantung kiri, emboli, PPOK
Anak : Tb, Syndrome dyskinesia siliner primer, rhinosinusitis, defisiensi imun
12 : Banyak udara yang tertinggal di paru karena ekspirasi yang memanjang (karena
bronkokonstriksi)
13 : Terjadi penyempitan saluran nafas yang di sebabkan oleh allergen yang memicu system
imun sehingga menyebabkan henti nafas
14 : Menurut GINA
Intermiten Persisten Ringan Persisten Sedang Persisten Berat
Setiap hari
>1x / minggu
Gejala
< 1x / minggu Setiap hari berkepanjangan
Mengganggu tidur
dan aktivitas
Aktivitas fisik
terbatas

16 : Usia anak-anak dan dewasa muda 13-14 tahun


17 : Pada saat proses pemasakan, makanan laut dan ikan dapat melepaskan komponen protein
dengan ukuran sangat kecil (dikenal sebagai amines) yang dapat menyebabkan reaksi alergi
di sistem pernapasan dan paru-paru
18 : Mencegah diri dari factor allergen, menjalankan pola hidup sehat
HIPOTESIS

5
SASARAN BELAJAR
LI 1. Memahami dan menjelaskan asma anak
LO 1.1 Definisi
LO 1.2 Etiologi
LO 1.3 Klasifikasi
LO 1.4 Epidemiologi
LO 1.5 Patofisiologis
LO 1.6 Manifestasi klinis
LO 1.7 Diagnosis dan diagnosis banding
LO 1.8 Tatalaksana
LO 1.9 Komplikasi
LO 1.10 Pencegahan
LO 1.11 Prognosis
LI 2. Memahami dan menjelaskan terapi inhalasi

6
LI 1. Memahami dan menjelaskan asma anak
LO 1.1 Definisi
Global Institute for Asthma (GINA) yang disusun oleh National Lung, Heart, and
Blood Institute yang bekerja sama dengan WHO dan NAEPP (National Asthma
Education and Prevention Program (1997), mendefinisikan asma secara lengkap
sebagai berikut: gangguan inflamasi kronis saluran napas dengan banyak sel yang
berperan, antara lain sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan,
inflamasi ini menyebabkan episode mengi yang berulang, sesak napas, rasa dada
tertekan, dan batuk, khususnya pada waktu malam atau dini hari. Gejala ini biasanya
berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas dan bervariasi, sebagian besar
bersifat reversibel baik spontan maupun dengan pengobatan.Inflamasi ini juga
berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan napas terhadap pelbagai rangsangan.

LO 1.2 Etiologi

Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya
serangan asma bronkhial.
Faktor predisposisi:

Genetik

Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga


menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat
7
mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan faktor pencetus.
Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.
Menurut Mengatas dkk, terdapat berbagai kelainan kromosom pada patogenesis
, antara lain pada:

a. Kromosom penyebab kerentanan alergi yaitu kromosom 6q, yang


mengkode human leucocyte antigen (HLA) kelas II dengan subset HLA-
DQ, HLA-DP dan HLA-DR, yang berfungsi mempermudah pengenalan dan
presentasi antigen.

b. Kromosom pengatur produksi berbagai sitokin yang terlibat dalam


patogenesis asma, yaitu kromosom 5q. Sebagai contoh gen 5q31-33
mengatur produksi interleukin (IL) 4, yang berperan penting dalam
terjadinya asma. Kromosom 1, 12, 13, 14, 19 juga berperan dalam produksi
berbagai sitokin pada asma.

c. Kromosom pengatur produksi reseptor sel T yaitu kromosom 14q.

Faktor presipitasi

 Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :

a. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan


Contoh : debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan
polusi
b. Ingestan, yang masuk melalui mulut
Contoh : makanan dan obat-obatan
c. Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit
contoh: perhiasan, logam dan jam tangan

 Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi
asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya
serangan asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim,
seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan
dengan arah angin serbuk bunga dan debu.

 Stress
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu
juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala
asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami
stress/gangguan emosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah
pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum
bisa diobati.

 Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat


Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan
aktifitas jasmani atau olah raga yang berat. Lari cepat paling mudah
menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya
terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.

8
Faktor Resiko

Secara umum faktor risiko asma dibagi kedalam dua kelompok besar, faktor
risiko yang berhubungan dengan terjadinya atau berkembangnya asma dan
faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya eksaserbasi atau serangan
asma yang disebut trigger faktor atau faktor pencetus3). Adapun faktor risiko
pencetus asma bronkial yaitu:
1. Asap Rokok
2. Tungau Debu Rumah
3. Jenis Kelamin
4. Binatang Piaraan
5. Jenis Makanan
6. Perabot Rumah Tangga
7. Perubahan Cuaca
8. Riwayat Penyakit Keluarga

LO 1.3 Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya
Asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe,yaitu :

1. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang
spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan
aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu
predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus
spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma
ekstrinsik.

2. Intrinsik (non alergik)


Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang
tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan
oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih
berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi
bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.

9
3. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari
bentuk alergik dan non-alergik.

Pembagian derajat penyakit asma menurut GINA adalah sebagai berikut :

1. Intermitten

Gejala kurang dari 1 kali/minggu

Serangan singkat

Gejala nokturnal tidak lebih dari 2 kali/bulan (≤ 2 kali)
 FEV1≥80% predicted atau PEF ≥80% nilai terbaik individu
 Variabilitas PEF atau FEV1 < 20%

2. Persisten ringan
Gejala lebih dari 1 kali/minggu tapi kurang dari 1 kali/hari
Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
Geajala nokturnal >2 kali/bulan
 FEV1≥80% predicted atau PEF ≥80% nilai terbaik individu
 Variabilitas PEF atau FEV1 20-30%

3. Persisten sedang
Gejala terjadi setiap hari
Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
Gejala nokturnal > 1 kali dalam seminggu Menggunakan agonis 𝛽2 kerja pendek setiap hari
 FEV1 60-80% predicted atau PEF 60-80% nilai terbaik individu
 Variabilitas PEF atau FEV1 > 30%

4. Persisten berat
Gejala terjadi setiap hari

Serangan sering terjadi

Gejala asma nokturnal sering terjadi
 FEV1 ≤ predicted atau PEF ≤ 60% nilai terbaik individu
 Variabilitas PEF atau FEV1 > 30%
 Pembagian lain derajat penyakit asma dibuat oleh
Phelan dkk. (dikutip dari

Konsensus Pediatri Internasional III tahun 1998


Klasifikasi ini membagi derajat asma menjadi 3 (tiga), yaitu sebagai berikut:

1. Asma episodik jarang



Merupakan 75% populasi asma pada anak. Ditandai oleh adanya episode <1x tiap 4-6
minggu, mengi setelah aktivitas berat, tidak terdapat gejala di antar episode serangan, dan
fungsi paru normal di antar tangan. Terapi profilaksis tidak dibutuhkan pada kelompok ini.

2. Asma episodik sering



Merupakan 20% populasi asma.Ditandai oleh frekuensi serangan yang lebih sering dan
timbulnya mengi pada aktivitas sedang, tetapi dapatdicegah dengan pemberian agonis 𝛽2 .
Geala terjadi kurang dari 1x/ minggu dan fungsi paru di antara serangan normal atau hampir
normal.Terapi profilaksis biasanya dibutuhkan.

3. Asma persisten

Terjadi pada sekitar 5% anak asma. Ditandai oleh seringnya episode akut, mengi pada
10
aktivitas ringan, dan di antara interval gejala dibutuhkan agonis 𝛽2 lebih dari 3
kali/minggu
 Arena anak terbangun di malam hari atau dada terasa berat di pagi hari. Terapi
profilaksis sangat dibutuhkan

Derajat Asma pada anak

LO 1.4 Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di negara maju.
Peningkatan terjadi juga di negara-negara Asia Pasifik seperti Indonesia. Studi di Asia
Pasifik baru-baru ini menunjukkan bahwa tingkat tidak masuk kerja akibat asma jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan di Amerika Serikat dan Eropa. Hampir separuh dari
seluruh pasien asma pernah dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian
gawat darurat setiap tahunnya. Hal tersebut disebabkan manajemen dan pengobatan
asma yang masih jauh dari pedoman yang direkomendasikan GINA.
Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil penelitian pada anak
sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC (International Study
on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995melaporkan prevalensi asma sebesar
2,1%, sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil survey asma pada
anak sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung,
Semarang, Yogyakarta, Malang dan Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada
anak SD (6 sampai 12 tahun) berkisar antara 3,7-6,4%, sedangkan pada anak SMP di
Jakarta Pusat sebesar 5,8%. Berdasarkan gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah
menjadi masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius. (Iris,
2008)

LO 1.5 Patofisiologis
Asma ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos bronkus yang menyebabkan
sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhioulus terhadap
benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi
dengan cara sebagai berikut, seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk
membentuk sejumlah antibody IgE abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini
menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan antigen spesifikasinya. Pada asma,

11
antibody ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang
berhubungan erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil.

Bila seseorang menghirup alergen maka antibody IgE orang tersebut meningkat,
alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan
sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis
yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan
bradikinin.
Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan adema lokal pada
dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi mukus yang kental dalam lumen
bronkhioulus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan
saluran napas menjadi sangat meningkat.

Pada asma, diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada selama
inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi paksa menekan
bagian luar bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan
selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat
terutama selama ekspirasi.
Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat,
tetapi sekali-kali melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu
fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma
akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan
barrel chest.
(Heru, Sundaru, Sukamto, 2007)

12
Asma Sebagai Penyakit Inflamasi

Asma saat ini dipandang sebagai penyakit inflamasi saluran nafas. Inflamasi ditandai
dengan adanya kalor (panas karena vasodilatasi) dan rubor (kemerahan karena
vasodilatasi), tumor (eksudasi plasma dan edema), dolor (rasa sakit karena rangsangan
sensoris) dan functio laesa (fungsi yang terganggu). Akhir-akhir ini syarat terjadinya
radang harus disertai satu syarat lagi, yaitu infiltrasi sel-sel radang. Ternyata keenam
syarat tadi dijumpai pada asma tanpa membedakan penyebabnya baik yang alergik
maupun non alergik.

Seperti telah dikemukakan di atas baik asma alergik maupun non alergik dijumpai
adanya inflamasi dan hipereaktivitas saluran nafas. Oleh karena itu, paling tidak
dikenal 2 jalur untuk mencapai kedua keadaan tersebut. Jalur imunologis yang terutama
didominasi oleh IgE dan jalur saraf autonom. Pada jalur IgE, masuknya alergen ke
dalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen Presenting Cell; sel penyaji antigen),
untuk selanjutnya hasil olahan alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th (sel T
helper; penolong). Sel Th inilah yang akan memberikan instruksi melalui IL
(interleukin) atau sitokin agar sel-sel plasma membentuk IgE, serta sel-sel radang lain
seperti mastosit, makrofage, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit
untuk mengeluarkan mediator-mediator inflamasi. Mediator inflamasi seperti histamin,
prostaglandin (PG), leukotrin (LT), platelet activating factor (PAF), bradikinin,
tromboksin (TX), dan lain-lain akan mempengaruhi organ sasaran sehingga
menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskuler, edema saluran nafas,
infiltrasi sel-sel radang, sekresi mukus dan fibrosis sub epitel, sehingga menimbulkan
hipereaktivitas saluran nafas (HSN). Jalur non alergik selain merangsang sel inflamasi,
juga merangsang sistem saraf autonom dengan hasil akhir berupa inflamasi dan HSN.

13
Hiperaktivitas Saluran Nafas (HSN)

Yang membedakan asma dengan orang normal adalah sifat saluran nafas pasien asma
yang sangat peka terhadap berbagai rangsangan seperti iritan (debu), zat kimia
(histamin, metakolin) dan fisis (kegiatan jasmani). Pada asma alergik, selain peka
terhadap rangsangan tersebut di atas pasien juga sangat peka terhadap alergen yang
spesifik. Sebagian HSN diduga didapat sejak lahir, tetapi sebagian lagi didapat.
Berbagai keadaan dapat meningkatkan hiperekativitas saluran nafas seseorang, yaitu:

a) Inflamasi Saluran Nafas


Sel-sel inflamasi serta mediator kimia yang dikeluarkan terbukti berkaitan erat
dengan gejala asma dan HSN. Konsep ini didukung oleh fakta bahwa intervensi
pengobatan dengan anti inflamasi dapat menurunkan derajat HSN dan gejala asma.

b) Kerusakan Epitel
Salah satu konsekuensi inflamasi adalah kerusakan epitel. Pada asma kerusakan
bervariasi dari yang ringan sampai berat. Perubahan struktur ini akan
meningkatkan penetrasi alergen, mediator inflamasi serta mengakibatkan iritasi
ujung-ujung saraf autonom sering lebih mudah terangsang. Sel-sel epitel bronkhus
sendiri sebenarnya mengandung mediator yang dapat bersifat sebagai
bronkodilator. Kerusakan sel-sel epitel bronkhus akan mengakibatkan
bronkokonstriksi lebih mudah terjadi.

c) Mekanisme Neurologis
Pada pasien asma terdapat peningkatan respon saraf parasimpatis

d) Gangguan Intrinsik
Otot polos saluran nafas dan hipertrofi otot polos pada saluran nafas diduga
berperan dalam HSN

e) Obstruksi Saluran Nafas


Meskipun bukan faktor utama, obstruksi saluran nafas diduga ikut berperan dalam
HSN.
(Heru, Sundaru, Sukamto, 2007)

LO 1.6 Manifestasi klinis


Manifestasi klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi, dan sesak napas.
Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, dan pada asma
alergik mugkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada mulanya batuk tanpa disertai
sekret, tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien akan mengeluarkan sekret baik
yang mukoid, putih kadang-kadang purulen. Ada sebagian kecil pasien asma yang
gealanya hanya batuk tanpa disertai mengi, dikenal dengan istilah cough variant
asthma. Bila hal yang terakhir ini dicurigai, perlu dilakukanpemeriksaan spirometri
sebelum dan sesudah bronkodilator atau uji provokasi bronkus dengan metakolin.
Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan alergen dengan gejala asma
tidak jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan gejala terhadap faktor
pencetus non-alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran napas
ataupun perubahan cuaca.

14
Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan. Gejala biasanya memburuk pada awal
minggu dan membaik menjelang akhir minggu. Pada pasien yang gejalanya tetap
memburuk sepanjang minggu, gejalanya mungkin akan membaik bila pasien dijauhkan
dari lingkungan kerjanya, seperti sewaktu cuti misalnya. Pemantauan dengan alat peak
flow meter atau uji provokasi dengan bahan tersangka yang ada di lingkunagn kerja
mungkin diperlukan untuk menegakkan diagnosis.
(Sudoyo, 2009)
Gejala asma berdasarkan dengan beratnya hipereaktivitas bronkus :
a. Bising mengi (Wheezing) yang terdengar dengan atau tanpa stetoskop
b. Batuk produktif pada malam hari
c. Nafas atau dada seperti ditekan
Gejalanya bersifat paroksismal, yaitu membaik pada siang hari dan memburuk
pada malam hari. Namun, biasanya pada pendeerita yang sedang bebas serangan
tidak ditemukan gejala klinis, tapi pada saat serangan penderita tampak bernafas
cepat dan dalam, gelisah, duduk dengan menyangga ke depan, serta tanpa otot-otot
bantu pernafasan bekerja dengan keras.

LO 1.7 Diagnosis dan diagnosis banding


Studi epidemiologi menunjukkan asma underdiagnosed di seluruh dunia, disebabkan
berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya penyakit yang
sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga penderita tidak merasa
perlu ke dokter. Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala
berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan
dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah
dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan
faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.
Anamnesa
Keluhan sesak nafas, mengi, dada terasa berat atau tertekan, batuk berdahak yang tak
kunjung sembuh, atau batuk malam hari.Semua keluhan biasanya bersifat episodic dan
reversible. Mungkin ada riwayat keluarga dengan penyakit yang sama atau penyakit
alergi yang lain.

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Penderita tampak sesak nafas dan gelisah, penderita lebih nyaman
dalam posisi duduk
Jantung : Pekak jantung mengecil, takikardi
Paru
a. Inspeksi : Dinding torak tampak mengembang, diafragma terdorong kebawah
b. Auskultasi : Terdengar wheezing (mengi), ekspirasi memanjang
c. Perkusi : Hipersonor
d. Palpasi : Fremitus vokal kanan sama dengan kiri
(Muttaqin, 2008)

15
Berdasarkan konsep B6, pemeriksaan fisik untuk asma secara spesifik mencakup :
B1 (Breathing)
a. Inspeksi
Pada klien terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan, serta
penggunaan otot bantu pernapasan. Inspeksi dada terutama melihat postur bentuk
dan kesimetrisan, adanya peningkatan diameter antero posterior, retraksi otot-otot
intercostalis, sifat dan irama pernapasan dan frekuensi napas.
b. Palpasi
Pada palpasi biasanya amati kesimetrisan, ekspansi dan taktil fremitus normal
c. Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sama hipersonor sedangkan diafragma
menjadi datar dan rendah.
d. Auskultasi
Terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai dengan ekspirasi lebih dari 4
detik atau 3 kali ekspirasi, dengan bunyi tambahan napas tambahan utama
wheezing pada akhir ekspirasi.
B2 (Blood)
Monitor dampak asma pada status kardiovaskular meliputi keadaan hemodinamik
seperti nadi, tekanan darah dan CRT.

B3 (Brain)
Diperlukan pemeriksaan GCS untuk penentuan status kesadaran

B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine berkaitan intake cairan. Ada tidaknya oliguria sebagai
tanda awal gejala syok.

B5 (Bowel)
Perlu dikaji bentuk, turgor, nyeri dan tanda-tnada infeksi yang dapat merangsang
serangan asma. Pengkajian status nutrisi meliputi jumlah, frekuensi dan kesulitan
pemenuhan kebutuhan nutrisi karena pada pasien sesak napas terjadi kekurangan. Hal
ini terjadi karena dispnea saat makan dan kecemasan klien.

B6 (Bone)
Adanya edema ekstremitas, tremor dan tanda-tanda infeksi pada ekstremitas karena
merangsang serangan asma. Pada integumen perlu dikaji permukaan kasar,kering,
kelainan pigmentasi, turgor kulit, kelembaban, besisik, pruritis, eksim dan adanya

16
bekas dermatitis. Pada rambut kaji kelembaban dan kusam. Adanya wheezing, sesak
danortopnea saat istirahat. Pola aktivitas olahraga, pekerjaan dan aktivitas lainnya.

Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:
a. Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinofil
b. Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang
bronkhus
c. Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkhus
d. Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid
dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug

2. Pemeriksaan Darah
a. Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis
b. Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH
c. Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana
menandakan terdapatnya suatu infeksi
d. Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari IgE pada waktu
serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan

Pemeriksaan Penunjang Lain


1. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan
menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang
bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun
Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai
berikut:
a. Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah
b. Bila terdapat komplikasi emfisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan
semakin bertambah
c. Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrat pada paru
d. Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal
e. Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium,
maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru

2. Pemeriksaan Tes Kulit


Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat
menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
17
3. Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3
bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada emfisema paru, yaitu:
a. Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan
clock wise rotation
b. Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB
(Right bundle branch block)
c. Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan
VES atau terjadinya depresi segmen ST negative

4. Scanning Paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara
selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.

5. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling cepat
dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan
bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pamberian
bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan
FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak
adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak
saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat
obstruksi dan efek pengobatan. Benyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan
spirometrinya menunjukkan obstruksi.
Status Asmatikus adalah keadaan darurat medik paru berupa serangan asma yang
berat atau bertambah berat yang bersifat refrakter sementara terhadap pengobatan
yang lazim diberikan. Refrakter adalah tidak adanya perbaikan atau perbaikan yang
sifatnya hanya singkat, dengan waktu pengamatan antara satu sampai dua jam.

Gambaran Klinis Status Asmatikus


a. Penderita tampak sakit berat dan sianosis
b. Sesak nafas, bicara terputus-putus
c. Banyak berkeringat, bila kulit kering menunjukkan kegawatan sebab penderita
sudah jatuh dalam dehidrasi berat
d. Pada keadaan awal kesadaran penderita mungkin masih cukup baik, tetapi lambat
laun dapat memburuk yang diawali dengan rasa cemas, gelisah kemudian jatuh ke
dalam koma

Peran pemeriksaan lain untuk diagnosis


Uji Provokasi Bronkus
18
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada penderita dengan
gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus .
Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai sensitiviti yang tinggi tetapi spesifisiti
rendah, artinya hasil negatif dapat menyingkirkan diagnosis asma persisten,
tetapi hasil positif tidak selalu berarti bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif
dapat terjadi pada penyakit lain seperti rinitis alergik, berbagai gangguan dengan
penyempitan jalan napas seperti PPOK, bronkiektasis dan fibrosis kistik.
Pengukuran Status Alergi
Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit atau
pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut mempunyai nilai kecil untuk
mendiagnosis asma, tetapi membantu mengidentifikasi faktor risiko/ pencetus sehingga
dapat dilaksanakan kontrol lingkungan dalam penatalaksanaan.
Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi, umumnya
dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara yang tepat untuk
diagnosis atopi, tetapi juga dapat menghasilkan positif maupun negatif
palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen yang relevan dan hubungannya
dengan gejala harus selalu dilakukan. Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan
uji kulit tidak dapat dilakukan (antara lain dermatophagoism, dermatitis/ kelainan kulit
pada lengan tempat uji kulit, dan lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total tidak
mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/ atopi.
Alur Diagnosis Asma

19
Diagnosis banding
Bronkitis Kronis
Ditandai dengan batuk kronik menegluarkan sputum 3 bulan dalam setahun paling
sedikti terjadi dua tahun. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya terjadi pada
penderita > 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya berupa batuk di pagi hari, lama-
lama disertai mengi, menurunya kemampuan kegiatan jasmani pada stadium lanjut
ditemukan sianosis dan tanda-tanda kor pumonal.
Emfisema Paru
Sesak merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan mengi jarang
menyertainya. Penderita biasanya kurus. Berbeda dengan asma, emfisema biasanya
tida ada fase remisi, penderita selalu merasa sesak pada saat melakukan aktivitas. Pada
pemeriksaan fisik di dapat dada seperti tong, gerakan nafas terbatas, hipersonor, pekak
hati menurun, suara vesikuler sangat lemah. Pada foto dada di dapat adanya
hiperinflasi.
Gagal Jantung Kiri

20
Gejala gagal jantung yang sering terjadi pada malam hari dikenal sebagai paroksisimal
dispneu. Penderita tiba-tiba terbangun pada malam hari karena sesak, tetapi sesak
berkurang jika penderita duduk. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya
kardiomegali dan udem paru.
Emboli Paru
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung dan tromboflebitis
dengan gejala sesak nafas, pasien terbatuk-batuk disertai darah, nyeri pleura, keringat
dingin, kejang, dan pingsang. Pada pemeriksaan fisik didapat ortopnea, takikardi, gagal
jantung kanan, pleural friction, gallop, sianosis, dan hipertensi.

Diagnosis banding lainnya :

 Rinosinusitis
 Refluks gastroesofageal
 Infeksi respiratorik bawah viral berulang
 Displasia bronkopulmoner
 Tuberkulosis
 Malformasi kongenital yang menyebabkan penyempitan saluran respiratorik
intratorakal
 Aspirasi benda asing
 Sindrom diskinesia silier primer
 Defisiensi imun
 Penyakit jantung bawaa

21
LO 1.8 Tatalaksana

Asma tidak bisa disembuhkan, namun bisa dikendalikan, sehingga penderita asma dapat
mencegah terjadinya sesak napas akibat serangan asma.

Tujuan pengobatan anti penyakit asma adalah membebaskan penderita dari serangan
penyakit asma. Hal ini dapat dicapai dengan jalan mengobati serangan penyakit asma yang
sedang terjadi atau mencegah serangan penyakit asma jangan sampai terjadi.

Mengobati disini bukan berarti menyembuhkan penyakitnya, melainkan menghilangkan


gejala-gejala yang berupa sesak, batuk, atau mengi. Keadaan yang sudah bebas gejala
penyakit asma ini selanjutnya harus dipertahankan agar serangan penyakit asma jangan
datang kembali.

Tatalaksana Medikamentosa
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat
pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk meredakan serangan atau gejala
asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada lagi gejala maka
obat ini tidak lagi digunakan atau diberikan bila perlu. Kelompok kedua adalah obat
pengendali yang disebut juga obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan
untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan
demikian pemakaian obat ini terus menerus diberikan walaupun sudah tidak ada lagi
gejalanya kemudian pemberiannya diturunkan pelan – pelan yaitu 25 % setip penurunan
setelah tujuan pengobatan asma tercapai 6 – 8 minggu.

Obat – obat Pereda (Reliever)

1. Bronkodilator
a. Short-acting β2 agonist
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada
anak.Reseptor β2 agonist berada di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus, sel-
sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot lurik, hepar, dan pankreas.
Obat ini menstimulasi reseptor β2 adrenergik menyebabkan perubahan ATP menjadi
cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan
terjadinya bronkodilatasi. Efek lain seperti peningkatan klirens mukosilier,
penurunan permeabilitas vaskuler, dan berkurangnya pelepasan mediator sel mast.

 Epinefrin/adrenalin
Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada β2 agonis
selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor β1, β2, dan α sehingga
menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, gelisah, palpitasi, takiaritmia,
tremor, dan hipertensi.
Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan karena durasi efek
bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping, terutama
pada jantung dan CNS.

 β2 agonis selektif(12)
Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.
Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis tebutalin oral : 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis salbutamol nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum
5mg/kgBB), interval 20 menit, atau nebulisasi
kontinu dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kgBB/jam
(dosis maksimum 15 mg/jam).
Dosis terbutalin nebulisasi : 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.

Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak


dicapai dalam 2 – 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam.
Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit, efek puncak
dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 – 6 jam.

Serangan ringan : MDI 2 – 4 semprotan tiap 3 – 4 jam.


Serangan sedang : MDI 6 – 10 semprotan tiap 1 – 2 jam.
Serangan berat : MDI 10 semprotan.

23
Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat ksrena pada keadaan ini
obat inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan napas. Efek samping
takikardi lebih sering terjadi.
Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1 mcg/kgBB
setiap 15 menit, dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit.
Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit, dilanjutkan
dengan 0,1 – 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu.
Efek samping β2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi,
palpitasi, dan takikardi.

b. Methyl xanthine
Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan β2 agonist inhalasi, tapi karena
efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini diberikan
pada serangan asma berat dengan kombinasi β2 agonist dan anticholinergick.
Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap reseptor
adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5.Methilxanthine cepat diabsorbsi setelah
pemberian oral, rectal, atau parenteral.Pemberian teofilin IM harus dihindarkan
karena menimbulkan nyeri setempat yang lama. Umumnya adanya makanan dalam
lambung akan memperlambat kecepatan absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi
derajat besarnya absorpsi. Metilxanthine didistribusikan keseluruh tubuh, melewati
plasenta dan masuk ke air susu ibu. Eliminasinya terutama melalui metabolism hati,
sebagian besar dieksresi bersama urin.

Dosis aminofilin IV inisial bergantung kepada usia :

 1 – 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam
 6 – 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam
 1 – 9 tahun : 1,2 – 1,5 mg/kgBB/Jam
 > 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam

Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala.Pada konsentrasi yang lebih
tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia.

24
1. Anticholinergics
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida.Kombinasi dengan nebulisasi
β2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis anjuran 0, 1
cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam(12).
Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis : untuk usia
diatas 6 tahun 8 – 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 – 10 tetes. Efek sampingnya adalah
kekeringan atau rasa tidak enak dimulut.Antikolinergik inhalasi tidak
direkomendasikan pada terapi asma jangka panjang pada anak.

2. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan(12) :
 Terapi inisial inhalasi β2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang
cukup lama.
 Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan kortikosteroid
hirupan sebagai kontroler.
 Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.

Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk mencapai


perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12 – 24 jam. Preparat oral
yang di pakai adalah prednisone, prednisolon, atau triamsinolon dengan dosis 1 –
2 mg/kgBB/hari diberikan 2 – 3 kali sehari selama 3 – 5 kali sehari.

Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Obat ini


bekerja sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat
sintesis eikosainoid, menghambat peningkatan basofil, eosinofil dan leukosit lain
di jaringan paru dan menurunkan permeabilitas vascular.

Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi


kejaringan paru lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek
mineralokortikoid minimal.Dosis metilprednisolon IV yang dianjurkan adalah 1
mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam.Dosis Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4 – 6
jam. Dosis dexamethasone bolus IV 0,5 – 1 mg/kgBB dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari
setiap 6 – 8 jam.

25
Obat – obat Pengontrol
Obat – obat asma pengontrol pada anak – anak termasuk inhalasi dan sistemik
glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled β2-agonist, theofilin, cromones,
dan long acting oral β2-agonist.

1. Inhalasi glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling efektif dan
direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Intervensi awal dengan
penggunaan inhalasi budesonide berhubungan dengan perbaikan dalam pengontrolan
asma dan mengurangi penggunaan obat-obat tambahan. Terapi pemeliharaan dengan
inhalasi glukokortikosteroid ini mampu mengontrol gejala-gejala asma, mengurangi
frekuensi dari eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di rumah sakit, meningkatkan
kualitas hidup, fungsi paru dan hiperresponsif bronkial, dan mengurangi
bronkokonstriksi yang diinduksi latihan.
Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan lamina retikularis, mencegah
terjadinya neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi terjadinya down
regulation receptor β2 agonist.Dosis yang dapat digunakan sampai 400ug/hari (respire
anak).Efek samping berupa gangguan pertumbuhan, katarak, gangguan sistem saraf
pusat, dan gangguan pada gigi dan mulut

2. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)


Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan mungkin hasilnya
lebih baik.Sayangnya, belum ada percobaan jangka panjang yang membandingkannya
dengan steroid hirupan + LABA. Keuntungan memakai LTRA adalah sebagai berikut

 LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil


leukotriane;
 Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap bronkokonstriktor;
 Mencegah early asma reaction dan late asthma reaction
 Dapat diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan sekali per hari.,
penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati; sayangnya preparat
montelukast ini belum ada di Indonesia;
 Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan
meningkatkan kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan transforming

26
growth factor (TGF) sehingga dapat mengendalikan terjadinya fibrosis,
hyperplasia, dan hipertrofi otot polos, serta diharapkan mencegah perubahan
fungsi otot polos menjadi organ pro-inflamator.

Ada 2 preparat LTRA :


a. Montelukast
Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Dosis per oral 1 kali
sehari.(respiro anak) Dosis pada anak usia 2-5 tahun adalah 4 mg qhs. (gina)
b. Zafirlukast
Preparat ini terdapat di Indonesia, digunakan untuk anak usia> 7 tahun dengan
dosis 10 mg 2 kali sehari.
Leukotrin memberikan manfaat klinis yang baik pada berbagai tingkat keparahan
asma dengan menekan produksi cystenil leukotrine. Efek samping obat dapat
mengganggu fungsi hati (meningkatkan transaminase) sehingga perlu pemantauan
fungsi hati.

3. Long acting β2 Agonist (LABA)


Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol. Pemberian ICS
400ug dengan tambahan LABA lebih baik dilihat dari frekuensi serangan, FEV1 pagi
dan sore, penggunaan steroid oral,, menurunnya hiperreaktivitas dan airway
remodeling.Kombinasi ICS dan LABA sudah ada dalam 1 paket, yaitu kombinasi
fluticasone propionate dan salmeterol (Seretide), budesonide dan formoterol
(Symbicort).Seretide dalam MDI sedangkan Symbicort dalam DPI.Kombinasi ini
mempermudah penggunaan obat dan meningkatkan kepatuhan memakai obat.

4. Teofilin lepas lambat


Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama kortikosteroid yang
bertujuan untuk mengontrol asma dan mengurangi dosis pemeliharaan
glukokortikosteroid.Tapi efikasi teofilin lebih rendah daripada glukokortikosteroid
inhalasi dosis rendah.
Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala, stimulasi ringan SSP,
palpitasi, takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan jarang, perdarahan lambung. Efek
samping muncul pada dosis lebih dari 10mg/kgBB/hari, oleh karena itu terapi dimulai

27
pada dosis inisial 5mg/kgBB/hari dan secara bertahap diingkatkan sampai
10mg/kgBB/hari.

Terapi Suportif
a. Terapi oksigen
Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui kanula hidung, masker atau
headbox.Perlu dilakukan pemantauan saturasi oksigen, sebaiknya diukur dengan pulse
oxymetry (nilai normal > 95%).
b. Campuran Helium dan oksigen
Inhalasi Helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit sebagai tambahan
pemberian oksigen (dengan kanula hidung), bersama dengan nebulisasi salbutamol dan
metilprednisolon IV, secara bermakna menurunkan pulsus paradoksus, meningkatkan
peakflow dan mengurangi sesak. Campuran helium dan oksigen dapat memperbaiki
oksigenasi karena helium bersifat ringan sehingga dapat mengubah aliran turbulen
menjadi laminar dan menyebabkan oksigen lebih mudah mencapai alveoli.
c. Terapi cairan
Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang adekuatnya asupan
cairan, peningkatan insensible water loss, takipnea serta efek diuretic teofilin.
Pemberian cairan harus hati-hati kareana pada asma berat terjadi peningkatan sekresi
Antidiuretik Hormone (ADH) yan memudahkan terjadinya retensi cairan dan tekanan
pleura negatif tinggi pada puncak inspirasi yang memudahkan terjadinya edema paru.
Jumlah cairan yang diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan rumatan.

Cara Pemberian Obat

UMUR ALAT INHALASI

< 2 tahun Nebuliser, Aerochamber, babyhaler


2-4 tahun Nebuliser, Aerochamber, babyhaler
Alat Hirupan (MDI/ Metered Dose Inhaler) dengan alat
perenggang (spacer)
5-8 tahun Nebuliser
MDI dengan spacer
Alat hirupan bubuk (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler,
Turbuhaler)

28
>8 tahun Nebuliser
MDI (metered dose inhaler)
Alat Hirupan Bubuk
Autohaler

Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangu deposisi obat dalam mulut (orofaring),
jadi mengurangi jumlah obat yang akan tertelan sehingga mengurangi efek sistemik.
Sebaliknya, deposisi dalamm paru lebih baik sehingga didapat efek terapeutik yang lebih
baik. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler,
Turbuhaler) memerlukan inspirasi yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk anak
usia sekolah. Sebagian alat bantu yaitu Spacer (Volumatic, Nebuhaler, Aerochamber,
Babyhaler, Autohaler) dapat dimodifikasi dengan menggunakan bekas gelas atau botol
minuman atau menggunakan botol susu dengan dot susu yang telah dipotong untuk anak
kecil dan bayi.

Kurangnya pengertian mengenai cara-cara pengobatan yang benar akan mengakibatkan


asma salalu kambuh. Jika pengobatannya dilakukan secara dini, benar dan teratur maka
serangan asma akan dapat ditekan seminimal mungkin.

Pada prinsipnya tata cara pengobatan asma dibagi atas:


1. Pengobatan Asma Jangka Pendek
2. Pengobatan Asma Jagka Panjang

Pengobatan Asma Jangka Pendek

Pengobatan diberikan pada saat terjadi serangan asma yang hebat, dan terus diberikan
sampai serangan merendah, biasanya memakai obat-obatan yang melebarkan saluran
pernapasan yang menyempit.

Tujuan pengobatannya untuk mengatasi penyempitan jalan napas, mengatasi sembab


selaput lendir jalan napas, dan mengatasi produksi dahak yang berlebihan. Macam obatnya
adalah:

29
Obat untuk mengatasi penyempitan jalan napas

Obat jenis ini untuk melemaskan otot polos pada saluran napas dan dikenal
sebagai obat bronkodilator. Ada 3 golongan besar obat ini, yaitu:

- Golongan Xantin, misalnya Ephedrine HCl (zat aktif dalam Neo Napacin)
- Golongan Simpatomimetika
A.
- Golongan Antikolinergik

Walaupun secara legal hanya jenis obat Ephedrine HCl saja yang dapat diperoleh
penderita tanpa resep dokter (takaran < 25 mg), namun tidak tertutup
kemungkinannya penderita memperoleh obat anti asma yang lain.

Obat untuk mengatasi sembab selaput lendir jalan napas

Obat jenis ini termasuk kelompok kortikosteroid. Meskipun efek sampingnya


cukup berbahaya (bila pemakaiannya tak terkontrol), namun cukup potensial
B.
untuk mengatasi sembab pada bagian tubuh manusia termasuk pada saluran
napas. Atau dapat juga dipakai kelompok Kromolin.

Obat untuk mengatasi produksi dahak yang berlebihan.

Jenis ini tidak ada dan tidak diperlukan. Yang terbaik adalah usaha untuk
mengencerkan dahak yang kental tersebut dan mengeluarkannya dari jalan napas
C. dengan refleks batuk.

Oleh karenanya penderita asma yang mengalami ini dianjurkan untuk minum
yang banyak. Namun tak menutup kemungkinan diberikan obat jenis lain, seperti
Ambroxol atau Carbo Cystein untuk membantu.

30
Pengobatan Asma Jangka Panjang

Pengobatan diberikan setelah serangan asma merendah, karena tujuan pengobatan ini
untuk pencegahan serangan asma.

Pengobatan asma diberikan dalam jangka waktu yang lama, bisa berbulan-bulan sampai
bertahun-tahun, dan harus diberikan secara teratur. Penghentian pemakaian obat ditentukan
oleh dokter yang merawat.

Pengobatan ini lazimnya disebut sebagai immunoterapi, adalah suatu sistem pengobatan
yang diterapkan pada penderita asma/pilek alergi dengan cara menyuntikkan bahan alergi
terhadap penderita alergi yang dosisnya dinaikkan makin tinggi secara bertahap dan
diharapkan dapat menghilangkan kepekaannya terhadap bahan tersebut (desentisasi) atau
mengurangi kepekaannya (hiposentisisasi).

Dalam mengatasi dan mencegah asma paling tidak meminimalisir terjadinya serangan
asma secara tiba-tiba, kita perlu mengetahui bagaimana tata pelaksanaan dalam
menanggani asma

31
ALGORITMA
PENATALAKSANAAN SERANGAN ASMA DI RUMAH

Penilaian berat serangan


Klinis : Gejala (batuk, sesak, mengi, dada terasa berat) yang bertambah
APE , 80% nilai terbaik / prediksi

Terapi awal
Inhalasi agonis beta-2 kerja singkat
(setiap 20 menit, 3 kali dalam 1 jam), atau Bronkodilator oral

Sumber : PDPI, Asma. Pedoman & Penatalaksanaan Di Indonesia, 2004

32
Algoritma Penatalaksanaan Asma Di Rumah Sakit

Penilaian Awal
-
Riwayat dan pemeriksaan fisik

(auskultasi, otot bantu napas, denyut jantung, frekuensi napas) dan bila mungkin faal paru (APE atau

Serangan Asma Ringan Serangan Asma Sedang/Berat Serangan Asma Mengancam Jiwa

Pengobatan Awal

 Oksigenasi dengan kanul nasal


 Inhalasi agonis beta-2 kerja singkat (nebulisasi), setiap 20 menit dalam satu jam) atau agonis beta-2
injeksi (Terbutalin 0,5 ml subkutan atau Adrenalin 1/1000 0,3 ml subkutan)
 Kortikosteroid sistemik :
- serangan asma berat,tidak ada respons segera dengan pengobatan bronkodilator, dalam
kortikosterois oral

Penilaian Ulang setelah 1 jam

Pem.fisis, saturasi O2, dan pemeriksaan lain atas indikasi

Respons baik Respons Tidak Sempurna Respons buruk dalam 1 jam

 Respons baik dan stabil dalam  Resiko tinggi distress  Resiko tinggi distress
60 menit  Pem.fisis : gejala ringan – sedang  Pem.fisis : berat, gelisah dan
 Pem.fisi normal  APE > 50% terapi < 70% kesadaran menurun
 APE >70% prediksi/nilai  Saturasi O2 tidak perbaikan  APE < 30%
terbaik  PaCO2 < 45 mmHg
 PaCO2 < 60 mmHg
Pulang Dirawat di RS Dirawat di ICU
 Pengobatan dilanjutkan  Inhalasi agonis beta-2 + anti— Inhalasi agonis beta-2 + anti
dengan inhalasi agonis beta-2 kolinergik kolinergik
 Membutuhkan kortikosteroid  Kortikosteroid sistemik Kortikosteroid IV
oral  Aminofilin drip Pertimbangkan agonis beta-2 injeksi
 Edukasi pasien  Terapi Oksigen pertimbangkan kanul SC/IM/IV
- Memakai obat yang nasal atau masker venturi Aminofilin drip
benar  Pantau APE, Sat O2, Nadi, kadar Mungkin perlu intubasi dan ventilasi
- Ikuti rencana pengobatan teofilin mekanik

Perbaikan Tidak Perbaikan

Pulang
Dirawat di ICU
Bila APE > 60% prediksi / terbaik. Tetap Bila tidak perbaikan dalam 6-12 jam
berikan pengobatan oral atau inhalasi

Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan Di Indonesia, , 2004.

33
Alur Tatalaksana Serangan Asma pada Anak

Klinik / IGD

Nilai derajat
serangan(1)
(sesuai tabel 3)
Tatalaksana awal
 nebulisasi -agonis 1-3x, selang 20 menit (2)
 nebulisasi ketiga + antikolinergik
 jika serangan berat, nebulisasi. 1x
(+antikoinergik)

Serangan berat
Serangan ringan Serangan sedang
(nebulisasi 1-3x, respons (nebulisasi 1-3x, (nebulisasi 3x,
baik, gejala hilang) respons parsial) respons buruk)
 observasi 2 jam 
 berikan oksigen (3) sejak awal berikan
 jika efek bertahan,
 nilai kembali derajat O2 saat / di luar
boleh pulang nebulisasi
serangan, jika
 jika gejala timbul  pasang jalur
sesuai dgn
parenteral

Ruang Rawat Inap


Boleh pulang Ruang Rawat  oksigen teruskan
 bekali obat - Sehari/observasi  atasi dehidrasi dan
agonis (hirupan /  oksigen teruskan asidosis jika ada
oral)  berikan steroid oral  steroid IV tiap 6-8
 jika sudah ada  nebulisasi tiap 2 jam jam
obat pengendali,  bila dalam 12 jam  nebulisasi tiap 1-2
teruskan perbaikan klinis stabil, jam
 jika infeksi virus
sbg. pencetus,
boleh pulang, tetapi  aminofilin IV awal,
jika klinis tetap belum lanjutkan
dapat diberi membaik atau
rumatanjika
meburuk, alih rawat ke
Ruang Rawat Inap membaik dalam
4-6x nebulisasi,
Catatan:
interval jadi 4-6
1. Jika menurut penilaian serangannya berat, nebulisasi cukup jam
1x langsung dengan -agonis + antikolinergik  jika dalam 24 jam
2. Bila terdapat tanda ancaman henti napas segera ke Ruang perbaikan klinis
Rawat Intensif
3. Jika tidak ada alatnya, nebulisasi dapat diganti dengan
adrenalin subkutan 0,01ml/kgBB/kali maksimal 0,3ml/kali
4. Untuk serangan sedang dan terutama berat, oksigen 2-4
L/menit diberikan sejak awal, termasuk saat nebulisasi

34
LO 1.9 Komplikasi

a. Pneumothorax
Keadaan dimana terdapat udara atau gas dalam rongga pleura, sehingga paru –
paru kesulitan untuk mengembang.
b. Pneumodiastinum
Adanya udara atau gas bebas yang ditemukan pada mediastinum.
c. Emfisema
Pembesaran permanen abnormal ruang udara distal ke bronkiolus terminal,
disertai dengan kerusakan dinding alveolar dan tanpa fibrosis yang jelas.
d. Atelektasis
pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paruakibat penyumbatan saluran udara
(bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal.
e. Bronchitis
Peradangan pada cabang tenggorokan/ bronkus.
f. Gagal nafas

g. Perubahan bentuk thorax


Thorax membungkuk kedepan dan memanjang. Pada foto rontgen terlihat
diafragma letaknya rendah, gambaran jantung menyempit, hilus kiri dan kanan
bertambah. Pada asma berat dapat terjadi bentuk dada burung (pektus
karinatum/ pigeon chest) dan tampak sulkus Harrison.

LO 1.10 Pencegahan
Pencegahan Primer
Ditujukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi dengan resiko asma (orangtua asma),
dengan cara:

 Penghindaran Asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan masa
perkembangan bayi/ anak
 Diet Hipoalergenik ibu hamil, asalkan/ dengan syarat diet tersebut tidak mengganggu
asupan janin
 Pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan
 Diet Hipoalergenik ibu menyusui

35
Pencegahan Sekunder
Ditujukan untuk mencegah inflamasi pada anak yang telah tersentisisasi dengan cara
menghindari pajanan asap rokok, serta allergen dalam ruangan terutama tungau debu
rumah

Pencegahan Tersier
Ditujukan untuk mencegah manifestasi asma pada anak yang telah menunjukkan
manifestasi penyakit alergi. Sebuah penelitian multi senter yang dikenal dengan nama
ETAC study (early treatment of atopic children) mendapatkan bahwa pemberian Setirizin
selama 18 bulan pada anak atopi dengan dermatitis atopi dan igE spesifik terhadap serbuk
rumput (pollen) dan tungau debu rumah menurunkan kejadian asma sebanyak 50% perlu
ditekankan bahwa pemberian Setirizin pada penelitian ini bukan sebagai pengendali asma
(controller)

LO 1.11 Prognosis
Pada umumnya prognosis pada kasus asma cukup baik. Hal tersebut dikarenakan asma
merupakan penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya. Namun, apabila tidak
dilakukan penanganan dapat menyebabkan kematian. Hal tersebut berdasarkan data yang
diperoleh dari WHO. WHO memperkirakan pada tahun 2005, terdapat 255.000 didunia
meninggal karena asma. Sebagian besar (  80%) terjadi dinegara berkembang.

LI 2. Memahami dan menjelaskan terapi inhalasi

Pemberian obat pada asma dapat berbagai macam, yaitu parenteral, peroral, dan perinhalasi.
Pemberian perinhalasi adalah pemebrian obat secara langsung kedala saluran napas melalu
penghisapan. Pada asma penggunaan obat secara inhalasi dapat mengurangi efek samping
berupa gangguan gastrointestinal dan yg lainya yg sering terjadi pada pemberian parenteral
atau peroral. Hal tersebut dimungkinkan karena dosis yang digunakan pada terapi inhalasi
sangat kecil dibandingkan dengan pengobatan parenteral atau peroral. Terapi pada dewasa
telah banyak digunakan dan keberhasilnaya cukup baik, tetapi pada anak belum banyak.
Prinsip terapi inhalasi
Prinsip farmakologis terapi inhalasi yang ideal untuk penyakit saluran napas adalah obat
dapat sampai pada organ target dengan menghasilkan partikel aerosol berukuran optimal agar
terdeposisi di paru, onset kerjanya cepat, dosis obat kecil, efek samping minimal karena
konsentrasi obat di dalam darah sedikit atau rendah, mudah digunakan, serta efek terapeutik
tercapai yang ditandai dengan tampaknya perbaikan klinis. Meskipun saluran napas
mempunyai beberapa mekanisme antara lain refleks batuk, bersin serta klirens mukosilier
yang akan melindungi terhadap masuk dan mengendapnya partikel obat sehingga akan

36
mengeliminasi obat inhalasi. Namun dengan memperhatikan metode untuk menghasilkan
aerosol serta cara penyampaian/delivery obat yang akan mempengaruhi ukuran partikel yang
dihasilkan dan jumlah obat yang mencapai berbagai tempat di saluran napas maka
diharapkan obat terdeposisi secara efektif.
Ukuran partikel akan mempengaruhi sampai sejauh mana partikel menembus saluran napas.
Partikel berukuran > 15 mm tersaring oleh filtrasi rambut hidung sedangkan > 10 mm akan
mengendap di hidung dan nasofaring. Partikel yang besar ini terutama mengendap karena
benturan inersial bila terdapat aliran udara yang cepat disertai perubahan arah atau arus
urbulen. Partikel berukuran 0,5 – 5 mm akan mengendap secara sedimentasi karena gaya
gravitasisedangkan partikel berukuran < 0,1 mm akanmengendap karena gerak Brown.
Dengan demikian untuk mendapatkan manfaat obat yang optimal, obat yang diberikan secara
inhalasi harus dapat mencapai tempat kerjanya di dalam saluran pernapasan. Bentuk aerosol
yang digunakan yaitu suspensi partikel di dalam gas, dan partikel dalam aerosol yang
mempunyai ukuran berkisar 2-10 Ïm atau 1-7 Ïm Penelitian lainnya mendapatkan bahwa
partikel berukuran 1-8 Ïm mengalami benturan dan pengendapan di saluran nafas besar,
kecil, dan alveoli.
Jenis terapi inhalasi
Pemberian aerosol yang ideal adalah dengan alat yang sederhana, mudah dibawa, tidak
mahal, secara selektif mencapai saluran napas bawah, hanya sedikit yang tertinggal di saluran
napas atas serta dapat digunakan oleh anak, orang cacat, atau orang tua. Namun keadaan
ideal tersebut tidak dapat sepenuhnya tercapai dan masing-masing jenis alat terapi inhalasi
mempunyai beberapa keuntungan dan kerugian. Hingga saat ini dikenal 3 sistem inhalasi
yang digunakan dalam klinik sehari-hari yaitu,:
1. Nebuliser
2. Metered dosed inhaler aerosol ( dengan atau tanpa spacer / alat penyambung)
3. Dry powder inhaler

1. Nebuliser
Alat nebuliser dapat mengubah obat yang berbentuk larutan menjadi aerosol secara terus
menerus dengan tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan atau gelombang
ultrasonik sehingga dalam prakteknya dikenal 2 jenis alat nebuliser yaitu ultrasonic
nebulizer dan jet nebuliser. Hasil pengobatan dengan nebulizer lebih banyak bergantung
pada jenis nebuliser yang digunakan. Terdapat nebuliser yang dapat menghasilkan
partikel aerosol terus menerus ada juga yang dapat diatur sehingga aerosol hanya timbul
pada saat penderita melakukan inhalasi sehingga obat tidak banyak terbuang.
Keuntungan terapi inhalasi menggunakan nebuliser adalah tidak atau sedikit memerlukan
koordinasi pasien, hanya memerlukan pernafasan tidal, beberapa jenis obat dapat
dicampur (misalnya salbutamol dan natrium kromoglikat).

37
Kekurangannya adalah karena alat cukup besar, memerlukan sumber tenaga listrik dan
relatif mahal.
• Ultrasonic nebuliser
Alat ini menghasilkan aerosol melalui osilasi frekuensi tinggi dari piezo-electric
crystal yang berada dekat larutan dan cairan memecah menjadi aerosol. Keuntungan
jenis nebuliser ini adalah tidak menimbulkan suara bising dan terus menerus dapat
mengubah larutan menjadi aerosol sedangkan kekurangannya alat ini mahal dan
memerlukan biaya perawatan lebih besar.
• Jet nebuliser
Alat ini paling banyak digunakan banyak Negara karena relatif lebih murah daripada
ultrasonic nebuliser. Dengan gas jet berkecepatan tinggi yang berasal dari udara yang
dipadatkan dalam silinder ditiupkan melalui lubang kecil dan akan dihasilkan tekanan
negatif yang selanjutnya akan memecah larutan menjadi bentuk aerosol. Aerosol
yang terbentuk dihisap pasien melalui mouth piece atau sungkup. Dengan mengisi
suatu tempat pada nebuliser sebanyak 4 ml maka dihasilkan partikel aerosol
berukuran < 5 Ïm, sebanyak 60-80% larutan nebulisasi akan terpakai dan lama
nebulisasi dapat dibatasi. Dengan cara yang optimal maka hanya 12% larutan akan
terdeposit di paru-paru.7 Bronkodilator yang diberikan dengan nebulizer
memberikan efek bronkodilatasi yang bermakna tanpa menimbulkan efek samping.

2. Metered dose inhaler (MDI)


Metered dose inhaler (MDI) atau inhaler dosis terukur merupakan cara inhalasi yang
memerlukan teknik inhalasi tertentu agar sejumlah dosis obat mencapai saluran
pernafasan. Pada inhaler ini bahan aktif obat disuspensikan dalam kurang lebih 10 ml
cairan pendorong (propelan) dan yang biasa digunakan adalah kloroflurokarbon
(chlorofluorocarbon = CFC) pada tekanan tinggi. Akhir-akhir ini mulai dikembangkan
penggunaan bahan non-CFC yaitu hidrofluroalkana (HFA) yang tidak merusak lapisan
ozon. Propelan mempunyai tekanan uap tinggi sehingga di dalam tabung (kanister) tetap
berbentuk cairan. Bila canister ditekan, aerosol disemprotkan keluar dengan kecepatan
tinggi yaitu 30 m/detik dalam bentuk droplet dengan dosis tertentu melalui aktuator
(lubang). Pada ujung aktuator ukuran partikel berkisar 35 Ïm, pada jarak 10 cm dari
kanister besarnya menjadi 14 Ïm, dan setelah propelan mengalami evaporasi seluruhnya
ukuran partikel menjadi 2,8-4,3 Ïm. Dengan teknik inhalasi yang benar maka 80%
aerosol akan mengendap di mulut dan orofarings karena kecepatan yang tinggi dan
ukurannya besar, 10% tetap berada dalam aktuator, dan hanya sekitar 10% aerosol yang
disemprotkan akan sampai ke dalam paru-paru.
Pada cara inhalasi ini diperlukan koordinasi antara penekanan kanister dengan inspirasi
napas. Untuk mendapatkan hasil optimal maka pemakaian inhaler ini hendaklah
dikerjakan sebagai berikut:

38
1. terlebih dahulu kanister dikocok agar obat tetap homogen, lalu tutup kanister dibuka
2. inhaler dipegang tegak kemudian pasien melakukan ekspirasi maksimal secara
perlahan
3. mulut kanister diletakkan diantara bibir, lalu bibir dirapatkan dan dilakukan inspirasi
perlahan sampai maksimal
4. pada pertengahan inspirasi kanister ditekan agar obat keluar
5. pasien menahan nafas 10 detik atau dengan menghitung 10 hitungan pada inspirasi
maksimal
6. setelah 30 detik atau 1 menit prosedur yang sama diulang kembali
7. setelah proses selesai, jangan lupa berkumur untuk mencegah efek samping.
Langkah-langkah di atas harus dilaksanakan sebelum pasien menggunakan obat asma
jenis MDI. Langkah di atas sering tidak diikuti sehingga pengobatan asma kurang efektif
dan timbul efek samping yang tidak diinginkan. Beberapa ahli mengidentifikasi beberapa
kesalahan yang sering dijumpai antara lain kurangnya koordinasi pada saat menekan
kanister dan saat menghisap, terlalu cepat inspirasi, tidak berhenti sesaat setelah inspirasi,
tidak mengocok kanister sebelum digunakan, dan terbalik pemakaiannya.
Kesalahankesalahan di atas umumnya dilakukan oleh anak yang lebih muda, manula,
wanita, dan penderita dengan social ekonomi dan pendidikan yang rendah.

MDI dengan spacer


Spacer (alat penyambung) akan menambah jarak antara aktuator dengan mulut sehingga
kecepatan aerosol pada saat dihisap menjadi berkurang dan akan dihasilkan partikel
berukuran kecil yang berpenetrasi ke saluran pernafasan perifer. Hal ini merupakan
kelebihan dari penggunaan spacer karena mengurangi pengendapan di orofaring. Spacer
ini berupa tabung (dapat bervolume 80 ml) dengan panjang sekitar 10-20 cm, atau bentuk
lain berupa kerucut dengan volume 700-1000 ml. Untuk bayi dianjurkan menggunakan
spacer volume kecil (babyhaler) agar aerosol yang dihasilkan lebih mampat sehingga
lebih banyak obat akan terinhalasi pada setiap inspirasi. Beberapa alat dilengkapi dengan
katup satu arah yang akan terbuka saat inhalasi dan akan menutup pada saat ekshalasi
misalnya Nebuhaler (Astra), Volumatic (A&H). Pengendapan di orofaring akan
berkurang yaitu sekitar 5% dosis yang diberikan bila digunakan spacer dengan katup satu
arah. Pada spacer tanpa katup satu arah, pengendapan di orofaring sekitar 8-60% dosis.
Dengan penggunaan spacer, deposit pada paru akan meningkat menjadi 20%
dibandingkan tanpa spacer. Penggunaan spacer ini sangat menguntungkan pada anak
karena pada anak koordinasinya belum baik. Dengan bantuan spacer, koordinasi pada
saat menekan kanister dengan saat penghisapan dapat dikurangi atau bahkan tidak
memerlukan koordinasi. Apabila spacer ini tidak tersedia maka sebagai penggantinya
bisa digunakan spacer sederhana yang murah dan mudah dibuat yaitu dari plastic coffee
cup yang dilubangi dasarnya untuk tempat aerosol. Cara ini sudah terbukti bermanfaat
hanya untuk bronkodilator dan belum dibuktikan berguna untuk natrium kromoglikat dan
steroid.

39
Easyhaler
Easyhaler adalah inhaler serbuk multidosis yang merupakan alternatif dari MDI.
Komponennya terdiri dari plastik dan cincin stainless steel dan mengandung serbuk
untuk sekurang-kurangnya 200 dosis. Masing-masing dosis obat dihitung secara akurat
dengan cara menekan puncak alat (overcap) yang akan memutari silinder (metering
cylindric) pada bagian bawah alat tersebut. Cekungan dosis berisi sejumlah obat
berhubungan langsung dengan mouth piece. Saluran udara ke arah mouthpiece berbentuk
corong dengan tujuan untuk mengoptimalkan deposisi obat di saluran napas. Terdapat
takaran dosis yang berguna untuk memberi informasi kepada pasien mengenai sisa dosis
obat. Pelindung penutup berguna untuk mencegah kelembaban. Partikel obat yang halus
(<10 Ï) sulit untuk melayang jauh dan cenderung untuk menggumpal, oleh karena itu zat
aktif tersebut dicampur dengan sejumlah kecil laktosa yang berperan sebagai pembawa.
Pada easyhaler ukuran partikel laktosa cukup besar untuk deposit di saluran napas bawah
sehingga diharapkan akan jatuh di orofaring. Keadaan ini mempunyai keuntungan untuk
memberitahukan pada penderita bahwa obatnya benar terhisap dengan rasa manis di
mulut.
3. Dry Powder Inhaler
Pada awalnya di tahun 1957 jenis inhaler ini digunakan untuk delivery serbuk antibiotik.
Selanjutnya banyak penelitian uji klinis yang menunjukkan bahwa DPI bisa digunakan
untuk pengobatan asma anak. Dalam perkembangannya pada tahun 1970 dibuat inhaler
yang hanya memuat serbuk kering dosis tunggal seperti misalnya spinhaler dan
rotahaler, dan akhir tahun 1980 diperkenalkan inhaler yang memuat multiple dosis yaitu
yang dikenal dengan diskhaler (8 dosis) dan turbuhaler. Beberapa tahun terakhir ini
diperkenalkan diskus (di Inggris dikenal dengan accuhaler) yang memuat 60 dosis dan
dapat dipergunakan untuk 1bulan terapi.6 Inhaler jenis ini tidak mengandung propelan
sehingga mempunyai kelebihan dari MDI. Penggunaan obat serbuk kering pada DPI
memerlukan inspirasi yang cukup kuat. Pada anak yang kecil hal ini sulit dilakukan
mengingat inspirasi kuat belum dapat dilakukan, sehingga deposisi obat pada saluran
pernafasan berkurang. Pada anak yang lebih besar, penggunaan obat serbuk ini dapat
lebih mudah, karena kurang memerlukan koordinasi dibandingkan dengan MDI. Dengan
cara ini deposisi obat di dalam paru lebih tinggi dan lebih konstan dibandingkan MDI
sehingga dianjurkan diberikan pada anak di atas 5 tahun. Cara DPI ini tidak memerlukan
spacer sebagai alat bantu sehingga mudah dibawa dan dimasukkan ke dalam saku. Hal
ini yang juga memudahkan pasien dan lebih praktis

40
Terapi inhalasi pada asma
Pada tata laksana asma harus dibedakan dua hal penting yaitu tata laksana serangan dan tata
laksana jangka panjang. Seorang anak yang telah didiagnosis asma harus ditentukan
klasifikasinya. Berdasarkan Konsensus Nasional Penanganan Asma (KNAA) klasifikasi
asma di luar serangan adalah asma episodik jarang, episodic sering, dan asma persisten.23
Pada asma episodik jarang, tidak diperlukan obat pengendali (controller) untuk tata laksana
jangka panjangnya sedangkan pada asma episodik sering dan asma persisten harus diberikan
obat pengendali. Obat pengendali dari golongan antiinflamasi yang sering digunakan adalah
budesonid, beklometason dipropionat, flutikason, dan golongan natrium kromoglikat.23 Bila
terjadi serangan maka digunakan obat pereda (reliever). Obat yang sering digunakan yaitu
golongan bronkodilator seperti metilsantin (teofilin), agonis, dan ipratropium bromida.
Obat-obat ini dapat digunakan secara oral, parenteral, dan inhalasi, tetapi untuk
metilsantin pemberian secara oral dan intravena lebih dipilih daripada inhalasi karena obat
ini menyebabkan iritasi saluran napas.Telah diketahui secara luas bahwa obat antiinflamasi
yang sering digunakan adalah golongan steroid. Mekanisme dasar asma adalah terjadinya
reaksi inflamasi sehingga pengendalian dengan obat antiinflamasi sangat dianjurkan pada
asma episodik sering dan persisten. Namun harus disadari penggunaan kortikosteroid jangka
panjang peroral atau parenteral dapat mengganggu tumbuh kembang anak secara
keseluruhan selain efek samping lain yang mungkin timbul seperti hipertensi dan moon-face.
Untuk itu pemberian inhalasi sangat dianjurkan. Jenis terapi inhalasi yang diberikan dapat
disesuaikan dengan usia pasien dan patokan ini tidak berlaku secara kaku. Patokan yang
diajukan oleh Dolovich dan Everard di bawah ini dapat dipakai sebagai acuan.

Bagaimana sebenarnya penggunaan obat inhalasi pada asma anak dapat diterangkan sebagai
berikut:
Tata laksana saat serangan Pada saat serangan obat yang digunakan adalah obat golongan
bronkodilator dan yang sering digunakan yaitu β2 agonis yang dapat diberikan sendiri atau
bersama-sama dengar ́ipratropium bromid. Pada serangan asma yang ringan obat inhalasi
yang diberikan hanya β2 agonis saja meskipun ada juga yang menambahkan dengan
ipratropium bromida. Schuch dkk dalam penelitiannya mendapatkan bahwa dengan
menggunakan β2 agonis saja dapat meningkatkan FEV dan menghilangkan gejala

41
serangannya, sedangkan penambahan ipratropium bromida akan meningkatkan FEV1 yang
lebih tinggi lagi. Pada serangan asma yang berat, KNAA menganjurkan pemberian β2 agonis
bersama-sama dengan ipratropium bromid.Pemberian cara nebulizer untuk usia 18 bulan- 4
tahun dianjurkan menggunakan mouthpiece daripada masker muka untuk menghindarkan
deposisi obat di muka dan mata.
Apabila dengan pemberian inhalasi obat tersebut serangan asma tidak teratasi/sedikit
perbaikan maka dapat diberikan steroid sistemik. Pemberian steroid sistemik perlu
diperhatikan pada anak dengan serangan asma yang sering karena anak ini berisiko
mengalami efek samping akibat pemberian steroid sistemik berulang kali seperti supresi
adrenal, gangguan pertumbuhan tulang, dan osteoporosis. Untuk mengurangi pemberian
steroid oral berulang, maka sebagai alternatifnya dapat diberikan inhalasi budesonid dosis
tinggi (1600 mg perhari) pada anak yang serangan asmanya tidak teratasi dengan penanganan
inhalasi β2 agonis di rumah dan mereka belum/tidak perlu perawatan di rumah sakit.
Penggunaan obat pereda secara inhalasi pada serangan asma sangat bermanfaat dan justru
sangat dianjurkan, namun demikian penggunaannya masih belum banyak. Hal ini
dimungkinkan karena penggunaannya yang belum banyak diketahui dan harga obat masih
mahal. Hal ini berlaku bukan hanya di Indonesia, tetapi juga berlaku di negara maju.
Penggunaannya pada orang dewasa lebih banyak dibandingkan dengan anak. Tata laksana di
luar serangan Obat inhalasi di luar serangan asma hanya diberikan apabila memerlukan obat
pengendali; yang biasa digunakan adalah natrium kromoglikat dan golongan steroid.
Natrium kromoglikat menurut KNAA diberikan apabila termasuk asma episodik sering
sedangkan penggunaan steroid dapat diberikan pada asma episodik sering dan asma
persisten. Natrium kromoglikat menunjukkan absorbsi yang tidak baik sehingga hanya
efektif bila diberikan secara inhalasi. Obat ini tersedia dalam nebuliser solution , serbuk
aerosol dan aerosol dengan dosis 20 mg untuk nebulizer atau 2 mg secara aerosol.
Penggunaan steroid pada asma anak masih jarang mengingat samping yang mungkin
ditimbulkan. Namun beberapa peneliti telah membuktikan bahwa dengan penggunaan yang
tepat dengan dosis, cara, dan jenis yang sesuai maka efek samping dapat dikurangi.
Penggunaan obat inhalasi yang salah akan meningkatkan efek samping seperti
jamur/kandidiasis di daerah mulut, suara serak, dan efek lainnya. Dengan inhalasi sebagian
obat juga akan beredar ke seluruh tubuh melalui sistem gastrointestinal dan selanjutnya akan
dielimininasi melalui hati sehingga dalam peredaran sistemik kadarnya berkurang. Obat yang
baik adalah yang dapat elimininasi tubuh dengan baik artinya kadar di dalam sirkulasi
menjadi kecil. Penggunaan steroid inhalasi pada asma episodik sering dan asma persisten
memerlukan waktu yang lama dan dosis yang mungkin bervariasi. Pada awal pengobatan
dapat diberikan dosis tinggi (400-800 mg per hari) dan diturunkan secara perlahan sampai
tercapai dosis optimum untuk anak tersebut dan dipertahankan pada dosis optimum untuk
beberapa lama dan kemudian diturunkan secara bertahap sampai pada akhirnya kalau
memungkinkan tidak digunakan samasekali. Penggunaan waktu lama (sekitar 2-3 tahun)
dengan dosis 400 mg perhari tidak mengganggu proses tumbuh kembang anak. Untuk bayi
dan anak berusia di bawah 4 tahun yang memerlukan steroid inhalasi dapat digunakan

42
suspensi budesonide inhalasi (pulmicort respules) yang diberikan dengan nebuliser. Jadi
penggunaan steroid inhalasi dapat lebih aman apabila kita mengetahui cara penggunaannya.
Obat-obat yang umum digunakan
Takaran obat, cairan, dan waktu untuk nebulisasi
Cairan , Obat, Waktu Nebulisasi jet Nebulisasi ultrasonik
Garam faali (NaCl 0,9%) 5 ml 10 ml
b-agonis/antikolinergik/steroid Lihat tabel 2
Waktu 10-15 menit 3-5 menit

Obat untuk nebulisasi, jenis dan dosis


Nama generik Nama dagang Sediaan Dosis nebulisasi
Golongan b-agonis
Fenoterol Berotec Solution 0,1% 5-10 tetes
Salbutamol Ventolin Nebule 2,5 mg 1 nebule (0,1-0,15
mg/kg)
Terbutalin Bricasma Respule 2,5 mg 1 repsule

Golongan antikolinergik
Ipratropium Atroven Solution 0,025% > 6 thn : 8-20 tetes
bromide
£ 6 thn : 4-10 tetes

Golongan steroid
Budesonide Pulmicort Respule
Fluticasone Flixotide Nebule

43
Sediaan steroid yang dapat digunakan untuk serangan asma
Steroid Oral :

Nama Nama Dagang Sediaan Dosis


Generik
Prednisolon Medrol, Medixon Tablet 1-2 mg/kgBB/hari-tiap 6 jam
Lameson, Urbason 4 mg
Prednison Hostacortin, Pehacort, Tablet 1-2 mg/kgBB/hari-tiap 6 jam
Dellacorta
5 mg
Triamsinolon Kenacort Tablet 1-2 mg/kgBB/hari-tiap 6 jam
4 mg

Steroid Injeksi :
Nama Generik Nama Dagang Sediaan Jalur Dosis
M. prednisolon Solu-Medrol Vial 125 mg IV / IM 1-2 mg/kg
Suksinat Medixon Vial 500 mg tiap 6 jam

Hidrokortison- Solu-Cortef Vial 100 mg IV / IM 4 mg/kgBB/x


Suksinat
Silacort Vial 100 mg tiap 6 jam
Deksametason Oradexon Ampul 5 mg IV / IM 0,5-1mg/kgBB bolus,
dilanjutkan 1
Kalmetason Ampul 4 mg
mg/kgBB/hari
Fortecortin Ampul 4 mg diberikan tiap 6-8 jam

Corsona Ampul 5 mg
Betametason Celestone Ampul 4 mg IV / IM 0,05-0,1 mg/kgBB tiap
6 jam

44
DAFTAR PUSTAKA

1. Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia. Asma Dalam: Temu Ilmiah Respirologi Anak IV.
Bagian FK – USU / RS. HAM Medan. 2003; 1 – 12.
2. Hasan R., Alatas H. Asma. Dalam: Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 3. Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 1985; 1203 – 28.
3. Nelson WE. Asma. Dalam: Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi 15 Vol. 1. Alih Bahasa: Wahab
S.A. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 1997; 775 – 90.
4. Matondang CS., Wahidiyat I., Sastroasmoro S. Paru. Dalam: Diagnosis Fisik Pada Anak. Edisi 2
Penerbit CV. Sagung Seto. Jakarta. 2003; 70 – 4.

5. Gunawan S.G. (2009). Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik,
FKUI. Jakarta.

6. Price S.A, Wilson L.M. (2006). Patofisiologi Konsp Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. EGC.
Jakarta Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak. 1985. Buku Kuliah jilid 3 Ilmu Kesehatan Anak.
FKUI; Jakarta http://medicastore.com/asma/pengobatan_asma.php

45

Anda mungkin juga menyukai