1) SUBJEK PAJAK
Subjek pajak adalah orang atau badan usaha yang melakukan kegiatan usaha dan
melakukan tindakan hukum terhadap pihak lain atau subjek pajak yang mempunyai harta
kekayaan dan penghasilan yang menurut undang-undang peraturan perpajakan berkewajiban
melaksanakan kewajiban formil dan materil perpajakan.
Selanjutnya dalam UU No. 36 Tahun 2008- Pajak Penghasilan, pasal 2 ayat (1)
dijelaskan, bahwa yang menjadi subjek pajak dalam Pajak Penghasilan adalah :
a. Orang Pribadi (Perseorangan). Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal di
Indonesia, atau pun tidak bertempat tinggal di Indonesia.
b. Warisan yang belum terbagi, sebagai satu kesatuan. Warisan sebagai subjek pajak,
merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak dikemudian hari, ini
menjadi dasar agar pengenaan pajak dari warisan tersebut tetap terjamin, berhubung misalnya
yang punya harta (warisan) semasa hidup tidak menetapkan siapa yang bertanggung jawab
dikemudian hari apabila yang bersangkutan meninggal dunia.
Contoh :
Ahmad semasa hidup memiliki usaha bengkel mobil yang selalu tetap memenuhi kewajiban
pajaknya setiap tahun. Suatu saat Ahmad meninggal, harta (warisan berupa bengkel mobil)
belum dibagikan kepada ahli waris, maka selama belum dibagikan harta (bengkel mobil)
tersebut, berstatus sebagai subjek pajak. Apabila harta (bengkel mobil) dimaksud, telah
dibagikan (ditetapkan) pemilik barunya, maka warisan (harta) tersebut berakhir
kedudukannya sebagai subjek pajak. Hal tersebut berdasarkan ketentuan dari Keputusan
Direktur Jenderal Pajak No. KEP-161/PJ./2001, Tgl 21 Pebruari 20016.
c. Badan. Pengertian badan sebagai subjek pajak, adalah sekumpulan orang dan atau modal yang
merupakan satu kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha, yang
meliputi Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer (CV), Perseroan lainnya, Badan Usaha
Milik Negara/Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, Firma, Kongsi, Koperasi, Dana
Pensiun, Persekutuan, Perkumpulan, Yayasan, Organisasi masa, Orgaisasi sosial politik, atau
organisasi yang sejenis, Lembaga, Bentuk Usaha Tetap, dan bentuk badan lainnya, termasuk
Reksa dana.
d. Bentuk Usaha Tetap (BUT).
BUT adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka
waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. BUT ditentukan sebagai
subjek pajak tersendiri sebagai Subjek Pajak Luar Negeri, sekalipun tatacara pengenaannya
serta ketentuan administrasi perpajakannya sama dengan wajib pajak dalam negeri seperti
kewajiban NPWP, SPT dan lain sebagainya.
Contoh:
China Corporation adalah sebuah perusahaan dari China yang memenangkan tender
pembangunan PLTU di Cilacap. Untuk membangun PLTU tersebut China Corporation
mendirikan BUT yang akan beroperasi selama pembangunan PLTU tersebut. Saat setelah
selesai maka BUT tersebut dibubarkan dan dapat mengajukan penghapusan NPWP.
Subjek pajak dibedakan menjadi dua subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar
negeri. Kriteria yang membedakan dari kedua subjek pajak adalah keberadaan (staying
principles), kehendak (intension principles), dan waktu (time test). Berikut penjelasan dari jenis
subjek pajak penghasilan:
Dikenakan pajak atas penghasilan baik Dikenakan pajak hanya atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh dari Indonesia yang berasal dari sumber penghasilan di
dan dari luar Indonesia. Indonesia.
Dikenakan pajak berdasarkan penghasilan Dikenakan pajak berdasarkan penghasilan
netto. bruto.
Tarif pajak yang digunakan adalah tarif Tarif pajak yang digunakan adalah tarif
umum (Tarif UU PPh Pasal 17). sepadan (Tarif UU PPh Pasal 26).
Wajib menyampaikan SPT. Tidak wajib menyampaikan SPT.
2. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negeri asing, dan orang-
orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-
sama mereka, dengan syarat :
• Bukan warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh
penghasilan lain di luar jabatannya di Indonesia.
• Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untnuk memperoleh penghasilan dari Indonesia
selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.
• Tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan di Indonesia.
OBJEK PAJAK
Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan. Penghasilan yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dari bentuk apapun.
Bagi Wajib Pajak Dalam Negeri, yang menjadi objek pajak adalah penghasilan baik yang
berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Sedangkan bagi Wajib Pajak Luar Negeri,
yang menjadi objek pajak hanya penghasilan yang berasal dari Indonesia saja.
Yang termasuk dalam pengertian penghasilan adalah :
1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-
undang ini.
2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan.
3. Laba usaha
4. Kuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta.
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak.
6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengermbalian utang.
7. Deviden dengan nama dan bentuk apapun.
8. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak
9. Sewa dan pengasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
11. Keuntunggan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
12. Keuntungan selisih kurs mata uang asing.
13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
14. Premi asuransi
15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari WP
yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
16. Tambahan kekayan neto yang berasal dari pengasilan yang belum dikenakan pajak.
17. Penghasilan dari usaha berbasis syariah.
18. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud Undang-Undang yang mengatur mengenai
ketentuan umum dan tatacara perpajakan .
19. Surplus Bank Indonesia.
TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK
1. Bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga
amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang
berhak.
2. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keuntungan lurus satu
derajat, dan oleh badan keagamaan atau bandan pendidikan atau badan social atau
pengusaha kecil, termasuk koperasi yang ditetapkan oleh menteri keuangan, sepanjang
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-
pihak yang bersangkutan.
3. Warisan.
4. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau
penyertaan modal.
5. Penggaian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari wajib pajak atau pemerintah.
6. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa.
7. Dividen atau pembagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib
pajak dalam negeri, koperasi, BUMN, atau BUMD, dari penyertaan modal pada badan
usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :
• Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan.
• Bagi perseoan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen paling rendah 25%
dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif diluar kepemilikan
saham tersebut.
8. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
menteri keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
C. Penghasilan Kena Pajak
PKP (Penghasilan Kena Pajak) PPh Pasal 21 menurut Peraturan Direktorat Jenderal Pajak
No. PER-32/PJ/2015 adalah sebagai berikut:
Pegawai tetap dan penerima pensiun berkala dikenakan PKP sebesar penghasilan neto
dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak / PTKP terbaru.
Pegawai tidak tetap dikenakan PKP sebesar penghasilan bruto dikurangi Penghasilan
Tidak Kena Pajak / PTKP terbaru.
Bagi bukan pegawai seperti tercantum dalam Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No.
PER-32/PJ/2015 Pasal 3 huruf c, PKP yang dikenakan sebesar 50% (lima puluh persen)
dari jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan.
Besarnya penghasilan neto bagi pegawai tetap yang dipotong PPh Pasal 21 adalah jumlah
seluruh penghasilan bruto dikurangi dengan:
Besarnya penghasilan neto bagi penerima pensiun berkala yang dipotong PPh Pasal 21
adalah:
Seluruh jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun.
Sebesar 5% dari penghasilan bruto.
Setinggi-tingginya Rp 200.000,- sebulan atau Rp 2.400.000,- setahun.
Bila bukan pegawai seperti yang dimaksud dalam Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No. PER-
32/PJ/2015 Pasal 3 huruf c namun ia memberikan jasa kepada pemotong PPh Pasal 21 dan/atau
PPh Pasal 26, maka:
Bila pemotong PPh Pasal 21 mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya, maka
besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jumlah pembayaran setelah dikurangi
dengan bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut, kecuali apabila
dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan dengan bagian gaji atau upah pegawai
tersebut maka besar penghasilan bruto adalah sebesar jumlah yang dibayarkan;
Bila ia hanya melakukan penyerahan material atau barang, maka besarnya jumlah
penghasilan bruto hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali apabila dalam
kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian jasa dengan material atau
barang maka besarnya penghasilan bruto tersebut termasuk pemberian jasa dan material
atau barang.
Untuk jumlah penghasilan bruto yang dibayarkan kepada dokter yang melakukan praktik di
rumah sakit dan/atau klinik, maka jumlahnya adalah sebesar jasa dokter yang dibayar oleh pasien
sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau klinik.
Jadi, Penghasilan Kena Pajak (PKP) PPh 21 bagi wajib pajak penerima penghasilan
berbeda-beda. Tergantung dari status kepegawaian (pegawai tetap, pegawai tidak tetap atau
bukan pegawai).
Penghasilan Kena Pajak merupakan dasar yang digunakan untuk menghitung besarnya
pajak yang terutang yang berlandaskan pada laporan keuangan perusahaan setelah dilakukan
koreksi fiscal guna memperoleh penghasilan netto fiscal. Sedangkan untuk wajib pajak pribadi
untuk mengetahui penghasilan kena pajak harus dilakukan pengurangan antara penghasilan netto
dengan PTKP.
PajakTerutang = Tarif x Penghasilan Kena Pajak
Keterangan:
Tarif yang digunakan dapat mengukuti:
a. Tarif Umum
Tarif berdasarkan Pasal 17 UU N0. 36 Tahun 2008.
b. Tarif Khusus
Tarif berdasarkan peraturan pemerintah untuk penghasilan tertentu.
Untuk wajib pajak dalam negeri dan untuk usaha tetap ( BUT ) yang menjadi dasar
pengenaan pajak adalah penghasilan kena pajak. Sedangkan untuk wajib pajak luar negeri adalah
penghasilan bruto.
Yang perlu diingat besarnya penghasilan kena pajak untuk wajib pajak pada badan
dihitung sebesar penghasilan netto
Penghasilan kena pajak (WP badan ) = penghasilan netto
Sedangkan untuk wajib pajak orang pribadi dihitung dari pengfhasilan netto – PTKP
Penghasilan kena pajak (WP orang pribadi ) = penghasilan netto- PTKP
Bagi Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN), pada dasarnya terdapat 2 cara untuk menentukan
besarnya penghasilan kena pajak, yaitu:
1. Cara biasa ( cara pembukuan ), yaitu penghasilan bruto dikurangi dengan biaya-biaya yang
diperkenankan, yaitu:
a. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
b. Biaya penyusutan dan amortisasi
c. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya disahkan oleh menteri keuangan
d. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta
e. Kerugian karena selisih kurs mata uang asing.
f. Natura di daerah tertentu
g. Biaya lain, seperti biaya perjalanan, biaya administrasi, biaya litbang yang dilakukan
di indonesia
2. Menggunakan norma penghitungan penghasilan netto
Untuk menghitung penghasilan kena pajak maka wajib pajak menggunakan norma penghitungan
penghasilan netto. Dimana penghasilan netto adalah besar penghasilan netto sama dengan
besarnya (persentase) NPPN
Untuk Menghitung menentukan penghasilan netto perlu disempurnakan secara terus menerus dan
di terbikan oleh direktur jenderal pajak yang di tentukan menteri keuangan.
Wajib pajak yang boleh menggunakan NPPN adalah WP orang pribadi yang memenuhi syarat
sebagai berikut:
1. Predaran bruto kurang dari Rp.4.800.000.000,00 Per tahun
2. Mengajukan permohonan dalam jangka waktu tiga bulan pertama dari tahun buku
3. Menyelenggarakan pencatatan