Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

“SIFAT FISIK DAN KIMIA DAGING”

DI SUSUN OLEH

UNVERSITAS SAM RATULANGI MANADO


FAKULTAS PETERNAKAN
2019
Pengertian Daging

Daging adalah bahan pangan yang bernilai gizi tinggi karena kaya akan protein,
lemak,mineral serta zat lainnya yang sangat dibutuhkan tubuh.
Daging merupakan salah satu jenis hasil ternak yang hampir tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan manusia. Sebagai bahan pangan, daging merupakan sumber protein hewani dengan
kandungan gizi yang cukup lengkap.
Sama halnya dengan bahan pangan hewani lainnya seperti, susu, telur dan lain-lain, daging
bersifat mudah rusak akibat proses mikrobiologis, kimia dan fisik bila tidak ditangani dengan
baik
Ada beberapa faktor yang dapat dijadikan pedoman untuk memilih daging segar antara
lain warna, bau, tekstur, dan penampakannya. Daging segar mempunyai warna merah cerah
dan mengkilap. Adapun daging yang mulai rusak berubah warna menjadi coklat kehijauan,
kuning, dan akhirnya tidak berwarna. Daging yang segar tidak berbau masam/busuk, tetapi
berbau khas daging segar. Daging segar bertekstur kenyal, padat, dan tidak kaku, bila tertekan
dengan tangan, bekas pijatan cepat kembali ke posisi semula. Selain itu, daging segar tidak
berlendir, tidak terasa lengket ditangan dan terasa kebasahannya.
Komposisi daging relative mirip satu sama lain, terutama kandungan proteinnya yang
berkisar 15-20 persen dari berat bahan. Protein merupakan komponen kimia terpenting yang
ada di dalam daging. Protein yang terkandung di dalam daging, seperti halnya susu dan telur.
Protein daging lebih mudah dicerna dibandingkan dengan yang bersumber dari bahan pangan
nabati.Nilai protein daging yang tinggi disebabkan oleh kandungan asam amino esensialnya
yang lengkap dan seimbang.
Sifat Fisik Daging
Sifat-sifat fisik tersebut meliputi nilap pH daging, daya ikat air (DMA), susut masak,
dan keempukan. Selanjutnya, dari nilai sifat-sifat fisik ini dapat dilihat kualitas daging tersebut.
a. Ph Daging
Pengaruh stres sesaat sebelum pemotongan terhadap bermacam-macam otot sapi sangat
bervariasi. Misalnya, sejumlah otot mengalami peningkatan cairan daging, sementara otot lain
dapat menjadi kering. Stres sebelum pemotongan, seperti iklim, tingkah laku agresif diantara
ternak sapi atau gerakan yang berlebihan, juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap
penurunan atau habisnya glikogen otot dan akan menghasilkan daging yang gelap dengan pH
yang tinggi (lebih besar dari 5,9)
Setelah pH menurun pasca pemotongan, kemudian pH akan mencapai konstan pada
beberapa waktu dan waktu ini bertambah meskipun daging dalam keadaan dingin dan akan
naik lagi pH-nya pada kontaminasi dan kondisi membusuk. Bila pH mencapai 6,7 atau lebih,
secara objektif pembusukan telah terjadi dan akan terbentuk perubahan bau, warna, dan
susunan komposisinya.
Nilai pH pasca mati akan ditentukan oleh jumlah asam laktat yang dihasilkan dari
glikogen selama proses glikolisis anaerob dan hal ini akan terbatas bila glikogen terdeplesi
karena lelah, kelaparan, atau takut pada hewan sebelum dipotong. Berhubung pH adalah faktor
penentu pertumbuhan bakteri yang penting, maka jelas bahwa pH akhir daging memang
penting untuk ketahannya terhadap pembusukan. Hampir semua bakteri tumbuh secara optimal
pada pH sekitar 7 dan tidak akan tumbuh persis dibawah pH 4 atau diatas 9, tetapi pH untuk
pertumbuhan optimal ditentukan oleh kerja stimulan dari berbagai variabel lain di luar faktor
keasaman itu sendiri.
b. Daya Mengikat Air
Nilai daya mengikat air oleh protein daging ditentukan dengan metode pengepresan
menurut Hamm (Swatland, 1984). Penurunan nilai daya ikat air oleh protein daging, dan pada
saat penyegaran kembali (thawing) daging beku, terjadi kegagalan serabut otot menyerap
kembali semua air yang mengalami translokasi atau keluar pada saat penyimpanan beku
(Bratzler et al., 1977 dan Lawrie, 1979). Proses pembekuan juga dapat meningkatkan
kerusakan protein daging, sehingga daya ikat air terhadap protein daging akan semakin lemah,
yang akan menyebabkan nilai daya ikat air (Bhattacharya et al., 1988). Hal ini juga akan
terlihat pada banyaknya cairan yang keluar (drip) pada saat daging beku tersebut di thawing.
Semakin tinggi cairan yang keluar dari daging menunjukkan bahwa nilai daya ikat air oleh
protein daging tersebut semakin rendah (Soeparno, 1998). Penurunan nilai daya mengikat air
juga dapat meningkatkan nilai susut masak.
c. Susust Masak
Susut masak merupakan persentase berat daging yang hilang akibat pemasakan dan
merupakan fungsi dari waktu dan suhu pemasakan. Daging dengan susut masak yang rendah
mempunyai kualitas yang relatif lebih baik daripada daging dengan persentase susut masak
yang tinggi, hal ini karena kehilangan nutrisi selama proses pemasakan akan lebih sedikit.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat interaksi(P<0,05) antara jenis ternak dan
lama postmortemnterhadap susut masak daging. Rataan susut masak daging sapi pada 4 jam
postmortemnyata lebih tinggi.
Menurut Lawrie (2003), nilai susut masak daging cukup bervariasi yaitu antara 1,5%
sampai 54,5% dengan kisaran 15% sampai 40%. Hal ini menunjukkan bahwa susut masak
yang diperoleh pada berbagai jenis ternak dengan lama postmortem yang berbeda adalah
bervariasi. Susut masak merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan
kadar air daging, yaitu banyaknya air yang terikat di dalam dan di antara otot. Daging dengan
susut masak yang rendah mempunyai kualitas yang relatif lebih baik daripada daging dengan
persentase susut masak yang tinggi, karena kehilangan nutrisi selama proses pemasakan
akan lebih sedikit. Menurut Shanks et al. (2002), besarnya susut masak dipengaruhi oleh
banyaknya kerusakan membran seluler, banyaknya air yang keluar dari daging, degradasi
protein dan kemampuan daging untuk mengikat air.
Susut masak daging sapi dipengaruhi oleh daya ikat air dan kadar air. Semakin tinggi
daya ikat air, semakin rendah kadar air daging sapi. Hal ini diikuti oleh turunnya persentase
susut masak daging sapi. Rataan susut masak daging sapi yang didapatkan dari penelitian ini
menurun sebanding dengan penurunan kadar air. Daging yang mempunyai angka susut masak
rendah, memiliki kualitas yang baik karena kemungkinan keluarnya nutrisi daging selama
pemasakan juga rendah.
Nilai susut masak daging sapi yang disimpan beku selama 0 sampai 6 bulan pada
temperatur -180 C menunjukkan peningkatan secara nyata sampai dengan lama penyimpanan
2 bulan dan tidak berbeda nyata pada penyimpanan beku selama 3 sampai 6 bulan). Hal ini
dikarenakan selama penyimpanan beku terjadi perubahan-perubahan protein otot, yang
menyebabkan berkurangnya nilai daya ikat air protein otot dan meningkatnya jumlah cairan
yang keluar (drip) dari daging akibat dari pembekuan dan penyimapan beku daging .
d. Keempukan
Nilai keempukan daging ditentukan dengan metode shear press menurut Warner-Blatzer
(Bouton et al., 1971). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyimpanan beku dapat menurunkan nilai
daya putus atau meningkatkan keempukan daging secara nyata pada penyimpanan beku selama 0
sampai 2 bulan, dan tidak berbeda nyata pada penyimpanan beku selama 3 sampai 6 bulan . Hal ini
disebabkan karena selama proses pembekuan dan penyimpanan beku terjadi kerusakan protein-
protein daging, misalnya protein miofibrilar dan sarkoplasmik (Awad et al., 1968 citSoeparno, 1998).
Pembekuan cepat dapat meningkatkan keempukan daging, karena struktur jaringan mengalami
perubahan, misalnya denaturasi protein.
Salah satu penilaian mutu daging adalah sifat keempukannya yang dipengaruhi oleh banyak
faktor. Faktor yang mempengaruhi keempukan daging ada hubungannya dengan komposisi daging itu
sendiri, yaitu berupa tenunan pengikat, serabut daging, sel-sel lemak yang ada diantara serabut daging
serta rigor mortis daging yang terjadi setelah ternak dipotong. Faktor yang mempengaruhi keempukan
daging digolongkan menjadi faktor antemortem (sebelum pemotongan) seperti genetik (termasuk
bangsa, spesies, dan status fisiologi), umur, manajemen, jenis kelamin, serta stres, dan faktor
postmortem (setelah pemotongan) yang meliputi metode chilling, refrigerasi, pelayuan/pemasakan
(aging), pembekuan (termasuk lama dan temperatur penyimpanan), dan metode pengolahan (termasuk
metode pemasakan dan penambahan bahan pengempuk). Keempukan daging dapat diketahui dengan
mengukur daya putusnya, semakin rendah nilai daya putusnya, semakin empuk daging tersebut.
Tujuan dari tinjauan ini adalah memberikan informasi mengenai keempukan daging dan faktor-faktor
yang mempengaruhinya.
Sifat Kimia Daging
a. Malachit Green Test
Pada uji Malachit Green test ini untuk mengetahui hewan disembelih dengan sempurna
atau tidak. Hasil uji yang dilakukan memberikan hasil negatif, yang berarti daging tersebut
berasal dari hewan yang disembelih sempurna. Penyembelihan dan pengeluaran darah yang
tidak sempurna akan diketahui, karena akan dijumpai banyak Hb dalam daging sehingga O2
dari H2O2 3% tidak mengoksidasi Malachit Green menyebabkan warna larutan hijau.
Sebaliknya, jika tidak ada Hb, maka O2 akan mengoksidasi Malachit Green menjadi warna
biru. Pengeluaran darah yang tidak sempurna mengakibatkan daging cepat membusuk serta
mempengaruhi proses selanjutnya. Pengeluaran darah yang efektif hanya dapat dikeluarkan
50% nya saja dari jumlah total darah.
Pengeluaran darah yang tidak sempurna mengakibatkan daging cepat membusuk serta
mempengaruhi proses selanjutnya. Pengeluaran darah yang efektif hanya dapat dikeluarkan
50% nya saja dari jumlah total darah.
b. Pengukuran pH Ekstrak Daging
Standar pH daging hewan sehat dan cukup istirahat yang baru disembelih adalah 7-7,2
dan akan terus menurun selama 24 jam sampai beberapa hari. Jika terjadi pembusukan maka
pH nya akan kembali ke 7. Jarak penurunan pH tersebut tidak sama untuk semua urat daging
dari seekor hewan dan antara hewan juga berbeda. Nilai pH daging post mortem akan
ditentukan oleh jumlah asam laktat yang dihasilkan dari glikogen selama proses glikolisis
anaerob dan akan terbatas bila hewan terdepresi karena lelah. Setelah hewan disembelih,
penyedian oksigen otot terhenti. Dengan demikian persediaan oksigen tidak lagi di otot dan
sisa metabolisme tidak dapat dikeluarkan lagi dari otot. Jadi daging hewan yang sudah
disembelih akan mengalami penurunan pH.
Hasil perhitungan Ph daging segar adalah 7,2 yang berarti daging tersebut berasal dari
hewan yang sehat. Setelah 24 jam di dalam refrigerator Ph daging mengalami penurunan
karena adanya aktivitas mikroba yang menyebabkan proses glikolisis menghasilkan asam
laktat. Begitu pula yang terjadi pada daging beku. Namun, pada daging busuk Ph meningkat
karena penurunan aktivitas mikroba penghasil asam karena persediaan glikogen yang semakin
terbatas dan diikuti aktivitas mikroba penghasil senyawa basa
KESIMPULAN
• Pengolahan daging lebih sulit dilakukan karena daging merupakan bahan
pangan yang mudah rusak. Banyak cara yang dilakukan untuk membuat
hasil olahannya itu lebih lezat dan menarik tanpa merusak tekstur daging
itu sendiri.
• Penyimpanan yang salah akan mengurangi cita rasa serta nilai gizi yang
ada di dalamnya. Sama halnya seperti penyimpanan, proses pengawetan
daging juga harus sesuai dengan prosedur dan dilakukan secara hati-hati
agar terhindar dari kontaminasi bakteri.
• Komposisi kimia daging terdiri dari air 56%, protein 22%, lemak 24%, dan
substansi bukan protein terlarut 3,5% yang meliputi karbohidrat, garam
organik, substansi nitrogen terlarut, mineral, dan vitamin. Daging
merupakan bahan makanan yang penting dalam memenuhi kebutuhan
gizi, selain mutu proteinnya yang tinggi, pada daging terdapat pula
kandungan asam amino esensial yang lengkap dan seimbang.
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga makalah

ini dapat tersusun hingga selesai Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah

pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, untuk ke depannya dapat memperbaiki

bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari

pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Manado, maret 2019

Penyusun
DAFTAR PUSTAKA
Abustam, E dan H.M. Ali. 2004. Bahan Ajar Ilmu dan Teknologi Daging. Fakultas Peternakan
Universitas Hasanuddin. Makassar.
Astuti,D.A. 1995. Evaluasi Pemanfaatan Nutrien berdasarkan Curahan Melalui
Sistem Vena Porta dan Organ Terkait Pada Kambing PE Tumbuh dan Laktasi. Desertasi 1995
IPB Bogor.
Badan Litbang, Departemen Pertanian RI 2007. Jurnal Litbang Pertanian.
Jakarta: Badan Litbang, Departemen RI.
Berg R.T. dan R.M Butterfield. 1976. New Concepts of Cattle Growth. Sydney
University Press. Sydney.
Briskey, H. C. dan R. G. Kauffman. 1971. Quality Characteristic of Muscle as a Food. In: The
Science of Meat and Meat Products. 2nd ed, J. F. Price and B. S. Schweigert, eds. W. H.
Freemen and Co., San Fransisco.
Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet dan M. Wooton. 1986. Ilmu Pangan. UI
Press. Jakarta.
Forrest, J.C., E.D. Aberle, H. B. Hedrick, M.D. Judge, dan R. A Merkel. 1992. Principle of
Meat Science. W. H. Freeman and Co. San Fransisco. USA
Henry Alford (31 March 2009). "How I Learned to Love Goat Meat".
New YorkTimes. Diakses tanggal 15-09-2016.
Judge, M. D., E. D. Aberle, J. C Forrest, H. B. Hedrick, and R. A. Merkel. 1989.
Principles of Meat Science. Kendall/Hunt Publishing Co., Iowa
K.F. Warner, "Boning Lamb Cuts", Leaflet 74, U.S. Department of Agriculture,
Bureau of Animal Industry, June 1931.
Lawrie RA. 2003. Ilmu Daging. Penerbit Universitas Indonesia Press. Jakarta

Mahmud, M.K., Hermana, N. A. Zulfianto, R. R. Apriyantono, I. Ngadiarti, B.


Hartati, Bernadus dan Tinexcelly. 2009. Tabel Komposisi Pangan Indonesia. PT
Elex Media Komputindo, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai