Referat Aspek
Referat Aspek
Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT karena
atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat ini yang
diajukan sebagai salah satu syarat untuk ujian Kepaniteraan Klinik Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Riau.
Adapun judul referat ini adalah “Aspek Medikolegal dalam Kasus Kekerasan
Seksual”.
Dalam menyelesaikan referat ini, penulis banyak menerima bantuan dan
dorongan baik moral maupun material dari berbagai pihak, untuk itu pada
kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dokter-dokter pembimbing di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau dan RS
Bhayangkara Pekanbaru. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak untuk kesempurnaan penulisan referat ini. Semoga
referat ini dapat bermanfaat dan dapat menambah wawasan di bidang Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Riau.
Penulis
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang universal. Kejahatan ini dapat
ditemukan di seluruh dunia, pada tiap tingkatan masyarakat, tidak memandang
usia maupun jenis kelamin. Besarnya insiden yang dilaporkan di setiap negara
berbeda-beda. Sebuah penelitian di Amerika Serikat pada tahun 2006 (National
Violence against Women Survey/NVAWS) melaporkan bahwa 17,6% dari
responden wanita dan 3% dari responden pria pernah mengalami kekerasan
seksual, beberapa di antaranya bahkan lebih dari satu kali sepanjang hidup
mereka. Dari jumlah tersebut hanya sekitar 25% yang pernah membuat laporan
polisi.1
Di Indonesia, menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan) sejak tahun 1998 sampai 2011 tercatat 93.960 kasus
kekerasan seksual terhadap perempuan di seluruh Indonesia. Dengan demikian
rata-rata ada 20 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual tiap harinya.
Terdapat dugaan kuat bahwa angka-angka tersebut merupakan fenomena gunung
es, yaitu jumlah kasus yang dilaporkan jauh lebih sedikit daripada jumlah kejadian
sebenarnya di masyarakat. Banyak korban enggan melapor, mungkin karena malu,
takut disalahkan, mengalami trauma psikis, atau karena tidak tahu harus melapor
ke mana. Seiring dengan meningkatnya kesadaran hukum di Indonesia, jumlah
kasus kekerasan seksual yang dilaporkan pun mengalami peningkatan.1,2
Pelaporan tentu hanya merupakan langkah awal dari rangkaian panjang dalam
mengungkap suatu kasus kekerasan seksual. Salah satu komponen penting dalam
pengungkapan kasus kekerasan seksual adalah Visum et Repertum yang dapat
memperjelas perkara dengan pemaparan dan interpretasi bukti-bukti fisik
kekerasan seksual. Dokter, sebagai pihak yang dianggap ahli mengenai tubuh
manusia, tentunya memiliki peran yang besar dalam pembuatan Visum et
Repertum dan membuat terang suatu perkara bagi aparat penegak hukum. Karena
itu, hendaknya setiap dokter memiliki pengetahuan dan keterampilan yang
2
mumpuni dalam melakukan pemeriksaan dan penatalaksanaan korban kekerasan
seksual.1
1.1 Rumusan Masalah
Referat ini membahas tentang kekerasan seksual, cara pemeriksaan korban
kekerasan seksual dan undang-undang yang mengatur tentang kekerasan seksual.
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah :
1. Mengetahui dan memahami tentang kekerasan seksual, cara
pemeriksaan korban kekerasan seksual dan undang-undang yang
mengatur tentang kekerasan seksual.
2. Memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian kepaniteraan klinik di
bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas
Kedokteran Universitas Riau.
1.3 Manfaat Penulisan
Referat ini diharapkan dapat menambah pengetahuan pengetahuan penulis
mengenai aspek medikolegal dan kedokteran forensik dalam kasus kekerasan
seksual.
1.4 Metode Penulisan
Penulisan referat ini disusun menggunakan metode tinjauan pustaka dengan
mengacu pada beberapa literatur.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
lain, mencakup tujuan pemeriksaan dan kepentingannya untuk pengungkapan
kasus, prosedur atau teknik pemeriksaan, tindakan pengambilan sampel atau
barang bukti, dokumentasi dalam bentuk rekam medis dan foto, serta pembukaan
sebagian rahasia kedokteran guna pembuatan Visum et Repertum.1
Apabila korban cakap hukum, persetujuan untuk pemeriksaan harus
diperoleh dari korban. Syarat-syarat cakap hukum adalah berusia 21 tahun atau
lebih, atau belum 21 tahun tapi sudah pernah menikah, tidak sedang menjalani
hukuman, serta berjiwa sehat dan berakal sehat. Apabila korban tidak cakap
hukum persetujuan harus diminta dari walinya yang sah. Bila korban tidak setuju
diperiksa, tidak terdapat ketentuan undang-undang yang dapat memaksanya untuk
diperiksa dan dokter harus menghormati keputusan korban tersebut. Selain itu,
karena pada korban terdapat barang bukti (corpus delicti) harus diperhatikan pula
prosedur legal pemeriksaan. Setiap pemeriksaan untuk pembuatan visum et
repertum harus dilakukan berdasarkan permintaan tertulis (Surat Permintaan
Visum/SPV) dari polisi penyidik yang berwenang.1
Seorang dokter yang memeriksa kasus kekerasan seksual harus bersikap
objektif-imparsial, konfidensial, dan profesional. Objektif imparsial artinya
seorang dokter tidak boleh memihak atau bersimpati kepada korban sehingga
cenderung mempercayai seluruh pengakuan korban begitu saja. Hal yang boleh
dilakukan adalah berempati, dengan tetap membuat penilaian sesuai dengan bukti-
bukti objektif yang didapatkan secara sistematis dan menyeluruh. Tetap waspada
terhadap upaya pengakuan atau tuduhan palsu (false allegation) dari korban.
Hindari pula perkataan atau sikap yang menghakimi atau menyalahkan korban
atas kejadian yang dialaminya. Dokter juga harus menjaga konfidensialitas hasil
pemeriksaan korban. Komunikasikan hasil pemeriksaan hanya kepada yang
berhak mengetahui, seperti kepada korban dan/atau walinya (jika ada), serta
penyidik kepolisian yang berwenang. Tuangkan hasil pemeriksaan dalam visum et
repertum sesuai keperluan saja, dengan tetap menjaga kerahasiaan data medis
yang tidak terkait dengan kasus. Profesionalitas dokter dalam melakukan
pemeriksaan pada korban kekerasan seksual ditunjukkan dengan melakukan
5
pemeriksaan sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu kedokteran yang umum dan
mutakhir, dengan memperhatikan hak dan kewajiban korban (sekaligus pasien)
dan dokter.1
6
Dua aspek yang penting diperhatikan pada kasus kejahatan seksual/perkosaan
adalah:3
1. Mengumpulkan bukti-bukti persetubuhan, seperti robekan selaput dara,
adanya cairan manu atau sel sperma
2. Mencari tanda-tanda kekerasan, seperti riwayat kehilangan kesadaran
dan luka-luka
2.3.1 Anamnesis
7
- Waktu
- Lokasi
- Kekerasan sebelum kejadian
- Terjadi penetrasi atau tidak
- Apa yang dilakukan setelah terjadinya kekerasan seksual
8
Pola trauma non genitalia Peneliti forensik harus banyak mengetahui
tentang pola trauma yang terjadi karena kekerasan seksual, untuk dapat
menanyakan pertanyaan yang tepat dan lokasi trauma berdasarkan cerita korban.
Tempat yang paling sering mengalami trauma pada korban kekerasan
seksual, termasuk:
- Memar pada tungkai atas dan paha
- Memar pada leher karena cekikan
- Memar pukulan pada lengan atas
- Memar karena postur bertahan pada sisi lengan luar
- Trauma menyerupai cambuk atau tali pada punggung korban
- Trauma pukulan atau gigitan pada payudara dan puting susu
- Trauma pukulan pada abdomen
- Trauma Pukulan dan tendangan pada paha
- Memar, lecet, dan laserasi pada wajah.
9
2.3.3 Pemeriksaan Status Ginekologis1,3
1. Posisi litotomi
2. Periksa luka-luka sekitar vulva, perineum, paha
Yaitu adanya perlukaan pada jaringan lunak atau bercak cairan
mani; penyisiran rambut pubis (rambut kemaluan), yaitu apakah adanya
rambut pubis yang terlepas yang mungkin berasal dari pelaku,
penggumpalan atau perlengketan rambut pubis akibat cairan mani • daerah
vulva dan kulit sekitar vulva/paha bagian dalam (adanya perlukaan pada
jaringan lunak, bercak cairan mani).
3. Lakukan pemeriksaan alat kemaluan berturut-turut mulai dari labia
mayora, labia minora, vestibulum, selaput dara, vagina, leher rahim, dan
besar uterus.
- Labia mayora dan minora (bibir kemaluan besar dan kecil), apakah
ada perlukaan pada jaringan lunak atau bercak cairan mani
- Vestibulum dan fourchette posterior (pertemuan bibir kemaluan
bagian bawah), apakah ada perlukaan
- hymen (selaput dara), catat bentuk, diameter ostium, elastisitas atau
ketebalan, adanya perlukaan seperti robekan, memar, lecet, atau
hiperemi). Apabila ditemukan robekan hymen, catat jumlah robekan,
lokasi dan arah robekan (sesuai arah pada jarum jam, dengan korban
dalam posisi litotomi), apakah robekan mencapai dasar (insersio) atau
tidak, dan adanya perdarahan atau tanda penyembuhan pada tepi
robekan
- vagina (liang senggama), cari perlukaan dan adanya cairan atau lendir;
- serviks dan porsio (mulut leher rahim), cari tanda-tanda pernah
melahirkan dan adanya cairan atau lendir
- uterus (rahim), periksa apakah ada tanda kehamilan.
4. Pemeriksaan selaput dara meliputi:
a. besarnya orifisium
b. ada tidaknya robekan
10
c. bila ada tentukan apakah robekan baru atau lama
d. apakah robekan sampai dasar liang vagina atau tidak sampai dasar
e. lokasi robekan, gunakan arah jam sebagai petunjuk lokasi robekan
11
Apabila hasil pemeriksaan selaput dara utuh, maka pertimbangkan
kemungkinan pemeriksaan dibawah ini:
a. Anak-anak
Lubang selaput dara diukur pada arah horizontal pada saat labia ditarik ke
samping (lateral traction), nilai normal adalah sebagai berikut:
- sampai usia 5 tahun berukuran atau sama dengan 5 mm
- sampai usia 5-9 tahun bertambah ukurannya 1 mm tiap tahunnya
- usia 9 tahun hingga pubertas berukuran 9 mm
- bila ditemukan ukuran yang lebih besar dari angka-angka di atas,
kemungkinan telah terjadi penetrasi
b. Dewasa
Lakukan pemeriksaan dengan memasukkan jari telunjuk dan nilailah apakah
tidak dapat dilalui satu jari, atau dapat dilalui satu jari longgar, atau dapat dilalui
dua jari. Pada perempuan yang sudah pernah melahirkan dilakukan pemeriksaan
dengan menggunakan spekulum untuk melihat kondisi liang senggama dan mulut
rahim, serta melakukan pemeriksaan colok vagina. Pada perempuan yang belum
pernah bersetubuh sebelumnya atau masih belum dewasa, kedua pemeriksaan
tersebut tidak dilakukan.
Saat melakukan pemeriksaan fisik, dokumentasi yang baik sangat penting.
Selain melakukan pencatatan dalam rekam, medis, perlu dilakukan pemotretan
bukti-bukti fisik yang ditemukan. Foto-foto dapat membantu dokter membuat
visum et repertum. Dengan pemotretan, korban juga tidak perlu diperiksa terlalu
lama karena foto-foto tersebut dapat membantu dokter mendeskripsi temuan
secara detil setelah pemeriksaan selesai.1,8,9
12
Pada kasus kekerasan seksual, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang
sesuai indikasi untuk mencari bukti-bukti yang terdapat pada tubuh korban.
Sampel untuk pemeriksaan penunjang dapat diperoleh dari, antara lain:
- Pakaian yang dipakai korban saat kejadian.
Diperiksa lapis demi lapis untuk mencari adanya trace evidence yang mungkin
berasal dari pelaku, seperti darah dan bercak mani atau dari tempat kejadian,
misalnya bercak tanah atau daun-daun kering
- Rambut pubis
Yaitu dengan menggunting rambut pubis yang menggumpal atau mengambil
rambut pubis yang terlepas pada penyisiran.
- Kerokan kuku
Apabila korban melakukan perlawanan dengan mencakar pelaku maka
mungkin terdapat sel epitel atau darah pelaku di bawah kuku korban
- Swab
Dapat diambil dari bercak yang diduga bercak mani atau air liur dari kulit
sekitar vulva, vulva, vestibulum, vagina, forniks poste- rior, kulit bekas
gigitan atau ciuman, rongga mulut (pada seks oral), atau lipatan-lipatan anus
(pada sodomi), atau untuk pemeriksaan penyakit menular seksual
- Darah
Sebagai sampel pembanding untuk identifi kasi dan untuk mencari tanda-
tanda intoksikasi NAPZA
- Urin
Untuk mencari tanda kehamilan dan intoksikasi NAPZA.
Hal yang harus diperhatikan pada tahap ini adalah keutuhan rantai barang
bukti dari sampel yang diambil (chain of custody). Semua pengambilan,
pengemasan, dan pengiriman sampel harus disertai dengan pembuatan berita acara
sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini lebih penting apabila sampel akan dikirim
ke laboratorium dan tidak diperiksa oleh dokter sendiri.
13
2.4 Evaluasi, Penanganan dan Konseling Korban Perkosaan
Seorang korban kekerasan seksual sering tidak hanya membutuhkan
layanan pemeriksaan untuk pembuatan visum et repertum, tapi juga tindak lanjut
medis. Tindak lanjut medis dapat mencakup penatalaksanaan psikiatrik dan
penatalaksanaan bidang obstetri-ginekologi. Tidak jarang seorang korban
kekerasan seksual mengalami trauma psikis sehingga membutuhkan terapi atau
konseling psikiatrik. Terapi tersebut dapat membantu korban mengatasi trauma
psikis yang dialaminya sehingga tidak berkepanjangan dan korban dapat
melanjutkan hidupnya seoptimal mungkin. Dalam bidang obstetri-ginekologi,
korban kekerasan seksual mungkin memerlukan tindakan pencegahan kehamilan
serta pencegahan atau terapi penyakit menular seksual. Apabila sudah terjadi
kehamilan, korban mungkin membutuhkan perawatan kehamilan atau terminasi
kehamil-an sesuai ketentuan undang-undang.1,6
Dalam melakukan tindak lanjut, sangat penting bagi dokter untuk
melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait. Koordinasi yang baik
diperlukan antara dokter pemeriksa dengan dokter yang memberikan tata laksana
lanjutan agar korban mendapatkan perawatan yang diperlukan. Selain itu, dokter
juga harus menjalin kerjasama yang baik dengan pihak polisi penyidik agar hasil
pemeriksaan dokter dapat bermanfaat bagi pengungkapan kasus.
14
bahwa yang turut bersalah telah kawin;
b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu,
padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal
27 BW berlaku baginya.
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang
tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu
tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena
alasan itu juga.
(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang
pengadilan belum dimulai. (5) Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW,
pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena
perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur
menjadi tetap.
Pasal 285
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang
wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan
perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pasal 286
Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan,
padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya,
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal 287
(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umumya belum lima belas
tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bawa belum waktunya untuk dikawin,
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita belum
sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan
pasal 294.
15
Pasal 288
(1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seormig wanita yang
diketahuinya atau sepatutnya harus didugunya bahwa yang bersangkutan belum
waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam
dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara
paling lama delapan tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas
tahun.
Pasal 289
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena
melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal 290
16
Pasal 291
(1) Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 286, 2 87, 289, dan 290
mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas
tahun;
(2) Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 285, 2 86, 287, 289 dan 290
mengakibatkan kematisn dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 292
Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama
kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Pasal 293
(1) Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang,
menyalahgunakan pembawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan
penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum dewasa dan baik
tingkahlakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul
dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya
harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya
dilakukan kejahatan itu.
(3) Tenggang waktu tersebut dalam pasal 74 bagi pengaduan ini adalah masing-
masing sembilan bulan dan dua belas bulan.
Pasal 294
(1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengm anaknya, tirinya, anak
angkatnya, anak di bawah pengawannya yang belum dewasa, atau dengan orang
yang belum dewasa yang pemeliharaanya, pendidikan atau penjagaannya diannya
yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun
(2) Diancam dengan pidana yang sama:
17
1. Pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena
jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya
dipercayakan atau diserahkan kepadanya,
2. pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara,
tempat pekerjaan negara, tempat pen- didikan, rumah piatu, rumah
sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan
cabul dengan orang yang dimasukkan ke dalamnya.
Pasal 295
(1) Diancam:
1. dengan pidana penjara paling lama lima tahun barang siapa dengan
sengaja menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul
oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di bawah
pengawasannya yang belum dewasa, atau oleh orang yang belum
dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya
diserahkan kepadanya, ataupun oleh bujangnya atau bawahannya yang
belum cukup umur, dengan orang lain;
2. dengan pidana penjara paling lama empat tahun barang siapa dengan
sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul, kecuali
yang tersebut dalam butir 1 di atas., yang dilakukan oleh orang yang
diketahuinya belum dewasa atau yang sepatutnya harus diduganya
demikian, dengan orang lain.
(2) Jika yang rs me lakukan kejahatan itu sebagai pencarian atau kebiasaan, maka
pidana dapat ditam sepertiga.
Pasal 296
Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan bul oleh orang lain
dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam
dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda
paling banyak lima belas ribu rupiah.
18
Pasal 297
Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam
dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
Pasal 298
(1) Dalam hal pemidanaan berdasarkan salah satu kejahatan dalam pasal 281, 284
- 290 dan 292 - 297, pencabutan hakhak berdasarkan pasal 35 No. 1 - 5 dapat
dinyatakan.
(2) Jika yang bersalah melakukan salah satu kejahatan berdasarkan pasal 292 -
297 dalam melakukan pencariannya, maka hak untuk melakukan pencarian itu
dapat dicabut.
19
BAB III
CONTOH LAPORAN KASUS
Hari/tanggal pemeriksaan: Senin, 11 Januari 2016 pukul 23.45 WIB13
20
pelaku ke kemaluan korban selama kurang lebih tiga menit. Korban lalu merasa
ada cairan yang keluar didalam kemaluan. Setelah itu, pelaku menenangkan
korban agar tidak takut. Sekitar satu bulan setalah kejadian pertama, korban yang
khawatir hamil menghubungi pelaku dan pelaku meminta korban kerumahnya
untuk mencegah kehamilan. Ketika korban kerumah pelaku, korban diajak pelaku
ke kamarnya dan dipaksa berbaring sehingga keduanya melakukan hubungan
seksual dengan hanya melepaskan celana dan hanya menggunakan baju selama
lima menit. Seminggu kemudian pelaku dan korban kembali melakukan hubungan
seksual tersebut tanpa paksaan tanpa menggunakan baju berlangsung selama
sekitar tujuh menit.
Pada empat januari dua ribu enambelas korban kembali melakukan hubungan
seksual dengan pelaku tanpa paksaan dikamar pelaku.
21
Status Lokalis
3.7 Tindakan/Pengobatan
3.9 Pembahasan
22
dikenal. Permintaan dilakukan secara tertulis yang sesuai dengan pasal 133
KUHAP ayat 2. 13
Dalam hal hasil pemeriksaan pada korban ini sudah memuat hasil
pemeriksaan yang objektif sesuai dengan apa yang diamati terutama dilihat dan
ditemukan pada korban atau benda yang diperiksa. Pemeriksaan juga dilakukan
dengan baik secara sistematis dari atas ke bawah sehingga tidak ada yang
tertinggal. Deskripsinya juga tertentu yaitu mulai dari letak anatomisnya,
koordinatnya (absis adalah jarak antara luka dengan garis tengah badan, ordinat
adalah jarak antara luka dengan titik anatomis permanen yang terdekat), jenis luka
atau cedera, karakteristiknya serta ukurannya. Rincian ini terutama penting pada
pemeriksaan korban mati yang pada saat persidangan tidak dapat dihadirkan
kembali.13
Pada pemeriksaan selaput dara sudah dilakukan dengan prosedur yang
tepat dan robek lama arah jam enam dan tujuh. Pada pemeriksaan daerah
kemaluan bagian bawah, antara liang kemaluan dan anus (perineum) utuh. Tanda -
tanda sex sekunder telah berkembang. Pada pemeriksaan laboratorium kehamilan
didapatkan hasil positif. Pemeriksaan laboratorium kehamilan pada korban ini
sudah tepat untuk mengetahui ada tidaknya kehamilan dan pemantauan selama
masa kehamilan.13
Berdasarkan kepustakaan menyatakan bahwa persetubuhan adalah suatu
peristiwa dimana alat kelamin laki-laki masuk ke dalam alat kelamin perempuan,
sebagian atau seluruhnya dan dengan atau tanpa terjadinya pancaran air mani.
Adanya robekan pada selaput dara hanya menunjukkan adanya benda
padat/kenyal yang masuk (bukan merupakan tanda pasti persetubuhan). Jika zakar
masuk seluruhnya & keadaan selaput dara masih cukup baik, pada pemeriksaan
diharapkan adanya robekan pada selaput dara. 13
Jika dilihat pada kasus ini bisa dikatakan bahwa korban terlambat
melakukan pemeriksaan, karena tanda pasti persetubuhan lainnya yaitu
terdapatnya sperma pada pemeriksaan mungkin saja sudah tidak ditemukan dan
23
bukti-bukti lain yang terhadap pada korban sudah menghilang seperti tanda
kekerasan ketika korban dipaksa.13
Berkaitan dengan kasus ini, dilihat dari aspek hukum terdapat adanya
pelanggaran yang melibatkan pelaku pemerkosaan terhadap Nn. F yang masih
berumur 15 tahun. Berdasarkan pengertian pemerkosaan adalah tindakan
menyetubuhi seorang wanita yang bukan istrinya dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan. Korban mengaku telah dipaksa oleh pelaku untuk melakukan
persetubuhan, padahal status pelaku dan korban bukan suami istri. Pasal berlapis
juga dapat dikenakan tehadap pelaku karena melakukan pemerkosaan terhadap
anak dan persetubuhan dibawah umur. Dimana dalam KUHP memberikan batasan
anak di bawah umur adalah lima belas tahun, sedangkan dalam KHA memberikan
batasan anak di bawah umur adalah delapan belas tahun. Jadi dalam kasus ini
pelaku dapat dikenakan sanksi berupa pemerkosaan, pemerkosaan terhadap anak
berdasarkan pasal 285 KUHP dan persetubuhan dibawah umur berdasarkan pasal
287 KHUP.13
Menurut UU RI. No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Pasal 81
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang
lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 ( lima belas ) tahun dan
paling singkat 3 ( tiga ) tahun dan denda paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam
puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi
setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan orang lain.
Pasal 82
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,
memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk
24
anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (
tiga ) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)
dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
25
ternyata, bahwa belum mampu dikawin, untuk melakukan atau
membiarkan perbuatan cabul atau bersetubuh diluar perkawinan dengan
orang lain
26
DAFTAR PUSTAKA
27
11. Kusuma, S.E dan Yudianto, A. 2007. Kejahatan Seksual. Dalam: Ilmu
Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Surabaya: Bagian Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal
12. Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2014. Kompilasi Peraturan Perundang-undangan
Terkait Praktik Kedokteran. Jakarta: Departemen Ilmu Kedokteran Forensik
dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
13. Dinanti B, Ajie R, Sobirin M. Case Report Kejahatan Asusila. 2016.
Lampung: FK Universitas Lampung.
28