Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi
atau sindrom yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi
virus HIV.Virusnya Human Immunodeficiency Virus HIV yaitu virus yang
memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi
rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan
yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum
benar-benar bisa disembuhkan. HIV umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara
lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang
mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu
ibu. Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral),
transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan,
bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.

Penyakit AIDS ini telah menyebar ke berbagai negara di dunia. Bahkan menurut
UNAIDS dan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah membunuh lebih dari 25 juta
jiwa sejak pertama kali diakui tahun 1981, dan ini membuat AIDS sebagai salah satu
epidemik paling menghancurkan pada sejarah. Meskipun baru saja, akses perawatan
antiretrovirus bertambah baik di banyak region di dunia, epidemik AIDS diklaim bahwa
diperkirakan 2,8 juta (antara 2,4 dan 3,3 juta) hidup pada tahun 2005 dan lebih dari
setengah juta (570.000) merupakan anak-anak. Secara global, antara 33,4 dan 46 juta
orang kini hidup dengan HIV.Pada tahun 2005, antara 3,4 dan 6,2 juta orang terinfeksi
dan antara 2,4 dan 3,3 juta orang dengan AIDS meninggal dunia, peningkatan dari 2003
dan jumlah terbesar sejak tahun 1981.

1
Di Indonesia menurut laporan kasus kumulatif HIV/AIDS sampai dengan 31 Desember
2011 yang dikeluarkan oleh Ditjen PP & PL, Kemenkes RI tanggal 29 Februari 2012
menunjukkan jumlah kasus AIDS sudah menembus angka 100.000. Jumlah kasus yang
sudah dilaporkan 106.758 yang terdiri atas 76.979 HIV dan 29.879 AIDS dengan 5.430
kamatian. Angka ini tidak mengherankan karena di awal tahun 2000-an kalangan ahli
epidemiologi sudah membuat estimasi kasus HIV/AIDS di Indonesia yaitu berkisar
antara 80.000 – 130.000. Dan sekarang Indonesia menjadi negara peringkat ketiga,
setelah Cina dan India, yang percepatan kasus HIV/AIDS-nya tertinggi di Asia.

B. RUMUSAN MASALAH
a. Bagaimana asuhan pengkajian bio, psiko, sosial, spiritual, dan kultural ?
b. Bagaimana pemeriksaan fisik dan diagnostik pada pasien HIV/AIDS ?
c. Apa saja tanda dan gejala pasien dengan HIV/AIDS ?
d. bagaimana penatalaksanaan pasien dengan HIV/AIDS ?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengkajian Biologis, Psikologis, Sosial, Kultural, dan Spiritual


a. Biologis
Respons Biologis (Imunitas)
Secara imunologis, sel T yang terdiri dari limfosit T-helper, disebut limfosit CD4+ akan
mengalami perubahan baik secara kuantitas maupun kualitas. HIV menyerang CD4+ baik
secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, sampul HIV yang mempunyai
efek toksik akan menghambat fungsi sel T (toxic HIV). Secara tidak langsung, lapisan
luar protein HIV yang disebut sampul gp 120 dan anti p24 berinteraksi dengan CD4+
yang kemudian menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan antigen (APC).

Setelah HIV melekat melalui reseptor CD4+ dan co-reseptornya bagian sampul tersebut
melakukan fusi dengan membran sel dan bagian intinya masuk ke dalam sel membran.
Pada bagian inti terdapat enzim reverse transcripatase yang terdiri dari DNA polimerase
dan ribonuclease. Pada inti yang mengandung RNA, dengan enzim DNA polimerase
menyusun kopi DNA dari RNA tersebut.Enzim ribonuclease memusnahkan RNA
asli.Enzim polimerase kemudian membentuk kopi DNA kedua dari DNA pertama yang
tersusun sebagai cetakan (Stewart, 1997; Baratawidjaja, 2000).

Kode genetik DNA berupa untai ganda setelah terbentuk, maka akan masuk ke inti sel.
Kemudian oleh enzim integrase, DNA copi dari virus disisipkan dalam DNA pasien. HIV
provirus yang berada pada limfosit CD4+, kemudian bereplikasi yang menyebabkan sel
limfosit CD4 mengalami sitolisis (Stewart, 1997). Virus HIV yang telah berhasil masuk
dalam tubuh pasien, juga menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit, makrofag,
sel-sel mikroglia di otak, sel – sel hobfour plasenta, sel-sel dendrit pada kelenjar limfe,
sel- sel epitel pada usus, dan sel langerhans di kulit. Efek dari infeksi pada sel mikroglia
di otak adalah encepalopati dan pada sel epitel usus adalah diare yang kronis (Stewart,
1997). Gejala-gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi tersebut biasanya baru
disadari pasien setelah beberapa waktu lamanya tidak mengalami kesembuhan. Pasien

3
yang terinfeski virus HIV dapat tidak memperlihatkan tanda dan gejala selama
bertahuntahun.Sepanjang perjalanan penyakit tersebut sel CD4+ mengalami penurunan
jumlahnya dari 1000/ul sebelum terinfeksi menjadi sekitar 200 – 300/ul setelah terinfeksi
2 – 10 tahun (Stewart, 1997).

b. Psikologis
Reaksi Psikologis Pasien HIV
Reaksi Proses psikologis Hal-hal yang biasa di jumpai
1. Shock (kaget, goncangan batin)Merasa bersalah, marah,tidak berdaya,rasa takut,
hilang akal,frustrasi, rasa sedih, susah,acting out
2. Mengucilkan diri, merasa cacat dan tidak berguna, menutup diri, khawatir
menginfeksi orang lain, murung
3. Membuka status secara terbatas, ingin tahu reaksi orang lain,pengalihan stres, ingin
dicintai, penolakan, stres, konfrontasi
4. Mencari orang lain yang positif HIV untuk berbagi rasa, pengenalan,kepercayaan,
penguatan,dukungan sosial , ketergantungan, campur tangan, tidak percaya pada
pemegang rahasia dirinya
5. Status khusus Perubahan keterasingan menjadi manfaat khusus,perbedaan menjadi
hal yang istmewa, dibutuhkan oleh yang lainnya , ketergantungan,
6. Perilaku mementingkan orang lain ,komitmen dan kesatuan kelompok, kepuasan
memberi dan berbagi,perasaan sebagi kelompok Pemadaman, reaksi dankompensasi
yang berlebihan
7. Penerimaan Integrasi status positif HIV dengan identitas diri,keseimbangan antara
kepentingan orang lain dengan diri sendiri, bisa menyebutkan kondisi seseorang
apatis, sulit berubah.

Respons Psikologis (penerimaan diri) terhadap Penyakit Kubler „Ross (1974)


menguraikan lima tahap reaksi emosi seseorang terhadap penyakit, yaitu.
a. Pengingkaran (denial) Pada tahap pertama pasien menunjukkan karakteristik perilaku
pengingkaran, mereka gagal memahami dan mengalami makna rasional dan dampak
emosional dari diagnosa. Pengingkaran ini dapat disebabkan karena ketidaktahuan pasien

4
terhadap sakitnya atau sudah mengetahuinya dan mengancam dirinya.Pengingkaran dapat
dinilai dari ucapan pasien “saya di sini istirahat.” Pengingkaran dapat berlalu sesuai
dengan kemungkinan memproyeksikan pada apa yang diterima sebagai alat yang
berfungsi sakit, kesalahan laporan laboratorium, atau lebih mungkin perkiraan dokter dan
perawat yang tidak kompeten. Pengingkaran diri yang mencolok tampak menimbulkan
kecemasan, pengingkaran ini merupakan buffer untuk menerima kenyataan yang
sebenarnya. Pengingkaran biasanya bersifat sementara dan segera berubah menjadi fase
lain dalam menghadapi kenyataan (Achir Yani, 1999).
b. Kemarahan (anger) Apabila pengingkaran tidak dapat dipertahankan lagi, maka fase
pertama berubah menjadi kemarahan. Perilaku pasien secara karakteristik dihubungkan
dengan marah dan rasa bersalah. Pasien akan mengalihkan kemarahan pada segala
sesuatu yang ada disekitarnya. Biasanya kemarahan diarahkan pada dirinya sendiri dan
timbul penyesalan. Yang menjadi sasaran utama atas kemarahan adalah perawat, semua
tindakan perawat serba salah, pasien banyak menuntut, cerewet, cemberut, tidak
bersahabat, kasar, menantang, tidak mau bekerja sama, sangat marah, mudah tersinggung,
minta banyak perhatian dan iri hati. Jika keluarga mengunjungi maka menunjukkan sikap
menolak, yang mengakibatkan keluarga segan untuk datang, hal ini akan menyebabkan
bentuk keagresipan (Hudak & Gallo, 1996).
c. Sikap tawar menawar (bargaining) Setelah marah-marah berlalu, pasien akan berfikir dan
merasakan bahwa protesnya tidak ada artinya. Mulai timbul rasa bersalahnya dan mulai
membina hubungan dengan Tuhan, meminta dan berjanji merupakan ciri yang jelas yaitu
pasien menyanggupi akan menjadi lebih baik bila terjadi sesuatu yang menimpanya atau
berjanji lain jika dia dapat sembuh (Achir Yani, 1999).
d. Depresi Selama fase ini pasien sedih/ berkabung mengesampingkan marah dan
pertahanannya serta mulai mengatasi kehilangan secara konstruktif. Pasien mencoba
perilaku baru yang konsisten dengan keterbatasan baru.Tingkat emosional adalah
kesedihan, tidak berdaya, tidak ada harapan, bersalah, penyesalan yang dalam, kesepian
dan waktu untuk menangis berguna pada saat ini. Perilaku fase ini termasuk mengatakan
ketakutan akan masa depan, bertanya peran baru dalam keluarga intensitas depresi
tergantung pada makna dan beratnya penyakit (Netty, 1999). e) Penerimaan dan
partisipasi Sesuai dengan berlalunya waktu dan pasien beradapatasi, kepedihan dari

5
kesabatan yang menyakitkan berkurang dan bergerak menuju identifikasi sebagai
seseorang yang keterbatasan karena penyakitnya dan sebagai seorang cacat. Pasien
mampu bergantung pada orang lain jika perlu dan tidak membutuhkan dorongan melebihi
daya tahannya atau terlalu memaksakan keterbatasan atau ketidakadekuatan (Hudak &
Gallo, 1996). Proses ingatan jangka panjang yang terjadi pada keadaan stres yang kronis
akan menimbulkan perubahan adaptasi dari jaringan atau sel. Adaptasi dari jaringan atau
sel imun yang memiliki hormon kortisol dapat terbentuk bila dalam waktu lain menderita
stres, dalam teori adaptasi dari Roy dikenal dengan mekanisme regulator.

c. Sosial
Interaksi social
- Gejala : masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis,mis. Kehilangan karabat/orang
terdekat, teman, pendukung.rasa takut untuk mengungkapkannya pada orang lain, takut
akan penolakan/kehilangan pendapatan. Isolasi, keseian, teman dekat ataupun pasangan
yang meninggal karena AIDS. Mempertanyakan kemampuan untuk tetap mandiri, tidak
mampu membuat rencana.
- Tanda : perubahan oada interaksi keluarga/ orang terdekat.aktivitas yang tak
terorganisasi.

d. Spiritual
Respons Adaptif Spiritual
Respons Adaptif Spiritual dikembangkan dari konsep Ronaldson (2000) dan Kauman &
Nipan (2003). Respons adaptif Spiritual, meliputi:

1. Menguatkan harapan yang realistis kepada pasien terhadap kesembuhan


Harapan merupakan salah satu unsur yang penting dalam dukungan sosial.Orang bijak
mengatakan “hidup tanpa harapan, akan membuat orang putus asa dan bunuh diri”.
Perawat harus meyakinkan kepada pasien bahwa sekecil apapun kesembuhan, misalnya
akan memberikan ketenangan dan keyakinan pasien untuk berobat.
2. Pandai mengambil hikmah

6
Peran perawat dalam hal ini adalah mengingatkan dan mengajarkan kepada pasien untuk
selalu berfikiran positif terhadap semua cobaan yang dialaminya.Dibalik semua cobaan
yang dialami pasien, pasti ada maksud dari Sang Pencipta. Pasien harus difasilitasi untuk
lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dengan jalan melakukan ibadah secara
terus menerus. Sehingga pasien diharapkan memperoleh suatu ketenangan selama sakit.
3. Ketabahan hati
Karakteristik seseorang didasarkan pada keteguhan dan ketabahan hati dalam
menghadapi cobaan. Individu yang mempunyai kepribadian yang kuat, akan tabah dalam
menghadapi setiap cobaan. Individu tersebut biasanya mempunyai keteguhan hati dalam
menentukan kehidupannya.
Ketabahan hati sangat dianjurkan kepada PHIV. Perawat dapat menguatkan diri pasien
dengan memberikan contoh nyata dan atau mengutip kitab suci atau pendapat orang
bijak; bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan kepada umatNYA, melebihi
kemampuannya (Al. Baqarah, 286). Pasien harus diyakinkan bahwa semua cobaan yang
diberikan pasti mengandung hikmah, yang sangat penting dalam kehidupannya.

e. Kultural
Faktor budaya berkaitan juga dengan fenomena yang muncul dewasa ini dimana banyak
ibu rumah tangga yang “baik-baik” tertular virus HIV /AIDS dari suaminya yang sering
melakukan hubungan seksual selain dengan istrinya. Hal ini disebabkan oleh budaya
permisif yang sangat berat dan perempuan tidak berdaya serta tidak mempunyai
bargaining position (posisi rebut tawar) terhadap suaminya serta sebagian besar
perempuan tidak memiliki pengetahuan akan bahaya yang mengancamnya.

Kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk menanggulangi masalah HIV /AIDS
Selama ini adalah melaksanakan bimbingan sosial pencegahan HIV /AIDS, pemberian
konseling dan pelayanan sosial bagi penderita HIV /AIDS yang tidak mampu. Selain itu
adanya pemberian pelayanan kesehatan sebagai langkah antisipatif agar kematian dapat
dihindari, harapan hidup dapat ditingkatkan dan penderita HIV /AIDS dapat berperan
sosial dengan baik dalam kehidupanya.

7
B. Pemeriksaan Fisik Dan Diagnostik Pasien HIV/AIDS
a. Pemeriksaan Fisik

 Keadaan umum

Umumnya pasien dengan infeksi HIV/AIDS akan menunjukkan keadaan yang kurang
baik karena mengalami penurunan BB (>10%) tanpa sebab, diare kronik tanpa sebab
sampai >1 bulan, demam menetap (Nurarif & Kusuma, 2015, p. 10)

 Tanda-tanda vital

Tekanan darah normal atau sedikit menurun.

Denyut perifer kuat dan cepat (Kunoli, 2012, hal. 194).

 Body sistem

1. Sistem neurologi
2. Sistem penglihatan

Inspeksi : mata anemia, gangguan refleks pupil, vertigo

3. Sistem pendengaran

Inspeksi : kehilangan pendengaran dengan efek nyeri yang berhubungan dengan


mielopati, meningitis, sitomegalovirus dan reaksi-reaksi otot (Bararah & Jauhar, 2013,
p. 303)

4. Sistem pengecapan

Inspeksi : lesi pada rongga mulut, adanya selaput putih/perubahan warna mucosa
mulut (Bararah & Jauhar, 2013, p. 302)

8
5. Sistem integumen

Inspeksi : munculnya bercak-bercak gatal diseluruh tubuh yang mengarahkan kepada


penularan HIV/AIDS menuju jarum suntik , turgor kulit jelek (Katiandagho, 2015,
hal. 30).

6. Sistem endokrin

Inspeksi : terdapat pembengkakan pada kelenjar getah bening

Palpasi : teraba pembesaran kelenjar getah bening (Gallant, 2010, hal. 21).

7. Sistem pulmoner

Inspeksi : batuk menetap lebih dari 1 bulan, bentuk dada barrel chest (Muttaqin &
Sari, 2011, p. 3)

8. Sistem kardiovaskuler

Inspeksi : sianosis, hipotensi, edema perifer (Wijayaningsih, 2013, hal. 248)

Palpasi : Takikardi (Wijayaningsih, 2013, hal. 248)

9. Sistem gastrointestinal

Inspeksi : diare kronik yang berlangsung lebih dari 1 bulan, berat badan menurun
lebih dari 10% dalam 1 bulan (Bararah & Jauhar, 2013, p. 302)

10. Sistem urologi

Pada kondisi berat didapatkan penurunan urine output respons dari penurunan curah
jantung (Mutaqin, 2011, hal. 491).

11. Sistem muskulokeletal

9
Respon sistemik akan menyebabkan malaise, kelemahan fisik, dan di dapatkan nyeri
otot ekstremitas (Mutaqin, 2011, hal. 492).

12. Sistem imunitas

Inspeksi : pasien dengan HIV/AIDS cenderung mengalami penurunan imun akibat


rusaknya CD4 (Gallant, 2010, hal. 21).

13. Sistem perkemihan

Inspeksi : tidak mengalami perubahan pada produsi urine

Palapasi : nyeri tekan abdominal (Muttaqin & Sari, 2011, p. 491)

14. Sistem reproduksi

Inspeksi : ibu penderita HIV positif kepada bayinya ketika dalam kandungan atau saat
melahirkan atau melalui air susu ibu (ASI) (Nurarif & Kusuma, 2015, p. 3)

b. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostic untuk penderita AIDS (Arif Mansjoer, 2000) adalah :

1. Lakukan anamnesi gejala infeksi oportunistik dan kanker yang terkait dengan
AIDS.
2. Telusuri perilaku berisiko yang memmungkinkan penularan.
3. Pemeriksaan fisik untuk mencari tanda infeksi oportunistik dan kanker terkait.
Jangan lupa perubahan kelenjar, pemeriksaan mulut, kulit, dan funduskopi.
4. Dalam pemeriksaan penunjang dicari jumlah limfosot total, antibodi HIV, dan
pemeriksaan Rontgen.

Bila hasil pemeriksaan antibodi positif maka dilakukan pemeriksaan jumlah CD4, protein
purufied derivative (PPD), serologi toksoplasma, serologi sitomegalovirus, serologi PMS,
hepatitis, dan pap smear.

10
Sedangkan pada pemeriksaan follow up diperiksa jumlah CD4. Bila >500 maka
pemeriksaan diulang tiap 6 bulan. Sedangkan bila jumlahnya 200-500 maka diulang tiap
3-6 bulan, dan bila <200 diberikan profilaksi pneumonia pneumocystis carinii. Pemberian
profilaksi INH tidak tergantung pada jumlah CD4.

Perlu juga dilakukan pemeriksaan viral load untuk mengetahui awal pemberian obat
antiretroviral dan memantau hasil pengobatan. Bila tidak tersedia peralatan untuk
pemeriksaan CD4 (mikroskop fluoresensi atau flowcytometer) untuk kasus AIDS dapat
digunakan rumus CD4 = (1/3 x jumlah limfosit total)-8.

C. Tanda Dan Gejala Pasien HIV/AIDS

 Fase 1 : Terinfeksi HIV

Rentang waktu sejak virus HIV masuk kedalam tubuh sampai antibodi terhadap HIV
menjadi positif disebut window period. Lama window period antara 15 hari sampai 6
bulan. Dalam fase ini umumnya seseorang yang telah terinfeksi HIV masih tampak dan
merasa sehat-sehat saja, tanpa menunjukkan gejala apapun bahwa ia sudah tertular HIV
akan tetapi orang ini juga sudah menularkan HIV pada orang lain (Katiandagho, 2015, p.
32)

 Fase 2 : Gejala-gejala mulai terlihat

Dalam fase ini umumnya gejala-gejala mulai nampak, seperti hilangnya selera makan,
gangguan pada rongga mulut dan tenggorokan, diare, pembengkakan kelenjar, bercak-
bercak dikulit, demam serta keringat berlebihan di malam hari tetapi gejala diatas belum
dapat di jadikan patokan bahwa itu adalah AIDS, karena itu masih gejala-gejala umum
dan harus di periksakan ke dokter untuk hasil yang lebih spesifik (Katiandagho, 2015, p.
33)

 Fase 3 : Penyakit AIDS

Dalam fase ini HIV benar-benar menimbulkan AIDS. Sistem kekebalan tubuh semakin
menurun sehingga tidak ada lagi perlawanan terhadap penyakit yang menyerang

11
termasuk kanker dan infeksi. Perwujudan penyakit yang menyerang tubuh seseorang
tergantung pada virus, bakteri, jamur atau protozoa yang menyebabkan infeksi, sehingga
orang tersebut akan menderita penyakit yang parah (Katiandagho, 2015, p. 33)

 Fase 4 : Penderita Meninggal karena salah satu Penyakit

Sebagaimana yang telah kita pahami bahwa tanpa sistem kekebalan tubuh yang baik sulit
bagi seseorang untuk mempertahankan hidupnya dari serangan penyakit. Seseorang bisa
bertahan hidup terhadap berbagai penyakit pada tahapan AIDS, tetapi hanya berlangsung
selama 1-2 tahaun saja, selanjutnya penderita akan meninggal dunia karena penyakt atau
komplikasi dari beberapa penyakit yang ia derita (Nurarif & Kusuma, 2015).

D. Penatalaksanaan Pasien HIV/AIDS

Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka terapinya yaitu (Endah
Istiqomah : 2009) :

1. Pengendalian Infeksi Opurtunistik

Bertujuan menghilangkan,mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik,


nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah
kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien
dilingkungan perawatan kritis.

2. Terapi AZT (Azidotimidin)

Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadap
AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human Immunodeficiency Virus (HIV)
dengan menghambat enzim pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS
yang jumlah sel T4 nya <>3 . Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human
Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3

12
3. Terapi Antiviral Baru

Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun dengan


menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus pada prosesnya.
Obat-obat ini adalah :

 Didanosine
 Ribavirin
 Diedoxycytidine
 Recombinant CD 4 dapat larut

4. Vaksin dan Rekonstruksi Virus

Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon, maka
perawat unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan keahlian dibidang proses
keperawatan dan penelitian untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi
AIDS.

Adapun Penatalaksanaan diet untuk penderita AIDS (UGI:2012) adalah :

1. Tujuan Umum Diet Penyakit HIV/AIDS adalah:

 Memberikan intervensi gizi secara cepat dengan mempertimbangkan seluruh


aspek dukungan gizi pada semua tahap dini penyakit infeksi HIV.
 Mencapai dan mempertahankan berat badan secara komposisi tubuh yang
diharapkan, terutama jaringan otot (Lean Body Mass).
 Memenuhi kebutuhan energy dan semua zat gizi.
 Mendorong perilaku sehat dalam menerapkan diet, olahraga dan relaksasi.
2. Tujuan Khusus Diet Penyakit HIV/AIDS adalah:
 Mengatasi gejala diare, intoleransi laktosa, mual dan muntah.
 Meningkatkan kemampuan untuk memusatkan perhatian, yang terlihat pada:
pasien dapat membedakan antara gejala anoreksia, perasaan kenyang, perubahan
indra pengecap dan kesulitan menelan.

13
 Mencapai dan mempertahankan berat badan normal.
 Mencegah penurunan berat badan yang berlebihan (terutama jaringan otot).
 Memberikan kebebasan pasien untuk memilih makanan yang adekuat sesuai
dengan kemampuan makan dan jenis terapi yang diberikan

3. Syarat-syarat Diet HIV/AIDS adalah:

 Energi tinggi. Pada perhitungan kebutuhan energi, diperhatikan faktor stres,


aktivitas fisik, dan kenaikan suhu tubuh. Tambahkan energi sebanyak 13% untuk
setiap kenaikan Suhu 1°C.
 Protein tinggi, yaitu 1,1 – 1,5 g/kg BB untuk memelihara dan mengganti jaringan
sel tubuh yang rusak. Pemberian protein disesuaikan bila ada kelainan ginjal dan
hati.
 Lemak cukup, yaitu 10 – 25 % dari kebutuhan energy total. Jenis lemak
disesuaikan dengan toleransi pasien. Apabila ada malabsorpsi lemak, digunakan
lemak dengan ikatan rantai sedang (Medium Chain Triglyceride/MCT). Minyak
ikan (asam lemak omega 3) diberikan bersama minyak MCT dapat memperbaiki
fungsi kekebalan.
 Vitamin dan Mineral tinggi, yaitu 1 ½ kali (150%) Angka Kecukupan Gizi yang
di anjurkan (AKG), terutama vitamin A, B12, C, E, Folat, Kalsium, Magnesium,
Seng dan Selenium. Bila perlu dapat ditambahkan vitamin berupa suplemen, tapi
megadosis harus dihindari karena dapat menekan kekebalan tubuh.
 Serat cukup; gunakan serat yang mudah cerna.
 Cairan cukup, sesuai dengan keadaan pasien. Pada pasien dengan gangguan
fungsi menelan, pemberian cairan harus hati-hati dan diberikan bertahap dengan
konsistensi yang sesuai. Konsistensi cairan dapat berupa cairan kental (thick
fluid), semi kental (semi thick fluid) dan cair (thin fluid).
 Kehilangan elektrolit melalui muntah dan diare perlu diganti (natrium, kalium dan
klorida).
 Bentuk makanan dimodifikasi sesuai dengan keadaan pasien. Hal ini sebaiknya
dilakukan dengan cara pendekatan perorangan, dengan melihat kondisi dan
toleransi pasien. Apabila terjadi penurunan berat badan yang cepat, maka

14
dianjurkan pemberian makanan melalui pipa atau sonde sebagai makanan utama
atau makanan selingan.
 Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering.
 Hindari makanan yang merangsang pencernaan baik secara mekanik, termik,
maupun kimia

4. Jenis Diet dan Indikasi Pemberian

Diet AIDS diberikan pada pasien akut setelah terkena infeksi HIV, yaitu kepada
pasien dengan:

 Infeksi HIV positif tanpa gejala.


 Infeksi HIV dengan gejala (misalnya panas lama, batuk, diare, kesulitan menelan,
sariawan dan pembesaran kelenjar getah bening).
 Infeksi HIV dengan gangguan saraf.
 Infeksi HIV dengan TBC.
 Infeksi HIV dengan kanker dan HIV Wasting Syndrome.

Makanan untuk pasien AIDS dapat diberikan melalui tiga cara, yaitu secara oral,
enteral(sonde) dan parental(infus). Asupan makanan secara oral sebaiknya dievaluasi
secara rutin. Bila tidak mencukupi, dianjurkan pemberian makanan enteral atau parental
sebagai tambahan atau sebagai makanan utama.

Ada tiga macam diet AIDS yaitu Diet AIDS I, II dan III. Yaitu :

 Diet AIDS I

Diet AIDS I diberikan kepada pasien infeksi HIV akut, dengangejala panas tinggi,
sariawan, kesulitan menelan, sesak nafas berat, diare akut, kesadaran menurun,
atau segera setelah pasien dapat diberi makan.Makanan berupa cairan dan bubur
susu, diberikan selama beberapa hari sesuai dengan keadaan pasien, dalam porsi
kecil setiap 3 jam. Bila ada kesulitan menelan, makanan diberikan dalam bentuk
sonde atau dalam bentuk kombinasi makanan cair dan makanan sonde. Makanan

15
sonde dapat dibuat sendiri atau menggunakan makanan enteral komersial energi
dan protein tinggi. Makanan ini cukup energi, zat besi, tiamin dan vitamin C. bila
dibutuhkan lebih banyak energy dapat ditambahkan glukosa polimer (misalnya
polyjoule).

 Diet AIDS II

Diet AIDS II diberikan sebagai perpindahan Diet AIDS I setelah tahap akut
teratasi. Makanan diberikan dalam bentuk saring atau cincang setiap 3 jam.
Makanan ini rendah nilai gizinya dan membosankan. Untuk memenuhi kebutuhan
energy dan zat gizinya, diberikan makanan enteral atau sonde sebagai tambahan
atau sebagai makanan utama.

 Diet AIDS III

Diet AIDS III diberikan sebagai perpindahan dari Diet AIDS II atau kepada
pasien dengan infeksi HIV tanpa gejala. Bentuk makanan lunak atau biasa,
diberikan dalam porsi kecil dan sering. Diet ini tinggi energy, protein, vitamin dan
mineral. Apabila kemampuan makan melalui mulut terbatas dan masih terjadi
penurunan berat badan, maka dianjurkan pemberian makanan sonde sebagai
makanan tambahan atau makanan utama.

16
DAFTAR PUSTAKA

Dr. Nursalam, M.Nurs (Hons), Ninuk Dian K, S.Kep.Ners, Asuhan Keperawatan Pada Pasien
Terinfeksi HIV, Salemba Medika, Jakarta 2013

Nursalam, S.Kep.Ners dkk, Jurnal Keperawatan edisi bulan November,Fakultas Keperawatan


Universitas Airlangga 2007

Adler, M. W. (1996). Petunjuk Penting AIDS.EGC. Jakarta. Arif Mansjoer. (2000). Kapita
Selekta Kedokteran.Media Aesculapiuus. Jakarta.

17

Anda mungkin juga menyukai