Anda di halaman 1dari 101

ASUHAN KEPERAWATAN

Asuhan Keperawatan adalah merupakan suatu hal yang tidak akan terlepas dari pekerjaan seorang
perawat dalam menjalankan tugas serta kewajibannya serta peran dan fungsinya terhadap para
pasiennya. Karena itulah pentingnya kita mengetahui akan proses pemberian asuhan keperawatan
yang komprehensif.

Asuhan Keperawatan adalah merupakan suatu tindakan kegiatan atau proses dalam praktik
keperawatan yang diberikan secara langsung kepada klien (pasien) untuk memenuhi kebutuhan
objektif klien, sehingga dapat mengatasi masalah yang sedang dihadapinya, dan asuhan
keperawatan dilaksanakan berdasarkan kaidah-kaidah ilmu keperawatan

Pengertian Asuhan Keperawatan adalah merupakan proses atau rangkaian kegiatan pada praktik
keperawatan yang diberikan secara langsung kepada klien / pasien di berbagai tatanan pelayanan
kesehatan. Dilaksanakan berdasarkan kaidah-kaidah keperawatan sebagai suatu profesi yang
berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan, bersifat humanistic,dan berdasarkan pada kebutuhan
objektif klien untuk mengatasi masalah yang dihadapi klien.

Proses Keperawatan adalah metode asuhan keperawatan yang ilmiah, sistematis, dinamis dan terus-
menerus serta berkesinambungan dalam rangka pemecahan masalah kesehatan pasien / klien,
dimulai dari Pengkajian (Pengumpulan Data, Analisis Data dan Penentuan Masalah) Diagnosis
Keperawatan, Pelaksanaan dan Penilaian Tindakan Keperawatan (evaluasi). Menurut Ali (1997)

Asuhan keperawatan diberikan dalam upaya memenuhi kebutuhan klien / pasien.


Lima kebutuhan dasar manusia menurut Abraham Maslow yaitu :

 Kebutuhan fisiologis meliputi oksigen, cairan, nutrisi.


 Kebutuhan rasa aman dan perlindungan.
 Kebutuhan rasa cinta dan saling memiliki.
 Kebutuhan akan harga diri.
 Kebutuhan aktualisasi diri.

Jadi bila menilik hasil dari pengertian di atas maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa yang
dimaksud dengan arti makna pengertian dari asuhan keperawatan adalah merupakan seluruh
rangkaian proses keperawatan yang diberikan kepada pasien yang berkesinambungan dengan kiat-
kiat keperawatan yang di mulai dari pengkajian sampai dengan evaluasi dalam usaha memperbaiki
ataupun memelihara derajat kesehatan yang optimal.
Tujuan Asuhan Keperawatan

Ada beberapa tujuan dan manfaat pemberian asuhan keperawatan diantaranya yaitu :

1. Membantu individu untuk mandiri.


2. Mengajak individu atau masyarakat berpartisipasi dalam bidang kesehatan.
3. Membantu individu mengembangkan potensi untuk memelihara kesehatan secara optimal
agar tidak tergantung pada orang lain dalam memelihara kesehatannya.
4. Membantu individu memperoleh derajat kesehatan yang optimal.

Fungsi Proses Keperawatan


Proses keperawatan pun mempunyai fungsi dan fungsinya antara lain adalah :

1. Memberikan pedoman dan bimbingan yang sistematis dan ilmiah bagi tenaga keperawatan
dalam memecahkan masalah klien melalui asuhan keperawatan.
2. Memberi ciri profesionalisasi pemberian asuhan keperawatan melalui pendekatan
pemecahan masalah dan pendekatan komunikasi yang efektif dan efisien.
3. Memberi kebebasan pada klien untuk mendapat pelayanan yang optimal sesuai dengan
kebutuhanya dalam kemandirianya di bidang kesehatan.

Tahapan Proses Keperawatan

Tahap-tahapan dalam melakukan dan pengkajian pada proses keperawatan ini adalah lima yaitu :
1. Pengkajian Keperawatan.
Yang dimaksud dengan pengertian definisi Pengkajian adalah upaya mengumpulkan data secara
lengkap dan sistematis untuk dikaji dan dianalisis sehingga masalah kesehatan dan keperawatan
yang di hadapi pasien baik fisik, mental, sosial maupun spiritual dapat ditentukan.
Tahapan pengkajian keperawatan ini mencakup tiga kegiatan, yaitu Pengumpulan Data, Analisis
Data dan Penentuan Masalah kesehatan serta keperawatan.
a. Pengumpulan Data. Tujuan dari pengumpulan data ini adalah untuk mendapatkan data dan
informasi mengenai masalah kesehatan dan masalah keperawatan yang ada pada pasien
sehingga dapat ditentukan tindakan yang harus diambil untuk mengatasi masalah tersebut
yang menyangkut aspek fisik, mental, sosial dan spiritual serta faktor lingkungan yang
mempengaruhinya. Data tersebut harus akurat dan mudah dianalisis.
a) Jenis data antara lain :

1) Data Objektif. Data yang diperoleh melalui suatu pengukuran, pemeriksaan, dan
pengamatan, misalnya suhu tubuh, tekanan darah, serta warna kulit.
2) Data subjekif. Data yang diperoleh dari keluhan yang dirasakan pasien, atau dari
keluarga pasien / saksi lain misalnya : kepala pusing, nyeri dan mual.

Adapun fokus dalam pengumpulan data meliputi :

 Status kesehatan sebelumnya dan sekarang


 Pola koping sebelumnya dan sekarang
 Fungsi status sebelumnya dan sekarang
 Respon terhadap terapi medis dan tindakan keperawatan
 Resiko untuk masalah potensial
 Hal-hal yang menjadi dorongan atau kekuatan klien

b. Analisa Data. Analisa data adalah kemampuan dalam mengembangkan kemampuan berpikir
rasional sesuai dengan latar belakang ilmu pengetahuan.
c. Perumusan Masalah. Setelah analisa data dilakukan, dapat dirumuskan beberapa masalah
kesehatan. Masalah kesehatan tersebut ada yang dapat diintervensi dengan Asuhan
Keperawatan (Masalah Keperawatan) tetapi ada juga yang tidak dan lebih memerlukan
tindakan medis. Selanjutnya disusun diagnosa keperawatan sesuai dengan prioritas.

Prioritas masalah ditentukan berdasarkan kriteria penting dan segera. Penting mencakup
kegawatan dan apabila tidak diatasi akan menimbulkan komplikasi, sedangkan Segera mencakup
waktu misalnya pada pasien stroke yang tidak sadar maka tindakan harus segera dilakukan untuk
mencegah komplikasi yang lebih parah atau kematian.

Prioritas masalah juga dapat ditentukan berdasarkan hierarki kebutuhan menurut Maslow, yaitu :
keadaan yang mengancam kehidupan, keadaan yang mengancam kesehatan, persepsi tentang
kesehatan dan keperawatan.

2. Diagnosa Keperawatan
Yang dimaksud engan manka arti definisi Diagnosa Keperawatan adalah merupakan suatu
pernyataan yang menjelaskan respon manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari
individu atau kelompok dimana perawat secara akuntabilitas dapat mengidentifikasi dan
memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan menurunkan, membatasi,
mencegah dan merubah (Carpenito,2000).
Perumusan Diagnosa Keperawatan meliputi dari hal sebagai berikut :

 Aktual : Menjelaskan masalah nyata saat ini sesuai dengan data klinik yang ditemukan.
 Resiko : Menjelaskan masalah kesehatan nyata akan terjadi jika tidak dilakukan intervensi.
 Kemungkinan : Menjelaskan bahwa perlu adanya data tambahan untuk memastikan masalah
keperawatan kemungkinan.
 Wellness : Keputusan klinik tentang keadaan individu, keluarga atau masyarakat dalam
transisi dari tingkat sejahtera tertentu ketingkat sejahtera yang lebih tinggi.
 Syndrom : diagnose yang terdiri dari kelompok diagnosa keperawatan actual dan resiko
tinggi yang diperkirakan muncul/timbul karena suatu kejadian atau situasi tertentu.

3. Rencana Keperawatan
Berikut beberapa hal yang terkait dengan pembuatan rencana keperawatan yaitu :

 Yang dimaksud dengan pengertian dan definisi rencana keperawatan adalah semua
tindakan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu klien beralih dari status kesehatan
saat ini kestatus kesehatan yang di uraikan dalam hasil yang di harapkan (Gordon,1994).
 Merupakan pedoman tertulis untuk perawatan klien. Rencana perawatan terorganisasi
sehingga setiap perawat dapat dengan cepat mengidentifikasi tindakan perawatan yang
diberikan.
 Rencana asuhan keperawatan yang di rumuskan dengan tepat memfasilitasi kontinuitas
asuhan perawatan dari satu perawat ke perawat lainnya. Sebagai hasil, semua perawat
mempunyai kesempatan untuk memberikan asuhan yang berkualitas tinggi dan konsisten.

Rencana Asuhan Keperawatan tertulis mengatur pertukaran informasi oleh perawat dalam laporan
pertukaran dinas. Rencana perawatan tertulis juga mencakup kebutuhan klien jangka
panjang(potter,1997)

4. Implementasi Keperawatan
Yang dimaksud dengan pengertian dan definisi implementasi keperawatan adalah :
Merupakan inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap pelaksanaan
dimulai dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditujukan pada nursing orders untuk
membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu rencana tindakan yang spesifik
dilaksanakan untuk memodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan klien.

Adapun Tahapan Implementasi Keperawatan adalah sebagai berikut :

1. Tahap 1 : Persiapan. Tahap awal tindakan keperawatan ini menuntut perawat untuk
mengevaluasi yang diindentifikasi pada tahap perencanaan.
2. Tahap 2 : Intervensi. Fokus tahap pelaksanaan tindakan perawatan adalah kegiatan dan
pelaksanaan tindakan dari perencanaan untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional.
Pendekatan tindakan keperawatan meliputi tindakan : independen, dependen, dan
interdependen.
3. Tahap 3 : Dokumentasi. Pelaksanaan tindakan keperawatan harus diikuti oleh pencatatan
yang lengkap dan akurat terhadap suatu kejadian dalam proses keperawatan.

5. Evaluasi Keperawatan
Perencanaan evaluasi memuat kriteria keberhasilan proses dan keberhasilan tindakan keperawatan.
Keberhasilan proses dapat dilihat dengan jalan membandingkan antara proses dengan pedoman /
rencana proses tersebut. Sedangkan keberhasilan tindakan dapat dilihat dengan membandingkan
antara tingkat kemandirian pasien dalam kehidupan sehari-hari dan tingkat kemajuan kesehatan
pasien dengan tujuan yang telah di rumuskan sebelumnya.

Adapun tujuan dari sasaran evaluasi keperawatan adalah sebagai berikut :

 Proses asuhan keperawatan, berdasarkan kriteria / rencana yang telah disusun.


 Hasil tindakan keperawatan ,berdasarkan kriteria keberhasilan yang telah di rumuskan
dalam rencana evaluasi.

Terdapat 3 kemungkinan hasil evaluasi yaitu :

1. Tujuan tercapai, apabila pasien telah menunjukan perbaikan / kemajuan sesuai dengan
kriteria yang telah ditetapkan.
2. Tujuan tercapai sebagian, apabila tujuan itu tidak tercapai secara maksimal, sehingga perlu
di cari penyebab dan cara mengatasinya.
3. Tujuan tidak tercapai, apabila pasien tidak menunjukan perubahan / kemajuan sama sekali
bahkan timbul masalah baru.dalam hal ini perawat perlu untuk mengkaji secara lebih
mendalam apakah terdapat data, analisis, diagnosa, tindakan, dan faktor-faktor lain yang
tidak sesuai yang menjadi penyebab tidak tercapainya tujuan.

Setelah seorang perawat melakukan seluruh proses keperawatan dari pengkajian sampai dengan
evaluasi kepada pasien, seluruh tindakannya harus didokumentasikan dengan benar dalam
dokumentasi keperawatan.
Pengertian definisi Dokumentasi Keperawatan adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak
yang dapat diandalkan sebagai catatan tentang bukti bagi individu yang berwenang (potter 2005).
SAMPEL DIAGNOSA KEPERAWATAN: DIARE

a. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi.

Tujuan/criteria hasil :
1) Berat Badan Sesuai Dengan Umur.
2) Nafsu Makan Kembali Normal.
3) Tanda-tanda Kwashiorkor Berkurang/Hilang
Intervensi :
1) Kaji Faktor Penyebab Gangguan Kebutuhan Gizi.
2) Berikan Makanan Bertahap Dan Formula Mudahdicerna, Pekat Protein.
3) Berikan Modisco ½, 1, Atau 2, Atau 3 Sesuai Kebutuhan
4) Observasi Berat Badan Setiap Hari.
5) Kolaborasi Dengan Tim Medis Dalam Pemberian Terapi Sesuai Dengan
Kondisi Pasien
Implementasi :
1) Melakukan pengkajian terhadap pasien tentang penyebab gangguan
kebutuhhan gizi
2) Memberikan makanan bertahap dan formula yang mudah di cerna dan
tinggi akan protein
3) Memberikan modisco dengan melakukan kolaborasi dengan tim gizi
dalam pemberiian terapi yang tepat
4) Menimbang berat badan setiap pagi
5) Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian terapi
sesuai dengan kondisi pasien.
Evaluasi :
1) Berat badan menjadi normal, nafsu makan kembali normal dan tidak
terdapat tanda tanda kwashiorkor pada pasien

b. Resiko Terjadinya Kekurangan Volume Cairan S/D Diare, Muntah, Tidak Adekuatnya
Masukan Makanan Dan Cairan.

Tujuan :
Mempertahankan Keseimbangan Elektrolit Dan Volume Cairan.
Kriteria Hasil:
1) Pasien Tidak Diare.
2) Muntah Teratasi.
3) Tanda-tanda Dehidrasi Tidak Nampak.
4) Turgor Kulit Baik.
Intervensi :
1) Observasi Tanda-tanda Vital.
2) Kaji Status Hidrasi (Turgor Kulit).
3) Observasi Jumlah Dan Tipe Masukan Cairan.
4) Observasi Diare.
5) Atur Pola Diit Untuk Mengatasi Muntah Dengan Cara Makan Sedikit-
sedikit Tapi Sering, Bila Masih Muntah, Pasang Sonde.
Implementasi :
1) Melakukan Pemeriksaan Tanda Tanda Vital Pada Pasien Tiap 4 Jam
Sekali
2) Mengkaji Hidrasi Pasien Dengan Melihat Tuirgor Kulit, Balance Intake
Output.
3) Melakukan Observasi Jumlah Dan Tipe Masukan Cairan Yang
Dikonsumsi Oleh Pasien
4) Melakukan Pengkajian Apakah Pasien Masih Diare
5) Lakukan Kolaborasi Dengan Tim Gizi Dalam Pemberian Diit Yang
Tepat Sesuai Dengan Kondisi Pasien
Evaluasi :
Pasien menunjukkan hidrasi yang baik dengan di tandai oleh kondisi
pasien yang semakin baik, pasien tidak diare, turgor kulit baik dan berat
badan pasien stabil. Implementasi

c. Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan nutrisi.


Tujuan:
Pengetahuan keluarga bertambah.
Kriteria hasil:
1) Keluarga mengerti dan memahami isi penyuluhan.
2) Dapat mengulangi isi penyuluhan.
3) Mampu menerapkan isi penyuluhan di rumah sakit dan nanti sampai
dirumah.
Intervensi :
1) Tentukan tingkat pengetahuan dan kesiapan untuk belajar.
2) Jelaskan tentang: - Nama penyakit anak. - Penyebab penyakit. - Akibat
yang ditimbulkan. - Pengobatan yang dilakukan.
3) 3)Jelaskan tentang: - Pengertian nutrisi dan pentingnya. - Pola makan
yang betul untuk anak sesuai umurnya. - Bahan makanan yang banyak
mengandung vitamin terutama banyak mengandung protein.
4) Beri kesempatan keluarga untuk mengulangi isi penyuluhan.
5) Anjurkan keluarga untuk membawa anak kontrol di poli gizi setelah
pulang dari rumah sakit.
Implementasi :

1) Mengkaji tingkat pengetahuan pasien dan keluaga tentang penyakit


yang di derita pasien dan juga kesiapan pasien dan keluarga untuk
belajar.
2) Membeikan penjelasan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit
yang diderita, penyebab, akibat dari penyakit dan pengobatan yang
bisa dilakukan untuk penyakit pasien.
3) Menjelaskan kepada pasien dan keluarga nya tentang pola makan
yang baik untuk pasien dengan penyakit tersebut.
4) Memberikan kesempatan kepada keluarga untuk mengulang materi
yang telah di berikan
5) Menganjurkan kepada keluarga untuk melakukan kontrol secara rutin
ke tempat kesehatan terdekat, agar pengobatan tuntas.

Evaluasi :

Pasien lebih mengerti tentang penyakit yang diderita oleh pasien, dan
keluarga tidak bertanya tanya lagi tentang penyakit yang diderita pasien.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA
PASIEN DENGAN GASTRITIS

A. PENGKAJIAN
1. Aktivitas/ istirahat.
 Gejala: Kelemahan/ kelelahan.
 Tanda: Takhikardi, takipnoe, ( hiperventilasi ).
2. Sirkulasi.
 Gejala: Hipotensi, Takhikardi, Disritmia.
 Tanda: Kelemahan nadi / perifer, Pengisian kapiler lambat,Warna kulit
pucat, sianosis, Kelembaban kulit, berkeringat.
3. Integritas Ego.
 Gejala: Faktor stress akut / psikologi, perasaan tidak berdaya.
 Tanda: Tanda ansietas, misalnya ; pucat, gelisah, berkeringat, perhatian
menyempit.
4. Eliminasi.
 Gejala: Perubahan pola defekasi /karakteristik feces.
 Tanda: Nyeri tekan abdomen, Distensi abdomen, peningkatan bunyi
usus,karakteristik feses ; diare dan konstipasi.
5. Makanan /Cairan.
Gejala: Anorexia,mual, dan muntah, cegukan, tidak toleran terhadap
makanan.
 Tanda: Muntah, membran mukosa kering, turgor kulit menurun.
6. Neorosensori.
 Gejala: Pusing, sakit kepala, terasa berdengung.
 Tanda: Status mental, tingkat kesadaran terganggu, cenderung
mengantuk, disorientasi, bingung.
7. Nyeri /Kenyamanan.
 Gejala: Nyeri digambarkan tajam, dangkal, rasa terbakar, perih
 Tanda: Rasa ketidaknyamanan / distres samar-samar setelah banyak
makan & hilang setelah minum obat antasida. Nyeri epigastrium kiri
menyebar ketengah dan menjalar tembus kepinggang 1-2 jam setelah
makan ( ulkus peptik ). Nyeri epigastrium kanan ± 4 jam setelah makan
dan hilang setelah diberi antasida ( ulkus doudenum). Faktor pencetus,
makanan, rokok, alkohol penggunaan obat tertentu. Stress psikologis.
8. Keamanan.
 Gejala: Alergi terhadap obat.
 Tanda: Peningkatan suhu.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN TIMBUL

 Perubahan kenyamanan; Nyeri akut berhubungan dengan iritasi mukosa


gaster.
 Tujuan :
 Tujuan jangka pendek : Pasien mengatakan rasa nyeri
berkurang.
 Tujuan jangka panjang : Tidak terjadi iritasi berlanjut.
 Intervensi:
 Puasakan pasien pada 6 jam pertama.

 Berikan makanan lunak sedikit demi sedikit dan beri minum yang
hangat.
 Identifikasi dan batasi makanan yang menimbulkan
ketidaknyamanan.
 Observasi keluhan nyeri, catat lokasi, lamanya, intensitasnya, (
skala 0-10 ), serta perubahan karakteristik nyeri.

 Rasionalisasi.

 Mengurangi inflamasi pada mukosa lambung.


 Dilatasi gaster dapat terjadi bila pemberian makan terlalu cepat
setelah
periode puasa.
 Dapat menyebabkan distres pada bermacam-macam individu /
dispepsia.
 Perubahan
karakteristik nyeri dapat menunjukan penyebaran penyakit /
terjadinya komplikasi.

 Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


Anorexia.
 Tujuan:
 Tujuan jangka pendek : Pemasukan nutrisi yang adekuat.
 Tujuan jangka panjang : Mempertahankan BB tetap seimbang.

 Intervensi:
 Buat program kebutuhan nutrisi harian & standar BB minimum.
 Berikan perawatan mulut sebelum & sesudah makan.
 Monitor aktivitas fisik dan catat tingkat aktivitas tersebut.
 Hindari makanan yang menimbulkan gas.
 Sediakan makanan dengan ventilasi yang baik, lingkungan yang
menyenangkan, dengan situasi yang tidak terburu-buru.

 Rasionalisasi.

 Sebagai acuan dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi pasien.


 Memberikan rasa nyaman pada mulut dan dapat mengurangi rasa
mual.
 Membantu dalam mempertahankan tonus otot dan berat badan
juga untuk mengontrol tingkat pembakaran kalori.
 Dapat mempengaruhi nafsu makan / pencernaan dan membatasi
masukan nutrisi.
 Lingkungan yang mennyenangkan dapat menurunkan stress dan
lebih kondusif untuk makan.

 Ansietas tahap sedang berhubungan dengan perubahan status kesehatan.


 Tujuan :
 Tujuan jangka pendek : Pasien dapat mendiskusikan permasalahan
yang dihadapinya.
 Tujuan jangka panjang : Pasien dapat memecahkan masalah
dengan menggunakan sumber yang efektif.

 Intervensi

 Observasi respon fisiologis, mis : takipnoe, palpitasi, pusing.


 Catat petunjuk perilaku, mis : gelisah, midah tersinggung.
 Dorong pernyataan takut dan ansietas, berikan respon umpan
balik.
 Berikan lingkungan yang tenang untuk beristirahat.
 Berikan tekhnik relaksasi, mis: latihan nafas dalamdan bimbingan
imaginasi.
 Bantu pasien untuk mengidentifikasi dan melakukan koping
positif.

 Rasionalisasi
 Dapat menjadi indikasi derajat ansietas yang dialami pasien.
 Indikator derajat ansietas.
 Membuat hubungan therafiutik, membantu pasien untuk
menerima perasaan dan menurunkan ansietas yang tidak perlu
tentang ketidak tahuan.
 Memindahkan pasien dari stresor luar dan meningkatkan
relaksasi, juga dapat meningkatkan ketrampilan koping.
 Cara relaksasi dapat membantu menurunkan takut dan ansietas.
 Perilaku yang berhasil dapat menguatkan pasien dalam menerima
ansietas,
meningkatkan rasa pasien terhadap kontrol diri dan memberikan
keyakinan.
ASKEP HIPERTENSI

BAB I
PENDAHULUAN
A. Defenisi
Hipertensi adalah keadaan menetap tekanan sistolik melebih dari 140 mmHg atau tekanan
diastolik lebih tinggi dari 90 mmHg. Diagnostik ini dapat dipastikan dengan mengukur rata-
rata tekanan darah pada 2 waktu yang terpisah (FKUI, 2001).
Menurut WHO (1978) batas tekanan darah yang masih dianggap normal adalah 140/90
mmHg dan tekanan darah sama dengan atau di atas 160/95 mmHg dinyatakan sebagai
hipertensi. Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah di atas normal yaitu bila tekanan
sistolik (atas) 140 mmHg atau lebih dan tekanan diastolic (bawah) 90 mmHg atau lebih.

Klasifikasi Tekanan Darah Pada Dewasa menurut JNC VII


Kategori Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah Diastolik
Normal < 120 mmHg (dan) < 80 mmHg
Pre-hipertensi 120-139 mmHg (atau) 80-89 mmHg
Stadium 1 140-159 mmHg (atau) 90-99 mmHg
Stadium 2 >= 160 mmHg (atau) >= 100 mmHg

Pada hipertensi sistolik terisolasi, tekanan sistolik mencapai 140 mmHg atau lebih, tetapi
tekanan diastolik kurang dari 90 mmHg dan tekanan diastolik masih dalam kisaran normal.
Hipertensi ini sering ditemukan pada usia lanjut.
Sejalan dengan bertambahnya usia, hampir setiap orang mengalami kenaikan tekanan
darah; tekanan sistolik terus meningkat sampai usia 80 tahun dan tekanan diastolik terus
meningkat sampai usia 55-60 tahun, kemudian berkurang secara perlahan atau bahkan
menurun drastis.
Dalam pasien dengan diabetes mellitus ataupenyakit ginjal, penelitian telah menunjukkan
bahwa tekanan darah di atas 130/80 mmHg harus dianggap sebagai faktor risiko dan
sebaiknya diberikan perawatan.

B. Etiologi

1. Usia. Hipertensi akan makin meningkat dengan meningkatnya usia hipertensi pada yang
berusia dari 35 tahun dengan jelas menaikkan insiden penyakit arteri dan kematian
premature.
2. Jenis Kelamin. Berdasar jenis kelamin pria umumnya terjadi insiden yang lebih tinggi
daripada wanita. Namun pada usia pertengahan, insiden pada wanita mulai meningkat,
sehingga pada usia di atas 65 tahun, insiden pada wanita lebih tinggi.
3. Ras. Hipertensi pada yang berkulit hitam paling sedikit dua kalinya pada yang berkulit
putih.
4. Pola Hidup. Faktor seperti halnya pendidikan, penghasilan dan faktor pola hidup pasien
telah diteliti, tanpa hasil yang jelas. Penghasilan rendah, tingkat pendidikan rendah dan
kehidupan atau pekerjaan yang penuh stress agaknya berhubungan dengan insiden
hipertensi yang lebih tinggi. Obesitas juga dipandang sebagai faktor resiko utama.
Merokok dipandang sebagai faktor resiko tinggi bagi hipertensi dan penyakit arteri
koroner. Hiperkolesterolemia dan hiperglikemia adalah faktor faktor utama untuk
perkembangan arterosklerosis yang berhubungan dengan hipertensi.

Berdasarkan penyebab, hipertensi di bagi dalam 2 golongan :


a. Hipertensi primer / essensial. Merupakan hipertensi yang penyebabnya tidak
diketahui, biasanya berhubungan dengan faktor keturunan dan lingkungan.
b. Hipertensi sekunder. Merupakan hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui
secara pasti, seperti gangguan pembuluh darah dan penyakit ginjal.

C. Patofisiologi
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak dipusat
vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang
berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia
simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk
impuls yang bergerak ke bawah melalui sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik
ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca
ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan
konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat
mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriksi. Individu dengan
hipertensi sangat sensitive terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas
mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai
respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan
aktivitas vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan
vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat
memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan
penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan rennin. Rennin merangsang
pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu
vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks
adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan
peningkatan volume intra vaskuler. Semua faktor ini cenderung mencetuskan keadaan
hipertensi.
Untuk pertimbangan gerontology. Perubahan struktural dan fungsional pada sistem
pembuluh perifer bertanggungjawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia
lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan
penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan
kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri
besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh
jantung (volume sekuncup), mengakibatkan penurunan curang jantung dan peningkatan
tahanan perifer (Brunner & Suddarth, 2002).
D. Manifestasi Klinis
Pada sebagian besar penderita, hipertensi tidak menimbulkan gejala; meskipun secara tidak
sengaja beberapa gejala terjadi bersamaan dan dipercaya berhubungan dengan tekanan
darah tinggi (padahal sesungguhnya tidak). Gejala yang dimaksud adalah sakit kepala,
perdarahan dari hidung, pusing, wajah kemerahan dan kelelahan; yang bisa saja terjadi baik
pada penderita hipertensi, maupun pada seseorang dengan tekanan darah yang normal.

Jika hipertensinya berat atau menahun dan tidak diobati, bisa timbul gejala berikut:
 Sakit kepala
 Kelelahan
 Mual
 Muntah
 Sesak nafas
 Gelisah
 Pandangan menjadi kabur yang terjadi karena adanya kerusakan pada otak, mata,
jantung dan ginjal.
 Kadang penderita hipertensi berat mengalami penurunan kesadaran dan bahkan
koma karena terjadi pembengkakan otak. Keadaan ini disebut ensefalopati
hipertensif, yang memerlukan penanganan segera.

Tanda dan gejala pada hipertensi dibedakan menjadi : (Edward K Chung, 1995).
a. Tidak Ada Gejala. Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan dengan
peningkatan tekanan darah, selain penentuan tekanan arteri oleh dokter yang
memeriksa. Hal ini berarti hipertensi arterial tidak akan pernah terdiagnosa jika
tekanan arteri tidak terukur.
b. Gejala Yang Lazim. Sering dikatakan bahwa gejala terlazim yang menyertai hipertensi
meliputi nyeri kepala dan kelelahan. Dalam kenyataannya ini merupakan gejala
terlazim yang mengenai kebanyakan pasien yang mencari pertolongan medis.

E. Komplikasi
Sebagai akibat hipertensi yang berkepanjangan adalah
1. Insufisiensi koroner dan penyumbatan
2. Kegagalan jantung
3. Kegagalan ginjal
4. Gangguan persyarafan

F. Komplikasi

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium. Hb/Ht : untuk mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap
volume cairan(viskositas) dan dapat mengindikasikan factor resiko seperti :
hipokoagulabilitas, anemia. BUN / kreatinin : memberikan informasi tentang perfusi
/ fungsi ginjal. Glucosa : Hiperglikemi (DM adalah pencetus hipertensi)
dapatdiakibatkan oleh pengeluaran kadar ketokolamin. Urinalisa : darah, protein,
glukosa, mengisaratkan disfungsi ginjal danada DM.
b. CT Scan : Mengkaji adanya tumor cerebral, encelopati
c. EKG : Dapat menunjukan pola regangan, dimana luas, peninggian gelombang P
adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi.
d. IUP : mengidentifikasikan penyebab hipertensi seperti : Batu ginjal, perbaikan ginjal.
e. Photo dada : Menunjukan destruksi kalsifikasi pada area katup, pembesaran
jantung.

G. Penatalaksanaan
1) Penatalaksanaan Non Farmakologis.
o Diet. Pembatasan atau pengurangan konsumsi garam.
o Penurunan BB dapat menurunkan tekanan darah dibarengi dengan penurunan
aktivitas rennin dalam plasma dan kadar adosteron dalam plasma.
o Aktivitas Klien disarankan untuk berpartisipasi pada kegiatan dan disesuaikan
dengan batasan medis dan sesuai dengan kemampuan seperti berjalan, jogging,
bersepeda atau berenang.
2) Farmakologik. Sesuai dengan rekomendasi WHO/ISH dengan mengingat kondisi
pasien, sasarkan pertimbangandan prisif sebagai berikut:
o Mulai dosis rendah yang tersedia, naikkan bila respon belum belum optimal,
contoh agen beta bloker ACE.
o Kombinasi dua obat, dosis rendah lebih baik dari pada satu obat dosis tinggi.
Contoh: diuretic dengan beta bloker.
o Bila tidak ada respon satu obat, respon minim atau ada efek samping ganti DHA
yang lain
o Pilih yang kerja 24 jam, sehingga hanya sehari sekali yang akan meningkatkan
kepatuhan.
o Pasien dengan DM dan insufistensi ginjal terapi mula lebih dini yaitu pada
tekanan darah normal tinggi.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian Keperawatan
a. Aktivitas/ Istirahat
 Gejala : kelemahan, letih, nafas pendek, gaya hidup monoton.
 Tanda : Frekuensi jantung meningkat, perubahan irama jantung, takipnea.
b. Sirkulasi
 Gejala : Riwayat Hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung koroner/katup dan
penyakit cebrocaskuler, episode palpitasi, perspirasi.
 Tanda : Kenaikan TD, Nadi denyutan jelas dari karotis, jugularis, radialis,
tikikardi, murmur stenosis valvular, distensi vena jugularis, kulit pucat, sianosis,
suhu dingin (vasokontriksi perifer) pengisian kapiler mungkin lambat/ bertunda.
c. Integritas Ego
 Gejala : Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, faktor stress multiple
(hubungan, keuangan, yang berkaitan dengan pekerjaan).
 Tanda : Letupan suasana hati, gelisah, penyempitan continue perhatian,
tangisan meledak, otot muka tegang, pernafasan menghela, peningkatan pola
bicara.
d. Eliminasi
 Gejala : Gangguan ginjal saat ini atau (seperti obstruksi atau riwayat penyakit
ginjal pada masa yang lalu).
e. Makanan/cairan
 Gejala : Makanan yang disukai yang mencakup makanan tinggi garam, lemak
serta kolesterol, mual, muntah dan perubahan BB akhir akhir ini
(meningkat/turun) Riwayat penggunaan diuretik
 Tanda : Berat badan normal atau obesitas, adanya edema, glikosuria.
f. Neurosensori
 Genjala : Keluhan pening/pusing, sakit kepala, subojksipital (terjadi saat bangun
dan menghilangkan secara spontan setelah beberapa jam) Gangguan
penglihatan (diplobia, penglihatan kabur, epistakis).
 Tanda : Status mental, perubahan keterjagaan, orientasi, pola/isi bicara, efek,
proses pikir, penurunan keuatan genggaman tangan.
g. Nyeri/ ketidaknyaman
 Gejala : Angina (penyakit arteri koroner/keterlibatan jantung), sakit kepala.
 h. Pernafasan
 Gejala : Dispnea yang berkaitan dari aktivitas/kerja takipnea, ortopnea, dispnea,
batuk dengan/tanpa pembentukan sputum, riwayat merokok.
 Tanda : Distress pernafasan/penggunaan otot aksesori pernafasan bunyi nafas
tambahan (krakties/mengi), sianosis.
i. Keamanan
 Gejala : Gangguan koordinasi/cara berjalan, hipotensi postural
2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan
peningkatanAfterloadvasokontriksi.
b. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan umum.
c. Nyeri akut, sakit kepala berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler cerebral.
d. Perubahan Nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kebutuhan metabolik pola hidup menotong.
e. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan krisis situasional.
f. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, rencanapengobatan berhubungan dengan
kurang pengetahuan atau daya ingat.

3. Intervensi Keperawatan
a. Curah jantung atau penurunan resiko tinggi terhadap
peningkatan Afterloadvasokontriksi

Tujuan :
Penurunan curah jantung tidak terjadi
Kriteria hasil
Klien dapat beristirahat dengan tenang
Irama dan frekuensi jantung stabil dalam batas normal (80- 100 x / menit
dan reguler)
Tekanan darah dalam batas normal (TD <140/90 mmHg, N = 80 -100x/menit,
R = 16 22 x/i, S = 36 -37o
Intervensi
 Observasi tanda-tanda vital tiap hari, terutama tekanan
darah.Rasional : perbandingan dari tekanan yang meningkat adalah
gambaran dari keterlibatan vaskuler.
 Observasi warna kulit, kelembapan dan suhu, hal-hal tersebut
mengidentifikasikan adanya dekompensasi/penurunan curah jantung.
 Catat adanya edema umum/ tertentu, dapat mengidentifikasikan gagal
jantung, kerusakan ginjal dan vaskuler.
 Beri posisi yang nyaman ; meninggikan kepala tempat tidur, penurunan
resiko peningkatan intrakranial.
 Anjurkan teknik relaksasi ;tarik napas dalam, memberikan kenyamanan
dan memaksimalkan ekspansi paru
 Kolaborasi Pemberian diuretik Vasodilator , Pembatasan cairan dan diet
Na,mengurangi beban jantung.

b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum


Tujuan
 Aktivitas klien tidak terganggu dengan kriteria hasil Peningkatan dalam toleransi
aktivitas, Tanda vital dalam batas normal
Intervensi :
 Kaji respon klien terhadap aktivitas, Rasional : menentukan pilihan intervensi
selanjutnya
 Observasi tanda-tanda vital. Rasional : mengetahui parameter membantu dan
mengkaji respon fisiologi terhadap aktivitas
 Observasi adanya nyeri dada, pusing keletihan dan pingsan. Rasional : bila
terjadi indikator, keletihan kerja yang berkaitan dengan tingkat aktivitas
 Ajarkan cara penghematan energi. Rasional : membantu keseimbangan antara
suplai dan kebutuhan O2
 Berikan dorongan untuk melakukan aktivitas. Rasional : kemajuan aktivitas
terhadap mencegah meningkatnya kerja jantung tiba-tiba.

c. Gangguan rasa nyaman : sakit kepala berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler
serebral

Tujuan
Klien merasa nyaman

Kriteria Hasil
 Sakit kepala hilang
 Pusing/pening hilang

Intervensi :
 Mempertahankan tirah baring selama fase akut. Rasional : meminimalkan
stimulasi/meningkatkan reabsorpsi
 Berikan kompres dingin, ajarkan teknik relaksasi. Rasional : tindakan yang
menurunkan tekanan vaskuler serebral dan memblok respon simpatis efektif
dan menghilangkan sakit kepala.
 Beri penjelasan cara untuk meminimalkan aktivitas vasokontrisi. Rasional:
aktivitas yang meningkatkan vasokontriksi menyebabkan sakit kepala.
 Bantu pasien dalam ambulansi sesuai kebutuhan. Rasional : pening/pusing selalu
berkaitan dengan sakit kepala
 Kolaborasi dalam pemberian analgesikom dan penenang

d. Perubahan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan masukan berlebihan
sehubungan dengan kebutuhan metabolik

Tujuan
 Perubahan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh teratasi kriteria hasil
 BB ideal sesuai dengan tinggi dan berat badan
Intervensi :
 Kaji pemahaman pasien tentang hubungan antara kegemukan dan hipertensi.
Rasional : kegemuakn adalah resiko tambahan pada tekanan darah tinggi
 Kaji masukan kalori harian dan pilihan diet. Rasional : menetukan pilihan
intervensi lebih banyak
 Bicarakan/diskusikan pentingnya menurunkan masukan kalori dan batasi
masukan garam lemak dan gula sesuai indikasi. Rasional : makanan seperti tinggi
garam, lemak dan gula menunjang terjadinya aterosklerosis dan kegemukan
yang menyebabkan predisposisi hipertensi
 Timbang berat badan tiap hari. Rasional : mengenai pemasukan hidrasi klien
dengan adanyapeningkatan/penurunan Hipertensi
 Rujuk ke ahli gizi sesuai indikasi.. Rasional : memberikan konseling dan bantuan
dengan memenuhi diit individu

e. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan krisis situasional

Tujuan
 Mengidentifikasi perilaku koping efektif dan konsekuensinya
 Menyatakan kesadaran kemampuan koping/kekuatan pribadi
 Mengidentifikasi potensial situasi stres dan mengambil langka untuk
menghindari atau mengubahnya
 Mendemonstrasikan penggunaan keterampilan/metode koping efektif.
Intervensi :
 Kaji keefektifan srategi koping dengan mengobservasi perilaku misalnya
kemampuan menyatakan perasaan dan perhatian, keinginan berpartisipasi
dalam rencana pengobatan. Rasional : mekanisme adaptif perlu untuk
mengubah pola hidup seseorang, mengatasi hipertensi kronik,dan
mengitegrasikan terapi yang diharuskan ke dalam kehidupan sehari-hari
 Catat laporan gangguan tidur, peningkatan keletihan, kerusakan konsentrasi,
peka rangsang,penurunan toleransi sakit kepala, ketidak mampuan untuk
mengatasi/ menyelesaikan masalah. Rasional : manifestasi mekanisme koping
maladaktif mungkin merupakan indikator marah yang ditekan dan diketahui
telah menjadi penentu utama tekanan darah diastolik.
 Bantu pasien untuk mengidentifikasi stressor spesifik dan ke mungkinan strategi
untuk mengatasinya. Rasional : pengenalan terhadap stresor adalah langkah
pertama dalam mengubah respon seseorang terhadap stresor.
 Libatkan pasien dalam perencanaan perawatan dan beri dorongan partisipasi
maksimum dalam rencana pengobatan. Rasional : keterlibatan memberikan
pasien perasaan kontrol diri yang berkelanjutan, memperbaiki keterampilan
koping dan dapat meningkatkan kerja sama dalam regimen terapeutik.

f. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, rencanapengobatan berhubungan dengan kurang


pengetahuan atau daya ingat

Intervensi
 Tetapkan dan nyatakan batas tekanan darah normal. Jelaskan tentang hipertensi
dan efeknya pada jantung, pembuluh darah ginjal dan otak. Rasional:
memberikan dasar untuk pemahaman tentang peningkatan tekanan darah dan
mengklarifikasikan istilah medis yang sering di gunakan. Pemahaman bahwa
tekanan darah tinggi dapat terjadi tanpa gejalah ini adalah untuk memungkinkan
pasien untuk melanjutkan pengobatan meskipun ketika merasa sehat
 Hindari mengatakan tekanan darah normal dan gunakan istilah terkontrol
dengan baik saat menggambarkan tekanan darah pasien dalam batas yang di
inginkan. Rasional : karena pengobatan untuk hipertensi adalah sepanjang
kehidupan, maka dengan penyampaian ide terkontrol akan membantu pasien
untuk memahami kebutuhan untuk melanjutkan pengobatan / medikasi.
 Bantu pasien untuk mengidentifikasi faktor-faktor resiko kardiovaskuler yang
dapat di ubah misalnya obesitas, diet tinggi lemak jenuh, kolesterol, pola hidup
monoton, merokok dan minum alkohol. Rasional : faktor-faktor resiko ini telah
menunjukkan hubungan dalam menunjang hipertensi dan penyakit
kardiovaskulert serta ginjal
 Bahas pentingnya menghentikan merokok dan bantu pasien membuatkan
rencana dalam menghentikan merokok. Rasional : nikotin dapat meningkatkan
katekolamin, mengakibatkan peningkatan frekuensi jantung jantung, TD, dan
vasokontriksi, mengurangi oksigenasi jaringan dan meningkatkan beban kerja
miokardium.
 Sarankan pasien untuk sering mengubah posisi,olah raga kaki saat berbaring.
Rasional : menurunkan bendungan vena perifer yang dapat di timbulkan oleh
vasodilator dan duduk/berdiriterlalu lama.
ASKEP KERACUNAN MAKANAN
DAN CONTOH KASUS

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Intoksikasi atau keracunan adalah masuknya zat atau senyawa kimia dalam tubuh manusia
yang menimbulkan efek merugikan pada yang menggunakannya. Keracunan makanan bila
seseorang mengalami gangguan kesehatan setelah mengkonsumsi makanan yang
terkontaminasi kuman atau racun yang dihasilkan oleh kuman penyakit. Kuman yang paling
sering mengkontaminasi makanan adalah bakteri. Kuman ini dapat masuk ke dalam tubuh
kita melalui makanan dengan perantaraan orang yang mengolah makanan atau memang
berasal dari makanan itu sendiri akibat pengolahan yang kurang baik.
Racun adalah zat / bahan yang apabila masuk ke dalam tubuh melalui mulut, hidung /
inhalasi, suntikan dan absorbsi melalui kulit atau di gunakan terhadap organisme hidup
dengan dosis relatif kecil akan merusak kehidupan / menggangu dengan serius fungsi satu /
lebih organ atau jaringan.
Karena adanya bahan- bahan yang berbahaya, menteri kesehatan telah menetapkan
peraturan no 435 / MEN. KES / X1 / 1983 tanggal 16 November 1983 tentang bahan – bahan
berbahaya. Karena tingkat bahayanya yang meliputi besar dan luas jangkauan, kecepatan
penjalaran dan sulitnya dalam penanganan dan pengamanannya, bahan – bahan berbahaya
atau yang dapat membahayakan kesehatan manusia secara langsung atau tidak langsung.
Keracunan merupakan masuknya zat atau senyawa kimia dalam tubuh manusia yang
menimbulkan efek merugikan pada yang menggunakannya. Ada beberapa hal yang dapat
menyebabkan keracunan antara lain makanan.Makanan merupakan kebutuhan pokok
manusia karena di dalamnya mengandung nutrisi yang di perlukan antara lain untuk :
1. Pertumbuhan Badan
2. Memelihara dan memperbaiki jaringan tubuh yang telah tua dan rusak
3. Di perlukan untuk proses yang terjadi di dalam tubuh
4. Di perlukan untuk berkembang biak
5. Menghasilkan energi untuk dapat melakukan aktivitas

Tetapi makanan juga dapat menyebabkan keracunan di karenakan makanan tersebut


mengandung toksin, makanan dari tumbuhan dan hewan yang mengandung racun ,
makanan yang tercemar bahan kimia berbahaya, selain juga infeksi karena makanan yang
mengandung mikroorganisme pathogen ( FOOD INFECTION )

B. Rumusan masalah
Dari latar belakang diatas, dapat kami berikan perumusan masalah dalam makalah ini yakni
sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep penyakit keracunan itu?
2. Dan bagaimana asuhan keperawatan pada pasien keracunan menurut teoritis?
C. Tujuan

1. Tujuan Umum.
Setelah di lakukan pembelajaran dan seminar di harapkan mahasiswa faham
tentang Asuhan Keperawatan Keracunan
2. Tujuan Husus
a. Mengetahui dan memahami macam – macam zat racun yang biasa terdapat di
masyarakat
b. Terampil dalam menangani kasus – kasus keracunan akut maupun kronik
c. Mampu memutuskan apa yang harus di lakukan pada penderita keracunan akut
d. Dapat membicarakan dan membuat saran – saran tentang cara – cara untuk
mencegah keracunan umum beserta sarana yang di perlukan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi keracunan makanan

Racun adalah zat atau bahan yang bila masuk kedalam tubuh melalui mulut, hidung
(inhalasi), serta suntikan dan absorbsi melalui ,kulit, atau di gunakan terhadap organisme
hidup dengan dosis relatif kecil akan merusak kehidupan dan mengganggu dengan serius
fungsi satu atau lebih organ atau jaringan ( Sartono 2001 : 1 )
Intokkasi atau kercunan merupakan masuknya zat atau senyawa kimia dalam tubuh manusia
yang menimbulkan efek merugikan pada yang menggunakannya.
Keracuanan Makanan adalah penyakit yang tiba – tiba dan mengejutkan yang dapat terjadi
setelah menelan makanan / minuman yang terkontaminasi. (KMB Brunner & Suddarth Vol.3)

2.2 Anatomi fisiologi sistem pencernaan

Sistem pencernaan atau sistem gastroinstestinal (mulai dari mulut sampai anus) adalah
sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima makanan, mencernanya
menjadi zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran darah serta membuang
bagian makanan yang tidak dapat dicerna atau merupakan sisa proses tersebut dari tubuh.
Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring), kerongkongan, lambung, usus
halus, usus besar, rektum dan anus. Sistem pencernaan juga meliputi organ-organ yang
terletak diluar saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati dan kandung empedu.
a. Mulut
Merupakan suatu rongga terbuka tempat masuknya makanan dan air. Mulut
biasanya terletak di kepala dan umumnya merupakan bagian awal dari sistem
pencernaan lengkap yang berakhir di anus.
Makanan dipotong-potong oleh gigi depan (incisivus) dan di kunyah oleh gigi
belakang (molar, geraham), menjadi bagian-bagian kecil yang lebih mudah dicerna.
Ludah dari kelenjar ludah akan membungkus bagian-bagian dari makanan tersebut
dengan enzim-enzim pencernaan dan mulai mencernanya. Ludah juga mengandung
antibodi dan enzim (misalnya lisozim), yang memecah protein dan menyerang
bakteri secara langsung. Proses menelan dimulai secara sadar dan berlanjut secara
otomatis.

b. Tenggorokan ( Faring)
Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan. Berasal dari
bahasa yunani yaitu Pharynk. Skema melintang mulut, hidung, faring, dan laring

c. Laring
Didalam lengkung faring terdapat tonsil ( amandel ) yaitu kelenjar limfe yang banyak
mengandung kelenjar limfosit dan merupakan pertahanan terhadap infeksi, disini
terletak bersimpangan antara jalan nafas dan jalan makanan, letaknya dibelakang
rongga mulut dan rongga hidung, didepan ruas tulang belakang

d. Kerongkongan (Esofagus)
Kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata yang dilalui sewaktu
makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung. Makanan berjalan melalui
kerongkongan dengan menggunakan proses peristaltik. Sering juga disebut
esofagus(dari bahasa Yunani: oeso – “membawa”, dan phagus – “memakan”)
Esofagus bertemu dengan faring pada ruas ke-6 tulang belakang. Menurut histologi.
Esofagus dibagi menjadi tiga bagian:
 bagian superior (sebagian besar adalah otot rangka)
 bagian tengah (campuran otot rangka dan otot halus)
 serta bagian inferior (terutama terdiri dari otot halus).

e. Lambung
Merupakan organ otot berongga yang besar dan berbentuk seperti kandang
keledai. Terdiri dari 3 bagian yaitu:
 Kardia
 Fundus
 Antrum.
Lambung berfungsi sebagai gudang makanan, yang berkontraksi secara ritmik untuk
mencampur makanan dengan enzim-enzim. Sel-sel yang melapisi lambung
menghasilkan 3 zat penting :
 Lendir
Lendir melindungi sel-sel lambung dari kerusakan oleh asam lambung. Setiap
kelainan pada lapisan lendir ini, bisa menyebabkan kerusakan yang mengarah
kepada terbentuknya tukak lambung.
 Asam klorida (HCl)
Asam klorida menciptakan suasana yang sangat asam, yang diperlukan oleh
pepsin guna memecah protein. Keasaman lambung yang tinggi juga berperan
sebagai penghalang terhadap infeksi dengan cara membunuh berbagai
bakteri.
 Prekursor pepsin (enzim yang memecahkan protein)

f. Usus halus (usus kecil)


Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak di antara
lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang mengangkut zat-
zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus melepaskan lendir (yang
melumasi isi usus) dan air (yang membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang
dicerna). Dinding usus juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang mencerna protein,
gula dan lemak.
Lapisan usus halus ; lapisan mukosa ( sebelah dalam ), lapisan otot melingkar ( M sirkuler
), lapisan otot memanjang ( M Longitidinal ) dan lapisan serosa ( Sebelah Luar )
Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari (duodenum), usus kosong
(jejunum), dan usus penyerapan (ileum).

g. Usus Besar (Kolon)


Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntu dan rektum.
Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses. Usus besar terdiri dari :
 Kolon asendens (kanan)
 Kolon transversum
 Kolon desendens (kiri)
 Kolon sigmoid (berhubungan dengan rektum)
Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi mencerna beberapa
bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi.
Bakteri di dalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti vitamin K.
Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari usus. Beberapa penyakit serta antibiotik bisa
menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri didalam usus besar. Akibatnya terjadi iritasi
yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah diare.

h. Usus Buntu (sekum)


Usus buntu atau sekum (Bahasa Latin: caecus, “buta”) dalam istilah anatomi adalah suatu
kantung yang terhubung pada usus penyerapan serta bagian kolon menanjak dari usus
besar. Organ ini ditemukan pada mamalia, burung, dan beberapa jenis reptil. Sebagian
besar herbivora memiliki sekum yang besar, sedangkan karnivora eksklusif memiliki
sekum yang kecil, yang sebagian atau seluruhnya digantikan oleh umbai cacing.

i. Umbai Cacing (Appendix)


Umbai cacing atau apendiks adalah organ tambahan pada usus buntu. Infeksi pada organ
ini disebut apendisitis atau radang umbai cacing. Apendisitis yang parah dapat
menyebabkan apendiks pecah dan membentuk nanah di dalam rongga abdomen atau
peritonitis (infeksi rongga abdomen).
Umbai cacing terbentuk dari caecum pada tahap embrio. Dalam orang dewasa, Umbai
cacing berukuran sekitar 10 cm tetapi bisa bervariasi dari 2 sampai 20 cm. Walaupun
lokasi apendiks selalu tetap, lokasi ujung umbai cacing bisa berbeda – bisa di retrocaecal
atau di pinggang (pelvis) yang jelas tetap terletak di peritoneum.
j. Rektum dan anus
Rektum adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon
sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan
sementara feses.
Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan limbah keluar dari
tubuh. Sebagian anus terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lannya dari
usus. Pembukaan dan penutupan anus diatur oleh otot sphinkter. Feses dibuang dari
tubuh melalui proses defekasi (buang air besar – BAB), yang merupakan fungsi utama
anus.

k. Pankreas
Pankreas adalah organ pada sistem pencernaan yang memiliki dua fungsi utama yaitu
menghasilkan enzim pencernaan serta beberapa hormon penting seperti insulin.
Pankreas terletak pada bagian posterior perut dan berhubungan erat dengan duodenum
(usus dua belas jari).

l. Hati
Hati merupakan sebuah organ yang terbesar di dalam badan manusia dan memiliki
berbagai fungsi, beberapa diantaranya berhubungan dengan pencernaan.
Organ ini memainkan peran penting dalam metabolisme dan memiliki beberapa fungsi
dalam tubuh termasuk penyimpanan glikogen, sintesis protein plasma, dan penetralan
obat. Dia juga memproduksi bile, yang penting dalam pencernaan.

m. Kandung empedu
Kandung empedu (Bahasa Inggris: gallbladder) adalah organ berbentuk buah pir yang
dapat menyimpan sekitar 50 ml empedu yang dibutuhkan tubuh untuk proses
pencernaan. Pada manusia, panjang kandung empedu adalah sekitar 7-10 cm dan
berwarna hijau gelap – bukan karena warna jaringannya, melainkan karena warna cairan
empedu yang dikandungnya. Organ ini terhubungkan dengan hati dan usus dua belas jari
melalui saluran empedu. Empedu memiliki 2 fungsi penting yaitu:
 Membantu pencernaan dan penyerapan lemak
 Berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama haemoglobin
(Hb) yang berasal dari penghancuran sel darah merah dan kelebihan kolesterol.

2.3 Etiologi
Penyebab keracunan ada beberapa macam dan akibatnya bisa mulai yang ringan sampai
yang berat. Secara umum yang banyak terjadi di sebabkan oleh :
1. Mikroba
Mikroba yang menyebabkan keracunan di antaranya :
a. Escherichia coli patogen
b. Staphilococus aureus
c. Salmonella
d. Bacillus Parahemolyticus
e. Clostridium Botulisme
f. Streptokkkus

2. Bahan Kimia
a. Peptisida golongan organofosfat
b. Organo Sulfat dan karbonat

3. Toksin
a. Jamur
b. Keracunan Singkong
c. Tempe Bongkrek
d. Bayam beracun
e. Kerang

2.4 Patofisiologi
Keracuanan dapat di sebabkan oleh beberapa hal di antaranya yaitu faktor bahan kimia,
mikroba, toksin dll. Dari penyebab tersebut dapat mempengaruhi vaskuler sistemik shingga
terjadi penurunan fungsi organ – organ dalam tubuh. Biasanya akibat dari keracunan
menimbulkan mual, muntah, diare, perut kembung,gangguan pernafasan, gangguan sirkulasi
darah dan kerusakan hati ( sebagai akibat keracunan obat da bahan kimia ). Terjadi mual,
muntah di karenakan iritasi pada lambung sehingga HCL dalam lambung meningkat .
Makanan yang mengandung bahan kimia beracun (IFO) dapat menghambat ( inktivasi )
enzim asrtikolinesterase tubuh (KhE). Dalam keadaan normal enzim KhE bekerja untuk
menghidrolisis arakhnoid (AKH) dengan jalan mengikat Akh – KhE yang bersifat inakttif. Bila
konsentrasi racun lebih tingggi dengan ikatan IFO-KhE lebih banyak terjadi. Akibatnya akan
terjadi penumpukan Akh di tempat – tempat tertentu, sehingga timbul gejala – gejala
rangsangan Akh yang berlebihan, yang akan menimbulkan efek muscarinik, nikotinik, dan
ssp ( menimbulakan stimulasi kemudian depresi SSP )
mual muntah
devisit volume cairan

perubahan perfusi jaringan

kekurangan O2 (Hipoksia)
G3 organ2 tubuh
HCL meningkat
Iritasi pada Lambung
pola napas tidak efektif
penurunan kesadaran & depresi cardiovaskuler

Distress pernapasan
Depresi SSP (sistem saraf pusat)

Racun masuk kedalam darah, paru, hati & ginjal

Faktor Penyebab (bahan kimia/kuman)

patoflow

enzim asrtikolinesterase tubuh


Terlambat anoreksia

penurunan kesadara Perubahan nutrisi kurang dari keb.


Tubuh n & depresi cardiovaskuler

Obstruksi trakheobronkeal
2.5 Manifestasi
1. Gejala yang paling menonjol meliputi
a. Kelainan Visus
b. Hiperaktivitas kelenjar ludah dan keringat
c. Gangguan Saluran pencernaan
d. Kesukaran bernafas
2. Keracunan ringan
a. Anoreksia
b. Nyeri kepala
c. Rasa lemah
d. Rasa takut
e. Tremor pada lidah dan kelopak mata
f. Pupil miosis
3. Keracunan sedang
a. Nausea
b. Muntah – muntah
c. Kejang dan kram perut
d. Hipersalifa
e. Hiperhidrosis
f. Fasikulasi otot
g. Bradikardi
4. Keracunan berat
a. Diare
b. Reaksi cahaya negatif
c. Sesak nafas
d. Sianosis
e. Edema paru
f. Inkontinensia urine dan feses
g. Kovulsi
h. Koma
i. Blokade jantung akhirnya meninggal

2.6 Komplikasi
1. Kejang
2. Koma
3. Henti jantung
4. Henti napas (Apneu)
5. Syok

2.7 Pemeriksaan penunjang


1. BGA
2. Laboratorium
Penurunan kadar Khe dengan sel darah merah dalam plasma, penting untuk memastikan diagnosis
keracuna IFO akut / kronik .Keracunan Akut : Ringan 40 – 70 %
Sedang 20 – 40 %
Berat <>
Keracunan kronik : Apabila kadar KhE menurun sampai 25–50%.
3. Pathologi Anatomi
Pada keracunan akut, hasil pemeriksaan pathologi biasanya tidak khas. Sering hanya di temukan
edema paru, dilatasi kapiler, hiperemi paru, otak dan organ – organ lainnya.

2.8 Penatalaksanaan
1. Tindakan Emergensi
Airway : Bebaskan jalan nafas, kalau perlu di lakukan inkubasi
Breathing : Berikan nafas buatan, bila penderita tidak bernafas spontan atau pernafasan tidak
adekuat
Circulasi : Pasang infus bila keaadaan penderita gawat darurat dan perbaiki perfusi jaringan.
2. Resusitasi
Setelah jalan nafas di bebaskan dan di bersihkan, periksa pernafasan dan nadi. Infus dextrose 5%
kec.15 – 20, nafas buatan, O2, hisap lendir dalam saluran pernafasan, hindari obat – obatan
depresan saluran nafas, kalau perlu respirator pada kegagalan nafas berat. Hindari pernafasan
buatan dari mulut ke mulut, sebab racun orga fhosfat akan meracuni lewat mulut penolong.
Pernafasan buatan hanya di lakukan dengan meniup face masuk atau menggunakan alat bag – valve
– mask.
3. Identifikasi penyebab
Bila mungkin lakukan identifikasi penyebab keracunan, tapi hendaknya usaha mencari penyebab
keracunan tidak sampai menunda usaha – usaha penyelamatan penderita yang harus segera di
lakukan.
4. Mengurangi absorbsi
Upaya mengurangi absorbsi racun dari saluran cerna di lakukan dengan merangsang muntah,
menguras lambung, mengabsorbsi racun dengan karbon aktif dan membersihkan usus
5. Meningkatkan eliminasi
Meningkatkan eliminasi racun dapat di lakukan dengan diuresis basa atau asam, dosis multipel
karbon aktif, dialisis dan hemoperfus

2.9 Pemeriksaan diagnostik


1. Pemeriksaan laboratorium
Laboratorium rutin (darh, urin, feses, lengkap)tidak banyak membantu.
2. Pemeriksaan darah lengkap, kreatinin serum ( N: 0,5-1,5 mg/dl), elektrolit serum (termasuk
kalsium (N: 9-11 mg/dl)).
3. Foto thorax kalau ada kecurigaan udema paru.
4. Pemeriksaan EKG
Pemeriksaan ini juga perlu dilakukan pada kasus keracunan karena sering diikuti terjadinya gangguan
irama jantung yang berupa sinus takikardi, sinus bradikardi, takikardi supraventrikuler, takikardi
ventrikuler, fibrilasi ventrikuler, asistol, disosiasi elektromekanik. Beberapa faktor predosposisi
timbulnya aritmia pada keracunan adalah keracunan obat kardiotoksik, hipoksia, nyeri dan ansietas,
hiperkarbia, gangguan elektrolit darah, hipovolemia, dan penyakit dasar jantung iskemik.
2.10 Pencegahan
1. Masak masakan sampai benar – benar matang karena racun akan tidak aktif dengan
pemanasan makanan pada suhu di atas 45 C selama 1 menit, pada suhu 80 C selama 5 menit, selain
itu spora juga tidak aktif dengan pemanasan 120 C
2. Letakkan bahan – bahan kimia berbahaya di tempat yang aman dan jauh dari jangakauan anak
– anak
3. Tandailah sejelas jelasnya tiap atau kaleng yang berisi bahan berbahaya
4. Hindari pemakaian botol / kaleng bekas
5. Kuncilah kotak penyimpanan racun dan obat – obatan
6. Perhatikan petunjuk tanggal / masa kadaluarsa

2.11 ASUHAN KEPERAWATAN


A. PENGKAJIAN
1. Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum
Kesadaran menurun
b) Pernafasan
Nafas tidak teratur
c) Kardiovaskuler
Hipertensi, nadi aritmia.
d) Persarafan
Kejang, miosis, vasikulasi, penurunan kesadaran, kelemahan, paralise
e) Gastrointestinal
Muntah, diare
f) Integumen
Berkeringat
g) Muskuloskeletal
Kelelahan, kelemahan
h) Integritas Ego
Gelisah, pucat
i) Eliminasi
Diare
j) elaput lendir
Hipersaliva
k) Sensori
Mata mengecil/membesar, pupil miosis

B. DIAGNOSA
1. Pola nafas infektif b.d obstruksi trakheobronkeal
2. Defisit volume cairan b.d muntah, diare
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia
4. Gangguan perfusi jaringan b.d kekurangan O2

C. INTERVENSI
1. Devisit volume cairan b.d muntah, diare
Tujuan : menunjukkan pola nafas efektif dengan frekuensi dan kedalaman dalam rentang
normal dan paru bersih
Kriteria hasil : suara nafas normal
Intervensi Rasional
 Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan dan  untuk mengetahui pola nafas, dan keadaan
ekspansi dada dada saat bernafas
 Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi untuk memberikan kenyamanan dan
memberikan posisi yang baik untuk
melancarkan respirasi
 Dorong atau bantu klien dalam mengambil  untuk membantu melancarkan pernafasan
nafas dalam klien

2. Defisit volume cairan b.d muntah, diare


Tujuan : mempertahankan volume cairan adekuat
Intervensi Rasional
 Awasi intake dan output, karakter serta  untuk mengetahui pemasukan dan
jumlah feses pengeluaran kebutuhan cairan klien
 untuk mengetahui apakah klien kekurangan
 Observasi kulit kering berlebihan dan cairan dengan mengamati sistem
membran mukosa, penurunan turgor kulit integuman.
 Kolaborasi pemberian cairan paranteral  untuk membantu menormalkan kembali
sesuai indikasi cairan tubuh klien

3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anorexia


Tujuan : nutrisi adekuat
Intervensi Rasional
 Catat adanya muntah  untuk mengetahui frekuensi cairan yang
keluar pada saat klien muntah
 untuk membantu klien agar tidak kekurangan
 Berikan makanan dengan porsi sedikit tapi nutrisi
sering  untuk membantu klien agar dapat mencerna
 Berikan makanan halus, hindari makanan makanan dengan lancar serta tidak lagi
kasar sesuai indikasi mengalami mual, muntah
 untuk mengurangi nyeri pada abdomen

 Kolaborasi pemberian antisida sesuai indikasi

4. Gangguan perfusi jaringan b.d kekuranagn O2


Tujuan : terjadi peningkatan perfusi jaringan
Intervensi Rasional
 Observasi warna & suhu kulit atau membran
 untuk mengetahui apakah klien mempunyai
mukosa alergi kulit
 Evaluasi ekstremitas ada atau tidaknya  untuk mengetahui apakah klien mengalami
kualitas nadi takikardi/bradikardi dan kekuatan pada
ekstremitas
 Kolaborasi pemberian cairan (IV/peroral) untuk menetralkan intake kedalam tubuh
sesuai indikasi

ASUHAN KEPERAWATAN
PADA Tn. A DENGAN KERACUNAN MAKANAN

Kasus :
Tuan A di bawa kepuskesmas kertapati oleh istrinya setelah makan tempe . istri klien mengatakan
bahwa klien muntah 4 jam yang lalu setelah makan tempe bongkrek.kondisi klien mengalami
penurunan kesadaran somnolen, muntah, diare, dehidrasi dan pusing. Dari hasil pengkajian
sementara didapatkan Tekanan darah : 100/60 mmHg ,BB : 45 kg (BB semula 55 kg) Nadi : 67 x/
menit (70-80 x/menit), RR : 23 x/menit (N:16-20x/menit) Suhu : 360C (36,5-37,5 0C) istri klien
mengatakan bahwa klien tidak memiliki riwayat elergi sebelumnya.

A. PENGKAJIAN
1. Identitas klien
Nama klien : Tn. A
Usia : 26 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Tanggal masuk : 14 febuari 2014
No. Register : 0903055
Diagnosa medik : Keracunan Makanan
2. Keluhan utama
Klien mengalami penurunan kesadaran yaitu somnolen, muntah setelah makan tempe, pusing.
3. Airway
Terdapat sumbatan pada jalan nafas oleh sputum/lendir. RR : 23 x/ menit, cepat dan dangkal
4. Breathing
Pasien tidak mengalami gangguan pernafasan, Irama pernafasan : cepat, Kedalaman : dangkal. RR :
23 x/ menit.
5. Circulation
Tekanan Darah pasien : 100/60 mmHg (kuat dan regular), Nadi : 67 x/menit, capillary refill : <2
dtk="" sianosis="" span="" terdapat="" tidak="">, EKG menunjukkan sinus bradikardia.
6. Disability
Reaksi pupil kiri/kanan (+) terhadap cahaya, besar pupil kanan 2/kiri 2
7. Tingkat kesadaran somnolen.
Pengkajian dilakukan alloanamnesa dengan keluarga klien
8. Riwayat Kesehatan Sekarang
Ibu klien mengatakan bahwa klien muntah 4 jam yang lalu setelah makan tempe bongkrek.
9. Riwayat Kesehatan Dahulu
Ibu klien mengatakan klien belum pernah dirawat dirumah sakit.
10. Riwayat Kesehatan Keluarga
Dalam keluarga klien tidak ada keluarga yang mempunyai keluhan yang sama dengan klien.
11. Anamnesa singkat
Ibu klien mengatakan bahwa klien tidak memiliki riwayat alergi.
12. Pemeriksaan head to toe
§ Kepala : mesosephal, klien berambut lurus dan panjang, dan tidakrontok.
§ Mata : besar pupil kanan kiri 2 dan reaksi pupil keduanya (+) terhadap cahaya kunjungtiva tidak
anemis, sklera tidak ikterik.
§ Telinga : bersih tidak terdapat serumen dan tidak mengalami gangguan pendengaran
§ Hidung : Bentuk hidungnya simetris, tidak terdapat polip pada hidung.
§ Wajah : wajah klien tampak simetris.
§ Mulut : tampak hipersekrasi kelenjar ludah, mukosa mulut basah, bibir basah.
§ Leher : Tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid
§ Dada : Simetris, tidak ada kelainan bentuk, RR 23 x/menit, cepat dan dangkal, HR 55x/menit, suara
jantung s1 dan s2 tunggal.
§ Abdomen : tidak ada nyeri tekan pada abdomen, tidak asites, tidak ada luka memar, peristaltik
usus 8x/mnit, perkusi hipertimpani.
13. Pemeriksaan tanda-tanda vital:
§ Tekanan darah : 100/60 mmHg
§ BB : 45 kg (BB semula 55 kg)
§ Nadi : 67 x/ menit (70-80 x/menit)
§ RR : 23 x/menit (N:16-20x/menit)
§ Suhu : 360C (36,5-37,5 0C)

B. Diagnosa
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan nafas
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake tidak adekuat ( Anoreksia,
Mual dan Muntah )

C. Intervensi
TGL/ TUJUAN & KRITERIA INTERVENSI
JAM HASIL
14 Juni Setelah dilakukan tindakan1. Jaga kepatenan jalan nafas : buka jalan nafas, suction, fisioterapi
2013 keperawatan 1 x 24 dada sesuai indikasi
jamdiharapkan bersihan jalan2. Identifikasi kebutuhan insersi jalan nafas buatan
nafas menjadi3. Monitor status respirasi : adanya suara nafas tambahan.
efektif dengan kriteria hasil: 4. Identifikasi sumber alergi : obat,makan an, dll, dan reaksi yang biasa
NOC 1 : Status Pernapasan : terjadi
Pertukaran Gas tidak akan5. Monitor respon alergi selama 24 jam
terganggu di buktikan dengan6. Ajarkan/ diskusikan dgn klien/keluraga untuk menghindari alergen
: 7. Ajarkan tehnik nafas dalam dan batuk efektif
Kesadaran composmentis,8. Pertahankan status hidrasi untuk menurunkan viskositas sekresi
TTV menjadi normal,
9. Kolaborasi dgn Tim medis : pemberian O2, obat bronkhodilator, obat
pernafasan menjadi normal anti allergi, terapi nebulizer, insersi jalan nafas, dan pemeriksaan
yaitu tidak mengalami nafas laboratorium: AGD
dangkal
14 Juni Setelah dilakukan tindakan Pengelolaan nutrisi
2013 keperawatan selama 1 x 24 1. Ketahui kesukaan makanan pasien
jam pemenuhan nutrisi dapat 2. Tentukan kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
adekuat/terpenuhi dengan3. Timbang berat badan pasien dalam interval yang tepat
kriteria hasil : 4. Pantau kandungan nutrisi dan kalori pada catatan asupan
Status Gizi Asupan 5. Tentukan motivasi pasien untuk mengubah kebiasaan makan
Makanan dan Bantuan menaikkan berat badan
Cairan ditandai pasien nafsu 1. Diskusikan dengan ahli gizi dalam menentukan kebutuhan protein
makan meningkat, mual dan 2. Diskusikan dengan dokter kebutuhan stimulasi nafsu makan,
muntah hilang, pasien tampak makanan pelengkap, pemberian makanan melalui slang.
segar 3. Rujuk ke dokter untuk menentukan penyebab perubahan nutrisi
Status 4. Rujuk ke program gizi di komunitas yang tepat, jika pasien tidak
Gizi; Nilai dapat membeli atau menyiapkan makanan yang adekuat
Gizi terpenuhidibuktikan
dengan BB meningkat, BB
tidak turun.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN ASMA

A. Konsep Dasar Medik

Definisi
Asma merupakan penyakit dengan karakteristik meningkatnya reaksi trakea dan bronkus
oleh berbagai macam pencetus disertai dengan timbulnya penyempitan luar saluran nafas
bagian bawah yang dapat berubah-ubah derajatnya secara spontan atau dengan
pengobatan (Buku Ilmu Kesehatan Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FKUI).

Asthma Bronchiale adalah penyakit yang mempunyai karakteristik dengan peningkatan


respon trakhea dan bronkus dengan berbagai macam stimulasi: psikologis, otonom, infeksi,
endokrin, kekebalan imun dan biokimia. (Nancy Holloway Medical, Surgical Nursing Care
Plan).

Anatomi Fisiologi

Sistem pernafasan terdiri dari suatu rangkaian saluran udara yang mengantarkan udara luas
agar bersentuhan dengan membran-membran kapiler alveoli paru. Saluran penghantar
udara hingga mencapai paru-paru adalah hidung, pharing, laring, bronkus dan bronkioulus
yang dilapisi oleh membran mukosa bersilia.

a. Hidung
Ketika udara masuk ke rongga hidung udara tersebut disaring, dihangatkan dan
dilembabkan. Partikel-partikel yang kasar disaring oleh rambut-rambut yang terdapat di
dalam hidung, sedangkan partikel halus akan dijerat dalam lapisan mukosa, gerakan silia
mendorong lapisan mukus ke posterior di dalam rongga hidung dan ke superior di dalam
saluran pernafasan bagian bawah.

b. Pharing
Merupakan tempat persimpangan antara jalan pernafasan dan jalan makanan. Terdapat di
bawah dasar tengkorak, di belakang rongga hidung dan mulut setelah depan ruas tulang
leher.
Hubungan pharing dengan rongga-rongga lain: ke atas berhubungan dengan rongga hidung
dengan perantaraan lubang yang bernama koana. Ke depan berhubungan dengan rongga
mulut. Tempat hubungan ini bernama istmus fausium lubang esophagus.
Di bawah selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga di beberapa tempat terdapat folikel
getah bening. Perkumpulan getah bening dinamakan adenoid. Di sebelahnya terdapat dua
buah tonsil kiri dan kanan dari tekak. Di sebelah belakang terdapat epiglotis (empang
tengkorak) yang berfungsi menutup laring pada waktu menelan makanan.

Rongga tekak dibagi menjadi 3 bagian:


 Bagian sebelah atas yang sama tingginya dengan koana disebut nasofaring.
 Bagian tengah yang sama tingginya dengan istmus fausium disebut orofaring.
 Bagian bawah skali dinamakan laringofaring.

c. Laring
Laring terdiri dari satu seri cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot-otot pita suara.
Laring dianggap berhubungan dengan fibrasi tetapi fungsinya sebagai organ pelindung jauh
lebih penting. Pada waktu menelan laring akan bergerak ke atas glotis menutup.
Alat ini berperan untuk membimbing makanan dan cairan masuk ke dalam esophagus
sehingga kalau ada benda asing masuk sampai di luar glotis maka laring mempunyai fungsi
batuk yang membantu benda dan sekret dari saluran inspirasi bagian bawah.

d. Trakea
Trakea disokong oleh cincin tulang yang fungsinya untuk mempertahankan oagar trakea
tatap terbuka. Trakea dilapisi oleh lendir yang terdiri atas epitelium bersilia, jurusan silia ini
bergerak jalan ke atas ke arah laring, maka dengan gerakan ini debu dan butir halus yang
turut masuk bersama dengan pernafasan dapat dikeluarkan.

e. Bronkus
Dari trakea udara masuk ke dalam bronkus. Bronkus memiliki percabangan yaitu bronkus
utama kiri dan kanan yang dikenal sebagai karina. Karina memiliki syaraf yang menyebabkan
bronkospasme dan batuk yang kuat jika dirangsang. Bronkus utama kiri dan kanan tidak
simetris, bronkus kanan lebih pendek dan lebih besar yang arahnya hampir vertikal,
sebalinya bronkus ini lebih panjang dan lebih sempit. Cabang utama bronkus bercabang lagi
menjadi bronkus lobaris dan kemudian segmentalis. Percabangan ini berjalan terus dan
menjadi bronkiolus terminalis yaitu saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveoli.

f. Bronkiolus
Saluran udara ke bawah sampai tingkat bronkiolus terminalis merupakan saluran penghantar
udara ke tempat pertukaran gas paru-paru setelah bronkiolus terdapat asinus yang
merupakan unit fungsional paru yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari bronkiolus
respiratorik, duktus alveolaris, sakus alveolaris terminalis, alveolus dipisahkan dari alveolus
di dekatnya oleh dinding septus atau septum.
Alveolus dilapisi oleh zat lipoprotein yang dinamakan surfaktan yang dapat mengurangi
tegangan pertukaran dalam mengurangi resistensi pengembangan pada waktu inspirasi dan
mencegah kolaps alveolus pada ekspirasi.

Peredaran Darah Paru-Paru

Paru-paru mendapat dua sumber suplai darah yaitu dari arteri bronkialis (berasal dari aorta
thorakhalis dan berjalan sepanjang dinding posterior bronkus) dan arteri pulmonalis.
Sirkulasi bronchial menyediakan darah teroksigenasi dari sirkulasi sitemik dan berfungsi
memenuhi kebutuhan metabolisme paru.
Vena bronkialis besar bermuara pada vena cava superior dan mengembalikan darah ke
atrium kanan. Vena bronkialis yang lebih kecil akan mengalirkan darah ke vena pulmonalis.
Arteri pulmonalis yang berasal dari ventrikel kanan jantung mengalirkan darah vena
campuran ke paru-paru. Di paru-paru terjadi pertukaran gas antara alveoli dan darah, darah
yang teroksigenasi dikembalikan ke ventrikel kiri jantung melalui vena pulmonalis, yang
selanjutnya membagikannya melalui sirkulasi sistemik ke seluruh tubuh.

Proses Pernafasan dipengaruhi oleh:


Ventilasi : pergerakan mekanik udara dari dan ke paru-paru
Perfusi : distribusi oksigen oleh darah ke seluruh pembuluh darah di paru-paru.
Difusi : pertukaran oksigen dan karbondioksida antara alveoli dan kapiler paru.
Transportasi : pengangkutan O2-CO2 yang berperan pada sistem cardiovaskuler.

Etiologi

 Faktor Ekstrinsik

Ditemukan pada sejumlah kecil pasien dewasa dan disebabkan oleh alergen yang
diketahui karena kepekaan individu, biasanya protein, dalam bentuk serbuk sari
yang hidup, bulu halus binatang, kain pembalut atau yang lebih jarang terhadap
makanan seperti susu atau coklat, polusi.

 Faktor Intrinsik

Faktor ini sering tidak ditemukan faktor-faktor pencetus yang jelas. Faktor-faktor
non spefisik seperti flu biasa, latihan fisik atau emosi dapat memicu serangan asma.
Asma instrinsik ini lebih biasanya karena faktor keturunan dan juga sering timbul
sesudah usia 40 tahun. Dengan serangan yang timbul sesudah infeksi sinus hidung
atau pada percabangan trakeobronchial.

Patofisiologi

Asma adalah obstruksi jalan nafas difus revesible yang disebabkan oleh satu atau lebih dari
faktor berikut ini.

1. Kontraksi otot-otot yang mengelilingi bronkhi yang menyempitkan jalan nafas.


2. Pembengkakan membran yang melapisi bronchi.
3. Pengisian bronchi dengan mukus yang kental.

Selain itu, otot-otot bronchial dan kelenjar membesar. Sputum yang kental, banyak
dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflamasi dengan udara terperangkap di dalam paru.
Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan
ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibodi menyebabkan
pelepasan produk sel-sel mast (mediator) seperti: histamin, bradikinin, dan prostaglandin
serta anafilaksis dari suptamin yang bereaksi lambat.
Pelepasan mediator ini mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan nafas menyebabkan
broncho spasme, pembengkakan membran mukosa dan pembentukan mukus yang sangat
banyak.
Sistem syaraf otonom mempengaruhi paru, tonus otot bronchial diatur oleh impuls syaraf
pagal melalui sistem para simpatis. Pada asthma idiopatik/non alergi, ketika ujung syaraf
pada jalan nafas dirangsang oleh faktor seperti: infeksi, latihan, udara dingin, merokok,
emosi dan polutan. Jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat.
Pelepasan astilkolin ini secara langsung menyebabkan bronchikonstriksi juga merangsang
pembentukan mediator kimiawi.
Pada serangan asma berat yang sudah disertai toxemia, tubuh akan mengadakan
hiperventilasi untuk mencukupi kebutuhan O2. Hiperventilasi ini akan menyebabkan
pengeluaran CO2 berlebihan dan selanjutnya mengakibatkan tekanan CO2 darah arteri (pa
CO2) menurun sehingga terjadi alkalosis respiratorik (pH darah meningkat). Bila serangan
asma lebih berat lagi, banyak alveolus tertutup oleh mukus sehingga tidak ikut sama sekali
dalam pertukaran gas. Sekarang ventilasi tidak mencukupi lagi, hipoksemia bertambah
berat, kerja otot-otot pernafasan bertambah berat dan produksi CO2 yang meningkat
disertai ventilasi alveolar yang menurun menyebabkan retensi CO2 dalam darah
(Hypercapnia) dan terjadi asidosis respiratori (pH menurun). Stadium ini kita kenal dengan
gagal nafas.
Hipotermi yang berlangsung lama akan menyebabkan asidosis metabolik dan konstruksi
jaringan pembuluh darah paru dan selanjutnya menyebabkan sunting peredaran darah ke
pembuluh darah yang lebih besar tanpa melalui unit-unit pertukaran gas yang baik. Sunting
ini juga mengakibatkan hipercapni sehingga akan memperburuk keadaan.

Tanda dan Gejala

Gejala asma yang klasik terdiri atas batuk, sesak dan mengie (wheezing) dan sebagian
penderita disertai nyeri dada). Gejala-gejala tersebut tidak selalu terdapat bersama-sama,
sehingga ada beberapa tingkat penderita asma sebagai berikut:

 Tingkat I penderita asma secara klinis normal. Gejala asma timbul bila ada faktor
pencetus.
 Tingkat II penderita asma tanpa keluhan dan tanpa kelainan pada pemeriksaan fisik
tetapi fungsi paru menunjukan tanda-tanda obstruksi jalan nafas.
 Tingkat III penderita asma tanpa golongan tetapi pada pemeriksaan fisik maupun fungsi
paru menunjukan obstruksi jalan nafas.
 Misal: Tingkat II dijumpai setelah sembuh dari serangan asma.
 Tingkat III penderita sembuh tetapi tidak menemukan pengobatannya.
 Tingkat IV penderita asma yang paling sering dijumpai mengeluh sesak nafas, batuk dan
nafas berbunyi.

Pada pemeriksaan fisik maupun spirometri akan ditemukan obstruksi jalan nafas. Pada
serangan asma yang berat gejala yang timbul antara lain:
a. Kompresi otot-otot bantu pernafasan terutama otot sterna.
b. Cyanosis
c. Silent chest
d. Gangguan kesadaran
e. Penderita tampak letih, hiperinflasi dada
f. Thacycardi

 Tingkat V status asmatikus yaitu serangan asma akut yang berat bersifat refrater
sementara terhadap pengobatan yang langsung dipakai.

Test Diagnostik

1. Tes kulit (tuberculin dan alergen): Tes kulit (+) reaksi lebih hebat, mengidentifikasi alergi
yang spesifik.
2. Rontgen: foto thorax menunjukan hiperinflasi dan pernafasan diafragma
3. Pemeriksaan sputum: Dapat jernih atau berbusa (alergi) Dapat kental dan putih (non
alergi) Dapat berserat (non alergi)
4. Pemeriksaan darah: * Eusinofilia (kenaikan badan eusinofil) * Peningkatan kadar IgE
pada asma alergi * AGD hipoxi (serangan akut)

Penatalaksanaan Medik

Ada lima kategori pengobatan yaitu:


1. Abenis (Beta). Medikasi awal untuk mendilatasi otot-otot polos bronchial, meningkatkan
gerakan siliarism, menurunkan mediator kimiawi anafilaktik dan menguatkan efek
bronkodilatasi dari kortikosteroid. Contoh: Epinenin, Abuterol, Meraproterenol
2. Methil Santik. Mempunyai efek bronkodilator, merileksasikan otot-otot polos bronkus,
meningkatkan gerakan mukus, dan meningkatkan kontraksi diafragma. Contoh:
Aminofilin, Theofilin
3. Anti Cholinergik. Diberikan melalui inhalasi bermanfaat terhadap asmatik yang bukan
kandidat untuk antibodi dan methil santin karena penyakit jantung. Contoh: Atrofin
4. Kortikosteroid. Diberikan secara IV, oral dan inhalasi. Mekanisme kerjanya untuk
mengurangi inflamasi dan bronkokonstriktor. Contoh: hidrokortison, prednison dan
deksametason
5. Inhibitor Sel Mast. Contoh: natrium bromosin adalah bagian integral dari pengobatan
asma yang berfungsi mencegah pelepasan mediator kimiawi anafilaktik.

Komplikasi

1. Pneumothorax
2. Pneumomediastinum dan emfisema subcutis
3. Atelektasis
4. Asper gilosis bronkopulmoner
5. Alergi
6. Gagal nafas
7. Bronchitus
8. Fraktur iga.

B. Konsep Dasar Keperawetan

Pengkajian

a. Pola persepsi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan


Klien mengeluh sesak nafas, batuk, lendir susah keluar
Mengeluh mudah lelah dan pusing
Data penggunaan obat
Klien mengenal/tidak mengenal penyebab serangan
b. Pola nutrisi metabolik
Mual, muntah, tidak nafsu makan
Menunjukan tanda dehidrasi, membran mukosa kering
Cyanosis, banyak keringat
c. Pola aktivitas dan latihan
Aktivitas terbatas karena adanya wheezing dan sesak nafas
Kebiasaan merokok
Batuk dan lendir yang sulit dikeluarkan
Menggunakan otot-otot tambahan saat inspirasi
d. Pola tidur dan istirahat
Keluhan kurang tidur
Lelah akibat serangan sesak nafas dan batuk
e. Pola persepsi dan konsep diri
Klien kemungkinan dapat mengungkapkan strategi mengatasi
serangan, tetapi tidak mampu mengatasi jika serangan datang.
f. Pola kognitif dan persepsi sensori
 Sejauh mana pengetahuan klien tentang penyakitnya
 Kemampuan mengatasi masalah
 Melemahnya proses berfikir
g. Pola peran dan hubungan dengan sesama
Terganggunya peran akibat serangan
Merasa malu bila terjadi serangan
h. Pola seksualitas dan reproduksi
Menurunnya libido
i. Mekanisme dan toleransi terhadap stress
 Mengingkari
 Marah
 Putus asa

Diagosa Keperawatan

a. Ketidakefektifan jalan nafas b.d peningkatan produksi sekret.


b. Gangguan pertukaran gas b.d gangguan suplai O2.
c. Intoleransi beraktivitas dalam melakukan perawatan diri b.d sesak dan kelemahan
fisik.
d. Resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d pemasukan yang
tidak adekuat: mual, muntah dan tidak nafsu makan.
e. Kecemasan b.d sesak nafas dan takut.
f. Ketidakefektifan pola nafas b.d penurunan ekspansi paru selama serangan akut.
g. Resiko tinggi infeksi b.d tidak adekuatnya pertahan utama (penurunan kerja silia dan
menetapnya sekret).
h. Kurang pengetahuan b.d kurangnya informasi.

Rencana Tindakan

a. Ketidak efektifan jalan nafas b.d peningkatan sekret.


HYD:
 Suara nafas vesikuler
 Bunyi nafas bersih, tidak ada suara tambahan

Intervensi:

1. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas misalnya mengi,


krekels, ronchi.R/ Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan
obstruksi jalan nafas dan dapat/tidak dimanifestasikan adanya bunyi
nafas adventisius misalnya: penyebaran, krekels basah (bronkitis), bunyi
nafas redup dengan ekspirasi mengi (emfisema) atau tidak adanya bunyi
nafas (asma berat).
2. Kaji/pantau frekuensi pernafasan, catat radio inspirasi/ekspirasi.
R/ Tachipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan
pada penerimaan atau selama stress/adanya proses infeksi akut.
Pernafasan dapat melambat dan frekuensi ekspirasi memanjang
dibanding inspirasi.
3. Catat adanya derajat dyspnea misalnya keluhan “lapar udara”, gelisah,
ansietas, distress pernafasan, penggunaan otot bantu. R/ Disfungsi
pernafasan adalah variabel yang tergantung pada tahap proses kronis
selain proses akut yang menimbulkan perawatan di rumah sakit.
Misalnya infeksi, reaksi alergi.
4. Kaji pasien untuk posisi yang nyaman misalnya peninggian kepala
tempat tidur, duduk pada sandaran tempat tidur. R/ Peninggian kepala
tempat tidur mempermudah fungsi pernafasan dengan menggunakan
gravitasi. Sokongan tangan/kaki dengan meja, bantal, dll membantu
menurunkan kelemahan otot dan dapat sebagai alat ekspansi dada.
5. Pertahankan polusi lingkungan minimum misalnya: debu, asap dan bulu
bantal yang berhubungan dengan kondisi individu. R/ Pencetus tipe
reaksi alergi pernafasan yang dapat, mentriger episode akut.
6. Dorong/bantu latihan nafas abdomen atau bibir. R/ Memberikan pasien-
pasien beberapa cara untuk mengatasi dan mengontrol dyspnea dan
menurunkan jebakan udara.
7. Observasi karakteristik batuk misalnya menetap, batuk pendek, basah.
Bantu tindakan untuk memperbaiki keefektifan upaya batuk. R/ Batuk
dapat menetap tetapi tidak efektif, khususnya bila pasien lansia, sakit
akut atau kelemahan. Batuk paling efektif pada posisi duduk tinggi atau
kepala di bawah setelah perkusi dada.
8. Tingkatkan masukan cairan antara sebagai pengganti makanan.
R/ Hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret. Mempermudah
pengeluaran. Penggunaan cairan hangat dapat menurunkan spasme
bronkus. Cairan selama makan dapat meningkatkan distensi gaster dan
tekanan pada diafragma.

b. Gangguan pertukaran gas b.d gangguan suplai O2.


HYD:
 Menunjukan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan dalam
rentang normal dan bebas gejala distress pernafasan.

Intervensi:

1. Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan. R/ Berguna dalam evaluasi


derajat distress pernafasan atau kronisnya penyakit.
2. Awasi secara rutin kulit dan membran mukosa. R/ Kemungkinan
cyanosis perifer terlihat pada kuku, bibir dan daun telinga.
3. Kaji AGD, pO2, pCO2. R/ Hipoxemia biasanya terjadi pada saat akut
keadaan lanjut pCO2 akan meningkat.
4. Monitor tingkat kesadaran, kelainan sakit kepala dan gangguan
penglihatan. R/ Sebagai parameter menunjukan beratnya serangan.
5. Monitor TTV dan penggunaan otot bantu pernafasan. R/ Indikator yang
menunjukan hipoxemia dan meningkatkan usaha untuk ventilasi.

c. Intoleransi beraktivitas dalam melakukan perawatan diri b.d sesak dan kelemahan fisik.
HYD:
 Mampu beraktivitas sesuai keadaan.
 Merawat diri secara mandiri.

Intervensi:

1. Kaji keluhan sesak, pusing dan kemampuan merawat diri klien.


R/ Memahami masalah klien.
2. Bantu personal higiene (mandi, berpakaian, bab, bak). R/ Higiene klien
terpenuhi.

d. Resiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tidur b.d pemasukan yang tidak
adekuat akibat dari mual, muntah, tidak nafsu makan.
HYD:
 Nutrisi terpenuhi secara adekuat.
 Berat badan dalam batas normal sesuai IMT.

Intervensi:

1. Kaji status nutrisi klien. R/ Klien dengan distress pernafasan sering


anoreksia dikarenakan dyspnea, produksi sputum dan obat-obatan.
2. Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh. R/ Kegagalan pernafasan membuat
status hipermetabolik dengan peningkatan kebutuhan kalori.
3. Auskultasi bising usus. R/ Penurunan bising usus menunjukan penurunan
motilitas gaster dan konstipasi yang berhubungan dengan penurunan
aktivitas.
4. Hindarkan makanan yang menghasilkan sisa gas dan karbonat. R/ Dapat
menghasilkan distensi abdomen yang mengganggu pernafasan abdomen.
5. Beri makanan porsi kecil dan sering.R/ Membantu menurunkan kelemahan
selama waktu makan dan memberikan kesempatan untuk meningkatkan
masukan kalori total.
6.
e. Kecemasan b.d sesak nafas dan takut.
HYD:
 Ekspresi wajah rileks.
 Mengungkapkan perasaan cemas berkurang.
 TTV dalam batas normal.

Intervensi:

1. Kaji tingkat ansietas (ringan, sedang, berat). R/ Untuk menentukan


intervensi selanjutnya dan membantu pasien meningkatkan beberapa
perasaan kontrol emosi.
2. Kaji kebiasaan ketrampilan koping. R/ Memberikan pasien tindakan
mengontrol untuk menurunkan ansietas dan ketegangan otot.
3. Beri dukungan emosional, tetap berada di dekat pasien selama serangan
akut, antisipasi kebutuhan pasien, berikan keyakinan lingkungan.
R/ Menurunkan stress dan meningkatkan relaksasi dan kemampuan
koping.
4. Implementasikan teknik relaksasi, petunjuk imajinasi, relaksasiotot.
R/ Memberikan pasien untuk tindakan mengontrol untuk menurunkan
ansietas dan ketegangan otot.
5. Jelaskan prosedur-prosedur, berikan pertanyaan-pertanyaan.
R/ Menurunkan stress dan meningkatkan relaksasi.
6. Pertahankan periode istirahat yang telah direncanakan dan kegiatan
sehari-hari yang ringan dan sederhana, jangan anjurkan berbicara bila
sedang dyspnea berat, batasi pengunjung bila perlu dan berikan dorongan
untuk melakukan periode istirahat dengan sering. R/ Menurunkan stress
dan meningkatkan relaksasi.

f. Ketidakefektifan pola nafas b.d penurunan ekspansi paru selama serangan akut.
HYD:
 Pasien mempertahankan pola nafas efektif yang ditunjukan oleh:

 Frekuensi irama dan kedalaman pernafasan.

 Tidak terdapat atau dyspnea berkurang.

 Gas-gas darah arteri dalam batasan yang dapat diterima oleh pasien.

Intervensi:

1. Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan dan ekspansi dada serta catat upaya
pernafasan termasuk penggunaan otot bantu atau pelebaran nasal.
R/ Kecepatan biasanya meningkatkan dyspnea dan terjadi peningkatan
kerja nafas, kedalaman pernafasan bervariasi tergantung derajat gagal
nafas.
2. Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas adventisius seperti
krekels, mengi, gesekan pleural. R/ Ronchi dan mengi menyertai obstruksi
jalan nafas/kegagalan pernafasan.
3. Beri posisi semi fowler. R/ Membantu ekspansi paru.
4. Bantu pasien dalam nafas dalam dan latihan batuk efektif. R/ Membantu
mengeluarkan sputum dimana dapat mengganggu ventilasi dan
ketidaknyamanan upaya bernafas.
5. Berikan therapi oksigen sesuai pesanan. R/ Memaksimalkan persediaan
oksigen untuk pertukaran gas.
6. Berikan obat-obatan sesuai pesanan. R/ Mempercepat penyembuhan.

g. Resiko tinggi infeksi b.d tidak adekuatnya pertahanan utama (penurunan kerja silia,
menetapnya sekret.
HYD:
 Tidak terjadi infeksi ditandai dengan tidak ditemukannya kemerahan,
panas dan pembengkakan.

Intervensi:

1. Observasi TTV. R/ Indikator tanda-tanda infeksi.


2. Observasi warna, karakter dan bau sputum. R/ Sekret berbau kuning atau
kehijauan menunjukan adanya infeksi paru.
3. Anjurkan pasien membuang tissue dan sputum pada tempatnya.
R/ Mencegah penyebaran patogen melalui cairan.
4. Dorong keseimbangan antara aktivitas dengan istirahat. R/ Menurunkan
konsumsi atasu kebutuhan keseimbangan oksigen dan memperbaiki
pertahanan pasien terhadap infeksi, meningkatkan penyembuhan.
5. Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi adekuat. R/ Malnutrisi dapat
mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahanan terhadap
infeksi.
6. Berikan obat sesuai pesanan. R/ Mencegah terjadinya infeksi.

h. Kurang pengetahuan b.d kurangnya informasi.


HYD:
 Pasien mendemonstrasikan pengetahuan tentang penatalaksanaan
perawatan kesehatan seperti yang dijelaskan tentang prinsip perawatan
diri yang berhubungan dengan proses penyakit.
Intervensi:

1. Kaji tingkat pengertian mengenai proses penyakit. R/ Untuk menentukan


intervensi selanjutnya.
2. Jelaskan pentingnya pencegahan, serangan selanjutnya. R/ Menambah
pengetahuan dan partisipasi pasien.
3. Jelaskan pentingnya latihan pernafasan dan batuk efektif. R/ Membantu
meminimalkan kolaps jalan nafas.
4. Jelaskan tentang proses penyakit dan perawatan diri selama serangan
hebat. R/ Menurunkan ansietas dan dapat kooperatif dari pasien.
5. Jelaskan pentingnya diit dan cairan: makan seimbang dan bergizi, hindari
penambah berat badan yang berlebihan, perbanyak cairan 2000-3000
ml/hari kecuali ada kontraindikasi. R/ Meningkatkan kooperatif dari
pasien.
6. Diskusikan mengenai obat, nama, dosis, waktu pemberian, tujuan dan efek
samping serta pentingnya minum obat sesuai pesanan. R/ Meningkatkan
pengetahuan pasien dan pasien dapat kooperatif dalam proses
penyembuhannya.

Discharge Planning

1. Pasien dengan asma kambuhan harus menjalani pemeriksaan, mendeteksi


substansi yang mencetuskan terjadinya serangan.
2. Menghindari agen penyebab serangan antara lain bantal, kasur (kapas), pakaian
jenis tertentu, hewan peliharaan, kuda, sabun, makanan tertentu, jamur dan
serbuk sari.
3. Menganjurkan pasien untuk segera melaporkan tanda-tanda dan gejala yang
menyulitkan seperti bangun saat malam hari dengan serangan akut atau
mengalami infeksi pernafasan.
4. Hidrasi adekuat harus dipertahankan untuk menjaga sekresi agar tidak mengental.
5. Pasien harus diingatkan bahan infeksi harus dihindari karena infeksi dapat
mencetuskan serangan.
6. Menggunakan obat-obat sesuai dengan resep.
7. Kontrol ke dokter sesuai pesanan.

C. Patoflowdiagram

 DP kurang pengetahuan * Respon imun buruk

 DP kecemasan * Infeksi * Alergi


* Latihan * Iritasi
Refleks fagal mual, tidak nafsu makan, batuk

 IgE menyerang sel-sel mast dalam paru-paru


 Pelepasan produk sel-sel mast (mediator)

- Sesak nafas - Ronchi


- Nyeri dada - Pesekresi
- Wheezing

 DP Resti nutrisi < dari kebutuhan


 Broncho spasme
 Pembengkakan membran mukosa
 Pembentukan mukus yang banyak

DP Ketidakefektifan jalan nafas


DP Ketidakefektifan pola nafas
DP Intoleransi aktivitas
DP Resi infeksi

Kompresi alat-alat bantu pernafasan, cyanosis, tachicardi


DP Gangguan pertukaran gas

 Kebutuhan O2
 Hiperventilasi paru
 Pengeluaran CO2 berlebihan
 Tekanan CO2 darah arteri
 Alkalosis respiratorik
 Produksi mukus
 Hipercapnia
 Hipoxemia
 Asidosis metabolik
 Meninggal
BAB III

PENGAMATAN KASUS

Anak R berusia 7 tahun, agama Islam, bersuku Ambon, pasien adalah anak ke 3 (bungsu) dalam
keluarganya. Masuk ke RS Sumber Waras pukul 23.30 dengan keluhan sesak nafas sejak pukul 22.00.
Anak masuk melalui UGD dengan diagnosa medik saat masuk adalah Asma Bronchiale.

Dalam pengamatan langsung, orang tua anak menceritakan riwayat penyakit anaknya. Orang tua
mengatakan dalam keluarga ada riwayat penyakit asma. Nenek dan kakaknya (anak ke-1) menderita
penyakit yang sama. Orang tua mengatakan anak pernah dirawat dengan penyakit yang sama saat
anak usia 4 tahun.

Orang tua mengatakan pada tanggal 12 November anak sehabis pulang dari sekolah melakukan
aktivitas seperti biasanya yaitu bermain dengan teman-teman di sekitar pukul 21.00 anak dengan
kakaknya sedang latihan nyanyi bersama. Pada pukul 22.00 anak mengalami sesak nafas dan
keringat dingin, batuk hingga dibawa ke UGD, anak masih sesak dan sulit bernafas. Di UGD anak
disarankan dokter untuk dirawat.

Saat pengkajian anak sedang dirawat pada hari pertama di unit RN I, kamar 119 Bed 2. Keadaan
umum tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, anak mengatakan masih sesak nafas.
Terpasang infus dextrose 5% in ¼ salin 1500 cc/24 jam (15-16 tetes/menit) di tangan kanan dan
terapi oksigen 2 lt/menit. Observasi tanda-tanda vital TD: 110/70 mmHg, N: 120 x/menit, P: 30
x/menit dengan bunyi nafas tambahan wheezing dan ronchi di paru kiri dan S: 36,8oC. Hasil foto
thorax tanggal 13 November 2002 adalah asma bronchiale. Hasil laboratorium tanggal 13
November ditemukan Hb: 11,7 g/dl, leukosit 13.600 ul, LED: 20 mm/jam, eosinofil dalam sediaan
hapus 4%.

Adapun rencana perawatan dan rencanan medik adalah anak bedrest, kebutuhan anak dibantu
penuh. Therapi medik yang didapat Aerosol 3x sehari, Solucorterf 3x50 mg, Aminophylin 72 mg,
Bisolvon 3x1 sendok teh, Cefat 3x250 mg.

Dari analisa dan pengamatan kasus di atas, masalah yang menjadi prioritas adalah ketidakefektifan
jalan nafas, gangguan pola nafas, intoleransi aktivitas.

Perencanaan untuk mengatasi masalah-masalah di atas adalah memberi cairan 2000-3000 cc/24
jam, membantu pemenuhan kebutuhan klien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi sesuai diit yang
ditentukan, yaitu diit lunak dan kebutuhan pemeliharaan kebersihan diri.

BAB IV

PEMBAHASAN KASUS
Setelah membandingkan antara teori yang telah dipelajari dengan kasus yang diamati dapat
ditemukan adanya persamaan dan perbedaan antara teori dan kasus yang sedang diamati.

A. Pengkajian

Dari hasil pengkajian penulis mendapatkan kesamaan tanda dan gejala seperti: dyspnea, wheezing
dan ronchi, di paru kiri, batuk dan badan lemas. Yang tidak ditemui pada pasien adalah nyeri dada,
cyanosis, serta mual dan muntah. Menurut analisa penulis tanda dan gejala di atas tidak ditemukan
karena pasien sudah mendapat terapi oksigen 2 l/menit sejak masuk ke RS Sumber Waras (di UGD)
serta anak yang mengalami tanda dan gejala pada stadium sedang dan segera dibawa ke RS untuk
mendapatkan pengobatan, sehingga tanda seperti tersebut di atas tidak ditemukan.

Pada etiologi disebabkan oleh berbagai macam faktor yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik, setelah
penulis menganalisa pada pasien disebabkan oleh faktor intrinsik dimana anak mendapat penyakit
asma bisa disebabkan karena dalam keluarga ada riwayat penyakit tersebut (nenek dan kakak
pertamanya). Di samping itu faktor pencetus yang menyebabkan anak terserang asma karena
beraktivitas/latihan fisik yaitu bermain-main dengan teman-temannya. Pada pasien dilakukan
pemeriksaan foto thorax, darah lengkap dan sediaan hapus. Therapi yang diberikan adalah infus
Dextrosa 5% in ¼ salin 1500 cc/24 jam (15-16 tts/menit) ditangan kanan dan diet lunak.

B. Diagnosa Keperawatan

Berdasarkan data yang ditemukan pada pasien maka diagnosa keperawatan yang diangkat adalah:
ketidakefektifan jalan nafas, diagnosa ini penulis angkat sebagai diagnosa primer karena pada saat
pengkajian pasien mengeluh masih sesak, batuk dan pernafasan 32 x/menit.

Gangguan pola pernafasan, diagnosa keperawatan ini penulis angkat sebagai diagnosa kedua karena
pasien mengeluh masih sesak untuk bernafas dan mengatakan lebih enak bernafas dalam posisi
duduk. Pernafasan pasien 32 x/menit. Intoleransi aktivitas dalam melakukan perawatan
diri berhubungan dengan sesak nafas dan kelemahan fisik, diagnosa ini diangkat karena pada saat
pengkajian pasien dibantu penuh oleh perawat dan orang tua dalam pemenuhan kebutuhan dasar
anak karena anak tampak lemah.

C. Perencanaan
Perencanaan disusun bersama pasien dan keluarga disesuaikan dengan gangguan yang terjadi.
Perencanaan lebih ditekankan mengobservasi tanda-tanda vital terutama pernafasan. Membantu
anak mendapatkan posisi tidur yang nyaman guna lebih meningkatkan pengembangan paru, melatih
nafas dan batuk efektif, membantu anak dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya, dan memberi
penyuluhan tentang pentingnya kesehatan, serta memberikan informasi kepada keluarga guna
pencegahan terhadap serangan asma.

D. Implementasi

Semua rencana keperawatan yang disusun dapat dilaksanakan dari implementasi dilaksanakan
dalam bentuk observasi, tindakan keperawatan dan penyuluhan pada pasien dan keluarga.

E. Evaluasi

Setelah melakukan tindakan keperawatan maka dilakukan evaluasi berdasarkan masalah yang
muncul pada pasien: ketidakefektifan jalan nafas sudah teratasi karena anak tidak mengeluh sesak
lagi. Batuk agak berkurang, therapi oksigen sudah dihentikan dan pernafasan 21 x/menit. Gangguan
pola nafas sudah teratasi karena anakmengatakan dapat bernafas lega. Intoleransi aktivitas sudah
teratasi karena anak sudah tidak sulit bernafas, infus Dextrosa 5% sudah di aff, anak dapat
melakukan kebutuhan dasarnya seperti mandi, makan minum, serta buang air besar dan buang air
kecil secara mandiri.
BAB V

KESIMPULAN

Asma Bronchiale adalah suatu penyakit serius yang biasa dialami oleh anak-anak pada usia rata-rata
5 tahun pada tahun pertama. Berat dan perjalanan asma sulit diramalkan. Karena kadang-kadang
hanya terserang ringan sampai sedang.

Penyakit ini dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor terutama karena mempunyai riwayat
genetik/keturunan yang menderita penyakit ini. Penyakit ini dapat dicegah dengan menganjurkan
pasien untuk banyak istirahat (mengurangi aktivitas-aktivitas yang cukup berat), mengkonsumsi
makanan yang tidak menimbulkan alergi, mengurangi stres emosional, serta menghindari polusi
udara seerti asap rokok, dll. Apabila penyakit ini tidak dicegah maka akan menimbulkan komplikasi
yang lebih lanjut.

Penyakit asma dapat ditangani dengan baik, tergantung dari motivasi anak sendiri dan suport dari
orang tua serta keluarga. Peran perawat sangat dibutuhkan dalam memberikan penyuluhan akan
penyebabnya, cara penanggulangannya dan komplikasinya untuk menambah pengetahuan anak
serta terutama pada orang tua yang mengasuh anak.
ASUHAN KEPERAWATAN DENGHAN APENDICITIS

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan merupakan hal penting dalam kehidupan manusia. Banyak orang mengabaikan kesehatan
untuk dirinya sendiri, hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya adalah pola hidup yang
kurang baik yang menyebabkan orang memiliki suatu penyakit yang seharusnya dapat dicegah
apabila ada kesadaran dari individu tersebut. Terutama berhubungan dengan pemenuhan
kebutuhan nutrisi sebagai sarana hidup manusia untuk tumbuh tetapi individu cenderung untuk
mengikuti zaman dimana saat ini konsumsi makanan sangat beragam, contohnya makan makanan
yang kurang mengandung serat. Ini dapat menjadi pencetus penyakit radang appendiks atau sering
disebut appendicitis sehingga dapat mengganggu fungsi optimal dari sistem gastrointestinal
terutama di usus halus.

Di Amerika diperkirakan 7%-8% penduduk menderita appendicitis dengan 1,1 kasus per 1000 orang
per tahun. Appendicitis terjadi sebagian besar akibat meningkatnya konsumsi makanan rendah
serat, adanya peradangan pada lumen. Angka mortalitas 0,2-0,8% yang menghubungkan komplikasi
terhadap penyakit lebih baik daripada tindakan pembedahan. Angka mortalitas meningkat 20% pada
pasien usia 70 tahun, terutama karena keterlambatan diagnostik dan terapi. Perforasi dapat terjadi
pada usia 18 tahun dan 50 tahun. Kemungkinan karena keterlambatan diagnosis. Appendiks
perforasi gabungan dengan meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas. Dalam
perkembangannya appendicitis sering menyerang orang antara usia 10-30 tahun. Salah satunya lebih
beralasan untuk pembedahan darurat abdomen pada anak-anak.
(http://wwe.emedicine.com/EME RE/topic41.html).

Berdasarkan hal di ataslah yang melatarbelakangi penulis menyusun penerapan asuhan


keperawatan pada pasien dengan appendicitis. Karena sebagai perawat kita memegang peranan
penting dalam upaya pencegahan komplikasi yang akan berakibat lebih lanjut, dengan memberikan
pendidikan kesehatan tentang gaya hidup yang sehat seperti: menganjurkan untuk mengkonsumsi
makanan tinggi serat, banyak minum air putih, jangan menahan keinginan defekasi (buang air
besar). Hal ini dapat memperkecil terjadinya penyakit appendicitis.

B. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:


1. Mengetahui dan memahami latar belakang penyakit, definisi, dan patofisiologi dari
appendicitis.

2. Menambah pengalaman nyata dalam merawat dan memberikan asuhan keperawatan pada
penderita appendicitis.

3. Membandingkan antara teori dan kasus yang ada di lapangan.

4. Meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam memberikan asuhan keperawatan di


lapangan.

C. Metode Penulisan

Adapun metode penulisan yang digunakan dalam menyusun makalah ini:

Studi pustaka

Mempelajari dan mengambil beberapa literatur yang berhubungan dengan penyakit appendicitis.

Studi kasus

Pengamatan langsung pada pasien Tn. D di unit Fransiskus PKSC dengan appendicitis meliputi
wawancara langsung dan melakukan penerapan asuhan keperawatan.

D. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan makalah ini, penulis mengawali dengan kata pengantar, dan daftar isi, dilanjutkan
dengan Bab I Pendahuluan yang berisi latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan dan
sistematika penulisan, kemudian Bab II Tinjauan teoritis yang berisi konsep dasar medik dan konsep
asuhan keperawatan serta patoflowdiagram, Bab III Pengamatan kasus dan Bab IV berisi
pembahasan kasus, diakhiri dengan Bab V kesimpulan dan terlampir daftar pustaka.
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. KONSEP DASAR MEDIK

Definisi

Appendicitis adalah suatu peradangan pada appendiks, yang merupakan saluran tersembunyi
yang memanjang dari bagian depan sekum (Lewis, 2000, hal 1150).

Appendicitis adalah inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen (Brunner
and Suddarth, 2002, hal 1997).

Appendicitis adalah peradangan pada appendiks vermiformis yang letaknya dekat katup
sfingter diantara ileum (usus halus) dan sekum (usus besar). (Barbara, hal 1091).

Klasifikasi

Appendicitis dibagi atas 2 yaitu:

Appendicitis akut

1) Appendicitis akut focalis atau segmentalis

Biasanya hanya bagian distal yang meradang, tetapi seluruh anggota appendiks 1/3 distal berisi
nanah. Untuk diagnosis yang penting ialah ditemukannya nanah dalam lumen bagian itu. Kalau
radangnya menjalar maka dapat terjadi appendiks purulenta.

2) Appendicitis akut purulenta (suppurativa) diffusa

Disertai pembentukan nanah yang berlebihan. Jika radangnya lebih mengeras, dapat terjadi nekrosis
dan pembusukan disebut appendicitis gangrenosa atau pheegmonosa. Pada appendicitis gangrenosa
dapat terjadi perforasi akibat nekrosis ke dalam rongga perut dengan akibat peritonitis.

Appendicitis kronik

1) Appendicitis kronik focalis


Secara mikroskopi tampak fibrosis setempat yang melingkar sehingga dapat menyebabkan stenosis.

2) Appendicitis kronik obliterativa

Terjadi fibrosis yang luas sepanjang appendik pada jaringan submukosa dan subserosa, hingga
terjadi obliterasi (hilangnya lumen), terutama di bagian distal dengan menghilangnya selaput lendir
pada bagian itu.

Anatomi Fisiologi

Appendiks merupakan organ berbentuk tabung yang buntu, panjangnya kira-kira 10 cm (beranjak 3-
15 cm) atau berukuran sekitar jari kelingking dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian
proksimal dan melebar di bagian distal. Tonjolan appendiks pada neonatus berbentuk kerucut yang
menonjol dari apeks sekum sepanjang 4,5 cm. Pada masa kanak-kanak, batas appendiks dari sekum
semakin jelas dan bergeser ke arah dorsal kiri. Pada orang dewasa panjang appendiks rata-rata 9-10
cm, terletak posteriomedial sekum kira-kira 3 cm inferior dari valvula ileosekalis. Posisi appendiks
bisa retrosekal, retroileal, subileal atau di pelvis, memberikan gambaran klinis yang tidak sama. Pada
posisi normalnya appendiks terletak pada dinding abdomen, di bawah titik Mc. Burney, dicari
dengan menarik garis dari spina iliaka superior kanan ke umbilikalis, titik tengah garis itu merupakan
pangkal appendiks.

Fungsi appendiks tidak diketahui, kadang-kadang appendik disebut “tonsil abdomen” karena
ditemukan banyak jaringan limfoid sejak intra uterin akhir kehamilan dan mencapai puncaknya pada
kira-kira umur 15 tahun, yang kemudian mengalami atrofi serta praktis menghilang pada usia 60
tahun. Dengan berkurangnya jaringan limfoid, terjadi fibrosis dan pada kebanyakan kasus timbul
konstriksi lumen atau obliterasi. Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir ini secara
normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Diperkirakan appendiks
mempunyai peranan dalam mekanisme imunologik, yang terdapat di sepanjang saluran cerna
termasuk appendiks ialah Ig A Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi.
Appendiks mengeluarkan cairan yang bersifat basa mengandung amilase, erepsin, dan musin.
Etiologi

Penyebab utamanya adalah obstruksi atau penyumbatan yang disebabkan oleh:

- Fekalit (massa faeses yang padat) akibat konsumsi makanan rendah serat.

- Cacing/parasit

- Infeksi virus: E. coli, streptococcus

- Sebab lain: misal: tumor, batu

- Striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya

- Hiperplasia limfoid.

Patofisiologi

Appendicitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks oleh fekalit, benda asing,
tumor, infeksi virus, hiperplasia limfoid dan striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya.
Appendik mengeluarkan cairan yang berupa sekret mukus, akibat obstruksi/penyumbatan lumen
tersebut menyebabkan mukus akan terhambat. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun
elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga mengakibatkan pelebaran
appendiks, resistensi selaput lendir berkurang sehingga mengakibatkan mudah infeksi dan dari
penyumbatan ini lama kelamaan akan menyebabkan terjadinya peradangan pada appendik dengan
tanda dan gejala nyeri pada titik Mc. Burney, spasme otot, mual, muntah dan menyebabkan nafsu
makan menurun, hipertermi dan leukositosis. Bila sekresi mukus terus berlanjut, akan menyebabkan
peningkatan tekanan intraluminal, tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe
yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi
appendicitis akut focalis yang ditandai oleh nyeri epigastrik. Hal ini juga bila berlangsung terus akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri akan menembus dinding.

Peningkatan tekanan intraluminal akan mengakibatkan oklusi end arteri appendikularis sehingga
aliran darah tidak dapat mencapai appendik menjadi hipoksia lama kelamaan menjadi iskemia akibat
trombosis vena intramural, lama kelamaan menjadi nekrosis yang akhirnya menjadi gangren dimana
mukosa edema dan terlepas sehingga berbentuk tukak. Dinding appendik ini akan menipis, rapuh
dan pecah akan terjadi appendicitis perforasi. Bila semua proses di atas hingga timbul masa lokal
yang disebut infiltrat appendikularis.

Peradangan appendiks tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang menurun memudahkan
terjadinya perforasi. Seringkali perforasi ini terjadi dalam 24-36 jam. Bila proses ini berjalan lambat
organ-organ di sekitar ileum terminalis, sekum dan omentum akan membentuk dinding mengitari
appendiks sehingga berbentuk abses yang terlokalisasi.

Tanda dan Gejala

a. Tahap awal

1) Nyeri abdomen (nyeri epigastrik ataupun pada daerah umbilikus) hal ini terjadi hilang timbul.

2) Mual dan muntah

3) Demam

b. Tahap pertengahan

1) Rasa sakit menjalar dari daerah epigastrik ke arah titik Mc. Burney.

2) Anoreksia

3) Kelesuan, badan terasa lemah

4) Terkadang kekakuan otot

5) Suhu subfebris

c. Tahap akut yang disertai perforasi.


1) Terjadi peningkatan rasa sakit di daerah titik Mc. Burney.

2) Muntah

3) Peningkatan temperatur suhu hingga > 38,5oC

4) Kekakuan abdomen

5) Tungkai kanan tidak dapat diluruskan

6) Leukositosis

7) Takikardia.

Test Diagnostik

a. Hematologi: leukositosis di atas 10.000 /ul, peningkatan neutrofil sampai 75%.

b. CT scan abdomen: dapat menunjukkan terjadinya abses appendikal atau appendicitis akut.

c. Foto abdomen: gambaran fekalit, jika perforasi terjadi, gambaran udara, bebas dapat dilihat
dari hasil foto.

d. USG: ditemukan gambaran appendicitis.

e. Urinalisis: normal, tetap leukosit dan eritrosit mungkin ada dalam jumlah sedikit.

Komplikasi

a. Perforasi

Perforasi jarang timbul dalam 12 jam pertama tetapi meningkat sesudah 24 jam. Perforasi dapat
diketahui pre operatif dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih
dari 38,5oC tampak toksik, nyeri tekan di seluruh perut dan leukositosis akibat perforasi dan
pembentukan abses.

b. Peritonitis

Merupakan peradangan peritoneum yang berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi
dari organ-organ abdomen misalnya appendicitis. Organisme yang sering menginfeksi adalah
organisme yang hidup di dalam kolon yaitu pada kasus ruptura appendiks. Reaksi awal peritoneum
terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa, kantong-kantong nanah (abses)
terbentuk diantara perlekatan fibrinosa yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya
sehingga membatasi infeksi.

c. Obstruksi usus

Dapat didefinisikan sebagai gangguan aliran normal isi usus sepanjang saluran usus. Obstruksi usus
dapat akut atau kronik, parsial atau total. Obstruksi usus kronik biasanya mengenai kolon sebagai
akibat dari karsinoma. Obstruksi total usus halus merupakan keadaan gawat yang memerlukan
diagnosis dini dan tindakan pembedahan darurat bila penderita ingin tetap hidup.

Terapi dan Pengelolaan Medik

a. Pre-operasi

- Bedrest: untuk observasi dalam 8-12 jam setelah keluhan.

- Puasa: cairan parenteral jika pembedahan langsung dilakukan

- Therapi farmakologik: narkotik dihindari karena dapat menghilangkan tanda dan gejala.

- Antibiotik: untuk menanggulangi infeksi.

- Transqualizer: untuk sedasi.

- NGT: untuk mengeluarkan cairan lambung jika diperlukan.

Catatan: enema dan laxantia tidak boleh diberikan karena dapat meningkatkan peristaltik usus dan
menyebabkan perforasi.

- Pembedahan: Appendictomie: secepatnya dilakukan bila didiagnosanya tepat dan tentunya


cara dan reaksi sistemik harus diperhatikan.

b. Post-operasi

- Observasi TTV terjadinya perdarahan, syok, hipertermia atau gangguan pernafasan.


- Pasien dipuasakan sampai fungsi usus kembali normal.

- Kemudian berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4-5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml/jam.
Keesokan harinya diberikan makanan saring dan hari berikutnya lunak.

- Aktivitas: satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama
2x30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar.

- Antibiotik dan analgesik setelah post op diberikan.

- Jahitan diangkat hari ke tujuh.

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

Pengkajian

a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan.

- Pengetahuan tentang penyebab dan proses penyakit.

- Riwayat operasi, riwayat sakit berat: obstruksi tumor.

- Kebiasaan makan rendah serat, makan pedas, makanan yang sulit dicerna (biji-bijian).

b. Pola nutrisi metabolik

- Mual

- Muntah

- Anoreksia

- Demam

c. Pola eliminasi

- Konstipasi/diare

- Penurunan bising usus


- Perut kembung/tidak ada flatus

d. Pola aktivitas dan latihan

- Malaise

- Takikardi, takipnea

- Imobilisasi

e. Pola tidur dan istirahat

- Kebiasaan tidur (berapa lama)

- Gangguan tidur karena ketidaknyamanan: nyeri

f. Pola persepsi dan kognitif

- Keluhan nyeri pada titik Mc. Burney, nyeri tekan pada titik Mc. Burney, nyeri daerah luka
operasi

g. Pola persepsi dan konsep diri

- Cemas akan tindakan appendiktomi

- Gangguan harga diri

h. Pola koping terhadap stres

- Persepsi penerimaan sakit

- Takut/cemas akan tindakan dan perawatan

Diagnosa Keperawatan

a. Pre Operasi

1) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya sistem pertahanan tubuh sebagai
akibat dari proses inflamasi/peradangan.

2) Nyeri abdomen berhubungan dengan proses peradangan pada appendik.


3) Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan hipermetabolik (demam,
muntah).

4) Ketidakefektifan manajemen terapeutik berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang


proses penyakit, dan pengobatan.

b. Post Operasi

1) Nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan.

2) Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan pembatasan pasca operasi
(puasa), intake kurang.

3) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tindakan pembedahan.

Rencana Keperawatan

a. Pre Operasi

DP.1. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya sistem pertahanan tubuh sebagai
akibat dari proses inflamasi/peradangan.

HYD: Tidak terjadi infeksi ditandai dengan suhu dalam batas normal 36-37oC, integritas kulit utuh,
leukosit < 10.000 u/L.

Intervensi:

1) Monitor TTV terutama suhu tiap 4 jam.

R/ Suhu meningkat menandakan adanya infeksi.

2) Kaji tanda-tanda peritonitis dan laporkan segera bila perlu.

R/ Mengetahui adanya komplikasi seperti peritonitis.

3) Hindari pemberian huknah/enema sebelum operasi.

R/ Penggunaan enema/pemberian huknah dapat meningkatkan peristaltik usus dan meningkatkan


risiko perforasi.

4) Berikan diit lunak dan bila perlu beri infus.


R/ Peningkatan nutrisi dapat membantu meningkatkan daya tahan tubuh.

5) Kolaborasi dengan medik pemberian antibiotik.

R/ Mencegah infeksi lebih luas.

DP.2. Nyeri berhubungan dengan proses peradangan pada appendiks.

HYD: Nyeri berkurang sampai dengan hilang, wajah tampak rileks.

Intervensi:

1) Kaji dan catat intensitas, lokasi dan lama nyeri.

R/ Mengetahui tingkat rasa nyeri, berguna dalam pengawasan keefektifan obat.

2) Kaji tanda nyeri baik verbal maupun non verbal.

R/ Bermanfaat mengevaluasi nyeri.

3) Ajarkan teknik relaksasi seperti: imajinasi, musik yang lembut.

R/ Membantu untuk memfokuskan kembali perhatian dan membantu pasien untuk mengatasi
nyeri/rasa tidak nyaman.

4) Ajarkan teknik nafas dalam dan batuk efektif.

R/ Nyeri dapat meningkatkan ketegangan otot, nafas dalam dan batuk efektif dapat membantu
mengurangi ketegangan otot abdomen.

5) Berikan posisi yang nyaman.

R/ Posisi dapat membantu mengurangi nyeri.

6) Kolaborasi dengan medik pemberian analgetik.

R/ Terapi analgetik dapat mengurangi nyeri.

DP.3. Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan hipermetabolik (demam,
muntah).
HYD: Tidak terjadi kekurangan volume cairan, ditandai dengan: membran mukosa lembab, turgor
kulit elastis, tanda-tanda vital dalam batas-batas normal, keseimbangan intake output.

Intervensi:

1) Pantau tanda-tanda vital, catat adanya hipotensi dan takikardi.

R/ Mengevaluasi keefektifan terapi cairan dan respon pada pengobatan.

2) Observasi membran mukosa, turgor kulit.

R/ Indikator keadekuatan sirkulasi perifer dan hidrasi.

3) Pantau dan catat cairan yang keluar dan masuk.

R/ Mengetahui keseimbangan cairan dan jumlah yang diperlukan.

4) Anjurkan pasien untuk minum air hangat.

R/ Air hangat dapat mengurangi mual dan muntah. Peradangan dapat meningkatkan proses
metabolik sehingga diperlukan cairan yang banyak untuk menurunkan demam.

5) Kolaborasi dengan medik untuk pemberian cairan parenteral.

R/ Menjaga keseimbangan sirkulasi cairan elektrolit.

DP.4. Ketidakefektifan manajemen terapeutik berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang


proses penyakit, dan pengobatan.

HYD: Pasien dapat memahami proses penyakit dan pengobatan dan berpartisipasi dalam program
pengobatan.

Intervensi:

1) Kaji kemampuan dan pengetahuan pasien tentang proses penyakit dan pengobatan.
R/ Membantu memberikan penjelasan yang tepat dan sesuai kebutuhan.

2) Jelaskan kepada pasien mengenai prosedur persiapan operasi seperti: waktu pembedahan,
lingkungan kamar operasi.

R/ Pasien akan lebih mudah mengingat dan lebih kooperatif.

3) Ajarkan pasien untuk melatih nafas dalam dan latihan otot.

R/ Meningkatkan pengajaran dan aktivitas pasca operasi.

b. Post Operasi

DP.1. Nyeri berhubungan dengan insisi bedah.

HYD: Nyeri berkurang sampai dengan hilang, wajah tampak rileks.

Intervensi:

1) Kaji nyeri, intensitas, lokasi dan lamanya.

R/ Berguna dalam pengawasan keefektifan pengobatan.

2) Pertahankan istirahat dengan posisi semifowler.

R/ Gravitasi melokalisasi eksudat ke dalam abdomen bawah untuk mengurangi ketegangan


abdomen yang bertambah jika posisi terlentang.

3) Dorong ambulasi dini.

R/ Meningkatkan normalisasi fungsi organ, contoh: merangsang peristaltik dan kelancaran flatus.

4) Kaji ketidaknyamanan yang disebabkan post prosedur operasi.

R/ Ketidaknyamanan mungkin oleh insisi akibat operasi.

5) Dorong penggunaan teknik relaksasi.

R/ Melepaskan tegangan emosional dan otot, tingkatkan perasaan kontrol.

6) Kolaborasi dengan medik untuk mempertahankan puasa.

R/ Menurunkan ketidaknyamanan pasien pada peristaltik usus dini dan irigasi gaster.
7) Kolaborasi dengan medik untuk pemberian analgetik.

R/ Menghilangkan rasa nyeri.

DP.2. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan pembatasan pasca operasi
(puasa), intake kurang).

HYD: Tidak terjadi kekurangan volume cairan yang ditandai dengan: tanda-tanda vital dalam batas
normal, turgor kulit elastis, membran mukosa lembab, intake dan output seimbang.

Intervensi:

1) Observasi tanda-tanda vital (TD, N, HR, S, P).

R/ Hipotensi, takikardi, peningkatan pernafasan, mengidentifikasikan kekurangan volume cairan.

2) Pantau intake dan output cairan, dan catat warna urine.

R/ Penurunan output urine atau konsentrasi urine pekat mengidentifikasikan dehidrasi


membutuhkan peningkatan cairan.

3) Catat mual dan muntah.

R/ Mual yang terjadi selama 12-24 jam pasca operasi umumnya karena efek anastesi.

4) Observasi membran mukosa, turgor kulit, suhu kulit dan palpasi perifer, capillary refill time.

R/ Kulit dingin/lembab, denyut perifer lemah mengindikasikan penurunan sirkulasi perifer.

5) Kolaborasi dengan medik untuk pemberian cairan parenteral.

R/ Cairan parenteral dapat membantu kebutuhan cairan yang dibutuhkan tubuh.

DP.3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tindakan pembedahan.

HYD: Luka jahitan bersih, tidak ada tanda-tanda infeksi.

Intervensi:

1) Kaji daerah sekitar luka, apakah ada pus, atau jahitan basah.
R/ Deteksi awal jika terjadi gangguan dalam proses penyembuhan.

2) Jaga luka jahitan tetap kering dan bersih.

R/ Mengurangi resiko infeksi.

3) Gunakan teknik aseptik saat merawat luka/jahitan.

R/ Mencegah cross infeksi dan mencegah transmisi infeksi bakterial pada luka jahitan.

4) Perhatikan intake nutrisi klien.

R/ Penting untuk mempercepat penyembuhan luka.

Perencanaan Pulang

a. Mobilisasi bertahap sesuai kemampuan.

b. Jaga luka operasi tetap bersih dan kering.

c. Perhatikan pola makan sehari-hari, makan tinggi serat sangat baik dikonsumsi, kurangi
makanan pedas, diit ditingkatkan bertahap: bubur saring, bubur biasa, nasi tim/lunak.

d. Minum obat sesuai instruksi, kontrol ke dokter.

e. Segera ke RS bila ada tanda-tanda infeksi: panas, merah, nyeri


C. PATOFLOWDIAGRAM

DP.4 Ketidakefektifan manajemen terapeutik


Fekalit, cacing, infeksi (E.Coli, Streptococcus)

Obstruksi lumen

Penyumbatan pengeluaran sekret mukus

Pelebaran appendiks

Resistensi selaput lendir berkurang

Mual, muntah
Suhu
Nyeri tekan titik Mc. Burney
Leukositosis

Pembatasan cairan
Mual, muntah
Nyeri
Mudah infeksi

Appendictomie
DP.1 Nyeri
DP.2 Resti < vol cairan
DP.3 Kerusakan
integritas kulit

Peradangan dinding

appendiks
DP.1 Resti infeksi
DP2. Nyeri
DP3. Resti < vol cairan
Pembentukan mukus >>>

Peningkatan tekanan intra luminal

Oklusi end artery appendikularis

Hipoksia jaringan

Iskemia akibat trombosis vena intramural

Nekrosis

Mukosa edema dan dapat terlepas sehingga berbentuk tukak


Gangren

Dilatasi dinding appendiks menipis

Mual, muntah
TD , N , S > 38,5oC
Distensi abdomen
Nyeri tekan seluruh abdomen
DP1 Resiko tinggi infeksi
Perforasi

Peritonitis
BAB III

PENGAMATAN KASUS

Pengamatan kasus dilakukan pada Tn. D umur 46 tahun agama Islam. Dirawat di unit Fransiskus
kamar 47-7, tanggal 01-08-2005, melalui URJSU PKSC. Diagnosa masuk dengan Appendictis akut dan
Atrial Fibrilasi. Pasien masuk dengan keluhan nyeri abdomen pada kuadran kanan bawah, perut
terasa tegang, mual. Pasien memiliki riwayat penyakit jantung, dirawat di PKSC karena serangan
jantung sejak 1 tahun yang lalu, dan melakukan pengobatan dengan dokter praktek.

Pada saat pengkajian tanggal 06-08-2005, keadaan umum pasien tampak sakit sedang. Kesadaran
compos mentis. Pasien mengatakan keluhan nyeri abdomen di kuadran kanan bawah berkurang
intensitas 1-2, mual tidak ada. Observasi tanda-tanda vital: TD: 110/80 mmHg, N: 80 x/menit, HR: 80
x/menit, S: 36oC, P: 26 x/menit. Pada pasien terpasang venflon (figo) untuk injeksi I.V. Pasien
mendapat batasan cairan 1500 cc/24 jam. Hasil lab (tanggal 2/8/2005) hematologi: Masa
protrombin: 45,1 detik, APTT: 71,6 detik, Leukosit: 13.100 /uL, Segmen: 77%, Limfosit: 16%, Hb: 14
g/d, Kimia: Globulin: 4,3 g/dL, Bill. Total : 2,3 g/dL, Posfatase alkali: 141 u/L, HDL kolesterol : 25
mg/dL, Urinalisa (4/8/05) INR: 1,19. Hasil USG Abdomen lengkap (2/8/5): Appendix: membesar,
peristaltik normal, kesan: permulaan appendicitis. Hasil foto thorax (2/8/05) kesan: severe
cardiomegaly dengan efusi pleura bilateral, kiri lebih banyak dibandingkan kanan. Corakan vaskuler
kasar di kedua perihiler. Hasil EKG (2/8/05): Mitra stenosis Atrial Fibrilasi pada V1 dan V3. Terapi
yang didapat: Oral: Fargoxin 1x1 tablet, Farsix 1x1 tablet, Letonal 1x100 mg, Simarc 2 mg 1x1 tablet,
Tiaryt 1x1 tablet, Farmacrol 3x15 cc, Mensifox 500 mg 2x1 tablet, Suppositoria: Fladex supp 3x500
mg. Injeksi: Sotatik 3x1 amp, Vitamin K 3x1 amp, Clatax 3x1 gr, Farsix 2x1 amp. Diit: Lunak.

Masalah keperawatan yang ditemukan pada pasien adalah Resiko tinggi penurunan curah jantung
berhubungan dengan gangguan konduksi jantung, Nyeri berhubungan dengan proses peradangan
pada appendiks, Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen
miocard dengan kebutuhan, Cemas berhubungan dengan proses perawatan dan pengobatan (status
kesehatan). Rencana tindakan yang dilakukan adalah memfokuskan pada keluhan yang dirasakan
pasien, memberikan penyuluhan dan melaksanakan program medik. Pelaksanaan dilakukan sesuai
masalah yang ada dan evaluasi dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan perawatan pada
pasien.
BAB IV

PEMBAHASAN KASUS

Setelah penulis melakukan pengamatan kasus maka didapatkan persamaan dan perbedaan antara
teori dan kasus antara lain:

1. Pengkajian

Setelah dilakukan pengkajian mengenai teori dikatakan bahwa penyebab dari appendicitis adalah
fekalit, yaitu masa feses yang padat yang disebabkan karena kurang makan makanan yang
mengandung serat. Penyebab ini sesuai pada kasus dimana pada pola persepsi kesehatan pasien
tidak suka makan makanan yang mengandung serat seperti sayuran dan ditambahkan jarang minum
air putih. Tanda dan gejala yang dialami pasien sejak 6 hari yang lalu, pasien mengeluh nyeri di
bagian abdomen kanan bawah dan perut terasa tegang, ada mual, tetapi pada saat melakukan
pengkajian nyeri di abdomen kanan bawah berkurang intensitas 1-2, mual tidak ada, tanda dan
gejala ini sama dengan teori. Banyaknya sel darah putih dalam darah dibuktikan dengan hasil
laboratorium tanggal 2 Agustus 2005 didapat Leukosit: 13.100 /ul, dan dikatakan adanya
appendicitis dari hasil USG tanggal 2 Agustus 2005. Kesan: permulaan appendicitis karena appendix
membesar, peristaltik normal. Gejala cepat lelah didapat pada kasus karena pasien ada riwayat sakit
jantung sejak 1 tahun yang lalu, tetapi keluhan sesak dan nyeri dada sudah tidak ada. Pada EKG
tanggal 2/8/05 didapat hasil mitral stenosis Atrial fibrilasi pada V1 dan V3 yaitu disritmia yang
disebabkan oleh gangguan pembentukan impuls. Hasil foto thorax tanggal 2/8/05 kesan: Severe
cardiomegaly dengan efusi pleura bilateral kiri lebih banyak dibandingkan kanan corakan vaskuler
kasar di kedua perihiler. Hal ini kemungkinan akibat pembesaran atrium akibat lesi katup jantung
yang mencegah atrium mengosongkan isinya secara adekuat ke dalam ventrikel. Pasien mendapat
batasan cairan 1500 cc/24 jam kemungkinan agar memperingan kerja jantung. Pasien juga
mengalami cemas karena berkaitan dengan perawatan dan pengobatan yang seharusnya akan
dilakukan operasi appendiks tetapi karena biaya tidak ada dan kemungkinan ditunda karena resiko
terhadap penyakit jantungnya.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang penulis temukan pada pasien adalah resiko tinggi penurunan curah
jantung berhubungan dengan gangguan konduksi jantung, diagnosa ini diangkat karena adanya hasil
EKG dengan Mitral stenosis, atrial fibrilasi pada V1 dan V3. Diagnosa ke-2 adalah nyeri berhubungan
dengan proses peradangan pada appendiks, diagnosa ini diangkat karena pasien mengatakan nyeri
tekan mulai berkurang intensitas 1-2 dan hasil USG adanya permulaan appendicitis. Diagnosa ke-3
adalah intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai oksigen miokard dengan
kebutuhan karena pasien mengatakan cepat lelah, N/HR: 80 x/nt, P: 26 x/mnt, hasil thorax foto:
severe cardiomegali dengan efusi pleura bilateral kiri lebih banyak dibandingkan kanan, corakan
vaskuler kasar di kedua perihiler. Diagnosa ke-4 adalah cemas berhubungan dengan proses
perawatan dan pengobatan karena pasien mengatakan merasa beban karena biaya tidak ada untuk
operasi, ingin cepat pulang. Diagnosa lain yang berhubungan dengan appendicitis pada teori tidak
diangkat karena sesuai dengan kondisi pasien.

3. Perencanaan

Perencanaan yang dilakukan pada DP1 difokuskan pada pemantauan tanda-tanda vital terutama
nadi/HR, suara irama jantung, obat-obatan dengan batasan cairan. DP2 difokuskan pada cara
mengatasi nyeri dengan teknik relaksasi dan mengkaji nyeri (intensitas). DP3 difokuskan pada
penyuluhan tentang pentingnya istirahat dan tanda-tanda vital setelah melakukan aktivitas. DP4
difokuskan pada pendampingan terhadap koping yang digunakan pasien.

4. Pelaksanaan

Pelaksanaan yang dilakukan sesuai dengan rencana yang telah dibuat yaitu: pada DP1 memantau
tanda-tanda vital terutama N, HR (irama, frekuensi), mengkaji keluhan pasien seperti nyeri dada,
memberikan terapi obat-obatan sesuai instruksi serta memantau cairan. Pada DP2 Mengkaji dan
mencatat intensitas, lokasi nyeri, mengobservasi TTV (TD, N, HR, P, S), mengajarkan teknik relaksasi
dan memberikan therapy. Pada DP3 Memberi penjelasan mengenai aktivitas yang boleh dilakukan,
mengkaji tanda-tanda tidak toleransi terhadap aktivitas. DP4 Mengajak pasien berdiskusi agar
mengurangi rasa cemas dan mengkaji keefektifan koping pasien.

5. Evaluasi

Evaluasi dilakukan sesuai diagnosa yang ada, namun semua masalah yang ada pada pasien belum
dapat teratasi. Pada Dp1 keluhan lelah, hasil dari EKG dan tanda-tanda vital memungkinkan resiko
penurunan curah jantung, DP2 Hasil USG dan laboratorium serta keluhan nyeri akibat proses
peradangan pada appendix, DP3 untuk aktivitas masih dibatasi agar tidak memperberat kerja
jantung, DP4 kecemasan masih ada sehingga masih dibutuhkan dukungan keluarga untuk pasien.
BAB V

KESIMPULAN

Setelah melakukan pengamatan dan pembahasan kasus maka dapat diambil kesimpulan bahwa
pada pasien terdapat dua masalah yaitu appendicitis dan atrial fibrilasi. Appendicitis adalah
peradangan appendik, untuk penyebab dari appendicitis adalah adanya fekalit, infeksi virus dengan
tanda dan gejala nyeri pada daerah abdomen kanan bawah dapat disertai mual.

Atrial fibrilasi disebabkan karena gangguan pembentukan impuls. Yaitu pembesaran atrium akibat
lesi katup jantung yang mencegah atrium mengosongkan isinya secara adekuat ke dalam ventrikel.
Oleh karena itu sesuai dengan kondisi pasien maka lebih memprioritaskan yang mengancam jiwa,
tetapi tidak mengabaikan gejala yang lain.

Dalam hal ini pola hidup yang salah merupakan faktor yang dapat mengakibatkan terjadinya
penyakit appendicitis. Oleh karena itu peran penting perawat seta dukungan dari keluarga sangat
dibutuhkan oleh pasien maka perlunya penyuluhan pada masyarakat dalam hal mengatur pola hidup
yang baik agar terjaga kesehatannya.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN ANEMIA

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Semua sel hidup memerlukan material untuk bertahan hidup dan melakukan fungsi kerja yang
diperlukan untuk mempertahankan kehidupan. Perubahan massa sel darah merah menimbulkan dua
keadaan yang berbeda, jika jumlah sel darah merah kurang, maka timbul anemia.

Anemia adalah tanda dari suatu proses perjalanan penyakit yang dapat diidentifikasikan karena
anemia bukan penyakit yang spesifik. Telah diketahui secara umum anemia yang berat dapat
membuat shock, biasanya gejalanya tidak diperhatikan oleh penderita.

Beberapa ahli epidemiologi mengkalkulasikan sedikitnya satu setengah populasi di dunia yang
menderita anemia. Data tersebut memberi gambaran bahwa masalah anemia perlu mendapat
perhatian dan penanganan yang baik karena kalau tidak akan menimbulkan komplikasi. Dalam hal ini
perawat penting memberi penyuluhan tentang istirahat, pola makanan yang baik serta pengobatan
yang teratur untuk membantu dalam proses penyembuhan dan peningkatan penyakit.

B. TUJUAN PENULISAN

Penulisan makalah ini bertujuan mengaplikasikan semua teori yang telah penulis peroleh melalui
praktek asuhan keperawatan di lapangan.

Agar mahasiswa memahami anatomi, fisiologi dan patofisiologi yang berhubungan dengan penyakit
anemia.
Agar mahasiswa mampu menerapkan asuhan keperawatan pada pasien anemia.
Agar mahasiswa mampu memberikan penyuluhan terhadap pasien di rumah sakit mengenai
penanganan penyakit anemia.

C. METODE PENULISAN
Dalam menyusun makalah ini penulis mengumpulkan data dengan informasi dengan cara :

Studi pustaka, dengan mengumpulkan dan mempelajari literatur-literatur yang berhubungan dengan
anemia.
Pengamatan kasus yang dilakukan secara langsung di rumah sakit.

D. SISTEMATIKA PENULISAN

Penulisan makalah ini diawali dengan kata pengantar dan daftar isi, dilanjutkan Bab I. Pendahuluan
yang berisi tentang latar belakang, tujuan penulisan, metode dan sistematika penulisan. Bab II.
Tinjauan teoritis terdiri dari konsep dasar medik dan konsep asuhan keperawatan. Bab III diuraikan
mengenai pengamatan kasus. Hasil pengamatan kasus dibahas pada Bab IV yang berisi tentang
Pembahasan kasus. Bab V tentang kesimpulan, dan pada bagian akhir makalah ini dilampirkan daftar
pustaka.
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. KONSEP MEDIK

1. Definisi

Anemia adalah suatu penurunan dari normal terhadap eritrosit, jumlah haemoglobin dan hematokrit
yang disebabkan oleh perdarahan, berkurangnya produksi eritrosit atau peningkatan penghancuran
sel darah merah. (Sharon Mantik Lewis, 2000, hal. 736).

Anemia adalah istilah yang menunjukkan rendahnya jumlah sel darah merah dan kadar Hb dan Ht di
bawah normal. (Brunner & Suddarth, 2000).

Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar haemoglobin atau jumlah eritrosit lebih rendah dari
keadaan normal yaitu bila Hb berkurang dari 14 g/dl dan hematokrit kurang dari 41% pada pria atau
Hb kurang dari 12 g/dl dan hematokrit kurang dari 37% pada wanita. (Kapita Selekta Kedokteran,
2000, hal. 547).
Klasifikasi anemia :

1) Anemia mikrositik hipokrom

Adalah keadaan dimana kandungan besi tubuh total turun di bawah tingkat normal (dewasa pria :
13,5-18 g/dl; wanita : 12-16 g/dl). Besi diperlukan untuk sintesa hemoglobin).

2) Anemia makrositik

a. Anemia defisiensi Vit. B12 (pernisiosa)

Kekurangan vitamin B12 akibat gangguan absorpsi vitamin yang merupakan penyakit herediter
autoimun.

b. Anemia defisiensi asam folat

Penurunan absorpsi asam folat jarang ditemukan karena absorbsi terjadi di saluran cerna.

c. Anemia karena perdarahan.

d. Anemia hemolitik

Terjadi penurunan usia sel darah merah (normal 120 hari) baik sementara maupun terus-menerus).

e. Anemia aplastik.

Terjadi karena ketidaksanggupan sumsum tulang membentuk sel-sel darah.

2. Anatomi Fisiologi

Darah adalah suatu jaringan tubuh berupa cairan yang terdapat di pembuluh darah yang jumlahnya
pada orang sehat dewasa 1/3 dari berat badan atau kira-kira 4-5 liter. Hal ini tergantung dari umur,
pekerjaan, keadaan jantung dan pembuluh darah. Darah terdiri dari komponen cair (plasma) : 91-
92% dan padat 7-9%.
Komponen padat darah terdiri dari :

2.1. Eritrosit (sel darah merah)

Berbentuk bulat pipih, tidak mempunyai inti sel, jumlahnya kira-kira 5 juta/mm3 darah. Dibentuk
dalam sumsum tulang dan dirangsang oleh hormon eritropoetin yang berasal dari ginjal. Usia
eritrosit dalam peredarannya adalah 120 hari. Di dalam sel eritrosit dapat didapat hemoglobin yaitu
suatu senyawa kimiawi yang terdiri dari molekul Hem yang mempunyai ion Fe (besi) yang terkait
dengan rantai globin (suatu senyawa protein). Hemoglobin berperan mengangkut oksigen dan CO2.
Jumlah hemoglobin pada laki-laki 14-16 gr% dan wanita 12-14%.

2.2. Leukosit (sel darah putih)

Berwarna bening, dapat berubah-ubah serta mempunyai inti sel. Jumlah sel darah putih normalnya
adalah 4.800-10.800 /mm3. Fungsi utamanya adalah sebagai pertahanan tubuh.

2.3. Trombosit (sel pembeku darah)

Berupa benda-benda kecil yang mati dimana bentuk dan ukurannya bermacam-macam. Trombosit
dibuat di sumsum tulang, paru-paru dan limfa yang diameternya 1-4 m dan umur peredarannya
sekitar 10 hari. Jumlah trombosit normal 150.000-450.000 /ul.

Fungsi darah adalah :

Sebagai alat pengangkut, yaitu :

1.1 Mengambil O2 atau zat pembakaran dari paru-paru untuk diedarkan ke seluruh jaringan tubuh.

1.2 Mengambil CO2 dari jaringan untuk dikeluarkan melalui paru-paru.

1.3 Mengambil zat-zat makanan dari usus halus untuk diedarkan ke seluruh jaringan/alat tubuh.

1.4 Mengangkut dan mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna bagi tubuh dan ginjal.

Sebagai pertahanan tubuh terhadap bibit penyakit dan racun yang akan membinasakan tubuh
dengan perantaraan leukosit, antibodi/zat anti racun.
Menyebarkan panas ke seluruh tubuh.

Gambar Anatomi
3. Etiologi

3.1. Penurunan produksi eritrosit, yaitu terdiri dari:

3.1.1. Peningkatan sintesis hemoglobin seperti defisiensi zat besi dan thalasemia.

3.1.2. Rusaknya sintesis DNA karena penurunan vitamin B12 (cobalamin) dan defisiensi asam
folat.

3.1.3. Pencetus terhadap penurunan jumlah eritrosit seperti anemia aplastik, anemia dari
leukemia, dan penyakit kronik.

3.2. Perdarahan

3.2.1. Akut, bisa disebabkan karena trauma dan rupturnya pembuluh darah.

3.2.2. Kronik, seperti gastritis, menstruasi dan hemoroid.

3.3. Peningkatan penghancuran eritrosit

3.3.1. Intrinsik : hemoglobin yang tidak normal, defisiensi enzim (G6PD)

3.3.2. Ekstrinsik : trauma fisik, antibodi, infeksi dan toksik (malaria).

4. Patofisiologi

Anemia adalah sebagian akibat produksi sel darah merah tidak mencukupi dan sebagian lagi akibat
sel darah merah yang prematur, kehilangan darah, kurang nutrisi dan herediter. Semuanya ini
mengakibatkan gangguan atau kerusakan pada sumsum tulang. Sel darah merah mengalami
penghancuran dalam sirkulasi seperti pada berbagai kelainan hemolitik. Karena jumlah efektif sel
darah merah berkurang, maka lebih sedikit O2 yang dikirimkan ke jaringan. Kehilangan darah yang
mendadak (30% atau lebih), seperti pada perdarahan, menimbulkan simtomatologi sekunder
hipovolemia dan hipoksemia. Tanda dan gejala yang sering timbul adalah gelisah, diaforesis (keringat
dingin), takikardia, sesak nafas, kolaps sirkulasi yang progresif cepat atau syok. Takikardia dan bising
jantung (suara yang disebabkan oleh kecepatan aliran darah yang meningkat. Angina (sakit dada),
khususnya pada penderita yang tua dengan stenosis koroner, dapat diakibatkan karena iskemia
miokardium. Pada anemia berat, dapat menimbulkan payah jantung kongestif sebab otot jantung
kekurangan oksigen dengan beban kerja jantung yang meningkat. Dispnea, nafas pendek dan cepat,
lelah waktu melakukan aktivitas jasmani merupakan manifestasi berkurangnya pengiriman O2. Sakit
kepala, pusing, kelemahan dan tinitus (telinga berdengung) dapat menggambarkan berkurangnya
oksigenisasi pada susunan saraf pusat. Pada anemia yang berat dapat juga timbul gejala saluran
cerna yang umumnya berhubungan dengan keadaan defisiensi. Gejala-gejala ini adalah anoreksia,
nausea, konstipasi atau diare dan stomatitis. Penghancuran sel darah merah dalam sirkulasi, dikenal
dengan nama hemolisis, terjadi bila gangguan pada sel darah merah itu sendiri yang memperpendek
hidupnya atau karena perubahan lingkungan yang mengakibatkan penghancuran sel darah merah.
Keadaan dimana sel darah merah itu terganggu, adalah :

Hemoglobinopati : hemoglobin abnormal yang diturunkan misalnya anemia sel sabit.


Gangguan sintesis globin, misalnya thalasemia.
Gangguan membran sel darah merah, misalnya sterositosis herediter.
Defisiensi enzim, misalnya defisiensi G6PD (glucose 6-fosfat dehidogenase).

5. Tanda dan gejala

Kulit (pucat, kuning, pruritus)


Mata (ikterik, konjungtiva dan sklera, penglihatan kabur)
Mulut (glositis, rasa tidak enak di mulut)
Kardiovaskuler (takikardia, peningkatan tekanan darah, murmur sistolik, intermittent claudication,
nyeri, CHF, MCI)
Paru-paru (tachypnea, orthopnea, dyspnea)
Saraf (sakit kepala, pusing, penurunan aktivitas)
Sistem pencernaan (anorexia, hepatomegali, splenomegali, gangguan menelan)
Muskuloskeletal (nyeri pada tulang)]
Umum (sensitif terhadap dingin, penurunan berat badan dan mudah mengantuk).

6. Pemeriksaan Diagnostik

Darah lengkap

- Hemoglobin

- Hematokrit
- Retikulosit

- Bilirubin

- Eritrosit

- Trombosit

- Leukosit.

Pemeriksaan feses
Pemeriksaan urine
BMP hiperplasi pada sumsum tulang
Rontgen foto cholelithiasis
Scan liver splan
Serum vitamin B12

7. Komplikasi

Komplikasi umum anemia meliputi gagal jantung, parestesia dan kejang. Pada setiap tingkat anemia,
pasien dengan penyakit jantung cenderung lebih besar kemungkinannya mengalami angina atau
gejala gagal jantung kongestif daripada seseorang yang tidak mempunyai penyakit jantung.
Komplikasi dapat terjadi sehubungan dengan jenis anemia tertentu.

8. Therapi dan Pengelolaan Medik

Kemoterapi
Imanotherapi
Radiasi
Transfusi darah.

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian

1.1. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan

Adanya kelelahan, sakit kepala, adanya keluhan kedinginan.

Riwayat perdarahan, misalnya ulcus, haemoroid, penyakit ginjal, penyakit hati, Ca, infeksi kronis,
adanya angina.

Adanya riwayat pengobatan.

Riwayat terkena zat kimia, seperti radiasi.

Kaji riwayat keturunan seperti anemia thalasemia.

1.2. Pola nutrisi metabolik

Penurunan BB.

Kurang nafsu makan.

Mual muntah.

Adanya gangguan dalam mulut, tidak selera makan.

Kelainan rasa pengecapan.

1.3. Pola eliminasi

Adanya konstipasi dan diare.

Adanya kembung, peningkatan peristaltik usus.

Penurunan pengeluaran urine.

Adanya perdarahan di feses dan urine.


1.4. Pola aktivitas dan latihan

Adanya kelelahan dan toleransi beraktifitas.

Kelemahan, kelelahan, malaise.

Penurunan latihan.

Kebutuhan istirahat dan tidur bertambah.

1.5. Pola persepsi kognitif

Adanya sakit kepala, pusing.

Ada rasa baal di tangan dan kaki.

Operasi besar seperti splenectomi, pengangkatan prostat.

Nyeri dada dan tulang.

Adanya gangguan penglihatan dan pendengaran.

Gatal-gatal.

Hipersensitif terhadap dingin.

1.6. Pola reproduksi dan seksualitas

Adanya penurunan libido.

Perubahan siklus menstruasi menorhagia, amenorhoe.

Impoten.

Metrokhagia.

Perdarahan pada sebelum dan sesudah partus.


2. Diagnosa Keperawatan

2.1. Hypoxemia b.d kekurangan oksigen dalam sel darah merah.

2.2. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d anorexia.

2.3. Risiko tinggi kerusakan integritas kulit b.d hypoxemia jaringan, bed rest, imobilisasi.

2.4. Ketidakmampuan merawat diri b.d kelemahan dan kelelahan karena penurunan oksigen
dalam darah.

2.5. Perubahan pola eliminasi : konstipasi atau diare b.d perubahan intake dan perubahan dalam
digestif efek samping obat.

2.6. Risiko tinggi infeksi b.d pertahanan sekunder yang tidak adekuat seperti penurunan Hb,
leucopeni.

3. Perencanaan

3.1. Hypoxemia b.d kekurangan oksigen dalam sel darah merah.

Hasil yang diharapkan :

Oksigen dalam sel darah merah terpenuhi.

Tidak terjadi cyanosis.

Rencana Tindakan :

Berikan posisi semifowler.

R/ Meningkatkan ekspansi paru.

Monitor dan catat tanda hypoxemia seperti kelemahan, kelelahan, dam confusi.

R/ Mengetahui lebih dini tanda hypoxemia dan menolong memberi intervensi selanjutnya.

Kaji konjungtiva dan tanda-tanda cyanosis.

R/ Untuk mengetahui tanda-tanda kekurangan oksigen.

Kaji pernapasan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas.


R/ Kemungkinan timbulnya dispnea dan tachipnea.

Berikan oksigen sesuai program medik.

R/ Meningkatkan suplai oksigen karena hipoksia.

Monitor AGD.

R/ Penurunan pH dan tanda hipoksemia.

Monitor Hb.

R/ Menentukan kapasitas anemia.

Ajarkan teknik relaksasi dan napas efektif.

R/ Mengurangi dispnea.

3.2. Kekurangan nutrisi b.d anoreksia tidak nafsu makan.

Hasil yang diharapkan :

Pasien mampu menghabiskan makanan 1 porsi.

Tidak terjadi penurunan berat badan.

Tidak terjadi dehidrasi.

Rencana Tindakan :

Jaga higiene mulut sesudah dan sebelum makan.

R/ Memberi rasa nyaman dan meningkatkan nafsu makan.

Observasi kelainan di lidah, mulut dan oesofagus.

R/ Stomatitis dan glositis dan kemungkinan terjadi anemia.

Beri diit lunak pada kelainan mulut.

R/ Untuk mencegah iritasi lebih lanjut.

Beri vitamin dan mineral sesuai pesan dokter.


R/ Untuk meningkatkan absorbsi dan metabolisme.

Ajarkan pasien tentang diet dan hubungan diet dan hubungan dengan penyakitnya.

R/ Meningkatkan kooperatif pasien untuk menaati diet.

Catat porsi makan yang dihabiskan.

R/ Memberi masukan dan jumlah kalori.

Timbang berat badan tiap hari.

R/ Perubahan berat badan membantu perubahan nutrisi.

3.3. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit b.d hypoxemia jaringan, bedrest, imobilisasi.

Hasil yang diharapkan :

Kerusakan integritas kulit tidak terjadi.

Rencana Tindakan :

Kaji kulit pasien terhadap adanya kemerahan dan indurasi.

R/ Penekanan pada daerah tertentu akan menghambat sirkulasi dan hypoxemia jaringan.

Kaji kebersihan kulit.

R/ Mencegah infeksi.

Berikan posisi selang seling tiap 2 jam.

R/ Memperlancar sirkulasi darah dan mencegah penekanan.

Ajarkan latihan ROM

R/ Merangsang sirkulasi.

3.4. Ketidakmampuan merawat diri b.d kelemahan, kelelahan karena penurunan oksigen di dalam
darah.

Hasil yang diharapkan :


Pasien dapat memenuhi kebutuhan nutrisi.

Kelelahan, kelemahan tidak terjadi lagi.

Rencana Tindakan :

Kaji kemampuan pasien untuk melakukan aktifitas harian tanpa ada keluhan, kelemahan,
fatigue, kesulitan beraktifitas.

R/ Intervensi selanjutnya.

Dekatkan kebutuhan pasien seperti air, tissue, bel.

R/ Mengurangi kebutuhan pasien sesuai tingkat kemampuan pasien.

Anjurkan pasien untuk mobilisasi secara bertahap.

R/ Membantu mempercepat pasien kooperatif.

Ubah posisi pasien secara bertahap dan monitor dizziness.

R/ Indikasi dari hipotensi postural atau hipoksia serebral dapat menyebabkan nausea/muntah,
resiko perlukaan.

3.5. Perubahan pola eliminasi : konstipasi/diare b.d penurunan intake, perubahan dalam digestif
efek samping obat.

Hasil yang diharapkan :

Pola eliminasi normal.

Konstipasi tidak terjadi.

Rencana Tindakan :

Observasi feses, konsistensi, frekuensi dan jumlah.

R/ Mengidentifikasi penyebab atau faktor yang menunjang intervensi selanjutnya.

Auskultasi bising usus.

R/ Bising usus meningkat pada diare dan menurun pada konstipasi.


Monitor dan laporkan intake output per oral.

R/ Dapat menunjukkan dehidrasi, kehilangan cairan berlebihan atau tambahan dalam


mengidentifikasi defisiensi.

Konsultasi dengan ahli diet untuk pemberian diet seimbang tinggi serat.

R/ Makanan tinggi serat mempertahankan enzim pencernaan dan penyerapan cairan.

3.6. Resiko tinggi b.d pertahanan sekunder yang tidak adekuat seperti Hb, leukopeni.

Hasil yang diharapkan :

Infeksi tidak terjadi.

Rencana Tindakan :

Kembangkan cara mencuci tangan yang benar dalam memberikan perawatan kepada pasien.

R/ Mencegah infeksi silang.

Pertahankan tehnik aseptik sesuai dengan prosedur atau pengobatan luka.

R/ Mengurangi resiko infeksi bakterial.

Berikan perawatan kulit, mulut dan perianal secara teliti dan cermat.

R/ Mengurangi resiko kerusakan integritas kulit atau jaringan dan infeksi.

Monitor temperatur atau suhu, catat bila ada kedinginan, takikardia.

R/ Akibat dari infeksi yang membutuhkan tindakan.

4. Perencanaan Pulang

Perencanaan pulang pada pasien yang anemia adalah :

4.1. Pemeliharaan nutrisi yang adekuat yaitu mengkonsumsi makanan bergizi seperti mengandung
asam folat dan vitamin B12 contoh : sayur-sayuran berwarna hijau; bayam, tempe, hati, ginjal, atau
suplemen tambahan dan lain sebagainya.

4.2. Istirahat dan toleransi terhadap aktivitas.


4.3. Mencegah adanya komplikasi dengan segera minta bantuan kesehatan terdekat.

C. PATOFLOWDIAGRAM

Nutrisi <<<

Penurunan Fe, As. Folat, Vit. B12

Gangguan produksi eritrosit

- Trauma
- Penyakit (leukimia, gastritis)
- Herediter
- Menstruasi

Perdarahan dan peningkatan penghancuran


eritrosit

DP VI.
Risti Infeksi
Konsentrasi Hb terganggu

Transportasi
O2 dan CO2
terganggu

Hypoxia jaringan
Gelisah dan
sakit kepala
Diaporesis
Tachicardia
Sesak napas

Shock

Anoxia Jaringan

Asidosis Metabolik
DP I.
Hypoxemia

DP IV.
Aktivitas

DP III.
Risti Inte-gritas kulit

Transportasi
Makanan menurun

Gangguan saluran
cerna
Anoreksia
Nausea
Stomatitis
Diare
Konstipasi

DP II. Nutrisi

DP V. Eliminasi
BAB III

PENGAMATAN KASUS

Pasien bernama Ny. V berusia 19 tahun, beragama Islam, masuk RS Sint. Carolus pada tanggal 9
Januari 2004 dengan diagnosa medik Anemia + GE, pasien masuk melalui UGD.

Alasan pasien masuk rumah sakit dan mencari perawatan adalah diare, mual, muntah, panas dingin,
pusing dan berkunang-kunang lalu penglihatan gelap lalu pasien memeriksakan diri ke UGD dan
dianjurkan untuk dirawat oleh dr.Eddy.

Keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, observasi tanda-tanda vital : TD :
100/70 mmHg, N : 76 x/menit, HR : 80 x/menit, Suhu: 36 oC. pernapasan : 22 x/menit. Pasien
mengatakan sudah tidak diare, mual ada, pusing dan berkunang-kunang ada kadang-kadang dan
berkeringat. TB: 162 cm, BB: 45 kg, IMT : 17,2. Kesimpulan berat badan berkurang. Pasien
mengatakan bila duduk dan langsung berdiri kepala pusing, kunang-kunang dan gelap. Dalam
keluarga tidak ada yang mempunyai riwayat penyakit anemia.

Dalam hasil pemeriksaan diagnostik pada tanggal 9 Januari 2004: Hb: 8,9 g/dl (12,0-18,0 g/dl), Ht:
28% (37-52%), leukosit : 7200 /ul (4.800 – 10.800 /ul), trombosit : 420.000 /ul (150.000-450.000 /ul).
Tanggal 10 Januari 2004 : Si: 7,9 ug/dl (38-148 ug/dl), T, BC: 286 ug/dl (248-419 ug/dl), retikulosit :
8% (5-12%), membran darah tepi: kesan GDT sesuai dengan anemia mikrositik.

Terapi yang digunakan adalah New Diatab 3x2 tab, imodium 1x1 tab, Danaflox 3x200 mg, Wiacid
2x1, dan Sotatic 2x1 amp. Diit yang diberikan diit lunak. Dari hasil pengamatan terdapat 3 masalah
yaitu : perubahan nutrisi, resiko tinggi hipoxemia dan ketidakefektifan regimen terapeutik.
Perencanaan dan pelaksanaan adalah pemberian terapi medik sesuai dosis, memberi penyuluhan
untuk informasi pasien. Evaluasi yang didapat dari pelaksanaan yang dilakukan ialah pengetahuan
pasien bertambah, dan kebutuhan nutrisi masih belum teratas sebelumnya.

BAB IV

PEMBAHASAN KASUS

Berdasarkan studi kepustakaan dari berbagai literatur dan dilakukan pengamatan langsung terhadap
pasien Ny. V dengan anemia, penulis mencoba membandingkan antara teori dengan kasus yang ada.

1. Pengkajian

Sampai dengan akhir pengamatan penulis menyimpulkan bahwa anemia yang diderita Ny. V
disebabkan oleh kurangnya asupan makanan yang mengandung zat besi seperti sayuran hijau dan
riwayat gastritis yang dideritanya, pasien suka makanan yang pedas, dan jarang makan hati.

Berdasarkan hasil laboratorium terdapat penurunan sel darah merah : Hb: 8,9 g/dl (12-18 g/dl), Ht:
28% (37-52%), membran darah tepi.

Kesan : GDT sesuai dengan anemia mikrositik.


Pada tanda dan gejala tidak ditemukan dispnea, kelelahan, mual, pusing, mata berkunang-kunang
mulai berkurang.

2. Diagnosa Keperawatan

Masalah yang ditemukan pada pasien yaitu :

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual.


Resiko hipoxemia b.d kekurangan oksigen dalam sel darah merah.

Sedangkan diagnosa yang tidak terjadi yaitu :

Ketidakmampuan merawat diri b.d kelemahan dan kelelahan karena penurunan oksigen dalam
darha.

Tidak terjadi karena pasien sudah dapat memenuhi kebutuhannya dan bila lelah pasien istirahat di
tempat tidur.

Perubahan pola eliminasi : konstipasi atau diare b.d perubahan intake dan perubahan dalam digestif
efek samping obat.

Tidak terjadi karena pasien sudah mendapat therapi New Diatab 3x2 tab, Imodium 1x1 tablet.
Sehingga pada saat pengkajian perubahan eliminasi : diare sudah tidak terjadi.

Resiko tinggi kerusakan integritas kulit b.d hypoxemia jaringan, bed rest, imobilisasi.

Tidak terjadi karena pasien sudah mobilisasi mandiri.

Resiko tinggi infeksi b.d pertahanan sekunder yang tidak adekuat seperti penurunan Hb, leukopeni.

Tidak ditemukan karena pemeriksaan laboratorium menunjukkan penurunan Hb dan Ht sementara


leukosit dan trombosit dalam nilai normal.

Sedangkan ada diagnosa yang diangkat penulis tapi tidak ada dalam literatur yaitu ketidakefektifan
regimen terapeutik b.d informasi tentang pengobatan, tanda gejala, penyebab penyakit.

3. Perencanaan

Dalam melaksanakan asuhan keperawatan kepada Ny. V dilakukan sesuai dengan rencana
keperawatan. Intervensi dapat dilakukan dan tidak menemukan hambatan yang berarti karena
tersedianya fasilitas dan kerja sama yang baik antara perawat dengan pasien. Dalam pelaksanaan
diutamakan penyuluhan kembali tentang penyakitnya dan penyebabnya agar tidak terulang lagi.

4. Evaluasi

Setelah dilakukan pelaksanaan, evaluasi semua belum dapat tercapai karena keterbatasan waktu
dalam pelaksanaan dan pelaksanaannya dibutuhkan ketaatan terhadap diit untuk mengurangi
terjadinya penyakit yang sama dan tidak terjadi komplikasinya.

BAB V

KESIMPULAN
Setelah mempelajari, membahas serta melihat pada kasus anemia yang dialami pada Ny. V, penulis
mencoba untuk menarik kesimpulan bahwa penyebab anemia Ny. V karena faktor makanan yang
kurang mengandung zat besi dan riwayat gastritis. Dari hasil pemeriksaan diagnostik terdapat
penurunan Hb : 8,9 g/dl (12-18 g/dl), Ht: 28% (37-52%), Albumin : 3,1 g/dl (3,5-5,0 g/dl), Globulin :
4,4 g/dl (1,5-3,5 g/dl).

Pada kasus ditemukan 3 masalah yaitu : perubahan nutrisi, resiko hypoxemia dan ketidakefektifan
regimen terapeutik. Setelah dilakukan pelaksanaan selama 1hari, sebagian dapat dilaksanakan
dengan baik, tetapi evaluasi semua tidak dapat tercapai karena keterbatasan waktu pelaksanaan.

Anda mungkin juga menyukai