Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

Malnutrisi dinyatakan sebagai faktor risiko utama penyebab kematian


di dunia serta berhubungan dengan 52,5% kematian pada anak – anak.
Berdasarkan data dari UNICEF, WHO dan World Bank, sekitar 161 juta anak
usia dibawah 5 tahun mengalami stunting di seluruh dunia dan sepertiga dari
jumlah tersebut terdapat di Afrika. Rata – rata angka kejadian stunting di
negara berkembang sekitar 25%. Walaupun angka underweight telah
berkurang dari 25% menjadi 15% di dunia, namun angka tersebut hanya
berkurang sedikit di Afrika, 23% pada tahun 1990 menjadi 17% pada tahun
2013. Di Indonesia prevalensi stunting pada anak – anak tahun 2007 sebesar
36,8% dan terjadi peningkatan pada tahun 2013 menjadi 37,2%.1,2

Nutrisi yang adekuat sangat penting pada anak usia dini untuk
memastikan pertumbuhan yang sehat, pembentukan dan fungsi organ yang
tepat, sistem kekebalan yang kuat, dan perkembangan neurologis dan
kognitif. Diet rendah energi atau nutrisi tertentu, berbagai paparan lingkungan
antenatal dan postnatal, infeksi akut, penyakit kronis atau kelalaian
psikososial dapat menyebabkan malnutrisi. Masalah sosial juga merupakan
salah satu faktor penyebab malnutrisi, seperti usia ibu yang terlalu muda dan
rendahnya status sosio-ekonomi orang tua. Beberapa penyakit kongenital
seperti bibir sumbing, cerebral palsy, akalasia, dan penyakit jantung bawaan
juga merupakan faktor risiko terjadinya malnutrisi. Penyakit kongenital
tersebut sering kali menyebabkan sulitnya pemberian makanan pada anak.
Untuk itu penyebab malnutrisi pada penyakit kongenital terutama disebabkan
oleh kurangnya intake nutrisi.3,4,7,9

Malnutrisi menyebabkan berbagai dampak negatif kedepannya,


seperti meningkatkan risiko infeksi, terhambatnya perkembangan kognitif,
bahkan hingga kematian. Anak – anak dengan malnutrisi mengalami
penurunan imunitas dan sering kali meninggal akibat diare, infeksi saluran
napas, atau malaria. Anak anak dengan malnutrisi juga cenderung mengalami
penyakit tidak menular seperti diabetes dan hipertensi saat dewasa. Untuk itu

1
intervensi untuk mengurangi malnutrisi harus dilakukan sebelum bayi
tersebut lahir.1

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Kongenital Yang Dapat Menyebabkan Malnutrisi

2.1.1 Cerebral palsy

Definisi

Cerebral palsy adalah suatu gangguan atau kelainan yang terjadi pada
suatu kurun waktu dalam perkembangan anak, mengenai sel-sel motorik di
dalam susunan saraf pusat, bersifat kronik dan tidak progresif. Penyakit ini
diakibatkan kelainan atau cacat pada jaringan otak yang belum selesai
pertumbuhannya.3

Etiologi

Penyebab cerebral palsy dapat dibagi dalam tiga periode yaitu,


periode prenatal, natal dan post-natal. Pada periode prenatal cerebral palsy
dapat terjadi karena malformasi kongenital, infeksi intrauterine, radiasi dan
asfiksia intrauterine (solusio plasenta atau plasenta previa, periode natal
perdarahan intra kranial, trauma saat lahir dan prematuritas, periode post-
natal trauma kapitis, infeksi (meningitis bacterial, abses serebri,
tromboplebitis) dan kern icterus.3

Patogenesis menjadi malnutrisi

Cerebral palsy merupakan disabilitas yang sering ditemukan pada


anak – anak yang mempengaruhi fungsi saraf sensoris dan motorik yang pada
akhirnya menyebabkan disfungsi motorik oral. Anak – anak dengan cerebral
palsy memiliki kesulitan untuk makan karena ketidakmampuannya untuk
memasukkan makanan ke dalam mulut dan karena adanya masalah saat
mengunyah atau menelan. Malnutrisi yang terjadi pada pasien dengan
cerebral palsy disebabkan karena kurangnya intake makanan, sehingga suplai
makanan dalam tubuh menurun.3

3
Gejala klinis

Gambaran klinis cerebral palsy tergantung dari bagian dan luasnya


jaringan otak yang mengalami kerusakan. Pada pasien cerebral palsy dapat
terjadi paralisis dalam bentuk hemiplegia, kuadriplegia, diplegia dan
monoplegia. Kelumpuhan ini dapat bersifat flaksid, spastik dan campuran.
Gerakan involunter juga sering muncul pada pasien cerebral palsy, yakni
berupa atetosis, koreoatetosis, dan tremor. Gangguan koordinasi juga tampak
pada pasien dengan cerebral palsy. Orang tua pasien juga sering kali
mengeluhkan anak mereka mengalami kejang. Kejang pada cerebral palsy
dapat bersifat umum atau fokal.3

2.1.2 Bibir sumbing (Labiopalatoskisis)

Definisi

Bibir sumbing adalah cacat lahir kraniofasial yang paling umum


terjadi. Terjadinya bibir sumbing atau labioskisis merupakan kegagalan
penyatuan tonjolan maksila dan tonjolan hidung bagian medial, dapat terjadi
unilateral atau bilateral. Bila tonjolan hidung medial lisis, bagian yang
membentuk dua segmen antara maksila gagal menyatu sehingga terbentuk
celah yang disebut palatoskisis.4

Etiologi

Penyebab labiopalatoskisis belum diketahui dengan pasti.


Kebanyakan peneliti berpendapat bahwa labiopalatoskisis muncul akibat
kombinasi dari faktor genetik dan faktor lingkungan. Beberapa tahun
belakangan ditemukan bahwa obat – obat yang memiliki sifat teratogenik
dapat menyebabkan terjadinya labiopalatoskisis. Pemberian aspirin, kortisol
dan insulin pada kehamilan trimester pertama dpaat menyebabkan terjadinya
celah pada bibir ataupun palatum. Obat – obatan seperti thalidomide,
kortikosteroid dan obat penenang (diazepam, phenytoin) serta alcohol juga
diperkirakan dapat menyebabkan kelainan ini.4

4
Patogenesis menjadi malnutrisi.

Labiopalatoskisis merupakan malformasi kraniofasial yang sering


ditemui dan seringkali berhubungan dengan gangguan menelan dan
penurunan laju pertumbuhan, karena menyebabkan anak tidak dapat makan
degan baik. Anak dengan labioskisis atau palatoskisis cenderung memiliki
kemampuan menghisap yang lebih pendek, cepat, tidak terkoordinasi dan
tidak efektif yang dapat menyebabkan terjadinya asfiksia, karena masuknya
susu ke rongga hidung dan kelebihan jumlah udara yang ditelan. Celah yang
terdapat pada bibir atau palatum ini merupakan masalah utama yang
menyebabkan disfungsi tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
anak dengan riwayat labiopalatoskisis memiliki tinggi dan berat yang lebih
rendah dibandingkan dengan anak normal, namun perbedaan tinggi dan berat
ini hanya tampak pada satu tahun pertama kehidupan, setelah berusia satu
tahun, kebanyakan pasien dengan labiopalatoskisis menunjukkan grafik
pertumbuhan yang hampir sama dengan anak normal.4

Gejala klinis

Gejala klinis utama dari penyakit ini adalah tampak celah pada bagian
bibir dan atau pada bagian palatum. Gejala klinis lainnya yang dapat muncul
akibat penyakit ini adalah masalah pada nutrisi, oleh karena terganggunya
asupan nutrisi. Untuk itu perlu dilakukan penanganan segera pada bayi
dengan celah pada bibir atau palatum.4

2.1.3 Penyakit jantung bawaan

Definisi

Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan salah satu defek lahir pada
bayi yang paling umum terjadi, karena adanya gangguan pada proses
perkembangan normal struktur embrional janin. Penyakit jantung bawaan
adalah suatu abnormalitas struktur dan fungsi sirkulasi jantung yang muncul
pada saat lahir, terkadang penyakit ini baru diketahui saat pasien sudah
dewasa, karena dapat bersifat asymptomatic jika ukuran defek tidak terlalu
besar.5,6

5
Etiologi/faktor risiko

Adanya riwayat kelainan jantung bawaan pada keluarga


meningkatkan kemungkinan terjadinya kelainan jantung bawaan pada anak.
Secara keseluruhan risiko penyakit jantung bawaan akan meningkat tiga kali
bila ada salah satu dari keluarga generasi pertama memiliki riwayat PJB.
konsumsi beberapa obat seperti talidomid dan isotretindin selama awal
kehamilan dapat mengganggu kardiogenesis pada fetus. Selain itu, pada
beberapa penelitian juga disebutkan bahwa konsumsi alkohol atau
menggunakan kokain selama masa kehamilan dapat meningkatkan risiko
terjadinya penyakit jantung bawaan. Infeksi pada masa kehamilan juga
merupakan salah satu faktor risiko terjadinya penyakit jantung bawaan.
Infeksi yang diketahui memiliki keterkaitan dengan kelainan kongenital pada
janin salah satunya kelainan jantung bawaan adalah rubella. Infeksi
rubella pada ibu pada trimester pertama kehamilan biasanya akan
menyebabkan banyak kelainan bawaan termasuk kelainan pada jantung.5,6

Patogenesis menjadi malnutrisi

Malnutrisi pada anak dengan penyakit jantung bawaan berhubungan


dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas yang terlihat dari tinggi nya
angka rawat inap, buruknya outcome setelah operasi, gangguan pertumbuhan
somatik yang persisten, dan tingginya angka kematian. Mekanisme terjadinya
gangguan pertumbuhan pada kasus penyakit jantung bawaan dipengaruhi
oleh berbagai faktor dan termasuk adanya anomali kromosom/syndrome
genetik, intake nutrisi yang tidak adekuat karena kesulitan pemberian
makanan, dan buruknya absorpsi nutrisi pada gagal jantung kronik. Hal ini
diperburuk dengan peningkatan kebutuhan kalori untuk menjaga fungsi
myocardial, respirasi dan neuro-humoral. Gagal jantung kronis dan
hipoksemia kronis pada penyakit jantung bawaan menyebabkan terjadinya
gangguan metabolism sel dan pertumbuhan sel.5,6

Pada anak dengan penyakit jantung bawaan seringkali mengalami


komplikasi anemia. Anemia pada anak dengan penyakit jantung bawaan yang
sering ditemukan adalah anemia defisiensi besi. Sekitar 66% anak dengan

6
penyakit jantung bawaan simptomatis juga diikuti dengan anemia. Anemia
lebih banyak terjadi pada penyakit jantung bawaan asianotik (54,6%)
dibandingkan dengan penyakit jantung bawaan sianotik (11,4%) dan
berhubungan dengan ditemukannya sel darah merah mikrositik hipokromik
pada lebih dari setengah kasus, yang menandakan bahwa anemia yang terjadi
merupakan anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi memiliki hubungan
yang linier dengan kejadian malnutrisi.5,6

Gejala klinis

Keringat yang berlebihan atau diaforesis merupakan salah satu gejala


klinis yang dijumpai pada PJB. Adanya keringat yang berlebihan lebih
banyak dijumpai pada anak dengan pirau kiri ke kanan yang bermakna di
tingkat atrium atau ventrikel. Pada anak-anak yang sering tampak
berjongkok terutama saat beraktivitas harus dipikirkan adanya penyakit
jantung bawaan, terutama adanya tetralogi fallot. Setelah aktivitas aliran balik
vena dari ekstremitas bawah mengandung kadar oksigen yang sangat rendah
dengan posisi jongkok aliran balik darah vena ekstremitas bawah ditahan
sehingga saturasi oksigen darah campur (mixed vein) meningkat. Teori lain
berpendapat bahwa berjongkok bukan menyebabkan tekuknya arteri dan vena
di tungkai tetapi mendekatkan jantung pada tungkai sehingga meningkatkan
volume darah sentral, tekanan darah dan curah jantung.5,6

2.2 Penyakit Didapat yang Dapat Menyebabkan Malnutrisi

2.2.1 Pneumonia

Definisi

Pneumonia adalah infeksi akut parenkim paru yang meliputi alveolus


dan jaringan interstisial. Penyakit ini merupakan penyakit yang dapat
menyerang semua umur terutama pada bayi dan anak, dan seseorang yang
mempunyai penyakit pemberat lain seperti penyakit jantung kongesti,
diabetes dan penyakit paru kronis.7

7
Etiologi

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikro organisme


yaitu, bakteri, virus, jamur, protozoa, yang sebagian besar disebabkan oleh
bakteri. Penyebab tersering pneumonia bakterialis adalah bakteri gram –
positif. Streptococcus penumoniae yang menyebabkan pneumonia
streptokokus. Virus juga dapat menyebabkan terjadinya pneumonia. Virus
yang sering menyerang anak usia dibawah 1 tahun ini adalah virus
Respiratory syncytial virus. Aspirasi makanan/cairan juga dapat
menyebabkan terjadinya pneumonia.7

Patogenesis menjadi malnutrisi

Infeksi ini, sering terjadi pada usia 24 – 36 bulan jika anak tersebut
mengalami gangguan imunitas dan saat pertama kali terpapar pathogen.
Stimulasi dari respon imun akibat infeksi sistem respirasi meningkatkan
kebutuhan metabolik terhadap energi yang didapat melalui proses anabolik,
hal ini mengakibatkan penurunan status nutrisi. Terlebih lagi, infeksi sistem
respirasi itu sendiri dapat menyebabkan hilangnya cadangan protein dan
energi dalam tubuh. Saat terjadi respon imun kebutuhan energi semakin
tinggi dan disaat yang sama host yang terinfeksi mengalami penurunan intake
nutrisi. Ditambah lagi keseimbangan nitrogen negatif sepertinya berhubungan
dengan kehilangan berat badan total. Saat terjadi infeksi, keseimbangan
nitrogen negatif terjadi setelah terjadinya induksi demam, kemudian
meningkat dan menetap hingga hitungan hari bahkan minggu setelah fase
febris. Dengan demikian, malnutrisi dapat disebabkan oleh infeksi saluran
napas yang berulang, terutama anak usia dibawah lima tahun.7

Gejala klinis

Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut


bagian atas selama beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam,
menggigil, suhu tubuh kadang dapat melebihi 400 C, sakit tenggorokan, nyeri
otot, dan sendi. Seringkali pasien juga mengeluh batuk, dengan sputum

8
mucoid atau purulen, kadang – kadang disertai darah. Pasien yang sudah
mengalami infeksi berat biasanya tampak sesak bahkan hingga hipoksia.7

2.2.2 Diare

Definisi

Diare adalah buang air besar dengan konsistensi lebih encer/cair dari
biasanya, lebih dari 2 kali per hari, dapat disertai dengan adanya lendir/darah
yang timbul secara mendadak.7

Etiologi

Diare dapat terjadi akibatnya infeksi pada saluran intestinal. Infeksi


tersebut dapat disebabkan oleh bakteri (Shigella sp, E. coli, Vibrio cholerae
dan lain – lain), virus (rotavirus, adenovirus, cytomegalovirus), dan parasite
(Entamoeba histolytica, giardia lamblia). Selain infeksi, diare juga dapat
disebabkan oleh alergi (susu sapi, makanan tertentu) dan malabsorpsi.7

Patogenesis menjadi malnutrisi

Lapisan epitel pada saluran gastrointerstinal terbentuk oleh satu


lapisan sel. Struktur biologis ini memisahkan lumen saluran cerna dengan
bagian dalam tubuh, berfungsi sebagai pelindung saluran cerna. Di lapisan ini
juga terjadi regulasi dari beberapa fungsi penting seperti pencernaan
makanan, sekresi dan absorpsi nutrisi. Infeksi pada saluran cerna
menyebabkan gangguan pertumbuhan seperti tinggi badan, berat badan, dan
perkembangan mental. Hal ini dapat terjadi karena adanya kerusakan pada
barrier mukosa dan atrofi vilus, yang menyebabkan terjadinya gangguan
penyerapan nutrisi. Pada kasus malnutrisi didapatkan adanya ukuran vilus
yang lebih pendek dibandingkan dengan anak normal, kemungkinan besar
disebabkan oleh penurunan jumlah enterosit dan penurunan proliferasi
enterosit. Dengan demikan maka terjadi penurunan luas permukaan dan masa
mukosa. Malnutrisi juga menyebabkan peningkatan produksi makrofag dan
limfosit di lamina propria, serta meningkatkan produksi sitokin proinflamasi
di mukosa saluran pencernaan, yang juga akan mengganggu fungsi barrier
saluran cerna.7

9
Diagram 2.1. Hubungan antara nutrisi dan infeksi.7

Laju perputaran protein pada mukosa usus sangat tinggi dan dengan
demikian sensitive terhadap perubahan status nutrisi host. Suatu penelitian
melaporkan adanya peningkatan permeabilitas usus yang signifikan pada
anak dengan malnutrisi dan berhubungan dengan aktivasi sel mononuclear
dan enterosit di lamina propria, yang mengakibatkan gangguan pada barrier
saluran pencernaan. Disamping itu gangguan permeabilitas saluran cerna
pada anak dengan kwashiorkor berhubungan dengan diare, sepsis dan
kematian. Diare dan kematian berhubungan dengan penurunan absorpsi
karena berkurangnya luas permukaan mukosa usus dan meningkatnya
permeabilitas usus akibat terganggunya fungsi barrier usus.7

Gastrointestinal Associated Lymphoid Tissues (GALT) merupakan


jaringan limfoid sekunder dimana terjadi respon imun pathogen saluran
cerna. Peyer’s patches, salah satu contoh GALT, merupakan folikel limfoid
yang beragregasi terletak di sepanjang mukosa usus halus; mereka merespon
antigen yang melewati barrier permukaan mukosa. Secara struktur, peyer’s
patches mengandung Limfosit B yang berproliferasi, sel dendritic, makrofag,
dan sel T. Antigen dalam lumen usus akan dipindahkan ke Peyer’s patches
untuk menginisiasi respon imun. Respon ini dimediasi oleh IgA yang
dihasilkan oleh Limfosit B teraktivasi. IgA sekretori ini disekresikan kedalam

10
lumen usus. Fungsi utama dari IgA sekretori adalah untuk menetralisir
pathogen dengan mencegah ikatan dan penetrasi pathogen terhadap sel epitel.
Selain itu, sitokin yang telah disekresikan meregulasi respon imun lokal dari
barrier mukosa. Imunitas mukosa usus sangat rentan terhadap malnutrisi, hal
ini berhubungan dengan disregulasi produksi sitokin.7

Gejala Klinis

Awalnya bayi atau anak menjadi cengeng, suhu tubuh biasanya


meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada, kemudian timbul diare.
Tinja cair dan mungkin disertai lender dan atau darah. Pada diare oleh karena
intoleransi, anus dan daerah sekitarnya lecet karena seringnya defekasi dan
tinja makin lama makin asam sebagai akibat banyaknya asam laktat yang
berasal dari laktosa yang tidak dapat diabsorpsi usus selama diare. Gejala
muntah dapat terjadi sebelum / sesudah diare dan dapat disebabkan oleh
lambung yang turut meradang atau akibat gangguan keseimbangan asam basa
dan elektrolit. Bila penderita telah kehilangan banyak cairan dan elektrolit
maka gejala dehidrasi mulai tampak, berat badan turun, turgor kulit
berkurang mata dan ubun – ubun besar menjadi cekung, mukosa bibir dan
kulit tampak kering.7

2.2.3 Infeksi soil transmitted helminth

Definisi

Soil transmitted helminth adalah cacing golongan nematoda yang


memerlukan tanah untuk perkembangan bentuk infektif. Infeksi STH
ditemukan tersering di daerah iklim hangat dan lembab yang memiliki
sanitasi dan hygiene buruk. STH hidup di usus dan telurnya akan keluar
melalui tinja hospes. Jika hospes defekasi di luar (taman, lapangan) atau jika
tinja mengandung telur dibuahi maka telur tersebut akan tersimpan dalam
tanah.8

11
Etiologi

Sesuai dengan namanya STH dapat disebabkan oleh cacing – cacing


seperti cacing gelang (Ascariasis lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris
trichiura), Strongiloides stercoralis, dan cacing tambang
(ankylostomiasis).8

Patogenesis menjadi malnutrisi

Infeksi helminth pada usus akan mempengaruhi integritas, morfologi


dan fungsi absorptif dari mukosa usus, sehingga menyebabkan terjadinya
malabsorpsi. Telah diketahui bahwa malnutrisi pada anak – anak terjadi
karena gangguan fungsi absorpsi dari mukosa usus akibat infeksi multiple
atau berulang. Malnutrisi dapat memyebabkan menumpulnya vilus usus dan
menurunnya brush border, yang pada akhirnya menyebabkan malabsorpsi
nutrisi dan penurunan status nutrisi yang berkelanjutan jika tidak ditangani
dengan baik.8

Gejala klinis

Pada kebanyakan kasus tidak terdapat gejala. Namun indikasi dari


adanya ascariasis adalah gangguan nutrisi dan akan mengganggu
pertumbuhan anak. Pada umumnya pasien akan mengalami demam, urticaria,
malaise, kolik abdomen, mual, muntah, diare. Migrasi larva ascariasis
melewati paru akan menyebabkan pneumonitis dan bronchospasme. Pada
umumnya akan didapati eosinophilia. Anemia dapat terjadi akibat dari infeksi
cacing tambang, sehingga gejala klinis dari cacing tambang antara lain lesu,
letih, mudah lelah, konsentrasi belajar berkurang dan terjadi anemia
hipokrom micrositer.8

12
BAB III

KESIMPULAN

Secara umum malnutrisi dapat terjadi karena adanya masalah pada


intake makanan. Banyak faktor dapat mempengaruhi intake makanan seorang
anak, mulai dari faktor sosial-ekonomi, faktor budaya dan faktor biologis
(penyakit). Penyakit – penyakit yang dapat menyebabkan malnutrisi dapat
dibagi menjadi dua yakni kongenital dan didapat. Contoh penyakit kongenital
yang dapat menyebabkan malnutrisi adalah cerebral palsy, penyakit jantung
bawaan dan bibir sumbing sedangkan penyakit didapat yang sering
menyebabkan malnutrisi adalah infeksi, baik infeksi virus, bakteri, parasite,
maupun cacing. Berbagai macam mekanisme penyakit dapat menyebabkan
terjadinya komplikasi malnutrisi. Pada kelainan kongenital, malnutrisi terjadi
terutama karena kurangnya intake nutrisi, baik karena adanya gangguan
anatomis maupun gangguan motorik. Berbeda dengan mekanisme malnutrisi
yang disebabkan oleh penyakit yang didapat. Malnutrisi yang terjadi akibat
penyakit yang didapat terutama terjadi karena adanya kerusakan mukosa dan
vilus saruan cerna sehingga menyebabkan menurunnya absorpsi nutrisi.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Tette, EMA, Sifah, EK dan Nartey, ET. Factors affecting malnutrition in


children and the uptake of interventions to prevent the condition. BMC
Pediatrics. 2015. 15:189
2. Mahmudiono, T et al. The Effectiveness of nutrition education for
overweight/obese mothers with stunted children (NEO-MOM) in reducing
the double burden of malnutrition in Indonesia: study protocol for a
randomized controlled trial. BMJ Public Health. 2016. 16:486
3. Kakooza-Mwesige, A et al. Malnutrition is common in Ugandan children
with Cerebral Palsy, particulary those over the age of five and those who had
neonatal complications. Acta Paediatrica. 2015. 104:1259-1268
4. Freitas, RS et al. Wight gain in children with cleft lip and palate without use
of palatal plates. Plastic Surgery International. 2012. 11:176
5. Okoromah, CAN et al. Prevalence, profile and predictors of malnutrition in
children with congenital heart defects: a case-control observational study.
Arch Dis Child. 2011. 96:354-360.
6. Batte, A et al. Wasting underweight and stunting among children with
congenital heart disease presenting at Mulago hospital, Uganda. BMC
Pediatrics. 2017. 17:10
7. Rodriguez, L, Cervantes, E dan Ortiz, R. Malnutrition and Gastrointestinal
and respiratory infections in Children: A Public Health Problem. Int J environ
Res Public Health. 2011. 8. 1174-1205
8. Loke, P dan Lim YAL. Helminths and the microbiota: parts of the hygiene
hypothesis. Parasite Immunol. 2015. 37(^):314 – 323.
9. Wallson J.L dan Berkley J.A. The Impact of Malnutrition on Childhood
Infections. Wolters Kluwer Health. 2018. 31:000-000

14

Anda mungkin juga menyukai