Anda di halaman 1dari 6

Nama : Dwi Luthfi Ainun Ilmi

NIM : 03031281621051

RESUME JURNAL

1. Karakterisasi Kitosan dari Limbah Kulit Kerang Simping


(Placuna Placenta)
Kerang banyak dikonsumsi oleh masyarakat dan umumnya kulit kerang
dimanfaatkan untuk berbagai barang kerajinan. Kerang terdapat banyak jenisnya
berdasarkan karakteristiknya masing-masing kerang. Kerang dengan jenis abalon,
kerang darah, dan kerang hijau telah dimanfaatkan menjadi chitosan. Salah satu
jenis kerang adalah kerang jenis simping (Placuna placenta), kerang simping ini
juga biasa dikonsumsi oleh masyarakat. Kulit kerang jenis ini merupakan salah
satu limbah laut yang sering dijumpai dibuang sembarangan dan belum banyak
pemanfaatan limbah kulitnya. Kerang simping sebagai family dari mollusca maka
limbah kulit ini juga berpotensi untuk dijadikan bahan baku kitosan.
Chitosan diketahui memiliki manfaat yang bervariasi dan lebih reaktif
dibanding dengan kitin. Manfaat chitosan dibidang industri modern cukup banyak
diantaranya industri farmasi, biomedis, pangan dan pertanian. Chitosan juga dila-
porkan dapat berfungsi sebagai pengkelat untuk limbah logam-logam berat dari
larutan, sekaligus sebagai penukar ion. Chitosan dapat dibuat dari udang, kepiting,
cangkang bekicot, dan berbagai macam kerang-kerangan (Mollusca). Kitosan me-
rupakan bentukan derivatif deasetilasi dari senyawa kitin kulit kerang.
Metode pembuatan chitosan dengan bahan baku kulit kerang simping
dilakukan dengan beberapa tahapan. Tahapan pertama adalah kulit kerang simping
dicuci hingga bersih lalu dikeringkan. Kemudian kulit kerang simping
dihancurkan hingga berbentuk serbuk berukuran 100 mesh. Tahap kedua adalah
dilakukan proses deproteinasi dengan cara serbuk kulit kerang simping berukuran
100 mesh akan dilarutkan dalam NaOH 3% dengan perbandingan 1:6 (b/v), dan
diaduk selama 30 menit pada suhu 85˚C. Kemudian disaring hingga didapatkan
residu kulit kerang, residu disiram menggunakan aquademin sampai pH netral.
Setelah itu residu dikeringkan selama 24 jam pada suhu 20˚C baru kemudian
residu dapat digunakan sebagai bahan baku (crude kitin) untuk pengolahan lanjut.
Karena kitin ini belum dihilangkan kandungan senyawa-senyawa asetilnya.
Kitin yang telah di kurangi kandungan proteinnya kemudian diolah
dengan menggunakan metode deasetilasi. Kitin hasil dari proses demineralisasi
dilarutkan kedalam NaOH 45% dengan perbandingan 1:20 (b/v), campuran
tersebut direaksikan dengan menggunakan refluks pada suhu 140˚C selama 60
menit. Kemudian didinginkan dan disaring hingga didapatkan residu, residu
dicuci dengan menggunakan aquademin hingga pH netral. Residu selanjutnya
dikeringkan pada suhu 80˚C selama 24 jam. Residu yang telah kering dan dapat
dianggap sebagai produk adalah kitosan dan kemudian dapat dimanfaatkan.
Karakterisasi kitosan meliputi uji kadar air, nalisis gugus fungsi kitosan
dan uji derajat deasetilasi menggunakan Fourier Transform Infrared Spectroscopy
(FTIR). Uji kadar air dilakukan dengan cara menimbang kitosan sebanyak 1 gram
kemudian dimasukkan kedalam cawan porselin lalu dimasukkan ke dalam
desikator selama 30 menit, dan ditimbang kembali berat kitosan dan cawan
porselin. Lalu dioven pada suhu 105˚C selama 60 menit. Selanjutnya cawan berisi
kitosan dimasukkan kedalam desikator lagi selama 30 menit, dan ditimbang
kembali hingga didapatkan berat yang konstan kemudian dihitung nilai kadar
airnya dengan rumus menurut penelitian Larita. Karakterisasi gugus fungsi
kitosan dan menghitung derajat deasetilasi kitosan dianalisa menggunakan FTIR.
Kulit kerang simping setelah dicuci bersih dan dikeringkan diayak hingga
berbentuk serbuk yang berukuran 100 mesh, dengan tujuan untuk memperluas
permukaan kulit kerang simping sehingga akan lebih mudah bereaksi dengan laru-
tan pengekstrak saat dilakukan proses isolasi pada kitosan. Proses deproteinasi
NaOH untuk menghilangkan kandungan protein dengan melepaskan ikatan-ikatan
protein dari kitin yang terdapat dalam kulit kerang simping. Ion Na + dari NaOH
akan mengikat ujung-ujung rantai dari protein bermuatan negatif dan akan
terekstrak dalam bentuk Na-proteinat. Pada proses ini digunakan suhu tinggi dan
pengadukan agar mempercepat pengikatan ujung rantai protein menggunakan
NaOH sehingga proses degradasi protein dan pengendapannya sempurna.
Pencucian dengan aquademin bertujuan melarutkan Na-proteinat yang terbentuk
saat reaksi, sehingga akan hilang saat proses penyaringan dan pencucian. Produk
yang dihasilkan adalah crude kitin atau disebut dengan kitin kasar.
Proses demineralisasi crude kitin dilakukan dengan menggunakan HCl
karena HCl merupakan asam mineral yang dapat melarutkan kandungan mineral-
mineral yang terkandung dalam kulit kerang simping. Kerang simping pada
umumnya memiliki kandungan mineral utama adalah CaCO3 dan Ca3(PO4)2 yang
mudah hilang apabila dittambahkan HCl, sehingga kandungan mineral dalam kitin
akan menjadi sangat rendah. Saat residu hasil deproteinasi dilarutkan dalam HCl
akan terbentuk gelembung atau buih yang menandakan terlepasnya gas CO2 yang
menandai sedang berlangsung proses demineralisasi pada crude kitin.
Proses deasetilasi pembuatan chitosan bertujuan untuk menghilangkan
gugus asetil yang berikatan dengan gugus amina dengan menggunakan larutan
basa kuat, hal ini dikarenakan penggunaan basa lemah tidak dapat memutus ikatan
C-N gugus asetamida pada atom asetamida kitin, sedangkan basa kuat dapat
memutuskan ikatan antara gugus asetil dengan atom N sehingga didapatkan gugus
amina (NH2) pada kitosan. Penggunaan basa berkonsentrasi tinggi dan suhu yang
tinggi saat proses deasetilasi mempengaruhi derajat deasetilasi yang didapatkan.
Reaksi pembentukan kitosan dari kitin merupakan reaksi hidrolisis suatu amida.
Kitin sebagai amida sedangkan NaOH sebagai basanya. Mulanya akan terjadi
reaksi adisi, gugus OH- masuk ke dalam gugus NHCOCH 3 kemudian akan terjadi
eliminasi gugus CH3COO- sehingga dihasilkan suatu amina yaitu kitosan.
Chitosan yang diperoleh setelah dilakukan uji dengan menggunakan ana-
lisa spektra FTIR kitin dan chitosan. Spektrum kitin teramati bahwa serapan pada
gugus C=O (NHCOCH3) secara kualitatif menunjukan adanya spektrum yang
melebar. Spektrum yang melebar ini menunjukan adanya gugus asetamida. Chito-
san pada hasil uji spektrum nya menunjukan bahwa gugus asetilnya telah hilang
dari kitin atau gugus asetamida telah banyak yang berubah menjadi gugus amina.
Kitosan memiliki gugus amina bebas yang bermuatan positif (NH2+)
sehingga dapat digunakan dalam berbagai bidang. Keunggulan kitosan yakni
sifatnya yang tidak beracun bagi tubuh manusia dan mudah mengalami bio-
degradasi, bersifat polielektronik, polimer alami yang tidak memiliki efek
samping. Kitosan merupakan suatu polisakarida berbentuk linier yang terdiri dari
monomer N-asetilglukosamin (GlcNAc) dan D-glukosamin (GlcN).
2. Pemanfaatan Limbah Cangkang Kerang Hijau (Perna Viridis)
menjadi Kitin sebagai Biokoagulan Air Sungai
Air merupakan suatu zat yang mengandung mineral dan zat-zat makanan
yang dibutuhkan oleh makhluk hidup. Manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan
tidak bisa bertahan hidup tanpa adanya air. Air yang digunakan dalam kehidupan
sehari-hari harus memenuhi syarat dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Seiring
dengan perkembangan zaman, populasi manusia semakin meningkat, padatnya
pemukiman dan pesatnya pembangunan industri mengakibatkan kualitas air bersih
mengalami penurunan signifikan sehingga tidak sesuai dengan standar.
Menurut Manurung (2011), penggunaan koagulan sintetik untuk pen-
jernih air sudah umum dilakukan dalam kehidupan sehari-hari misalnya
penggunaan tawas (Al2(SO4)3), besi (III) klorida hidrat (FeCl 3·6H2O), besi (II)
sulfat hidrat (FeSO4·7H2O) dan poli aluminium klorida (PAC). Meskipun koa-
gulan tersebut lebih praktis dalam penggunaannya dan mudah diperoleh, akan
tetapi penggunaan koagulan sintetik tersebut mempunyai kelemahan, seperti
bertambahnya jumlah ion-ion Al3+, Fe3+, ion klor di dalam air dan koagulan
tersebut tidak mudah terbiodegradasi. Kekurangan ini menyebabkan diperlu-
kannya adanya penelitian tentang pemanfaatan koagulan alam yang bersifat lebih
ramah lingkungan, dapat diperbaharui dan mudah terbiodegradasi secara alamiah.
Kadar Chemical Oxygen Demand (COD) pada air sungai sebelum pe-
nambahan kitin memiliki kadar COD sebesar 34,76 mg/L. Berdasarkan hasil
analisa dengan menggunakan Spektroskopi Inframerah Transformasi Fourier
(FTIR) hasil spektrum yang telah digunakan dengan menggunakan analisa kadar
COD pada air sungai mengalami penurunan seiring dengan besarnya dosis kitin
yang ditambahkan ke dalam sampel air sungai, dapat dikatakan bahwa semakin
banyak dosis kitin yang ditambahkan pada sampel air sungai penurunan kadar
COD juga akan semakin besar. Akan tetapi pada penambahan kitin sebanyak 1
gram mengalami peningkatan kadar COD menunjukan bahwa fungsi kitin untuk
menurunkan kadar pengotor air sungai telah mencapai titik optimum, dimana
penambahan tidak menghasilkan peningkatan kualitas, sehingga dapat
disimpulkan bahwa berat optimum kitin untuk menurunkan kadar COD dalam
sampel air sungai sebesar 0,75 gram dengan kadar COD sebesar 11,06 mg/L.
Kadar kesadahan pada air sungai sebelum penambahan kitin memiliki
kadar kesadahan sebesar 60 mg/L. Berdasarkan hasil analisa, kadar kesadahan
pada air sungai mengalami penurunan pada penambahan kitin sebanyak 0,25 gram
dengan kadar kesadahan sebesar 58 mg/L dan pada penambahan kitin sebanyak
0,75 gram dengan kadar sebesar 56 mg/L. Akan tetapi pada penambahan kitin
sebanyak 0,5 gram dan 1 gram pada sampel air sungai tidak menurunkan
kesadahan pada air sungai, berdasarkan analisa ini belum dapat ditelaah bagai-
mana hubungan antara penurunan kesadahan air sungai dengan variabel jumlah
berat kitin yang digunakan untuk adsorben limbah padat CaCO3 yang merupakan
senyawa penyebab air sungai menjadi sadah dan perlu penelitian lebih lanjut.
Kadar kalsium pada air sungai sebelum penambahan kitin memiliki kadar
kalsium sebesar 16 mg/L. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan kadar
kalsium pada air sungai mengalami penurunan pada penambahan kitin sebanyak
0,75 gram dengan kadar kesadahan sebesar 15,2 mg/L. Akan tetapi pada penam-
bahan kitin sebanyak 0,25 gram dan 1 gram pada sampel air sungai tidak menu-
runkan kalsium pada air sungai, bahkan pada penambahan kitin sebanyak 0,5
gram mengalami kenaikan yang kadarnya lebih besar dari kadar kalsium pada air
sungai sebelum penambahan kitin yaitu sebesar 18,4 mg/L sehingga tidak sesuai.
Kadar magnesium pada air sungai diperoleh dari pengurangan volume
Na2EDTA hasil uji kesadahan total dengan volume Na2EDTA hasil uji kalsium.
Kadar magnesium pada air sungai sebelum penambahan kitin sebesar 4,860 mg/L.
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, kadar magnesium pada air sungai
mengalami penurunan seiring dengan seiring dengan besarnya dosis kitin yang
ditambahkan ke dalam sampel air sungai. Akan tetapi pada penambahan kitin
sebanyak 0,75 gram dan 1 gram mengalami peningkatan kadar kalsium dalam air.
Kadar kekeruhan pada air sungai sebelum penambahan kitin sebesar 68,3
Nephelometric Turbidity Unit (NTU). Kekeruhan pada air sungai mengalami
penurunan seiring dengan besarnya dosis kitin yang ditambahkan ke dalam
sampel air sungai, Akan tetapi pada penambahan kitin sebanyak 1 gram menga-
lami peningkatan kekeruhan sebesar 45,4 NTU sehingga dapat disimpulkan bah-
wa berat optimum kitin yang digunakan untuk menurunkan kekeruhan dalam sam-
pel air sungai yaitu sebesar 0,75 gram dengan kekeruhan sebesar 40,75 NTU.
DAFTAR PUSTAKA

Fitri, L. dan Rusmini. 2016. Karakterisasi Kitosan dari Limbah Kulit Kerang
Simping (Placuna Placenta). UNESA Journal of Chemistry. 5(3): 109-
113.
H., Syamsidar dkk. 2017. Pemanfaatan Limbah Cangkang Kerang Hijau (Perna
Viridis) menjadi Kitin sebagai Biokoagulan Air Sungai. Al-Kimia. 5(1):
89-99.

Anda mungkin juga menyukai