Case 2 - Dengue Shock Syndrome 2 PDF
Case 2 - Dengue Shock Syndrome 2 PDF
Pembimbing :
dr. Raden Setyadi, Sp.A
Disusun oleh :
Gesa Syauqi Humaira
030.13.082
1
PENGESAHAN
Penyusun:
Gesa Syauqi Humaira
030.13.082
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak di RSU Kardinah Kota Tegal
Periode 14 Januari 2019 – 23 Maret 2019
2
STATUS PASIEN LAPORAN KASUS
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL
A. IDENTITAS PASIEN
Asuransi UMUM
No. RM 650512
3
B. ANAMNESIS
Hari sabtu pasien mengeluarkan keringat terus menerus dan ibu pasien
mengatakan bahwa kaki tangannya terasa dingin dan pasien terlihat pucat.
Sejak hari jumat nafsu makan dan minum pasien menurun. BAB dan BAK
normal. Keluhan kejang disangkal. Riwayat mimisan, gusi berdarah, atau
bintik-bintik merah pada tubuh disangkal. Keluhan batuk, pilek disangkal.
• Riwayat Pengobatan
4
• Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan sama atau pun riwayat
penyakit darah tinggi, DM, paru, riwayat pengobatan batuk lama / TBC,
riwayat kejang. Namun orangtua mengaku anak dari tetangga ada yang sedang
sakit demam berdarah.
5
• Riwayat Kehamilan dan Pemeriksaan Prenatal
Kelainan bawaan : -
Suntik Vit. K Ibu pasien tidak tahu
6
• Riwayat Pemeliharaan Postnatal
o Pertumbuhan :
Berat badan lahir anak 3200 gram, panjang badan 50 cm dengan berat
badan sekarang 23 kg, tinggi badan sekarang 117 cm.
o Perkembangan :
Pertumbuhan gigi pertama : 6 bulan
Motorik Kasar
o Tengkurap : 4 bulan
o Duduk tanpa bantuan : 6 bulan
o Berdiri : 9 bulan
o Berjalan : 12 bulan
o Mengucapkan kata : 14 bulan
7
• Riwayat Imunisasi
Kesan : Pasien sudah dilakukan imunisasi dasar dan ulangan BCG, DTP,
Polio, dan Hepatitis B.
• Silsilah Keluarga
= Laki-laki
= Perempuan
= Ayah pasien
= Ibu pasien
= Pasien
8
C. PEMERIKSAAN FISIK
I. Keadaan Umum
Compos mentis, tampak lemah.
• Hidung : Bentuk normal, deformitas (-), deviasi (-), sekret (-/-), napas
cuping hidung (-)
9
o Paru :
§ Inspeksi : Bentuk dada simetris kanan – kiri. Strenum dan iga
normal. Gerak napas simetris, tidak ada hemithotax yang
tertinggal.
§ Palpasi : Simetris, tidak ada yang tertinggal
§ Perkusi : tidak dilakukan
§ Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing
(-/-).
o Cor :
§ Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak.
§ Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS IV midklavikula
sinistra.
§ Perkusi : Tidak dilakukan pemeriksaan
§ Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-),
gallop (-)
• Abdomen :
§ Inspeksi : Datar, simetris
• Palpasi : Supel, distensi (-), turgor kembali < 2 detik, hepar dan
lien tidak teraba, asites (-), nyeri tekan (-), tidak teraba
organomegali.
10
• Ekstremitas:
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Nama : An. N
Usia : 7 tahun
RM : 650512
Tanggal Jam Hb Leko Ht Trombo
16/02/19 20.37 18.6 6.7 49.8 86.000 ¯
16/02/19 23.19 14.1 4.5 37.1 74.000 ¯
17/02/19 10.32 17.6 10.1 47.2 88.000 ¯
17/02/19 15.57 16.4 11.6 43.2 106.000 ¯
180/2/19 14.00 14.1 10.8 37.4 116.000 ¯
11
• Laboratorium Darah
Hasil
Pemeriksaan (16/02/2019) (16/02/2019) (17/02/2019) (17/02/2019) (18/02/2017) Satuan Nilai Rujukan
20.37 23.19 10.32 15.57 14.00
Hemoglobin 18.6 (H) 14.1 17.6 16. 4 (H) 14.1 g/dl 10.8 – 15.6
Leukosit 6.7 4.5 10.1 11.6 10.8 103/µl 4.5 – 13.5
Hematokrit 49.8 (H) 37.1 47.3 (H) 43.2 37.4 % 35 – 45
Trombosit 86 (L) 74 (L) 88 (L) 106 (L) 116 (L) 103/µl 150 – 521
Eritrosit 7.1 (H) 5.3 6.6 (H) 6.1 (H) 5.3 106/µl 3.8 – 5.8
RDW 13.1 12.4 12.7 12.8 12.8 % 11.5 – 14.5
MCV 70.6 (L) 70.0 71.5 (L) 70.4 70.6 (L) U 80 – 96
MCH 26.4 (L) 26.6 26.6 (L) 26.7 26.6 (L) Pcg 28 – 33
MCHC 37.3 (H) 38.0 37.2 (H) 38.0 37.7 (H) g/dL 33 – 36
Diff count
Neutrofil 44.3 (L) 40.9 (L) % 50 – 70
Limfosit 39.8 (H) 42.0 (H) % 25 – 40
Monosit 14.9 (H) 16.0 (H) % 2–8
Eosinofil 0 (L) 0 (L) % 2–4
Basofil 0.9 1.1 (H) % 0 -1
12
E. PEMERIKSAAN KHUSUS
a. Data antropometri
Anak perempuan usia 4 tahun
Berat badan sekarang : 23 kg
Tinggi badan sekarang : 117 cm
Lingkar kepala sekarang : 52 cm
Kesan : Normocephali
13
c. Pemeriksaan Status Gizi (Kurva CDC)
14
3. BB/TB = 23/23 x 100% = 100 % (Gizi normal menurut berat badan per tinggi
badan)
F. RESUME
G. DAFTAR MASALAH
• Takikardi
15
H. DIAGNOSIS BANDING
I. DIAGNOSIS KERJA
J. PENATALAKSANAAN
a. Non medikamentosa
• Monitor tanda vital dan keadaan umum
• Edukasi:
• Menjelaskan kepada keluarga tentang penyakit pasien,
pengobatan, dan komplikasi yang mungkin dapat terjadi.
• Menjelaskan kepada keluarga bahwa keadaan pasien sedang
kritis dan pasien perlu banyak asupan cairan.
• Menjelaskan kepada keluarga bagaimana agar pasien tidak
terkena penyakit serupa.
b. Medikamentosa
• O2 nasal 2 L
• Infus HES 10 cc/kgBB dalam 30 menit à jika masih syok (akral dingin,
CRT >2 detik) ulangi
• Infus HES 10 cc/kgBB dalam 30 menit
• Infus RL 10 cc/kBB/jam dalam 2-3 jam
• Infus RL 7 cc/kgBB/jam dalam 1 jam
16
• Infus RL 5 cc/kgBB/jam dalam 1 jam
• Infus RL 3 cc/kgBB/jam dalam 1 jam
• Rawat PICU
• Pasca resusitasi HES cek darah rutin ulang
K. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : Bonam
Quo ad sanationam : Bonam
L. PEMERIKSAAN ANJURAN
§ Cek darah rutin setiap 6 jam.
§ Test rumple leed.
§ Foto thoraks.
17
M. PERJALANAN PENYAKIT
16/02/2019 17/02/2019
IGD (PICU)
S Pasien demam hari ke-4, demam terus- S Demam hari ke-5. Ada mual, tidak
menerus. Mual (+), muntah (+) isi muntah. BAB dan BAK normal. Nafsu
makanan, tidak hitam. Keluar keringat makan dan minum masih ↓
terus menerus, kaki dan tangan dingin.
BAB dan BAK normal.
O KU: composmentis, tampak lemah O KU: composmentis, tampak lemah
TTV: HR 150 x/m nadi lemah, RR TTV: TD: 101/38 mmHg, HR 136 x/m,
26x/m, S 35,30C, RR 27x/m, S 36.40C, SpO2: 97%
Status generalis: Status generalis:
Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-) Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)
Abd: Supel, BU (+) Abd: Supel, BU (+)
Ekst: akral dingin, CRT >2” Ekst: akral hangat, CRT <2”
A A
DSS DSS
18
18/02/2019 19/02/2019
(PICU) (Paviliun Wijaya Kusuma Atas)
S Pasien demam hari ke-6, demam sudah S Demam hari ke-7, keluhan sudah
mulai turun. Mual (+), muntah (-), makan membaik. Mual (-), muntah (-), nafsu
sedikit-sedikit, minum mau. makan dan minum sudah membaik walau
sedikit-sedikit.
O KU: Composmentis, tampak lemah O KU: Composmentis
TTV: TD: 97/54 mmHg, HR 115 x/m, TTV: HR 100 x/m, RR 26x/m, S 36.50C
RR 26x/m, S 36.40C, Status generalis:
SpO2: 96% Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)
Status generalis: Abd: BU (+), nyeri tekan (-)
Toraks: SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-) Ekst: akral hangat, CRT < 2”
Abd: Supel, BU (+)
Ekst: akral hangat, CRT < 2”
A DSS A
DSS perbaikan
Perbaikan klinis
P • Infus RD 40 cc/jam P • Infus RD 40 cc/jam
• Cefotaxim 500mg / 8 jam • Cefotaxim 500mg / 8 jam
• Inj. Vit C 100mg / 24 jam • Inj. Vit C 100mg / 24 jam
• Acc pindah ruangan
19
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
a. Demam Berdarah Dengue
Demam berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh
infeksi virus Dengue tipe 1, Dengue tipe 2, Dengue tipe 3 atau Dengue tipe 4 yang
ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus yang
sebelumnya telah terinfeksi oleh virus Dengue dari penderita DBD lainnya.(5)
Penyakit ini ditandai dengan demam mendadak 2 – 7 hari tanpa penyebab yang jelas,
lemah atau lesu, gelisah, nyeri ulu hati, disertai dengan tanda-tanda perdarahan di
kulit berupa bintik perdarahan (petechia), ruam (purpura) kadang-kadang mimisan,
buang air besar berdarah, muntah darah, kesadaran menurun. Hal yang dianggap
serius pada demam berdarah Dengue adalah jika muncul perdarahandan tanda-tanda
syok/ renjatan.
b. Sindrom Syok Dengue
Sindrom Syok Dengue (SSD) adalah keadaan klinis yang memenuhi kriteria
DBD disertai dengan gejala dan tanda kegagalan sirkulasi atau syok. SSD adalah
kelanjutan dari DBD dan merupakan stadium akhir perjalanan penyakit infeksi virus
dengue, derajat paling berat, yang berakibat fatal.
2.2 Epidemiologi
Demam berdarah adalah penyakit virus nyamuk yang paling cepat menyebar
di dunia. Dalam 50 tahun terakhir, kejadian meningkat 30 kali lipat seiring dengan
meningkatnya ekspansi geografis ke negara-negara baru dan, dalam dasawarsa ini,
dari daerah perkotaan hingga pedesaan. Diperkirakan 50 juta infeksi dengue terjadi
setiap tahun dan kira-kira 2,5 miliar orang tinggal di negara-negara endemik dengue.
20
Gambar 1. Daerah risiko transmisi Dengue
2.3 Etiologi
Virus Dengue termasuk dalam kelompok B arthropode-borne virus
(arbovirus) dan sekarang dikenal dengan genus flavivirus, famili Flaviviridae. Di
Indonesia sekarang telah dapat diisolasi 4 serotipe yang berbeda namun memiliki
hubungan genetik satu dengan yang lain, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4.
Ternyata DEN-2 dan DEN-3 merupakan serotipe yang paling banyak sebagai
21
penyebab. Di Indonesia sendiri paling banyak adalah DEN-3, walaupun akhir-akhir
ini ada kecenderungan didominasi oleh virus DEN-2.
Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup
terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe
yang lain. Disamping itu urutan infeksi serotipe merupakan suatu faktor risiko karena
lebih dari 20% urutan infeksi virus DEN-1 yang disusul DEN-2 mengakibatkan
renjatan, sedangkan faktor risiko terjadinya renjatan untuk urutan virus DEN-3 yang
diikuti oleh DEN-2 adalah 2%.
Di dalam tubuh manusia, virus bekembangbiak dalam sistem
retikuloendothelial dengan target utama adalah APC (Antigen Presenting Cells)
dimana pada umumnya berupa monosit atau makrofag jaringan seperti sel Kupfer di
sinusoid hepar.
2.4 Transmisi
Dengue ditularkan antara manusia oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus, yang ditemukan di seluruh dunia. Serangga yang menularkan penyakit
adalah vektor. Gejala infeksi biasanya dimulai 4 - 7 hari setelah gigitan nyamuk dan
biasanya berlangsung selama 3 - 10 hari.
Agar penularan dapat terjadi, nyamuk harus menggigit seseorang selama
periode ketika sejumlah besar virus berada dalam darah manusia (5 hari pertama);
periode ini biasanya dimulai sesaat sebelum orang tersebut menjadi simtomatik.
Beberapa orang tidak pernah memiliki gejala yang signifikan namun masih bisa
menginfeksi nyamuk. Setelah memasuki tubuh nyamuk, virus akan memerlukan
tambahan 8-12 hari inkubasi sebelum kemudian bisa ditularkan ke manusia lain.
Nyamuk tetap terinfeksi selama sisa hidupnya, yang mungkin berhari-hari atau
beberapa minggu.
22
Gambar 2. Transmisi virus dengue
Di banyak daerah tropis dan subtropis, demam berdarah adalah suatu kejadian
endemik, terjadi setiap tahun, biasanya pada musim ketika populasi nyamuk Aedes
tinggi, seringkali saat curah hujan optimal untuk berkembang biak. Epidemi demam
berdarah membutuhkan kebetulan sejumlah besar nyamuk vektor, orang yang tidak
memiliki kekebalan terhadap salah satu dari empat tipe virus (DENV 1, DENV 2,
DENV 3, DENV 4), dan kesempatan untuk kontak di antara keduanya.
Demam Dengue (DD) dan DBD disebabkan oleh virus yang sama namun
memiliki mekanisme patofisiologi yang berbeda. Pada DBD didapatkan kebocoran
plasma (plasma leakage) ke ruang ekstravaskuler yang ditandai adanya
hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah yang diduga terjadi karena proses
imunologi.
Virus Dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes menyerang organ reticulo
endothelial system (RES) seperti sel kupfer di sinusoid hepar, endotel pembuluh
darah, nodus limfatikus, sumsum tulang serta paru-paru. Manifestasi klinis DD timbul
akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus yang berkembang di dalam peredaran
darah dan ditangkap oleh makrofag. Selama 2 hari akan terjadi viremia (sebelum
timbul gejala) dan berakhir setelah 5 hari timbul gejala panas. Makrofag akan menjadi
antigen presenting cell (APC) dan mengaktifasi sel T-Helper dan menarik makrofag
lain untuk memfagosit lebih banyakvirus. T-helper akan mengaktifasi sel T-sitotoksik
yang akan melisis makrofag yang sudah memfagosit virus, juga mengaktifkan sel B
yang akan melepas antibodi. Ada 3 jenis antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi
netralisasi, antibodi hemaglutinasi, antibodi fiksasi komplemen. Proses tersebut akan
menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang terjadinya gejala
23
sistemik, seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala lainnya. Dapat terjadi
manifetasi perdarahan karena terjadi agregasi trombosit yang menyebabkan
trombositopenia, tetapi trombositopenia ini bersifat ringan.
24
Gambar 4. Teori infeksi sekunder dan Immune enhancement.
Teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah hipotesis infeksi
sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis immune
enhancement. Hipotesis ini menyatakan bahwa pasien yang mengalami infeksi kedua
kalinya dengan serotipe virus Dengue berbeda dengan yang menginfeksi sebelumnya
mempunyai risiko yang lebih besar untuk menderita DBD atau terjadi manifestasi
lebih berat. Antibodi dari serotipe berbeda yang telah ada sebelumnya akan mengenai
serotipe virus lain yang sedang menginfeksi saat itu dan membentuk kompleks
antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel
leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi tersebut sebenarnya antibodi untuk
melawan antigen dari serotipe yang sebelumnya, maka virus dengan serotipe berbeda
yang menginfeksi saat ini tidak dinetralisasi oleh tubuh dan akan bebas melakukan
replikasi dalam sel makrofag sehingga terjadi peningkatan infeksi virus Dengue.
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus Dengue yang berbeda, respon antibodi
anamnestik pasien akan terpicu, menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit
menghasilkan titer tinggi IgG anti Dengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi
limfosit juga menyebabkan tingginya angka replikasi virus Dengue. Ikatan virus
Dengue dengan antibodi heterolog akan mengaktifasi komplemen jalur klasik yang
berakhir dengan dilepaskannya faktor C3a, C4a dan C5a yang disebut anafilatoksin.
Anafilatoksin akan melepaskan histamin, serotonin dan platelet activating factor
(PAF). Histamin, serotonin dan PAF merangsang peningkatan permebilitas pembuluh
darah yang menyebabkan perembesan plasma ke ruang ekstravaskular. Hal ini
ditandai dengan hematokrit meningkat, hiponatremia, dan terdapatnya cairan dalam
25
rongga serosa. Pada perembesan plasma mengakibatkan volume intravaskuler
menurun sehingga terjadi pengurangan venous return, yang menyebabkan penurunan
stroke volume, penurunan cardiac output dan juga MAP. Akibat banyaknya
kehilangan volume intravaskular ini dapat menyebabkan syok yang bisa berakhir
dengan kematian.
26
2. Fase Kritis
Fase ini ditandai dengan penurunan suhu menjadi 37,5 – 38oC atau kurang, terjadi
pada hari ke 3 – 7 sakit dan disertai kenaikan permeabilitas kapiler yang ditandai
dengan peningkatan hematokrit dan timbulnya kebocoran plasma yang biasanya
berlangsung selama 24 – 48 jam. Kebocoran plasma sering didahului oleh leukopeni
progresif disertai penurunan hitung trombosit. Pada pasien yang tanpa peningkatan
permeabilitas kapiler kondisinya akan membaik, sementara mereka yang mengalami
peningkatan permeabilitas kapiler dapat menjadi lebih buruk sebagai akibat volume
plasma yang hilang. Tingkat kebocoran plasma bervariasi. Efusi pleura dan asites
dapat terdeteksi secara klinis tergantung pada derajat kebocoran plasma dan volume
terapi cairan. Oleh karena itu, x-ray dan USG abdomen dapat berguna untuk
diagnosis. Derajat dari peningkatan nilai hematokrit pada fase ini biasanya
memperlihatkan keparahan dari adanya kebocoran. Syok terjadi karena kebocoran
plasma yang menyebabkan perfusi ke jaringan berkurang. Suhu tubuh mungkin
subnormal pada saat syok. Dengan syok berkepanjangan, terjadi hipoperfusi organ
yang progresif dan asidosis metabolik.. Hal ini akan menyebabkan perdarahan parah
sehingga hematokrit menurun saat terjadi syok berat. Fase ini juga terjadi leukopenia
tetapi leukosit akan meningkat apabila terjadi perdarahan hebat. Pasien-pasien yang
mengalami perbaikan setelah fase ini dikelompokkan kedalam infeksi Dengue ringan.
Beberapa pasien dapat berkembang menjadi lebih berat dengan adanya kebocoran
plasma, sehingga diperlukan pemeriksaan darah untuk menentukan onset dari fase
kritis dan adanya kebocoran plasma. Pasien yang memburuk akan memperlihatkan
tanda-tanda bahaya, disebut Dengue dengan tanda-tanda bahaya.
Dengue berat didefinisikan oleh satu atau lebih dari hal berikut: (i) kebocoran
plasma yang dapat menyebabkan syok (demam berdarah) dan / atau akumulasi cairan,
dengan atau tanpa gangguan pernapasan, (ii) pendarahan hebat, (iii) gangguan organ
berat. Seiring meningkatnya permeabilitas pembuluh darah, hipovolemia, dan
berakhir pada syok. Biasanya terjadi di sekitar hari ke 4 atau 5 (rentang hari 3-7)
penyakit, didahului dengan tanda peringatan.
Selama tahap awal syok, mekanisme kompensasi untuk mempertahankan tekanan
darah sistolik normal juga mengakibatkan takikardia dan vasokonstriksi perifer
dengan perfusi kulit berkurang, mengakibatkan ekstremitas dingin dan waktu
pengisian kapiler yang tertunda. Penderita syok sering tetap sadar sehingga dapat
menimbulkan kesalahan penilaian keadaan kritis pasien.
27
Pasien dianggap shock jika tekanan nadi (perbedaan antara tekanan sistolik dan
diastolik) adalah ≤ 20 mmHg atau adanya tanda perfusi kapiler yang buruk
(ekstremitas dingin, pengisian kapiler yang tertunda, atau denyut nadi cepat menilai).
Hipotensi biasanya terkait dengan syok yang berkepanjangan yang seringkali
dipersulit oleh perdarahan hebat.
Demam berat harus dipertimbangkan jika pasien berasal dari area risiko demam
berdarah dengan demam 2-7 hari ditambah beberapa hal berikut:
3. Fase Perbaikan
Jika pasien selamat pada 24 – 48 jam fase kritisnya, maka selanjutnya reabsorpsi
cairan kompartemen ekstravaskular berlangsung di 48 – 72 jam berikutnya. Keadaan
umum membaik, nafsu makan kembali, gejala gastrointestinal mereda, status
hemodinamik stabil dan diuresis terjadi kemudian. Beberapa pasien mungkin
mengalami pruritus, bradikardia dan perubahan elektrokardiografi yang umum selama
tahap ini. Hematokrit akan stabil atau mungkin lebih rendah karena efek dilusi dari
proses penyerapan cairan. Jumlah sel darah putih dan trombosit biasanya mulai naik
setelah penurunan suhu badan hingga normal. Selama kritis dan/atau fase pemulihan,
terapi cairan berlebihan berhubungan dengan edema paru atau kongestif gagal
jantung.
28
Gambar 6. Fase-fase DBD.
2.7 Faktor risiko
Faktor yang menempatkan pasien pada risiko tinggi terkena syok dengue tidak
diketahui secara jelas. DBD / DSS lebih mungkin terjadi pada bayi dan orang tua.
Infeksi dengue juga tampak lebih parah pada wanita. Demam tinggi lebih mungkin
terjadi pada pasien dengan penyakit kronis seperti diabetes melitus atau asma.
Meskipun malnutrisi merupakan predisposisi terhadap banyak penyakit menular, hal
itu tampaknya tidak meningkatkan kemungkinan demam berdarah parah. Serotipe
virus yang menginfeksi dapat mempengaruhi tingkat keparahan demam berdarah;
Infeksi DEN-1, diikuti oleh infeksi DEN-2, telah dilaporkan terkait dengan hasil yang
lebih buruk. Ada beberapa bukti bahwa kerentanan genetik (variasi etnis, pengetikan
HLA, , dll.) Dapat berperan dalam pengembangan syok dengue, namun hal ini belum
dipelajari secara menyeluruh.
29
Gejala DBD ditandai dengan demam tinggi, fenomena perdarahan, dan sering
disertai hepatomegali dan gagal sirkulasi. Fase awal DBD, umumnya sama dengan
penyakit virus penyebab panas lainnya. Gejala yang timbul yaitu demam tinggi
mendadak berlangsung 2 – 7 hari, muka merah, muntah, sakit kepala, nyeri otot dan
tulang serta nyeri sendi. Bersama dengan terjadinya demam bifasik, penderita DBD
mengalami trombositopenia progresif, hematokrit meningkat yang memicu terjadinya
hemokonsentrasi, dan manifestasi perdarahan menjadi nyata. Selain itu, bentuk
perdarahan yang sering terjadi adalah perdarahan di bawah kulit dan terjadi
perdarahan pada bekas suntikan. Segera setelah terjadi demam, tanda-tanda terjadinya
plasma leakage mulai terjadi, bersamaan dengan timbulnya gejala perdarahan,
misalnya perdarahan gastrointestinal, hematuria, dan perdarahan jika trauma.
Tahapan kritis penyakit terjadi pada akhir fase demam, 2 – 7 hari dari fase
demam, suhu badan akan menurun cepat akibat terjadinya gangguan sirkulasi. Plasma
leakage merupakan gambaran kritis dari DBD yang ditandai dengan hemokonsentrasi,
seperti efusi plura, asites, peningkatan hematokrrit dan hipoproteinemia. Pada
beberapa studi ditemukan bahwa diabetes mellitus (DM), hipertensi, stroke, dan alergi
dapat meningkatkan resiko DBD dan pada pasien DBD dengan gagal ginjal kronis
memiliki resiko yang besar untuk menjadi syok dan juga kematian.
Pada penderita yang sakit berat, akibat banyaknya plasma yang hilang, syok
akan terjadi dan memberat, sehingga penderita dapat meninggal dunia. Awal mula
terjadinya syok dapat ditandai dengan nyeri perut, muntah dan gelisah. Kemudian
penderita mengalami efusi pleural yang progresif, hepatomegali dan munculnya
tanda-tanda kegagalan sirkulasi, seperti kulit menjadi dingin, berbintik-bintik, terjadi
pembengkakan (kongesti), sianosis disekeliling mulut, denyut nadi cepat dan tekanan
nadi kurang dari 20 mmHg. Keadaan ini biasanya terjadi pada waktu atau segera
sesudah suhu badan penderita menurun yang terjadi antara hari ke 3 – 7 dari penyakit
dan dapat menjadi kematian apabila dalam waktu 8 – 24 jam setelah timbulnya tanda-
tanda kegagalan sirkulasi tidak mendapat penanganan yang tepat.
Perubahan epidemiologi demam berdarah menyebabkan masalah dengan
penggunaan klasifikasi WHO yang ada. Infeksi virus dengue simtomatik
dikelompokkan menjadi tiga kategori: demam berdiferensiasi, demam berdarah (DF)
dan demam berdarah dengue (DBD). DHF dikelompokkan menjadi empat tingkat
keparahan, dengan grade III dan IV didefinisikan sebagai Dengue Syndrome (DSS).
30
Kriteria diagnosis DBD mulai diperkenalkan pada tahun 1964 dan selanjutnya
direvisi pada tahun 1975 berdasarkan gejala klinis dan laboratorium. Berdasarkan
kriteria ini, manifestasi klinis infeksi dibagi menjadi, yaitu DD dan DBD. Derajat
DBD dibagi menjadi empat bagian,. DBD derajat III dan IV dimasukkan kedalam
kategori DSS. Perbedaan antara DD dan DBD adalahnya adanya kebocoran plasma
(plasma leakage), yang mulai terlihat pada hari sakit ke-3 dan puncaknya terjadi
umumnya pada hari sakit ke-5. Kelengahan dalam memantau ketat pasien pada masa
kebocoran ini serta keterangan oratua dapat mempengaruhi prognosis pasien.
Saat ini pengklasifikasian ke DF / DHF / DSS terus banyak digunakan.
Temuan penelitian mengkonfirmasikan bahwa, dengan menggunakan seperangkat
parameter klinis dan/atau laboratorium, seseorang melihat perbedaan yang jelas antara
pasien dengan demam berdarah berat dan mereka dengan demam berdarah tidak
berat. Namun, untuk alasan praktis, sangat disarankan untuk membagi kelompok
besar pasien dengan demam berdarah tidak berat menjadi dua subkelompok - pasien
dengan tanda peringatan dan pasien tanpa tanda peringatan.
31
untuk mendiagnosis DBD dengan menggunakan kriteria yang lama. Namun dalam
buku petunjuk WHO terakhir, kebijakan pedoman tata laksana dengue diserahkan
kepada negara masing masing sesuai dengan kebijakan kementerian kesehatan
setempat. Untuk itu, Indonesia masih mengacu kepada pedoman WHO tahun 1997.
32
hematokrit dibandingkan dengan baseline adalah sugestif kemajuan pada fase klinis /
fase kritis penyakit ini. Dengan tidak adanya garis dasar pasien, tingkat hematokrit
populasi spesifik usia dapat digunakan sebagai pengganti selama fase kritis.
Tes laboratorium harus dilakukan untuk memastikan diagnosis. Namun, tidak
diperlukan penanganan akut pasien, kecuali pada kasus dengan manifestasi yang tidak
biasa. Tes tambahan harus dipertimbangkan seperti tes fungsi hati, glukosa, elektrolit
serum, urea dan kreatinin, bikarbonat atau laktat, enzim jantung, dan EKG.
2. Langkah II: Diagnosis, penilaian fase penyakit dan tingkat keparahan
Berdasarkan evaluasi anamnesis, pemeriksaan fisik dan/atau hitung darah lengkap
dan hematokrit, dokter harus dapat mengetahui apakah penyakitnya adalah demam
berdarah, fase mana itu (demam, kritis atau sembuh), apakah ada tanda peringatan,
status hidrasi dan hemodinamik pasien, dan apakah pasien memerlukan perawatan di
rumah sakit.
3. Langkah III: Manajemen
Di negara-negara yang menderita demam berdarah, kasus dugaan demam
berdarah, kemungkinan dan pasti harus diberitahukan sesegera mungkin sehingga
tindakan kesehatan masyarakat yang tepat dapat dimulai. Kriteria yang disarankan
untuk pemberitahuan dini kasus yang dicurigai adalah bahwa pasien tinggal atau
pernah bepergian ke daerah endemik dengue, demam selama tiga hari atau lebih,
memiliki jumlah sel darah putih yang rendah atau menurun, dan / atau memiliki tes
tourniquet trombositopenia + positif.
Keputusan manajemen akan bergantung pada manifestasi klinis dan keadaan
lainnya, pasien dapat dikirim pulang (Grup A), dirujuk untuk manajemen di rumah
sakit (Grup B), atau memerlukan perawatan darurat dan rujukan mendesak (Grup C).
33
b. Beri parasetamol untuk demam tinggi jika pasien tidak nyaman.
Interval dosis parasetamol tidak boleh kurang dari enam jam.
c. Anjurkan kepada pemberi perawatan bahwa pasien harus dibawa ke
rumah sakit segera jika terjadi hal berikut: tidak ada perbaikan klinis,
kemunduran sekitar waktu defensif, nyeri perut yang parah, muntah
terus-menerus, ekstremitas dingin dan berkabut, kelesuan atau mudah
tersinggung / gelisah , perdarahan (misalnya tinja hitam atau muntahan
kopi), tidak buang air kecil lebih dari 4-6 jam.
2. Kelompok B - pasien yang harus dirujuk untuk manajemen di rumah sakit
Pasien mungkin perlu dirawat di pusat perawatan kesehatan sekunder untuk
pengamatan ketat, terutama saat mereka mendekati fase kritis. Hal ini dilterapkan
termasuk pasien dengan tanda peringatan, mereka dengan kondisi yang dapat
membuat demam berdarah atau manajemennya lebih rumit (seperti kehamilan,
bayi, usia lanjut, obesitas, diabetes melitus, gagal ginjal, penyakit hemolitik
kronis), dan orang-orang dengan penyakit sosial tertentu, seperti tinggal sendiri,
atau tinggal jauh dari fasilitas kesehatan tanpa sarana transportasi yang andal.
Jika pasien mengalami demam berdarah dengan tanda peringatan, rencana
tindakannya adalah sebagai berikut:
• Ketahui hematokrit sebelum terapi cairan. Berikan hanya larutan
isotonik seperti 0,9% garam, laktat Ringer, atau larutan Hartmann.
Mulailah dengan 5-7 ml / kg / jam selama 1-2 jam, kemudian kurangi
3-5 ml / kg / jam selama 2-4 jam, kemudian kurangi 2-3 ml / kg / jam
atau kurang sesuai dengan respon klinis (kotak teks H, J dan K).
• Menilai kembali status klinis dan mengulangi hematokrit. Jika
hematokrit tetap sama atau naik hanya minimal, lanjutkan dengan
tingkat yang sama (2-3 ml / kg / jam) selama 2-4 jam lagi. Jika tanda
vital memburuk dan hematokrit meningkat dengan cepat, tingkatkan 5-
10 ml / kg / jam selama 1-2 jam. Menilai kembali status klinis, ulangi
hematokrit dan tinjau kembali tingkat infus cairan yang sesuai.
• Berikan volume cairan intravena minimum yang dibutuhkan untuk
mempertahankan perfusi dan keluaran urin yang baik sekitar 0,5 ml /
kg / jam. Cairan intravena biasanya dibutuhkan hanya 24-48 jam.
Kurangi cairan intravena secara bertahap ketika tingkat kebocoran
34
plasma menurun menjelang akhir fase kritis. Hal ini ditunjukkan
dengan keluaran urin dan / atau asupan cairan oral yang cukup, atau
penurunan hematokrit di bawah nilai awal pada pasien yang stabil.
• Pasien dengan tanda peringatan harus dipantau oleh petugas kesehatan
sampai masa kritisnya berakhir. Keseimbangan cairan rinci harus
dijaga. Parameter yang harus dipantau meliputi tanda vital dan perfusi
perifer (1-4 jam sampai pasien berada di luar fase kritis), output urin
(4-6 jam), hematokrit (sebelum dan sesudah penggantian cairan,
kemudian 6-12 jam) , glukosa darah, dan fungsi organ lainnya (seperti
profil ginjal, profil hati, profil koagulasi, seperti yang ditunjukkan).
35
2.11 Tatalaksana bila terjadi syok
Rencana tindakan untuk merawat pasien dengan syok terkompensasi adalah sebagai
berikut:
• Lakukan resusitasi cairan intravena dengan larutan kristaloid isotonik pada 5-
10 ml / kg / jam lebih dari satu jam. Kemudian reassess kondisi pasien (tanda
vital, waktu pengisian kapiler, hematokrit, output urin). Langkah selanjutnya
tergantung situasi.
• Jika kondisi pasien membaik, cairan intravena harus diturunkan secara
bertahap menjadi 5-7 ml / kg / jam selama 1-2 jam, kemudian 3-5 ml / kg /
jam selama 2-4 jam, kemudian 2-3 ml. / kg / jam, dan selanjutnya tergantung
pada status hemodinamik, yang dapat dipertahankan hingga 24-48 jam. (Lihat
kotak teks H dan J untuk perkiraan kebutuhan perawatan normal yang lebih
tepat berdasarkan berat badan ideal).
• Jika tanda vital masih tidak stabil (yaitu shock terus berlanjut), periksa
hematokrit setelah bolus pertama. Jika hematokrit meningkat atau masih tinggi
(> 50%), ulangi bolus kedua larutan kristaloid pada 10-20 ml / kg / jam selama
satu jam. Setelah bolus kedua ini, jika terjadi perbaikan, kurangi laju 7-10 ml /
kg / jam selama 1-2 jam, kemudian lanjutkan untuk mengurangi seperti di
atas. Jika hematokrit menurun dibandingkan dengan hematokrit referensi awal
(40% pada anak-anak dan perempuan dewasa, <45% pada pria dewasa), ini
mengindikasikan pendarahan dan kebutuhan untuk mencocokkan dan transfusi
darah sesegera mungkin (lihat pengobatan untuk komplikasi perdarahan)
• Larutan kristaloid atau koloid lebih lanjut mungkin perlu diberikan selama 24-
48 jam berikutnya.
36
Gambar 8. Tatalaksana syok terkompensasi
Pasien dengan syok hipotensi harus ditangani dengan lebih intensif. Rencana tindakan
untuk merawat pasien dengan syok hipotensi adalah sebagai berikut:
• Lakukan resusitasi cairan intravena dengan larutan kristaloid atau koloid (jika
ada) pada 20 ml / kg sebagai bolus yang diberikan selama 15 menit agar
pasien terhindar dari syok secepat mungkin.
• Jika kondisi pasien membaik, berikan infus kristaloid / koloid 10 ml / kg / jam
selama satu jam. Kemudian dilanjutkan dengan infus kristaloid dan turunkan
secara bertahap menjadi 5-7 ml / kg / jam selama 1-2 jam, kemudian 3-5 ml /
kg / jam selama 2-4 jam, kemudian 2-3 ml / kg / jam. atau kurang, yang dapat
dipertahankan hingga 24-48 jam (textbox H).
• Jika tanda vital masih tidak stabil (yaitu shock terus berlanjut), tinjau
hematokrit yang didapat sebelum bolus pertama. Jika hematokrit rendah
37
(50%), lanjutkan larutan koloid pada 10-20 ml / kg sebagai bolus ketiga lebih
dari satu jam. Setelah dosis ini, kurangi 7-10 ml / kg / jam selama 1-2 jam,
kemudian ganti kembali ke larutan kristaloid dan kurangi laju infus seperti
yang disebutkan di atas saat kondisi pasien membaik.
• Cairan cairan lebih lanjut mungkin perlu diberikan selama 24 jam berikutnya.
Tingkat dan volume setiap bolus infus harus dititrasi dengan respon klinis.
Pasien dengan demam berdarah parah harus dirawat di daerah ketergantungan
tinggi atau perawatan intensif.
Pasien harus sering dipantau sampai masa bahaya berakhir. Keseimbangan cairan
rinci dari semua input dan output harus dijaga. Parameter yang harus dipantau
meliputi tanda vital dan perfusi perifer (setiap 15-30 menit sampai pasien tidak syok,
lalu 1-2 jam). Secara umum, semakin tinggi tingkat infus cairan, semakin sering
pasien harus dipantau dan ditinjau untuk menghindari kelebihan cairan sambil
memastikan penggantian volume yang memadai.
Keluaran urin harus diperiksa secara teratur (setiap jam sampai pasien tidak
guncang, lalu 1-2 jam). Kateter kandung kemih terus-menerus memungkinkan
pemantauan jarak dekat keluaran urin. Keluaran urin yang bisa diterima sekitar 0,5 ml
/ kg / jam. Hematokrit harus dipantau (sebelum dan sesudah cairan bolus sampai
stabil, lalu 4-6 jam). Selain itu, harus ada pemantauan gas darah arterial atau vena,
laktat, total karbon dioksida / bikarbonat (setiap 30 menit sampai satu jam sampai
stabil, kemudian seperti yang ditunjukkan), glukosa darah (sebelum resusitasi cairan
dan ulangan seperti yang ditunjukkan), dan lainnya. fungsi organ (seperti profil ginjal,
profil hati, profil koagulasi, sebelum resusitasi dan seperti yang ditunjukkan).
38
Gambar 9. Tatalaksana syok hipotensi
39
DAFTAR PUSTAKA
40
13. Rajapakse S. Dengue shock. Journal of Emergencies, Trauma and Shock.
2011;4(1):120-127. doi:10.4103/0974-2700.76835.
14. Avirutnan P, Malasit P, Seliger B, Bhakdi S, Husmann M. Dengue virus
infection of human endothelial cells leads to chemokine production, complement
activation, and apoptosis. J Immunol. 1998;161:6338–46.
15. Guidelines for Clinical Management of Dengue Fever Dengue Haemorrhagic
Fever and Dengue Shock Syndrome. Directorate of National Borne Disease
Control Programme of India. 2008.
16. Hadinegoro SR, Kadim M, Devaera Y, Idris NS, Ambarsari CG. Update
Management of Infectious Diseases and Gastrointestinal Disorders. FKUI
Departemen Ilmu Kesehatan Anak. 2012. ISBN 978-979-8271-41-0.
17. WHO. Dengue haemorrhagic fever; diagnosis, treatment, prevention, and control.
Second edition. World Health Organization, 1997.
41