Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Diabetes Mellitus (DM) memiliki prevalensi yang terus

meningkat. Diperkirakan pada tahun 2025 prevalensinya akan meningkat menjadi

6,3%. Sementara itu, jumlah penderita diabetes di Indonesia berdasarkan perkiraan

World Health Organization (WHO), akan mengalami kenaikan dari 8,4 juta jiwa

pada 2000 menjadi 21,3 juta jiwa pada 2030, sehingga menjadikan Indonesia berada

pada urutan ke-4 di dunia.1

Diabetes adalah penyakit yang penderitanya kian berkembang dari waktu

ke waktu sehingga banyak peneltian dilakuk

an mengenai pencegahan, penanganan dan pengobatan setiap komplikasi yang ada.

Pengobatan tersebut dipusatkan pada beragai mekanisme dasar yang menyebabkan

kerusakan ginjal, mata dan saraf. Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian

komplikasi, kadar gula tinggi untuk waktu lama menyebabkan perubahan kimiawi

yang mengarah pada retinopati, nefropati dan neuropati. Para ahli telah

menciptakan sejenis bahan kimia untuk mempengaruhi proses ini dan mungkin

pengobatan jangka panjang.1

Komplikasi ulkus diabetikum menjadi alasan tersering rawat inap pasien

diabetes melitus berjumlah 25% dari seluruh rujukan diabetes melitus di amerika

serikat dan inggris. Menurut Institut National Diabetes dan Penyakit Pencernaan

dan Ginjal, 16.000.000 penduduk Amerika diperkirakan diketahui menderita

diabetes, dan jutaan lainnya yang dianggap beresiko terkena penyakit itu. Di antara

1
pasien dengan diabetes, 15% menjadi ulkus kaki, dan 12-24% dari individu dengan

ulkus kaki memerlukan amputasi. Setiap tahun sekitar 5% dari penderita diabetes

dapat menjadi ulkus diabetikum dan 1% memerlukan amputasi. Bahkan tingkat

kekambuhan dalam populasi pasien adalah 66% dan laju amputasi naik sampai

12%. Setengah dari semua amputasi nontraumatic adalah akibat komplikasi ulkus

diabetikum.2

Pengelolaan ulkus diabetikum mencakup pengendalian glukosa darah,

debridemen atau membuang jaringan yang rusak, pemberian antibiotik dan obat-

obat vaskularisasi serta amputasi.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

DIABETES MELLITUS
2.1 DEFINISI

Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau

gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan

tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme

karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin.

Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi

produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau

disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin1.

Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka

panjang, disfungsi, atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata,

ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. 1

2.2 EPIDEMIOLOGI

Menurut survei yang di lakukan oleh organisasi kesehatan dunia

(WHO), jumlah penderita Diabetes mellitus di Indonesia pada tahun 2000

terdapat 8,4 juta orang, jumlah tersebut menempati urutan ke-4 terbesar di

dunia, sedangkan urutan di atasnya adalah India (31,7 juta), Cina (20,8 juta),

dan Amerika Serikat (17,7 juta). Jumlah penderita Diabetes Mellitus tahun

2000 di dunia termasuk Indonesia tercatat 175,4 juta orang. 6,7

3
Di Indonesia berdasarkan penelitian epidemiologis didapatkan

prevalensi Diabetes mellitus sebesar 1,5 – 2,3% pada penduduk yang usia

lebih 15 tahun, bahkan di daerah urban prevalensi DM sebesar 14,7% dan

daerah rural sebesar 7,2%. Prevalensi tersebut meningkat 2-3 kali

dibandingkan dengan negara maju, sehingga Diabetes mellitus merupakan


3,4,8
masalah kesehatan masyarakat yang serius. Berdasarkan data Badan

Pusat Statistik Indonesia tahun 2003 penduduk Indonesia yang berusia di

atas 20 tahun sebesar 133 juta jiwa, maka pada tahun 2003 diperkirakan

terdapat penderita DM di daerah urban sejumlah 8,2 juta dan di daerah rural

sejumlah 5,5 juta.2

2.3 KLASIFIKASI

Klasifikasi petiologis diabetes mellitus menurut Assosiasi Diabetes

Amerika / American Diabetes Association (ADA) tahun 2005 adalah

sebagai berikut :

A. Diabetes Mellitus Tipe 1

Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut.4

1. Melalui proses imunologik

2. Idiopatik

B. Diabetes Mellitus Tipe 2

Bervariasi mulai dan yang predominan retensi insulin disertai

defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi

insulin bersama retensi insulin.4

4
C. Diabetes Mellitus Tipe Lain

2. Defek gentik fungsi sel beta :

a. Kromosom 12,HNF-lα (dahulu MODY 3)

b. Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2)

c. Kromosom 20, HNF-4α (dahulu MODY 1)

d. Kromosom 13, insulin prmoter factor-1 (IPF-1. dahulu MODY4)

e. Kromosom 17, HNF-lβ (dahulu MODY5)

f. Kromosom 2, neuro D1(dahulu MODY 6)

g. DNA Mitochondria

h. Lainnya4

3. Defek gentik kerja insulin : resistensi insulin tipe A,leprechaunism,

sindrom Rabson Mendenhall, diabetes lipoatrofik, lainnya

4. Penyakit eksokrin pankreas :pankreatitis, trauma/pankreatektomi,

neoplasma, fibrosis kistik,hemokromatosis, pankreatopati

fibrokalkulus. Lainnya.

5. Endokrinopati : akromegali, sindrom cruhsing, feokromositoma,

hipertiroidisme stomatostationoma, aldosteronoma, lainnya.

6. Karena obat / zat kimia : vacor, pentamidin, asam nikotinat,

glukokortikoid, hormon tiroid, diazoxid, agonis beta adrenergik,

tiazid, dilantin. interferon alfa. lainnya.

7. Infeksi : rubella congenital, CMV, lainnya

5
8. Imunologi (jarang) : sindrora "Stiff-man", antibodi anti reseptor

insulin, lainnya.

9. Sindroma genetik lain : sindrom Down, sindrom

Klinefelter,sindrom Turner, sindrom. Wolfram’s, ataksia

Friedreic’s, Chorea Hungtington, sindrom Laurence-Moon-

Biedl,distrofi miotonik, porfiria, sindrom Prader Willi, lainnya

D. Diabetes Kehamilan

Diabetes Mellitus Gestasional (GDM=Gestational Diabetes

Mellitus) adalah keadaan diabetes atau intoleransi glukosa yang timbul

selama masa kehamilan, dan biasanya berlangsung hanya sementara

atau temporer. Sekitar 4-5% wanita hamil diketahui menderita GDM,

dan umumnya terdeteksi pada atau setelah trimester kedua.

2.4 PATOFISIOLOGI DIABETES MELLITUS

A. Diabetes Mellitus Tipe I

Pada diabetes mellitus tipe 1 terdapat ketidakmampuan untuk

menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh

proses autoimun. Hiperglikenlia puasa terjadi akibat produksi glukosa yang

tidak terukur oleh hati. Di samping itu glukosa yang berasal dari makanan tidak

dapat disiropan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan

menimbulkan hiperglikemia post prandial (sesudah makan). Jika konsentrasi

glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua

6
glukosa yang tersaring keluar, akibatnya, glukosa tersebut muncul dalam urin

(glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan diekskresikan ke urin, ekskresi

ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan pula.

Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan

yang berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih

(poliuria) dan rasa haus (polidipsia).(2)

Defisiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak yang

menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan

selera makan (Polifagia), akibat menurunnya simpanan kalori, gejala lainnya

mencakup kelelahan dan kelemahan.(3)

B. Diabetes Mellitus Tipe II

Diabetes mellitus tipe 2 adalah kelainan yang bersifat kronis, ditandai

adanya kelainan permanen dari sistem metabolisme tubuh yang berupa

tingginya kadar gula darah (hiperglikemia). Hal ini terjadi karena insulin tubuh

tidak dapat bekerja secara efektif, dan atau tubuh (sel ß pankreas) tidak mampu

menghasilkan hormon insulin yang memadai. Dengan demikian, kelainan

patologi yang mendasari yang terjadi pada penderita diabetes adalah resistensi

insulin, meningkatnya produksi glukosa oleh hati, terganggunya sekresi

insulin. Pada dasarnya defek primer pada DM tipe 2 masih controversial,

banyak ahli di lapangan yang menganggap DM tipe 2 merupakan peran dari

resistensi insulin10. Pada awalnya, terjadi kegagalan aksi insulin dalam upaya

menurunkan gula darah, mengakibatkan sel beta pankreas mensekresikan

insulin lebih banyak untuk mengatasi kekurangan insulin. Dalam keadaan ini,

7
toleransi glukosa dapat masih normal, dan suatu saat akan terjadi gangguan dan

menyebabkan gangguan toleransi glukosa (IGT) dan belum terjadi diabetes. (12)

Selanjutnya, bila keadaan resistensi insulin bertambah berat, disertai beban

glukosa terus menerus, sel beta pankreas lama kelamaan tidak mampu

mensekresikan insulin untuk menurunkan kadar gula darah. Terlebih,

peningkatan glukosa hepatik dan penurunan penggunaan glukosa oleh otot dan

lemak mempengaruhi kadar gula darah puasa dan pospandrial yang menjadi

karakteristik DM tipe 2. Akhirnya, sekresi insulin oleh sel beta pankreas

menurun dan terjadi hiperglikemia. Penderita biasanya memperlihatkan

kehilangan sensitivitas perifer terhadap insulin. (12)

Dalam perjalanan terjadi DM tipe 2, sel beta pankreas pada awalnya

mampu melakukan adaptasi terhadap perubahan sensitifitas terhadap insulin.

Mekanisme adaptasi ini diduga melalui peningkatan proses neogenesis, atau

pembentukan sel sel baru. Atau, terjadi peningkatan kelompok sel beta menjadi

hipertrofi, atau mungkin akan terjadi kehilangan sel beta melalui proses

apoptosis bahkan terjadi nekrosis. Pada keadaan terakhir ini, sel beta sudah

tidak mampu mensekresikan insulin untuk menurunkan kadar gula darah. (12)

Kemampuan peningkatan sekresi insulin untuk mencegah timbulnya DM

tipe 2 sangat tergantung dari kapasitas adaptasi sel-B pankreas—tempat

produksi dan sekresi hormon insulin—untuk memelihara peningkatan

konsentrasi insulin. Individu yang gagal mempertahankan hiperinsulinemia

akan mengalami kegagalan toleransi glukosa dan nantinya berkembang

menjadi DM Tipe 2. (12)

8
Disfungsi sel beta dalam sekresi insulin, merupakan salah satu dari 4

gangguan metabolik pada penderita DM tipe 2. Gangguan metabolik lain

adalah obesitas, kegagalan aksi insulin dan peningkatan glukosa endogen

(EGO). Kenyataannya, disfungsi sel beta, kegagalan aksi insulin dan obesitas

merupakan substansi gangguan metabolic utama yang terjadi pada individu

sebelum terdiagnosa menderita DM tipe 2, yang berpengaruh dalam

perkembangan toleransi glukosa normal (NGT) sampai terjadi gangguan

toleransi glukosa (IGT). (12)

Pada penelitian cross-sectional, individu dengan IGT umumnya lebih

sering ditemukan pada keadaan obes dan resistensi insulin dibanding pada

individu NGT. Sedangkan pada IGT, EGO menggambarkan gangguan

produksi glukosa dari organ hepar tidak terjadi peningkatan. Kegagalan sekresi

insulin pada IGT sebagai penyebab terjadi peningkatan glukosa darah, masih

sering dipertanyakan. Beberapa penelitian mengemukakan, terdapat respon

yang rendah pada awal sekresi yang terjadi pada beberapa menit setelah

diberikan glukosa, baik intravena mau pun oral pada insididu IGT dibanding

pada NGT. (12)

Respon awal sekresi insulin yang rendah, merupakan tahap awal

perkembangan diabetes pada individu yang mempunyai factor risiko. Meski

demikian, dapat ditemukan juga keadaan sekresi insulin yang normal bahkan

meningkat pada NGT mau pun IGT. Hal yang sama juga didapatkan adanya

respon sekresi insulin fase akhir yang rendah atau lebih tinggi pada IGT

dibanding NGT. Hal ini menjadi menarik, dalam upaya menggambarkan

9
patogenesis DM mellitus tipe 2 dan menjelaskan, mengapa terdapat individu

dengan IGT yang tidak berkembang menjadi DM tipe 2.(12)

Disfungsi sel α pankreas juga memainkan peranan utama dalam

perkembangan toleransi glukosa yang tidak normal. Baik pada IGT maupun

DM tipe 2, penekanan sekresi glukagon setelah makan diperlambat dan

dikurangi; peningkatan level glukagon pada populasi ini dibandingkan dengan

populasi normal. Demikian juga, setelah makan malam penekanan produksi

glukosa hepar melemah pada IGT dan DM tipe 2. Kelemahan ini sebagian

berhubungan dengan resistensi insulin hepar; sebuah kajian yang

menggunakan pemasukan glukosa bertahap menunjukan peningkatan level

insulin, produksi glukosa hepar menurun pada orang yang sehat, level insulin

yang lebih tinggi dibutuhkan untuk mencapai efek yang sama pada pasien

dengan DM tipe 2. (12)

Hal ini sudah diperkirakan bahwa glukagon bertanggung jawab untuk

menaikan produksi glukosa hepar hingga 75%. Ketika level glukagon gagal

untuk turun, diikuti oleh penumpukan sisa produksi glukosa hepar. Saat diikuti

dengan pengambilan glukosa yang berkurang di jaringan perifer menyebabkan

resistensi insulin, hasilnya berupa hiperglikemi. (12)

2.5 GEJALA KLINIS

Gejala dan tanda-tanda penyakit diabetes mellitus dapat digolongkan

menjadi 2 yaitu gejala akut dan gejala kronik.

10
A. Gejala Akut

Gejala penyakit DM pada setiap orang tidak akan selalu sama, akan tetapi

gejala yang sering muncul atau pada umumnya sering timbul dengan tidak

menutup kemungkinan akan timbul gejala lain:

1. Pada permulaan gejala yang timbul meliputi antara lain sebagai berikut:

a. Banyak Makan ( Polifagia )

Perasaan lapar pada pasien penyakit gula disebabkan oleh

ketidakmampuan sel untuk mengambil gula dari dalam darah dan

memakainya guna untuk menghasilkan Energi. Sel- sel yang kelaparan

dengan gula yang banyak yang terdapat didalam darah akan terus- menerus

memberikan sinyal atau akan memerintahkan kepusat rasa lapar didalam

otak ingin makan sehingga pasien terus merasa lapar sekalipun makanan

yang masuk kedalam usussnya melimpah atau banyak.

b. Banyak Minum ( Polidipsia )

Pada pasien diabetes kadar gula darah dapat naik hingga mencapai nilai

yang cukup tinggi. Kadar yang lebih tinggi dari 200 mg % yang akan

menyebabkan darah menjadi “ kental “.

Salah satu akibat adalah rasa haus yang diderita pasien sehingga

membuatnya untuk minum banyak guna mengencerkan darah yang kental

itu. Disamping itu juga, frekuensi kencing yang sering dan banyak yang

akan memperbesar kehilangan cairan melalui ginjal sehingga menambah

rasa haus yang besar yang diderita oleh orang yang menderita diabetes

mellitus.

11
c. Banyak Kencing ( Poliuria )

2. Bila keadan tersebut tidak dapat terobati lama kelamaan timbul gejala yang

disebabkan oleh kurangnya insulin dan bukan polifagia, polidipsi dan

poliuria (3P) melainkan hanya polidipsia dan poliuria ( 2P ) dengan

beberapa keluhan sebagai berikut ;

a. Nafsu makan mulai berkurang ( tidak polifagia lagi ) bahkan kadang-

kadang disusul dengan mual jika kadar glukosa darah melebihi 500

mg/dl

b. Banyak minum

c. Banyak kencing

d. Berat badan menurun dengan cepat (dapat turun 4-10 kg dalam waktu

2-4 minggu)

e. Mudah lelah

f. Bila tidak lekas diobati akan timbul rasa mual bahkan penderita akan

jatuh koma ( tidak sadarkan diri ) dan disebut koma diabetic. Koma diabetik

adalah koma pada diabetis akibat kadar glukosa darah terlalu tinggi,

biasanya melebihi 600 mg/dL.

B. Gejala Kronik

Kadang- kadang diabetisi tidak menunjukan gejala akut tetapi penderita

tersebut baru menunjukkan gejala sesudah beberapa bulan atau beberapa tahun

12
mengidap penyakit DM. gejala ini disebut gejala kronik atau menahun. Gejala

kronik ini yang paling sering membawa diabetis berobat pertama kali.

Gejala kronik yang sering timbul adalah sebagai berikut :

a. kesemutan

b. gangguan penglihatan mata kabur biasanya sering ganti kasa mata

c. kulit terasa panas atau seperti tertusuk –tusuk jarum

d. gatal disekitar kemaluan terutama wanita

e. keputihan

f. terasa tebal dikulit, sehingga kalau berjalan seperti berjalan diatas bantal

dan kasur.

g. kram, leleh dan mudah mengantuk

h. gigi mudah goyah dan mudah lepas

i. Kemampuan seksual menurun bahkan impotent

j. Para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam

kandungan atau berat badan bayi lebih dari 4 kg.

2.6 KOMPLIKASI

Komplikasi-komplikasi pada Diabetes mellitus dapat dibagi menjadi dua

yaitu :

1. Komplikasi Metabolik Akut

Komplikasi akut terdiri dari dua bentuk yaitu hipoglikemia dan

hiperglikemia. Hiperglikemia dapat berupa, Keto Asidosis Diabetik

(KAD), Hiperosmolar Non Ketotik (HNK) dan Asidosis Laktat (AL).

13
Hipoglikemi yaitu apabila kadar gula darah lebih rendah dari 60 mg %

dan gejala yang muncul yaitu palpitasi, takhicardi, mual muntah, lemah,

lapar dan dapat terjadi penurunan kesadaran sampai koma. Hiperglikemi

yaitu apabila kadar gula darah lebih dari 250 mg % dan gejala yang

muncul yaitu oliuri, polidipsi pernafasan kussmaul, mual muntah,

penurunan kesadaran sampai koma.

2. Komplikasi Metabolik Kronik

Komplikasi kronik pada dasarnya terjadi pada semua pembuluh

darah di seluruh bagian tubuh (Angiopati diabetik).(17) Angiopati diabetik

untuk memudahkan dibagi menjadi dua yaitu: makroangiopati

(makrovaskuler) dan mikroangiopati (mikrovaskuler), yang tidak berarti

bahwa satu sama lain saling terpisah dan tidak terjadi sekaligus

bersamaan.

Komplikasi kronik DM yang sering terjadi adalah sebagai berikut:

a. Mikrovaskuler :

1) Ginjal.

2) Mata.

b. Makrovaskuler :

1) Penyakit jantung koroner.

2) Pembuluh darah kaki.

3) Pembuluh darah otak.

c. Neuropati: mikro dan makrovaskuler

14
d. Mudah timbul ulkus atau infeksi : mikrovaskuler dan makrovaskuler.
(9,10,18)
.

Gambar I. pathogenesis komplikasi kronis

2.7 ULKUS DIABETIKUM

1. DEFINISI ULKUS DIABETIKUM

Ulkus diabetika adalah salah satu bentuk komplikasi kronik

Diabetes mellitus berupa luka terbuka pada permukaan kulit yang

dapat disertai adanya kematian jaringan setempat. (19)

Ulkus diabetika merupakan luka terbuka pada permukaan kulit

karena adanya komplikasi makroangiopati sehingga terjadi vaskuler

15
insusifiensi dan neuropati, yang lebih lanjut terdapat luka pada

penderita yang sering tidak dirasakan, dan dapat berkembang

menjadi infeksi disebabkan oleh bakteri aerob maupun anaerob.


(12,14,16)

2. EPIDEMIOLOGI

Prevalensi penderita ulkus diabetika di Indonesia sebesar

15% dari penderita Dm. di RSCM, pada tahun 2003 masalah kaki

diabetes masih merupakan masalah besar. Sebagian besar perawatan

DM selalu terkait dengan ulkus diabetika. Angka kematian dan

angka amputasi masih tinggi,masing-masig sebesar 32,5% dan

23,5%. Nasib penderita DM paska amputasi masih sangat buruk,

sebanyak 14,3% akan meninggal dalam setahun paska amputasi dan

sebanyak 37% akan meninggal 3 tahun pasca amputasi. (20)

3. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO ULKUS DIABETIKUM

Beberapa etiologi yang menyebabkan ulkus diabetikum

meliputi neuropati,penyakit arterial,tekanan dan deformitas kaki.

Faktor risiko terjadi ulkus diabetika pada penderita Diabetes mellitus

menurut Lipsky dengan modifikasi dikutip oleh Riyanto dkk.terdiri

atas :

a. Faktor-faktor risiko yang tidak dapat diubah :

1) Umur ≥ 60 tahun.

16
2) Lama DM ≥ 10 tahun.

b. Faktor-Faktor Risiko yang dapat diubah : (termasuk kebiasaan dan

gaya hidup)

1) Neuropati (sensorik, motorik, perifer).

2) Obesitas.

3). Hipertensi.

4) Glikolisasi Hemoglobin (HbA1C) tidak terkontrol.

5) Kadar glukosa darah tidak terkontrol.

6) Insusifiensi Vaskuler karena adanya Aterosklerosis yang

disebabkan :

a) Kolesterol Total tidak terkontrol.

b) Kolesterol HDL tidak terkontrol.

c) Trigliserida tidak terkontrol.

7) Kebiasaan merokok.

8) Ketidakpatuhan Diet DM

4. KLASIFIKASI

Klasifikasi Ulkus diabetika pada penderita Diabetes mellitus

menurut Wagner, terdiri dari 6 tingkatan :

0 = Tidak ada luka terbuka, kulit utuh.

1 = Ulkus Superfisialis, terbatas pada kulit.

2 = Ulkus lebih dalam sering dikaitkan dengan inflamasi jaringan.

3 = Ulkus dalam yang melibatkan tulang, sendi dan formasi abses.

4 = Ulkus dengan kematian jaringan tubuh terlokalisir seperti pada ibu

17
jari kaki, bagian depan kaki atau tumit.

5 = Ulkus dengan kematian jaringan tubuh pada seluruh kaki.

GAMBAR II. Ilistrasi klasifikasi ulkus diabetikum

Sedangkan klasifikasi untuk kedalaman luka dan luasnya daerah iskemik

menurut Brodsky:

Berdasarkan kedalaman luka / ulkus :

o 0 : Pre dan post ulserasi

o 1 : luka superfisial yang mencapai epidermis atau dermis atau

keduanya, tapi belum menembus tendon, kapsul sendi atau

ggggtulang.

o 2 : luka memembus tendon atau tulang tetapi belum mencapai

tulang atau sendi

o : tulang menembus tulang atau sendi

Berdasarkan luas daerah iskemia

o A : Tanpa iskemia

18
o B : iskemia tanpa gangrene

o C : partial gangrene

o D : Complete foot gangrene

4. PATOGENESIS DIABETIKUM

Gangguan vaskuler pada pasien DM merupakan salah satu penyebab

ulkus diabetikum. Pada gangguan vaskuler terjadi iskemik. Keadaan

tersebut di samping menjadi penyebab terjadinya ulkus juga mempersulit

proses penyembuhan ulkus kaki dan mempermudah timbulnya infeksi.

Iskemik merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh karena kekurangan

darah dalam jaringan sehingga kekurangan oksigen(14). Gangguan tersebut

terjadi melalui dua proses yaitu:

1.Makroangiopati

Makroangiopati yang terjadi berupa penyempitan dan penyumbatan

pembuluh darah ukuran sedang maupun besar menyebabkan iskemi dan

ulkus. Dengan adanya DM proses sterosklerosis berlangsung cepat dan

lebih berat dengan keterlibatan pembuuh darah multiple. Aterosklerosis

biasanya proximal namun sering berhubungan dengan oklusi arteri distal

pada lutut, terutama arteri tibialis posterior dan anterior, peronealis,

metatarsalis, serta arteri digitalis(14).

2.Mikroangiopati.

Mikroangiopati berupa penyempitan dan penyumbatan pembuluh

darah perifer, sering terjadi pada tungkai bawah terutama kaki, akibat

19
perfusi jaringan bagian distal dari tungkai berkurang kemudian timbul ulkus

kaki diabetika. Proses mikroangiopati darah menjadikan sirkulasi jaringan

menurun yang ditandai oleh hilang atau berkurangnya denyut nadi pada

arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki menjadi dingin, atrofi dan

kuku menebal. Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis jaringan sehingga

timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai(8).

Selain proses diatas pada penderita DM terjadi peningkatan HbA1c

eritrosit yang menyebabkan deformabilitas eritrosit dan pelepasan oksigen

di jaringan oleh eritrosit terganggu, sehingga terjadi penyumbatan yang

mengganggu sirkulasi jaringan dan kekurangan oksigen mengakibatkan

kematian jaringan yang selanjutnya timbul ulkus(5,14). Peningkatan kadar

fibrinogen dan bertambahnya aktivitas trombosit mengakibatkan tingginya

agregasi sel darah merah sehingga sirkulasi darah menjadi lambat dan

memudahkan terbentuknya trombosit pada dinding pembuluh darah yang

akan mengganggu sirkulasi darah(5).

Patofisiologi pada tingkat biomolekuler menyebabkan neuropati

perifer, penyakit vaskuler perifer dan penurunan sistem imunitas yang

berakibat terganggunya proses penyembuhan luka(5). Neuropati perifer pada

penyakit DM dapat menimbulkan kerusakan pada serabut motorik, sensoris

dan autonom(8). Kerusakan serabut motoris dapat menimbulkan kelemahan

otot, atrofi otot, deformitas (hammer toes, claw toes, pes cavus, pes planus,

halgus valgus, kontraktur tendon Achilles) dan bersama dengan adanya

neuropati memudahkan terbentuknya kalus(13). Kerusakan serabut sensoris

20
yang terjadi akibat rusaknya serabut mielin mengakibatkan penurunan

sensasi nyeri sehingga memudahkan terjadinya ulkus kaki. Selain itu pada

hiperglikemia terjadi defek metabolism pada sel schwan sehingga konduksi

implus terganggu(15). Kaki yang tidak berasa akan berbahaya karena bila

menginjak benda tajam tidak akan dirasa padahal telah timbul luka,

ditambah dengan mudahnya terjadi infeksi. Kerusakan serabut autonom

yang terjadi akibat denervasi simpatik menimbulkan kulit kering

(anhidrosis) dan terbentuknya fisura kulit dan edema kaki(14).

Proses terbentuknya ulkus

Gambar IV. Proses terbentuknya ulkus (11)

Ulkus diabetikum terdiri dari kavitas sentral biasanya lebih besar

dibanding pintu masuknya, dikelilingi kalus keras dan tebal. Pembentukan

ulkus berhubungan dengan hiperglikemia yang berefek terhadap saraf

perifer, kolagen, keratin dan suplai vaskuler. Dengan adanya tekanan

mekanik terbentuk keratin keras pada daerah kaki yang mengalami beban

21
terbesar. Neuropati sensoris perifer memungkinkan terjadinya trauma

berulang mengakibatkan terjadinya kerusakan jaringan dibawah area kalus.

Selanjutnya terbentuk kavitas yang membesar dan akhirnya ruptur sampai

permukaan kulit menimbulkan ulkus. Adanya iskemia dan penyembuhan

luka abnormal manghalangi resolusi. Mikroorganisme yang masuk

mengadakan kolonisasi didaerah ini. Kadar gula dalam darah yang

meningkat menjadikan tempat perkembangan bakteri ditambah dengan

gangguan pada fungsi imun sehingga bakteria sulit dibersihkan dan infeksi

menyebar ke jaringan sekitarnya(11)

5. DIAGNOSIS ULKUS DIABETIKUM

A. ANAMNESIS / GEJALA KLINIK

Anamnesa yang dilakukan merupakan tahap awal dari pengumpulan

data yang diperlukan dalam mengevaluai dan mengidentifikasi sebuah

penyakit. Pada anamnesa yang sangat penting adalah mengetahui apakah

pasien mempunyai riwayat DM sejak lama. Gejala-gejala neuropatik

diabetik yang sering ditemukan adalah sering kesemutan, rasa panas di

telapak kaki, keram, badan sakit semua terutama malam hari(15). Gejala

neuropati menyebabakan hilang atau berkurangnya rasa nyeri dikaki,

sehingga apabila penderita mendapat trauma akan sedikit atau tidak

merasakan nyeri sehingga mendapatkan luka pada kaki(3).

Selain itu perlu di ketahui apakah terdapat gangguan pembuluh

darah dengan menanyakan nyeri tungkai sesudah berjalan pada jarak

22
tertentu akibat aliran darah ketungkai yang berkurang (klaudikasio

intermiten), ujung jari terasa dingin, nyeri diwaktu malam, denyut arteri

hilang, kaki menjadi pucat bila dinaikkan serta jika luka yang sukar

sembuh(2).

B. PEMERIKSAAN FISIK

1) Inspeksi

pada inspeksi akan tampak kulit kaki yang kering dan pecah-pecah

akibat berkurangnya produksi keringat. Hal ini disebabkan karena

denervasi struktur kulit. Tampak pula hilangnya rambut kaki atau jari

kaki, penebalan kuku, kalus pada daerah yang mengalami penekanan

seperti pada tumit, plantar aspek kaput metatarsal. Adanya deformitas

berupa claw toe sering pada ibu jari. Pada daerah yang mengalami

penekanan tersebut merupakan lokasi ulkus diabetikum karena trauma

yang berulang-ulang tanpa atau sedikit dirasakan pasien. Bentuk ulkus

perlu digambarkan seperti; tepi, bau, dasar, ada atau tidak pus, eksudat,

edema, kalus, kedalaman ulkus(15)

Gambar III. Pemeriksaan pada inspeksi dan palpasi (15)

23
2) Palpasi

Kulit yang kering serta pecah-pecah mudah dibedakan dengan kulit

yang sehat. Oklusi arteri akan menyebabkan perabaan dingin serta

hilangnya pulsasi pada arteri yang terlibat. Kalus disekeliling ulkus akan

terasa sebagai daerah yang tebal dan keras. Deskripsi ulkus harus jelas

karena sangat mempengaruhi prognosis serta tindakan yang akan

dilakukan. Apabila pus tidak tampak maka penekanan pada daerah

sekitar ulkus sangat penting untuk mengetahui ada tidaknya pus.

Eksplorasi dilakukan untuk melihat luasnya kavitas serta jaringan

bawah kulit, otot, tendo serta tulang yang terlibat(15).

3) Pemeriksaan Sensorik

Pada penderita DM biasanya telah terjadi kerusakan neuropati sebelum

tebentuknya ulkus. Sehingga apabila pada inspeksi belum tampak

adanya ulkus namun sudah ada neuropati sensorik maka proses

pembentukan ulkus dapat dicegah. Caranya adalah dengan pemakaian

nilon monofilamen 10 gauge. Uji monofilamen merupakan pemeriksaan

yang sangat sederhana dan cukup sensitif untuk mendiagnosis pasien

yang memiliki risiko terkena ulkus karena telah mengalami gangguan

neuropati sensoris perifer. Hasil tes dikatakan tidak normal apabila

pasien tidak dapat merasakan sentuhan nilon monofilamen. Bagian yang

dilakukan pemeriksaan monofilamen adalah di sisi plantar (area

metatarsal, tumit dan dan di antara metatarsal dan tumit) dan sisi

dorsal(16).

24
4) Pemeriksaan Vaskuler

Disamping gejala serta tanda adanya kelainan vaskuler, perlu diperiksa

dengan test vaskuler noninvasive yang meliputi pungukuran oksigen

transkutaneus, ankle-brachial index (ABI), dan absolute toe systolic

pressure. ABI didapat dengan cara membagi tekanan sistolik betis denga

tekanan sistolik lengan. Apabila didapat angka yang abnormal perlu

dicurigai adanya iskemia. Arteriografi perlu dilakukan untuk

memastikan terjadinya oklusi arteri(16)

Gambar IV. Pemeriksaan sensorik (15)

5) Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan radiologi akan dapat mengetahui apakah didapat gas

subkutan, benda asing serta adanya osteomielitis(8).

6) Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah rutin menunjukkan angka lekosit yang meningkat bila

sudah terjadi infeksi. Gula darah puasa dan 2 jam PP harus diperiksa

25
untuk mengetahui kadar gula dalam lemak. Albumin diperiksa untuk

mengetahui status nutrisi pasien.

6. PENANGANAN ULKUS DIABETIKUM

Penanganan pada ulkus diabetikum dilakukan secara

komprehensif. Penanganan luka merupakan salah satu terapi yang

sangat penting dan dapat berpengaruh besar akan kesembuhan luka dan

pencegahan infeksi lebih lanjut. Penanganan luka pada ulkus

diabetikum dapat melalui beberapa cara yaitu: menghilangkan atau

mengurangi tekanan beban (offloading), menjaga luka agar selalu

lembab (moist), penanganan infeksi, debridemen, revaskularisasi dan

skin graft.

a) Debridemen

Tindakan debridemen merupakan salah satu terapi penting

pada kasus ulkus diabetika. Debridemen dapat didefinisikan

sebagai upaya pembersihkan benda asing dan jaringan nekrotik pada

luka. Luka tidak akan sembuh apabila masih didapatkan jaringan

nekrotik, debris, calus, fistula atau rongga yang memungkinkan

kuman berkembang(4). Setelah dilakukan debridemen luka harus

diirigasi dengan larutan garam fisiologis atau pembersih lain dan

dilakukan dressing (kompres). Tujuan dilakukan debridemen bedah

adalah(5):

 Mengevakuasi bakteri kontaminasi

26
 Mengangkat jaringan nekrotik sehingga dapat mempercepat

penyembuhan

 Menghilangkan jaringan kalus

 Mengurangi risiko infeksi lokal

 Mengurangi beban tekanan (off loading)

Ada beberapa pilihan dalam tindakan debridemen, yaitu

debridemen mekanik, enzimatik, autolitik, biologik. Debridemen

mekanik dilakukan menggunakan irigasi luka cairan fisiolofis,

ultrasonic laser, dan sebagainya, dalam rangka untuk membersihkan

jaringan nekrotik. Debridemen secara enzimatik dilakukan dengan

pemberian enzim eksogen secara topikal pada permukaan lesi.

Enzim tersebut akan menghancurkan residu residu protein(6).

Debridemen autolitik terjadi secara alami apabila seseorang terkena

luka. Proses ini melibatkan makrofag dan enzim proteolitik endogen

yang secara alami akan melisiskan jaringan nekrotik. Secara sintetis

preparat hidrogel dan hydrocolloid dapat menciptakan kondisi

lingkungan yang optimal bagi fagosit tubuh dan bertindak sebagai

agent yang melisiskan jaringan nekrotik serta memacu proses

granulasi. Menghilangkan atau mengurangi tekanan beban

(offloading) (6).

b) Perawatan Luka

Perawatan luka modern menekankan metode moist wound

healing atau menjaga agar luka dalam keadaan lembab(5,6).

27
Lingkungan luka yg seimbang kelembabannya memfasilitasi

pertumbuhan sel dan proliferasi kolagen didalam matrik non selular

yg sehat. Luka akan menjadi cepat sembuh apabila eksudat dapat

dikontrol, menjaga agar luka dalam keadaan lembab, luka tidak

lengket dengan bahan kompres, terhindar dari infeksi dan permeabel

terhadap gas.Tindakan dressing merupakan salah satu komponen

penting dalam mempercepat penyembuhan lesi. Prinsip dressing

adalah bagaimana menciptakan suasana dalam keadaan lembab

sehingga dapat meminimalisasi trauma dan risiko operasi. Ada

beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih

dressing yang akan digunakan, yaitu tipe ulkus, ada atau tidaknya

eksudat, ada tidaknya infeksi, kondisi kulit sekitar dan biaya. Ada

beberapa jenis dressing yang sering dipakai dalam perawatan luka,

seperti: hydrocolloid, hydrogel, calcium alginate, foam, kompres

anti mikroba(5).

c) Pengendalian Infeksi

Pemberian antibitoka didasarkan pada hasil kultur kuman. Pada

infeksi berat pemberian antibitoika diberikan selama 2 minggu atau

lebih. Pada beberapa penelitian menyebutkan bahwa bakteri yang

dominan pada infeksi ulkus diabetik diantaranya adalah s.aureus

kemudian diikuti dengan streotococcus, staphylococcus koagulase

negative, Enterococcus, corynebacterium dan pseudomonas. Pada

ulkus diabetika ringan atau sedang antibiotika yang diberikan di

28
fokuskan pada patogen gram positif. Pada ulkus terinfeksi yang berat

kuman lebih bersifat polimikrobial (mencakup bakteri gram positif

berbentuk coccus, gram negatif berbentuk batang, dan bakteri

anaerob) antibiotika harus bersifat broadspektrum, diberikan secara

injeksi.

d) Skin Graft

Gambar V. Skin graft (18)

Suatu tindakan penutupan luka dimana kulit dipindahkan dari

lokasi donor dan ditransfer ke lokasi resipien. Terdapat dua macam skin

graft yaitu full thickness dan split thickness. Skin graft merupakan

salah satu cara rekonstruksi dari defek kulit, yang diakibatkan oleh

berbagai hal. Tujuan skin graft digunakan pada rekonstruksi setelah

operasi pengangkatan keganasan kulit, mempercepat penyembuhan

luka, mencegah kontraktur, mengurangi lamanya perawatan,

memperbaiki defek yang terjadi akibat eksisi tumor kulit, menutup

daerah kulit yang terkelupas dan menutup luka dimana kulit sekitarnya

tidak cukup menutupinya(12). Selain itu skin graft juga digunakan untuk

29
menutup ulkus kulit yang kronik dan sulit sembuh. Terdapat 3 fase dari

skin graft yaitu: imbibition, inosculation, dan revascularization. Pada

fase imbibition terjadi proses absorpsi nutrient ke dalam graft yang

nantinya akan menjadi sumber nutrisi pada graft selam 24-48 jam

pertama. Fase kedua yaitu inosculation yang merupakan proses dimana

pembuluh darah donor dan resipien saling berhubungan. Selama kedua

fase ini, graft saling menempel ke jaringan resipien dengan adanya

deposisi fibrosa pada permukaannya. Pada fase ketiga yaitu

revascularization terjadi diferensiasi dari pembuluh darah pada

arteriola dan venula(2).

e) Tindakan Amputasi

Tindakan amputasi dilakukan bila dijumpai adanya gas

gangren, jaringan terinfeksi, untuk menghentikan perluasan infeksi,

mengangkat bagian kaki yang mengalami ulkus berulang. Komplikasi

berat dari infeksi kaki pada pasien DM adalah fasciitis nekrotika dan

gas gangren. Pada keadaan demikian diperlukan tindakan bedah

emergensi berupa amputasi. Amputasi bertujuan untuk menghilangkan

kondisi patologis yang mengganggu fungsi, penyebab kecacatan atau

menghilangkan penyebab yang didapat(9).

Penanganan ulkus diabetik dapat dilakukan dalam beberapa tingkatan sesuai

dengan pembagian menurut wanger, yaitu(6):

30
a) Tingkat 0 :

Penanganan meliputi edukasi kepada pasien tentang alas kaki khusus dan

pelengkap alas kaki yang dianjurkan. Sepatu atau sandal yang dibuat secara

khusus dapat mengurangi tekanan yang terjadi. Bila pada kaki terdapat

tulang yang menonjol atau adanya deformitas, biasanya tidak dapat hanya

diatasi dengan pengguna-an alas kaki buatan umumnya memerlukan

tindakan pemotongan tulang yang menonjol (exostectomy) atau dengan

pembenahan deformitas.

b) Tingkat I

Memerlukan debridemen jaringan nekrotik atau jaringan yang infeksius,

perawatan lokal luka dan pengurangan beban.

c) Tingkat II :

Memerlukan debridemen, antibiotik yang sesuai dengan hasil kultur,

perawatan lokal luka dan teknik pengurangan beban yang lebih berarti.

d) Tingkat III :

Memerlukan debridemen jaringan yang sudah menjadi gangren,

amputasi sebagian, imobilisasi yang lebih ketat, dan pemberian antibiotik

parenteral yang sesuai dengan kultur.

e) Tingkat IV :

Pada tahap ini biasanya memerlukan tindakan amputasi sebagian atau

amputasi seluruh kaki.

31
7. EVALUSI ULKUS DIABETIKUM

Prinsip dasar yang baik pengeolaan terhadap ulkus diabetikum

adalah:

a) Evaluasi keadaan klinis luka, dalamnya luka, gambaran radiologi

(benda asing, osteomielitis, adanya gas subkutis), lokasi, biopsy

vaskularisasi (non invasive).

Pengobatan ulkus sangat dipengaruhi oleh derajat dan dalamnya

ulkus. Hati-hati apabila menjumpai ulkus yang nampaknya kecil dan

dangkal karena kadang-kadang hal tersebut hanya merupakan

puncak dari gunung es dan pada pemeriksaan yang seksama

penetrasi itu mungkin mencapai jaringan yang lebih dalam.

b) Pengelolaan terhadap neuropati diabetic

Pada dasarnya pengelolaan neuropati diabetic dilakukan dengan

mengontrol gula darah dan pemberian obat-obatan kausal dan

simptomatik. Pengontrolan gula darah secara terus menerus dan

pengobatan DM yang intensif akan menghambat progresitifitas

neuropati sebesar 60%.

a) Kontrol metabolik

Terjadinya aterosklerosis adalah akibat defek metabolik dan defek

fisik. Faktor resiko terjadinya aterosklerosis antara lain

hiperglikemia, hiperinsulinemia, dislipidemia, hipertensi, obesitas,

hiperkoagulabilitas, genetik, dan merokok. Semua faktor resiko yang

32
dapat diobati seharusnya segera dikontrol dengan sebaik-baiknya

untuk menghambat proses terjadinya aterosklerosis lebih lanjut.

b) Debridemen dan pembalutan

Pada dasarnya terapi ulkus diabetikum sama dengan terapi lain, yaitu

mempersiapkan bed luka yang baik untuk menunjang tumbuhnya

jaringan granulasi, sehingga proses penyembuhan luka dapat terjadi.

Kita mengenalnya dengan preparasi bed luka. Harus diketahui

bahwa tidak ada obat-obatan topikal yang dapat menggantikan

debridement yang baik dengan teknik yang benar dan proses

penyembuhan luka selalu dimulai dari jaringan yang bersih. Tujuan

dasar dari debridement adalah mengurangi kontaminasi pada luka

untuk mengontrol dan mencegah infeksi. Pemeriksaan kultur

diperlukan terutama pada ulkus yang dalam dan diambil dari

jaringan yang dalam. Diperlukan debridement yang optimal sampai

nampak jaringan sehat dengan cara membuang jaringan nekrotik.

Debridemen yang tidak optimal akan menghambat penyembuhan

ulkus.

Pembalutan berguna untuk menjaga dan melindungi kelembaban

jaringan, perangsang penyembuhan luka, melindungi dari suhu luar,

serta mudah dibuka tanpa rasa nyeri dan merusak luka. Suasana

lembab membuat suasana optimal untuk akselerasi penyembuhan

dan memacu pertumbuhan jaringan.

33
c) Biakan kultur

Untuk menentukan bakteri penyebab infeksi diperlukan kultur.

Pengambilan bahan kultur dengan cara swab tidak dianjurkan. Hasil

kultur akan lebih dipercaya apabila pengambilan bahan dengan cara

curettage dari hasil ulkus setelah debridement.

d) Antibiotika

Pada ulkus diabetika ringan/sedang antibiotika yang diberikan

difokuskan pada pathogen gram positif. Pada ulkus terinfeksi berat

lebih bersifat polimikrobial. Antibiotika harus bersifat

broadspectrum dan diberikan secara injeksi.

e) Perbaikan sirkulasi

Penderita DM mempunyai kecenderungan untuk lebih mudah

mengalami koagulasi dibandingkan yang bukan DM akibat adanya

gangguan viskositas pada plasma, deformibilitas eritrosit, agregasi

trombosit serta adanya peningkatan trogen dan faktor Willbrand.

Obat-obat yang mempunyai efek reologik bencyclame, pentoxyfilin

dapat memperbaiki eritrosit disamping mengurangi agregasi eritrosit

pada trombosit.

f) Non weight bearing

Tindakan ini diperlukan karena umumnya kaki penderita tidak peka

lagi terhadap rasa nyeri, sehingga apabila dipakai berjalan maka

akan menyebabkan luka bertambah besar dan dalam, cara terbaik

untuk mencapainya dengan mempergunakan gips.

34
g) Nutrisi

Faktor nutrisi merupakan salah satu faktor yang berperan dalam

penyembuhan luka. Adanya anemia dan hipoalbuminemia akan

sangat berpengaruh terhadap proses penyembuhan. Perlu dilakukan

monitor kadar Hb dan albumin darah minimal satu minggu sekali.

Besi, vitamin B12, asam folat membantu sel darah membawa

oksigen ke jaringan. Besi juga merupakan suatu kofaktor dalam

sintesis kolagen sedangkan vitamin C dan zinc penting untuk

perbaikan jaringan. Zinc juga berperan dalam respon imun.

8. PENYULIT ULKUS DIABETIKUM

Infeksi merupakan ancaman utama amputasi pada penderita ulkus

diabetikum. Infeksi superficial di kulit apabila tidak segera ditangani

dapat menembus jaringan di bawah kulit, seperti tendon, sendi, dan

tulang atau bahkan menjadi infeksi sistemik. Pada ulkus kaki terinfeksi

dan kaki diabetic terinfeksi (tanpa ulkus) harus dilakukan kultur dan

sensitifitas kuman. Hampir 2/3 pasien dengan ulkus kaki diabteik

memberikan komplikasi osteomielitis. Osteomielitis yang tidak

terdeteksi akan mempersulit penyembuhan ulkus. Gulah darah pasien

ulkus juga bisa menjadi hambatan dalam proses penyembuhan luka

maka dari itu perlu juga dikonsultasikan ke bagian ahli gizi, dan apabila

diperlukan di konsultasikan kepada ahli fisioterapi agar proses

penyembuhan bisa lebih maksimal.

35

Anda mungkin juga menyukai