Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, terdiri dari berbagai macam
suku, ras, agama, dan golongan. Berbagai macam perbedaan ini justru melahirkan
perilaku prososial (Eisenberg & Mussen, 2003). Perilaku prososial sudah menjadi
merupakan homo socius yaitu manusia sosial yang saling membutuhkan orang
lain, bukan homo individualis yaitu manusia yang tidak membutuhkan orang lain.
(Dahana, 2011). Orang Jawa akan merasa hidupnya tidak bermakna, jika belum
individualistik pada masyarakat dapat dilihat dari cara berpikir, bertutur kata,
bersikap, berpakaian, dan bergaul. Pergeseran budaya ini, tidak hanya terjadi di
(http://bantenraya.com).
Lunturnya perilaku prososial tidak hanya terjadi pada warga Indonesia yang
teman pada anak-anak usia dini. Berdasarkan pengamatan peneliti selama Praktek
pada tanggal 13 Maret 2013 diperoleh data bahwa siswa kelompok B (usia 5-6
Beberapa perilaku yang ditemukan peneliti yaitu, tidak mau menolong teman yang
guru (inisial SM, SP, YN, SN, AR, ST, YM, TS, DS, SH) yang berasal dari TK
Pertiwi PT, TK ABA S, TK Masyithoh KT, TK Pertiwi TR, dan TK PKK BK.
Tanpa bimbingan dan stimulasi dari guru, maka siswa cenderung belum konsisten
adanya karakter bangsa yang mulai memudar. Langkah antisipasi yang diambil
4
karakter bagi siswanya, mulai dari jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
hingga Perguruan Tinggi (PT). Pendidikan karakter pada jenjang PAUD terdiri
royong (karakter ke-7). Nilai-nilai karakter merupakan fondasi yang kuat untuk
individu untuk bertindak sebagai agen moral. Seseorang yang memiliki karakter
yang baik, maka ia akan memiliki dorongan untuk mau dan mampu melakukan
hal-hal yang benar sesuai norma-norma susila. Lebih lanjut, pendidikan karakter
adalah upaya penanaman nilai-nilai karakter kepada anak didik yang meliputi
nilai kebaikan dan kebajikan, kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama,
memotivasi diri mereka sendiri untuk menunjukkan perilaku yang bermoral, dan
dalam perilaku prososial yang sistematis (Berkowitz, 1997 dalam Berkowitz &
perilaku positif siswa, sehingga siswa mau berusaha, rajin, dan tangguh.
(Character Education Partnership, 2008). Lebih lanjut, Berkowitz & Bier (2007)
kesempatan dan mendorong siswa untuk mampu menjadi agen moral. Hasil dari
waktu yang lama dan ketekunan. Orangtua, guru, dan orang-orang dewasa di
sekitar anak diibaratkan sebagai pemahat yang dengan tekun dan sabar
6
memahatkan nilai-nilai kebaikan pada diri anak (Frye, dkk, 2008; Musfiroh,
2011). Pendidikan karakter tidak bisa dimulai ketika seseorang telah beranjak
dewasa, melainkan ketika anak masih berada pada masa usia dini. Menurut
Musfiroh (2011), karakter itu tumbuh, terjalin, dan membentuk sebuah keutuhan,
Salah satu karakter yang perlu ditanamkan sejak dini adalah tolong-
sukarela yang bertujuan untuk memberi kebaikan bagi orang lain maupun
kelompok lain (Eisenberg, Fabes, & Spinrad, 2006). Penekanan pada kata
sukarela, menjelaskan bahwa perbuatan baik untuk orang lain ini dilakukan tanpa
perintah atau paksaan dari pihak manapun. Lebih lanjut, Eisenberg, Fabes, &
orang lain. Perilaku prososial yang dilakukan dengan motivasi intrinsik, tanpa
(Eisenberg & Mussen, 2003). Perilaku prososial tidak dilakukan seseorang karena
7
perintah atau permintaan orang lain, bukan pula karena ketakutan akan hukuman,
melainkan didorong oleh motivasi internal (Grusec, Hastings, & Almas, 2011).
ketika anak usia 6-12 bulan menunjukkan bentuk primitif dari empati dengan
Grusec, Hastings, & Almas, 2011; Hoffman dalam dalam Eisenberg, Fabes, &
Spinrad, 2006). Sejak anak masih berusia 12-18 bulan, mereka sudah
Striano, & Tomasello, 2006) dan bekerjasama, yang semakin berkembang ketika
Striano, & Tomasello (2006) menyebutkan kemampuan anak usia 12-18 bulan
untuk membantu orang lain yaitu berupa memberikan informasi kepada orang
dewasa yang sedang dicari, atau menunjukkan suatu kejadian yang menarik
baginya untuk berbagi dengan orang dewasa. Hal ini menunjukkan bahwa bentuk
perilaku prososial paling awal, yang ditunjukkan oleh anak, didorong oleh
motivasi untuk memberikan kebaikan bagi orang lain (Hepach, Vaish, &
orang lain semakin kuat. Kemampuan ini merupakan indikasi adanya peningkatan
aspek sosiokognitif, yaitu anak mampu memahami emosi orang lain dan
melakukan evaluasi terhadap situasi yang berkaitan dengan standar moral. Simpati
merupakan indikator perilaku prososial pada anak usia TK (Malti, Gummerum, &
8
Buchmann, 2007). Knafo, Steinberg, & Goldner (2011) juga membuktikan bahwa
anak usia 3-6 tahun yang memiliki kemampuan affective perspective taking yang
tinggi, maka ia pun cenderung memiliki inisiatif perilaku prososial yang tinggi
pula. Sementara itu, Eisenberg, Fabes, & Spinrad, (2006) menyebutkan, pada usia
pra-sekolah, anak menjadi lebih sadar dan memiliki niat untuk melakukan
emosional pada anak usia 5-<6 tahun (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI
pada pikiran, perasaan, dan perilaku berkenaan dengan standar tentang benar dan
moral. Pada tahap ini, baik dan buruk diinterpretasikan pada adanya imbalan
dan hukuman dari orang lain. Tahap preconventional reasoning terdiri dari
melakukan hal yang sama. Sehingga, mereka berpikir bahwa apa yang
berbuat baik kepada orang lain, maka orang lain akan membalas berbuat
standar moral dari orangtua mereka, mencari pujian dari orangtua mereka
kewajiban.
10
tingkatan, yaitu:
a) Tingkat 5: Social contract or utility and individual rights. Pada tahap ini,
individu menganggap nilai, hak, dan prinsip hidup lebih penting daripada
sistem sosial berkaitan dengan derajat dimana mereka memelihara hak dan
universal. Ketika dihadapkan pada konflik antara hukum dan suara hati,
berbagai bentuk, yaitu membantu, berbagi, dan memberi kenyamanan pada teman
yaitu ketika anak berusaha mengurangi kebutuhan emosional orang lain, sebagi
contoh, anak berusaha membuat orang lain merasa lebih baik ketika orang lain
Senada dengan hal itu, Dunfield, Kuhlmeier, O’Connell, & Kelley (2011)
memberikan respon yang diberikan kepada orang lain yang tidak mampu meraih
berdasarkan hasil pengamatan terhadap afek negatif dari orang lain. Berbagi
memeluk dan mencium), mengajak anak lain untuk terlibat dalam kegiatan yang
12
dilakukan, dan mengajak annak lain untuk berbicara. Bekerjasama yaitu anak
peran yang paling baik pada kegiatan drama, tidak bersikap dominan, menerima
ide-ide teman dalam permainan, dan mau berunding dalam permainan. Namun,
usia dini menjadi penting. Anak yang mampu berperilaku prososial pada usia dini
akan cenderung tidak melakukan perilaku agresi pada usia selanjutnya, yaitu
ketika memasuki usia sekolah dasar (Eisenberg, Fabes, & Spinrad, 2006). Selain
Bierman, dkk (dalam Hyson & Taylor, 2011) membuktikan bahwa anak yang
memiliki skor prososial yang tinggi, maka ketika berusia 19 tahun ia diketahui
lebih siap secara kognitif untuk menempuh pendidikan di sekolah. Begitu pula
Miles & Stipek (dalam Hyson & Taylor, 2011) menemukan bahwa anak dari
keluarga miskin pada tahun pertama yang menunjukkan perilaku menolong teman
lebih banyak, maka ketika berada di kelas tiga ia cenderung memiliki kemampuan
literasi yang lebih baik. Penelitian yang dilakukan oleh Hamalaimen & Pulkiinen
(dalam Grusec, Hastings, & Almas, 2011) membuktikan bahwa orang yang ketika
membuktikan bahwa pola asuh orangtua yang positif berkorelasi positif dengan
penanaman karakter bagi anak di sekolah. Stimulasi yang dapat diberikan oleh
Pemberian contoh perilaku prososial menjadi salah satu upaya penting untuk
pendidikan karakter yang efektif. Hartup (dalam Monks, Knoers, & Haditono,
2001) menemukan bahwa pada anak Taman Kanak-kanak, belajar model memiliki
peran yang sangat penting terutama untuk membentuk perilaku agresi dan
altruistik. Anak yang melihat perilaku seorang model dalam hal ini teman sebaya,
maka anak tersebut akan melakukan perilaku yang sesuai dengan model yang ia
lihat sebelumnya.
Model atau contoh, selain dapat diberikan melalui perilaku yang dilakukan
secara nyata oleh orangtua, guru, maupun teman sebaya, juga dapat diberikan
melalui dongeng (Julita, Rubiantoro, Susanto, & Ahyar, 2012). Dongeng sangat
14
dekat dengan kehidupan manusia. Bishop & Kimball (2006) menyebutkan bahwa
masyarakat.
kosakata emosi anak (Wright, Bacigalupa, Black, & Burton, 2008; Eades, 2006),
(Bishop & Kimball, 2006). Dongeng merupakan salah satu strategi efektif yang
dapat dilakukan oleh guru untuk menanamkan pendidikan karakter pada siswanya.
Hal ini dikarenakan siswa cenderung menyukai metode dongeng yang diceritakan
dengan baik, dan penuh inspirasi, dibanding nasehat-nasehat yang sarat kritikan
(Sanchez & Stewart, 2006; Frude & Killick, 2011). Dongeng pun telah terbukti
Pesan moral yang akan disampaikan kepada anak usia dini merupakan konsep
yang dapat mempermudah siswa untuk memahami materi yang disampaikan oleh
guru. Namun, dewasa ini dunia pendidikan mengalami kekurangan media dalam
moral.
nilai kebaikan dan kepahlawanan, sehingga dapat menjadi contoh bagi siswa.
Selain belajar dengan meneladani karakter-karakter yang baik dari para tokoh
tradisional berisi pesan tentang karakter-karakter yang baik dan buruk, sehingga
membuat anak mengerti perilaku-perilaku mana yang sesuai dan tidak sesuai
dengan norma susila yang berlaku di dalam masyarakat. Oleh karena itu, cerita
rakyat sesuai untuk anak-anak, dan digunakan sebagai media dalam setting
hati pendengar, atau mengarahkan pendengar sesuai mood yang diinginkan oleh
salah dari pendengar dalam memahami isi dan pesan cerita. Eades (2006) juga
ide mereka sepanjang cerita berlangsung, sehingga mereka merasa terlibat dan
dapat menikmati cerita hingga selesai. Berbeda halnya dengan metode lain seperti
film, komik, maupun cerita melalui audio yang bersifat satu arah. Metode-metode
yang bersifat satu arah, cenderung tidak responsif, sehingga pendongeng tidak
memahami isi cerita. Keterbatasan media lain yang bersifat searah/tidak interaktif
yaitu tidak mampu melibatkan anak dalam kegiatan mendongeng, sehingga anak
mudah bosan.
Kancil. Penggunaan Wayang Kancil diharapkan menjadi media yang tepat untuk
mengajarkan pendidikan karakter kepada anak usia dini, sebab pada masa usia
dini, anak-anak cenderung dekat dengan dunia binatang. Dongeng dengan tokoh
binatang memiliki manfaat yang cukup banyak bagi anak-anak. Salah satunya
untuk berdiskusi tentang berbagai hal berkaitan dengan norma susila dalam
masyarakat. Selain itu, cerita binatang dapat diterima oleh anak dari berbagai
macam suku, ras, maupun golongan (Eder & Holyan, 2010). Lebih lanjut, Eder &
binatang merupakan yang paling istimewa, sebab selama sekian waktu lamanya,
binatang memiliki peran utama untuk membuka pikiran masyarakat tentang nilai-
nilai dasar manusia. Shepard; Zipes (dalam Eder & Holyan, 2010) menyebutkan
memerlukan suatu sudut pandang di luar diri manusia itu sendiri sebelum menjadi
manusia yang seutuhnya. Selain itu, manusia menggunakan peran binatang untuk
Anak usia 5-6 tahun terbukti mampu memahami cerita yang menggunakan
dengan manusia. Gareth Mattews (dalam Calvert, 2007) menemukan bahwa anak
usia 6 tahun dapat memahami tulisan yang bersifat filosofis, dan Calvert (2007)
Wayang Kancil sudah ada sejak Kasunan Giri (1478-1688) di Gresik. Tokoh
Kancil diciptakan oleh Kanjeng Sunan Giri I (Raden Paku) untuk mengangkat
derajat kaum lelaki dan sebagai pahlawan Nusantara. Tahun 1925 Wayang Kancil
muncul kembali dan dipertunjukkan oleh Bo Liem, seorang keturunan Cina yang
menjadi peminat wayang. Tahun 1943, Wayang Kancil disempurnakan oleh R.M.
Sayid. Sampai saat ini, Wayang Kancil tetap dilestarikan oleh Ki Ledjar Soebroto,
tinggal di Yogyakarta. Wayang Kancil terbuat dari kulit, terdiri dari tokoh-tokoh
antaranya yaitu Kancil, Harimau, Gajah, Buaya, Kerbau, Kera, dan lain-lain
Cerita yang dipentaskan oleh dalang Wayang Kancil bersumber dari cerita
yang telah didengar secara turun-temurun dalam masyarakat, maupun dari dalang-
oleh Dalang Wayang Kancil Edy Pursubayanto sejak tahun 1980. Tahun 1995
gamelan seminimal mungkin, agar tidak ada jarak antara dalang dengan penonton.
Dalang juga bisa dibantu oleh Guru TK terutama perempuan, sebagai pengisi
suara tokoh Kancil. Guru TK tersebut dapat berinteraksi secara leluasa dengan
dapat disajikan di kelas anak-anak usia TK, dengan pendongeng guru kelas karena
lengkap seperti pementasan Wayang Kancil dengan audience orang dewasa, sebab
peralatan yang lengkap justru membuat jarak antara dalang dengan anak-anak.
maka metode yang dipilih adalah dongeng dengan media Wayang Kancil, bukan
Cerita dalam Wayang Kancil yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari
ini bertujuan untuk mengetahui peran dongeng dengan media Wayang Kancil
eksperimen (dalam Eisenberg, Fabes, & Spinrad, 2006; Eisenberg & Mussen,
20
prososial yang sama. Bahkan efek dari contoh perilaku model juga muncul setelah
Bandura (dalam Keenan & Evans, 2009) menjelaskan bahwa sejak anak pada
masa usia dini, mereka menguasai berbagai macam keterampilan dengan cara
Teori sosial kognitif yang dikemukakan oleh Bandura (dalam Eisenberg &
diinginkan. Individu juga mampu menetapkan tujuan untuk diri sendiri dan
mengevaluasi diri secara negatif jika perilaku mereka tidak sesuai. Kepuasan diri
untuk diri mereka sendiri dalam rangka melestarikan standar internal yang
dimiliki.
21
Lebih lanjut Bandura (dalam Eisenberg & Mussen, 2003) menyatakan bahwa
proses, yaitu proses atensi, retensi, produksi, dan motivasi. Pada tahap proses
atensi, seorang anak akan mengamati model yang menarik baginya, seperti
pakaian, gaya berbicara, dan perilaku dari model. Selanjutnya informasi yang ia
peroleh dimasukkan ke dalam ingatan dalam bentuk kode-kode simbolik, tahap ini
disebut sebagai proses retensi. Melalui media simbolik, maka pengalaman yang
bersifat sementara dapat disimpan dalam ingatan yang bersifat permanen. Tahap
menjadi perilaku yang sesuai dengan model. Selanjutnya, tahap terakhir adalah
anak, misalnya seorang teman memerlukan bantuan, maka anak akan mampu
efektif dilakukan dengan melibatkan semua aspek yaitu kognitif, emosi, dan
perilaku pada anak. Oleh karenanya, nilai-nilai yang diberikan akan tertanam
dengan kuat pada diri anak. Lebih lanjut, Lickona (dalam Borba, 2001)
karakter pada anak usia dini yang terlebih dahulu adalah dengan memberikan
menjadi sikap dalam pemikiran anak. Sikap anak ini selanjutnya dapat
anak baik di rumah maupun di sekolah. Untuk itu, dalam penelitian ini peneliti
Anak yang memiliki pengetahuan tentang perilaku prososial, yaitu pada situasi
tentang perilaku prososial pada anak usia dini. Selanjutnya, peneliti juga ingin