PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setelah wafatnya Rasulullah SAW, pemerintahan diteruskan oleh Khulafaur Rasyidin
yaitu khalifah-khalifah yang diberi petunjuk dan dipilih sebagai kepala Negara dan
pemerintahan sekaligus sebagai pemimpin umat Islam. Sahabat Rasulullah SAW yang
menjadi Khulafaur Rasyidin ada empat orang, yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin
Khatab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Masa Khulafaur Rasyidin yang lamanya
tidak lebih dari tiga puluh tahun, dimulai sejak tahun 11-41 H/632-661 M. Keempat khalifah
ini meneruskan perjuangan Rasulullah SAW dengan cara dan gaya yang berbeda-beda.
Mengenai kebijakan di bidang ekonominya pun, keempat khalifah ini memiliki langkah yang
berbeda pula. Pada masa Khulafaur Rasyidin ini, sistem ekonomi yang telah terbentuk
berkembang lebih jauh dan menemukan bentuk yang ideal. Tidak sekedar teori, namun sudah
berimplikasi besar terhadap pengembangan Islam.
Oleh sebab itu, makalah ini akan membahas mengenai bagaimana para Khulafaur
Rasyidin menerapkan sistem ekonomin dalam masa pemerintahan masing-masing yaitu
sistem ekonomi masa Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, dan Ali
bin Abi Thalib. Tujuannya supaya para pembaca dapat mengidentifikasi apa saja hal yang
menjadikan sistem ekonomi pada masa ini dapat berkembang begitu pesat. Selain itu, dapat
pula menjadi salah satu acuan untuk mengembangkan sistem ekonomi pada masa sekarang.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Perekonomian pada Masa Abu Bakar As-shiddiq ?
2. Bagaimana Perekonomian pada Masa Umar bin Khattab ?
3. Bagaimana Perekonomian pada Masa Utsman bin Affan ?
4. Bagaimana Perekonomian pada Masa Ali bin Abi Thalib ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perekonomian pada Masa Abu Bakar As-shiddiq
Setelah Rasulullah saw wafat, Abu Bakar As-Shiddiq yang bernama lengkap Abdullah ibn
Abu Quhafah Al-Tamimi terpilih sebagai khalifah yang pertama. Ia merupakan pemimpin
agama sekaligus kepala negara kaum muslimin. Selama masa pemerintahannya Abu Bakar
banyak menghadapi persoalan dalam negeri yang berasal dari kelompok murtad, nabi palsu,
dan orang-orang yang menolak membayar zakat kepada negara. Berdasarkan hasil
musyawarah dengan para sahabat yang lain, ia memutuskan untuk memerangi kelompok
tersebut melalui apa yang disebut sebagai perang Riddah (perang melawan kemurtadan).
Setelah berhasil menyelesaikan urusan dalam negeri, Abu Bakar mulai melakukan ekspansi
ke wilayah utara untuk menghadapi pasukan Romawi dan Persia yang selalu mengancam
kedudukan umat Islam. Namun, ia meninggal dunia sebelum usaha ini selesai dilakukan.[1]
Sebelum menjadi khalifah, Abu Bakar tinggal di Sikh yang terletak di pinggir kota
Madina tempat Baitul Mal dibangun. Abu Ubaida ditunjuk sebagai penanggungjawab Baitul
Mal. Setelah 6 bulan, Abu Bakar pindah ke Madinah dan bersamaan dengan itu sebuah rumah
dibangun untuk baitul mal. Sistem pendistribuan yang lama tetap dilanjutkan sehingga pada
saat wafatnya hanya satu dirham yang yang tersisa dalam pembendaharaan keuangan.
Sewaktu memberikan sambutan selaku khalifah terpilih, Abu Bakar menunjukkan rasa
tanggungjawabnya terhadap rakyat. Dikisahkan bahwa ia mengatakan “Hai rakyatku,
awasilah agar aku menjalankan pemerintahan dengan hati-hati. Aku bukan yang terbaik
diantara kalin, aku membutuhkan semua nasehat dan bantuan kalian. Jika aku benar
dukunglah aku, jika aku salah tegurlah aku. Mengatakan yang benar pada orang yang
ditunjuk untuk memerintah merupakan kesetiaan yang tulus, menyembunyikan adalah
pengkhianatan. Menurut pandanganku, yang kuat dan yang lemah adalah sama, kepada
keduanya aku ingin berbuat adil. Bila aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, taatlah
kepadaku, jika aku mengabaikan hukum Allah dan Rasul-Nya aku tidak lagi berhak untuk
kalian taati”
Menurut Siti Aisyah, ketika Abu Bakar terpilih beliau berkata “umatku telah mengetahui
yang sebenarnya bahwa hasil perdagangan saya tidak mencukupi kebutuhan keluarga, tapi
sekarang saya dipekerjakan untuk mengurus kaum muslimin”[2] sejak menjadi khalifah,
kebutuhan keluarga Abu Bakar diurus dengan menggunakan harta baitul mal. Menurut
beberapa keterangan, ia diperbolehkan untuk mengambil dua setengah atau tiga per
empat dirham setiap harinya dari baitul mal dengan tambahan makanan berupa daging
domba dan pakaian biasa, setelah berjalan beberapa waktu, ternyata tunjangan tersebut
kurang mencukupi. Oleh karena itu, tunjangan Abu Bakar ditambah menjadi 2000 atau 2500
dirham, menurut riwayat lain 6000 dirham per tahun.
Namun demikian, beberapa waktu menjelang ajalnya, abu Bakar banyak menemui
kesulitan dalam mengumpulkan pendapatan negara sehingga ia menanyakan berapa banyak
upah atau gaji yang telah diterimanya. Ketika diberitahukan bahwa jumlah tunjangannya
sebesar 8000 dirham, ia langsung memerintahkan untuk menjual sebagian besar tanah yang
dimilikinya dan seluruh hasil penjualannya diberikan kepada negara. Di samping itu, Abu
Bakar juga menanyakan lebih jauh mengenai berapa banyak fasilitas yang telah dinikmatinya
selama menjadi khalifah. Ketika diberitahu fasilitas yang diberikan kepadanya berupa
seorang budak yang bertugas memelihara anak-anaknya dan membersihkan pedang-pedang
milik kaum muslimin, seekor unta pembawa air dan sehelai pakaian biasa, ia segera
menginstruksikan untuk mengalihkan semua fasilitas tersebut kepada pemimpin berikutnya
nanti. Pada saat diangkat sebagai khalifah dan mengetahui hal ini, Umar berkata “Wahai abu
bakar, engkau telah membuat tugas penggantimu ini menjadi sangat sulit”.
Sedangkan dalam mendistribusikan harta Baitul Mal tersebut, Abu Bakar menerapkan
prinsip kesamarataan, yakni memberikan jumlah yang sama kepada semua sahabat
Rasulullah saw. Dan tidak membeda-bedakan antara sahabat yang terlebih dahulu memeluk
Islam dengan sahabat yang kemudian, antara hamba dengan orang merdeka, dan antara pria
dengan wanita. Menurutrutnya, dalam hal keutamaan beriman, Allah swt yang akan
memeberikan ganjarannya, sedangkan dalam masalah kebutuhan hidup, prinsip kesamaan
lebih baik daripada prinsip keutamaan.
Dengan demikian, selama masa pemerintaha Abu Bakar As-Shiddiq, harta baitul mal tidak
pernah menumpuk dalam jangka waktu yang lama karena langsung disistribusikan kepada
seluruh kaum muslimin, bahkan ketika Abu bakar As-Shiddiq wafat hanya ditemukan satu
dirham dalam pembendaharaan negara. Seluruh kaum muslimin diberikan bagian yang sama
dari hasil pendapatan negara. Apabila pendapatan meningkat, seluruh kaum muslimin
mendapat manfaat yang sama dan tidak ada seorangpun yang dibiarkan dalam kemiskinan.
Kebijakan tersebut berimplikasi pada peningkatan aggregate demand dan aggregate supply
yang pada akhirnya akan menaikkan total pendapatan nasional, disamping memeperkecil
jurang pemisah antara orang-orang yang kaya dengan yang miskin.[3]
Abu Bakar meninggal pada 13 Hijrah atau 13 Agustus 634 Masehi dalam usia 63 tahun,
dan kekhalifahannya berlangsung selama dua tahun tiga bulan sebelas hari. Jenazah Abu
Bakar dikubur disamping Rasulullah saw.[4]
Dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan umat islam, khalifah Abu bakar as shidiq
melaksanakan berbagai kebijakan ekonomi seperti yang telah di praktikan oleh Rasulullah :
1. Perhatian yang besar terhadap keakuratan penghitungan zakat
2. Melaksanakan kebijakan pembagian tanah hasil taklukan
3. Mengambil alih tanah-tanah dari orang murtad untuk dimanfaatkan demi kepentingan umat
Islam
4. Distribusi harta Baitul Mal menerapkan prinsip kesamarataan, dengan begitu selama
pemerintahan Abu bakar As Shidiq harta di Baitul mal tidak pernah menumpuk dalam jangka
waktu lama karena langsung di distribusikan kepada kaum muslim.
B. Perekonomian pada Masa Umar bin Khattab
Untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat
Islam, Abu Bakar As-shiddiq bermusyawarah dengan para pemuka sahabat tentang calon
penggantinya. Berdasarkan hasil musyawarah tersebut, ia menunjuk Umar bin Khattab
sebagai khalifah Islam yang kedua. Setelah diangkat sebagai khalifah, Umar bin Khattab
memperkenalkan isltilah Amir al-Mu’minin (komandan orang-orang yang beriman).
Pada masa pemerintahnnya yang berlangsung selama sepuluh tahun, Umar bin Khattab
banyak melakukan ekspansi hingga wilayah Islam meliputi Jazirah Arab, sebagian wilayah
kerajaan Romawi (Syiria, Palestina dan Mesir), serta seluruh wilayah kerajaan Persia,
termasuk Irak. Atas keberhasilannya tersebut, orang-orang barat menjuluki Umar bin Khattab
sebagai the saint paul of Islam.[5]
1. Pendirian baitul mal
Kontribusi terbesar Umar bin Khattab adala membentuk perangkat administrasi yang baik
untuk menjalankan roda pemerintahan yang besar. Ie mendirikan institusi administrasi yang
hamper tidak mungkin dilakukan pada abad ketujuh sesudah masehi. Pada tahun 16 Hijriah,
Abu Hurairah, Amil Bahrain mengunjungi Madinah dan membawa 500.000 dirham kharaj.
Itu adalah jumlah yang besar sehingga khalifah mengadakan pertemuan dengan majlis syura
untuk menanyai pendapat mereka dan kemudian diputuskan bersama bahwa jumlah tersebut
tidak untuk didistribusikan melainkan untuk disimpan sebagai cadangan darurat membiayai
angkatan perang dan kebutuhan lainnya untuk umat. Untuk menimpan dana tersebut, baitul
mal yang regular dan permanen didirikan untuk pertama kalinya di ibukota kemudian
dibangun cabang-cabang dan di ibukota propinsi. Abdulah bin Arqam ditunjuk sebagai
pengurus Baitul mal besama asistennya. Setelah menaklukan Syiria Sawad dan Mesir,
penghasilan baitul mal meningkat, kharaj dan sawad mencapai seratus juta dinar, dari mesir
dua juta dinar.
Bersamaan dengan reorganisasi baitul mal, Umar mendirikan Diwan Islam yang terman yang
disebut al-divan. Sebenarnya al-divan adalah sebuah kantor yang ditujukan untuk membayar
tunjangan-tunjangan angkatan perang dan pension serta tunjangan lainnya dalam basis yang
regular dan tepat. Khalifah Umar juga menunjukan sebuah komite yang terdiri dari nassab
ternama untuk membuat laporan sensus penduduk Madinah sesuai dengan tingkat
kepentingan dan kelasnya. Laporan tersebut disusun an dengan urutan sebagai berikut:
pertama, orang-rang yang mempunnyai hubungan dengan Nabi;kedua, mereka yang ikut
dalam perang badar dan uhud; ketiga, imigran ke Abyssinia dan Madinah; keempat, mereka
yang bertarung dalam qadisiyyah atau yang hadir dalam sumpah hudaibiyah.
Pengeluaran tunjangan tiap tahun berbeda-beda jumlahnya sebagaimana dapat dilihat dalam
table berikut ini :
NO PENERIMA JUMLAH
1 Hazrat Aisyah dan Abbas (paman nabi) 12.000 dirham
2 Istri-istri Nabi selain Aisyah 10.000 dirham
3 Hazrat Ali, Hasan, Hussain dan pejuang- 4.000 dirham
pejuang badar
4 Bekas pejuang-pejuang uhud dan migrant ke 5.000 dirham
Abbyssinia
5 Muhajir dan muhajirat sebelum kemenangan 3.000 dirham
mekkah
6 Putra-putra bekas penjuang badar. Mereka 2.000 dirham
yang memeluk Islam ketika ditaklukan, anak
dari muhajirin dan Anshar. Mereka yang
ikut dalam perang qadisiyya, ubaila dan
mereka yang hadir dalam sumpah
hudaibiyyah
Orang-orang Mekah diberi tunjangan 800 dirham, warga Madinah 25 dinar, muslim di
Yaman, Syiria dan Iraq 200 sampai 3000 dirham, anak yang baru hair dan yang tidak diakui
masing-masing 100 dirham. Tambahan pension untuk kaum muslim adalah gandum, minyak,
madu dan cuka dalam jumlah yang tetap.
2. Kepemilikan tanah
Sepanjang pemerintahan Umar, banyak daerah yang ditaklukan memlalui perjanjian damai,
penaklukan ini memunculkan banyak masalah baru. Pertanyaannya adalah bagaimana
mengumumkan kebihakan Negara tentang kepemilikan tanah yang ditaklukan.
Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut Umar bin Khattab menerapkan beberapa
peraturan-peraturan sebagai berikut :
a. Wilayah Iraq yang ditaklukan dengan kekuatan, menjadi milik muslim dan kepemilikan ini
tidak dapat diganggu gugat, sedangkan bagian yang berbeda di bawah perjanjian damai tetap
dimiliki oleh pemilik sebelumnya dan kepemilikan tersebut dapat dialihkan.
b. Kharaj dibebankan pada semua tanah yang berada ddi bawah kategori pertama, meskipun
pemilik tersebut kemudian memeluk agama islam. Dengan demikian tanah seperti itu tidak
dapat dikonversikan menjadi tanah Ushr.
c. Bekas pemilik tanah diberi hak kepemilikan, sepanjang mereka membayar kharaj dan jizya.
d. Sisa tanah yang tidak ditempati atau ditanami (tanah mati ) atau tanah yang diklaim kembali
(seperti basra) bila ditanami oleh muslim diperlakukan sebagai tanah Ushr.
e. Di sawad, kharaj dibebankan sebesar satu dirham gandum fan barley (jenis gandum), dengan
anggapan tanah tersebut dapat dilalui air. Harga yang lebih tinggi dikenakan kepada ratbah
(renpah atau cengkeh) dan perkebunan,
f. Perjanjian damaskus (Syria) menetapkan pembayaran tunai, pembagian tanah dengan
muslim. Beban per kepala sebesar satu dinar.[6]
3. Zakat
Kegiatan berternak dan memperdagangkan kuda dilakukan secara besar-besaran di Syria dan
di berbagai wilayah kekuasaan Islam lainnya. Beberapa kuda mempunyai nilai jual yang
tinggi, bahkan pernah diriwayatkan bahwa seekor kuda arab taghlabi diperkirakan bernilai
20.000 dirham dan orang-orang Islam terlibat dalam perdagangan ini. Kemudian mereka
mengusulkan kepada khalifah agar ditetapkan kawajiban zakat, tetapi permintaan tersebut
tidak dikabulkan. Kemudian gubernur menulis surat kepada khalifah dan khalifah Umar
menanggapinya dengan sebuah intruksi agar gubernur menarik zakat dari mereka dan
mendistribusikannya kepada para fakir miskin serta budak-budak. Sejak itu, kuda ditetapkan
sebesar satu dinar atau satu dirham untuk setiap empat puluh dirham.[7]
4. Ushr
Sebelum Islam datang, setiap suku atau kelompok yang tinggal di pedesaan biasa membayar
pajak (‘ush) jual-beli (maqs). Besarnya adalah sepuluh persen dari nilai barang atau satu
dirham untuk setiap transaksi. Namun, setelah Islam hadir dan menjadi sebuah negara yang
berdaulat di Semenanjung Arab, Nabi mengambil inisiatif untuk mendorong usaha
perdagangan dengan menghapus bea masuk antar provinsi yang masuk dalam wilayah
kekuasaan dan masuk dalam perjanjian yang ditandatangani olehnya bersama dengan suku-
suku yang tunduk kepada kekuasaannya. Secara jelas dikatakan bahwa pembebanan
sepersepuluh hasil pertanian kepada pedagang manbij (Hierapolis) dikatakan sebagai yang
pertama dalam masa Umar.
5. Sedekah non muslim
Tidak ada ahli kitab yang membayar sedekah atas ternaknya kecuali orang Kristen Bani
Taghlib yang keseluruhan kekayaannya terdiri dari hewan ternak. Mereka membayar dua kali
lipat dari yang dibayar kaum Muslimin. Umar mengenakan jizyah kepada ahli kitab Bani
Taghlib , tetapi mereka terlalu gengsi sehingga menolak membayar jizyah dan malah
membayar sedekah. Nu'man ibn Zuhra memberikan alasan untuk kasus mereka dengan
mengatakan bahwa pada dasarnya tidak bijaksana memperlakukan mereka seperti musuh dan
seharusnya keberanian mereka menjadi aset negara. Umar menerima sedekah 2 kali lipat
dengan syarat mereka tidak boleh membaptis seorang anak atau memaksanya menerima
kepercayaan mereka. [8]
6. Mata uang
Pada masa Nabi dan sepanjang masa pemerintahan khulafaur rasyidin, koin mata uang
dengan berbagai bobot telah dikenalkan di jazirah Arab, seperti dinar, sebuah koin emas dan
dirham, sebagai koin perak.[9]
[1] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Edisi Ketiga, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2012), hlm.54-55
[2] Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi islam Pengantar, Ekosinia, Yogyakarta: 2002, hlm. 115
[3]Adiwarman Azwar Karim, Op.Cit., hlm. 56-58
[4] Heri Sudarsono, Op.Cit., hlm.117
[5] Adiwarman Azwar Karim, Op.cit., hlm 58.
[6] Heri Sudarsono, Op.cit., hlm.119-120.
[7] Adiwarman Azwar Karim, Op.cit., hlm. 69.
[8]http://PELAKSANAAN%20SISTEM%20EKONOMI%20PADA%20MASA%20PEMERIN
TAHAN%20NABI%20MUHAMMAD%20DAN%20KHULAFAUR%20RASYIDIN.html
diakses pada tanggal 19 september 2015 pada pukul 06.37 WIB.
[9] Adiwarman Azwar Karim, Op.cit.,.hlm 73.
[10]Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, The International Institute
of Islamic Thought (IIIT), Jakarta, 2002, hal 53.
[11] Adiwarman Azwar Karim, Op.cit., hal. 74-78.
[12] Heri Sudarsono, Op.Cit., hlm.122
[13] Adiwarman Azwar Karim, Op.Cit., hlm. 78-79
[14] Adiwarman Azwar Karim, Op.cit., hlm. 58-59
[15] Heri Sudarsono, Op.Cit., hlm. 125
[16] Adiwarman Azwar Karim, Op.Cit., hlm. 82-85