Anda di halaman 1dari 18

HALAMAN JUDUL

MAKALAH

LEPTOSPIROSIS
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Surveinlans Kesehatan Masyrakat

DISUSUN OLEH
KELAS K3
KELOMPOK 3 :
1. ANALIA J1A117011
2. FEBI TRI OKTAVANI J1A117040
3. NUR RISKA ANWAR J1A117097
4. TRY SAPUTRA HABIBIE J1A117142
5. WINANDELA B. V. L J1A117161
6. AHMAD ALFAJRI J1A117175
7. ASNA HARIANI J1A117298
8. ENY SUARNI J1A117310

KONSENTRASI KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019

i
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas
segala karunia, rahmat, maupun hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini. Makalah ini berisi tentang “Leptospirosis”.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen mata
kuliah bersangkutan. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen mata
kuliah, karena dengan tugas ini wawasan serta pengetahuan dapat bertambah.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian tugas ini. Akhir kata, penulis mengharapkan
perbaikan dan penyempurnaan agar tugas ini dapat berguna bagi pembaca lain.

Kendari, 17 Maret 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ...................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 3
2.1 Definisi Leptospirosis............................................................................... 3
2.2 Penyebab dan Faktor Resiko Leptospirosis ............................................. 3
2.3 Gejala Leptospirosis ................................................................................. 6
2.4 Pengobatan Leptospirosi ......................................................................... 9
2.5 Penecegahan Leptospirosis..................................................................... 10
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 13
3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 13
3.2 Saran ....................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 14

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Leptospira melalui mikroskop lapangan gelap ..................................... 4


Gambar 2. Faktor Risiko Penyebaran Leptospira ................................................... 5

iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Leptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia.


Insidensi pada negara beriklim hangat lebih tinggi dari negara yang beriklim
sedang, kondisi ini disebabkan masa hidup leptospira yang lebih panjang dalam
lingkungan yang hangat dan kondisi lembab. Kebanyakan negara-negara tropis
merupakan negara berkembang, dimana terdapat kesempatan lebih besar pada
manusia untuk terpapar dengan hewan yang terinfeksi. Penyakit ini bersifat
musiman, di daerah yang beriklim sedang masa puncak insidens dijumpai pada
musim panas dan musim gugur karena temperatur adalah faktor yang
mempengaruhi kelangsungan hidup leptospira, sedangkan di daerah tropis
insidens tertinggi terjadi selama musim hujan (Depkes, 2008).

Penyakit ini ditemukan pertama kali oleh Weil pada tahun 1886, tetapi
pada tahun 1915 Inada menemukan penyebabnya yaitu spirochaeta dari genus
leptospira.1,2 Di antara genus leptospira, hanya spesies interogans yang
patogen untuk binatang dan manusia. Sekurangkurangnya terdapat 180
serotipe dan 18 serogrup. Satu jenis serotipe dapat menimbulkan gambaran
klinis yang berbeda, sebaliknya, suatu gambaran klinis, misalnya meningitis
aseptik, dapat disebabkan oleh berbagai serotipe.2 Leptospirosis memiliki
manifestasi klinis yang luas dan bervariasi. Pada leptospirosis ringan dapat
terjadi gejala seperti influenza dengan nueri kepala dan mialgia. Leptospirosis
berat ditandai oleh ikterus, gangguan ginjal, dan perdarahan, dikenal sebagai
sindrom Weil (Terpstra et al., 2003).

Menurut International Leptospirosis Society (ILS) Indonesia merupakan


negara peringkat 3 insiden leptospirosis di dunia untuk mortalitas, dengan
mortalitas mencapai 2,5%-16,45 %.1 Pada usia lebih dari 50 tahun kematian
mencapai 56%. Penderita leptospirosis yang disertai selaput mata berwarna
kuning (kerusakan jaringan hati), risiko kematian akan lebih tinggi. Di
beberapa publikasi angka kematian dilaporkan antara 3%-54% tergantung dari

1
2

sistem organ yang terinfeksi. Daerah persebaran di Indonesia yaitu di daerah


dataran rendah dan perkotaan seperti Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan dan
Sulawesi.

Pada tahun 2010 kasus Leptospirosis di Indonesia dilaporkan sebanyak


409 kasus dengan 43 kasus kematian (CFR 10,51%). Kasus-kasus ini
ditemukan di delapan (8) Provinsi: DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Yogyakarta, Jawa Timur, Bengkulu, Kepulauan Riau dan Sulawesi Selatan.
Pada bulan Maret 2011 telah terjadi wabah Leptospirosis di Yogyakarta,
dilaporkan sebanyak 39 kasus dengan 7 kasus kematian (CFR 17,95%) dan
Pemerintah Kabupaten Bantul menyatakan KLB Leptospirosis setelah
dilaporkan sebanyak 154 orang telah terinfeksi oleh Leptospira dan 12 orang
di antaranya meninggal (CFR 7,79%). Pada tahun 2012 terjadi 29 kasus
kematian yang terjadi di Provinsi Jawa Tengah dilaporkan 20 kematian,
Provinsi D.I. Yogyakarta dilaporkan 7 kematian dan Provinsi Jawa Timur
dilaporkan 2 kematian (PP & PL, 2012). Berdasarkan masalah diatas maka
kelompok tertarik untuk membahas lebih dalam lagi mengenai penyakit
penyakit leptospirosis ini.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang di maksud dengan Leptospirosis?


2. Apa penyebab dari leptospirosis ?
3. Apa saja gejala dari leptospirosis?
4. Bagaiamana pengobatan dari leptospirosis?
5. Bagaiamana pencegahan dari leprospirosis?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui definisi dari leptospirosis.


2. Untuk mengetahui penyebab dari leptospirosis.
3. Untuk mengetahui gejala dari leptospirosis.
4. Untuk mengetahui pengobatan dari leptospirosis.
5. Untuk mengetahui pencegahan dari leptospirosis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Leptospirosis

Leptospirosis adalah penyakit bersumber dari binatang (zoonosis) yang


bersifat akut. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Leptospira dengan spektrum
penyakit yang luas dan dapat menyebabkan kematian ( Kemenkes, 2015).

Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh


mikroorganisme berbentuk spiral dan bergerak aktif yang dinamakan
Leptospira. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti Mud fever,
Slime fever (Shlamnfieber), Swam fever, Autumnal fever, Infectious jaundice,
Field fever, Cane cutter dan lain -lain. (WHO, 2003).

Leptospirosis atau penyakit kuning adalah penyakit penting pada manusia,


tikus, anjing, babi dan sapi. Penyakit ini disebabkan oleh spirochaeta leptospira
icterohaemorrhagiae yang hidup pada ginjal dan urine tikus (Swastiko, 2009).

Leptospirosis merupakan istilah untuk penyakit yang disebabkan oleh


semua leptospira tanpa memandang serotipe tertentu. Hubungan gejala klinis
dengan infeksi oleh serotipe yang berbeda membawa pada kesimpulan bahwa
suatu serotipe leptospira bertanggung jawab terhadap berbagai macam
gambaran klinis, sebaliknya suatu gejala seperti meningitis aseptik dapat
disebabkan oleh berbagai serotipe. Oleh karena itu lebih disukai untuk
menggunakkan istilah umum leptospirosis dibanding Weil’s Disease dan
demam kanikola (Isselbacher, 2002).

2.2 Penyebab dan Faktor Resiko Leptospirosis

A. Penyebab Leptospirosis
Leptospirosis disebabkan oleh bakteri dari genus Leptospira dari
famili Leptospiraceae, ordo Spirochaetales. Pewarnaan untuk kuman ini
ialah impregnasi perak (Gambar 1). Leptospira tumbuh baik pada kondisi

3
4

aerobik di suhu 28°C-30°C.6 Genus Leptospira terdiri dari dua spesies


yaitu L. interrogans (bersifat patogen) dan L. biflexa (bersifat saprofit/non-
patogen). Leptospira patogen terpelihara dalam tubulus ginjal hewan
tertentu. Leptospira saprofit ditemukan di lingkungan basah atau lembab
mulai dari air permukaan, tanah lembab, serta air keran (Rampengan,
2016).

Gambar 1. Leptospira melalui mikroskop lapangan gelap

Spesies L. interrogans dibagi dalam beberapa serogrup yang terbagi


lagi menjadi lebih 250 serovar berdasarkan komposisi antigennya.
Beberapa serovar L. interrogans yang patogen pada manusia antara lain L.
icterohaemorrhagiae, L. canicola, L. pomona, L. grippothyphosa, L.
javanica, L. celledoni, L. ballum, L. pyrogenes, L. bataviae, dan L. hardjo.
Berbagai spesies hewan, terutama mamalia, dapat bertindak sebagai
sumber infeksi manusia, diantaranya ialah:

1) Spesies mamalia kecil, seperti tikus liar (termasuk mencit), bajing,


landak
2) Hewan domestik (sapi, babi, anjing, domba, kambing, kuda, kerbau)
3) Hewan penghasil bulu (rubah perak) di penangkaran.
4) Reptil dan amfibi mungkin juga membawa leptospira (Rampengan,
2016).
B. Faktor Resiko Leptospirosis
Orang yang berisiko ialah orang yang sering menyentuh binatang atau
air, dicemari air kencing binatang yang terkontaminasi leptospirosis.
5

Beberapa pekerjaan yang berisiko seperti petani sawah, pekerja pejagalan,


peternak, pekerja tambang, industri perikanan, serta petani tebu dan pisang.
Dokter hewan maupun staf laboratorium yang kontak dengan kultur
leptospirosis juga memiliki risiko terpapar leptospirosis Beberapa
kegemaran yang bersentuhan dengan air atau tanah yang tercemar juga bisa
menularkan leptospirosis, seperti berkemah, berkebun, berkelana di hutan,
berakit di air berjeram, dan olahraga air lainnya (Gambar 2) (Rampengan,
2016).

Gambar 2. Faktor Risiko Penyebaran Leptospira


Meskipun leptospirosis sering dianggap sebagai penyakit pedesaan,
orang yang tinggal di kota juga dapat terkena, tergantung pada kondisi hidup
dan tingkat kebersihan baik di rumah maupun lingkungan terdekatnya.
Wabah leptospirosis telah dilaporkan mengikuti terjadinya bencana alam
seperti banjir dan badai (Rampengan, 2016).
Berdasarkan Kemntrian Kesehatan Republik Indonesia (2015) pada
Leptospirosis: Kenali dan Waspadai, faktor resiko dari leptospirosis antara
lain:
1) Kontak dengan air yang terkontaminasi kuman leptospira atau urine
tikus saat terjadi banjir.
6

2) Kontak dengan sungai atau danau dalam aktifitas mandi, mencuci atau
bekerja di tempat tersebut.
3) Kontak dengan persawahan ataupun perkebunan (berkaitan dengan
pekerjaan) yang tidak menggunakan alas kaki
4) Kontak erat dengan binatang, seperti babi, sapi, kambing, anjing yang
dinyatakan terinfeksi Leptospira
5) Terpapar atau bersentuhan dengan bangkai hewan, cairan infeksius
hewan seperti cairan kemih, placenta, cairan amnion, dan lain-lain
6) Memegang atau menangani spesimen hewan/manusia yang diduga
terinfeksi Leptospirosis dalam suatu laboratorium atau tempat lainnya
7) Pekerjaan atau melakukan kegiatan yang berisiko kontak dengan
sumber infeksi, seperti dokter, dokter hewan, perawat, tim penyelamat
atau SAR, tentara, pemburu, dan para pekerja di rumah potong hewan,
toko hewan peliharaan, perkebunan, pertanian, tambang, serta pendaki
gunung, dan lain-lain.

2.3 Gejala Leptospirosis

Gejala dan tanda yang timbul tergantung kepada berat ringannya infeksi,
maka gejala dan tanda klinik dapat berat, agak berat atau ringan saja. penderita
mampu segera mambentuk antibodi (zat kekebalan). Sehingga mampu
menghadapi bakteri Leptispira, bahkan penderita dapat menjadi sembuh.
Menurut Widarso (2005), gejala klinis dari leptospirosis pada manusia bisa
dibedakan menjadi tiga stadium, yaitu:
A. Stadium pertama
1) Demam, menggigil
2) Sakit kepala
3) Malaise dan Muntah
4) Konjungtivis serta kemerahan pada mata
5) Rasa nyeri pada otot terutama otot betis dan punggung. Gejala-gejala
tersebut akan tampak antara 4-9 hari.
B. Stadium kedua
7

1) Pada stadium ini biasanya telah terbentuk antibodi di dalam tubuh


penderita
2) Gejala-gejala yang tampak pada stadium ini lebih bervariasi dibanding
pada stadium pertama antara lain ikterus (kekuningan)
3) Apabila demam dan gejala-gejala lain timbul lagi, besar kemungkinan
akan terjadi meningitis
4) Biasanya stadium ini terjadi antara minggu kedua dan keempat Stadium
ketiga
C. Stadium Ketiga
Menurut beberapa klinikus, penyakit ini juga dapat menunjukkan gejala
klinis pada stadium ketiga (konvalesen phase). Komplikasi Leptospirosis
dapat menimbulkan gejala-gejala berikut :
1) Pada ginjal,renal failure yang dapat menyebabkan kematian.
2) Pada mata, konjungtiva yang tertutup menggambarkan fase septisemi
yang erat hubungannya dengan keadaan fotobia dan konjungtiva
hemorrhagic.
3) Pada hati, jaundice (kekuningan) yang terjadi pada hari keempat dan
keenam dengan adanya pembesaran hati dan konsistensi lunak.
4) Pada jantung, aritmia, dilatasi jantung dan kegagalan jantung yangd
apat menyebabkan kematian mendadak.
5) Pada paru-paru, hemorhagic pneumonitis dengan batuk darah, nyeri
dada, respiratory distress dan cyanosis.
6) Perdarahan karena adanya kerusakan pembuluh darah (vascular
damage) dari saluran pernapasan, saluran pencernaan, ginjal dan
saluran genitalia
7) Infeksi pada kehamilan menyebabkan abortus, lahir mati, premature
dan kecacatan pada bayi.
Sedangkan pada hewan ternak ruminansia dan babi yang hamil, gejala
abortus, pedet lahir mati atau lemah sering muncul pada kasus leptospirosis.
Pada sapi, muncul demam dan penurunan produksi susu sedangkan pada babi,
sering muncul gangguan reproduksi.
8

Pada kuda, terjadi keratitis, conjunctivitis,iridocyclitis, jaundice sampai


abortus. Sedangkan pada anjing, infeksi leptospirosis sering bersifat subklinik;
gejala klinis yang muncul sangat umum seperti demam, muntah, jaundice.
Gejala klinis leptospirosis pada sapi dapat bervariasi mulai dari yang ringan,
infeksi yang tidak tampak, sampai infeksi akut yang dapat mengakibatkan
kematian . Infeksi akut paling sering terjadi pada pedet/sapi muda.

Berdasarkan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2015) dalam


Leptospirosis: Kenali dan Waspadai terdapat tiga kriteria yang ditetapkan
dalam mendefinisikan kasus Leptospirosis berdasarkan gejalanya, yaitu:

A. Kasus Suspek

Dinyatakan kasus suspek apabila terdapat gejala yaitu demam akut


dengan atau tanpa sakit kepala, disertai nyeri otot, lemah (malaise),
conjungtival suffision, dan ada riwayat terpapar dengan lingkungan yang
terkontaminasi atau aktifitas yang merupakan faktor risiko Leptospirosis
dalam kurun waktu 2 minggu.

B. Kasus Probable

Dinyatakan probable merupakan saat di mana kasus suspect memiliki


dua gejala klinis di antara tanda-tanda berikut:

1) Nyeri betis
2) Ikterus atau jaundice merupakan kondisi medis yang ditandai dengan
menguningnya kulit dan sklera (bagian putih pada bola mata)
3) Manifestasi pendarahan
4) Sesak nafas
5) Oliguria atau anuria, yakni ketidakmampuan untuk buang air kecil
6) Aritmia jantung;
7) Batuk dengan atau tanpa hemoptisis
8) Ruam kulit.

Selain itu, memiliki gambaran laboratorium:


9

1) Trombositopenia < 100.000 sel/mm


2) Leukositosis dengan neutropilia > 80%
3) Kenaikan jumlah bilirubin total > 2 gr% atau peningkatan SGPT,
amilase, lipase, dan creatin phosphokinase (CPK)
4) penggunaan rapid diagnostic test (RDT) untuk mendeteksi
imunoglobulin M (IgM) anti leptospira.
C. Kasus Konfirmasi
Dinyatakan sebagai kasus konfirmasi di saat kasus probable disertai
salah satu dari gejala berikut:
1) Isolasi bakteri Leptospira dari spesimen klinik
2) Hasil Polymerase Chain Reaction (PCR) positif
3) Sero konversi microscopic agglutination test (MAT) dari negatif
menjadi positif.

2.4 Pengobatan Leptospirosi

Leptospirosis yang ringan dapat diobati dengan antibiotik daksisiklin,


ampisilin, atau amoksisillin. Sedangkan Leptospirosis yang berat yang dapat
diobati dengan penisililin G, ampisillin, amoksillin dan eritomisin persen,
sedangkan angka kesakitannya (morbiditas) mencapai lebih dari 75 persen
(Zulkoni, 2011).

Cara mengobati penderita leptospirosis yang dianjurkan adalah sebagai


berikut :

1) Pemberian suntikan Benzyl (crystal) Penisilin akan efektif jika secara dini
pada hari ke 4-5 sejak mulai sakit atau sebelum terjadi jaundice dengan
dosis 6-8 megaunit secara 1.v, yang dapat secra bertahap selama 5-7 hari
2) Selain cara diatas, kombinasi crystalline dan procaine penicillin dengan
jumlah yang sama dapat diberikan setiap hari dengan dosis 4-5 megaunit
secara i.m, separuh dosis dapat Diberikan selama 5-6 hari. Procaine
penicillin 1,5 megaunit i.m, dapat diberikan secara kontinue selama 2 hari
setelah terjadi albuminuria
10

3) Penderita yang alergi terhadap penicilline dapat diberikan antibiotik lain


yaitu etracycline atau Erythromycine, tetapi kedua antibiotik tersebut
kurang efektif dibanding Penicilline. Tetracycline tidak dapat diberikan
jika penderita mengalami gagal ginjal. Tetracycline dapat diberikan
secepatnya dengan dosis 250 mg setiap 8 jam i.m atau i.v selama 24 jam,
kemudian 250-500 mg setiap 6 jam secara oral selama 6 hari.
Erythromycine diberikan dengan dosis 250 mg setiap 6 jam selama 5 hari.
4) Terapi dengan antibiotika (streptomisin,khlortetrasiklin, atau
oksitetrasiklin), apabila dilakukan pada awal perjalanan penyakit biasanya
berhasil. Pemberian (oksitetrasiklin, atau oksitetrasiklin) apabila
dilakukan pada awal perjalanan penyakit, banyak berhasil. Pemberian
oksitetrasiklin dengan dosis 10 mg/kg bb selam lima hari pada ternak babi
penderita Leptospirosis, dapat memberikan kesembuhan cukup baik yaitu
86%. Pemberian per-oral dengan mencampurkan oksitetrasiklin dengan
dosis 500-1000 gr ke dalam setiap makanannya selam 14 hari berturut-
turut dapat menghilangkan keadaan sebagai pembawa penyakit pada
ternak babi 94%.

2.5 Penecegahan Leptospirosis

Menurut Widarso (2005) pencegahan leptospirosis dapat dilakukan


dengan cara:

1) Pendidikan kesehatan mengenai bahaya serta cara menular penyakit,


berperan dalam upaya pencegahan penyakit Leptospirosis
2) Usaha-usaha lain yang dapat dianjurkan antara lain mencuci kaki, tangan
serta bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah bekerja di sawah
3) Pembersihan tempat-tempat air dan kolam-kolam renang sangat
membantu dalam usaha mencegah penyakit Leptospirosis
4) Melindungi pekerja-pekerja yang dalam pekerjaannya mempunyai resiko
yang tinggi terhadap Leptospirosis dengan penggunaan sepatu bot dan
sarung tangan
11

5) Vaksinasi terhadap hewan-hewan peliharaan dan hewan ternak dengan


vaskin strain lokal
6) Mengisolasi hewan-hewan sakit guna melindungi masyarakat, rumah-
rumah penduduk serta daerah-daerah wisata dari urine hewan-hewan
tersebut
7) Pengamatan terhadap hewan rodent yang ada disekitar penduduk,
terutama di desa dengan melakukan penangkapan tikus untuk diperiksa
terhadap kuman Leptospirosis
8) Kewaspadaan terhadap Leptospirosis pada keadaan banjir
9) Pemberantasan rodent (tikus) dengan peracunan atau cara-cara lain

Upaya pencegahan menurut James Chin (2000) yaitu :

1) Beri penyuluhan kepada masyarakat tentang cara-cara penularan penyakit


ini. Jangan berenang atau menyeberangi sungai yang airnya diduga
tercemar oleh leptospira, dan gunakan alat-alat pelindung yang diperlukan
apabila harus bekerja pada perariran yang tercemar.
2) Lindungi para pekerja yang bekerja di daerah yang tercemar dengan
perlindungan secukupnya dengan menyediakan sepatu boot, sarung tangan
dan apron.
3) Kenali tanah dan air yang berpotensi terkontaminasi dan keringkan air
tersebut jika memungkinkan.
4) Berantas hewan-hewan pengerat dari lingkungan pemukiman terutama di
pedesaan dan tempat-tempat rekreasi. Bakar lading tebu sebelum panen.
5) Pisahkan hewan peliharaan yang terinfeksi; cegah kontaminasi pada
lingkungan manusia, tempat kerja dan tempat rekreasioleh urin hewan
yang terinfeksi.
6) Pemberian imunisasi kepada hewan ternak dan binatang peliharaan dapat
mencegah timbulnya penyakit, tetapi tidak mencegah terjadinya infeksi
leptospiruria. Vaksin harus mengandung strain domain dari leptospira di
daerah itu.
12

7) Imunisasi diberikan kepada orang yang karena pekerjaannya terpajan


denganleptospira jenis serovarian tertentu, hal ini dilakukan di Jepang,
Cina, Itali, Spanyol, Perancis dan Israel.
8) Doxycycline telah terbukti efektif untuk mencegah leptospirosis pada
anggota militer dengan memberikan dosis oral 200 mg seminggu sekali
selama masa penularan di Panama.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

1. Leptospirosis adalah penyakit bersumber dari binatang (zoonosis) yang


bersifat akut. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Leptospira dengan
spektrum penyakit yang luas dan dapat menyebabkan kematian.
2. Leptospirosis disebabkan oleh bakteri dari genus Leptospira dari famili
Leptospiraceae, ordo Spirochaetales. Orang yang berisiko ialah orang yang
sering menyentuh binatang atau air, dicemari air kencing binatang yang
terkontaminasi leptospirosis.
3. Leptospirosis yang ringan dapat diobati dengan antibiotik daksisiklin,
ampisilin, atau amoksisillin.
4. Gejala-gejala leptospirosis yaitu demam akut dengan atau tanpa sakit
kepala, disertai nyeri otot, lemah (malaise), conjungtival suffision.
5. Cara pencegahan antara lain yaitu enali tanah dan air yang berpotensi
terkontaminasi dan keringkan air tersebut jika memungkinkan, pemberian
imunisasi kepada hewan ternak dan binatang peliharaan dapat mencegah
timbulnya penyakit, dan lain-lain.

3.2 Saran

1. Diharapkan kepada masyarakat agar lebih menjaga kesehatan lingkungan


agar terhindar dari berbagai penyakit salah satunya leptospirosis.
2. Pada orang berisiko tinggi terutama yang berpergian kedaerah berawa-rawa
dianjurkan untuk menggunakan profilaksis dengan doxycycline
3. Masyarakat terutama didaerah persawahan,atau pada saat banjir mungkin
ada baiknya diberi dixycycline untuk pencegahan.
4. Para klinis diharapkan memberikan perhatian pada leptosirosis ini terutama
didaerah-daerah yang sering mengalami banjir.

13
DAFTAR PUSTAKA

Chin, J. (2000). Manual Pemeberantasan Penyakit Menular. (I. N. Kandun, Ed.).


Departemen Kesehatan. 2008.
Isselbacher, Braunwald, et all. 2002. Harrison : Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit
Dalam Volume 2. Jakarta. EGC.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Leptospirosis: Kenali dan
Waspadai. http://www.depkes.go.id/article/view/15022400002/leptospirosis-
kenali-dan-waspadai.html ( diakses pada tanggal 18 Maret 2019).

Rampengan, N. H. (2016). Leptospirosis. Jurnal Biomedik (JBM), 8(2), 143–150.

Terpstra, W., Adler, B., Ananyina, B., AndreFontaine, G., Ansdell, V., & Ashford,
D. (2003). Human leptospirosis: guidance for diagnosis, surveillance and
control. Geneva : World Health Organization/ International Leptospirosis,
21(3), 1–9.
WHO. 2011. Report of The Second Meeting of The Leptospirosis Burden
Epidemiology Reference Group. World Health Organization. Geneva.
Widarso,H. S. 2005. Kebijakan Depkes dalam Penanggulangan Leptospirosis di
Indonesia. Dit.Jen.PPM-PL, Subdit Zoonosis, Dep.Kes. Jakarta.

Zulkoni, A. (2011). Parasitologi. Yogyakarta: Nuha Medika.

14

Anda mungkin juga menyukai