Anda di halaman 1dari 78

BAGIAN I

MIKROBIOLOGI :

SAMPEL FESES SAPI

1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Permintaan produk peternakan dalam beberapa tahun mendatang
diperkirakan akan meningkat dengan cepat. Permintaan tersebut datang terutama
untuk pemenuhan kebutuhan pangan seperti susu dan daging, dan kebutuhan
industri primer dan farmasi. memperkirakan kebutuhan susu dan daging akan
meningkat dengan pesat dua sampai tiga kali lipat sebanding dengan
bertambahnya jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, perbaikan tingkat
pendidikan dan kecepatan arus informasi. Berbagai kendala dalam meningkatkan
produktivitas ternak diantaranya disebabkan oleh adanya diare pada suatu
kelompok sapi. Diare pada sapi merupakan salah satu gejala penyakit komplek
dengan berbagai penyebab yang saling berhubungan (Dayle, 2007). Beberapa
faktor yang dapat menyebabkan terjadinya diare yaitu agen penyakit (Ahmad,
2005), Penyebab diare pada sapi diketahui ada dua kelompok yaitu disebabkan
oleh agen infeksius dan penyebab lain. Diare yang disebabkan oleh agen infeksius
berupa bakteri, virus dan protozoa. Mendiagnosa suatu penyakit yang disebabkan
oleh bakteri dapat dilakukan pemeriksaan sampel feses dari hewan yang
mengalami perubahan menciri. Pada sampel feses mikroorganisme khususnya
bakteri yang dapat ditemukan, diantaranya yaitu : Coliform sp., Salmonella sp.,
Eschericia coli., dll. Berbagai jenis bakteri tersebut dapat menimbulkan penyakit
pada sapi seperti Enteritis, Pasteurellosis, Staphylococcosis, Antrax,
Colibacillosis, Salmonellosisdan Enterotoxemia.
Mikroorganisme merupakan makhluk hidup yang berukuran sangat kecil
yaitu dalam skala micrometer atau micron (µ) atau sepersejuta meter dan tidak
dapat dilihat dengan mata telanjang. Untuk mempelajarinya diperlukan cara
tertentu yaitu observasi mikroskopik dan biakan atau pure culture. Salah satu yang
termasuk kedalam golongan mikroorganisme adalah bakteri. Ilmu yang
mempelajari tentang mikroorganisme disebut mikrobiologi. Sedangkan ilmu yang
mempelajari tentang bakteri disebut bakteriologi. Terdapat banyak jenis bakteri
yang keberadaannya sebagai flora normal namun tak jarang juga keberadaannya
merugikan makhluk hidup khususnya hewan, sehingga dapat menyebabkan
penyakit yang dapat menginfeksi hewan.

2
Dari adanya kasus infeksi bakteri yang dapat terjadi di sebuah peternakan,
mendasari kegiatan koasistensi Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) yang
dilakukan oleh mahasiswa FKH UB di laboratorium bakteriologi dan mikologi
FKH UNAIR untuk mempelajari penyakit tersebut dengan mengetahui agen
bakteri penyebabnya, sehingga mahasiswa mampu untuk mengetahui gejala klinis,
penyebab terjadinya penyakit dan mampu mendiagnosa penyakit saluran
pencernaan beserta agen bakteri penyebabnya. Oleh sebab itu, diperlukan adanya
isolasi dan identifikasi bakteri penyebab penyakit oleh bakteri patogen yang
terdapat pada feses sapi. Dengan adanya uji mikrobiologi diharapkan dapat
membantu mengetahui penyebab suatu penyakit dengan melakukan identifikasi
suatu penyebab yang terdapat pada feses sapi sehingga dapat diketahui bagaimana
penanganan dan pencegahan dari penyakit tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut :
1. Bagaimana cara isolasi dan identifikasi bakteri yang dapat menyebabkan
gangguan pencernaan dari sampel feses sapi ?
2. Bakteri apa sajakah yang dapat menyebabkan gangguan pencernaan dari
sampel feses sapi ?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan dari pemeriksaan ini yaitu :
1. Untuk mengetahui bagaimana cara isolasi dan identifikasi bakteri yang
dapat menyebabkan gangguan pencernaan dari sampel feses sapi
2. Untuk mengetahui bakteri apa sajakah yang dapat menyebabkan gangguan
pencernaan dari sampel feses sapi

1.4 Manfaat
Manfaat dari pemeriksaan ini adalah Mahasiswa PPDH (Pendidikan
Profesi Dokter Hewan) dapat menambah kemampuan dan keterampilan terkait
pemeriksaan mikrobiologi pada sampel feses sapu dan mendapatkan
pengetahuan tambahan mengenai cara pembiakan bakteri dan identifikasi
bakteri di laboratorium. Keseluruhan pengetahuan ini dibutuhkan untuk
menunjang.

3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sapi Perah
Sapi perah merupakan salah satu ternak yang telah lama menjadi
komoditas usaha peternakan. Bangsa Sapi Perah yang umum dipelihara adalah
bangsa sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH) dan mulai diintroduksikan
sejak tahun 1800 oleh pemerintah Belanda. Sapi perah Peranakan Friesian
Holstein (PFH) merupakan salah satu sapi perah di Indonesia yang merupakan
hasil persilangan dari sapi perah Friesian Holstein (FH) dengan sapi lokal.
Sapi PFH mewarisi sifat bobot badan cukup tinggi dan mudah beradaptasi
dengan lingkungan tropis dengan produksi susu yang relatif tinggi. Di
Indonesia sapi PFH penyebarannya terbatas di daerah tertentu. Hal ini
dikarenakan produktivitas sapi perah sangat dipengaruhi temperatur
lingkungan. Kemampuan berproduksi susu sapi perah PFH di Indonesia
ratarata 8,92 liter per hari. Produksi susu tersebut masih termasuk rendah bila
dibandingkan dengan produksi susu rata-rata sapi perah bangsa Friesian
Holstein (FH) di negara-negara maju. Masih rendahnya produksi susu yang
dicapai di Indonesia terutama dikarenakan pemberian pakan dan tata laksana
yang belum memadai (Siregar, 2003).
Ciri-ciri sapi PFH adalah warna bulunya belang hitam dan putih,
mempunyai ukuran tubuh yang besar dan beratnya hampir sama dengan sapi
FH, mempunyai kadar lemak susu yang rendah, produksi susu dapat mencapai
15 hingga 20 liter per hari per masa laktasi, mempunyai sifat tenang dan jinak
sesuai dengan induknya, lebih tahan panas jika dibandingkan dengan sapi FH
sehingga lebih cocok di daerah tropis, dan mudah beradaptasi di lingkungan
barunya. Sapi PFH digolongkan sebagai ternak tipe dwiguna, yaitu sebagai
penghasil susu sekaligus sebagai penghasil daging dengan persentase karkas
dapat mencapai 59,3%. Sapi PFH sangat menonjol karena banyaknya jumlah
produksi susu namun kadar lemaknya rendah. Kapasitas perut besar sehingga
mampu menampung pakan banyak, mempunyai kemampuan yang tinggi
dalam mengubah pakan menjadi susu (Fanani, 2013).

4
2.2 Saluran Pencernaan Sapi
Pencernaan adalah rangkaian proses perubahan fisik dan kimia yang
dialami bahan makanan di dalam saluran pencernaan ternak ruminansia.
Proses pencernaan makananya relatif lebih kompleks bila dibandingkan
dengan proses pencernaan pada jenis ternak non ruminansia. Menurut Sutardi
(2009), proses pencernaan ternak ruminansia terjadi secara mekanis (di dalam
mulut), secara fermentatif (oleh enzim-enzim pencernaan). Sedangkan
menurut Church (1979), pencernaan fermentatif pada ternak ruminansia terjadi
dalam rumen (retikulorumen) berupa perubahan - perubahan senyawa tertentu
menjadi senyawa lain yangsama sekali berbeda dari molekul zat makanan
asalnya.
Organ pencernaan pada ternak ruminansia terdiri atas 4 bagian penting,
yaitumulut, lambung, usus halus, dan organ pencernaan bagian belakang.
Lambung ternak ruminansia terdiri atas 4 bagian yaitu rumen, retikulum,
omasum, dan abomasum. Rumen dan retikulum dipandang sebagai organ
tunggal yang disebut retikulo-rumen, sedangkan sekum, kolon, dan rektum
termasuk organ pencernaan bagian belakang (Erwanto, 1995). Rumen dan
retikulum dihuni oleh mikroba dan merupakan alat fermentatif dengan kondisi
anaerob pada suhu 39ºC (Sutardi, 1996). Menurut Church (1988), kapasitas
keseluruhan dari keempat bagian perut tersebut adalah rumen 80%, retikulum
5%, omasum 7% dan abomasum 8%. Arora (1996) menyatakan di dalam
rumen terdapat mikroorganisme yang dikenal dengan mikroba rumen. Melalui
mikroba ini maka bahan-bahan makanan yang berasal dari hijauan yang
mengandung polisakarida kompleks, selulosa, dan lignoselulosa, sehingga
dapat dipecah menjadi bagian-bagiansederhana. Selain itu,pati, karbonhidrat,
dan protein dirombak menjadi asam asetat, propionat, dan butirat.
Makanan yang masuk melalui mulut ternak ruminansia akan mengalami
proses pengunyahan atau pemotongan secara mekanis sehingga membentuk
bolus. Pada proses ini, makanan akan bercampur dengan saliva kemudian
masuk ke dalam rumen melalui esofagus. Selanjutnya, di dalam rumen
makanan akan mengalami proses pencernaan fermentatif. Pada masa ternak
istirahat makanan dari rumen yang masih kasar dikembalikan ke dalam mulut

5
(regurgitasi) untuk dikunyah kembali (remastikasi), kemudian makanan
ditelan kembali (redegultasi), lalu dicerna lagi oleh mikroba rumen. Digesta
yang halus dapat masuk ke dalam ususdan mengalami proses pencernaan
hidrolitik.
2.3 Infeksi Bakteri Pada Saluran Pencernan Sapi
Bakteri-bakteri E. coli, Salmonella spp, Mycobacterium paratubercolosis
diketahui paling sering mengakibatkan radang usus pada berbagai jenis ternak.
Oleh karena gangguan keseimbangan biologik di dalam usus, misalnya oleh
pemberian antibiotika berlebihan, bakteri dan jamur akan berkembang baik
dengan cepat hingga mampu menimbulkan radang infeksi. Jasad renik yang
biasanya hidup di dalam usus antara lain Proteus sp, Pseudomonas sp,
Staphylococcus sp (Subronto, 2007).
2.3.1 E. Coli
E. coli adalah salah satu spesies dari Famili Enterobacteriaceae,
menyebabkan infeksi alat pencernaan yang terjadi baik pada hewan
maupun manusia, dan tersifat sebagai berikut : berbentuk batang pendek
0,5 μm X 1-3 μm, batang bervariasi dari coccoid bipolar hingga filament
panjang, biasanya E. coli dapat diidentifikasi dengan beberapa media
selektif, yaitu Mac Conkey Agar (MCA), Eosin Methylene Blue Agar
(EMBA),dan Media Endo Agar. Pertumbuhan bakteri E. coli yang baik
pada media MCA ditandai dengan bentuk koloni bulat, sedang-besar,
cembung, merah keruh dan smooth. E.coli juga tumbuh pada media
EMBA yang dapat dilihat dengan koloni tampak sedang,
cembung,smooth, berwarna hijau metalik, dan terkadang di tengah koloni
terdapat warna ungu. Pertumbuhan E.coli pada media endo agar ditandai
dengan koloni besar-besar, elevasi cembung, smooth, dan berwarna
merah tua metalik (Barrow dan Feltham, 2003). Pengujian biokimia
bakteri E. coli menggunakan media Triple Sugar Iron Agar (TSIA), Urea
Agar (Urease), Simon Citrate Agar (SCA), Sulfide Indol Motility (SIM),
dan gula-gula (glukosa, sukrosa, laktosa, fruktosa, dan manitol). Uji
TSIA bakteri E. coli menunjukkan warna streak tegak merah, warna
streak miring merah, menghasilkan gas, dan tidak memproduksi H2S.

6
Hal ini dikarenakan E. coli dapat memfermentasikan glukosa, laktosa,
dan sukrosa. Ujiurease bakteri E. coli menunjukkan hasil negatif karena
E. coli tidak memiliki enzim urease untuk menghidrolisiskan urea
menjadi amoniak. Uji SCA bakteri E. coli menunjukkan hasil negatif
karena bakteri E. coli tidak menggunakan sitrat sebagai karbon utama.
Uji SIM bakteri E. coli menunjukkan hasil positif karena bakteri ini
memiliki flagella. Uji bakteri E. coli gula-gula menunjukkan hasil positif
karena E. coli dapat memfermentasikan glukosa, fruktosa, laktosa,
sukrosa, dan manitol (Barrow dan Feltham, 2003). Serotipe E. coli yang
dapat menyebabkan diare pada manusia adalah EPEC (Supardi dan
Sukamto, 1999).
Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC) merupakan penyebab
penting diare, khususnya di negara berkembang. EPEC melekat pada sel
mukosa usus halus. Akibat dari infeksi EPEC adalah diare cair yang
biasanya sembuh sendiri tetapi dapat juga bersifat kronik. Seperti halnya
ETEC, EPEC juga menyebabkan diare tetapi berbeda dalam hal
mekanisme molekular dari kolonisasi. Enterohemorrhagic Escherichia
coli (EHEC) berkaitan dengan konsumsi daging, buah, sayuran yang
tercemar, khususnya di negara berkembang. Pangan asal hewan yang
sering terkait dengan wabah EHEC di Amerika Serikat, Eropa,dan
Kanada adalah daging sapi giling (ground beef), daging babi, daging
ayam, daging domba, dan susu segar (mentah). Serotipe utama yang
berkaitan dengan EHEC adalah E. coli O157:H7, yang pertama kali
dilaporkan sebagai penyebab wabah foodborne disease pada tahun 1982-
1983. EHEC ini menghasilkan Shigaliketoxins sehingga disebut pula
sebagai Shiga Toxin Producing E. coli (STEC).Shiga toxin ini mematikan
sel vero, sehingga disebut pula Verotoxin-ProducingE. coli (VTEC).
Bakteri ini umumnya hidup di usus hewan, khususnya sapi,
tanpamenimbulkan gejala penyakit. Bakteri ini juga dapat diisolasi dari
feses ayam,kambing, domba, babi, anjing, dan kucing (Sartika et al.,
2005).

7
Enterohemorrhagic Escherichia coli (EHEC) adalah bagian dari
pathogen E. coli yang dapat menyebabkan diare atau kolitis hemoragik
pada manusia. Hemorrhagic colitis kadang-kadang berkembang menjadi
hemolitik uremik sindrom (HUS), sebagai penyebab penting dari gagal
ginjal akut pada anak-anak. Strain EHEC yang paling sering dijumpai
adalah O157:H7 (Jawet et al., 1982).
Enteroinvasive Escherichia coli (EIEC) menyebabkan disentri yang
serupa dengan shigellosis, dengan gejala demam, diare, dan muntah.
Virulensi EIEC disebabkan oleh invasi epitel usus. Penularan berkaitan
dengan makanan yang tercemar (Hawley,2003).
Enterotoksigenik Escherichia coli (ETEC) adalah penyebab diare
paling umum pada anak sapi muda umur 4 hari. ETEC berhubungan
dengan infeksi virus dapat menyebabkan diare pada anak sapi sampai
usia dua minggu. ETEC biasa menunjukkan gejala klinis diare, feses
berbau busuk dan berair. Diare tersebut dapat menyebabkan sapi
mengalami dehidrasi sampai kematian. Faktor kolonisasi ETEC
menimbulkan perlekatan pada sel epitel usus halus. Dosis infektif
mengindikasikan bahwa diperlukan dosis ETEC yang relatif besar (106
sampai 109 bakteri) sehingga bakteri ini dapat membentuk koloni di
dalam usus halus, dapat berkembang biak, dan dapat menghasilkan
racun. Racun yang dihasilkan bakteri ini merangsang sekresi cairan.
Dengan dosis infektif yang tinggi, diare dapatterjadi dalam 24 jam
setelah infeksi (Nagy et al., 1999).
2.3.2 Salmonella sp.
Salmonella sp. adalah bakteri Gram negatif, berbentuk batang
(basil), memiliki ukuran 0,7-1,5 μm x 2-5 μm, tidak membentuk spora,
memiliki kapsul, menghasilkan gas H2S, tumbuh pada suhu optimum
37oC dengan pH 6-8, dapat hidup pada kondisi aerobic sampai fakultatif
anaerobik, dan motil dengan menggunakan flagella (kecuali S. pullorum
dan S. gallinarum) (Sawosz, et al., 2010). Tindakan identifikasi bakteri
Salmonella sp. membutuhkan media selektif Salmonella Shigella Agar
(SSA), Mac Conkey Agar (MCA), Hektoen Enteric Agar (HEA),

8
Bismuth Sulfit Agar (BSA), dan Brilliant Green Agar (BGA). HEA
merupakan media selektif diferensial. Media ini tergolong selektif karena
terdiri dari bile salt yang berguna untuk menghambat pertumbuhan
bakteri gram positif dan beberapa gram negatif, sehingga diharapkan
bakteri yang tumbuh hanya Salmonella sp. Media ini digolongkan
menjadi media diferensial karena dapat membedakan bakteri Salmonella
sp. dengan bakteri lainnya dengan cara memberikan 3 jenis karbohidrat
pada media, yaitu laktosa, glukosa, dan salisin, dengan komposisi laktosa
yang paling tinggi. Salmonella sp. tidak dapat memfermentasi laktosa,
sehingga asam yang dihasilkan hanya sedikit karena hanya berasal dari
fermentasi glukosa saja. Hal ini menyebabkan koloni Salmonella sp. akan
berwarna hijau-kebiruan karena asam yang dihasilkannya bereaksi
dengan indikator yang ada pada media HEA, yaitu fuksin asam dan
bromtimol blue.
Bakteri Salmonella sp. pada media MCA tidak memfermentasi
laktosa atau disebut Non Laktosa Fermenter (NLF) tapi Salmonella sp.
memfermentasi glukosa, manitol, dan maltosa disertai pembentukan
asam dan gas (kecuali S. typhi yang tidak menghasilkan gas) (Barrow dan
Feltham, 2003). Pengujian biokimia bakteri Salmonella sp. menggunakan
media Triple Sugar Iron Agar (TSIA), Urea Agar (Urease), Simon
Citrate Agar (SCA), Sulfide Indol Motility (SIM), dan gula-gula
(glukosa, sukrosa, laktosa, fruktosa, dan manitol). Uji TSIA bakteri
Salmonella sp. menunjukkan warna streak tegak merah, warna streak
miring kuning, menghasilkan gas, dan memproduksi H2S. Hal ini
dikarenakan Salmonella sp. tidak dapat memfermentasikan laktosa,
namun memfermentasi glukosa, maltosa, dan manitol. Uji urease bakteri
Salmonella sp. menunjukkan hasil negatif karena Salmonella sp. tidak
memiliki enzim urease untuk menghidrolisiskan urea menjadi amoniak,
Uji SCA bakteri Salmonella sp. menunjukkan hasil positif karena
Salmonella sp. menggunakan sitrat sebagai karbon utama. Uji SIM
bakteri Salmonella sp. menunjukkan hasil indol negatif dan motilitas
positif karena bakteri ini memiliki flagella. Uji gula-gula menunjukkan

9
positif karena Salmonella sp. dapat memfermentasikan glukosa, fruktosa,
sukrosa, dan manitol (kecuali pada uji laktosa) (Barrow dan Feltham,
2003).
Shigella sp. merupakan bakteri Gram negatif, berbentuk batang
pendek (cocobasil), non motil, tidak berflagela, tidak berkapsul, tidak
membentuk spora, memiliki ukuran 2-3 μm x 0,5- 0,7 μm, tumbuh pada
suhu optimum 37oC, dan dapat hidup pada kondisi aerobik sampai
fakultatif anaerobik. Bakteri ini dapat memproduksi enterotoksin dan
shigatoksin (mirip seperti verotoksin). Shigella sp. dibagi 4 kelompok
serologik, yaitu S.dysenteri (12 serotipe), S. flexnewri (6 serotipe), S.
boydii (18 serotipe), dan S. sonnei (1 serotipe). Di daerah tropis yang
tersering ditemukan ialah S. dysenteri dan S. flexneri, sedangkan S.
sonnei lebih sering dijumpai di daerah sub tropis atau daerah industri
(Keir, et al., 2012). Infeksi Shigella sp. biasa dikenal dengan penyakit
shigellosis. Infeksi shigellosis pada burung dara biasanya ditularkan
melalui makanan dan air yang terkontaminasi feses yang terinfeksi
Shigella sp. Tingkat sanitasi yang buruk menjadi pemicu terjadinya
wabah shigellosis. Gejala dari penyakit shigellosis adalah diare, terdapat
darah, nanah, lendir di dalam feses, dan tenesmus (Jackson, et al., 2011).
2.3.3 Proteus sp.
Proteus spp. termasuk dalam famili enterobakteriaceae, bakteri
bentuk batang, gram negatif, tidak berspora, tidak berkapsul, flagel
peritrik, ada yang cocobacilli, polymorph, berpasangan atau membentuk
rantai, kuman ini berukuran 0,4-0,8 x 1.0-0,3 mm. Bakteri proteus sp.
Termasuk dalam bakteri non fruktosa fermenter, bersifat fakultatif
aerobe/anaerob. merupakan bakteri aerob/anaerob fakultatif.
Mengeluarkan bau khas dan swarming pada media BAP. Proteus sp.
menunjukan pertumbuhan yang menyebar pada susu 37˚C. Proteus sp.
membentuk asam dan gas dari glukosa, sifatnya khas antara lain
mengubah fenil alanin menjadi asam fenil alanin pirufat atau PAD dan
menghidrolisa urea dangan cepat karena adanya enzim urase pada TSIA
bersifat alkaliasam dengan membentuk H2S.

10
Proteus sp. disebut juga bakteri proteolitik karena bakteri ini ini
dapat menguraikan dan dapat memecah protein secara aerob/anaerob
sehingga menghasilkan komponen berbau busuk seperti hidrogen, sulfid,
amin, indol, dan asam lemak. Proteus dapat menghidrolisis urea menjadi
CO3 dan NH3 serta melepas amoniak. Proteus sp. termasuk kuman
patogen, menyebabkan infeksi saluran kemih atau kelainan bernanah
seperta abses, infeksi luka. Proteus sp. ditemukan sebagai penyebab diare
dan menimbulkan infeksi pada ternak.
2.4 Enteritis Pada Sapi
Enteritis adalah proses keradangan usus yang dapat berlangsung akut
maupun kronis, yang akan mengakibatkan kenaikan peristaltik usus, kenaikan
jumlah sekresi kelenjar pencernaan serta penurunan penyerapan atau absorpsi
dari lumen usus, baik itu cairan ataupun sari-sari makanan yang terlarut di
dalamnya. Enteritis primer maupun sekunder ditandai dengan penurunan
nafsu makan, menurunnya kondisi tubuh, dehidrasi dan diare. Perasaaan sakit
akibat dari radang usus atau enteritis bervariasi jenisnya, tergantung pada
jenis hewan yang menderita serta derajat radang yang dideritanya. Radang
usus yang terjadi bersamaan dengan gastritis disebut sebagai gastroenteritis
(Subronto, 2007).
Kondisi ini mengakibatkan gerakan mukosal intestinal mengalami
perpindahan cairan dan elektrolit secara cepat dari darah ke lumen usus
sehingga terjadi dehidrasi dan shock hipovolemik secara cepat. Kerusakan
mukosa usus dan shock septik atau shock endotoksik diakibatkan terjadinya
translokasi dari bakteri atau toksin bakteri. Natrium dan Kalium hilang
bersama dengan hilangnya cairan tubuh akibat terjadinya dehidrasi. Radang
yang terjadi di bagian usus tertentu di beri nama sesuai dengan bagian usus
yangdiderita, misalnya radang dari kolon disebut sebagai colitis, radang pada
ileum disebut sebagai ileitis, radang rektum disebut sebagai proktitis dan
sebagainya.

11
BAB III METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan


Koasistensi Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) rotasi Diagnosa
Laboratorik dilaksanakan pada tanggal 02 Juli – 13 Juli 2018 yang bertempat
di Laboratorium Mikrobiologi, Bakteriologi dan Mikologi Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya.
3.2 Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan antara lain autoclave, cawan petri, tabung
reaksi, tabung Erlenmeyer, mortar dan pestle, kertas pembungkus, Bunsen,
incubator, pinset, ose, needle, kulkas, mikroskop, object glass, spatula, rak
tabung reaksi, beker glass, sentrifus dan kompor, timbangan, aluminium foil,
kapas, tisu, label, scalpel.
Bahan-bahan yang digunakan antara lain sampel berupa sampel feses
sapi, tetrathionad broad, media EMBA (Eosin Methylene Blue Agar), MCA
(Mac Conkey Agar), SSA (Salmonella-Shigella agar), media MRVP (Methyl
Red - Voges Proskauer), dan beberapa media SIM (sulfide indol motility) agar
dan media uji TSIA (triple sugar iron agar), Media identifikasi (Urea Agar,
Simon Citrat Agar (SCA)), media urease, media gula-gula (Laktosa, Maltosa,
Sukrosa, Manitol, dan Sukrosa), Pewarnaan gram (kristal violet, lugol,
alkohol, dan safranin), Alkohol, Aquades steril, NA miring, reagent phenol red
reagent kovac’s, garam fisiologis (NaCl), kapas, spritus, minyak emersi.
3.3 Sterilisasi Alat
Semua alat-alat yang akan digunakan dalam pengambilan dan
pemeriksaan sampel disterilisasi dengan jenis sterilisasi fisik uap bertekanan

12
tinggi autoclave terlebih dahulu. Alat-alat yang terbuat dari kaca ditutup
dengan kertas dan dimasukkan ke dalam mesin autoclave, sedangkan alat-alat
yang terbuat dari karet tidak dimasukkan. Proses autoclave dilakukan selama
± 1 jam hingga suhu mencapai 121 oC. Autoklaf adalah alat pemanas tertutup
yang digunakan untuk mensterilisasi menggunakan uap bersuhu dan
bertekanan tinggi 121oC selama kurang lebih 15 menit. Autoklaf terutama
ditujukan untuk membunuh endospora, yaitu sel resisten yang diproduksi oleh
bakteri. Pada saat sumber panas pada autoklaf dinyalakan, air dalam autoklaf
lama kelamaan akan mendidih dan uap air yang terbentuk mendesak udara
yang mengisi autoklaf. Setelah semua udara dalam autoklaf diganti dengan
uap air, katup uap atau udara ditutup sehingga tekanan udara dalam autoklaf
naik. Pada saat tercapai tekanan dan suhu yang sesuai, maka proses sterilisasi
dimulai. Setelah proses sterilisasi selesai, sumber panas dimatikan dan tekanan
dibiarkan turun perlahan hingga mencapai 0 psi. Perlu diperhatikan bahwa
autoklaf tidak boleh dibuka sebelum tekanan mencapai 0 psi.
3.4 Metode Pemeriksaan
3.4.1 Pengambilan sampel
Prinsip dalam pengambilan sampel
1. Pengambilan sampel harus dilakukan secara aseptis (steril) agar tidak
terkontaminasi oleh kuman atau bakteri penyebab penyakit
2. Sampel harus diperoleh dalam jumlah yang cukup untuk
memungkinkan pemeriksaan yang teliti, yakni sebanyak 1-5 gr.
3. Sampel diletakkan pada wadah yang telah diberi label.
4. Sampel harus segera dilakukan pemeriksaan untuk mengurangi
terjadinya kerusakan yang disebabkan oleh kekeringan, oksidasi, panas
dan aktivitas enzim dari bakteri itu sendiri.
5. Sebaiknya pengambilan sampel untuk pemeriksaan bakteriologi
dilakukan sebelum hewan diberikan pengobatan dengan antibiotik.
3.4.2 Pengujian Sampel
Dilakukan pengamatan terhadap morfologi koloni-koloni bakteri yang
tumbuh pada media plate agar secara makroskopis. Setelah dilakukan
identifikasi morfologi bakteri secara makros, dilakukan pembenihan murni

13
pada media serupa, dengan cara mengambil koloni tunggal kemudian
menumbuhkannya pada media yang sama yaitu EMBA dan MCA,
sedangkan untuk media TB diamati perubahan makrosnya yang
menunjukkan perubahan media menjadi keruh. Setelah itu, isolasi bakteri
yang tumbuh pada media TB ke media SSA dengan cara
menghomogenkan media TB terlebih dahulu menggunakan ose, kemudian
lakukan streak pada media SSA menggunakan ose tersebut. Setelah itu
seluruh media perbenihan koloni murni diinkubasi pada suhu 37°C selama
24 jam.

3.4.3 Persiapan dan Pembuatan Media


Isolasi primer dilakukan pada media Tetrathionate Broth Base dan
MCA untuk mendapatkan koloni yang terpisah sehingga dapat dilihat
secara makroskopis bentuk koloni yang didapatkan.
 Isolasi Bakteri dengan media Enrichment Tetrathionate Broth
 Media Tetrathionate Broth dimasukkan dalam tabung reaksi steril
sebanyak 5 ml, sebanyak 2 tabung disiapkan.
 Sampel yang digunakan adalah feses sebanyak 1 gram untuk masing-
masing tabung media.
 Feses yang telah ditimbang masing-masing 1 gram kemudian
dimasukkan ke dalam 2 tabung media Tetrathionate Broth
 Dilakukan inkubasi pada suhu 37 ˚C selama 24 jam.
 Setelah 24 jam dilakukan pengamatan terhadap bakteri yang tumbuh
pada media Tetrathionate Broth lalu dilanjutkan penanaman pada media
MCA.

Setelah dilakukan isolasi primer, kemudian dilakukan pemurnian


bakteri. Pemurnian bakteri yang dimaksudkan adalah menumbuhkan dan
memperbanyak bakteri yang berasal dari satu koloni yang terdiri atas sel
bakteri yang seragam dan sifat yang sama. Pemurnian bakteri dilakukan
dengan menanam kembali koloni bakteri yang tumbuh terpisah pada
media MCA dan SSA, dengan cara streak dengan menggunakan ose yang
sebelumnya sudah dipanaskan di atas api bunsen. Memberi label pada
setiap media yang sudah distreak, dengan kode sampel yang ada. Media

14
diinkubasi pada inkubator dengan suhu 37°C selama 24 jam lalu diamati
pertumbuhan koloni (Sarudji, dkk., 2010).

3.4.3.1 EMBA (Eosin Methylen Blue Agar)


Pembuatan media Eosin Methylen Blue Agar (EMBA) dilakukan
dengan melarutkan bubuk media EMBA ke dalam aquades steril.
Perbandingan antara bubuk media EMBA dengan aquades steril
adalah 37.5 gram : 1000 mL aquades. Larutan kemudian ditutup
dengan aluminium foil. Larutan diaduk hingga merata, dipanaskan
dan diaduk kembali hingga larutan mendidih dan berwarna bening.
Larutan media EMBA lalu di didinginkan pada suhu ruang, setelah
itu di-autoclave selama ± 1 jam hingga suhu mencapai 121 oC.
Setelah selesai, larutan media EMBA dituang ke dalam cawan petri
dalam laminar flow. Disterilisasi dengan api bunsen dan sinar UV
sebelum serta setelah penggunaan laminar flow. Media kemudian
didinginkan pada suhu ruang hingga menjadi agar. Agar kemudian
disimpan di kulkas jika tidak langsung digunakan, dan ketika akan
digunakan media terlebih dahulu di masukkan ke dalam incubator
hingga suhu normal.
Secara umum, media EMBA adalah media isolasi untuk
membedakan bakteri Enterobacteriaceae. EMBA adalah media
yang digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya bakteri
coliform di dalam suatu sampel. Media EMBA ini mempunyai
keistimewaan mengandung laktosa dan berfungsi untuk
membedakan mikroba yang memfermentasikan laktosa seperti S.
aureus, P. aerugenosa, dan Salmonella. Mikroba yang
memfermentasi laktosa menghasilkan koloni dengan inti berwarna
gelap dengan kilap logam. Sedangkan, mikroba lain yang dapat
tumbuh koloninya tidak berwarna.
3.4.3.2 MCA (Mac Conkey Agar)
Pembuatan media Mac Conkey Agar (MCA) dilakukan
dengan melarutkan bubuk media MCA ke dalam aquades steril.
Perbandingan antara bubuk media MCA dengan aquades steril

15
adalah 52 gram : 1000 mL aquades. Larutan kemudian ditutup
dengan aluminium foil. Larutan diaduk hingga merata, dipanaskan
dan diaduk kembali hingga larutan mendidih dan berwarna bening.
Larutan media MCA lalu di didinginkan pada suhu ruang, setelah
itu di autoclave selama ± 1 jam hingga suhu mencapai 121 oC.
Setelah selesai, larutan media MCA dituang ke dalam cawan petri
dalam laminar flow. Sterilisasi dengan api bunsen dan sinar UV
sebelum serta setelah penggunaan laminar flow. Media kemudian
didinginkan pada suhu ruang hingga menjadi agar. Agar kemudian
disimpan di kulkas jika tidak langsung digunakan dan ketika akan
digunakan media terlebih dahulu di masukkan ke dalam incubator
hingga suhu normal.
3.4.3.3 Media selektif SSA (Salmonella-Shigella agar)
Komposisinya terdiri dari beef extraxt 5 gram, pepton 5 gram,
laktosa 10 gram, bile salts 8.5 gram, sodium citrate 8.5, sodium
thiosulfate 8.5 gram, agar 13.5 gram, brilliant green 0,00033 gram,
neutral red 0,025. pH akhir yang diukur 7.0 pada media.
Selanjutnya, sebanyak 60 gram SSA dilarutkan dalam dalam
aquades hingga mencapai 1000 ml, campur dengan baik hingga
homogen. Kemudian, dipanaskan hingga semua larut dalam
kompor listrik selama 1 menit. Media didinginkan sampai suhu 45-
50 ºC dituang dalam cawan petri dan simpan pada suhu 8-15 ºC.
3.4.3.4 Media uji SIM (Sulfide indol motility)
Komposisi media pepton 30 gram, amonium iron citrate 0,2
gram, sodium thiosulfate (Na2S2O3) 0,025gram, dan agar 3 gram.
pH akhir media yang diukur 7,3. Sebanyak 36 gram ditambahkan
aquades hingga mencapai volume 1000 ml, kemudian dipanaskan
hingga semua bahan larut . tersebut dimasukkan ke dalam tabung
reaksi masing-masing sebanyak 5-7 ml. Medium disterilisasi
kedalam autoklaf pada suhu 121 ºC selama 15 menit. Dan
diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37C. Media ini digunakan
untuk mengetahui motilitas organisme, adanya pembebasan H2S

16
(sulfide) dan terbentuknya indol. Berikut metode pemeriksaaan
menggunakan Sulfide Indol Motility (SIM):
1. Diambil koloni tunggal dengan menggunakan needle.
2. Dilakukan tusukan sampai 2/3 dari dari permukaan media.
3. Dilakukan inkubasi pada suhu 370C selama 24 jam.
4. Dilakukan pengamatan.
Indol diuji dengan penambahan 1 ml chloroform dan 1 ml reagen
Kovacs.
Interpretasi Hasil:
Bagian dasar media berwarna hitam sebagai hasil reaksi H2S
dengan Fe menjadi FeS. Motilitas terlihat adanya warna keruh dan
adanya penyebaran dan pertumbuhan yang menjalar dari bawah
keatas di sekitar tusukan (pohon cemara terbalik). Pemeriksaan
indol dengan hasil positif ditandai dengan terlihatnya cincin merah.

3.4.3.5 Triple Sugar Iron Agar (TSIA)


Media ini digunakan untuk membedakan sifat bakteri secara
biokimiawi. Umumnya media ini digunakan untuk membedakan
bakteri yang tergolong ke dalam Enterobactericeae yaitu
kemampuan bakteri dalam memfermentasi karbohidrat membentuk
asam, gas dan H2S. Komposisinya terdiri dari beef extract 3 gram,
yeast extract 3 gram, pepton 15 gram, laktosa 10 gram, sukrosa10
gram, dextrose 1 gram, agar 12 gram, sodium cloride (NaClO2) 5
gram, dan sodium thiosulfate (Na2S2O3) 0,3 gram, phenol red
0,024 untuk mendukung pertumbuhan bakteri. Sebanyak 65 gram
medium Triple Sugar Iron Agar (TSIA) dilarutkan dalam aquades
hingga mencapai volume 1000 ml, kemudian dipanaskan hingga
semua bahan larut. medium dimasukkan ke dalam tabung reaksi
masing-masing sebanyak 5-10 ml. pH yang diukur 7,4 kemu, media
disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121 ºC selama 15 menit,
medium yang sudah steril ditanamkan memadat dalam posisi tegak
kemudian diinkubasi 24-48 jam pda suhu 37 ºC.
Berikut metode pemeriksaan dengan media Triple Sugar Iron
Agar (TSIA):
1. Diambil koloni tunggal dengan menggunakan needle.

17
2. Ditusukkan sampai dasar media TSIA
3. Cabut tusukan secara perlahan lalu dilakukan streak pada
pemukaan miring media TSIA.
4. Dilakukan inkubasi pada suhu 370C selama 24 jam.
5. Dilakukan pengamatan.

Interpretasi Hasil:
- Orange-Merah : warna sebelum inokulasi.
- Kuning (Asam) : glukosa dan atau sukrosa dan atau laktosa.
- Merah (Alkalis) : glukosa, sukrosa dan laktosa tidak
difermentasi.
- Warna hitam pada bagian tegak : produksi H2S.
- Gelembung gas pada bagian tegak : menghasilkan gas hasil
fermentasi.
3.4.3.6 Media uji Simmons citrat agar
Komposisi media terdiri dari magnesium sulfate (MgSO4-)
0,2 gram, monoammonium phosphate (NH3PO4-) 1 gram,
dippottasium phosphate 1 gram, sodium citrate 2 gram, sodium
cloride (Nacl) 5 gram, agar 15 gram, dan brotymol blue 0,08 gram.
Selanjutnya, sebanyak 24.2 gram medium citrat agar dilarutkan
dalam aquades hingga mencapai volume 1000 ml, dipanaskan
hingga semua bahan larut, kemudian ditambahkan dengan indikator
bromotimol biru 0,2%. pH diukur menjadi 6.8, media tersebut
dimasukkan kedalam tabung reaksi masing-masing sebanyak 5-7
ml. Medium disterilisasi kedalam autoklaf pada suhu 121ºC selama
15 menit.
3.4.3.7 Tetrathionate Broth Base
Komposisi media terdiri dari Lab-Lemco Powder 0,9 gram,
peptone 4,5 gram, yeast extract 1,8 gram, sodium chloride 4,5
gram, calcium carbonate 25 gram, sodium thiosulfate 40,7 gram.
Selanjutnya, sebanyak 77 gram medium dilarutkan dalam aquades
hingga mencapai volume 1000 ml, dipanaskan hingga semua bahan
larut, tambahkan 20 cc larutan sodium, campur dengan baik dan
tuang kedalam tabung reaksi masing-masing sebanyak 5-7 ml.
Medium disterilisasi kedalam autoklaf pada suhu 121ºC selama 15
menit.

18
3.4.3.8 Urea Agar
Media ini digunakan untuk mengetahui adanya aktivitas urease
pada mikroorganisme. Berikut metode pemeriksaan dengan media
urea agar :
1. Ambil koloni tunggal dengan menggunakan ose ujung lurus.
2. Lakukan streak pada permukaan miring media.
3. Dilakukan inkubasi pada suhu 37ºc selama 24 jam.
4. Dilakukan pengamatan.
Interpretasi hasil:
- Apabila urea dihydrolisa, amoniak akan dibebaskan dan
menyebabkan medium berubah menjadi alkalis
- Positif bila berwarna merah
- Negatif bila berwarna kuning atau tidak ada perubahan warna.
3.4.3.9 Media Gula - Gula
Media ini digunakan untuk mengetahui kemampuan fermentasi
bakteri terhadap gula - gula. Pembuatan media ini dengan cara
melarutkan gula-gula (laktosa, maltosa, sukrosa, manitol, dan
glukosa) 2 gram pada peptone water 100 ml, kemudian
ditambahkan penanda phenol red 1 ml. Berikut metode
pemeriksaan menggunakan media gula-gula:
1. Diambil koloni tunggal dengan menggunakan ose ujung bulat.
2. Dilakukan adukkan pada larutan gula-gula.
3. Dilakukan inkubasi pada suhu 37ºC selama 24 jam.
4. Dilakukan pengamatan.
Interpretasi hasil :
- Positif bila media berwarna kuning, artinya gula difermentasi
dengan menghasilkan asam.
- Negatif bila media berwarna merah (tidak ada perubahan warna)
artinya gula tidak terfermentasi.
3.4.4 Penanaman Bakteri
Penanaman atau isolasi bakteri yang digunakan untuk sampel feses adalah
sebagai berikut.

19
1. Penanaman bakteri dilakukan pada media umum, selektif differensial
hingga spesifik.
2. Penanaman larutan sampel pada media tetratinate broad, SSA dan
MCA dilakukan dengan cara streak menggunakan ose yang sebelumn
ya sudah dibakar di atas api bunsen.
3. Memberi label pada setiap media yang telah di streak.
3.5 Evaluasi dan Pendugaan Bakteri yang Tumbuh
Evaluasi dan pendugaan terhadap bakteri yang tumbuh dilakukan dengan p
engamatan makroskopis terhadap koloni bakteri dan secara mikroskopis deng
an pewarnaan gram. Pewarnaan gram digunakan sebagai metode identifikasi
biakan bakteri yang tumbuh pada media, dilakukan dengan cara sebagai
berikut.
1. Membuat sediaan oles pada object glass dan fiksasi di atas api sampai
kering.
2. Warnai dengan gantian violet selama 1 – 2 menit.
3. Buang sisa zat warna dan mencucinya dengan air atau akuades.
4. Tambahkan larutan lugol dan biarkan selama 1 menit, kemudian
membuang sisa lugol dan mencucinya dengan air atau akuades mengalir.
5. Lunturkan warna dengan alkohol aceton 1 menit sampai zat warna hilang,
kemudian mencucinya dengan air atau akuades mengalir.
6. Tambahkan warna ke – 2 berupa safranin dan biarkan selama 30 detik.
7. Bersihkan warna safranin dengan air mengalir kemudian keringkan dengan
kertas hisap atau tisu dan diangin-anginkan.
8. Lihat dengan mikroskop dengan pembesaran 1000x dengan bantuan
minyak emersi.
Apabila hasil evaluasi secara makroskopis dan mikroskopis ditemukan koloni
yang belum murni, maka bakteri tersebut ditanam kembali atau dilakukan pe
murnian dalam media yang sesuai sampai koloni yang terbentuk benar-benar
murni.

20
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengamatan
Menurut keterangan pemilik, sapi yang diambil fesesnya merupakan sapi
yang kurang aktif, sapi nampak menunjukkan ada sisa bercak kotoran
dibagian anus, sapi tidak nafsu makan, serta nampak lemas. Dan feses yang
nampak diare basah dengan tekstur tidak berbentuk. Ketika dilakukan
pemeriksaan, didapatkan hasil sebagai berikut
- Jenis hewan : Sapi PFH (Sapi Perah)
- Warna Sapi : Hitam Putih
- Jenis kelamin : Betina
- Lama sakit :-
- Umur : 3 tahun
- Asal : Peternakan Sapi Perah Kalijudan, Surabaya
- Tanggal pengambilan sampel : 02 Juli 2018

Gambar 4.1. Sapi yang diduga mengalami enteritis (Sumber: Dokumentasi pribadi.
2018).

4.2 Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan Laboratorium diperlukan untuk menegakkan diagnosa.
Pemeriksaan dilakukan dengan menanam sampel (feses) pada media isolasi.
Penanaman ini berguna untuk mengidentifikasi bakteri yang mungkin
menyebabkan penyakit pada sapi tersebut. Hal yang perlu dilakukan adalah
dengan menanam bakteri pada media isolasi, selanjutnya dilakukan
pemurnian koloni setelah itu dilakukan perbanyakan koloni, Pemurnian
bakteri yang dimaksudkan adalah menumbuhkan dan memperbanyak bakteri
yang berasal dari satu koloni yang terdiri atas sel bakteri yang seragam dan
sifat yang sama. saat koloni yang telah murni dan banyak selanjutnya
dilakukan identifikasi bakteri untuk menentukan jenis bakteri apa yang
menimbulkan penyakit dari kasus pencernaan sapi yang diperiksa
menggunakan sampel feses.

21
Isolasi mikroorganisme merupakan upaya pembiakkan suatu jenis
mikroorganisme tertentu yang diperoleh dari suatu sampel di dalam suatu
media yang spesifik, sehingga selanjutnya dapat dilakukan identifikasi dan
konfirmasi. Media spesifik merupakan media yang digunakan untuk
mendiagnosis atau menganalisis metabolisme suatu mikroorganisme. Setiap
mikroorganisme memiliki kebutuhan akan zat pertumbuhan yang spesifik
sehingga hal ini dapat dijadikan acuan dalam pemilihan media untuk isolasi,
identifikasi dan konfirmasi (Pelczar, 2016).
Pada umumnya media yang digunakan untuk membiakkan
mikroorganisme mengandung; air, protein, karbohidrat, sumber karbon,
nitrogen, sulfur, fosfat, oksigen, hidrogen, asam amino dan vitamin. Suatu
media yang memenuhi kebutuhan mikroorganisme untuk bertahan hidup dan
melakukan aktivitasnya secara normal diperlukan untuk melakukan isolasi
jenis mikroorganisme tertentu. Setiap media spesifik memiliki kandungan
senyawa tertentu yang dapat mendukung pertumbuhan mikroorganisme
tertentu tetapi menghambat pertumbuhan mikroorganisme lainnya (Lay,
1994). Dalam hal ini, media yang digunakan untuk mengisolasi
mikroorganisme tertentu dari sampel feses sapi adalah media Tetrathionat
broath, Mac Conkey Agar (MCA), dan Salmonella-Shigella Agar (SSA).
4.3 Identifikasi Bakteri asal Feses sapi
4.3.1 Identifikasi Bakteri secara Makroskopis
Isolat yang tumbuh pada media EMBA berdasarkan hasil pengamatan,
memiliki karakteristik berwarna hijau metalik, bentuk bulat dan tepi rata
seperti pada Gambar 4.2.a. Sedangkan isolat yang tumbuh pada media
MCA terdiri dari satu jenis koloni berwarna merah, bulat dan sedikit
cembung seperti pada Gambar 4.2.b. Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Baehaqi (2015) Bakteri Coliform dan Escherichia
coli ditumbuhkan pada media EMBA dan diinkubasi pada suhu 37°C
selama 24 jam, menghasilkan koloni Coliform yang tumbuh memiliki ciri
yaitu koloni berwarna merah, merah muda dan hijau metalik, bentuk
mukoid dengan pusat berwarna gelap sedangkan ciri koloni E. coli yang
tumbuh yaitu koloni berwarna hijau metalik dengan bentuk mukoid dan

22
pusat berwarna gelap. Sedangkan koloni yang tumbuh pada cawan Mac
Conkey Agar (MCA) yang berwarna merah atau merah muda berarti
sampel mengandung bakteri yang dapat memfermentasi laktosa (Wahyuni,
2013). Bakteri yang dapat tumbuh pada media MCA antara lain
Pseudomonas, Salmonella, E.coli, Enterobacter, Klebsiella dan Shigella.
Menurut Luis et al (2004), koloni Pseudomonas, Salmonella dan Shigella
yang tumbuh di media ini cirinya halus dan tak berwarna karena tidak
mampu memfermentasi laktosa. Sedangkan koloni E.coli, Klebsiella dan
Enterobacter gram negatif akan memproduksi asam dan berwarna merah
karena mempunyai keistimewaan dapat memfermentasi laktosa. Beberapa
jenis bakteri seperti Klebsiella dan Enterobacter dapat memproduksi
mukoid sehingga tampak lembab. Hal ini terjadi karena bakteri
membentuk kapsul melalui metabolisme kandungan laktosa di dalam
media.
EMBA yaitu media isolasi untuk
membedakan bakteri Enterobacteriaceae. EMBA adalah media yang
digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya bakteri koliform di dalam
suatu sampel. Media Eosin Methylene Blue Agar ini mempunyai
keistimewaan mengandung laktosa dan berfungsi untuk membedakan
mikroba yang memfermentasikan laktosa seperti S.aureus, P.aerugenosa,
dan Salmonella. Mikroba yang memfermentasi laktosa menghasilkan
koloni dengan inti berwarna gelap dengan kilap logam. Sedangkan
mikroba lain yang dapat tumbuh koloninya tidak berwarna. Fungsi dari
eosin dan metilen blue membantu mempertajam perbedaan warna. Media
ini berbentuk padat berguna untuk menjaga sel tidak berpindah tempat
sehingga akan mudah dihitung dan dipisahkan jenisnya ketika tumbuh
menjadi koloni. Media padat juga menampakkan difusi hasil metabolit
bakteri sehingga memudahkan dalam pengujian suatu hasil metabolit.
Sedangkan Mac Conkey mengandung laktosa dan mengandung neutral red
yang merupakan indikator pH sehingga media Mac Conkey dapat
digunakan untuk membedakan bakteri coliform laktosa fermenter dengan
non-laktosa fermenter. Bakteri yang memfermentasi laktosa akan

23
menghasilkan asam dan menurunkan pH medium dan merubah neutral red
menjadi warna merah. Sedangkan bakteri non laktosa fermenter seperti
Salmonella dan Shigella menghasilkan koloni yang colourless dan
transparant (Surjawidjaja, 2007). Penanaman bakteri pada media EMBA
didapatkan hasil bahwa isolat bakteri yang tumbuh berwarna hijau metalik.
Artinya mikroba yang tumbuh dapat memfermentasikan laktosa dan
menghasilkan koloni dengan inti berwarna gelap dengan kilap. Bakteri
gram negatif yang memfermentasi laktosa (umumnya bakteri usus) dapat
menghasilkan asam, dalam kondisi asam akan menghasilkan warna
kompleks berwarna ungu gelap atau warna hijau metalik. Warna hijau
metalik ini merupakan indikator dari bakteri yang dapat memfermentasi
laktosa dengan kuat dan/atau bakteri yang dapat memfermentasi sukrosa
(khas pada bakteri coliform fecal).

A B
n
Gambar 4.2 Hasil pengamatan isolasi primer EMBA dan MCA . (a) Koloni
E. Coli pada media EMBA; (b) koloni Coliform pada media MCA

4.3.2 Identifikasi Morfologi Bakteri Secara Mikrokopis


Koloni pada media EMBA dan MCA dari sampel feses sapi diambil
untuk dilakukan pewarnaan gram yang bertujuan untuk melihat bentuk dan

A B
n

24
sifat gramnya. Berdasarkan hasil pemeriksaan gram pada koloni dari
media EMBA diperoleh morfologi bakteri berbentuk batang pendek dan
berwarna merah yang menunjukkan sifat bakteri gram negatif seperti
Gambar 4.3.a Begitupun dengan hasil pemeriksaan koloni yang berasal
dari media MCA, memiliki morfologi berbentuk batang dan bersifat gram
negatif seperti pada Gambar 4.3.b.Berdasarkan hasil pemeriksaan gram
dari media EMBA dan MCA dari feses sapi tersebut dapat disimpulkan
bahwa bakteri yang tumbuh merupakan kelompok Enterobacteriaceae.
Gambar 4.3 Pewarnaan Gram (a) Sel bakteri pada media EMBA ; (b) sel bakteri
media MCA
Uji Konfirmasi (Biokimia)
Uji biokimia dilakukan untuk mengetahui sifat metabolisme dari
koloni bakteri yang tumbuh pada media EMBA dan MCA dengan cara
melihat kemampuan bakteri dalam memfermentasi karbohidrat,
menghasilhan H2S, menghasilkan gas, memproduksi asam, dan lain lain.
Tabel 4.1 Hasil Identifikasi Koloni Bakteri dari Media EMBA dan MCA
Karakteristik EMBA Interpretasi
Uji Gram Gram negative Gram positif : bakteri berwarna
ungu
Gram negatif : bakteri berwarna
merah (melarutkan zat lipid selama
pencucian dengan alkohol)
Morfologi sel Batang pendek
TSIA - Asam - Memfermentasi semua
- Asam karbohidrat : bila pada dasar
- H2S (-) (butt) media berwarna kuning
- Gas (+) (bersifat asam) dan lereng (slant)
berwarna kuning (bersifat asam)
- Tidak memfermentasi metionin
dan sistein (H2S)
- pecahnya dan terangkatnya agar
(Gas)
Indol (SIM) - Indol (+) Negatif (-) ditunjukkan dengan
- H2S (-) pertumbuhan hanya terlihat
- disepanjang garis inokulasi dan
media tidak menjadi keruh
Positif (+) ditunjukkan dengan
pertumbuhan bakteri menyebar
menjauhi garis inokulasi
(pergerakan) sehingga media
manjadi keruh.

25
Citrate Hijau (-) Negatif (-) : tidak terjadinya
perubahan warna media dari hijau
menjadi biru.
Positif (+) : terjadinya perubahan
warna media dari hijau menjadi
biru
Urease Kuning (-) Negatif (-) : tidak terjadi perubahan
warna media menjadi pink/merah
Positif (+) : terjadi perubahan
warna media menjadi pink/merah
jambu

Glukosa Merah Negatif (-) : tidak terjadi perubahan


kekuningan(+) warna media dari merah menjadi
Durham tidak kuning, artinya isolat tidak
terangkat memfermentasi gula Positif (+) :
Laktosa Merah terjadi perubahan warna media dari
Kekuningan(+) merah menjadi kuning. Artinya
Durham tidak isolat memfermentasi gula.
terangkat
Maltosa Merah
Kekuningan(+)
Durham tidak
terangkat
Manitol Merah
Kekuningan(+)
Durham tidak
terangkat
Hasil Escherechia coli
Identifikasi
Uji TSIA merupakan uji yang digunakan untuk membedakan antara
kelompok Enterobactericeae dengan kelompok lainnya. Pada medium
TSIA mengandung tiga macam gula-gula yaitu glukosa, laktosa, dan
sukrosa. Perubahan yang diamati setelah inkubasi adalah warna medium,
terbentuknya gas dan H2S. H2S diproduksi oleh beberapa jenis
mikroorganisme melalui pemecahan asam amino yang mengandung unsur
belerang seperti lisin dam metionin, H2S juga dapat diproduksi oleh
senyawa belerang anorganik seperti tiosulfat, sulfit, dan sulfat seperti yang
terkandung dalam media TSIA, H2S akan bereaksi dengan senyawa-
senyawa yang terdapat pada media sehingga dikatakan positif H 2S jika
terbentuk logam sulfit (Mahon C, dkk, 2015). Hasil pengamatan (Tabel
4.1) bakteri yang diisolasi dari media EMBA menghasilkan koloni yang

26
berwarna hijau kilap mengahasilkan uji TSIA (asam,asam, negatif H 2S,
dan positif gas). Hal ini sesuai dengan hasil uji fermentasi karena bakteri
mampu memfermentasi seluruh karbohidrat. Menurut Mahon C, dkk
(2015) menyatakan bahwa bakteri yang menghasilkan koloni berwarna
hijau kilap logam dan hasil uji TSIA (Asam, asam, dan gas), hasil ini
sesuai dengan sifat biokimia bakteri Escherichia coli.

Gambar 4.4 Media TSIA dari koloni media

27
Menurut Mahon dkk (2015) pada bakteri Escherichia coli sebagian
besar didapatkan hasil indol positif. Berdasarkan hasil pengamatan media

SIM yang ditumbuhkan koloni dari EMBA, menunjukkan hasil positif


indol yang ditandai dengan terbentuknya cincin berwarna merah dan tidak
terbentuk H2S. Media SIM merupakan media semisolid yang
direkomendasikan untuk uji kualitatif pada bakteri Gram negatif untuk
melihat produksi sulfid, pembentukan indole, dan pergerakan bakteri.
Media SIM digunakan untuk membedakan famili Enterobactericeae yang
menggunakan asam amino sebagai sumber energi, asam amino triptofan
merupakan komponen asam amino yang terdapat pada protein sehingga
asam amino ini dengan mudah digunakan oleh mikroorganisme dan
apabila asam amino triptofan dihidrolisis oleh enzim triptofanase akan
menghasilkan indol, asam piruvat, danammonia. Hasil positif pada uji
indol akan terbentuk warna merah dengan penambahan reagen kovach atau
erlich yang mengandung p-dimethylamino-benzaldehide yang
menghasilkan senyawa para amino benzaldehid yang tidak larut dalam air
dan membentuk warna merah pada permukaan medium (Michael, 2009).
Gambar 4.5 Media SIM dari koloni media EMBA
Uji Simmon Citrat bertujuan mendeteksi kemampuan suatu organisme
untuk memanfaatkan sitrat sebagai satu-satunya sumber karbon dan energi.
Bakteri diinokulasi pada medium yang mengandung natrium sitrat dan
indikator pH bromothymol biru. Media juga mengandung garam amonium
anorganik, yang digunakan sebagai satu-satunya sumber nitrogen.
Pemanfaatan sitrat melibatkan enzim citrat permease, yang memecah sitrat
menjadi oksaloasetat dan asetat. Oksaloasetat lebih lanjut dipecah menjadi

28
piruvat dan CO2. Produksi Na2CO3 serta NH3 dari pemanfaatan natrium
sitrat dan garam amonium masing-masing menghasilkan pH basa. Hal ini
menyebabkan perubahan warna medium dari hijau menjadi biru. Simmons
Citrate Medium mengandung amonium dihidrogen fosfat, natrium klorida,
natrium sitrat. Magnesium sulfat, agar, bromtimol biru, aquades dan
memiliki pH 6,9 (Mahon C, 2015). Hasil pengamatan untuk uji sitrat
adalah negatif pada Eschericia coli yang ditunjukkan tidak tidak adanya
perubahan warna pada media uji sitrat. Eschericia coli merupakan salah
satu bakteri yang tidak menggunakan sitrat sebagai sumber karbon
lingkungannya.

Gambar 4.6 Media SCA dari koloni media EMBA


Media urea digunakan untuk mengetahui adanya aktifitas urease pada
mikroorganisme. Interpretasinya adalah apabila urea dihidrolisis, amoniak
akan dibebaskan dan menyebabkan medium berubah menjadi alkalis. Hasil
positif apabila berwarna merah dan hasil negatif apabila berwarna kuning
atau tidak ada perubahan warna. Pada media urease tidak menunjukkan
adanya perubahan warna. Media tetap berwarna kuning yang berarti

29
bakteri tidak dapat mengurai urea. Uji Urease berguna untuk
mengidentifikasi organisme yang mampu menghidrolisis urea yang dapat
menghasilkan amonia dan karbon dioksida terutama untuk mengetahui
mikroorganisme tersebut mempunyai enzim urease atau tidak. Urease
merupakan enzim konstitutif yang menghidrolisis urea menjadi karbon
dioksida dan amonia. Hasil pengujian isolat menunjukkan tidak ada
perubahan warna menujukkan tidak adanya aktifitas urease pada
mikroorganisme.
Gambar 4.7 Media Urease dari koloni media EMBA
Berdasarkan Tabel 4.1 hasil fermentasi karbohidrat dari koloni media
EMBA menunjukkan hasil mampu memfermentasi seluruh karbohidrat
(glukosa, laktosa, maltosa, mannitol) Menurut MahonC,dkk (2015) apabila
bakteri mampu memfermentasi dapat dilihat dengan adanya perubahan
warna merah menjadi kuning pada media dikarenakan adanya indikator
Phenol red yang bereaksi dengan keadaan asam, asam yang terbentuk akan
diubah menjadi H2 dan CO2 sehingga menghasilkan gas, gas tersebut
dapat dilihat pada tabung durham. Pada pengujian ini bakteri Escherichia
coli ditunjukkan dengan warna koloni hijau kilap logam yang dapat
memfermentasi semua karbohidrat dan tidak disertai gas pada tabung
durham. Sehingga dari isolasi
A dan
B identifikasi
C bakteri
D berdasarkan sifat dan
karakteristik serta uji konfirmasi biokimia diduga bakteri yang terdapat
pada feses sapi adalah bakteri Escherichia coli.

30
Gambar 4.8 Hasil Fermentasi Karbohidrat dari media EMBA ( A: Glukosa, B:
Laktosa, C: Manitol, D: Maltosa)
4.3.3 Identifikasi Bakteri Secara Makroskopik dan Mikroskopik
Isolasi bakteri primer dilakukan dengan menggunakan media
tethrationate broth (TB) sebagai media primer. Media tethrationate broth
(TB) merupakan media selektif enrichment yang biasanya digunakan
untuk isolasi bakteri Salmonella dan bakteri lainnya. Media tethrationate
broth (TB) secara selektif menghambat pertumbuhan bakteri koliform
namun memberi kesempatan sebagai media pertumbuhan untuk bakteri
enteric pathogen. Sifat selektifitas ini bergantung pada kemampuan dari
thiosulfat dan tetrathionate (terbentuk dari penembahan iodin dan
Potasium iodida) yang bekerja sama menghambat pertumbuhan bakteri
komensal koliform (MacFaddin J., 1985). Isolasi dilakukan dengan

memasukkan potongan sampel feses yang mengalami kelainan pada media


Tethrationate broth lalu diinkubasi selama 24 jam. Setelah diinkubasi, media
tethrationate yang telah dicampur sampel feses tampak keruh. Hal ini
menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri, selanjutnya dilakukan
penanaman pada media Salmonella Shigella Agar (SSA) dan diinkubasi
lagi selama 24 jam. Menurut Zimro MJ et al (2009), bentuk koloni
Salmonella dan Proteus sp sangat mirip yaitu tidak berwarna/colourless
dengan adanya lingkaran hitam ditengah. Hal ini yang menjadi alasan
untuk melakukan uji konfirmasi dengan menggunakan uji biokimia.

Gambar 4.9 Koloni pada media SSA

Isolasi pada media SSA selanjutnya dilakukan pemeriksaan


mikroskopis dengan uji pewarnaan Gram. Pada pewarnaan bakteri yang

31
dapat ditentukan hanyalah bentuk bakteri yakni coccus/bulat ataukah
basil/batang dan jenis gram suatu bakteri. Pada pewarnaan gram, warna

merah menunjukkan bakteri gram negatif dan warna ungu menunjukkan


bakteri gram positif (David B. Fankhauser, 1983). Hasil pemeriksaan
mikroskopis dengan pewarnaan gram didapatkan bakteri gram negatif
dengan bentuk batang pendek (Gambar 4.10). Bakteri Proteus sp tumbuh
dalam bentuk yang bulat dan besar (coco bacilli), berpasangan, dan
membentuk rantai. Sedangkan untuk bakteri Salmonella sp merupakan
bakteri bentuk batang, pada pengecatan gram berwarna merahmuda (gram
negatif). Salmonella sp. berukuran 2 µ sampai 4 µ × 0,6 µ, mempunyai
flagel (kecuali S. gallinarum dan S. pullorum), dan tidak berspora.
Habitat Salmonella sp. adalah di saluran pencernaan (usus halus) hewan
(Todar, 2008).

Gambar 4.10. Pewarnaan gram pada media SSSA (perbesaran 1000x)

4.3.4 Identifikasi Bakteri Secara Biokimia


Berdasarkan hasil isolasi bakteri media SSA asal feses sapi,
diperlukan uji lanjutan seperti uji biokimia untuk identifikasi sifat bakteri.
Uji biokimia yang dilakukan antara lain menggunakan Triple Sugar Iron
Agar (TSIA), Sulfide Indol Motility (SIM), Simmons Citrate Agar (SCA),
Urease, dan uji gula-gula (Manitol, glukosa, laktosa, dan maltosa). Media
gula-gula ini digunakan untuk mengetahui apakah bakteri asal feses sapi
ini dapat memfermentasi semua jenis glukosa dan media biokimia
digunakan untuk mengetahui kemampuan-kemampuan spesifik dari
bakteri yang berasal dari feses sapi. Berdasarkan hasil uji biokimia maka
dapat ditemukan hasil sebagai berikut:

32
Tabel 4.2 Hasil Identifikasi Uji Biokimia Bakteri asal feses sapi
TSIA SIM
Miring tegak Gas H2S Indol H2S

Asam Asam + + + +
UREA (+) SCA (+)

Berdasarkan Tabel 4.2, pada uji TSIA untuk koloni SSA asal feses
sapi, pada bagian miring dan bagian tegak menunjukkan hasil negatif
yang menandakan media bersifat asam (media berwarna kuning). Selain
itu juga terbentuk gas yang ditandai terbentuk gelembung gas pada media

33
dan positif H2S yang ditandai dengan terjadinya perubahan warna menjadi
hitam, karena mampu mendesulfurasi asam amino dan methion yang akan
menghasilkan H2S. Triple Sugar Iron Agar (TSIA) merupakan media
deferensial yang digunakan dalam menentukan fermentasi karbohidrat dan
produksi H2S. Selain itu, uji TSIA ini juga dapat mendeteksi adanya gas
hasil dari metabolisme karbohidrat. Gas positif dikarenakan gas yang
dihasilkan oleh fermentasi karbohidrat akan muncul sebagai celah di
media atau akan mengangkat agar-agar dari bagian bawah tabung.
Pengujian dari media Sulfide Indol Motility (SIM) menunjukkan reaksi
sulfide terbentuk endapan hitam pada media, karena bakteri ini mampu
mendesulfurasi cysteine yang terkandung dalam media SIM. Reaksi indol
menunjukan terbentuknya cincin merah pada permukaan media setelah
ditetesi chloroform dan reagen Covac’s.
Hasil pengujian pada media SCA diperoleh hasil positif yaitu terjadi
perubahan warna dari hijau menjadi biru, hal ini menandakan bahwa
bakteri membutuhkan sitrat dalam proses metabolismenya dan
dikarenakan bakteri mempunyai enzim sitrat permiase yang merupakan
enzim pembawa sitrat. Sedangkan hasil uji urease pada koloni SSA asal
feses sapi menunjukkan hasil positif sebab terjadi perubahan warna dari
kuning menjadi merah muda, artinya bakteri mampu menghidrolisis urea
dan membentuk ammonia serta pada medium urea terdapat koloni di
daerah sekitar streak. Hal ini dikarenakan oleh bakteri yang ditanam
membutuhkan urea untuk proses metabolismenya.
Hasil dari uji gula-gula didapatkan hasil positif pada medium glukosa,
manitol dan maltose yaitu adanya perubahan warna merah menjadi merah
kekuningan pada Gambar 4.11 yang menandakan bahwa bakteri ini
membentuk asam dari fermentasi glukosa, maltosa dan manitol.

34
A B C D

Gambar 4.11 Hasil Fermentasi Karbohidrat dari media SSA ( A: Glukosa, B:


Laktosa, C: Manitol, D: Maltosa)
Tabel 4.3 Hasil Identifikasi Koloni Bakteri dari Media SSA
Karakteristik Jenis Isolat Interpretasi
Media SSA
Uji Gram Gram negatif Gram positif : bakteri
berwarna ungu
Gram negatif : bakteri
berwarna merah
(melarutkan zat lipid
selama pencucian
dengan alkohol)
Morfologi sel Batang pendek
TSIA - Basa - Tidak memfermentasi
- Basa semua karbohidrat :
- H2S (+) hitam bila pada dasar (butt)
- Gas (+) media berwarna
merah (bersifat basa)
dan lereng (slant)
berwarna merah
(bersifat basa)
- memfermentasi
metionin dan sistein
(H2S)
- pecahnya dan
terangkatnya agar
(Gas)
Indol (SIM) - Indol (+) Negatif (-) ditunjukkan
- H2S (+) dengan pertumbuhan
hanya terlihat
disepanjang garis
inokulasi dan media
tidak menjadi keruh

35
Positif (+) ditunjukkan
dengan pertumbuhan
bakteri menyebar
menjauhi garis
inokulasi (pergerakan)
sehingga media manjadi
keruh.
Citrate Biru (+) Negatif (-) : tidak
terjadinya perubahan
warna media dari hijau
menjadi biru.
Positif (+) : terjadinya
perubahan warna media
dari hijau menjadi biru.
Menggunakan citrat
sebagai salah satu/satu-
satunya sumber karbon
Urease Merah (+) Negatif (-) : tidak
terjadi perubahan warna
media menjadi
pink/merah
Positif (+) : terjadi
perubahan warna media
menjadi pink/merah
jambu. Artinya isolat
memecah urea
membentuk amoniak
Uji Gula-gula :
Glukosa Kuning kemerahan (+) Negatif (-) : tidak
Durham tidak terangkat terjadi perubahan warna
Laktosa Merah (-) media dari merah
Durham tidak terangkat menjadi kuning, artinya
isolat tidak
Maltosa Merah kemerahan(+) memfermentasi gula
Durham tidak terangkat Positif (+) : terjadi
Manitol Kuning kemerahan(+) perubahan warna media
Durham tidak terangkat dari merah menjadi
Hasil Identifikasi Proteus sp kuning. Artinya isolat
memfermentasi gula

Berdasarkan hasil isolasi pada media primer tethrationate broth yang


dilanjutkan pada media SSA kemudian pewarnaan gram, uji biokimia, dan
uji fermentasi gula, menurut Manos (2006), bahwa koloni terpisah tersebut
adalah bakteri Proteus sp. Ciri bentuk koloni yang kecil dengan adanya
H2S pada media SSA, pada pewarnaan gram diperoleh gram negatif

36
dengan bentuk batang/basil pendek, dan pada uji biokimia sebagai berikut
TSIA basa/basa dengan adanya H2S, SIM (indol positif dan H2S positif),
sitrat positif, urea positif, serta mampu membentuk asam dari fermentasi
glukosa, maltose dan manitol. Bakteri Proteus sp. Dapat berada di saluran
gastrointestinal atau saluran pencernaan. Hal tersebut diperkuat oleh
pendapat Hoeniger dan Cinitis (1969), yang menyatakan bahwa beberapa
jenis Proteus sp dapat menyebar luas ke lingkungan dengan cepat dan
dapat diisolasi dari saluran pencernaan mamalia, unggas, dan beberapa
jenis reptil.
Pelczar dan Reid (1958) menyatakan bahwa Proteus sp sering
ditemukan di air, tanah, udara dan makanan. Hewan yang mendapatkan
makanan dari pakan yang tercemar Proteus sp dapat mengalami diare. Hal
ini sesuai dengan pemeriksaan anamnesa dan gejala klinis bahwa sapi pada
pemeriksaan ini menunjukkan gejala diare. Selain dari pakan yang
tercemar, bakteri ini juga dapat menularkan ke hewan lain dari feses yang
terinfeksi Proteus sp.

4.4 Pembahasan
4.4.1 Infeksi Bakteri Escherichia coli
Berdasarkan hasil pemeriksaan feses sapi, bakteri yang ada adalah
E.coli. Escherichia coli adalah bakteri yang merupakan bagian dari
mikroflora yang secara normal ada dalam saluran pencernaan manusia dan
hewan berdarah panas. E.coli juga merupakan bakteri indikator kualitas air
karena keberadaannya di dalam air mengindikasikan bahwa air tersebut
terkontaminasi oleh feses, yang kemungkinan juga mengandung
mikroorganisme enterik patogen lainnya. E. coli menjadi patogen jika
jumlah bakteri ini dalam saluran pencernaan meningkat atau berada di luar
usus.
Morfologi E.coli
E. coli tergolong bakteri gram negatif, berbentuk batang yang tidak
membentuk spora, tidak tahan asam dan ukurannya 2−3 x 0,6 µm. Bakteri

37
ini dapat ditemukan pada berbagai infeksi pada hewan dan merupakan agen
primer atau sekunder dari infeksi tersebut. Berdasarkan penyakit yang
ditimbulkannya, dapat digolongkan menjadi dua kelompok. Pertama, E. coli
yang bersifat oportunistik, artinya dapat menyebabkan penyakit dalam
keadaan tertentu, misalnya kekurangan makanan atau mengikuti penyakit
lain. Kedua, bersifat enteropatogenik/ enterotoksigenik, E. coli yang
mempunyai antigen perlekatan dan memproduksi enterotoksin sehingga
dapat menimbulkan penyakit (Tabbu, 2000).
E. coli menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan beberapa kasus
diare. Bagian usus yang paling banyak mengandung kuman tersebut adalah
jejunum, ileum dan sekum. Jenis E. coli yang terdapat di dalam usus tidak
selalu sama dengan jenis yang ditemukan pada jaringan lain. Sebagai agen
penyakit sekunder,E. coli sering mengikuti penyakit lain, misalnya pada
berbagai penyakit pernafasan dan pencernaan yang menyerang hewan. Cara
Penularan
Bakteri E. coli berasal dari kotoran hewan dan manusia serta
kontaminasi pada proses yang kotor. E. coli dapat mencemari daging pada
saat pemotongan maupun proses pengolahan daging. Salah satu faktor
pencemaran E. coli adalah peralatan pemotongan daging serta air pencucian
daging (sanitasi pengolahan). Daging saat dipotong pada saat panas
mengeluarkan energi yang menjadi sumber kontaminan yang baik bagi E.
coli. Penyebab akibat adanya perubahan energi yang memicu kinerja
daripada enzim yang dibakar pada autolisis dan memberikan peluang bakteri
berkembang lebih cepat pada kondisi autolisis. E. coli dapat membentuk
koloni pada saluran pencernaan manusia maupun hewan dalam beberapa
jam setelah kelahiran. Faktor predisposisi pembentukan koloni ini adalah
mikroflora dalam tubuh masih sedikit, rendah kekebalan tubuh, faktor stres,
pakan, dan infeksi agen patogen lain. Kebanyakan E. coli memiliki virulensi
yang rendah dan bersifat oportunis (Songer dan Post 2005). Ditjenak (1982)
melaporkan bahwa E. coli keluar dari tubuh bersama tinja dalam jumlah
besar serta mampu bertahan sampai beberapa minggu.
Faktor Predisposisi

38
hewan muda lebih sensitif dibandingkan dengan umur dewasa. Faktor
pendukung timbulnya kolibasilosis antara lain adalah sanitasi atau disinfeksi
yang kurang, sumber air minum yang tercemar oleh bakteri, sistem
perkandangan dan peralatan kandang yang kurnag memadai. (Pudjiatmoko,
2014).
Jenis bakteri E.coli patogen yang bersifat enterotoxigenic akan
menyebabkan terbentuknya akumulasi cairan di usus sehingga akan
mengalami diare (usus mengalami peradangan/enteritis).
Bentuk infeksi sistemik kolibasilosis disebabkan karena masuknya
bakteri E.coli dalam sirkulasi darah, menginfeksi berbagai jaringan melalui
luka pada usus atau saluran pernapasan (Tarmudji, 2003) :
Penanganan
Untuk enteritis akibat E.coli pengobatan akan efektif, bila diberikan
pada awal kejadian dan dianjurkan untuk dilakukan uji sensitivitas
terhadap antibiotik dalam aplikasinya. Untuk pengendalian penyakit ini,
harus ditujukan pada perbaikan manajemen peternakan, meliputi
sanitasi/desinfeksi mesin perah, program pencegahan penyakit dan
vaksinasi yang sesuai. (Tarmudji, 2003).
Dalam pencegahan penyakit di suatu peternakan komersial, harus
dilakukan penerapan program vaksinasi dan kesehatan yang terkoordinasi
biosekuriti. Untuk itu, strategi pencegahan infeksi yang berbasis
pengadaan bibit yang bebas penyakit merupakan suatu hal penting yang
harus diperhatikan. Oleh karena itu, dalam pengendalian kolibasilosis
sebaiknya dimulai dari aspek manajemen pada pembibitan, mesin perah
dan kandang (Pudjiatmoko, 2014).
Kualitas pakan, sumber air minum yang bebas bakteri, sistem
perkandangan yang baik, sanitasi/ desinfeksi yang ketat, program vaksinasi
yang sesuai dengan situasi dan kondisi peternakan, serta pengaturan
pekerja perlu dijaga secara ketat. Pencegahan berbagai penyakit
pencernaan dan penyakit yang bersifat imunosupresif hendaklah
mendapatkan prioritas utama (Tarmudji, 2003).
4.4.2 Infeksi bakteri Proteus sp

39
Proteus sp dan Sifat Pertumbuhannya
Proteus sp. tidak termasuk dalam famili Enterobacteriaceae,
bakteri bentuk batang , gram negatif, tidak berspora, tidak berkapsul, flagel
peritrik, ada yang coco bacili, polimorfik, berpasangan atau membentuk
rantai, kuman ini berukura 0,4-0,8 x 1,0-0,3 mm. Bakteri Proteus sp.
Termasuk dalam bakteri non fruktosa fermenter, bersifat fakultatif
aerob/anaerob. Menurut Rozalski dkk (1997), bakteri ini merupakan flora
normal pada saluran cerna manusia dan hewan. Bakteri Proteus sp. bersifat
oportunis yaitu secara normal bakteri ini berada didalam tubuh hewan
dalam jumlah yang terkendali. Tetapi pada saat kondisi hewan menurun,
akibat stres atau sakit misalnya, bakteri ini berkembang menjadi sifat
patogen (Dulaimi, 2009).
Penyebaran Proteus sp.
Penyebaran penyakit oleh Proteus sp. Melalui air minum, pakan
dan kemungkinan bakteri ini untuk masuk ke tubuh melalui luka yang
menyebabkan infeksi pada saluran kemih serta dapat menyebabkan diare
pada hewan.

Patogenitas Proteus sp.


Proteus sp. Termasuk bakteri patogen, menyebabkan infeksi
saluran pencernaan. Proteus sp. Ditemukan sebagai penyebab diare pada
hewan. Proteus sp. Termasuk bakteri patogen, menyebabkan infeksi
saluran kemih atau kelainan bernanah seperti abses, infeksi luka. Proteus
sp. Ditemukan sebagai penyebab diare pada anak ayam maupun sapi dan
dapat menmbulkan infeksi pada manusia. Penyebaran penyakit oleh
Proteus sp. Melalui air, kemungkinan bakteri ini untuk masuk ke tubuh
dan masuk melalui luka yang dapat menyebabkan infeksi pada saluran
kemih serta dapat menyebabkan diare.
Gejala Klinis
Salah satunya gejala klinis yang terlihat akibat infeski dari Proteus
sp. adalah terlihatnya perubahan konsistensi tinja (menjadi cair), dengan
darah atau lendir. Hal ini terjadi akibat Proteus sp. yang menginfeksi

40
saluran pencernaan. Infeksi saluran kemih yang simtomatik gejalanya
bergantung pada umur penderita dan lokalisasi infeksi di dalam saluran
kemih. Gejala dan tanda klinik infeski saluran kemih tidak selalu lengkap
dan bahkan tidak selalu ada yaitu pada keadaan bakteriuria tanpa gejala.
Biasanya gejala lazim ditemukan adalah disuria, polakisuria dan
terdesaknya kencing atau disebut urgency urgency yang semua dapat
terjadi secara bersamaan. Rasa sakit bisa didapatkan didaerah pelvis
berupa rasa nyeri atau rasa terbakar di uretra ataupun di saluran uretra luar
sewaktu kencing maupun diluar kencing.
Diagnosa Proteus sp.
Diagnosa yang paling tempat untuk Proteus sp. adalah dengan
identifikasi melalui reaksi biokimia seperti glukosa, laktosa, sukrosa,
manitol, maltosa dan destroksa. Proteus sp. dapat memfermentasikan
glukosa dengan menghasilkan asam dan gas (Cruickshank dkk, 1973).
Bakteri ini dapat juga memfermentasikan destroksa dengan membentuk
gas, tetapi tidak memfermentasikan laktosa. Pada uji urea terdapat hasil
positif. Proteus vulgaris dapat memfermentasikan maltosa dan sukrosa
dengan cepat, tetapi tidak untuk Proteus mirabilis bakteri ini menunjukkan
reaksi negatif pada maltosa (Wilson dkk, 1964).
Pengobatan Proteus sp.
Untuk penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Proteus sp.
dapat diobati dengan sebagian besar jenis penicilin atau sefalosporin,
untuk kasus tertentu tidak cocok bila digunakan nitrofuration atau
tetrasiklin karena dapat meningkatkan resistensi terhadap ampicilin,
trimetrhoprim, dan siprofloksasin.
Pengendalian dan Pencegahan Proteus sp.
Tindakan pencegahan yang penting adalah dengan mengadakan
sanitasi mesin perah, kandang dan peralatan makan dan minum dengan
cara mendesinfeksi alat dan tempat tersebut sebelum digunakan. Selain itu
pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan manajemen dan pengamanan
biosecurity pada sebuah farm. Kemudian memelihara hewan pada
lingkungan yang dapat mencegah kontak langsung ataupun tidak langsung

41
dengan ayam terinfeksi. Pengamanan biologis yang ketat diharapkan dapat
mencegah kontak antara bakteri Proteus sp. dengan hewan lainnya
(Charles, 2002).

BAB V PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemeriksaan pada sample feses sapi yang dilakukan
maka dapat disimpulkan:
1. Cara mengisolasi dan mengidentifikasi penyebab penyakit sistem
pencernaan pada sampel feses sapi perah yang kemudian dilakukan
pewarnaan gram serta isolasi berbagai media
(EMBA,MCA,Tetrathionat broad, SSA). Sedangkan untuk identifikasi
menggunakan uji biokimia, yang terdiri dari TSIA, Urease, citrate, SIM,
Indol, dan gula – gula.
2. Berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi terhadap sampel feses sapi
potong yang diduga mengalami gangguan pencernaan oleh bakteri
berhasil diisolasi beberapa bakteri penyebabnya yaitu E. coli, dan
Proteus sp.
3.2 Saran

42
Untuk menghindari kontaminasi saat pengujian maka pengujian harus
dilakukan dengan steril.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Riza Z. 2005. Pemanfaatan Khamir Saccharomyces cerevisiae Untuk


Ternak. Balai Penelitian Veteriner: Bogor

Arch G. Mainous. 2010. Management of Antimicrobials in Infectious Diseases.


Humana Press

Baehaqi, K.Y., P.A.S, Putriningsih dan I.W. Suwardana. 2015.Isolasi dan


Identifikasi Escherichia Coli O157:H7 dada Sapi Bali Di Abiansemal,
Badung, Bali. Indonesia Medicus Veterinus. 4(3) : 267-278

Buchanan, R,E., Gibbons, N.E. 2003. Bergey’s Manual of Determinative


Bacteriology. USA: The William & Wilkins Company Baltimore

Church DC, Pond WG. 1979. Basic Animal Nutrition and Feeding. Ed ke-3. New
York: J Wiley.

Erwanto. 1995. “Optimalisasi Sistem Fermentasi Rumen melalui Suplementasi S.


Defaunasi, Reduksi Emisi Methan dan Stimulasi Pertumbuhan Mikroba

43
pada Ternak Ruminansia”. Disertasi. Program Pascasarjana. Institute
Pertanian Bogor. Jawa Barat.

Iskandar, S. 2010. Seri Peningkatan Manfaat Sumberdaya Genetik Tenak : Usaha


Tani Ayam Kampung. Balai Penelitian Ternak. Bogor.

Jawetz. E., J.L. Melnick, E.A.Adelberg. 2008. Mikrobiologi untuk profesi


kedokteran. ECG. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta.

Mahon C, Lehman D, Manuselis G. Texbook of diagnostic microbiologi 4th ed.


USA: Saunders Elsevier, 2015. 420-853P

Pelczar Michael. 2009. Dasar-dasar mikrobiologi. Jakarta: UI press.

Sauri S. 2011. Pengetahuan dan Sikap Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan


Institut Pertanian BogorTerhadap Foodborne Disease. Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Subronto. 2007. Ilmu Penyakit Ternak I-a. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta

Surjawidjaja, J.E., O.Ch. Salin, P. Bukitwetan. Dan M. Lesmana. 2007.


Perbandingan agar MacConkey, Salmonella-Shigella,dan xylose lysine
deoxycholate untuk isolasi Shigella dari usap dubur penderita diare.
Universa Medicina. Vol.26-No.2

Todar. 2008. Strategi Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Salmonella pada


Industri Perunggasan. Penyakit Zoonosis, Bogor.

Wahyuni, I., M. Alwi, dan Umrah. 2013. Deteksi Bakteri Coliform DAN
Escherichia coli Pada Minuman Es Jeruk Di Cafe Lesehan Pantai Talise
Palu. Biocelebes, Vol. 7 No. 2

Zimro MJ, Power DA, Miller SM, Wilson GE, Johnson JA. 2009. Difco and BBL
Manual of Microbiology Culture Media. United States (ISBN 0-9727207-
1- 5):Becton, Dickinson and Company. Ed. Ke-2

44
BAGIAN 2.
VIROLOGI

45
Newcastle disease

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peternakan unggas merupakan salah satu peluang bisnis yang
menjanjikan karena dapat dijangkau oleh masyarakat menengah kebawah.
Namun sejumlah tantangan bisa menjadi penghambat usaha yang bisa
mengubah keuntungan menjadi kerugian. Salah satu tantangan dan hambatan
dalam usaha peternakan adalah manajemen pemeliharaan kesehatan. Salah
satu penyakit yang sangat penting di Indonesia dimana sangat cepat
penyebarannya dan menimbulkan banyak kerugian besar karena memiliki
tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi yaitu penyakit Newcastle
Disease (ND).
Newcastle disease (ND) merupakan suatu penyakit pernapasan dan
sistematik, bersifat akut, mudah sekali menular, yang disebabkan oleh virus
dan menyerang berbagai jenis unggas terutama ayam (Tabbu, 2000). Penyakit
ini mempunyai angka mortalitas yang tinggi mencapai 80-100%, hal ini
dikarenakan seringkali terjadi pada kelompok ayam yang tidak memiliki

46
kekebalan atau pada kelompok yang memiliki kekebalan rendah akibat
terlambat divaksinasi atau maupun kegagalan program vaksinasi (Rahayu,
2010). Penyakit Newcastle disease (ND) disebabkan oleh golongan virus
ribonukleat acid RNA yaitu virus dari genus paramyxovirus, yang memiliki
hemaglutinin sehingga dapat mengikat permukaan eritrosit satu dengan yang
lainnya dan menyebabkan hemaglutinasi (Ernawati dkk, 2007).
Pemeriksaan serologik merupakan salah satu cara untuk mendiagnosa
penyakit Newcastle Disease (ND). Salah satu uji serologi yang dapat
dilakukan yaitu dengan uji hemaglutinasi (HA) hemaglutinasi inhibisi (HI).
Pemeriksaan ini dipakai untuk mengetahui ada tidaknya pertumbuhan virus
ND, mengevaluasi tingkat keberhasilan vaksinasi, respon kekebalan yang
normal pada ayam dan mengukur titer antibodi terhadap virus ND. Diagnosa
definitif terhadap ND tersebut dapat dilakukan dengan cara isolasi dan
identifikasi virus dengan menggunakan telur ayam bertunas (TAB) umur 8-11
hari, yaitu metode paling praktis dan sering digunakan dalam pembiakan
virus. Isolasi virus dilakukan untuk mengidentifikasi suatu jenis virus
penyebab infeksi berdasarkan adanya gejala patologi penyakit. Bahan isolasi
virus berasal dari organ ayam yang diduga terinfeksi. TAB yang akan
digunakan sebagai perbenihan virus harus memenuhi beberapa syarat yaitu
berasal dari ayam sehat dan tidak pernah tertular penyakit, serta tidak pernah
divaksin atau yang biasa disebut dengan Specified Pathogen Free (SPF).
Pertumbuhan virus pada TAB juga dipengaruhi beberapa faktor yaitu umur
embrio, konsentrasi, volume inoculum, suhu (37ºC) dan kelembaban incubator
(60–65%) (Ernawati dkk, 2007). Dengan dilakukanya pengujian virologi
dengan menggunakan sampel unggas sehingga dapat diidentifikasi agen
infeksius penyebab suatu penyakit. Pemeriksaan virologi sangat penting
dilakukan untuk mengetahui penyebab suatu penyakit.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara mendiagnosa ayam yang diduga terkena Newcastle
Disease (ND) dengan metode HA-HI?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui cara mendiagnosa ayam yang diduga terkena

47
Newcastle Disease (ND) dengan metode HA-HI.
1.4 Manfaat
1. Meningkatkan pemahaman tentang melakukan langkah-langkah
pemeriksaan terhadap ayam yang sakit diduga terinfeksi oleh virus
Newcastle Disease (ND)
2. Menambah wawasan dan meningkatkan keterampilan calon dokter hewan
dalam mediagnosa penyakit yang disebabkan oleh virus secara laboratorik.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 New Castle Disease (ND)


Newcastle Disease (ND) adalah penyakit saluran pernafasan,
pencernaan, dan sistem syaraf pada unggas yang disebabkan oleh serotype
Avian Paramyxovirus tipe-1 (APMV-1). Penyakit yang dikenal dengan nama
”Tetelo” ini merupakan salah satu penyakit yang sangat penting pada
peternakan unggas. Newcastle Disease Virus (NDV) tidak hanya menyerang
unggas ayam, tetapi juga dapat menyerang berbagai macam unggas lain
seperti kalkun, merpati, angsa, bebek, beberapa unggas liar, termasuk unggas
air. Penyebaran dari virus ini dapat mencapai radius 5 km, melalui kontak
udara (Quinn et al, 2002).
2.1.1 Morfologi Virus ND
Penyebab ND adalah virus yang tergolong Paramyxovirus, termasuk
virus ss-RNA yang berukuran 150-250 milimikron, dengan bentuk
bervariasi tetapi umumnya berbentuk spherik. Beberapa strain memiliki

48
bentuk pleomorfik atau bulat panjang. Virus ND memiliki amplop dan
kapsid berbentuk heliks yang simetris. Virus ND atau avian
paramyxovirus serotype 1 (APMV-1) termasuk genus Anulavirus. Virus
RNA dengan total panjang genom sekitar 15,2 kb menyandi 6 protein
penting, yakni nucleocapsid (N), phosphoprotein (P), matrix (M), Fusion
(F), hemagglutinin neuraminidase (HN), dan RNA-dependent RNA
polymerase (L). Ada dua protein penting pada virus ND, yakni HN dan F
(Recco, 2011).
Protein H merupakan protein yang melekat dan mengikat pada
reseptor bagian luar membrane sel inang, termasuk sel darah merah.
Perlekatan virus ke sel darah merah adalah sifat penting yang digunakan
di laboratorium untuk mendeteksi keberadaan virus dan untuk
mendeteksi antibody terhadap virus. Bagian N (neuraminidase)
merupakan enzim aktif yang membantu dalam pelepasan virus dari
membran sel inang. Aktivitas enzim ini mempengaruhi waktu yang
dibutuhkan bagi virus untuk mengelusi dari sel darah merah (Recco,
2011).
Protein F berfungsi untuk fusi antara amplop virus dengan
membrane sel inang. Hal ini memungkinkan penetrasi sel inang oleh
genom virus. Pada saat fusi terjadi, bentuk protein fusi asli harus diubah.
Perubahan ini terjadi ketika protease inang membelah atau memotong
protein virus pada tempat pembelahan spesifik. Setelah ini terjadi, protein
fusi diaktifkan dan pada saat inilah terjadinya fusi. Urutan asam amino di
sekitar tempat pembelahan akan menentukan berbagai enzim protease
yang dapat mengaktifkan pembelahan protein. Untuk selanjutnya akan
menentukan virulensi virus (Recco, 2011).

49
Gambar 2.1 Morfologi Virus ND (Recco, 2011).

Virus ND peka terhadap panas, cepat mati pada suhu di atas 50 °C,
tetapi tahan 1 minggu pada suhu 37°C, 2 bulan pada suhu 22°C-28°C dan
berbulan-bulan pada karkas beku. Virus tahan pada perubahan pH 2- pH
10, tetapi peka terhadap sinar ultra violet dan sinar matahari. Bahan yang
bersifat virusidal antara lain formalin (1-2%), phenol (1:20) dan kalium
permanganate (KMnO4) dalam larutan 1:5000 atau dengan fumigasi,
alcohol 70%, kresol 3%. Virus ND dapat tumbuh pada telur ayam
berembrio (TAB) umur 9-12 hari pada cairan allantois. Selain itu virus
ND juga bisa ditumbuhkan pada kultur sel fibroblast dan sel ginjal
embrio ayam, serta sel baby hamster kidney (BHK) (Murphy, 2007).
2.1.2 Penularan ND
Newcastle disease dapat menginfeksi lebih dari 250 spesies dari 27
golongan unggas. Sebagian jenis unggas ada yang terserang virus ini
menujukkan gejala sementara ada beberapa jenis unggas yang lain tetap
tidak menunjukkan gejala. Contoh jenis unggas yang peka terhadap
penyakit ini antara lain ordo Psittaciformes, Struthioniformes,
Columbiformes, Charadriiformes, Strigiformes, Pelecaniformes, dan
Passeriformes. Sedangkan jenis unggas yang resisten ataupun tidak
menunjukkan gejala klinis walaupun terinfeksi ND antara lain golongan
Raptor dan ordo Anseriformes. Tingkat kejadian dan kematian terhadap
infeksi ND bergantung pada jenis atau strain virus yang menyerang.
Selain pada golongan Unggas, penyakit ini juga dapat menyerang
manusia. Manifestasi yang terjadi adalah konjungtivitis, oedema pada

50
kelopak mata, dan hemoragic pada bagian sub-conjuctival dilaporkan
terjadi 24 jam setelah terinfeksi VND pada bagian mata (Swayne dan
King 2003). Berdasarkan Goebel et al. (2007), Manifestasi ini dapat
menjadi akut apabila manusia yang terinfeksi memiliki kondisi
immunosupresi, karena ditemukan isolat seperti APMV-1 pada jaringan
paru-paru, urin dan feses dari pasien yang meninggal karena pneumonia.
Namun sampai saat ini masih belum ada laporan bahwa penyakit ini
dapat menyebar antar manusia (OIE 2013).
Penyebaran ND secara umum bisa terjadi melalui kontak langsung
dengan sekresi maupun eksresi unggas yang terinfeksi. Virus dapat di-
shedding-kan baik di feces maupun di sekresi respirasi. Kemampuan
masing-masing unggas dalam shedding virus berbeda-beda. Contohnya
pada ordo Gallinaceous dapat mengeksresikan virus dalam waktu 1-2
minggu sedangkan ordo Psittaciformes membutuhkan waktu lebih lama
yaitu beberapa bulan. Kemampuan bertahan hidup dari virus ini sangat
tinggi, salah satunya masih dapat bertahan hidup walaupun inangnya
telah mati. Berdasarkan Olesiuk (1951), APMV-1 dapat bertahan pada
lingkungan yang bervariasi dimungkinkan karena beberapa faktor, antara
lain kelembaban, temperature udara, dan paparan cahaya. Sumber
penularan virus dapat berasal dari eksresi/sekresi unggas yang terinfeksi,
semua bagian dari karkas, sheeding virus, maupun bekas kandang yang
pernah terinfeksi dan lingkungan yang tidak bersih. Proses penularan ND
umumnya melalui rute pencernaan (fecal/oral) dan inhalasi (Charles
2000, OIE 2013). Secara umum penularan ND terjadi secara horizontal.
Sedangkan anak ayam yang baru menetas juga dapat terinfeksi penyakit
ini dari cangkang yang terkontaminasi (Fenner et al. 1995).
2.1.3 Gejala Klinis ND
Gejala klinis yang disebabkan oleh virus ND tergantung dari starin
virus, spesies unggas, umur induk semang, status kekebalan induk
semang, ada tidaknya infeksi mikroorganisme lain, kondisi lingkungan,
dan jalur atau dosis infeksi virus ND . Pada umumnya gejala klinis yang
terlihat dari infeksi virus ND adalah bulu sayap terkulai, lesu, dan

51
anoreksia. Selain itu gejela pernafasan dengan kepala dan leher berputar
disertai diare juga terlihat. Infeksi virus ND dapat menyebabkan
penurunan produksi telur pada ayam petelur. Pada infeksi yang parah
dapat menyebabkan gangguan saraf dan sampai menimbulkan kematian
yang mendadak. Gejala penyakit akibat infeksi virus ND dimulai dengan
anoreksia diikuti peningkatan suhu tubuh yang mencapai 43oC,
selanjutnya lesu, haus, bulu yang kusam, jengger berdarah, mata selalu
tertutup, laring serta faring kering, dan bersin-bersin. Setelah sembuh
dapat mengakibatkan kerusakan sistem saraf pusat dengan tampak gejala
paresis kaki, ataksia, tortikolis, dan tremor (Nandi, 2009).
Sedangkan menurut Calnek et al. (1997), tanda-tanda klinis yang
muncul secara umum meliputi gangguan pada sistem saraf, sistem
pernafasan, sistem gastrointestinal dan juga sistem reproduksi.
Morbiditas biasanya tinggi dan mortalitas bervariasi antara 0-100 %.
Mortalitas yang lebih tinggi terlihat pada ayam yang tidak divaksinasi
tetapi terkena infeksi tipe velogenik. Lima manifestasi klinis ND menurut
Beard dan Hanson (1984), diidentifikasikan sebagai berikut :
1. Viscerotropik Velogenik ND (VVND)
Jenis ini merupakan jenis yang sangat virulen untuk ayam, tetapi
kurang virulen pada kalkun. Gejala Klinis yang diperlihatkan adalah
gangguan pernafasan parah, sering terlihat adanya lesi hemoragic
pada usus dan menyebabkan kematian sampai 90 %.
2. Neurotropik Velogenik ND (NVND)
Bersifat akut dan fatal pada ayam semua usia, menyebabkan
gangguan neurologis dan gangguan pernafasan.
3. Mesogenik ND
Tipe ini menyebabkan gangguan pernafasan, kadang kala
menunjukkan gejala gangguan syaraf, dan mempengaruhi kualitas
dan produksi telur serta mengakibatkan kematian sampai 10 %.
4. Lentogenik ND
Tipe ini bersifat ringan, kadang-kadang subklinis. Mempengaruhi
hewan pada segala usia. Strain ini dapat dikembangkan sebagai

52
vaksin, menghasilkan tanda-tanda ringan dengan tingkat mortalitas
yang dapat diabaikan.
5. Asimtomatik
Merupakan tipe yang sering ditemui. Jenis infeksi yang ditimbulkan
adalah infeksi subklinis pada saluran pencernaan.
Perubahan makroskopik biasanya erat hubungannya dengan galur
dan tipe patologik dari virus ND, jenis unggas, faktor lingkungan, dan
infeksi campuran dengan mikroorganisme lain. Perubahan makroskopik
yang terlihat pada penderita ND tersifat oleh adanya nekrosis dan
hemoragi pada saluran pencernaan meliputi proventrikulus, ventrikulus
dan berbagai bagian usus. Tidak dijumpai perubahan pada sistem syaraf,
kadang-kadang juga pada saluran nafas. Jika ditemukan perubahan pada
saluran nafas maka akan terlihat hemorhagi dan kongesti berat pada
trakea. Penebalan kantong udara disertai timbunan eksudat kataral
sampai mengeju pada permukaannya. Organ reproduksi mengalami
hemoragi dan perubahan warna menjadi lebih pucat (Dormants, 2001).
Gejala awal yang umum terjadi adalah gangguan pernapasan dan
serak yang diikuti dengan kelumpuhan kaki, sayap dan tortikolis leher
pada 1 atau 2 hari berikutnya (Kommers et al. 2002). Pada unggas
dewasa, penurunan produksi yang bersamaan dengan gangguan
pernapasan serta kelumpuhan terjadi 4 sampai 6 hari pasca infeksi.
Tanda-tanda lain mencakup gangguan pernapasan (terengah-engah,
batuk), gangguan syaraf (depresi, tremor otot, sayap terkulai, torsi kepala
dan leher, berputar-putar serta kelumpuhan), pembengkakan jaringan
sekitar mata dan leher, diare berair kehijauan, kualitas telur yang kasar
atau tipis dan berisi albumen encer serta produksi telur berkurang
(Charlton 2006).
2.1.4 Diagnosa ND
Diagnosa awal yang dilakukan adalah melihat gejala klinis, apabila
terdapat kematian yang mendadak tanpa adanya gejala klinis yang khas,
maka lesi post mortem dapat dijadikan sebagai salah satu petunjuk untuk
diagnosa penyakit. Diganosa banding yang digunakan adalah penyakit

53
fowl cholera, highly pathogenic avian influenza (HPAI),
laryngotracheitis, mycoplasmosis, infectious bronchitis, aspergilosis dan
permasalahan manajemen seperti ventilasi yang kurang baik dan tingkat
asupan makanan dari unggas tersebut (OIE, 2013).
Diagnosa lanjutan dapat dilakukan di laboratorium. Diagnosa
lanjutan meliputi identifikasi agen penyakit dan uji serologi. Identifikasi
agen penyakit dapat dimulai dari pengambilan sampel untuk isolasi virus.
Sampel umum yang diambil adalah sampel usap kloaka dan trackhea,
sampel organ antara lain paru-paru, ginjal, usus, limpa, otak, hati dan
jantung. Sampel yang telah diperoleh diuji lebih lanjut dengan cara
ditanam dalam Telur Embrio Tertunas Specific Pathogen Free (TET-
SPF) umur 9-11 hari. Penanaman ini berfungsi untuk mengisolasi dan
menumbuhkan agen penyebab penyakit. Setelah pengamatan selama 4
hari, Chorio Allantois Membran dipanen dan diuji keberadaan virus
dengan uji Hemaglutinasi (HA). Uji HA dapat memberikan hasil positif
untuk 10 suptipe APMV maupun 16 subtipe hemaglutinin virus A
Influenza ataupun cairan nonsteril yang terkontaminasi bakteri HA. Uji
spesifik ND dapat diakukan dengan uji Hemaglutination Inhibition (HI)
dengan antiserum standart ND.
Variasi virulensi dari VND dapat diketahui dengan melakukan
berbagai uji patogenisitas. Uji yang digunakan antara lain uji Mean
Death Time (MDT), Intravenous Pathogenicity Test (IVPT) dan uji
Intracerebral Pathogenicity Index (ICPI). Berdasarkan kesepakatan
internasional, uji yang dapat digunakan sebagai uji virulensi adalah ICPI.
Hal ini dimaksudkan untuk memperkecil kemungkinan terjadinya
kesalahan produksi virus yang tidak berasal dari ayam. Sehingga
memperkecil kemungkinan agen untuk menyebar ke lingkungan. Selain
diuji secara in vivo, variasi virulensi juga dapat dilakukan dengan
menggunakan basis molekuler dengan metode realtime Reverse
Transcriptase Polymerase Chain Reaction (rRT-PCR). Bagian yang dapat
dideteksi adalah bagian asam amino tambahan pada bagian fusion VND.
Apabila tidak terdapat asam amino tambahan pada bagian fusion, maka

54
tingkat virulensi dapat dilihat dari hasil ICPI. Dari hasil rRT-PCR
tersebut dapat dilanjutkan ke tahap sekuensing untuk mendapatkan
analisis filogenetik dari agen tersebut (OIE, 2013).
Uji laboratorium berikutnya adalah uji serologi. Uji serologi ini
dapat berfungsi melihat keanekaragaman antigen permukaan VND. uji
serologi juga dapat digunakan sebagai uji konfirmasi untuk serum
netralisasi atau enzyme-linked immunoabsorbent assay (ELISA). Dan uji
Hemaglutination Inhibition (HI) memiliki fungsi untuk menguji titer
antibody pada serum (OIE, 2013)
2.2 Tinjauan Umum Tentang Isolasi dan Identifikasi Virus
2.2.1 Telur Ayam Berembrio (TAB)
Isolasi virus ND dapat dilakukan secara in ovo menggunakan telur
ayam berembrio umur 9-12 hari specific pathogen free atau setidaknya
bebas antibodi terhadap virus tetelo. Sejauh ini inokulasi ditempatkan
pada ruang allantois dianggap yang paling peka, meskipun inokulasi pada
ruang amnion maupun pada yolk sac dapat juga dipertimbangkan.
Pertumbuhan virus dapat menyebabkan kematian embrio, meskipun antar
strain virus ND juga bervariasi. Virus dapat diisolasi dari hewan
penderita atau organ hewan yang telah mati. Virus tersebut akan mampu
hidup dan berkembang biak pada suatu sel hidup. Untuk membiakkan
birus dapat dilakukan pada hewan percobaan, kultur jaringan dan
inokulasi pda telur ayam berembrio (TAB). Tidak semua virus dapat
tumbuh baik pada masing-masing cara di atas, bahkan virus lain hanya
dapat tumbuh pada host aslinya.
Sebagai pengganti hewan percobaan dan perbenihan jaringan dapat
digunakan telur berembrio untuk isolasi dan identifikasi dari berbagai
jenis virus serta produksi vaksin. Telur berembrio yang biasa digunakan
adalah telur ayam negeri, telur ayam kampung, atau telur bebek. Umur
telur, cara penyuntikan, suhu pengeraman, dan lamanya pengeraman
tergantung dari jenis virus yang akan disuntikkan. Virus didalam TAB
dapat hidup pada beberapa bagian dari telur, tergantung dari sifat virus.
Umur TAB yang digunakan tergantung pada tempat inokulasi dan sifat

55
virus. Perlu diperhatikan, bahwa TAB harus berasal dari induk yang
sehat, tidak pernah divaksin dan tidak pernah tertular penyakit atau
spesific pathogen free (SPF).
Embrio berada dalam kantung amnion yang berisi cairan amnion
yang berwarna putih jernih. Jika akan digunakan telur untuk percobaan,
maka telur tersebut tidak boleh dicuci, karena pada bagian luar telur ada
semacam zat seperti lilin yang berfungsi melindungi telur agar kuman
tidak dapat masuk ke dalam telur. Sebelum TAB dinokulasi, harus
dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu untuk mengetahui apakah embrio
dalam TAB masih hidup. Hal ini dilakukan dengan cara meneropong
telur di depan lampu (candling). Pada embrio yang masih hidup, tampak
embrio bergerak dan pembuluh darah terlihat jelas. Sedangkan pada
embrio yang mati, pembuluh darah tidak tampak dengan jelas.
Keberhasilan dalam mengisolasi dan mengembangkan virus tergantung
pada beberapa kondisi antara lain rute inokulasi, umur embrio,
temperatur inkubasi, waktu inkubasi setelah inokulasi, volume dan
pengenceran dari inokulum yang digunakan, status imun dari kelompok
dimana telur ayam berada. Sejalan dengan banyaknya sistem untuk isolai
virus, dibutuhkan cara untuk mendeteksi infeksi virus. Bukti tidak
langsung dari infeksi virus pada embrio ayam dapat diketahui dari satu
atau lebih kejadian berikut yaitu kematian embrio, pembentukan lesi
pada CAM seperti edema atau perkembang plak, lesi pada embrio seperti
kekerdilan, hemoragi cutaneus, perkembangan otot dan buku yang
abnormal, abnormalitas pada organ visceral termasuk pembesaran hepar
dan lien, perubahan warna kehijauan pada kaki, foci nekrotik pada hepar.

56
Gambar 2.2. Skema Inokulasi pada Telur Ayam Berembrio

Metode yang langsung dan pasti untuk infeksi virus pada embrio
ayam meliputi kemampuan cairan corioallantois dan untuk menyebabkan
hemaglutinasi dari RBC ayam, penggunaan teknik serologis dan
molekular, mikroskop elektron. Harus diperhatikan untuk dapat
membedakan lesi yang mungkin disebabkan oleh adanya bakteri dan
agen lain. Inokulum atau bahan yang akan diinjeksikan umumnya berasal
dari cairan atau jaringan tubuh. Inokulum hanya dapat diinjeksikan
apabila berupa cairan sehingga jaringan harus diproses menjadi suspense
sebelum dilakukan injeksi. Rute inokulasi dan jenis serta umur embrio
sangat menentukan pertumbuhan virus di dalam TAB (Ernawati dkk.,
2008).
Inokulasi Virus dengan TAB Pada Yolk Sac
Telur ayam berembrio atau TAB yang digunakan merupakan telur
berembrio yang berumur 5-8 hari, dimana telur masih banyak
mengandung kuning telur. Virus yang dapat ditanam dengan cara ini
yaitu Yellow Fever, Viral Arthritis, Hepatitis Infectiosa Canis, Rabies,
Rinderpest dan lain-lain. Prosedurnya yaitu telur diteropong untuk
menentukan posisi embrio dan kantung udara. Telur disterilkan dengan
kapas beralkohol. Telur dilubangi pada bagian kantung udara. Virus
kemudian diinokulasi dengan posisi tegak lurus dengan kedalaman jarum
1,2 cm. Lalu lubang ditutup dengan paraffin. Telur diinkubasi dan amati
pada 16-18 jam setelah inokulasi untuk memastikan hidupnya embrio.

57
Apabila telah mati maka dapat dipastikan karena adanya trauma pada
embrio atau kontaminasi. Untuk embrio yang masih hidup, 48 jam
kemudian telur dapat diambil dari inkubator dan disimpan pada suhu 4oC
(selama 4 – 24 jam) sampai telur dipanen (Ernawati, dkk, 2008).

Gambar 2.3. Skema inokulasi virus pada Yolk sac TAB.

Inokulasi pada cairan allantois atau chorioallantoic sac (CAS)


TAB yang digunakan berumur 8-10 hari. Virus yang dapat ditanam
dengan cara ini antara lain yaitu virus New Castle Disease, Avian
Influenza, Infectious Bronchitis, Egg Drop Sydrome dan lain-lain.
Prosedurnya yaitu telur diteropong telur untuk memastikan tempat
injeksi, yaitu pada 3-5 mm di atas batas bawah kantung udara dan jauh
dari embrio (Gambar 2.4). Telur disterilkan kemudian dibuat lubang
pada tempat injeksi. Virus kemudian diinokulasi virus dan kemudian
tutup lubang menggunakan paraffin. Telur diamati pada jam ke 16-18
jam. Apabila embrio mari sebelum 48 jam kemudian telur dapat
disimpan dalam suhu 4oC (Ernawati, dkk, 2008).

Gambar 2.4. Skema inokulasi virus pada ruang koriolantois TAB.

58
Inokulasi Virus dengan TAB pada chorioallantoic membrane (CAM)

Gambar 2.5. Skema inokulasi TAB pada bagian membrane allantois.

Telur ayam berembrio atau TAB yang digunakan telur berembrio


yang berumur 10–13 hari. Virus yang dapat ditanam dengan cara ini
antara lain yaitu virus Cacar, Herpes (Infectious Laryotracheitis),
Aujeszky, Infectious Bursal Disease, Viral Arthritis dan lain-lain.
Prosedurnya yaitu telur diteropong telur untuk memastikan tempat injeks.
Telur dilubangi telur pada ujung kantung udara (lubang ke-1), dibuatlah
lubang ke-2 pada lokasi embrio. Dengan menggunakan penyedot, sedot
udara melalui lubang kantung udara agar terbentuk rongga pada
membran. Apabila membran telah turun ke bawah, virus dapat
diinokulasikan dengan posisi 45oC. Telur ditutup kedua lubang
menggunakan paraffin. Telur dinkubasikan dengan posisi horisontal dan
tempat inokulasi berada di atas. Telur diamati pada jam ke 16-18, apabila
sebelum 48 jam telur mati kemudian telur dapat disimpan dalam suhu
4oC (Ernawati dkk, 2013).
2.2.2 Hemaglutinasi Test (HA) dan Hemaglutinasi Inhibition Test (HI)
Interaksi dari sisi reseptor dan virion membuat aglutinasi sel darah
merah menjadi tampak. Enzim virus neuraminidase memecah ikatan
antara virus dan sel, dan melepas keduanya ke dalam larutan. Antigen
adalah bagian virus yang mengandung ikatan dan antigen dari virus
digunakan untuk uji hemaglutinasi. Virion dari beberapa keluarga virus

59
berikatan dengan sel darah merah (RBC) dan menyebabkan
hemaglutinasi. Prinsip serologis dari hemaglutinasi inhibisi yaitu antibodi
menghambat proses hemaglutinasi dari virus. Bila antibodi spesifik dan
virus dicampur sebelum ditambah eritrosit, hemaglutinasi akan
terhambat. Uji penghambatan hemaglutinasi ternyata sensitif kecuali
untuk Togavirus, sangat spesifik, karena uji itu mengukur antibodi yang
berikatan pada protein permukaan yang paling gampang mengalami
perubahan antigenik. Terlebih lagi, uji ini sederhana, murah, dan cepat.
Oleh karena itu, sering digunakan sebagai pilihan prosedur serologis
dalam mengidentifikasi isolat dari virus yang menyebabkan
hemaglutinasi.
Virus-virus Avian dapat mengaglutinasi eritrosit, termasuk
didalamnya NDV (Newcastle Disease Virus), Virus influenza dan virus
Adenovirus127. Hambatan dari aglutinasi oleh antibodi spesifik
merupakan dasar dari uji HA dan HI cepat pada kaca benda. Uji HA dan
HI cepat pada kaca benda merupakan uji yang sesuai dan cepat dilakukan
yang penerapannya lebih luas untuk kontrol berbagai penyakit Avian
seperti Newcastle Disease maupun Micoplasmosis. Uji HA positif akan
menunjukkan adanya suspensi agregat eritrosit yang berkeping-keping.
HI cepat pada kaca benda menunjukkan positif apabila tidak terlihat
aglutinasi pada cairan korioallantois yang diberi antiserum NDV. Uji HA
cepat biasanya dipakai untuk mengidentifikasi virus yang mampu
menghemaglutinasi eritrosit ayam. Sedang uji HI cepat biasanya dipakai
untuk identifikasi NDV. Uji HA lambat digunakan untuk mengetahui titer
virus, kemampuan virus dalam menginfeksi yang ditandai dengan adanya
hemaglutinasi eritrosit. Titer virus dapat diketahui dengan melihat
sumuran terakhir pada nomor tertinggi (end point) yang menunjukkan
adanya hemaglutinasi positif. Hal itu ditandai dengan adanya agregat-
agregat di dasar sumuran (Gella, 2001).
Prinsip dari uji HI lambat adalah mengetahui adanya antibodi yang
mampu menghambat proses hemaglutinasi oleh virus. Uji ini untuk
menentukan titik antibodi terhadap hemaglutinasi NDV. Bila terdapat

60
antibodi dalam jumlah mencukupi untuk membentuk kompleks dengan
virion, hemaglutinasi dihambat, dan eritrosit mengendap. Sebaliknya bila
antibodi terdapat dalam jumlah yang tidak mencukupi maka eritrosit
diaglutinasi oleh virus dan membentuk endapan. Hemaglutinasi oleh
virus ND dapat dihitung dan di bawah kondisi standar dalam cairan dapat
di lihat. Reaksi HA dapat di hambat oleh serum immune yang spesifik.
Beberapa strain virus ND dapat ditunjukkan virulensinya dalam aktivitas
HA dengan eritrosit mammalia dan dalam panas yang stabil. Antigen
yang tidak signifikan tidak dapat dilaporkan. Uji hemaglutinasi inhibisi
atau yang disebut dengan uji HI telah menjadi metode yang tepat dalam
mendeteksi kehadiran antibodi spesifik dalam serum yang terinfeksi atau
dari individu yang sembuh/ pulih dari sakit. Selanjutnya, dengan
mendilusi (diencerkan) serum, jumlah komparatif dari antibodi dapat
ditentukan (Hendrix and Sirois, 2002). Faktor-faktor yan berhubungan
dengan terjadinya proses non-spesific hemaglutinasi :
1. Kontaminasi kimia dari tabung atau bahan. Misalnya asam.
2. Substansi inhibitor dalam ekstrak jaringan.
3. Keanehan dari sel darah merah dari individu tertentu.
4. Komponen serum yang labil terhadap panas
5. Enzim dan toksin bakteri
6. Ketidaksesuaian spesies antara sel darah merah yang digunakan dan
serum yang diuji.

61
BAB III METODE KEGIATAN

3.1. Tempat dan Waktu Pelaksanaan Kegiatan


Kegiatan PPDH rotasi diagnosa laboratorik dilaksanakan pada tanggal
10–22 Juli 2018 yang bertempat di Laboratorium Virologi Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.
3.2 Peserta dan Pembimbing PPDH
Peserta koasistensi virologi adalah mahasiswi PPDH FKH Universitas
Brawijaya yang berada di bawah bimbingan Dr. Jola Rahmahani, Drh.,
M.Kes., dengan nama mahasiswi Bona Ari Swasti M (170130100011088).

3.3 Metode Kegiatan


3.3.1 Isolasi Virus Pada TAB (Ernawati dkk, 2011)
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan untuk isolasi dan identifikasi virus antara lain
tabung reaksi, rak tabung reaksi, pipet ukur 1 ml, 5 ml, 10 ml, pipet dropper,
yellow tip, spuit, paku pelubang TAB, selotip, inkubator, plate, candling set,
gunting, dan scalpel. Bahan yang digunakan untuk isolasi dan identifikasi
virus antara lain ayam yang diduga menderita ND (organ yang diambil:
limpa, paru-paru, trakea, dan otak), larutan Physiologies Zoulzuur (PZ),
antibiotika (penicillin 1000 iu/ml dan streptomycin 1 mg/ml), pasir kwarsa,
eritrosit ayam 0,5 %, dan Telur Ayam Berembrio (TAB).
Cara kerja
a. Isolasi Virus
 Disiapkan peralatan bedah dan organ (limpa, paru-paru, otak dan
trakea) yang akan diamati.
 Diamati perubahan patologi anatomi yang tampak pada organ tersebut.
 Kemudian dibuat suspensi 10% (sampel ditimbang sebanyak 0.4 gram
yaitu sampel dihaluskan dengan mortar dan ditambhkan pasir kuarsa
steril ditambahkan PZ steril 3,6 ml dan dihomogenkan).
 Setelah itu larutan dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan disentrifus

62
2500 rpm selama 15 menit.
 Supernatan diambil dan dinjeksikan ke dalam TAB yang sudah
diperiksa embrionya.
Inokulasi Virus ke Telur Ayam Berembrio (TAB)
Berikut ini merupakan langkah inokulasi virus ke dalam ruang allantoik:
 Telur disinari dengan bantuan lampu peneropong, diberi tanda batas
dengan pensil antara ruang hawa dan isi telur.
 Kulit telur pada daerah ruang hawa ±3-5 mm dari tanda batas ruang
hawa dibuat lubang dengan bor/paku.
 Jarum spuit dimasukkan ke dalam lubang paku sedalam ± 1 cm
sejajar dengan sumbu panjang telur.
 Suspensi virus disuntikan sebanyak 0,1 ml kedalam telur berembrio.
 Lubang paku ditutup dengan selotip. Telur berembrio diinkubasi
pada suhu 37ºC selama 4 hari dengan posisi vertikal (ruang hawa
sebelah atas). Setiap hari diamati, apabila terdapat embrio mati, telur
disimpan didalam kulkas. Telur yang embrionya mati lebih dari 24
jam atau yang masih hidup sampai akhir pengamatan (setelah 4 hari),
dimasukkan dalam lemari es untuk pengamatan.
 Telur dipecah pada daerah ruang hawa dan dilakukan pengujian
terhadap cairan allantois atau perhatikan adanya perubahan pada
embrio.
Mengumpulkan Cairan Alantoik (Panen virus)
Berikut ini merupakan langkah mengumpulkan cairan allantoik:
1. Letakkan telur di dalami almari es selama beberapa jam atau di
dalam peti beku suhu –20°C selama 1 jam. Hal ini bertujuan untuk
membunuh embrio serta mengecilkan pembuluh darah supaya
pengumpulan cairan yang mengandung virus dilakukan tanpa
pencemaran dengan sel darah merah.
2. Bersihkan lapisan cangkang di bagian atas ruang udara telur dengan
etanol. Pecahkan cangkang di atas ruang udara dan gunting cangkang
hingga membentuk lubang. Gunakan pipet Pasteur untuk
menghindari embrio dan kuning telur, ambil cairan alantoik dengan

63
menggunakan pipet Pasteur lain

3.3.2 Deteksi Antibodi Metode HA – HI Test (Ernawati dkk, 2011)


a. Prinsip
Uji hemaglutinasi digunakan untuk mendeteksi virus yang
memiliki hemaglutinin. Adanya hemaglutinin akan dapat
mengaglutinasi eritrosit dari beberapa spesies, seperti unggas,
mamalia maupun manusia. Kemampuan mengaglutinasi eritrosit ini
disebabkan karena virus mempunyai hemaglutinin. Uji HA dapat
digunakan untuk mengetahui titer antigen, juga dapat untuk retitrasi
antigen yaitu menguji apakah antigen yang dikehendaki memiliki titer
4 HA Unit.
Antibodi spesifik terhadap hemaglutinin virus dapat menghambat
terjadinya hemaglutinasi, reaksi penghambatan ini kemudian disebut
uji hambatan hemaglutinasi. Uji HI selain bermanfaat untuk
mengidentifikasi virus, uji ini dapat digunakan untuk mengetahui titer
antibodi baik antibodi hasil vaksinasi maupun hasil infeksi.
b. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada uji ini antara lain mikroplate, mikropipet,
cawan petri, yellow tip, gunting dan pinset. Bahan yang digunakan
untuk uji HA dan HI adalah PZ, Antigen ND sampel, Eritrosit ayam
0,5%.
c. Cara Kerja
Persiapan membuat eritrosit 0,5% :
 Dibuat eritrosit murni dengan cara menambahkan PZ pada darah dan
dihomogenkan.
 Suspensi disentrifugasi selama 10 menit pada 2500 rpm.
 Dibuat supernatant dan buffy coat. Diulangi hingga supernatant
bening.
 Diambil 0,1 ml eritrosit murni lalu ditambah 19,9 ml PZ dan
dihomogenkan.
3.3.3 Uji HA Mikroplate (untuk mendapatkan antigen 4 HA unit)

64
1) Lubang mikroplate nomer 1-6 diisi dengan 25 µl PZ menggunakan
mikropipet. Lubang yang diisi sesuai dengan jumlah TAB yang akan
diuji.
2) Lubang ke-1 pada masing-masing baris diisi dengan cairan allantois
dari TAB sebanyak 25 µl.
3) Selanjutnya dilakukan titrasi dengan cara mengambil dari kolom ke-1
sebanyak 25 µl dan mencampurkannya ke kolom ke-2. Demikian
seterusnya sampai kolom ke-6.
4) Dilakukan penambahan eritrosit 0,5% ke semua lubang sebanyak 50
µl.
5) Mikroplate diinkubasi selama 30 menit pada suhu kamar sebelum
kemudian membaca titernya.
3.3.4 Uji HI Mikroplate
1) Lubang mikroplate nomer 1-12 dengan 25 µl PZ menggunakan
mikropipet.
2) Lubang nomor 1-12 diisi dengan serum ND sebanyak 25 µl dengan
pengenceran bertingkat.
3) Lubang nomor 1-12 diisi dengan antigen sampel dari cairan allantois
TAB sebanyak 25 µl.
4) Diinkubasi selama 10-15 menit.
5) Eritrosit ditambahkan sebanyak 50 µl pada lubang 1-12.
6) Dilakukan inkubasi pada mikroplate selama 15 menit pada suhu
kamar kemudian membaca titernya.

65
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengamatan
4.1.1 Pemeriksaan Patologi Anatomi Organ Ayam
Pemeriksaan patologi anatomi pada sampel organ untuk isolasi virus,
sudah disediakan oleh Laboratorium Virologi FKH Unair berupa organ otak,
trakhea, paru-paru, dan limpa. Organ tersebut digunakan sebagai spesimen
karena merupakan organ target dari virus ND. Menurut Kementan (2014)
gejala yang timbul pada penyakit ND sangat beragam, mulai dari
asimptomatis, gejala pernapasan, saraf dan juga digesti. Sehingga organ
trakea dan pulmo mewakili tempat predileksi virus pada saluran pernapasan,
otak merupakan organ target yang mewakili sistem saraf, dan limpa
merupakan organ limfoid yang menjadi target virus ND.

Gambar 4.1 Gambaran makroskopis sampel organ. (organ paru-paru, trakea, otak,
dan limpa) (Dokumentasi Pribadi).
Tabel 4.1. Gambaran Makroskopis Sampel Organ
Organ Perubahan Patologi
Limpa Tidak ada perubahan
Trakhea Tidak ada perubahan
Paru-paru Tidak ada perubahan
Otak Tidak ada perubahan

Menurut Kencana dan Kardena (2011), Perubahan patologi anatomi yang


patognomonis pada penyakit ND ditandai dengan ptechie pada
proventikulus, ventrikulus, usus, seka tonsil, trakea, paru-paru dan otak.

66
Menurut Rahman (2009) gejala ND Adanya pembengkakan limpa yang
menunjukkan terjadinya splenomegali. Splenomegali dapat disebabkan oleh
limpa kausa, yaitu adanya infeksi pada kasus infeksi bakterial yang bersifat
akut dengan ukuran limpa yang membesar. Pembesaran terjadi akibat
peradangan yang menyebabkan peningkatan infiltrasi sel-sel fagosit dan sel-
sel neutrofil. Jaringan atau sel-sel yang mati akan dicerna oleh enzim,
sehingga konsistensi menjadi lembek, apabila disayat mengeluarkan cairan
berwarna merah, bidang sayatan menunjukkan warna merah merata.
Kemudian adanya gangguan sirkulasi dapat menyebabkan kongesti
pembuluh darah pada limpa.
Perubahan yang disebabkan oleh virus ND velogenik menunjukkan
gejala patognomonis berupa ptechiae pada proventrikulus dan nekrosis pada
usus. Kelainan-kelainan pada saluran pernafasan berupa tracheitis atau
trakea berwarna lebih merah, rhinitis, laryngitis, pneumonia dengan eksudat
katarrhalis sampai mukopurulent. Sedangkan kelainan syaraf berupa
degenerasi dan nekrosis otak. Gambaran patologi anatomi pada infeksi ND
strain mesogenik yaitu tidak patognomonis karena hanya terbatas pada
saluran pernafasan dan juga ditemukan adanya ptechiae pada perikard,
subpleura, tembolok, dan usus. Gambaran patologi anatomi pasca infeksi
ND strain lentogenik yaitu gejala respirasi ringan seperti warna organ pulmo
lebih merah karena adanya peradangan. Apabila dibandingkan dengan
gambaran patologis pada organ pulmo ayam yang diduga terinfeksi ND
memiliki gejala yang sama. Namun, berdasarkan gambaran patologi
anatomi, ND sering dikelirukan dengan penyakit lain seperti Infectious
Bronchitis (IB), Infectious Laryngo Tracheitis (ILT), dan Avian Encephalitis
(AE) sehingga perlu dilakukan peneguhan diagnosa menggunakan uji
virologi dan serologi.
Seleksi atau penentuan spesimen yang digunakan untuk tujuan isolasi
virus berdasarkan virus yang menginfeksi ayam dan kondisi selama
perkembangan penyakit, dimana spesimen diambil dari jaringan yang
diperkirakan sebagai tempat replikasi virus yaitu otak, trakea, pulmo dan
limpa. Menurut Ernawati dkk., (2011), koleksi spesimen untuk tujuan

67
pemeriksaan virologi yaitu dengan cara mengambil spesimen dari jaringan
yang terinfeksi dengan ukuran ± 2- 3 cm. Kemudian spesimen tersebut
dilarutkan dengan PZ yang telah ditambahkan dengan antibiotik Penicillin.
Spesimen dikoleksi berdasarkan gejala klinis atau tempat virus bereplikasi.

Pengambilan beberapa organ tersebut bertujuan untuk mengetahui organ


mana yang terinfeksi virus ND.
Gambar 4.2 Organ digerus, kemudian dilarutkan pada NaCl fisiologis yang
telah dicampur dengan antibiotik penstrep (penicillin
streptomycin).

4.2 Inokulasi Virus pada TAB


Isolasi virus dilakukan pada media TAB sehingga dapat diidentifikasi
virus penyebab infeksi pada ayam tersebut. Sifat virus yaitu intraseluler yang
berarti virus membutuhkan sel hidup untuk tumbuh dan berkembang biak.
Pembiakkan virus dapat dilakukan pada beberapa media meliputi hewan
coba, kultur sel, dan inokulasi pada telur ayam berembrio. Namun, tidak
semua virus dapat tumbuh dengan baik pada masing-masing media tersebut
dan bahkan ada virus yang dapat tumbuh hanya pada hospes aslinya. Suspensi
virus dari masing-masing organ diinokulasikan pada TAB. TAB digunakan
untuk isolasi dan identifikasi dari berbagai virus antara lain IB, EDS, AI, ND
dan sebagainya (Maclachlan dan Dubovi, 2011). Umur TAB yang digunakan
tergantung tempat inokulasi dan sifat virus. TAB yang digunakan berasal dari
induk yang sehat, tidak pernah divaksin atau specific antibody negative
(SAN). TAB yang diinokulasikan virus, dilakukan pemeriksaan terlebih
dahulu untuk mengetahui apakah embrio dalam TAB masih hidup. Hal ini

68
dilakukan dengan cara meneropong TAB menggunakan candler. Embrio yang
masih hidup menunjukkan adanya pergerakan embrio yang menjauhi cahaya
dan pembuluh darah terlihat dengan jelas. Sedangkan embrio yang mati,
menunjukkan embrio tidak bergerak, warna bagian dalam TAB berwarna
hitam dan pembuluh darah tidak tampak dengan jelas. Pemilihan umur TAB
berdasarkan perkembangan ruang dan cairan allantois yang sedang
berkembang dan pada area tersebut menjadi luas dan rute inokulasi pada
cairan allantois lebih mudah sehingga lingkungan internal embrio tidak
terganggu dan virus mudah menyebar dan melekat pada sel yang memiliki
reseptor yang sama (Ernawati dkk., 2008).
Gambar 4.3 Telur yang sudah dilakukan candler dan di lanjutkan dengan
penanaman sampel ke dalam TAB

Pada pengamatan kali ini, telur ayam berembrio yang sudah diinokulasi
dengan sampel organ suspect ND diamati setiap hari dengan candler untuk
melihat keadaan embrio. Kemudian suspense organ yang diduga mengandung
virus ND diinokulasikan pada cairan allantois TAB sebanyak 15 buah.
Pengamatan terhadap pertumbuhan virus dalam TAB dilakukan selama 4 hari.
Candling dilakukan setiap hari untuk mengamati pertumbuhan dari virus pada
TAB. Embrio yang mengalami kematian, ditandai dengan embrio tidak
bergerak dan warna bagian dalam TAB berwarna hitam dan pembuluh darah
tidak tampak dengan jelas. Jika embrio ditemukan mati maka segera
dipindahkan ke tempat yg memiliki suhu 4ºC. Metode inokulasi virus pada
TAB yaitu dengan cara penyuntikan daerah chorioaalantoic sac. Di lapangan
isolasi virus dapat berasal dari swab trakea atau kloaka, atau suspensi 10%
dari otak atau pulmo-pulmo, dalam larutan NaCl fisiologis yang mengandung

69
antibiotik yang diinokulasikan pada TAB umur 9-12 hari. Adapun lokasi
inokulasi virus pada chorioaalantoic sac dapat menyebabkan kematian embrio
karena pada allantois merupakan bagian penting proses sirkulasi embrio ayam
sehingga virus dapat tumbuh dan menyebar hingga ke embrio ayam.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Alexander (2001) bahwa isolasi virus
ND dilakukan dengan menggunakan TAB umur 9–12 hari dan specific
pathogen free. Chorioaalantoic sac sebagai lokasi inokulasi virus dianggap
paling peka untuk mengembangkan virus ND. Virus ND dinokulasi pada
cairan allantois dimana semua strain virus ND dapat tumbuh pada sel yang
melapisi cairan allantois. Virus masuk ke sel untuk bereplikasi. Sel rusak dan
virus ND menembus cairan allantois. Beberapa tujuan dilakukan inokulasi
virus ND pada cairan allantois yaitu untuk produksi vaksin, menetapkan titer
infektifitas suspensi virus ND dan isolasi virus ND dari spesimen yang
ditemukan di lapang untuk diagnosa laboratorium (Tabbu, 2000).
Tabel 4.2. Waktu Kematian Embrio pada TAB Hasil Inokulasi, Tangal Inokulasi: 14
Juli 2018 ; Jam Inokulasi: 10.45
No Waktu Kematian
Sampel TAB (Jam) Ket.
A B C D
I Limpa - - - - Hidup
Trakea - - - - Hidup
Otak - - - - Hidup
Paru-Paru - - - - Hidup
II Limpa - - - - Hidup
Trakea - - - - Hidup
Otak - - - - Hidup
Paru-Paru - - - - Hidup
III Limpa - - - - Hidup
Trakea - - - - Hidup
Otak - - - - Hidup
Paru-Paru - - - - Hidup
IV Limpa - - - - Hidup
Trakea - - - - Hidup
Otak - - - - Hidup

Pada pemeriksaan pada TAB yang diinokulasikan pada cairan allantois


embrio tidak mengalami kematian setelah lewat masa inkubasi. Waktu

70
kematian embrio dicatat untuk mengetahui keganasan dari virus yang
menginfeksi. Semua embrio tetap hidup mulai pada hari pertama setelah
inokulasi hingga hari ke empat pengamatan.
Setelah diinkubasi 2-4 hari, telur dimasukkan ke dalam refrigerator 18-24
jam untuk memastikan embrio benar-benar mati, setelah itu, perkembangan
virus dapat diamati. Pertama–tama dilakukan desinfeksi bagian yang tumpul
dari telur-telur berembrio dengan menggosokkan alkohol 70%. Cara
membuka TAB adalah dengan menggunakan pinset, TAB dibuka pada bagian
rongga udara, lalu selaput corioallantois dibuka, kemudian cairan allantoisnya
diambil dengan menggunakan mikropipet. Hasil panen virus berupa cairan
allantois. Cairan allantois yang bagus akan memperlihatkan warna jernih,
sedang cairan yang menunjukkan pertumbuhan virus memperlihatkan warna
yang keruh dan kadang terjadi hemorrhagi. Berdasarkan menurut Huang
(2004), inokulasi virus ND dapat dilakukan di cairan allantois dan kuning
telur. Pada lokasi tersebut virus dapat menyebabkan kematian embrio karena
pada allantois merupakan bagian penting proses sirkulasi embrio ayam
sehingga virus dapat tumbuh dan menyebar hingga ke embrio ayam

Gambar 4.4 TAB yang sudah di inkubasi selama kurang lebih 4 hari,
selanjutkan akan dilakukan pengujian HA-HI

Masa inkubasi virus ND pada telur ayam berembrio adalah 1-4 hari. Hal
ini ditunjukkan dengan kematian embrio mulai hari pertama hingga terakhir
setelah inokulasi dilakukan. Virus yang diinokulasikan ke embrio akan
menyerang sistem persyarafan yang berakhir kematian embrio (Huang, 2004).
Dengan menggunakan metode Mean Death Time didapatkan hasil sebagai
berikut, pada hasil uji TAB yang diinokulasikan antigen dari trakea, paru

71
paru, limpa, dan otak tidak mengalami kematian hingga batas waktu inkubasi.
Virus ND dikelompokkan menjadi tiga pathotype yaitu: lentogenik,
mesogenik dan velogenik. Pengelompokkan tersebut berdasarkan atas waktu
kematian embrio, yakni: lentogenik adalah strain virus yang kurang ganas
ditandai dengan kematian embrio lebih dari 90 jam, mesogenik antara 60-90
jam, sedangkan velogenik kurang dari 60 jam. Gejala penyakit yang
ditimbulkan oleh virus ND tipe lentogenik pada ternak ayam bersifat ringan
atau tanpa gejala klinis. Virus ND tipe mesogenik dengan virulensi moderat
(sedang) menimbulkan gejala yang dari ringan sampai sedang. Sementara itu,
virus ND velogenik adalah tipe yang sangat ganas ditandai dengan penyakit
yang bersifat akut dan kematian yang tinggi sampai 100%. Berdasarkan atas
predileksinya dan gejala klinis yang ditimbulkan, virus ND velogenik
dibedakan lagi menjadi bentuk neurotrofik dengan gejala gangguan syaraf,
pneumotrofik dengan kelainan pada sistim pernafasan, dan viscerotrofik
dengan kelainan pada sistima pencernaan (Aldous and Alexander, 2001).
4.3 Identifikasi Virus dengan Tes HA-HI
Cairan allantois yang diperoleh dari TAB kemudian diidentifikasi
menggunakan Hemaglutinasi Test (HA Test). Uji Hemaglutinasi pada
dasarnya untuk mengetahui virus yang memiliki hemaglutinin seperti pada
virus famili Orthomyxoviridae dan Paramyxoviridae. Uji hemaglutinasi
antigen atau HA biasanya digunakan untuk mengidentifikasi virus yang
mampu menghemaglutinasi eritrosit ayam. Uji HA digunakan untuk
mengetahui titer virus, kemampuan virus dalam menginfeksi yang ditandai
dengan adanya hemaglutinasi eritrosit. Titer virus dapat diketahui dengan
melihat sumuran terakhir pada nomor tertinggi (end point) yang menunjukkan
adanya hemaglutinasi positif. Hal ini ditandai dengan adanya agregat-agregat
di dasar sumur (Hewajuli dan Dharmayanti, 2011).
Uji HA menggunakan cairan allantois dari beberapa suspensi organ
didapatkan hasil negative pada organ pernafasan (trakea dan paru-paru) otak,
limpa yang ditandai dengan tidak terbentuknya aglutinasi pada lubang dari
semua microplate. Hasil positif ditandai dengan terbentuknya aglutinasi pada
lubang microplate yang menunjukkan virus yang tumbuh pada cairan allantois

72
mampu mengaglutinasi eritrosit. Kemampuan virus tersebut untuk
mengaglutinasi eritrosit terjadi karena memiliki protein hemaglutinin. Selain
itu, sisi partikel virus yang spesifik dapat berinteraksi dengan reseptor
mukoprotein pada eritrosit dan permukaan sel lain. Interaksi dari sisi reseptor
dan virion dapat mengaglutinasi eritrosit menjadi tampak. Virus-virus yang
sering menyerang unggas dan dapat mengaglutinasi eritrosit antara lain
Newcastle Disease (ND), Avian Influenza (AI) dan adenovirus 127. Jika hasil
Uji HA positif maka Uji HA perlu dikonfirmasi dengan uji HI untuk
mengetahui jenis virus. Sebelum dilakukan uji HI, cairan allantois hasil
suspensi organ dengan titer tertinggi diencerkan menjadi antigen 4HA unit
yang akan digunakan pada uji HI.

Gambar 4.5. Hasil Uji Heamaglutinasi (HA) (Dokumentasi pribadi, 2018).

Tabel 4.3. Hasil Ilustrasi Uji HA pada Sampel


Limpa 1 2 3 4 5 6 Ket

73
I
II
III
IV
I
Otak II
III
IV
I
II
Trakea
III
IV
I
II
Paru - paru
III

Keterangan: : tidak terjadi aglutinasi : terjadi aglutinasi

Selanjutnya dikarenakan tidak terdapat hasil positif, maka tidak


dilakukan uji lanjutan HI (Hemaglutination Inhibition), sehingga antigen
yang diduga ND tidak perlu dilakukan pengenceran antigen menjadi 4 HA
unit. Pada pengamatan uji HI, pengamatan didasarkan pada penilaian
kemampuan antibodi dengan pengenceran tertinggi yang masih mampu
menghambat aglutinasi dengan sempurna. Bila terdapat antibodi dalam
jumlah mencukupi untuk membentuk kompleks dengan virion, hemaglutinasi
dihambat, dan eritrosit mengendap. Sebaliknya bila antibodi terdapat dalam
jumlah yang tidak mencukupi maka eritrosit diaglutinasi oleh virus dan
membentuk endapan. Uji HI biasanya dipakai untuk identifikasi virus ND dan
AI. Uji HI didasarkan pada kemampuan virus (antigen) untuk
menghemaglutinasi sel darah merah ayam. Antigen yang terikat dengan
antibodi tidak dapat menghemaglutinasi sel darah merah sehingga terjadi
hambatan haemaglutinasi dan menyebabkan sel darah merah terlepas dan
mengendap. Serum yang diperiksa (antibodi) diencerkan dengan seri
pengenceran tertentu kemudian direaksikan dengan antigen. Pada
pengenceran seri tertentu ada antigen yang bebas dikarenakan sebab jumlah
dari pengenceran antibodi habis 56 sehingga menyebabkan terjadinya ikatan
antara sel darah merah yang lepas dengan antigen pengenceran antibodi

74
tertingga yang masih dapat menghambat ikatan antigen dengan sel darah
merah secara sempurna. Prinsip dari uji HI adalah mengetahui adanya
antibodi yang mampu menghambat proses hemaglutinasi oleh virus

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil kegiatan koasistensi yang telah dilaksanakan di
Laboarotium Virologi FKH Unair, maka dapat disimpulkan bahwa Inokulasi
suspensi virus dari organ pulmo, trakea, limpa, dan otak pada cairan allantois
TAB. Tidak terjadi kematian embrio hingga hari ke empat, dan berdasarkan
hasil uji hemaglutinasi (Uji HA) tidak terjadi adanya aglutinasi pada semua
well. Hasil uji HA menunjukkan hasil negatif. Pengukuran titer antibodi dari
sampel tidak dilanjutkan untu diuji dengan uji HI. Hal ini menunjukkan
bahwa ayam tersebut tidak terinfeksi virus Newcastle disease.

75
5.2 Saran
Pada uji HA dan HI diperlukan ketelitian dalam pengerjaan proses
pengujian, agar mendapatkan hasil yang lebih akurat.

DAFTAR PUSTAKA

Alexander, D.J. 2000. Newcastle Disease and other Avian Paramyxovirus. Rev. sci.
tech. Off. int. Epiz. Vol. 19, No. 2, Hal. 443-462. Central Veterinary
Laboratory, Weybridge, New Haw, Addlestone, Surrey KT15 3NB, United
Kingdom

Aldous EW, Alexander DJ. 2001 Detection and differential of Newcastle Disease
Virus. Avian Pathol. Pp 30, 117-128.

Calnek BW, Barnes JH, Beard WC, McDougald RL, Saif MY. 1997. Disease of
Poultry. Iowa State University Press. Ames Iowa. USA.

Charles RT. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Kanisius. Yogyakarta.


Indonesia.

76
Charlton BR. 2006. Avian Disease Manual 6th ed. American Association of Avian
Pathologists (AAAP). Athens,Georgia. Dormants, J. 2011. Virulence
Determinants of Newcastle Disease Virus. GVO drukkers & vormgevers B.V.
Ponsen & Looijen B.V. Hal. 13 – 20.

Dormants, J. 2011. Virulence Determinants of Newcastle Disease Virus. GVO


drukkers & vormgevers B.V. Ponsen & Looijen B.V. Hal. 13 – 20.

Ernawati, R., A.P. Rahardjo, N.Sianita, F.A.Rantam, dan Suwarno. 2013. Petunjuk
Praktikum Pemeriksaan Virologik dan Serologik. Laboratorium Virologi dan
Imunologi. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. 19-24.

Fenner FJ, Gibbs EPJ, Murphy FA et al. 1995. Virologi Veteriner. Academic Press
Inc. California. Goebel SJ, Taylor J, Barr BC et al. 2007. Isolation of avian
paramyxovirus 1 from a patient with a lethal case of pneumonia. J Virol.
81(22): 12709-12714.

Gella, F. 1991. Latex Agglutination Procedures in Immunodiagnosis. Pure&App/.


Chem. Vol. 63 No.8 Hal. 1131-1134.

Hendrix, C.M., dan Sirois, M. 2002. Immunology, Serology, and Molecular


Diagnostics dalam Laboratory Procedures for Veterinary Technicians Fifth
Editions. Mosby Elsevier. Hal. 271-276.

Hewajuli, D.A dan Dharmayanti. 2011. Patogenesitas Virus New Castle Disease
Pada Ayam. Wartazoa Vol.21 No.2 Th.2011, 72-80.

Huang, Z., A. 2004. The-neuraminidase protein of Newcastle disease virus


determines tropism and virulence. J. Virol. 78: 4176-4184.

Kencana, G.A.Y. and I.M. Kardena. 2011. Gross pathological observation of


acute Newcastle disease in domestic chicken. Prosiding Seminar
Internasional Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia (PERMI) dan
International Union of Microbiological Societies (IUMS). Denpasar, 22-
24 Juni 2011.

Kommers GD, King DJ, Seal BS, Carmichael KP, Brown CC. 2002. Pathogenesis of
Six Pigeon-Origin Isolates of Newcastle Disease Virus for Domestic
Chickens. Veterinary Pathology. 39(3): 353-362.

Maclachlan, N. J. and E. J. Dubovi. 2011. Fenner’s Veterinary Virology, Fourth


Edition. Academic press: Elsevier.

Nandi, S. 2009. Paramyxoviridae dalam Veterinary Virology at a Glance.


International Book Distributing (Publishing Division). India. Hal. 63-66

[OIE] Office International Des Epizooties. 2013. OIE Terrestrial Manual. Newcastle
Disease.http://www.oie.int/fileadmin/Home/eng/Health_standards/tahm/2.03.
14._ND.pdf. [Diakses pada 11 April 2018].

77
OIE World Animal Health Information Database. 2015. Newcastle Disease.
http://www.oie.int/ [diakses pada 10 April 2018].

Olesiuk OM. 1951. Influence of Environmental Factors on Viability of Newcastle


Disease Virus. Am J Vet Res. 12: 152-155.

Quinn PJ, Markey BK, Carter ME, Donnelly WJ, Leonard FC. 2002. Veterinary
Microbiology and Microbial Disease. USA: Blackwell Science.

Swayne DE, King DJ. 2003. Avian influenza and Newcastle disease. J Am Vet Med
Assoc. 222(11): 1534-1540.

Rahayu, Imbang Dwi. 2010. Penyakit viral unggas. Fakultas Pertanian Peternakan
Universitas Muhammadiyah Malang, Malang.

Recco, R., 2011. Neurological Lesions in Chickens Experimentally Infected with


Virulent Newcastle Disease Virus Isolates. Journal of Avian Pathology Vol.
40 No. 2 Hal. 145-152.

Tabbu, C. R. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Kanisius: Yogyakarta.

78

Anda mungkin juga menyukai