Anda di halaman 1dari 50

Laporan Kasus

MENINGOENCHEPALITIS BAKTERIALIS

Oleh:

Riana Eka Emas Santi, S. Ked 04054821719015

Elisabeth Gerda Sitompul, S. Ked 04054821719016

Pembimbing:
dr. Theresia Cristin, Sp. S

BAGIAN/DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF (NEUROLOGI)


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA/
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2018

1
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Laporan Kasus:


MENINGOENCHEPALITIS BAKTERIALIS

Oleh
Riana Eka Emas Santi, S. Ked 04054821719015

Elisabeth Gerda Sitompul, S. Ked 04054821719016

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
kepaniteraan klinik senior di Bagian/Departemen Ilmu Penyakit Saraf (Neurologi)
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Umum Pusat Dr.
Mohammad Hoesin Palembang Periode 4 Juni 2018- .

Palembang, Juni 2018


Pembimbing,

Dr. Theresia Cristin, Sp. S

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas
berkat dan rahmat-Nya penulisan makalah laporan kasus yang berjudul
“Meningoenchepalitis Bakterialis” ini dapat diselesaikan. Pada Kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Theresia
Cristin, Sp.S, selaku pembimbing yang telah membantu penyelesaian laporan
kasus ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman, dan semua
pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan kasus ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus
ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala
saran dan kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan.

Palembang, Juni 2018

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................................
ii
KATA PENGANTAR......................................................................................................
iii
DAFTAR ISI....................................................................................................................
iv

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................
1
BAB II STATUS PASIEN...............................................................................................
2
BAB III TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................
19
BAB IV ANALISIS KASUS ..........................................................................................
47
BAB V KESIMPULAN ..................................................................................................
49

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................
50

4
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit yang menyerang otak merupakan masalah yang serius dalam


bidang kesehatan terutama di Indonesia. Penyakit meningoenchepalitis mulai
banyak ditemukan di masyarakat kita. Penyakit ini merupakan penyakit yang
serius yang menyerang selaput otak dan jaringan otak, penyakit ini juga bisa
menyebabkan penurunan kesadaran dari penderita hingga kematian.
Insidens Meningitis sebenarnya masih belum diketahui pasti. Meningitis
bakterial terjadi pada kira-kira 3 per 100.000 orang setiap tahunnya di negara-
negara Barat. Studi populasi secara luas memperlihatkan bahwa meningitis virus
lebih sering terjadi, sekitar 10,9 per 100.000 orang, dan lebih sering terjadi pada
musim panas. Di Brasil, angka meningitis bakterial lebih tinggi, yaitu 45,8 per
100,000 orang setiap tahun. Afrika Sub-Sahara sudah mengalami epidemik
meningitis meningokokus yang luas selama lebih dari satu abad, sehingga disebut
“sabuk meningitis”.
Encephalitis sendiri merupakan penyakit langka yang terjadi pada sekitar
0,5 per 100.000 orang, dan paling sering terjadi pada anak-anak, orang tua, dan
orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah (misalnya, orang dengan HIV /
AIDS atau kanker).1
Prognosis penyakit ini juga didukung oleh ketepatan dan kecepatan dokter
dalam memberikan terapi yang sesuai. Pada banyak kasus, penderita meningitis

5
yang ringan dapat sembuh sempurna walaupun proses penyembuhan memerlukan
waktu yang lama. Sedangkan pada kasus yang berat, dapat terjadi kerusakan otak
dan saraf secara permanen, dan biasanya memerlukan terapi jangka panjang 13.

BAB II
STATUS PENDERITA

I. IDENTIFIKASI
Nama : Tn. ET
Tanggal Lahir : 7 April 1993
Umur : 25 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Banyuasin
Pekerjaan : Buruh
Agama : Islam
Tanggal MRS : 15 Februari 2019
No. RM/Register : 1107845/RI19004865

II. ANAMNESIS
Penderita dirawat di bagian saraf RSMH karena mengalami penurunan
kesadaran yang terjadi secara perlahan-lahan
Sejak ± 1 hari SMRS, penderita mengalami penurunan kesadaran secara
perlahan-lahan., berupa sering mengantuk. Saa ini, penurunan kesadaran semakin
memberat, penderita makin sulit dibangunkan. Sebelumnya, sakit kepala ada,
muntah ada 2 kali isi apa yang dimakan, kejang ada 1 kali, durasi 1 menit,
sebelum kejang sadar, saat kejang tidak sadar, seelah kejang tidak sadar. Kejang

6
berupa kelojotan, mata mendelik keatas ada, mulut berbusa ada, lidah tergigit ada,
mengompol tidak ada. Kelemahan sesisi tubuh tidak ada. Mulut mengot ke kanan
ada, bicara pelo belum dapat dinilai. Demam ada. Kemampuan penderita untuk
memahami isi pikiran orang lain dan kemampuan penderita untuk
mengungkapkan isi pikiran baik secara lisan, tulisan maupun isyarat belum dapat
dinilai.
Riwayat keluar cairan dari elinga ada sejak 3 hari yang lalu. Riwayat sakit
gigi tidak ada. Riwayat bauk lama tidak ada. Riwayat minum obat 6 bulan idak
ada. Riwaya demam lama tidak ada. Riwayat darah tinggi tidak ada. Riwayat
kencing manis tidak ada. Riwayat trauma kepala tidak ada. Riwayat sex bebas
tidak ada. Riwayat merokok dan minum alcohol tidak ada. Riwayat menderita
stroke tidak ada.
Penyakit ini diderita untuk pertama kalinya.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada anggota keluarga dengan riwayat penyakit yang sama

III. PEMERIKSAAN
Status Internus ( 15 Februari 2019)
Kesadaran : GCS = 11 (E3M5V3)
Tekanan Darah : 140/90 mmHg
Nadi : 68 kali/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Suhu Badan : 38,9º C
Pernapasan : 18 kali/menit
BB : 70 kg
TB : 172 cm
IMT : 23,66 kg/m2 (normoweight)
Kepala : Konjungtiva palpebra anemis (-/-),bibir kering (-)
Leher : JVP 5-2 cmH2O, pembesaran KGB (-)
Thorax
Cor : I : Ictus kordis tidak terlihat
P : Ictus kordis tidak teraba

7
P : Batas jantung atas ICS II, batas kanan linea
sternalis dextra, batas kiri 2 jari lateral linea mid
clavicula sinistra ICS V
A : Bunyi jantung I-II (+) normal, HR= 90x/menit,
murmur (-), gallop (-)
Pulmo : I : Gerakan dada simetris kiri = kanan, laju
pernafasan= 18x/menit
P : Stem fremitus kiri = kanan
P : Sonor
A: Vesikuler (+) normal, wheezing (-), ronki (-)
Abdomen : I : Datar
P : Lemas
P : Timpani
A: Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat (+/+), edema pretibial (-)
Kulit : Turgor < 2”

Status Psikiatrikus
Sikap : kurang kooperatif Ekspresi Muka : berkurang
Perhatian : bekurang Kontak Psikik : berkurang

Status Neurologikus
KEPALA
Bentuk : Normochepali Deformitas : tidak ada
Ukuran : normal Fraktur : tidak ada
Simetris : simetris Nyeri fraktur : tidak ada
Hematom : tidak ada Pembuluh darah : tidak ada pelebaran
Tumor : tidak ada Pulsasi : tidak ada

LEHER
Sikap : lurus Deformitas : tidak ada
Torticolis : tidak ada Tumor : tidak ada
Kaku kuduk : ada Pembuluh darah : tidak ada pelebaran

SYARAF-SYARAF OTAK
N. Olfaktorius Kanan Kiri

8
Penciuman bdd
Anosmia bdd
Hiposmia bdd
Parosmia bdd

N. Optikus Kanan Kiri


Visus bdd
V.O.D V.O.S
Campus visi

bdd bdd
Anopsia
bdd bdd
Hemianopsia
bdd bdd
Fundus Oculi
bdd bdd
- Papil edema
- Papil atrofi bdd bdd
- Perdarahan retina
bdd bdd

N. Occulomotorius, Trochlearis, & Abducens Kanan Kiri


Diplopia bdd bdd
Celah mata tidak ada tidak ada
Ptosis tidak ada tidak ada
Sikap bola mata
- Strabismus bdd bdd
(-) bdd bdd
- Exophtalmus bdd bdd
(-) bdd bdd
- Enophtalmus bdd bdd
(-)
- Deviation conjugae
Gerakan bola mata Bulat Bulat

9
3 mm 3 mm
Pupil Isokor Isokor
- Bentuk - -
- Diameter
- Isokor/anisokor
- Midriasis/miosis + +
- Refleks cahaya
+ +
 Langsung
 Konsensuil + +
 Akomodasi - -
- Argyl Robertson

N. Trigeminus Kanan Kiri


Motorik
- Menggigit bdd bdd
- Trismus
bdd bdd
- Refleks kornea
bdd bdd
Sensorik
- Dahi
- Pipi bdd bdd
- Dagu
bdd bdd
bdd bdd

N. Fasialis Kanan Kiri


Motorik
- Mengerutkan dahi bdd bdd
- Menutup mata
bdd bdd
- Menunjukkan gigi
- Lipatan nasolabialis bdd bdd
- Bentuk muka
normal datar
Sensorik
Simetris Simetris
- 2/3 depan lidah
- Otonom
 Salivasi bdd bdd
 Lakrimasi
 Chvostek’s sign
bdd bdd
bdd bdd
- -

10
N. Cochlearis Kanan Kiri
Suara bisikan Bdd
Detik arloji bdd
Tes Weber bdd
Tes Rinne bdd

N. Olfaktorius Kanan Kiri


Penciuman bdd bdd
Anosmia bdd bdd
Hiposmia bdd bdd
Parosmia bdd bdd

N. Vestibularis Kanan Kiri


Nistagmus bdd bdd
Vertigo bdd bdd

N. Glossopharingeus dan N. Vagus Kanan Kiri


Arcus pharingeus bdd
Uvula bdd
Gangguan menelan bdd
Suara serak/sengau bdd
Denyut jantung Tidak ada kelainan
Refleks
- Muntah bdd
- Batuk
bdd
- Okulokardiak
- Sinus karotikus bdd
Sensorik bdd
- 1/3 belakang lidah
bdd

N. Accessorius Kanan Kiri


Mengangkat bahu Bdd

11
Memutar kepala Bdd

N. Hypoglossus Kanan Kiri


Menjulurkan lidah bdd
Fasikulasi - -
Atrofi papil - -
Disatria bdd

MOTORIK
LENGAN Kanan Kiri
Gerakan Lateralisasi ke kiri Lateralisasi ke kiri
Kekuatan Lateralisasi ke kiri Lateralisasi ke kiri
Tonus Normal Meningkat
Refleks fisiologis
- Biceps Normal Meningkat
- Triceps
Normal Meningkat
- Radius
- Ulnaris Normal Meningkat
Refleks patologis Normal Meningkat
- Hoffman Tromner
- Leri
- -
- Meyer
- -
Trofi
- -
Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan

TUNGKAI Kanan Kiri


Gerakan Lateralisasi ke kiri
Kekuatan Lateralisasi ke kiri

12
Tonus Normal Meningkat
Klonus
- Paha - -
- Kaki
- -
Refleks fisiologis
- KPR
Normal Meningkat
- APR
Normal Meningkat
Refleks patologis
- Babinsky
- +
- Chaddock
- -
- Oppenheim
- -
- Gordon
- -
- Schaeffer
- -
- Rossolimo
- -

Refleks kulit perut


- Atas tidak ada kelainan
- Tengah tidak ada kelainan
- Bawah tidak ada kelainan
Refleks cremaster tidak ada kelainan
Trofik tidak ada kelainan

13
SENSORIK : tidak ada kelainan

FUNGSI VEGETATIF
Miksi : terpasang kateter
Defekasi : tidak ada kelainan

KOLUMNA VERTEBRALIS
Kyphosis : tidak ada
Lordosis : tidak ada
Gibbus : tidak ada
Deformitas : tidak ada
Tumor : tidak ada
Meningocele : tidak ada
Hematoma : tidak ada
Nyeri ketok : tidak ada

14
GEJALA RANGSANG MENINGEAL
Kaku kuduk : (+)
Kerniq : (-/-)
Lasseque : (-/-)
Brudzinsky
- Neck : (-)
- Cheek : (+)
- Symphisis : (+)
- Leg I : (-)
- Leg II : (-)

GAIT DAN KESEIMBANGAN


Gait Keseimbangan dan Koordinasi
Ataxia : bdd Romberg : bdd
Hemiplegic : bdd Dysmetri : bdd
Scissor : bdd Jari-jari : bdd
Propulsion : bdd Jari hidung : bdd
Histeric : bdd Tumit-tumit : bdd
Limping : bdd Rebound phenomen : bdd
Steppage : bdd Dysdiadochokinesis : bdd
Astasia-Abasia : bdd Trunk Ataxia : bdd
Limb Ataxia : bdd

GERAKAN ABNORMAL
Tremor : bdd
Rigiditas : bdd
Bradikinesia : bdd
Chorea : bdd
Athetosis : bdd
Ballismus : bdd
Dystoni : bdd
Myocloni : bdd

15
REFLEKS PRIMITIF
Glabella : bdd
Palmomental : bdd
FUNGSI LUHUR
Afasia motorik : bdd
Afasia sensorik : bdd
Apraksia : bdd
Agrafia : bdd
Alexia : bdd
Afasia nominal : bdd

LABORATORIUM
DARAH
Hb : 15 g/dL Natrium :148 mEq/L
6 3
Eritrosit : 5,08 x 10 /mm Kalium : 4 mEq/L
Leukosit : 7.580/mm3
Diff Count : 0/0/85/9/6
Trombosit : 261.000/μL
Hematokrit : 43%
Ureum : 56 mg/dL
Kreatinin : 1,04 mg/dL
Klorida : 117 mmol/L

FESES
Konsistensi : tidak diperiksa Eritrosit : tidak diperiksa
Lendir : tidak diperiksa Leukosit : tidak diperiksa
Darah : tidak diperiksa Telur cacing : tidak diperiksa
Amuba coli/ : tidak diperiksa
Histolitika : tidak diperiksa

LIQUOR CEREBROSPINALIS
Makroskopi Kimia
- Volume : - Nonne :
- Warna : - Pandy :

16
- Kejernihan : - Protein : mg/dL
- Bau : - LDH : U/L
- Bekuan : - Glukosa : mg/dL
- pH : - Klorida : mEq/L
Mikroskopi
- Jumlah Lekosit: sel/ul
- Hitung Jenis :
PMN : %
MN : %
Sel Blast :

17
PEMERIKSAAN KHUSUS

Rontgen thoraks AP

CT scan kepala

Kesan:
 MSCT tanpa kontras saat ini tidak menunjukkan adanya lesi iskemik/
hemorrhage/ SOL
 Tidak tampak arofi serebri-hydrocephalus
 Tidak tampak midline shift

18
IV. DIAGNOSIS
Diagnosis Klinik : Obs. Penurunan Kesadaran
Hemiparese sinistra Tipe Spastik
Parese N.VII sinisra sentral
GRM +
Diagnosis Topik : Meningen + Encephalon
Diagnosis Etiologi : Suspek Meningoencephalitis Bacterialis
dd/viral

V. DIAGNOSIS BANDING
1. Meningoencephalitis Viral
2. Meningoencephalitis TB

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Pemeriksaan Laboratorim
2. CT Scan
3. MRI

19
VII. PENATALAKSANAAN
15 April 2019
A. Norfarmakologis
-
Head up 30o
-
O2 NRM 10 L/menit
-
Diet cair 1800 kkal

B. Farmakologis
- IVFD NS 0,9% gtt XX/menit (makro)
- Inj. Dexamethasone 3 x 1 im
- Inj. Ceftriaxon 2x2 mg iv
- Inj. Fenitoin 3x100 mg iv
- Inj. Omeprazole 1 x 40 mg iv
- Neurodex 1x1 tab po
- Drip Paracetamol 3 x 1 gr iv

20
RESUME

S: Penurunan kesadaran

O: Status Generalis

Sensorium : E3M5V3
Tekanan darah : 140/90 mmHg
Nadi : 68 x/menit
Respiratory rate : 18 x/menit
Temperature : 38,9 °C
SpO2 : 98%
Status Neurologis

N. III : Pupil bulat, isokor, refleks cahaya +/+, Ø 3mm/3mm

N. III, IV, VI: kedudukan bola mata di tengah, deviasi conjugate (-)

N. VII : Plica nasolabialis kiri datar (slight)

N. XII : Deviasi lidah bdd, disastria bdd

Fungsi Lengan kanan Lengan kiri Tungkai kanan Tungkai kiri


motorik
Gerakan Lateralisasi ke kiri
Kekuatan Lateralisasi ke kiri
Tonus Normal Meningkat Normal Meningkat
Klonus - -
Refleks Normal Meningkat Normal Meningkat
fisiologis
Refleks - - - +B
patologis

Fungsi Sensorik : belum dapat dinilai


Fungsi Luhur : belum dapat dinilai
Fungsi Vegetatif : Terpasang Kateter
Gejala Rangsang Meningeal : Kaku kuduk (+)
: Cheek sign (+)
Symphisis sign (+)
Gerakan Abnormal : tidak ada kelainan

21
Gait dan Keseimbangan : belum dapat dinilai

A: Diagnosis Klinik : Obs. Penurunan kesadaran


Hemiparese sinisa tipe spastic
Parese N.VII sinistra sentral
GRM (+)
Diagnosis Topik : Meningen + Encephalon
Diagnosis Etiologi : Meningoencephalitis bacterialis dd/viral

P: Norfarmakologis
-
Head up 30o
-
O2 10 LPM
-
Diet cair 1800 kkal

Farmakologis
- IVFD NS 0,9% gtt XX/menit (makro)
- Inj. Dexamethasone 3 x 1 im
- Inj. Ceftriaxon 2x2 mg iv
- Inj. Fenitoin 3x100 mg iv
- Inj. Omeprazole 1 x 40 mg iv
- Neurodex 1x1 tab po
- Drip Paracetamol 3 x 1 gr iv

22
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Fisiologi


Otak dan sumsum otak belakang diselimuti meningea yang melindungi
struktur syaraf yang halus, membawa pembuluh darah dan dengan sekresi sejenis
cairan yaitu cairan serebrospinal. Meningea terdiri dari tiga lapis, yaitu:
a. Piameter : Lapisan piameter berhubungan erat dengan otak dan sum-sum tulang
belakang, mengikuti tiap sulcus dan gyrus. Piameter ini
merupakan lapisan dengan banyak pembuluh darah dan terdiri
atas jaringan penyambung yang halus serta dilalui pemmbuluh
darah yang memberi nutrisi pada jaringan saraf.
b. Arachnoid : Lapisan ini merupakan suatu membran yang impermeable halus,
yang menutupi otak dan terletak diantara piameter dan
durameter. Mebran ini dipisahkan dari durameter oleh ruang
potensial yaitu spatium subdurale dan dari piameter oleh cavum
subarachnoid yang berisi cerebrospinal fluid.
c. Durameter : Durameter dibentuk dari jaringan ikat fibrous. Secara
konvensional durameter ini terdiri atas dua lapis, yaitu endosteal
dan lapisan meningeal. Kedua lapisan ini melekat dengan rapat,
kecuali sepanjang tempat-tempat tertentu, terpisah dan
membentuk sinus-sinus venosus. Lapisan endosteal sebenarnya
merupakan lapisan periosteum yang menutupi permukaan dalam
tulang cranium. Lapisan meningeal merupakan lapisan
durameter yang sebenarnya, sering disebut dengan cranial
durameter.

23
Gambar 1: Anatomi meningeal

2.2 Meningitis
Meningitis adalah suatu infeksi/peradangan dari meninges, lapisan yang
tipis/encer yang mengepung otak dan jaringan saraf dalam tulang punggung,
disebabkan oleh bakteri, virus, riketsia, atau protozoa, yang dapat terjadi secara
akut dan kronis.1
Meningitis bakterial (MB) adalah inflamasi meningen, terutama araknoid
dan piamater, yang terjadi karena invasi bakteri ke dalam ruang subaraknoid. Pada
MB, terjadi rekrutmen leukosit ke dalam cairan serebrospinal (CSS). Biasanya
proses inflamasi tidak terbatas hanya di meningen, tapi juga mengenai parenkim
otak (meningoensefalitis), ventrikel (ventriku litis), bahkan bisa menyebar ke
medula spinalis. Kerusakan neuron, terutama pada struktur hipokampus, diduga
sebagai penyebab potensial defisit neuropsikologik persisten pada pasien yang
sembuh dari meningitis bakterial.16

2.2.1 Etiologi
Penyebab infeksi ini dapat diklasifikasikan atas : Nisseria meningitidis,
Streptococcus Pneumonia, dan Haemophylus Influenza.15
Penyebab meningitis terbagi atas beberapa golongan umur :
1. Neonatus : Eserichia coli, Streptococcus beta hemolitikus, Listeria
monositogenes
2. Anak di bawah 4 tahun : Hemofilus influenza, meningococcus, Pneumococcus.

24
3. Anak di atas 4 tahun dan orang dewasa : Meningococcus, Pneumococcus.2

2.2.2. Patogenesis dan Patofisiologi


Otak dan medulla spinalis dilindungi secara anatomis oleh 3 selaput otak
(meningen terdiri dari durameter, arakhnoid dan piameter) dan secara kimiawi
oleh sawar darah otak. Istilah meningitis merujuk pada infeksi yang menyerang
meningen. Infeksi yang ada menyebabkan selamput meningen meradang dan
membengkak, dan proses inflamasi yang adamerangsang reseptor nyeri yang ada
pada selaput itu, sehingga menimbulkan gejala nyeri dan kaku kuduk.
Bakteri dapat mencapai struktur intrakranial dengan berbagai cara. Secara
alami bisa penyebaran secara hematogen dan infeksi di nasofaring atau perluasan
infeksi dari struktur intrakranial misalnya sinusitis atau infeksi telingah tengah.
Infeksi bakteri pada SSP juga dapat terjadi karena trauma kepala yang merobek
duramete, atau akibat tidakan bedah saraf.
Meningitis bakterialis bermula dengan kolonisasi bakteri di nasofaring.
Bakteri menghasilkan imunoglobulin A protease yang bisa merusak barrier
mukosa dan memungkinkan bakteri menempel pada sel epitel nasofaring setelah
menempel pada sel epitel bakteri menyelinapmelalui celah antar sel dan masuk ke
aliran darah.
Bakteri yang biasa menyebabkan meningitis bakterialis akut mempunyai
kapsul polisakarida yang bersifat antifagositik dan anti komplemen sehingga bisa
lepas dari mekanisme pertahanan seluler yang umumnya menghadangstruktur
asing yang masuk ke dalam aliran darah. Bakteri kemudian akan mencapai kapiler
susunan saraf pusat lalu masuk ke ruang subaraknoid. Kurangnya pertahanan
seluler di dalam ruang subarakhnoid membuat bakteri yang ada bermultiplikasi.
Kerusakan di dalam jaringan otak terjadi akibat peningkatan reaksi
inflamasi yang disebabkan adanya komponen diniding sel bakteri. Endotoksin
( bagian dari dinding sel bakteri gram negatif) akan menyebabkan sel-sel
endotelial dan sel glia lainnya melepaskan sitokin pro inflamasi terutama tumor
necrosing factor (TNF) dan interleukin α dan β ( IL-1).
Selanjutnya akan terjadi proses yang lebih kompleks dari sitokin ( meliputi
pelepasan IL-6, platelet activating factor dan leukotrien) yang akan merusak
sawar darah otak. Sawar darah otak yang rusak akan memudahkan masuknya
leukosit dan komplomen ke dalam ruang subaraknoid disertsi masuknya albumin.
Hal ini akan menyebabkan timbulnya edema vasogenik di otak. Leukosit dan

25
mediator–mediator pertahanan tubuh lainnya akan menyebabkan perubahan
perubahan patologis lebih lanjut (seperti trombosis vena dan dan vaskulitis )
sehingga akan terjadi iskemi otak dan dapat menimbulkan edema sitotoksik di
otak. Proses inflamasi lebih lanjut akan menyebabkan gangguan reabsorbsi cairan
serebrospinal di granula arakhnoid yang berakibat meningkatnya TIK sehingga
dapat menimbulkan edema interstisial di otak. Keadaan edema otak itu akan
diperberat dengan dihasilkannya asam arakhidonat dan metabolitnya yang
dikeluarkan oleh sel otak yang rusak dan adanya asam lemak yang dilepaskan dari
leukosit PMN15.

2.2.3. Manifestasi Klinis


Keluhan pertama biasanya nyeri kepala. Rasa ini dapat menjalar ke
tengkuk dan punggung. Tengkuk menjadi kaku. Kaku kuduk disebabkan oleh
mengejangnya otot-otot ekstensor tengkuk. Bila hebat, terjadi opistotonus, yaitu
tengkuk kaku dalam sikap kepala tertengadah dan punggung dalam sikap
hiperekstensi. Kesadaran menurun. Tanda Kernig’s dan Brudzinky positif.1
Gejala meningitis tidak selalu sama, tergantung dari usia penderita serta
virus apa yang menyebabkannya. Gejala yang paling umum adalah demam yang
tinggi, sakit kepala, pilek, mual, muntah, kejang. Setelah itu biasanya penderita
merasa sangat lelah, leher terasa pegal dan kaku, gangguan kesadaran serta
penglihatan menjadi kurang jelas. Gejala pada bayi yang terkena meningitis,
biasanya menjadi sangat rewel, muncul bercak pada kulit, tangisan lebih keras dan
nadanya tinggi, demam ringan, badan terasa kaku, dan terjadi gangguan kesadaran
seperti tangannya membuat gerakan tidak beraturan.2

2.2.4. Diagnosis
1. Segera lakukan pemeriksaan fisik umum dan nerologi pada kecurigaan
meningitis bakterialis untuk menemukan sumber infeksi, penyakit yang
mendasari dan kontraindikasi tindakan LP.
2. Segera ambil darah untuk pemeriksaan rutin dan kultur bakteri.
3. Lakukan pemeriksaan CT-Scan/ MRI, berikan dahulu antibiotika empirik
(sesuai umur dan kecurigaan bakteri penyebab.
4. Berikan dexametason sebelum atau bersamaan dengan pemberian dosis
pertama antibiotika.

26
5. Jika LP tertunda sedapat mungkin LP dilakukan dalam 2-3 jam setelah
pemberian antibiotik agar masih dapat menjumpai bakteri atau gambaran
CSS yang khas.15

2.2.5. Cara Pencegahan


Kebersihan menjadi kunci utama proses pencegahan terjangkit virus atau
bakteri penyebab meningitis. Ajarilah anak-anak dan orang-orang sekitar untuk
selalu cuci tangan, terutama sebelum makan dan setelah dari kamar mandi.
Usahakan pula untuk tidak berbagi makanan, minuman atau alat makan, untuk
membantu mencegah penyebaran virus. Selain itu lengkapi juga imunisasi si
kecil, termasuk vaksin-vaksin seperti HiB, MMR, dan IPD.2
2.2.6. Penatalaksanaan
a. Rejimen terapi empirik sesuai dengan usia, kondisi klinis dan pola
resistensi antibiotika setempat ( jika data tersedia ). Jika tidak ada data
local yang tersedia, dapat diikuti rekomendasi umum sebagaimana dapat
dilihat pada Table 2.
b. Sesuaikan antibiotika segera setelah hasil kultur di dapatkan.
c. Deksametason diberikan sebelum atau bersamaan dengan dosis pertama
antibiotika. Dosis yang dianjurkan adalah 0,15 mg/kgBB (10 mg per
pemberian pada orang dewasa) setiap 6 jam selama 2 – 4 hari.
d. Pertimbangkan merawat pasien di ruang isolasi, terutama jika diperkirakan
penyebabnya adalah H. influenza atau N. meningitides
e. Pada kecurigaan infeksi N.meningtidis berikan kemoprofilaksis kepada
(lihar Tabel 3) :

 Orang yang tinggal serumah


 Orang yang makan dan tidur di tempat yang sama dengan
pasien
 Orang yang menggunakan sarana umum bersama dengan
pasien dalam 7 hari terakhir.
 Murid sekolah yang sekelas dengan pasien
 Petugas kesehatan yang ada kontak langsung dengan secret
mulut dan hidung pasien dalam 7 hari terakhir.

Tabel 2. Terapi empiric pada meningitis bakteralis


Pasien Bakteri penyebab yang Antibiotika
sering

Neonatusa Streptokokus grup B. Listeria Ampisilin plus

27
Monocytogenes, Escherichia sefotaksim
coli

2 bulan – 18 tahun Neisseria meningitides, Seftriaksonb atau


c
Streptococcus pneumonia, sefotaksim , dapat
Hemophilus influenza ditambahkan vankomisind

18 – 50 tahun S. pneumonia, N. meningtidis Seftriaksonb, dapat


ditambahkan vankomisind

> 50 Tahun S. pneumonia, L. vankomisind ditambah


monocytogenes, bakteri gram ampisiline, ditambah
negative Seftriaksonb

a
Dosis sesuai umur, berat dan prematuritas
b
Anak : 100 mg/kg/hari IV atau IM dalam dosis terbagi q12h, dosis maksimum 2
gram/hari
Dewasa : 2 gram IV atau IM q12h, dosis maksimum 4 gram sehari.
c
Anak : 200 mg/kgBB/hari IV dibagi q6h. Dewasa : 2 gram/hari q4-6h. Dosis
maksimum 12 g/hari
d
Anak : 60 mg/kgBB/hari dibagi q6h. Dewasa : 1 gram IV q12h.
e
Anak : 200 – 400 mg/kgBB/hari IV dibagi q4h. Dewasa : 2 gram IV q4h. Dosis
maksimum 12 g/hari

Tabel 3. Rejimen profilaksis pada infeksi N. meningitides


Nama Obat Dosis sesuai umur

Rifampina ≤ 1 bulan : 5 mg/kgBB > 1 bulan : 10 mg/kgBB


p.o.q12h untuk 2 hari (maksimum 600 mg),
p.o.q12h untuk 2 hari

Seftriakson ≤ 12 tahun : 125 mg IM > 12 tahun : 250 mg IM


dosis tunggal dosis tunggal

Siprofloksasinb < 18 tahun : tidak ≥ 18 tahun : 500 mg p.o


direkomendasikan dosis tunggal.
a
Jangan diberikan pada ibu hamil, hati-hati pada ibu yang minum obat KB
b
Jangan diberikan kepada ibu hamil dan menyusui

2.2.7 Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi :
a. Komplikasi segera : edema otak, hidrosefalus, vaskulitis, thrombosis sinus
otak, abses efusi subdural, gangguan pendengaran.

28
b. Komplikasi jangan panjang gangguan pertumbuhan dan perkembangan
pada pasien anak, epilepsi.

2.2.8 Prognosis
Prognosis meningitis bakterialis tergantung pada kecepatan mendiagnosis
dan memberi terapi. Dengan pemberian antibiotika yang tepat penyakit ini pada
umumnya dapat diatasi, walaupun seringkali kematian disebabkan oleh hebatnya
respon imunologi pada pasien.
Kematian paling banyak ditemukan pada pasien terinfeksi S. pneumoniae
dan pasien yang dating dengan penurunan kesadaran
Deksametason terbukti menurunkan kematian dan gejala sisa neurologi
pada pasien dan anak dan dewasa, khususnya di Negara maju, Tidak ada data dari
Negara berkembang yang menunjukkan keunggulan pemberian deksametason.

2.3. Ensefalitis
Ensefalitis adalah suatu peradangan akut dari jaringan parenkim otak yang
disebabkan oleh infeksi dari berbagai macam mikroorganisme dan ditandai
dengan gejala-gejala umum dan manifestasi neurologis.
Penyakit ini dapat ditegakkan secara pasti dengan pemeriksaan
mikroskopik dari biopsi otak, tetapi dalam prakteknya di klinik, diagnosis ini
sering dibuat berdasarkan manifestasi neurologi, dan temuan epidemiologi, tanpa
pemeriksaan histopatologi.3
Apabila hanya manifestasi neurologisnya saja yang memberikan kesan
adanya ensefalitis, tetapi tidak ditemukan adanya peradangan otak dari
pemeriksaan patologi anatomi, maka keadaan ini disebut sebagai ensefalopati
Jika terjadi ensefalitis, biasanya tidak hanya pada daerah otak saja yang
terkena, tapi daerah susunan saraf lainnya juga dapat terkena. Hal ini terbukti dari
istilah diagnostik yang mencerminkan keadaan tersebut, seperti
meningoensefalitis.
Mengingat bahwa ensefalitis lebih melibatkan susunan saraf pusat
dibandingkan meningitis yang hanya menimbulkan rangsangan meningeal, seperti
kaku kuduk, maka penanganan penyakit ini harus diketahui secara benar.Karena

29
gejala sisanya pada 20-40% penderita yang hidup adalah kelainan atau gangguan
pada kecerdasan, motoris, penglihatan, pendengaran secara menetap. 3
Tentunya keadaan seperti diatas tidak terjadi dengan begitu saja,tetapi hal
tersebut dapat terjadi apabila infeksi pada jaringan otak tersebut mengenai pusat-
pusat fungsi otak. Karena ensefalitis secara difus mengenai anatomi jaringan otak,
maka sukar untuk menentukan secara spesifik dari gejala klinik kira-kira bagian
otak mana saja yang terlibat proses peradangan itu.
Angka kematian untuk ensefalitis masih relatif tinggi berkisar 35-50% dari
seluruh\ penderita.Sedangkan yang sembuh tanpa kelainan neurologis yang nyata
dalam perkembangan selanjutnya masih mungkin menderita retardasi mental dan
masalah tingkah laku.3

2.3.1. Etiologi
Berbagai macam mikroorganisme dapat menimbulkan ensefalitis,
misalnya bakteria, protozoa, cacing, jamur, spirokaeta dan virus. Penyebab yang
terpenting dan tersering ialah virus.
Infeksi dapat terjadi karena virus langsung menyerang otak atau reaksi
radang akut karena infeksi sistemik atau vaksinasi terdahulu. Berbagai jenis virus
dapat menimbulkan ensefalitis, meskipun gejala klinisnya sama sesuai dengan
jenis virus, serta epidemiologinya, diketahui berbagai macam ensefalitis virus.3

2.4. Meningoencephalitis
Meningitis adalah infeksi akut pada selaput meningen (selaput yang
menutupi otak dan medula spinalis). Encephalitis adalah peradangan jaringan otak
yang dapat mengenai selaput pembungkus otak dan medulla spinalis.
Meningoencephalitis adalah peradangan pada selaput meningen dan jaringan
otak.3

2.4.1. Epidemiologi

Meskipun meningitis adalah suatu penyakit yang harus dilaporkan di


banyak negara, insidens sebenarnya masih belum diketahui. Meningitis bakterial
terjadi pada kira-kira 3 per 100.000 orang setiap tahunnya di negara-negara Barat.
Studi populasi secara luas memperlihatkan bahwa meningitis virus lebih sering

30
terjadi, sekitar 10,9 per 100.000 orang, dan lebih sering terjadi pada musim panas.
Di Brasil, angka meningitis bakterial lebih tinggi, yaitu 45,8 per 100,000 orang
setiap tahun. Afrika Sub-Sahara sudah mengalami epidemik meningitis
meningokokus yang luas selama lebih dari satu abad, sehingga disebut “sabuk
meningitis”. Epidemik biasanya terjadi dalam musim kering, dan gelombang
epidemik bisa berlangsung dua atau tiga tahun, mereda selama musim hujan.
Angka serangan dari 100–800 kasus per 100.000 orang terjadi di daerah ini yang
kurang terlayani oleh pelayanan medis. Kasus-kasus ini sebagian besar
disebabkan oleh meningokokus. Epidemik terbesar yang pernah tercatat dalam
sejarah melanda seluruh wilayah ini pada 1996–1997, yang menyebabkan lebih
dari 250.000 kasus dan 25.000 kematian. 4

Epidemik penyakit meningokokus terjadi di daerah-daerah di mana orang


tinggal bersama untuk pertama kalinya, seperti barak tentara selama mobilisasi,
kampus perguruan tinggi dan ziarah Haji tahunan. Walaupun pola siklus epidemik
di Afrika tidak dipahami dengan baik, beberapa faktor sudah dikaitkan dengan
perkembangan epidemik di daerah sabuk meningits. Faktor-faktor itu termasuk:
kondisi medis (kerentanan kekebalan tubuh penduduk), kondisi demografis
(perjalanan dan perpindahan penduduk dalam jumlah besar), kondisi sosial
ekonomi (penduduk yang terlalu padat dan kondisi kehidupan yang miskin),
kondisi iklim (kekeringan dan badai debu), dan infeksi konkuren (infeksi
pernafasan akut). 4

Ada perbedaan signifikan dalam distribusi lokal untuk kasus meningitis


bakterial. Contohnya, N. meningitides grup B dan C menyebabkan kebanyakan
penyakit di Eropa, sedangkan grup A ditemukan di Asia dan selalu menonjol di
Afrika, di mana bakteri ini menyebabkan kebanyakan epidemik besar di daerah
sabuk meningitis, yaitu sekitar 80% hingga 85% kasus meningitis meningokokus
yang didokumentasikan.4

2.4.2. Etiologi
Meningitis dapat disebabkan oleh bakteri, virus, atau beberapa kasus yang
jarang disebabkan oleh jamur. Istilah meningitis aseptic merujuk pada meningitis
yang disebabkan oleh virus tetapi terdapat kasus yang menunjukan gambaran

31
yang sama yaitu pada meningitis yang disebabkan organisme lain (lyme disease,
sifilis dan tuberculosis); infeksi parameningeal (abses otak, abses epidural, dan
venous sinus empyema); pajanan zat kimia (obat NSAID, immunoglobulin
intravena); kelainan autoimn dan penyakit lainnya.
Bakteri yang sering menyebabkan meningitis bacterial sebelum
ditemukannya vaksin Hib, S.pneumoniae, dan N. meningitidis. Bakteri yang
menyebabkan meningitis neonatus adalah bakteri yang sama yang menyebabkan
sepsis neonatus.3

Tabel 1. Penyebab meningitis bakterialis


Neonatus (usia <3 Escherichia coli; Streptococcus grup B; Listeria
bulan)
Bayi dan anak (usia >3 monocytogenes
S. pneumonia; N. meningitidis; H. inf uenzae
bulan) usia <50
Dewasa S. pneumonia; N. Meningitidis
tahun
Dewasa usia >50
(imunokompeten) S. pneumonia; N. meningitidis; Listeria
tahun
Fraktur monocytogenes
Staphylococcus epidermidis; Staphylococcus aureus;
kranium/pasca-bedah bakteri gram negatif (Klebsiella,
saraf Proteus, Pseudomonas, E. coli); Streptococcus grup A
Kebocoran CSS dan D; S.gram
Bakteri pneumonia;
negatif; H. inf uenzae
S. Pneumonia
Kehamilan Listeria monocytogenes
Imunode~ siensi Listeria monocytogenes; bakteri gram negatif; S.
pneumonia; Pseudomonas aeruginosa; Streptococcus
grup B; Staphylococcus aureus

Virus yang menyebabkan meningitis pada prinsipnya adalah virus


golongan enterovirus dimana termasuk didalamnya adalah coxsackieviruses,
echovirus dan pada pasien yang tidak vaksinasi (poliovirus). Virus golongan
enterovirus dan arbovirus (St. Louis, LaCrosse, California vencephalitis viruses)
adalah golongan virus yang paling sering menyebabkan meningoencephalitis.
Selain itu virus yang dapat menyebabkan meningitis yaitu HSV, EBV, CMV
lymphocytic choriomeningitis virus, dan HIV. Virus mumps adalah virus yang
paling sering menjadi penyebab pada pasien yang tidak tervaksinasi sebelumnya.
Sedangkan virus yang jarang menyebabkan meningitis yaitu Borrelia burgdorferi

32
(lyme disease), B. hensalae (cat-scratch virus), M. tuberculosis, Toxoplasma,
Jamus (cryptococcus, histoplasma, dan coccidioides), dan parasit
(Angiostrongylus cantonensis, Naegleria fowleri, Acanthamoeba).
Encephalitis adalah suatu proses inflamasi pada parenkim otak yang
biasanya merupakan suatu proses akut, namun dapat juga terjadi postinfeksi
encephalomyelitis, penyakit degeneratif kronik, atau slow viral infection.
Encephalitis merupakan hasil dari inflamasi parenkim otak yang dapat
menyebabkan disfungsi serebral. Encephalitis sendiri dapat bersifat difus atau
terlokalisasi. Organisme tertentu dapat menyebabkan encephalitis dengan satu
dari dua mekanisme yaitu (1). Infeksi secara langsung pada parenkim otak atau
(2) sebuah respon yang diduga berasal dari sistem imun (an apparent immune-
mediated response) pada sistem saraf pusat yang biasanya bermula pada beberapa
hari setelah munculnya manifestasi ekstraneural.

Tabel 2. Virus penyebab meningoensefalitis


Akut Subakut
Adenoviruses HIV
1. Amerika utara JC virus
 Eastern equine Prion-associated encephalopathies
encephalitis (Creutzfeldt-Jakob disease, kuru)
 Western equine
encephalitis
 St. Louis encephalitis
 California encephalitis
 West Nile encephalitis
 Colorado tick fever
2. Di luar amerika utara
 Venezuelan equine
encephalitis
 Japanese encephalitis
 Tick-borne
encephalitis
 Murray Valley
encephalitis
Enteroviruses

33
Herpesviruses
 Herpes simplex
viruses
 Epstein-Barr virus
 Varicella-zoster virus
 Human herpesvirus-6
 Human herpesvirus-7
HIV
Influenza viruses
Lymphocytic choriomeningitis virus
Measles virus (native atau vaccine)
Mumps virus (native atau vaccine)
Virus rabies
Virus rubella

Virus adalah penyebab utama pada infeksi encephalitis akut. Encephalitis


juga dapat merupakan hasil dari jenis lain seperti infeksi dan metabolik, toksik
dan gangguan neoplastik. Penyebab yang paling sering menyebabkan encephalitis
di U.S adalah golongan arbovirus (St. Louis, LaCrosse, California, West nile
encephalitis viruses), enterovirus, dan herpesvirus. HIV adalah penyebab penting
encephalitis pada anak dan dewasa dan dapat berupa acute febrile illness.3

2.4.3. Patofisiologi
Dalam proses perjalanan penyakit meningitis yang disebabkan oleh
bakteri, invasi organisme harus mencapai ruangan subarachnoid. Proses ini
berlangsung secara hematogen dari saluran pernafasan atas dimana di dalam
lokasi tersebut sering terjadi kolonisasi bakteri. Walaupun jarang, penyebaran
dapat terjadi secara langsung yaitu dari fokus yang terinfeksi seperti (sinusitis,
mastoiditism, dan otitis media) maupun fraktur tulang kepala.
Penyebab paling sering pada meningitis yang mengenai pasien < 1 bulan
adalah Escherichia colli dan streptococcus group B. Infeksi Listeria
monocytogenes juga dapat terjadi pada usia < 1 bulan dengan frekuensi 5-10%
kasus. Infeksi Neisseria meningitides juga dapat menyerang pada golongan usia
ini. Pada golongan usia 1-2 bulan, infeksi golongan streptococcus grup B lebih
sering terjadi sedangkan infeksi enterik karena bakteri golongan gram negatif
frekuensinya mulai menurun. Streptococcus pneumonia, Haemophilus
influenzae, dan N. Meningitidis akhir-akhir ini menyebabkan kebanyakan kasus

34
meningitis bakterial. H. influenzae dapat menginfeksi khususnya pada anak-anak
yang tidak divaksinasi Hib.
Organisme yang umum menyebabkan meningitis (seperti N.Meningitidis,
S.pneumoniae, H. influenzae) terdiri atas kapsul polisakarida yang
memudahkannya berkolonisasi pada nasofaring anak yang sehat tanpa reaksi
sistemik atau lokal. Infeksi virus dapat muncul secara sekunder akibat penetrasi
epitel nasofaring oleh bakteri ini. Selain itu melalui pembuluh darah, kapsul
polisakarida menyebabkan bakteri tidak mengalami proses opsonisasi oleh
pathway komplemen klasik sehingga bakteri tidak terfagosit.
Terdapat bakteri yang jarang menyebabkan meningitis yaitu pasteurella
multocida, yaitu bakteri yang diinfeksikan melalui gigitan anjing dan kucing.
Walaupun kasus jarang terjadi namun kasus yang sudah terjadi menunjukan
morbiditas dan mortalitaas yang tinggi. Salmonella meningitis dapat dicurigai
menyebabkan meningitis pada bayi berumur < 6 bulan. Infeksi bermula saat ibu
sedang hamil.
Pada perjalanan patogenesis meningitis bakterial terdapat fase bakterial
dimana pada fase ini bakteri mulai berpenetrasi ke dalam cairan serebropsinal
melalui pleksus choroid. Cairan serebrospinal kurang baik dalam menanggapi
infeksi karena kadar komplomen yang rendah dan hanya antibody tertentu saja
yang dapat menembus barier darah otak.
Dinding bakteri gram positif dan negatif terdiri atas zat patogen yang
dapat memacu timbulnya respon inflamasi. Asam teichoic merupakan zat
patogen bakteri gram positif dan lipopolisakarida atau endotoksin pada gram
negatif. Saat terjadinya lisis dinding sel bakteri, zat-zat pathogen tersebut
dibebaskan pada cairan serebrospinal. 13
Terapi antibiotik menyebabkan pelepasan yang signifikan dari mediator
dari respon inflamasi. Adapun mediator inflamasi antara lain sitokin (tumor
necrosis factor, interleukin 1, 6, 8 dan 10), platelet activating factor, nitric oxide,
prostaglandin, dan leukotrien. Mediator inflamasi ini menyebabkan terganggunya
keseimbangan sawar darah otak, vasodilatasi, neuronal toxicity, peradangan
meningeal, agregasi platelet, dan aktifasi leukosit. Sel endotel kapiler pada
daerah lokal terjadinya infeksi meningitis bacterial mengalami peradangan

35
(vaskulitis), yang menyebabkan rusaknya agregasi vaskuler. Konsekuensi pokok
dari proses ini adalah rusaknya mekanisme sawar darah otak, edema otak,
hipoperfusi aliran darah otak, dan neuronal injury.
Akibat kerusakan yang disebabkan oleh respons tubuh terhadap infeksi,
agen anti-inflamasi berbagai telah digunakan dalam upaya untuk mengurangi
morbiditas dan mortalitas meningitis bakteri. Hanya deksametason yang telah
terbukti efektif. 1,5

2.4.4. Manifestasi Klinis


Gejala meningoensefalitis diakibatkan dari infeksi dan peningkatan TIK :
 Sakit kepala dan demam (gejala awal yang sering)
 Perubahan pada tingkat kesadaran dapat terjadi letargik, tidak responsif,
dan koma.
 Iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda sbb:
o Rigiditas nukal (kaku leher). Upaya untuk fleksi kepala mengalami
kesukaran karena adanya spasme otot-otot leher.
o Tanda kernig positif: ketika pasien dibaringkan dengan paha dalam
keadan fleksi kearah abdomen, kaki tidak dapat di ekstensikan
sempurna.
o Tanda brudzinki : bila leher pasien di fleksikan maka dihasilkan
fleksi lutut dan pinggul. Bila dilakukan fleksi pasif pada
ekstremitas bawah pada salah satu sisi maka gerakan yang sama
terlihat peda sisi ektremitas yang berlawanan.
 Mengalami foto fobia, atau sensitif yang berlebihan pada cahaya.
 Kejang akibat area fokal kortikal yang peka dan peningkatan TIK akibat
eksudat purulen dan edema serebral dengan tanda-tanda perubahan
karakteristik tanda-tanda vital(melebarnya tekanan pulsa dan bradikardi),
pernafasan tidak teratur, sakit kepala, muntah dan penurunan tingkat
kesadaran.
 Adanya ruam merupakan ciri menyolok pada meningitis meningokokal.

36
 Infeksi fulminating dengan tanda-tanda septikimia : demam tinggi tiba-
tiba muncul, lesi purpura yang menyebar, syok dan tanda koagulopati
intravaskuler diseminata5.

2.5. PEMERIKSAAN FISIK


Temuan pada pemeriksaan fisik bervariasi berdasarkan pada usia dan
organisme penyebab infeksi. Penting untuk diingat bahwa anak muda, jarang
menunjukan gejala spesifik.
-
Pada bayi muda temuan yang pasti mengarah ke meningitis jarang
spesifik:
a. Hipotermia atau mungkin bayi demam
b. Ubun-ubun membumbung, diastasis (pemisahan) pada sutura
jahitan, dan kaku kuduk tapi biasanya temuan ini muncul lambat.
-
Saat anak tumbuh lebih tua, pemeriksaan fisik menjadi lebih
mudah dicari.
a. tanda-tanda meningeal lebih mudah di amati (misalnya, kaku
kuduk, tanda kernig positif dan Brudzinski juga positif)

Gambar 2. Gambar pemeriksaan brudzinski dan kernig

b. tanda fokal neurologis dapat ditemukan sampai dengan 15% dari


pasien yang berhubungan dengan prognosis yang buruk
c. Kejang terjadi pada 30% anak dengan meningitis bakteri

37
d. Kesadaran berkabut (obtundation) dan koma terjadi pada 15-20 %
dari pasien dan lebih sering dengan meningitis pneumokokus. 6

Dapat ditemukan tanda peningkatan tekanan intrakranial dan pasien


akan mengeluhkan sakit kepala, diplopia, dan muntah. Ubun-ubun
menonjol, ptosis, saraf cerebral keenam, anisocoria, bradikardia dengan
hipertensi, dan apnea adalah tanda-tanda tekanan intrakranial meningkat
dengan herniasi otak. Papilledema jarang terjadi, kecuali ada oklusi sinus
vena, empiema subdural, atau abses otak.
-
Pada infeksi ensefalitis akut biasanya didahului oleh prodrome
beberapa hari gejala spesifik, seperti batuk, sakit tenggorokan, demam,
sakit kepala, dan keluhan perut, yang diikuti dengan gejala khas kelesuan
progresif, perubahan perilaku, dan defisit neurologis. Kejang yang umum
pada presentasi. Anak-anak dengan ensefalitis juga mungkin memiliki
ruam makulopapular dan komplikasi parah, seperti fulminant coma,
transverse myelitis, anterior horn cell disease (polio-like illness), atau
peripheral neuropathy. Selain itu temuan fisik yang umum ditemukan
pada ensefalitis adalah demam, sakit kepala, dan penurunan fungsi
neurologis. Penurunan fungsi saraf termasuk berubah status mental, fungsi
neurologis fokal, dan aktivitas kejang. Temuan ini dapat membantu
mengidentifikasi jenis virus dan prognosis. Misalnya akibat infeksi virus
West Nile, tanda-tanda dan gejala yang tidak spesifik dan termasuk
demam, malaise, nyeri periokular, limfadenopati, dan mialgia. Selain itu
terdapat beberapa temuan fisik yang unik termasuk makulopapular, ruam
eritematous; kelemahan otot proksimal, dan flaccid paralysis. 4-7
2.6. Pemeriksaan Penunjang
Jika dicurigai bakteri meningitis dan encephalitis, pungsi lumbal harus
dilakukan. Pungsi lumbal harus dihindari dengan adanya ketidakstabilan
kardiovaskular atau tanda-tanda tekanan intrakranial meningkat. Pemeriksaan
cairan serebrospinal rutin termasuk hitung WBC, diferensial, kadar protein dan
glukosa, dan gram stain. Bakteri meningitis ditandai dengan pleositosis
neutrophilic, cukup dengan protein tinggi nyata, dan glukosa rendah. Viral
meningitis ditandai dengan protein pleositosis limfositik ringan sampai sedang,

38
normal atau sedikit lebih tinggi, dan glukosa normal. Sedangkan pada encephalitis
menunjukkan pleositosis limfositik, ketinggian sedikit kadar protein, dan kadar
glukosa normal. Peningkatan eritrosit dan protein CSF dapat terjadi dengan HSV.
Extreme peningkatan protein dan rendahnya kadar glukosa menunjukan infeksi
tuberkulosis, infeksi kriptokokus, atau carcinomatosis meningeal. Cairan
serebrospinal harus dikultur untuk mengetahui bakteri, jamur, virus, dan
mikobakteri yang menginfeksi. PCR digunakan untuk mendiagnosis enterovirus
dan HSV karena lebih sensitif dan lebih cepat dari biakan virus. Leukositosis
adalah umum ditemukan. Kultur darah positif pada 90% kasus.8
Pemeriksaan Electroencephalogram (EEG) dapat mengkonfirmasi komponen
ensefalitis. EEG adalah tes definitif dan menunjukkan aktivitas gelombang
lambat, walaupun perubahan fokal mungkin ada. Studi neuroimaging mungkin
normal atau mungkin menunjukkan pembengkakan otak difus parenkim atau
kelainan fokal. 8
Serologi studi harus diperoleh untuk arbovirus, EBV, Mycoplasma
pneumoniae, cat-scratch disease, dan penyakit Lyme. Sebuah uji IgM serum atau
CSF untuk infeksi virus West Nile tersedia, tetapi reaktivitas silang dengan
flaviviruses lain (St Louis ensefalitis) dapat terjadi. pengujian serologi tambahan
untuk patogen kurang umum harus dilakukan seperti yang ditunjukkan oleh
perjalanan, sosial, atau sejarah medis. Selain pengujian serologi, sampel CSF dan
tinja dan usap nasofaring harus diperoleh untuk biakan virus. Dalam kebanyakan
kasus ensefalitis virus, virus ini sulit untuk mengisolasi dari CSF. Bahkan dengan
pengujian ekstensif dan penggunaan tes PCR, penyebab ensefalitis masih belum
ditentukan di satu pertiga dari kasus.12
Biopsi otak mungkin diperlukan untuk diagnosis definitif dari penyebab
ensefalitis, terutama pada pasien dengan temuan neurologik fokal. Biopsi otak
mungkin cocok untuk pasien dengan ensefalopati berat yang tidak menunjukkan
perbaikan klinis jika diagnosis tetap tidak jelas. HSV, rabies ensefalitis, penyakit
prion-terkait (Creutzfeldt-Jakob penyakit dan kuru) dapat didiagnosis dengan
pemeriksaan rutin kultur atau biopsi patologis jaringan otak. Biopsi otak mungkin
penting untuk mengidentifikasi arbovirus dan infeksi Enterovirus, tuberkulosis,

39
infeksi jamur, dan penyakit non-menular, terutama primer SSP vasculopathies
atau keganasan.12
2.7. Cairan Serebrospinalis
Cairan serebrospinal yang berada di ruang subarakhnoid merupakan salah
satu proteksi untuk melindungi jaringan otak dan medulla spinalis terhadap
trauma atau gangguan dari luar.
Rata-rata cairan serebrospinal dibentuk sebanyak 0,35 ml/menit atau 500
ml/hari, sedangkan total volume cairan serebrospinal berkisar 75-150ml dalam
sewaktu. Ini merupakan suatu kegiatan dinamis, berupa pembentukan, sirkulasi
dan absorpsi. Untuk mempertahankan jumlah cairan serebrospinal tetap dalam
sewaktu, maka cairan serebrospinal diganti 4-5kali dalam sehari. Perubahan
dalam cairan serebrospinal dapat merupakan proses dasar patologi suatu
kelainan klinik. Pemeriksaan cairan serebrospinal sangat membantu dalam
mendiagnosa penyakit-penyakit neurologi. 8
Selain itu juga untuk evaluasi pengobatan dan perjalanan penyakit,serta
menentukan prognosa penyakit. Pemeriksaan cairan serebrospinal adalah suatu
tindakan yang aman, tidak mahal dan cepat untuk menetapkan diagnose,
mengidentifikasi organism penyebab serta dapat untuk melakukan test
sensitivitas antibiotika. Cairan serebrospinalis mengelilingi ruang sub araknoid di
sekitar otak dan medulla spinalis. Cairan ini juga mengisi ventrikel dalam otak.
Cairan cerebrospinalis menyerupai plasma darah dan cairan interstisial, tetapi
tidak mengandung protein. Cairan serebrospinalis dihasilkan oleh plesus koroid
dan sekresi oleh sel-sel ependimal yang mengitari pembuluh darah serebral dan
melapisi kanal sentral medulla spinalis. Fungsi cairan cerebrospinalis adalah
sebagai bantalan untuk pemeriksaan lunak otak dan medulla spinalis, juga
berperan sebagai media pertukaran nutrient dan zat buangan antara darah dan otak
serta medulla spinalis.8

40
Tabel 3. Temuan pada pemeriksaan cairan serebrospinal
pada beberapa gangguan sistem saraf pusat

Agen Tekanan Hitung Kadar Kadar Mikrobiologi


Infeksi Leukosit Glukosa Protein
Meningitis 200-300 100-5000 <40 >100 Patogen spesifik pada
Bakteri > 80% 50% bakteri gram dan
PMN 80% dari hasil kultur
Meningitis 90-200 10-300 Normal N / sedikit Isolasi virus,
Viral Limfosit meningkat pemeriksaan PCR
Meningitis 180-300 100-500 Menuru Meningkat, Kultur Basl tahan
TB Limfosit n, <40 >100 asam, PCR
Meningitis 180-300 10-200 Menuru 50-200 Dengan tinta india,
Kriptokokus Limfosit n antigen kriptokokus,
kultur
Meningitis 90-200 10-300 N N / sedikit Negatif
aseptic Limfosit meningkat
Keganasan Mononuk Menuru Meningkat Negatif
lear n
Nilai normal 80-200 0,5 50-75 15-40 Negatif
Limfosit

2.8. Diagnosa Banding


1. Kejang demam
Kejang Demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh (suhu rektal >38°C) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranial. Kejang demam dibagi atas kejang demam sederhana dan
kejang demam kompleks. Kejang demam kompleks adalah kejang
demam fokal, lebih dari 15 menit, atau berulang dalam 24 jam. Pada
kejang demam sederhana kejang bersifat umum, singkat, dan hanya
sekali dalam 24 jam 9
2. Infark Cerebral
Infark otak merupakan kematian neuron, glia dan vaskulator yang disebabkan oleh
tiadanya oksigen atau nutrien atau terganggunya metabolisme. Tiap penyebab
infark (anoksia, iskemik atau hipoglikemia) memiliki gambaran khas tersendiri,
begitu pola zona predileksi dan gambaran histopatologinya. Infark anoksia
disebabkan oleh tiadanya oksigen walaupun sirkulasi darah tetap normal. Infark
hipoglikemik terjadi bila kadar glukosa darah turun dibawah angka kritis selama
periode yang berkepanjangan. Dari ketiga jenis infark tadi, yang paling sering

41
dijumpai adalah infark iskemik yang menyebabkan hipoksia sekunder,
terganggunya nutrisi seluler, dan kematian sel otak.1
3. Perdarahan Cerebral
Perdarahan yang primer berasal dari pembuluh darah dalam parenkim
tak dan bukan disebabkan oleh trauma.3

2.9 Penatalaksanaan
a. Kejang diatasi dengan :
Anti Kejang.
- Beri Diazepam iv pelan-pelan dengan dosis 0,3-0,5 mg/menit
dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit,
dengan dosis maksimal 20mg. Obat yang praktis diberikan yaitu
diazepam rektal dengan dosis 0,5-0,75 mg/kg. Atau:
Diazepam rektal 5mg untuk anak dengan BB kurang dari 10kg;
Diazepam rektal 10mg untuk BB lebih dari 10kg;
Diazepam rektal 5mg untuk anak dibawah 3 tahun;
Diazepam rektal 7,5mg untuk anak diatas 3 tahun
- Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti,
dapat diulangi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval
waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal
masih kejang, dianjurkan ke RS, agar dapat diberikan diazepam
intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg.
- Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara iv
dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan
1mg/kg/menit atau kurang dari 50mg/menit. Bila kejang berhenti,
dosis selanjutnya adalah 4-8mg/kg/hari,dimulai 12 jam setelah
dosis awal.
- Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus
dirawat di ruang rawat intensif. 3
b. Sumber infeksi yang menimbulkan meningitis diberantas dengan obat
– obatan atau dengan operasi
c. Kenaikan tekanan intra kranial diatasi dengan :
Manitol

42
Dosisnya 1 – 1,5 mg/kg BB secara IV dalam 30 – 60 menit dan
dapat diulangi 2 kali dengan jarak 4 jam
Kortikosteroid
Biasanya dipakai deksametason secara IV dengan dosis
pertama 10 mg lalu diulangi dengan 4 mg setiap 6 jam.
Kortikosteroid masih menimbulkan pertentangan. Ada yang
setuju untuk memakainya tetapi ada juga yang mengatakan
tidak ada gunanya.
Pernafasan diusahakan sebaik mungkin dengan membersihkan
jalan nafas.12
d. Bila ada hidrosefalus obstruktif dilakukan operasi pemasangan pirau
(shunting).
e. Efusi subdural pada anak dikeluarkan 25 – 30 cc setiap hari selama 2
– 3 minggu, bila gagal dilakukan operasi.
f. Fisioterapi diberikan untuk mencegah dan mengurangi cacat.12
2. Pemberian Antibiotika.
Antibiotika spektrum luas harus diberikan secepat mungkin tanpa
menunggu hasil biakan. Baru setelah ada hasil biakan diganti dengan antibiotika
yang sesuai. Pada terapi meningitis diperlukan antibiotika yang jauh lebih besar
daripada konsentrasi bakterisidal minimal, oleh karena :
Dengan menembusnya organisme ke dalam ruang sub araknoid
berarti daya tahan host telah menurun.
Keadaan likuor serebrospinalis tidak menguntungkan bagi leukosit
dan fagositosis tidak efektif.
Pada awal perjalanan meningitis purulenta konsentrasi antibodi dan
komplemen dalam likuor rendah.3
Pemberian antibiotika dianjurkan secara intravena yang mempunyai
spektrum luas baik terhadap kuman gram positif, gram negatif dan anaerob serta
dapat melewati sawar darah otak (blood brain barier). Selanjutnya antibiotika
diberikan berdasarkan hasil test sensitivitas menurut jenis bakteri.3

Antibiotika yang sering dipakai untuk meningitis purulenta adalah :


a. Ampisilin

43
Diberikan secara intravena
Dosis : Neonatus: 50 – 100 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 2 kali pemberian.
Umur 1 – 2 bulan : 100 – 200 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 3 kali pemberian.
Umur > 2 bulan : 300 – 400 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 4 kali pemberian.
Dewasa : 8 – 12 gram/hari
dibagi dalam 4 kali pemberian.

b. Gentamisin
Diberikan secara intravena
Dosis : Prematur : 5 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 2 kali pemberian.
Neonatus : 7,5 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 3 kali pemberian.
Bayi dan dewasa : 5 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 3 kali pemberian.
c. Kloramfenikol
Diberikan secara intravena
Dosis : Prematur : 25 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 2 kali pemberian.
Bayi genap bulan : 50 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 2 kali pemberian.
Anak : 100 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 4 kali pemberian.
Dewasa : 4 – 8 gram/hari

dibagi dalam 4 kali pemberian.


d. Ceftriaxon
-
Dewasa dan anak > 12 tahun dan anak BB > 50 kg : 1 -
2 gram satu kali sehari. Pada infeksi berat yang

44
disebabkan organisme yang moderat sensitif, dosis
dapat dinaikkan sampai 4 gram satu kali sehari.
-
Bayi 14 hari : 20 - 50 mg/kg BB tidak boleh lebih dari
50 mg/kg BB, satu kali sehari.
-
Bayi 15 hari -12 tahun : 20 - 80 mg/kg BB, satu kali
sehari. Dosis intravena > 50 mg/kg BB harus diberikan
melalui infus paling sedikit 30 menit.1,3

Bila dilakukan kultur dan bakteri penyebab dapat ditemukan, biasanya antibiotika
yang digunakan adalah seperti yang tercantum dalam tabel berikut ini

Tabel 4. Pilihan antibiotik berdasakan kuman penyebab


No Kuman penyebab Pilihan pertama Alternatif lain
1. H. influenzae Ampisilin Cefotaksim
2. S. pneumoniae Penisillin G Kloramfenikol
3. N. meningitidis Penisillin G Kloramfenikol
4. S. aureus Nafosillin Vancomisin
5. S. epidermitis Sefotaksim Ampisillin bila sensitif dan atau
Enterobacteriaceae ditambah aminoglikosida secara
intrateca.
6. Pseudomonas Pipersillin + Sefotaksim
Tobramisin
7. Streptococcus Penicillin G Vankomisin
Group A / B
8. Streptococcus Ampisillin +
Group D Gentamisin
9. L monocytogenes Ampisillin Trimetoprim
Sulfametoksasol

Terapi suportif melibatkan pengobatan dehidrasi dengan cairan pengganti


dan pengobatan shock, koagulasi intravaskular diseminata , patut sekresi hormon
antidiuretik , kejang , peningkatan tekanan intrakranial, apnea, aritmia, dan koma.
Terapi suportif juga melibatkan pemeliharaan perfusi serebral yang memadai dihadapan edema
serebral .3

45
Dengan pengecualian dari HSV dan HIV, tidak ada terapi spesifik untuk
virusensefalitis . Manajemen mendukung dan sering membutuhkan masuk ICU,
yangmemungkinkan terapi agresif untuk kejang, deteksi tepat waktu kelainan
elektrolit dan bila perlu, pemantauan jalan napas dan perlindungan dan
pengurangan peningkatan tekanan intrakranial. Asiklovir adalah pilihan
perawatan untuk infeksi HSV. Infeksi HIV dapat diobatidengan kombinasi ARV.
Infeksi M. pneumoniae dapat diobati dengan doksisiklin, eritromisin, azitromisin,
klaritromisin atau, meskipun nilai mengobati penyakitmikoplasma SSP dengan agen
ini masih diperdebatkan. Perawatan pendukung sangat penting untuk menurunkan
tekanan intrakranial dan untuk mempertahankan tekanan perkusi serebral yang
memadai dan oksigenasi. 3,12

Prognosis
Prognosis penyakit ini bervariasi, tergantung pada :
1. Umur : Semakin muda semakin bagus prognosisnya
2. Kuman penyebab
3. Lama penyakit sebelum diberikan antibiotika
4. Jenis dan dosis antibiotika yang diberikan
5. penyakit yang menjadi faktor predisposisi.
Pada banyak kasus, penderita meningitis yang ringan dapat sembuh
sempurna walaupun proses penyembuhan memerlukan waktu yang lama.
Sedangkan pada kasus yang berat, dapat terjadi kerusakan otak dan saraf secara
permanen, dan biasanya memerlukan terapi jangka panjang 13

BAB IV
ANALISIS KASUS

Penderita, laki-laki berumur 25 tahun, dirawat di bagian neurologi RSMH


karena mengalami penurunan kesadaran secara perlahan-lahan. Penurunan
kesadaran ini diakibatkan karena terjadinya proses inflamasi pada meningen dan
parenkim otak.

46
Penderita dirawat di bagian saraf RSMH karena mengalami penurunan
kesadaran yang terjadi secara perlahan-lahan
Sejak ± 1 hari SMRS, penderita mengalami penurunan kesadaran secara
perlahan-lahan., berupa sering mengantuk. Saa ini, penurunan kesadaran semakin
memberat, penderita makin sulit dibangunkan. Sebelumnya, sakit kepala ada,
muntah ada 2 kali isi apa yang dimakan, kejang ada 1 kali, durasi 1 menit,
sebelum kejang sadar, saat kejang tidak sadar, setelah kejang tidak sadar. Kejang
berupa kelojotan, mata mendelik keatas ada, mulut berbusa ada, lidah tergigit ada,
mengompol tidak ada. Kelemahan sesisi tubuh tidak ada. Mulut mengot ke kanan
ada, bicara pelo belum dapat dinilai. Demam ada. Kemampuan penderita untuk
memahami isi pikiran orang lain dan kemampuan penderita untuk
mengungkapkan isi pikiran baik secara lisan, tulisan maupun isyarat belum dapat
dinilai. Demam dan sakit kepala merupakan gejala awal yang sering ditemukan
pada pasien meningitis.
Riwayat keluar cairan dari elinga ada sejak 3 hari yang lalu. Riwayat sakit
gigi tidak ada. Riwayat bauk lama tidak ada. Riwayat minum obat 6 bulan idak
ada. Riwaya demam lama tidak ada. Riwayat darah tinggi tidak ada. Riwayat
kencing manis tidak ada. Riwayat trauma kepala tidak ada. Riwayat sex bebas
tidak ada. Riwayat merokok dan minum alcohol tidak ada. Riwayat menderita
stroke tidak ada. Penyakit ini diderita untuk pertama kalinya.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan GCS 11 (E3M5V3), tekanan darah
140/90 mmHg, nadi 68 x/menit, respiratory rate 18 x/menit, suhu 38,9 °C, dan
SpO2 98%. Penurunan GCS dicurigai karena meningoencephalitis.
Pada pemeriksaan neurologis tidak didapatkan kelainan pada N. III ,dan N.
XII. Pada pemeriksaan N.VII didapatkan plica nasolabialis kiri datar. Pada
pemeriksaan fungsi motorik, didapatkan laterisasi ke kiri pada gerakan dan
kekuatan pasien. Tonus otot sesisi kiri tubuh pasien meningkat. Klonus paha
negatif dan klonus kaki negatif. Refleks fisiologis sisi kiri meningkat. Refleks
patologis posiitf pada tungkai kiri, gerakan rangsang meningeal didapatkan kaku
kuduk positif, cheek sign positif, dan symphisis sign positif. Hal ini menunjukan
ada inflamasi pada meningen.
Analisis liquor cerebrospinalis ditemukan

47
Pada pemeriksaan CT Scan kepala tidak ditemukan kelainan berupa infark,
perdarahan, maupun SOL. Pada pemeriksaan foto Thorax PA didapatkan

48
DAFTAR PUSTAKA

1. Harsono. 2003. Meningitis. Kapita Selekta Neurologi. 2 URL :


http://www.uum.edu.my/medic/meningitis.htm
2. Japardi, Iskandar. 2002. Meningitis Meningococcus. USU digital library
URL:http://library.usu.ac.id/download/fk/bedahiskandar%20japardi23.pdf
3. Quagliarello, Vincent J., Scheld W. 1997. Treatment of Bacterial
Meningitis. The New England Journal of Medicine. 336 : 708-16 URL
:http://content.nejm.org/cgi/reprint/336/10/708.pdf
4. Cambell W, DeJong’s The Neurologic Examination Sixth edition,
Lippincott Williams and Wilkins, Philadelpia, 2005;19-20,37-40,97-277
5. Lumban tobing SM, Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental,
FKUI, Jakarta, 2004; 7-111
6. Juwono T, Pemeriksaan Klinik Neurologi dalam Praktek. EGC, Jakarta; 5-
53
7. Posner JB, Schiff ND, Saper CB, Plum F, Plum and Posner Diagnosis of
Stupor and Coma fourth edition, Oxford University Press, Oxford, 2007;
38-42
8. Markam S, Penuntun Neurologi, Binarupa Aksara, Jakarta; 18-50
9. Chusid JG, Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional Bagian
Satu, Gajah Mada University Press, Jogjakarta, 1990; 150-190
10. Duus Peter, Diagnosis Topik Neurologi Anatomi, Fisiologi, Tanda dan
Gejala edisi II, EGC, Jakarta; 78-127
11. Fitzgerald MJ, Gruener G, Mtui E, Clinical Neuroanatomy and
Neuroscience Fifth edition International edition, Saunders Elsevier,
British, 2007; 225-257
12. Ellenby, Miles., Tegtmeyer, Ken., Lai, Susanna., and Braner, Dana. 2006.
Lumbar Puncture. The New England Journal of Medicine. 12 : 355
URL :http://content.nejm.org/cgi/reprint/355/13/e12.pdf
13. Soetomenggolo TS, Ismael S. Buku ajar neurologi anak. Jakarta: IDAI;
1999. h. 339-76

49
14. Sudewi, Raka; Sugianto Paulus; Ritarwan Kiking. 2011. Infeksi pada
Sistem Saraf. Surabaya. Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair.

15. Ropper AH, Brown RH. Adam and Victor’s principles of neurology.
8 th ed. New York: McGraw-Hill; 2015.

50

Anda mungkin juga menyukai