Anda di halaman 1dari 18

REVOLUSI INDUSTRI 4.

0 DAN BONUS DEMOGRAFI: KESEMPATAN


ATAU ANCAMAN?

PENYUSUN:
SALSABILA IZZATURROHMAH

PENGURUS KOMISARIAT
KESATUAN AKSI MAHASISWA MUSLIM INDONESIA KOTA
SEMARANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Belakangan ini terminologi “bonus demografi” menjadi salah satu
terminologi yang berdiaspora ke-seantero negara Indonesia. Istilah ini membawa
harapan kepada penduduk Indonesia, bahwa beberapa tahun kedepan negara kita
akan “kebanjiran” kelompok usia produktif dan menjadi potensi perekembangan
ekonomi Indonesia. Dalam bahasa ekonomi kependudukan, bonus demografi
dimaknai sebagai keuntungan ekonomis yang disebabkan oleh semakin besarnya
jumlah tabungan dari penduduk produktif. Hal ini dapat memacu investasi dan
pertumbuhan ekonomi. Kondisi tersebut juga lazim dikenal sebagai jendela
kesempatan (windows of opportunity) bagi suatu negara untuk melakukan
akselerasi ekonomi dengan menggenjot industri manufaktur, infrastruktur, maupun
UKM karena berlimpahnya angkatan kerja (Jati, 2015).
Optimisme diatas sayangnya dibersamai dengan berbagai realita yang
sedang dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Antara lain penyebaran informasi yang
semakin massif membuat maraknya informasi hoax. Persatuan Indonesia yang
awalnya dijadikan sebuah jargon persatuan sedang ditantang oleh keadaan, apakah
tetap bisa mempertahankan idealismenya sebagai negara kesatuan? Terutama di
tahun politik 2019 dimana diversifikasi karakter, pilihan politik, etnis ras, dan
agama menjadi sebuah hal yang sensitif yang dapat menyulut sebuah konflik.
Dengan masalah-masalah yang berada didepan mata seolah Indonesia dan
masyarakatnya telah dihadapi oleh “pembalut mata” yang menutup kesempatan
optimisme yang ada. Kondisi pun memburuk ketika optimisme ini mulai dipandang
dalam perspektif yang skeptis bahwa “bonus demografi” selain membawa
keuntungan di sisi lain dapat menjadi “national burden” yang berat.
Belum selesai masalah di dalam negeri, Indonesia juga dihadapi sebuah
tantangan baru dengan mulai bangkitnya revolusi industri 4.0. Meskipun umumnya
dipandang sebagai sebuah kesempatan namun lima tahun dari sekarang, setidaknya
satu per tiga pekerjaan dan kemampuan yang dianggap penting di zaman sekarang
menjadi tidak relevan lagi dan sebaliknya pekerjaan yang tidak lumrah ditemukan
menjadi hal yang umum ditemukan akibat revolusi industri ini. Setidaknya pada
tahun 2020 memprediksi ada 10 kemampuan yang akan menjadi kemampuan
penting di tahun 2020. (Gray, 2016)
- Pemecahan masalah kompleks
- Berpikir kritis
- Kreativitas
- Manajemen manusia
- Berkoordinasi dengan orang lain
- Kecerdasan emosional
- Penilaian dan pengambilan keputusan
- Orientasi servis
- Negosiasi
- Dan fleksibilitas kognitif
Sedangkan daftar ini akan berubah terus setiap 5 tahunnya sehingga timbul
pertanyaan, apakah diversifikasi karakter yang ada di Indonesia benar-benar dapat
dimanfaatkan dalam kondisi bonus demografi? Dan menguatkan pesimisme yang
telah ada.
Premis yang umum diangkat untuk membantah optimisme dari bonus
demografi adalah “percuma kalau angkatan usia produktifnya melimpah tapi
kualitas sumber dayanya rendah.” Melihat pesimisme dari premis ini, makalah ini
disusun untuk menjabarkan apa sebenarnya yang menjadi masalah dari munculnya
pesimisme ini, kacamata apa yang dapat digunakan untuk dapat melihat pesimisme
ini dari perspektif lain, menjelaskan peran para pemuda dan penggerak dalam
membangun masyarakat yang siap dan juga mengembalikan optimisme bonus
demografi kembali. Kami juga akan memaparkan realita yang sedang dihadapi di
Indonesia, mengkontraskannya dengan kondisi ideal dari pergerakan dunia di
revolusi industri 4.0, kesempatan yang dimiliki Indonesia menghadapi kondisi
sekarang
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu bonus demografi?
2. Apa itu generation gap?
3. Apa tantangan dari adanya bonus demografi?
4. Bagaimana cara memandang generation gap sebagai opportunity dalam
konteks pembangunan?
5. Solusi apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi tantangan dari bonus
demografi?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Revolusi Industri
Ketika Facebook, Google, dan beberapa startup di bidang teknologi awal
mula berdiaspora dan diperkenalkan di dunia, mulai dari titik itulah manusia mulai
sadar bahwa mereka telah memasuki dunia yang bergerak jauh lebih cepat dari yang
pernah mereka hadapi. Di saat itulah terminology seperti World Wide Web, social
media, internet, dan berbagai terminologi digital lainnya bermunculan. Besarnya
perubahan yang perusahaan ini bawa ke banyak sektor industri di dunia membuat
orang sadar bahwa kemungkinan besar, ini merupakan pertanda sebuah revolusi
industri berikutnya.
Sedikit mengulas tentang sejarah dari beberapa revolusi industri
sebelumnya, revolusi industri pertama ditandai dengan pemanfaatan ilmu
termodinamika dan juga pemanfaatan uap air yang dijadikan sumber energi untuk
menghidupi mesin-mesin seperti kereta dan sebagainya. Lalu munculah revolusi
industri kedua yang diperkenalkan oleh ilmuwan-ilmuwan seperti Thomas Alfa
Edisson dan Nikola Tesla yang membuka jalur manusia untuk mengenal listrik dan
memanfaatkannya untuk kebutuhan industrial (Marr, 2018) . Dua revolusi industri
yang pertama sudah dapat membuat manusia menciptakan sistem perindustrian
yang begitu masif. Sistem hidup manusia yang terus berubah ditransformasikan
kembali dengan ditemukannya teknologi-teknologi diatas. Manusia yang awalnya
hidup dengan bercocok tanam kala itu terdisrupsi oleh penemuan diatas sehingga
untuk mengumpulkan makanan sudah tidak diperlukan strata sosial dan skill set
tertentu dan fokus kehidupan manusia sudah bisa dipindah menuju pencarian
teknologi-teknologi baru. (Harari, 2014)1
Dengan semakin sedikitnya waktu manusia yang dibutuhkan dan
difokuskan untuk penelitian dan pengembangan taraf hidupnya, manusia berhasil

1
Ide ini dikemukakan oleh Yuval Noah Harari dalam bukunya Sapiens. Bahwa agrikultur bukan
merupakan sebuah keuntungan bagi Homo sapiens namun karena agrikultur lah manusia dapat
memiliki banyak waktu dan dapat mendomestikasi hewan dan mulai memikirkan teknologi-
teknologi baru. Kemudian ia menggambarkan mengenai milestones yang dapat dicapai manusia
dari perkembangan teknologi tersebut.
menemukan teknologi baru yang akan mengubah kehidupan manusia lagi dan lagi.
Teknologi tersebut bernama komputer, internet, world wide web, dan sebagainya
yang kita ketahui sekarang. Penemuan teknologi ini menandai awal mula revolusi
industri ketiga. Mesin-mesin yang sebelumnya harus dioperasikan oleh manusia
kini bisa diautomasikan melalui kode-kode komputer tertentu sehingga tenaga kerja
keras manusia sudah bisa digantikan dan diefisienkan melalui kerja sistem
komputer (Marr, 2018).
Awal kemunculan revolusi industri ketiga, manusia mulai khawatir bahwa
perannya perlahan akan digerus oleh teknologi-teknologi tersebut. Kemudian
muncul berbagai ide-ide yang lebih ekstrim lagi yang menyatakan bahwa umur
manusia suatu saat dapat diperpanjang. Kesehatan bisa dimanipulasi dan
diantisipasi melalui rekayasa genetika dan kemungkinan spesies Homo sapiens
dapat bertransformasi atau “menyatu” dengan mesin ciptaannya sendiri dan
berubah menjadi Homo deus. Ini merupakan pemikiran-pemikiran futuristik yang
mulai berkembang di bagian barat dunia (Harari, 2014). Bersarang di Silicon
Valley, sebagai titik awal startup teknologi berdiaspora, di negara dengan stabilitas
ekonomi yang cukup stabil dan menjadi salah satu negara adikuasa di dunia yaitu
Amerika Serikat.
Mari kita sekarang tarik kembali diri kita kepada realita yang sedang kita
hadapi di Indonesia. Kita dapat menemukan startup teknologi yang telah
memanfaatkan teknologi revolusi industri 4.0 seperti GO-JEK, BukaLapak,
Traveloka, dan giant startup lainnya di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Mari
kita sekarang tarik diri kita menuju pedalaman Lubuk Linggau, Sumatera Selatan
atau di Asmat, Papua. Masih dalam satu negara, namun ironisnya terdapat
perbedaan yang sangat kontras dari segi teknologi yang dimanfaatkan oleh
beberapa daerah tersebut.

B. Bonus Demografi
Jika ditilik dari sejarahnya, mengapa Amerika Serikat dapat mendorong
dunia memasuki era revolusi industri 4.0, kita dapat melihat sejarahnya dengan
melihat pertumbuhan ekonomi dan demografi kependudukannya di tahun 1980
hingga awal 2000an, waktu dimana dasar-dasar teknologi di revolusi industri 3.0
diletakkan. Salah satu faktor yang mengakselerasi pertumbuhan ekonomi Amerika
Serikat (AS) di 1960-1980 merupakan jumlah usia produktifnya (umur 15-64
tahun), berikut ini merupakan grafik rerata perkembangan usia produktif AS per
tahun dari tahun 1960-2024 (Dolan, 2017).

Source: PEW Research. [URL: www.pewresearch.org]

Peningkatan jumlah angkatan kerja di AS pada tahun 1960-1980


menyebabkan AS pertama kali mengalami peningkatan GDP mereka sebesar 3%.
Hal ini menjadi cerminan bahwa yang mereka sebut sebagai “demographic
dividend” atau lebih umum disebut “bonus demografi” di Indonesia, benar memiliki
dampak kepada pertumbuhan ekonomi. Merujuk pada data BPS tahun 2012,
struktur penduduk Indonesia didominasi penduduk dewasa dan produktif dari
segmen umur 25-64 tahun yang mencapai 52,63 persen, usia anak sekolah dari
segmen 10- 24 tahun mencapai 29,39 persen, balita umur 0-5 tahun di kisaran 10,09
persen, dan lansia 65-75 + mencapai 7,16 persen. Dalam hal ini, bonus demografi
pada gelombang pertama tahun 2010 hingga 2020 terjadi pada segmen penduduk
produktif 52,63 persen yang menanggung 1 lansia per 100 penduduk maupun 5
balita per 100 penduduk (Jati, 2015).2
Tren dari demografi ini di Indonesia menyulutkan optimisme bahwa tren
pertumbuhan ekonomi yang terjadi di AS akibat bonus demografi dapat terjadi di
Indonesia. Jati pun menyatakan bahwa tren ini kemungkinan masih akan berlanjut
dalam rentang waktu 2020-2030 yang menyatakan bahwa pada rentang waktu
tersebut beban ketergantungan usia balita dan usia tua berada pada posisi paling
optimal.

C. Generation Gap
Sebelumnya kita telah memahami mengenai usia produktif dan kaitannya
dengan bonus demografi di Indonesia serta peluangnya dalam menyukseskan
ekonomi di era revolusi industri dan perkembangannya. Ada hal yang perlu di
kritisi dari tren bonus demografi yakni rentang usia yang berada dalam kelompok
usia produktif pada tren ini adalah usia 25-64 tahun. Hal ini menandakan bahwa
akan ada beberapa generasi yang tergolong dalam satu kelompok usia produktif
antara lain Generasi X, Baby Boomers, Millennials, dan Post Millennials.
Perbedaan karakteristik dari beberapa generasi ini berpotensi menimbulkan
konflik-konflik yang terjadi di lingkungan pekerjaan secara mikro dan berdampak
makro kepada efektivitas dan produktivitas angkatan usia produktif ini (Fry, 2018).

2
Dalam penelitiannya Jati banyak menjelaskan mengenai sejarah dapat terjadinya bonus
demografi di Indonesia adalah akibat kesuksesan program KB (Keluarga Berencana). Hal ini
menyebabkan jumlah kelompok usia 0-14 tahun relative stagnan namun usia produktif
meningkat 2x lipat.
Source: PEW Research. [URL: www.pewresearch.org]

Salah satu potensi konflik yang cukup penting adalah potensi konflik antara
2 generasi yang saling memiliki perbedaan pola asuh yaitu antara Generasi X dan
Millennials. Generasi X menurut PEW Research Center merupakan angkatan usia
produktif yang lahir di rentang tahun 1965-1980 (per 2017 berumur 37-52 tahun).
Kelompok Generasi X merupakan kelompok yang dididik oleh kelompok Baby
Boomers (rentang tahun 1946-1964, per 2017 berumur 53-71 tahun). Generasi X
dibesarkan di masa-masa gemilangnya revolusi industri 2.0 dan awal bangkitnya
revolusi industri 3.0. Hal ini membuat karakteristik mereka unik, mereka dalam
satu sisi dididik oleh kelompok generasi yang memiliki otoritarianisme yang tinggi
namun hidup di zaman kegemilangan sistem managemen yang baik, membuat
mereka memiliki karakteristik keras namun pragmatis (Peopleshift, 2019).3

3
Merupakan presentasi dari Peopleshift mengenai komunikasi antar generasi. Disajikan dalam
bentuk powerpoint.
Berbeda dengan generasi Millennials yang dibesarkan oleh Generasi X dan
hidup di batasan kemunculan revolusi industri 4.0. Generasi Millennials memiliki
karakteristik yang “tech savvy” membuat mereka menjadi generasi yang sering di
stereotipkan sebagai “instant gratification generation”. Mereka juga hidup di
tengah kemunculan gerakan apresiasi sehingga mereka cenderung haus akan
apresiasi (Peopleshift, 2019).
Permasalahannya hadir karena berdasarkan PEW Research Center per 2017
setidaknya proporsi angkatan usia kerja antara Generasi X dan Millennials akan
sama besarnya. Dari diversifikasi karakter terdapat kemungkinan potensi konflik.
Permasalahan ini tentunya tidak dapat dilihat hanya dari satu sudut pandang.
Permasalahan dapat diliat dari karakteristik Generasi X, yang bersikap keras dan
cukup menurunkan sifat otoritarianisme mereka dari pendahulu Baby Boomers
mereka. Sikap ini kemudian sangat bertolak belakang dengan karakteristik
Millennials yang bersifat open minded dan memiliki semangat desentralisasi dan
tidak menerima otoritarianisme. Sedangkan permasalahan dapat dilihat dari
karakteristik Millennials. Millennials sering di stereotipkan sebagai generasi yang
memiliki “attention span” yang rendah. Karena mereka hidup di zaman yang serba
instan sehingga mereka juga menghendaki hasil yang instan dari usaha yang
panjang. Hal ini membuat mereka tidak sabar dan menyebabkan mereka kehilangan
fokus dan ketabahan dalam menjalankan suatu tugas.
Buku Spiral Dynamics yang merupakan buah pemikiran dari ahli
biopsikososial Clare W. Graves membuat sebuah statement yang relevan dengan
permasalahan diatas. “Different times force us to think differently….. It is in our
nature to solve problems, but then to create new ones. Human beings love to engage
in quests one kind or another” 4 (Beck & Cowan, 1996) sehingga kita dapat melihat
dari kacamata baru sekarang bahwa dari sejarahnya manusia selalu menemukan
cara berpikir yang lebih kompleks dan solusi yang lebih relevan dari hasil sebuah
kekacauan. Kekacauan yang ditimbulkan dari perbedaan generasi umur ini dapat

4
Buku Spiral Dynamics menjelaskan bagaimana sebenarnya perbedaan karakteristik manusia
merupakan hal yang wajar dan dapat dipandang sebagai kesempatan baru untuk mencapai
proses berpikir dan provlem solving yang lebih kompleks dan relevan.
menjadi titik tolak dimana solusi-solusi untuk masalah yang relevan akan
ditemukan. Peran kita sebagai pemuda adalah untuk mencari dan menjalankan
solusi tersebut.

Source: Duckworth, A. (2016). Grit: Passion, Perseverance,


and The Science of Success. Harper Collins.

Nilai pertama dari 7 poin Flywheel Concept yang dikemukakan oleh Jim
Collins dalam bukunya Good to Great menjelaskan bahwa untuk mencipatakan
perusahan yang Great maka peran pemimpin sangat penting. Ia menyebutkan
pemimpin yang dibutuhkan untuk menciptakan perusahaan yang Great adalah
Level 5 Leadership. Salah satu karakteristik Level 5 Leadership adalah humility atau
kerendah hatian5 (Collins, 2001). Kerendah hatian dapat menjadi solusi atas
otoritarianisme yang dipegang erat oleh Generasi X. Latar belakang sejarah yang
dialami oleh Generasi X mungkin membentuk mereka menjadi pribadi yang
otoritarianis, namun Jim Collins dalam bukunya benar-benar menjelaskan dalam
perspektif penelitian komprehensif bahwa pemimpin-pemimpin dengan
kerendahan hati ini lah yang berhasil membawa perusahaan yang tadinya jatuh
dapat bangkit dan menjadi perusahaan yang Great. Dengan dibangunnya kerendah

5
Buku Good to Great merupakan hasil peneliian analisis harga saham dan karakteristik dari
perusahaan-perusahaan selama 30 tahun. Dari hasil penelitian itu dibuat flywheel concept untuk
menjelaskan karakteristik yang pasti ditemukan pada perusahaan dengan kategori great.
hatian tersebut maka stereotip Generasi X sebagai generasi yang otoritarianisme
menjadi perlahan sirna dan memiliki kemungkinan lebih baik dalam membina
hubungan dengan generasi Millennials.
Di sisi lain terdapat perspektif yang bisa diperbaiki dari generasi
Millennials. Stereotip yang ditanamkan pada generasi Millennials adalah generasi
yang memiliki “low attention span” atau fokus yang rendah. Dalam membicarakan
visi dan misi millennials memiliki visi yang besar dan juga merupakan generasi
yang relatif berani untuk bermimpi karena latar belakang kemunculan generasi ini
berada di ambang zaman dimana hampir teknologi yang tak pernah terbayangkan
manusia bisa hadir ditengah-tengah mereka. Tingginya ambisi dari Millennials
seringkali tidak linear dengan semangat dan staminanya dalam berjuang untuk
menggapai ambisi tersebut. Hal ini lah yang umumnya tidak disukai oleh generasi
diatasnya.
Dalam meraih kesuksesan terdapat 2 variabel yang berhubungan namun
merupakan determinan yang berbeda yaitu kontrol diri dan ketabahan. Angela
Duckworth dalam bukunya Grit menjelaskan salah satu determinan kesuksesan
yang seringkali dilupakan oleh generasi Millennials yaitu ketabahan (Grit). Dalam
menyusun sebuah tujuan, umumnya terdapat hierarki dari tujuan-tujuan yang
membentuk jaring menu tujuan yang lebih besar. Berikut ilustrasi hierarki tujuan
pada umumnya. (Duckworth & Gross, Self control and Grit: Related but Separable
Determinants of Success, 2014)

Source: Duckworth, A. (2016). Grit: Passion, Perseverance, and


The Science of Success. Harper Collins.
Generasi Milennials memiliki kesulitan dalam mengelola sifat ketabahan
ini. Dalam suatu waktu ia dapat memasang tujuan yang tinggi dan melupakan
bahwa ada tujuan-tujuan kecilnya terlebih dahulu yang harus ia lalui, ia berhasil
melalui tujuan kecilnya namun tidak memiliki ketabahan yang cukup untuk terus
menanjak dan menggapai tujuan besarnya. Atau di sisi lain tujuannya sederhana
dan terletak di hierarki dasar namun ia tidak dapat melihat konteks tujuan besarnya.
Inti dari penelitian yang dilakukan oleh Angela Duckworth adalah banyak dari
perilaku manusia yang sebenarnya adalah berorientasi pada tujuan. Dalam hal ini
konteksnya dapat saja menciptakan pertumbuhan ekonomi yang signifikan atau
menyejahterakan rakyat dengan inovasi. Variabel kontrol diri menjadi cukup sulit
dikendalikan apabila terdapat tujuan-tujuan baru ditengah perjalanannya menuju
tujuan besarnya, bentuknya dapat menjadi tujuan-tujuan pragmatis dan sebagainya
(Duckworth & Gross, Self control and Grit: Related but Separable Determinants of
Success, 2014). Disini lah peran ketabahan (Grit) untuk mempertahankan manusia
tetap meyatukan perilakunya dengan orientasi tujuan besarnya. (Duckworth, Grit:
Passion, Perseverance, and The Science of Success, 2016) 6
Apabila sifat ketabahan ini dapat dipupuk dalam diri generasi Millennials
maka sebenarnya perpaduan antara kerendahan hati dan semi otoritarianisme
dicampur dengan kebijakan Generasi X yang dipadu dengan semangat akselerasi
dan tech savvy dari Generasi Millennials merupakan perpaduan yang tepat untuk
memanfaatkan dan mengolah kesempatan bonus demografi untuk memajukan
pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

D. Pemuda dan Literasi


Melihat celah optimisme dan menjaga optimisme tersebut dalam balutan
lingkungan pesimisme menjadi sangat penting untuk para pemuda. Selain dengan
menumbuhkan kerendahan hati dan jiwa Level 5 Leadership pada Generasi X dan
juga memupuk ketabahan dalam Generasi Millennials tentunya terdapat satu hal

6
Kumpulan ide penelitan dari Angela Ducworth mengenai Grit disusun menjadi sebuah buku
bernama Grit: The Power of Passion + Perseverance
lagi yang amat penting dilakukan oleh pemuda untuk memaksimalkan potensi
bonus demografi yakni literasi. Optimisme yang ingin dibangun tentunya tidak
akan tampak apabila literasi dari para pemuda kurang memadai. Tidak diketahuinya
wawasan mengenai kelemahan dari masing-masing generasi, kurang tajamnya
analisis permasalahan yang didepan mata perbedaan generasi antara angkatan usia
produktif, serta kurang tajamnya pemahaman mengani kemungkinan dan tantangan
yang akan dihadapi akan menyebabkan pesimisme terus berkembang dan
optimisme pudar. Hal ini dapat disiasati dengan meningkatkan literasi dan wawasan
masyarakat Indonesia. Kenapa kita berada di tengah lingkungan yang seolah amat
pesimis dengan keadaan sekarang? Hal ini dikarenakan lemahnya literasi dan
tingkat wawasan masyarakat Indonesia.
Banyak sekali data yang dapat menunjukan rendahnya literasi di Indonesia.
Beberapa diantaranya adalah hasil uji International Results in Reading pada tahun
2011 menempatkan Indonesia pada peringkat 45 dari 48 negara dengan kemampuan
membaca. Di tahun 2012 dalam Program for International Student Assesment
menempatkan Indonesia dalam peringkat 64 dari 65 negara dengan skor 396 (dari
rata-rata 496) (Damayantie, 2018). Tentunya hal ini cukup membuktikan bahwa
literasi di Indonesia masih belum cukup.
Maka dari itu salah satu upaya selain meningkatkan sifat tabah dalam diri
para pemuda Generasi Millennials, meningkatkan kemampuan membaca dan
budaya literasinya juga menjadi sangat penting. Hal ini tentunya untuk menjaga
stabilitas optimisme yang telah penyusun jabarkan dalam makalah ini. Harapannya
dengan meningkatnya literasi maka penelitian dan kemajuan berpikir masyarakat
Indonesia semakin membaik dan dapat menyintesis optimismenya secara mandiri.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan disusunnya makalah ini harapannya kita tidak lagi melihat revolusi
industri 4.0 hanya sebagai potensi dan menjadi latah untuk menggunakan
terminologi ini. Setelah pembahasan mendalam mengenai sejarah-sejarah revolusi
industri harapannya pembaca dapat memahami bahwa dalam setiap revolusi
industri selalu dibersamai ancaman-ancaman baru bagi umat manusia. Sehingga
kita dapat memahami konteks cara berpikir menghadapi revolusi industri dengan
lebih tepat.
Bonus demografi adalah struktur penduduk dalam suatu negara yang
didominasi penduduk dewasa dan produktif dari segmen umur 25-64 tahun..
Demografi yang perlahan menumpuk pada usia produktif dapat dipandang sebagai
kesempatan ataupun ancaman. Generation gap atau jarak antar generasi dengan
segala perbedaan karakteristiknya merupakan sebuah potensi apabila diolah
dengan tepat. Salah satu langkah untuk mengoptimalkan potensi bonus demografi
adalah dengan elengkapi variabel determinan kesuksesan generasi produktif dalam
mencapai tujuan adalah dengan menyeimbangkan kontrol diri dan ketabahan. Sifat
sifat tersebut harus juga ditunjang dengan kerendah hatian untuk dimiliki oleh
utamanya generasi usia produktif.

B. Saran
Penyusun di akhir juga memberikan saran sebagai solusi bagi pemuda
dalam menjawab tantangan bonus demografi tersebut, terdapat beberapa langkah
yang dapat dilakukan untuk dapat bermanfaat untuk masyarakat, diantaranya
adalah:
1. Memahami konteks zaman yang sedang kita tinggal didalamnya.
2. Kritis dalam menganalisis solusi dari permasalahannya.
3. Meningkatkan kapasitas wawasan dan literasi kita dan masyarakat agar
pemikiran-pemikiran tajam lahir ditengah masyarakat dan masyarakat dapat
lebih siap menghadapi tantangan zaman yang akan datang.
Dengan disajikannya data dan pemikiran dalam makalah ini harapannya kita
dapat menjadi lebih kritis dalam menilai apa tantangan yang sedang dihadapi di
depan mata. Tentu tiada gading yang tak retak. Maka makalah ini masih jauh dari
kata sempurna. Segala masukan dan perbaikan dalam hal meluruskan pemikiran
atau klarifikasi konteks data sangat diperlukan untuk menambah kekayaan ide
yang terdapat pada makalah ini. Sekian dan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA

Beck, D. E., & Cowan, C. C. (1996). Spiral Dynamics, mastering values,


leadership, and change. Cornwall : Blackwell Publishing .

Collins, J. (2001). Good to Great. Harper Business.

Damayantie, A. R. (2018). Literasi dari Era ke Era. Journal UPGRIS, 1-10.

Dolan, E. (2017, January 23). Demographic Dividends Of The Past And Headwinds
That Will Shape US Growth In The Trump Era. Retrieved from Seeking
Alpha: https://seekingalpha.com/article/4038714-demographic-dividends-
past-headwinds-will-shape-us-growth-trump-era

Duckworth, A. (2016). Grit: Passion, Perseverance, and The Science of Success.


Harper Collins.

Duckworth, A., & Gross, J. J. (2014). Self control and Grit: Related but Separable
Determinants of Success. Association for Psychological Science, 1-7.

Fry, R. (2018, April 11). Millennials are the largest generation in the U.S. labor
force. Retrieved from Pew Research Center:
http://www.pewresearch.org/fact-tank/2018/04/11/millennials-largest-
generation-us-labor-force/

Gray, A. (2016, January 16). The 10 skills you need to thrive in the Fourth Industrial
Revolution. Retrieved from World Economic Forum:
https://www.weforum.org/agenda/2016/01/the-10-skills-you-need-to-
thrive-in-the-fourth-industrial-revolution/

Harari, Y. N. (2014). Sapiens: A brief history of mankind. London: Harvill Secker.

Jati, W. R. (2015). BONUS DEMOGRAFI SEBAGAI MESIN PERTUMBUHAN


EKONOMI: JENDELA PELUANG ATAU JENDELA BENCANA DI
INDONESIA? Populasi, 1-19.
Marr, B. (2018, September 2). What is Industry 4.0? Here's A Super Easy
Explanation For Anyone. Retrieved from Forbes:
https://www.forbes.com/sites/bernardmarr/2018/09/02/what-is-industry-4-
0-heres-a-super-easy-explanation-for-anyone/#2bd83d4c9788

Peopleshift. (2019, February). Intergenerational Communication. -. Jakarta,


Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai