Anda di halaman 1dari 28

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit arteri perifer (PAP) adalah penyempitan dari arteri perifer

di kaki, perut, lengan dan kepala, sering terjadi di kaki. PAP ini relatif

sama dengan penyakit arteri koroner karena disebabkan oleh proses

aterosklerosis yang menyempit dan menyumbat di berbagai arteri penting

di tubuh.1

Prevalensi PAP mencapai sekitar 20% dari orang dewasa usia lebih

dari 55 tahun.Puncak insidens adalah 60 kasus per 10.000 orang pertahun

dengan prevalensi 8 juta oang di Inggris.2 Indonesia sendiri prevalensi

PAP menca;pai 9,7% dan setiap satu juta orangnya, 13.807 diantaranya

menderita PAP.3

Menurut guideline AHA 2016, klasifikasi PAP dibagi menjadi

empat kategori yaitu asimptomatis, klaudikasio, kritikal limb iskemik dan

akut limb iskemik. Acute limb ischemic (ALI) adalah penurunan perfusi

anggota gerak secara tiba-tiba yang menyebabkan ancaman langsung

terhadap viabilitas anggota gerak. Munculannya bisa terjadi hingga 2

minggu dari onset gejala. ALI dapat diingat dengan “6P” yaitu pain

(nyeri), paralysis (kelumpuhan), paresthesia (kesemutan), pulselessness

(hilangnya pulsasi), poikilothermia (suhu berbeda-beda), and pallor

(pucat).4

Ad hoc committee of the Society for Vascular Surgery and the

North American Chapter of the International Society for Cardiovasculer

1
Surgery menciptakan suatu klasifikasi untuk oklusi arterial akut. Dikenal

tiga kelas yaitu, Kelas I (tidak mengancam ekstremitas); Kelas II

(mengancam ekstremitas); Kelas III (iskemia telah berkembang menjadi

infark). Berdasarkan Rutherfort klasifikasi akut Limb Iskemik dapat

dikategorikan sebagai Kelas I (perfusi jaringan masih cukup), Kelas II-a

(perfusi jaringan tidak memadai pada aktifitas tertentu),Kelas II-b (perfusi

jaringan tidak memadai), Kelas III (telah terjadi iskemia berat yang

mengakibatkan nekrosis, kerusakan saraf yang permanen, irreversible,

kelemahan ekstremitas, kehilangan sensasi sensorik, kelainan kulit atau

gangguan penyembuhan lesi kulit). Berdasarkan keparahannya ALI

diklasifikasikan menjadi, incomplete, complete, dan irreversible.4

1.2 Batasan Masalah

Makalah ini membahas tentang Acute limb ischemic , serta

diagnosis dan penatalaksanaannya.

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini bertujuan untuk meningkatkan

pengetahuan dan pemahaman mengenai diagnosis dan penatalaksanaan

dari Acute limb ischemic .

1.4 Metode Penulisan

Metode penulisan yang digunakan dalam referat ini berupa hasil

tinjauan kepustakaan yang mengacu pada berbagai literatur, termasuk

buku, teks dan artikel ilmiah.

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Akut Limb Iskemik

Acute Limb Ischemic (ALI) adalah penurunan perfusi ekstremitas

bawah secara tiba-tiba yang menyebabkan potensi ancaman terhadap viabilitas

anggota gerak. Munculannya bisa terjadi hingga 2 minggu dari onset gejala.4

Pada referensi lain, ALI merupakan akibat penyumbatan tiba-tiba di aliran

arteri ekstremitas karena emboli atau trombus. Ancaman tersebut tidak hanya

pada angggota gerak tubuh, namun juga berisiko tinggi untuk pasien

meninggal. Hipoperfusi anggota gerak tubuh dapat menyebabkan kelainan

asam-basa sistemik dan elektrolit yang mengganggu fungsi kardiopulmooner

dan ginjal.5

2.2 Epidemiologi

Insidens Acute limb ischemic (ALI) mencapai 1,5 kasus per 10.000

orang pertahun . ALI sering pada laki-laki dan wanita tua dengan usia rata-rata

75 tahun. Faktor risikonya berupa usia, perokok, diabetes, obesitas, pola hidup

yang tidak teratur , riwayat penyakit vaskular dalam keluarga, kolestrol tinggi

dan hipertensi.6

Insiden ALI pada ekstremitas bawah mencapai 9–16 kasus per 100.000

orang per tahun dan sekitar 1–3 kasus per 100.000 orang per tahun yang

mengalami ALI pada ekstremitas atas.7

3
2.3 Etiologi

Perlunya membedakan antara emboli dengan thrombosis in situ tidak

boleh mengurangi kepentingan dalam mendiagnosa dan memberikan terapi

secara cepat dantepat. Meskipun demikian, kondisi iskemia yang disebabkan

oleh emboli terkait dengan adanya onset yang cepat, riwayat penyakit jantung

sebelumnya, dan tidak adanya riwayat PAD sebelumnya. Ekstremitas yang

kontralateral cenderung memberikan hasil normal pada pemeriksaan, tanpa

ada stigmata kejadian atherosklerosis sistemik.

Tabel 2.1. Etiologi Acute Limb Ischemic 8

a. Thrombosis

Thrombosis in situ lebih berperan sebagai penyebab kasus iskemia anggota

gerak akut dibandingkan emboli sebagaimana ditunjukkan pada trial Thrombolysis or

Peripheral Arterial Surgery (TOPAS), sekitar 85% dari seluruh kasus. Angka

kejadian kasus emboli telah menurun sejak beberapa dekade terakhir. Pada penelitian

yang dilakukan di Yunani, yang mengevaluasi penyebab iskemia anggota gerak akut

pada pusat-pusat rujukan antara tahun 2000 dan 2004, 40% kasus disebabkan oleh

kejadian emboli, sedangkan in situ thrombosis menjadi penyebab pada 50% kasus,

dan sisanya sebesar 10% disebabkan oleh trauma, injuri iatrogenic, vaskulitis, atau

4
diseksi. Sebanyak 78% kasus emboli berasal dari jantung, dan sebanyak 9% dari

kasus emboli tidak ditemukan asalnya.

Di antara seluruh kasus thrombosis in situ, 30% terjadi pada arteri normal,

sedangkan 70% terjadi pada pembuluh darah yang mendapat intervensi (65% graft

thrombosis dan 5% berupa thrombosis akibat pemasangan stent di iliac atau

infrainguinal). 30% penyebab iskemia anggota gerak akut dikarenakan surgical graft

thrombosis. Pasien dengan graft dapat mengalami graft thrombosis dan berkembang

menjadi gejala iskemia anggota gerak akut dikarenakan degenerasi graft atau adanya

permasalahan mekanis seperti stenosis anastomosis atau retained valves. Kompresi

atau kinking pada graft juga dapat menyebabkan thrombosis. Dengan adanya metode

stent grafting untuk penyakit aneurisma aortoiliac, maka thrombosis stent graft akut

ditambahkan menjadi salah satu penyebab iskemia anggota gerak.

Trombosis in situ pada aneurisma arteri poplitea biasanya muncul bersama

dengan iskemia anggota gerak akut. Pada suatu review yang dilakukan pada hampir

900 pasien yang mengalami iskemia anggota gerak akut sekunder akibat thrombosis

aneurisma popliteal, dilaporkan angka kejadian amputasi sebesar 14%. Pada

penelitian ini, terapi trombolisis dengan dipandu kateter yang dilakukan sebelum

tindakan pembedahan tidak dapat menurunkan angka kemungkinan dilakukan

amputasi, akan tetapi hal ini secara signifikan akan meningkatkan patensi graft dalam

jangka panjang, diduga karena dengan melakukan tindakan ini akan memaksimalkan

patensi pembuluh darah tibial9,10.

Keputusan untuk melakukan trombolisis dengan panduan kateter harus

disesuaikan dengan kondisi klinis dan kegawatan untuk dilakukan revaskularisasi.

Pada pencatatan masalah vascular di Swedia, angka amputasi pada kejadian

thrombosis akut pada aneurisma popliteal sebesar 17% pada pasien yang mengalami

iskemia akut dan hanya sebesar 1,8% pada aneurisma asimtomatik yang memerlukan

terapi elektif.8,9

5
b. Emboli

Iskemia anggota gerak akut sering disebabkan oleh emboli, seringkali berasal

dari jantung. Embolus sering menyumbat pada bifurkasio aortoiliac, bifurkasio

femoral atau trifurkasio popliteal. Selama beberapa dekade terakhir, etiologi kejadian

kardioemboli semakin berkembang. Emboli yang disebabkan oleh rheumatic mitral

stenosis dengan pembesaran atrium merupakan suatu kejadian yang jarang terjadi

karena prevalensi penyakit katup jantung rematik saat ini telah menurun secara

substansial.

Fibrilasi atrium yang terkait usia dan disfungsi ventrikel kiri dengan

pembentukan thrombus di apeks merupakan penyebab terbanyak kejadian

kardioemboli. Penyebab yang lebih jarang meliputi endokarditis, intrakardiac

myxoma, atau paradoxical embolism yang disebabkan oleh patent foramen ovale

yang memungkinkan transit thrombus yang ada di vena ke dalam sirkulasi arteri.

Oklusi emboli akut terkait aneurisma aorta dan thrombus intramural jarang terjadi.10

c. Penyebab Iatrogenik

Iskemia anggota gerak akut dapat disebabkan oleh metode akses arterial

melalui arteri femoralis dan injuri pembuluh darah di lokasi akses, baik dengan

terbebasnya alat penutup vaskular ataupun dengan adanya injuri langsung pada arteri

femoralis major maupun arteri iliaca major. Demikian juga, thrombosis yang terjadi

terkait kateter dan emboli pada arteri popliteal dapat terjadi.8,10

d. Sebab Lain

Vasospasme yang intens, seperti akibat ergotism atau konsumsi kokain, telah

dilaporkan dapat menyebabkan oklusi pada distal aorta dan pembuluh darah iliaka

dimana tunika intima mengalami kompresi oleh tunika media. DVT (deep vein

thrombosis) Iliofemoral dengan pembengkakan massif pada paha dapat menyebabkan

6
gangguan pada aliran arterial ke kaki. Sindroma phlegmasia cerulean dolens

membutuhkan terapi trombolisis dengan dipandu kateter yang harus dilakukan segera

untuk mengembalikan aliran darah balik vena dan juga aliran arterial ke ekstremitas

bawah.

2.4 Patofisiologi

Kebanyakan emboli menyebabkan sumbatan di area percabangan arteri,

bifurkasio aorta, iliaca, femoral, atau popliteal di area kaki, dan bifurkasio brachial pada

lengan. Thrombosis in situ seringkali menyebabkan gangguan pada arteri femoral dan

popliteal, terutama pada kondisi pasien yang pernah mengalami bypass arteri, rupture

plak atherosclerosis, atau pada keadaan low output. Penghentian aliran arteri ke

ekstremitas secara mendadak memicu kompleks proses patofisiologis.

Jaringan yang mengalami malperfusi akan mengalami perubahan metabolism,

dari metabolism aerob menjadi metabolism anaerob. Perubahan rasio laktat – piruvat

akan meningkatkan produksi laktat, meningkatkan konsentrasi ion hydrogen, dan

akhirnya menyebabkan terjadi acidosis. Iskemia yang progresif menyebabkan disfungsi

dan kematian sel. Hipoksia otot akan menurunkan simpanan adenosine triphosphate

(ATP) intraseluler, dan menyebabkan disfungsi sodium/potassium-ATPase dan kanal

calcium/sodium sehigga menyebabkan kebocoran kalsium intrasel ke dalam miosit. Level

kalsium bebas intraseluler akan meningkat dan berinteraksi dengan actin, myosin, dan

protease, menyebabkan nekrosis pada serabut otot. Bersamaan dengan kerusakan pada

integritas mikrovaskular dan membrane sel, potassium, fosfat, kreatinin kinase dan

myoglobin intrasel akan keluar dari sel ke sirkulasi sistemik. Lebih lanjut, reperfusi

meningkatkan perubahan-perubahan yang terjadi dalam sel ini.9

Jaringan otot dan saraf cukup rentan mengalami injuri iskemia, sehingga ada atau

tidaknya deficit neuromotor merupakan suatu poin yang sangat penting untuk menilai

keparahan iskemia anggota gerak akut. Kerusakan otot yang ireversibel akan dimulai

7
sejak 3 jam setelah terjadi iskemia dan kerusakan ini akan total setelah mencapai 6 jam.

Selain injuri miosit, injuri pada otot skeletal akan diikuti dengan kerusakan mikrovaskular

yang progresif. Semakin parah kerusakan seluler yang terjadi, makin besar perubahan

yang dialami mikrovaskular. Pada kondisi nekrosis otot, aliran mikrovaskular berhenti

dalm waktu beberapa jam. Secara teori, butuh waktu sekitar 6 jam untuk menyebabkan

injuri fungsional yang ireversibel. Rentang waktu ini dapat lebih lama pada kondisi

ekstremitas yang memiliki aliran darah kontralateral.9

Kondisi iskemik akan memicu suatu kondisi injuri reperfusi, suatu proses yang

dipicu oleh pengembalian perfusi dan dimediasi oleh kompleks kaskade sitokin, reactive

oxygen species (ROS), dan neutrofil. Reactive oxygen species (seperti : superoxide anion,

hydrogen peroksida, hidroksil radikal, peroksinitrit) diproduksi oleh neutrofil teraktivasi

dan xanthine oxidase, suatu enzim yang berlokasi di sel endotel mikrovaskular pada otot

skeletal dan teraktivasi pada kondisi iskemik. Di bawah kondisi normal, xanthine

dehydrogenase menggunakan nicotinamide adenine dinucleotide untuk mengoksidase

hypoxanthine menjadi xanthine. Xanthine dehydrogenase diubah menjadi xanthine

oksidase setelah 2 jam iskemia. Selama iskemia berlangsung, ATP didegradasi menjadi

hypoxanthine, akan tetapi xanthin oxidase membutuhkan oksigen untuk mengubah

hypoxanthine menjadi xanthine. Sehingga, hypoxanthine akan terakumulasi selama

iskemia. Ketika oksigen diperoleh selama fase reperfusi, isoform xanthine dehydrogenase

akan teraktivasi. Perubahan hypoxanthine dalam jumlah besar-besaran akan menciptakan

reactive oxygen species.9

Substrat yang esensial dalam produksi radikal-radikal ini adalah oksigen

molecular yang dihasilkan selama proses reperfusi. Oksidan yang berasal dari xanthine

oxidase memediasi peningkatan permeabilitas vaskular dalam otot postischemic. Peran

penting oksigen elemental dan peran oksigen radikal dalam injuri reperfusi sering

diabaikan pada penelitian-penelitian yang menunjukkan bahwa reperfusi yang dimulai

dengan darah autolog yang terdeoksigenasi mencegah peningkatan permeabilitas setelah

8
iskemik. Merubah darah yang memperfusi menjadi darah yang teroksigenasi selama

reperfusi mirip dengan respon injuri mikrovaskular yang tampak setelah reperfusi

normoxic. Demikian juga, pengenalan oksigen kembali secara bertahap di awal reperfusi

akan menurunkan injuri postischemic. Suplementasi tambahan dengan pembasmi radikal

bebas dan menurunkan konsumsi oksigen akan menurunkan injuri pada nekrosis

postischemic.11

Neutrofil yang teraktivasi merupakan agen utama yang berperan menyebabkan

kerusakan local maupun sistemik yang disebabkan proses reperfusi. Leukosit juga

memegang peran yang sama pentingnya dalam menyebabkan injuri reperfusi. Neutrofil

teraktivasi akan terakumulasi di dalam otot yang mengalami reperfusi dan memproduksi

metabolit oksigen reaktif, melepaskan enzim sitotoksik, dan mengoklusi jalur

mikrosirkulasi. Menurunkan jumlah leukosit telah diketahui mampu mereduksi injuri

iskemia-reperfusi. Reperfusi dengan darah yang teroksigenasi dengan jumlah kandungan

leukosit yang telah terdeplesi menggunakan filter dapat mencegah peningkatan

permeabilitas vaskular pada otot skelet canine. Menariknya, menginduksi terjadinya

neutropenia sebelum iskemia akan mengembalikan membran potensial transmembran dan

fungsi kontraksi pada otot postischemic.8,10

Iskemia dan reperfusi otot skelet akan menstimulus sejumlah kaskade inflamasi

tambahan yang melibatkan aktivasi komplemen, meningkatkan ekspresi molekul adhesi,

pelepasan sitokin, sintesa eicosanoid, pembentukan radikal bebas, perubahan sitoskeletal,

deplesi adenine nucleotide, perubahan metabolism kalsium dan fosfolipid, aktivasi

leukosit, dan disfungsi endotel. Interleukin (IL)-1β dan tumor necrosis factor (TNF) – α

dapat segera dideteksi setelah reperfusi dan memicu molekul adhesi pada permukaan sel

endotel, emningkatkan kebocoran kapiler, dan menstimulasi produksi IL-6 dan IL-8, yang

mana lebih lanjut meningkatkan permeabilitas endotel, menghancurkan integritas endotel,

dan mengaktivkan leukosit.11

9
Efek klinis dari respon seluler terhadap reperfusi berupa pembengkakan jaringan,

suatu kondisi kerusakan yang hebat pada ruang tertutup di lengan bawah, paha, betis, dan

pantat. Peningkatan tekanan kompartemen di dalam batas fascia menyebabkan

compartment syndrome: tekanan kompartemen yang meningkat menyebabkan penurunan

gradient perfusi dan aliran darah kapiler sehingga tidak mencukupi kebutuhan metabolic,

menyebabkan kondisi iskemia dan nekrosis yang semakin parah. Pelepasan mioglobin

dapat menyebabkan kerusakan ginjal. Peningkatan permeabilitas endotel dapat

menyebabkan acute lung injuri, suatu proses yang telah diujikan pada hewan coba

dengan menginduksi terjadinya neutropenia secara kimiawi, menunjukkan bahwa aktivasi

dan transmigrasi neutrofil serta hilangnya integritas endotel merupakan hal-hal penting

dalam acute lung injury pada injuri reperfusi. Sehingga, edema paru noncardiac dapat

terjadi setelah proses reperfusi pada ekstremitas bawah, suatu proses yang dapat dicegah

dengan deplesi granulosit.11

Sindroma reperfusi terdiri atas dua komponen. Respon local terhadap reperfusi

memicu terjadinya pembengkakan jaringan, sedangkan respon sistemik terhadap reperfusi

dapat berupa kegagalan multiorgan dan kematian. Respon sistemik inilah yang

menyebabkan kegagalan intervensi pada iskemia anggota gerak tingkat lanjut dan

ireversibel. Derajat respon inflamasi yang terjadi setelah proses reperfusi bervariasi.

Ketika nekrosis otot seragam maka dikatakan respon inflamasinya kecil. Derajat

kerusakan iskemik, meskipun begitu, akan bervariasi tergntung proksimitas jaringan

terhadap lokasi oklusi dan efisiensi suplai darah melalui pembuluh kolateral.Besar

kecilnya respon inflamasi akan ditentukan oleh seberapa luas zona iskemik (tapi tidak

sepenuhnya nekrotik). Sehingga reperfusi pada sekelompok besar otot yang terjadi

dengan injuri iskemik tingkat lanjut dan nekrosis jaringan akan menyebabkan pelepasan

sejumlah besar mediator inflamasi toksik ke dalam sirkulasi sistemik. Efek perusak dari

proses reperfusi dapat menyebabkan pasien dengan injuri iskemik ireversibel harus

diamputasi.12

10
2.5 Gejala Klinis

Gejala klinis yang timbul biasanya mendadak dan hebat, onset muncul

dalam beberapa jam dan dapat berkembang hingga beberapa hari akibat oklusi

embolus, klaudikasio intermiten baru atau yang mengalami perburukan. Onset

cepat dari Acute Limb Ischmic merupakan akibat penghentian suplai darah dan

nutrisi yang tiba-tiba ke jaringan tubuh, berbeda dengan chronic limb ischemic

yang masih memungkinkan kompensasi untuk membentuk perdarahan

kolateral. 13

Tampilan klinis yang muncul pada pasien ALI diingat dengan 6 P’s

yaitu :

1. Pain (nyeri)

Riwayat nyeri harus ditanyakan mengenai durasi, lokasi, intensitas dan

onset serta perubahannya dari waktu ke waktu, termasuk riwayat klaudikasio

intermiten. Oklusi embolus biasanya menimbulkan nyeri yang mendadak dan

dengan intensitas yang hebat, dengan onset dalam beberapa jam. Namun

apabila sudah mengalami neuropathy bisa saja nyeri sudah tidak dirasakan

lagi.

2. Pallor (pucat)

Pada saat terjadi sumbatan hebat mengakibatkan penurunan perfusi darah

sehingga kulit akan tampak bewarna putih “marble”. Beberapa jam kemudian

akan tampak perubahan warna menjadi biru muda atau ungu akibat

deoksigenasi.

11
3. Poikilothermia (suhu berbeda-beda)

Poikilothermia penting untuk dicatat untuk mengevaluasi progresifitas

iskemik. Suhu permukaan akan berkurang pada keadaan penurunan perfusi.

Perbedaan suhu paling baik diraba pada bagian dorsum jari, dan dibandingkan

dengan ekstremitas kontralateral atau bagian proksimal ipsilateral.

4. Pulselessness (hilangnya denyut)

Denyut sangat berguna untuk menentukan lokasi oklusi, misalnya jika

teraba denyut di daerah femoral tetapi tidak teraba di daerah popliteal, hal ini

mengindikasikan adanya oklusi pada arteri femoralis superfisial. Jika denyut

tidak teraba, pemeriksaan dengan Doppler harus dilakukan untuk menentukan

apakah denyut tidak ada atau dibawah ambang denyut perabaan.

5. Paresthesia (kesemutan)

6. Paralysis (kelumpuhan)

Kemampuan sensorik seperti taktil, propriosepsi dan persepsi getaran

penting untuk diperiksa. Kurangnya respon sensoris menunjukkan keadaan

iskemia ireversibel, dan pasien mungkin paling baik diobati dengan amputasi.
14,15

2.6 Klasifikasi

Klasifikasi Acute Limb Ischemic berdasarkan gejala klinis sesuai

kriteria Rutherford :

12
Tabel 2.2 Klasfikasi Rutherford16

● Kategori I : masih dapat dipertahankan, perfusi jaringan masih cukup

meski terdapat penyempitan arteri, tidak ada kehilangan sensasi motorik dan

sensorik, pada pemeriksaan doppler sinyal arteri dan vena dapat terdengar.

● Kategori II a : perfusi jaringan tidak memadai pada aktivitas tertentu,

dapat diselamatkan jika ditatalaksana dengan baik dan segera, dapat

ditemukan kehilangan sensasi sensoris pada jari namun sensori motorik masih

baik, pemeriksaan doppler sinyal vena dapat terdengar tetapi arteri tidak.

● Kategori II b : dapat diselamatkan jika segera dilakukan revaskularisasi,

kehilangan sensasi sensoris lebih luas dan kelemahan motorik otot ringan

hingga sedang, pada pemeriksaan doppler sinyal vena dapat terdengar tetapi

arteri tidak.

Kategori III : telah terjadi kerusakan jaringan dan syaraf yang tidak bisa

diselamatkan, sensasi sensoris tidak ada sama sekali sehingga nyeri juga

sudah tidak dirasakan, kelumpuhan pada motorik dan paa pemeriksaan

doppler arteri dan vena tidak terdengar sama sekali. 16

13
2.7 Diagnosis

2.7.1 Anamnesis

Anamnesis mempunyai 2 tujuan utama:

a. Menanyakan gejala yang muncul pada kaki yang berhubungan dengan

keparahan dari iskemia anggota gerak (Riwayat Penyakit Sekarang)

b. Mengkaji informasi terdahulu , mencari etiologi, diagnosis banding, dan

adanya penyakit komorbid pada penyakit sekarang.17

Hal-hal yang perlu ditanyakan saat menganamnesa pasien ALI adalah :

● Riwayat Penyakit Sekarang

Gejala kaki pada ALI berhubungan terhadap nyeri atau gangguan

fungsi. Onset serangan dan waktu nyeri yang tiba-tiba, lokasi dan

intensitasnya, bagaimana perubahan keparahan sepanjang waktu harus digali

pada pasien. Untuk mengetahui gejala, pertanyaan yang ditanyakan berupa

adanya rasa sakit pada kaki waktu berjalan, apakah rasa sakit muncul pada

waktu perubahan posisi dari duduk ke berdiri atau sebaliknya, dan juga

untuk mengetahui lokasi rasa sakit dan apakah rasa sakit masih dijumpai

saat istirahat. Onset tiba-tiba dapat memiliki implikasi etiologi (seperti,

emboli arteri yang cenderung muncul lebih mendadak daripada arterial

thrombosis). Penyebab alternatif nyeri tungkai saat berjalan banyak,

termasuk stenosis spinal, artritis, saraf yang tertekan, sindrom kompartemen

kronis, sehingga hal ini harus disingkirkan.17

● Riwayat dahulu

Hal ini penting untuk ditanyakan, apakah pasien mempunyai nyeri

pada kaki sebelumnya (seperti, riwayat klaudikasio), apakah telah

14
diintervensi untuk “sirkulasi yang buruk” pada masa lampau, dan apakah

didiagnosis memiliki penyakit jantung (seperti, atrial fibrilasi) maupun

aneurisma (seperti, kemungkinan sumber emboli). Pasien juga sebaiknya

ditanyakan tentang penyakit serius yang berbarengan atau factor risiko

aterosklerotik (hipertensi, diabetes, penggunaan tembakau, hiperlipidemia,

riwayat keluarga terhadap serangan jantung, stroke, jendalan darah, atau

amputasi.).17

2.7.2 Pemeriksaan Fisik

Hal penting saat melakukan pemeriksaan fisik pada pasien ALI adalah

membandingkan satu kaki dengan kaki sebelahnya. Pemeriksaan yang dapat

dilakukan adalah :

a. Inspeksi kaki

Adanya tanda-tanda rubor, pucat, tidak adanya bulu kaki, distropia

kuku jari ibu kaki dan rasa dingin pada tungkai bawah, kulit kering, fisura

pada kulit yang merupakan tanda insufisiensi pembuluh darah. Diantara jari

kaki juga ditemui adanya fisura, ulserasi dan infeksi. Adanya bruit pada

femoral menolong pemeriksa untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteri

perifer yang cukup tinggi yaitu 95% dari data yang ada, dan dikatakan

walaupun sensitifitas dari pemeriksaan fisik sekitar 29% tapi dengan

kehadiran bruit diatas, kemungkinan untuk ALI pada pasien yang diperiksa

adalah 5,7 kali lebih besar.18

b. Palpasi denyut nadi perifer

Pada palpasi, denyut nadi merupakan komponen rutin yang harus

dinilai. Penilaian meliputi arteri femoralis, poplitea dan arteri dorsalis pedis.

15
Denyut arteri dorsalis pedis akan menghilang pada 8,1% populasi normal,

arteri tibialis posterior pada 2,0% populasi normal. Bila tidak dijumpai

kedua denyut nadi pada kaki tersebut diduga kuat adanya penyakit

vaskular.18

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk diagnosa dan

evaluasi penyakit acute limb ischemic adalah: 18,19

a. Ankle Brachial Index (ABI)

Test ini mudah dan murah dalam medeteksi penyakit ALI dengan

menghitung rasio TD sistolik pembuluh darah arteri pedis dibanding

pembuluh darah arteri brakhialis. Dilakukan pengukuran menggunakan

tensimeter dan hand-held Doppler. Pengukuran ABI dilakukan sesudah

pasien berbaring 5 – 10 menit. Test ini mencatat TD sistolik kedua arteri

brachialis dan kedua arteri dorsalis pedis serta arteri tibialis posterior. ABI

dihitung pada masing-masing tungkai dengan pembagian nilai tertinggi TD

sistolik pergelangan kaki dibagi nilai tertinggi TD sistolik lengan, yang

dicatat nilai dengan 2 angka desimal. Interpretasinya sebagai berikut :

Nilai ABI Interpretasi

>1,4 Dugaan kalsifikasi arteri


1 – 1,4 Normal
0,91-0,99 Borderline
<0,90 Abnormal
Tabel 2.3 Ankle Brachial Index (ABI)
ACC/AHA merekomendasikan bahwa pengukuran ABI sebaiknya dilakukan
pada :

16
1. Individu yang diduga menderia gangguan arteri perifer karena adanya
gejala exertional leg atau luka yang tidak sembuh
2. Usia >65 tahun

3. Usia >50 tahun yang mempunyai riwayat DM atau merokok

Keterbatasan ABI adalah :

1. Tidak dapat menentukan lokasi pasti dari stenosis atau oklusi

2. ABI dapat meningkat karena adanya kalsifikasi arteri pada pergelangan

kaki pasien dengan diabetes melitus, gagal ginjal, rheumatoid arthritis,

perlu dilakukan Toe Brachial Test

3. Beberapa individu dengan stenosis arteri dapat mengalami gejala


klaudikasio saat beraktifitas walaupun tekanan pergelangan kaki yang
normal saat istirahat , sehingga diperlukan evaluasi vaskular lainnya.
Kontraindikasi ABI

1. Terdapat sakit yang luar biasa dikaki bagian bawah

2. Terdapat trombosis vena dalam yang dapat menyebabkan lepasnya

trombus

3. Nyeri berat terkait dengan luka pada ekstremitas bawah

b. Segmental Limb Pressure dan Pulse Volume Recording

Segmental Limb Pressure dapat menilai adanya penyakit arteri perifer

serta lokasinya yang dicatat dengan alat doppler dari Plaethysmographic Cuffs

yang ditempatkan pada arteri brakialis dan daerah tungkai bawah termasuk

diatas paha, dibawah lutut dan pergelangan kaki. Test ini mempunyai batasan

yang sama dengan ABI tentang adanya pembuluh darah yang kaku. Segmental

Limb Pressure dapat diukur tersendiri, tetapi umumnya digunakan bersamaan

dengan Pulse Volume Recording, dimana kombinasi kedua pengukuran ini

17
mempunyai akurasi diagnostik 97%. Pulse volume recording digunakan

dengan sistem cuffs dimana Pneumo Plaethysmograph mendeteksi perubahan

volume pada tungkai melalui siklus jantung. Perubahan kontur nadi dan

amplitudo juga dapat dianalisa. Gelombang normal bila kenaikannya tinggi,

puncak sistolik yang menajam, pulsasi yang menyempit, adanya dicrotic notch

sampai dasar. Pada gangguan arteri perifer, terdapat gambaran gelombang yang

mulai landai, puncak yang melingkar, pulsasi yang melebar, dicrotic notch

yang menghilang dan melengkung ke bawah.

c. Exercise Stress Testing

Pengukuran ABI dilakukan dengan kombinasi pre dan post aktivitas yang

dapat digunakan untuk menilai gejala tungkai bawah yang disebabkan

gangguan pembuluh darah arteri perifer / pseudo-claudication dan menilai

status fungsi pasien dengan gangguan pembuluh darah arteri perifer. Metode

ini bersifat non invasive dan baik dalam mendeteksi gangguan pembuluh darah

arteri perifer. Metode ini digunakan bila nilai ABI saat istirahat normal, tetapi

secara klinis diduga ada gangguan.

Pasien diminta untuk berdiri di samping ranjang periksa dan melakukan

jinjit berulang-ulang selama satu menit. Selanjutnya sambil berbaring

dilakukan pemeriksaan pulsasi. Bila ditemukan adanya pulsasi yang

menghilang, tapping atau bruit; dapat dipastikan terdapat gangguan aliran

darah. Tekanan darah yang berkurang lebih dari 20% menunjukkan adanya

kemungkinan ALI.

18
d. Duplex Ultrasonography

Pemeriksaan color-flow duplex ultrasound memungkinkan visualisasi

hemodinamik dari arteri menggunakan pencitraan grey scale, colour-flow

Doppler, dan pulse Doppler velocity profiles. Pencitraan grey-scale akan

menggambarkan anatomi arteri dan adanya plaque ekogenik. Color-flow

Doppler akan menampilkan aliran darah yang berwarna dan Doppler velocity

profiles akan menghitung kecepatan aliran dalam bagian penampang arteri

yang diperiksa.

Alat ini berguna dalam mendeteksi PAP pada tungkai bawah yang juga

sangat berguna dalam menilai lokasi penyakit dan membedakan adanya lesi

stenosis dan oklusi, selain itu juga dapat digunakan sebagai persiapan untuk

pasien yang akan dilakukan tindakan / intervensi. Duplex Ultrasonography

merupakan kombinasi analisa gelombang doppler dan kecepatan aliran

(velosity) doppler.

e. Angiography

Pemeriksaan angiografi merupakan pemeriksaan "gold standar" dalam

kelainan arteri perifer. Pada tahun 1990-an, diperkenalkan pengembangan dari

angiografi konvensional yaitu teknik digital subtraction angiography yang

dapat "mengaburkan" gambaran tulang sehingga citra arteri dan

percabangannya menjadi lebih jelas dan tajam.

Pemeriksaan angiografi adalah pemeriksaan invasif dan memerlukan izin

pasien. Saat ini di Indonesia pemeriksaan invasif ini dapat dikerjakan oleh

radiologis, kardiologis, atau bedah vaskular. Pemeriksaan angiografi

19
memberikan resiko kepada pasien dengan gagal ginjal oleh karena

menggunakan zat kontras.

f. Computed Tomography Angioraphy (CTA)

CTA digunakan sebagai alat terbaru diagnostik penyakit arteri perifer,

dengan kemampuan resolusi tampilan gambar yang lebih baik dan tiap

scanning menampilkan 64 channel menggunakan multidetector scanner.

Menurut AHA, CTA dipakai dalam perencanaan tindakan revaskularisasi,

mempunyai kemampuan menampilkan gambar yang lebih cepat dan ketepatan

lebih baik dibandingkan dengan MRI. CTA khususnya berguna dalam

pencitraan kelainan pembuluh darah yang memiliki struktur kompleks seperti

dalam kasus-kasus aneurisma aorta. CTA memiliki kerugian yang sama dengan

pemeriksaan angiografi biasa yaitu; berbahaya digunakan pada pasien dengan

gagal ginjal. Zat kontras pada CTA diberikan melalui intravena.

g. Magnetic Resonance Angiography (MRA)

MRA khusus digunakan sebagai diagnosa radiologi penyakit arteri perifer.

MRA dilakukan sebagai tindakan lanjutan persiapan evaluasi re-vaskularisasi.

Citra angiografi diperoleh melalui pemeriksaan MRI. Zat kontras diberikan

secara intravena. MRA atau CTA dapat diindikasikan apabila pasien tidak

dapat mentolerir tusukan intra-arterial, misal karena kelainan bilateral atau

kelainan perdarahan. MRA dikontraindikasikan pada pasien dengan alat pacu

jantung atau katup prostesis metal.

2.8. Penatalaksanaan

2.8.1.Medikamentosa

Begitu diagnosa ditegakkan pengobatan awalnya adalah dengan pemberian

20
unfractionated heparin, diberikan dalam bentuk bolus dan pemeliharaan.

Pengobatan selalu bersifat multi modalitas, pengobatan medikamentosa selalu

dilakukan biasanya berupa trombolitik seperti Tissue Plasminogen Activator,

streptokinase , urokinase dan lain lain. Pada penderita iskemia tungkai akut pada

saat penderita datang biasanya langsung dilakukan pemberian heparin. Ada dua

tujuan yang ingin dicapai dengan pemberian heparin yaitu untuk mencegah

bertambah besarnya trombus dan mencegah pembentukan fokus-fokus baru

emboli. Dilakukan juga kontrol dengan pemeriksaan activated partial

thromboplastine time (APTT) dengan target sekitar 2 kali kontrol. Revaskularisasi

yang dilakukan pada penderita iskemia tungkai akut bisa berbahaya bagi

penderita. Penurunan perfusi pada tungkai mengakibatkan pelepasan zat-zat

toksik radikal bebas dari daerah yang mengalami iskemia dan memasuki sirkulasi

sistemik. Ini akan mengakibatkan gangguan fungsi pada organ seperti ginjal, paru

, jantung dan otak. Hal ini dikenal sebagai cedera reperfusi dan bisa

mengakibatkan kematian penderita yang telah menjalani revaskularisasi.

Pertimbangan untuk revaskularisasi ada pada dokter karena sering

pertimbangan pasien dalam hal ini tidak realistis terutama jika tindakan

revaskularisasi dapat mengancam kehidupan penderita.20

2.8.2. Revaskularisasi Endovaskular

Tujuan pengobatan adalah mengembalikan vaskularisasi pada tungkai

yang terkena sesegera mungkin baik dengan menggunakan obat-obatan, peralatan

medis ataupun dua-duanya. Pasien dengan iskemia yang lebih dari 24 jam,

tungkai mati, pintasan dengan graft terinfeksi atau kontra indikasi untuk

trombolisis tidak dianjurkan untuk menjalani revaskularisasi dengan cara

21
intervensi. Sebelum revaskularisasi dilakukan pemeriksaan angiografi diagnostik

untuk menentukan inflow dan outflow serta panjangnya segmen yang terkena.

Operator menyeberang lesi dengan menggunakan wire dan kateter yang memiliki

beberapa lobang yang memungkinkan pelepasan obat trombolitik melalui lobang

kateter. Selama prosedur dilakukan pemeriksaan angiografi untuk menentukan

kemajuan pengobatan. Selama prosedur dilakukan pemeriksaan hemostasis darah

secara regular. Setelah prosedur selesai dilakukan pemeriksaan angiografi untuk

mencari lesi yang mungkin menjadi penyebab seperti stenosis.

Tersedia bermacam macam trombolitik. Sebagian besar bekerja dengan

merubah plasminogen menjadi plasmin yang pada akhirnya akan menghancurkan

fibrin. Obat yang pertama kali digunakan untuk intraarterial trombolisis adalah

streptokinase yang merupakan aktivator plasminogen tidak langsung.

Perdarahan sering timbul pada tempat masuknya kateter, tetapi juga dapat timbul

pada tempat lain. Resiko perdarahan timbul pada 6 – 9% kasus dan resiko

perdarahan intra kranial biasanya mencapai 3%. Resiko makin tinggi sebanding

dengan lama dan dosis trombolisis, hipertensi, usia lebih dari 80 tahun dan jumlah

trombosit rendah.21

2.8.3. Revaskularisasi bedah

Pendekatan pembedahan dengan menggunakan balon kateter, pintasan dan

terapi tambahan seperti endarterektomi, patching angioplasty dan intraoperative

trombolisis ataupun kombinasinya. Terapi terbaik pada penderita dengan emboli

adalah tromboembolektomi dengan menggunakan kateter dan sesudah tindakan

dilakukan angiografi untuk mengkonfirmasi hasil tindakan. Pada penderita dengan

22
trombosis yang diakibatkan kelainan kronik pada pembuluh darah angka amputasi

biasanya tinggi akibat kegagalan revaskularisasi, ini karena segmen yang

mengalami trombosis sudah mengalami aterosklerosis berat demikian juga

segmen disekitarnya.21

2.9 Prognosis

Pasien dengan akut limb iskemik biasanya memiliki faktor pencetus berupa

gangguan kardiovaskuler, yang dapat memungkinkan timbulnya suatu iskemik.

Populasi ini memiliki prognosis jangka panjang yang buruk. Angka kelangsungan

hidup rata-rata dalam lima tahun pada iskemik tungkai akut yang disebabkan oleh

trombosis adalah sekitar 45%, dan jika disertai dengan emboli, akan berkurang

menjadi sekitar 20%. Angka kelangsungan hidup rata-rata pada 1 bulan penderita

yang berusia diatas 75 tahun dengan iskemik tungkai akut adalah sekitar 40%.

Resiko untuk kehilangan anggota gerak tergantung kepada beratnya iskemik dan

lamanya waktu yang telah lewat sebelum tindakan revaskularisasi dilakukan.22

23
BAB 3

KESIMPULAN

1. Acute limb ischemic (ALI) adalah penurunan perfusi ekstremitas bawah

secara tiba-tiba yang menyebabkan potensi ancaman terhadap viabilitas

anggota gerak.

2. Insidens Acute limb ischemic (ALI) mencapai 1,5 kasus per 10.000 orang

pertahun ,pada ekstremitas bawah mencapai 9–16 kasus per 100.000 orang

per tahun dan sekitar 1–3 kasus per 100.000 orang per tahun yang

mengalami ALI pada ekstremitas atas.

3. Penyebab terjadinya ALI akibat penyumbatan tiba-tiba di aliran arteri

ekstremitas karena emboli atau trombus.

4. Patofisiologi ALI terjadi karena penyumbatan di arteri sehingga terjadi

ketidakseimbangan antara suplai sirkulasi ke otot rangka terhadap

kebutuhan oksigen dan nutrisi dari otot rangka tersebut.

5. Gejala klinis ALI dapat diingat dengan “6P” yaitu pain (nyeri), paralysis

(kelumpuhan), paresthesia (kesemutan), pulselessness(hilangnya pulsasi),

poikilothermia (suhu berbeda-beda), and pallor (pucat) .

6. Klasifikasi ALI berdasarkan gejala klinis oleh Rutherford.

7. Anamnesis dapat ditanyakan adanya gejala yang muncul secra tiba-tiba

seperti rasa sakit pada kaki waktu berjalan, perubahan posisi dari duduk ke

berdiri atau sebaliknya, dan juga untuk mengetahui lokasi rasa sakit dan

apakah rasa sakit masih dijumpai saat istirahat.

24
8. Pemeriksaan ABI mudah dan murah dalam medeteksi ALI dengan

menghitung rasio TD sistolik pembuluh darah arteri pergelangan kaki

dibanding pembuluh darah arteri lengan. Pemeriksaan penunjang lain

adalah Segmental Limb Pressure dan Pulse Volume Recording, exercise

stress testing, duplex USG, MRA dan CTA.

9. Penatalaksanaan ALI berupa terapi medikamentosa dan revaskularisasi

endovaskular maupun pembedahan.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. American Heart Association. About peripheral artery disease (PAD).

http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/VascularHealth/PeripheralArt

eryDisease/About-Peripheral-Artery-Disease-

PAD_UCM_301301_Article.jsp#.WcOtaE8t3zc – Diakses 22 September

2017.

2. O’donnell ME, Reid JA, Lau LL, Hannon RJ, Lee B. Optimal management of

peripheral arterial disease for the non-specialist. The Ulster Medical Journal,

80 (1): 33-41. 2011.

3. Ilminovia F, Nugroho KH, Ismail A. Hubungan antara status diabetes melitus

dengan status penyakit arteri perifer (PAP) pada pasien hipertensi. Skripsi.

Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. 2015.

4. Hardman RL, Jazaeri O, Yi J, Smith M, Gupta R. Overview of classification

systems in peripheral artery disease. Seminars in Interventional Radiology, 31

(4): 378–388. 2014.

5. Kasirajan K, Ouriel K. Current options in the diagnosis and management of

acute limb ischemia. http://www.medscape.com/viewarticle/431272_1 -

Diakses 23 September 2017.

6. Smith DA, Bhimji SS. Arterial occlusion, acute. Dalam: StatPearls (Internet).

Treasure Island (FL): StatPearls Publishing.

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441851/. 2017.

26
7. Knowles M, Timaran CH. Epidemiology of acute critical limb ischemia.

Dalam: Dieter R, Dieter Jr R, Dieter III R, Nanjundappa A. (eds). Critical

Limb Ischemia. Springer, Cham. Pp: 1-7. 2017.

8. Callum K, Bradbury A. ABC of arterial and venous disease: Acute limb

ischaemia. British Medical Journal, 320: 764-7. 2000.

9. Creager MA, Kaufman JA, Conte MS. Clinical practice: Acute limb

ischemia. The New England Journal of Medicine, 366 (23): 2198-206. 2012.

10. Nehler MR. Diagnosis and treatment of acute limb ischemia. Inter Society

Consensus for the Management of PAD. 2008.

11. Patel N, Sacks D, Patel RI, et al. SIR reporting standards for the treatment of

acute limb ischemia with use of transluminal removal of arterial thrombus. J

Vasc Interv Radiol, 14: S453-65. 2003.

12. Utomo VP. Tugas kardiologi acute limb ischemia: Terjemahan Vascular

Disease A Handbook Chapter 46. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Malang. 2013.

13. Creager MA, Kaufman JA, Conte MS. Clinical practice: Acute limb

ischemia. The New England Journal of Medicine, 366 (23): 2198-206. 2012.

14. Acar RD, Sahin M, Kirma C. One of the most urgent vascular circumstances:

Acute limb ischemia. SAGE Open Medicine, XX (X): 1-11. 2013.

15. Fuster V, Walsh R, Harrington RA. Hurst’s the heart, 13th ed. New York:

McGraw Hill. 2011.

27
16. Rutherford RB, Baker JD, Ernst C, Johnston KW, Porter JM, Ahn S, Jones

DN. Recommended standards for reports dealing with lower extremity

ischemia: Revised version. J Vasc Surg, 26 (3): 517–38. 1997.

17. Meijer WT, Hoes AW, Rutgers D, Bots ML, Hofman A, Grobbee DE.

Arteriosclerosis, thrombosis and vascular biology. American Hearth

Association, 18: 185-92. 2007.

18. Tendera M. Aboyans V, Bartelink ML, et al. ESC guidelines on the diagnosis

and treatment of peripheral artery disease. Europian Heart Journal, 32 (22):

2851-2906. 2011.

19. 11th National Congress of Indonesian Heart Association and 15th Annual

Scientific Meeting of Indonesian Heart Assosiation with theme Better

Understanding in the Management of Cardiovascular Diseases. Medan, April

19-22, 2006.

20. Hirsch AT, Haskal ZJ, Hertzer NR, et al. ACC / AHA 2005 practice

guidelines for the management of patient with peripheral arterial disease

(lower extremity, renal, mesenteric and abdominal aortic). Circulation, 113:

e463 – e654. 2006.

21. Creager MA, Kaufman JA, Conte MS. Clinical practice: Acute limb

ischemia. The New England Journal of Medicine, 366 (23): 2198-206. 2012.

22. Collins R, Burch J, Cranny G, et al. Duplex ultrasonography, magnetic

resonance angiography, and computed tomography angiography for diagnosis

and assessment of symptomatic, lower limb peripheral arterial disease:

Systematic review. BMJ, 334: 1-9. 2007.

28

Anda mungkin juga menyukai