Oleh:
KELOMPOK 16
Rasa syukur yang dalam kami sampaikan ke hadiran Tuhan Yang Maha
Pemurah, karena berkat kemurahan-Nya laporan ini dapat kami selesaikan sesuai
yang diharapkan. Dalam laporan ini kami membahas “Evaluasi Program
Penyakit Menular Infeksi Saluran Pernapasan Akut Di Puskesmas
Martapura Barat”.
Dalam proses pembuatan laporan ini, tentunya kami mendapatkan bimbingan,
arahan, koreksi dan saran. Demikian laporan ini kami buat semoga memberikan
manfaat baik untuk pembaca maupun penulis sendiri.
Hormat Kami,
Penulis
1
DAFTAR ISI
Judul.........................................................................................................................i
Kata Pengantar......................................................................................................ii
Daftar Isi.................................................................................................................ii
Daftar Grafik.........................................................................................................iv
Daftar Lampiran....................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah......................................................................................1
B. Tujuan Umum dan Tujuan Khusus......................................................................3
BAB II ANALISIS SITUASI.................................................................................4
A. Identifikasi Kasus/Penyakit Menular..................................................................4
B. Identifikasi Faktor Risiko....................................................................................6
C. Manifestasi Klinis..............................................................................................10
D. Diagnosa............................................................................................................13
E. Program Penanggulangan Oleh Puskesmas.......................................................13
BAB III PENUTUP..............................................................................................18
A. Kesimpulan........................................................................................................18
B. Saran..................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
2
DAFTAR GRAFIK
Grafik 2.1 Frekuensi penyakit ISPA di Puskesmas Martapura Barat berdasarkan
umur
Grafik 2.2 Frekuensi penyakit ISPA di Puskesmas Martapura Barat berdasarkan
jenis kelamin
3
DAFTAR LAMPIRAN
4
5
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan penyakit yang sangat
sering dijumpai dengan manifestasi ringan sampai berat. Penyakit ini
menyerang semua usia dari bayi sampai lansia, dan tersebar luas di mana-
mana. Infeksi saluran pernafasan akut disebabkan antara lain oleh bakteri,
virus, dan jamur, sedangkan kondisi cuaca, status gizi, status imun, sanitasi,
dan polusi udara merupakan faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya
ISPA. Infeksi yang mengenai jaringan paru-paru dapat menjadi pneumonia.
Pneumonia merupakan penyakit infeksi penyebab kematian utama terutama
pada balita (Elyana, 2013).
Penyakit infeksi saluran pernapasan adalah proses infeksi yang
mencangkup saluran pernapasan atas atau bawah atau keduanya. Infeksi ini
dapat disebabkan oleh virus, bakteri, fungi, atau protozoa dan bersifat ringan,
sembuh sendiri, atau menurunkan fungsi individu (Mahendara dkk, 2014).
Kasus ISPA merupakan 50% dari seluruh penyakit pada anak berusia di
bawah 5 tahun, dan 30% pada anak berusia 5-12 tahun. Anak berusia 1-6
tahun dapat mengalami episode ISPA sebanyak 7-9 kali per tahun, tetapi
biasanya ringan. Puncak insiden biasanya terjadi pada usia 2-3 tahun. Insiden
ISPA (pneumonia) di negara berkembang ialah 2-10 kali lebih banyak dari
pada negara maju. Perbedaan tersebut berhubungan dengan etiologi dan faktor
resiko. Di negara maju, ISPA sering disebabkan oleh virus, sedangkan di
negara berkembang ISPA disebabkan oleh bakteri, seperti S. pneumonia dan
H. influenza, serta di negara berkembang ISPA dapat menyebabkan 10-25%
kematian, dan bertanggung jawab terhadap 1/3-1/2 kematian pada balita. Pada
bayi, angka kematiannya dapat mencapai 45 per 1000 kelahiran hidup
(Mahendara dkk, 2014).
Berdasarkan epidemiologinya, penyakit itu
1 dapat disebabkan adanya
hubungan antara agen, penjamu/faktor intrinsic, dan lingkungan atau faktor
ekstrinsik. Faktor-faktor yang bisa menjadi penyebab penyakit ISPA yaitu
faktor lingkungan, faktor individu anak dan faktor perilaku. Faktor lingkungan
terdiri dari pencemaran udara dalam rumah, ventilasi, kepadatan hunian dan
status sosial ekonomi. Faktor individu anak terdiri dari umur, jenis kelamin,
berat badan lahir, status gizi, vitamin A dan imunisasi. Faktor perilaku yang
dilakukan oleh ibu dan anggota keluarga lain misalnya perilaku merokok.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hanifah faktor umur, berat badan
dan ventilasi rumah mempengaruhi kejadian ISPA sedangkan jenis kelamin
dan kepadatan hunian tidak mempengaruhi ISPA pada balita di Desa
Pengadegan (Trisnawati, 2013).
ISPA merupakan penyakit yang berbasis lingkungan. Lingkungan yang
tidak sehat akan memudahkan terjadinya penyakit ISPA. Lingkungan yang
paling kecil lingkupnya adalah rumah. Kondisi rumah yang tidak sehat akan
mempengaruhi terjadinya ISPA. Selain faktor lingkungan, status gizi juga
mempengaruhi terjadinya ISPA. Balita dengan gizi yang kurang akan lebih
mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor
daya tahan tubuh yang kurang. Perilaku keluarga yang merokok juga
berpengaruh terhadap terjadinya ISPA pada balita (Trisnawati, 2013).
Gejala umum pada ISPA adalah batuk, kesulitan bernafas, sakit
tenggorokan, pilek, dan demam. ISPA diklasifikasikan menjadi pneumonia
berat, pneumonia, dan bukan pneumonia. Penularan penyakit ISPA melalui
udara yang terkontaminasi dan masuk ke dalam tubuh melalui jalur
pernapasan (Trisnawati, 2013).
Pengobatan ISPA untuk balita disesuaikan dengan jenis ISPA, yaitu bukan
pneumonia tidak diberikan antibiotik, cukup dengan obat tradisional,
pneumonia diberikan antibiotik kotrimoksazol atau amoksicillin dan
pneumonia berat dilakukan pengobatan dan perawatan di rumah sakit. ISPA
dapat dicegah dengan menjaga keadaan gizi agar tetap baik, imunisasi,
menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan dan mencegah anak
berhubungan dengan penderita ISPA (Trisnawati,
2 2013).
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Menjelaskan evaluasi program penyakit menular infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA) di puskesmas Martapura Barat.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi kasus penyakit menular ISPA.
b. Mengidentifikasi faktor resiko penyakit menular ISPA.
c. Mengetahui manifestasi klinis penyakit menular ISPA.
d. Mengetahui diagnosa penyakit menular ISPA.
e. Mengidentifikasi program penanggulangan penyakit menular ISPA
3
BAB II
ANALISIS SITUASI
A. Identifikasi Kasus
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) menyebabkan 4 dari 15 juta
kematian pada anak berusia di bawah 5 tahun pada setiap tahunnya. Dari hasil
SDKI tahun 2007 diestimasikan Angka kematian balita (AKABA) untuk
periode 5 tahun, sebesar 44 per 1000 kelahiran hidup, yang mana nilai
normatifnya AKABA (angka kematian balita) 71 sampai 140 per 1000 ke-
lahiran hidup. Diketahui bahwa 80% sampai 90% dari seluruh kasus kematian
ISPA disebabkan oleh pneumonia (Azizah dkk, 2014).
Grafik 2.1 Frekuensi penyakit ISPA di Puskesmas Martapura Barat berdasarkan umur
tahun 2016
4
Grafik 2.2 Frekuensi penyakit ISPA di Puskesmas Martapura Barat berdasarkan jenis
kelamin tahun 2016
b. Manusia
1. Umur
Berdasarkan hasil penelitian Daulay (1999) di Medan, anak berusia
dibawah 2 tahun mempunyai risiko mendapat ISPA 1,4 kali lebih besar
dibandingkan dengan anak yang lebih tua. Keadaan ini terjadi karena
anak di bawah usia 2 tahun imunitasnya belum sempurna dan lumen
saluran nafasnya masih sempit.
6
2. Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil penelitian Kartasasmita (1993), menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan prevalensi, insiden maupun lama ISPA
pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.
3. Status Gizi
Di banyak negara di dunia, penyakit infeksi masih merupakan
penyebab utama kematian terutama pada anak dibawah usia 5 tahun. Akan
tetapi anak-anak yang meninggal karena penyakit infeksi itu biasanya
didahului oleh keadaan gizi yang kurang memuaskan. Rendahnya daya
tahan tubuh akibat gizi buruk sangat memudahkan dan mempercepat
berkembangnya bibit penyakit dalam tubuh.
4. Berat Badan Lahir
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu berat
lahir <2.500 gram. Menurut Tuminah (1999), bayi dengan BBLR
mempunyai angka kematian lebih tinggi dari pada bayi dengan berat
≥2500 gram saat lahir selama tahun pertama kehidupannya. Pneumonia
adalah penyebab kematian terbesar akibat infeksi pada bayi baru lahir.
5. Status ASI Eksklusif
Air Susu Ibu (ASI) dibutuhkan dalam proses tumbuh kembang bayi
kaya akan faktor antibodi untuk melawan infeksi-infeksi bakteri dan virus,
terutama selama minggu pertama (4-6 hari) payudara akan menghasilkan
kolostrum, yaitu ASI awal mengandung zat kekebalan (Imunoglobulin,
Lisozim, Laktoperin, bifidus factor dan sel-sel leukosit) yang sangat
penting untuk melindungi bayi dari infeksi.
6. Status Imunisasi
Imunisasi adalah suatu upaya untuk melindungi seseorang terhadap
penyakit menular tertentu agar kebal dan terhindar dari penyakit infeksi
tertentu. Pentingnya imunisasi didasarkan pada pemikiran bahwa
pencegahan penyakit merupakan upaya terpenting dalam
pemeliharaan kesehatan anak. 7
c. Lingkungan
1. Kelembaban Ruangan
Hasil penelitian Chahaya, dkk di Perumnas Mandala Medan (2004),
dengan desain cross sectional didapatkan bahwa kelembaban ruangan
berpengaruh terhadap terjadinya ISPA pada balita. Berdasarkan hasil
uji regresi, diperoleh bahwa faktor kelembaban ruangan mempunyai exp
(B) 28,097, yang artinya kelembaban ruangan yang tidak memenuhi syarat
kesehatan menjadi faktor risiko terjadinya ISPA pada balita sebesar 28
kali.
2. Suhu Ruangan
Salah satu syarat fisiologis rumah sehat adalah memiliki suhu optimum
18- 300C. Hal ini berarti, jika suhu ruangan rumah dibawah 180C atau
diatas 300C keadaan rumah tersebut tidak memenuhi syarat. Suhu ruangan
yang tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor risiko terjadinya
ISPA pada balita sebesar 4 kali.
3.Ventilasi
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah
menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini
berarti keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut
tetap terjaga.
4. Kepadatan Hunian Rumah
Menurut Gani dalam penelitiannya di Sumatera Selatan (2004)
menemukan proses kejadian pneumonia pada anak balita lebih besar pada
anak yang tinggal di rumah yang padat dibandingkan dengan anak yang
tinggal di rumah yang tidak padat. Berdasarkan hasil penelitian Chahaya
tahun 2004, kepadatan hunian rumah dapat memberikan risiko terjadinya
ISPA sebesar 9 kali.
5. Penggunaan Anti Nyamuk
Penggunaan Anti nyamuk sebagai alat untuk menghindari gigitan
nyamuk dapat menyebabkan gangguan saluran pernafasan karena
menghasilkan asap dan bau tidak sedap. 8Adanya pencemaran udara di
lingkungan rumah akan merusak mekanisme pertahanan paru-paru
sehingga mempermudah timbulnya gangguan pernafasan.
6. Bahan Bakar Untuk Memasak
Bahan bakar yang digunakan untuk memasak sehari-hari dapat
menyebabkan kualitas udara menjadi rusak. Kualitas udara di 74%
wilayah pedesaan di China tidak memenuhi standar nasional pada tahun
2002, hal ini menimbulkan terjadinya peningkatan penyakit paru dan
penyakit paru ini telah menyebabkan 1,3 juta kematian.
7. Keberadaan Perokok
Rokok bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga perokok pasif.
Asap rokok terdiri dari 4.000 bahan kimia, 200 diantaranya merupakan
racun antara lain Carbon Monoksida (CO), Polycyclic Aromatic
Hydrocarbons (PAHs) dan lain-lain. Berdasarkan hasil penelitian Pradono
dan Kristanti (2003), secara keseluruhan prevalensi perokok pasif pada
semua umur di Indonesia adalah sebesar 48,9% atau 97.560.002
penduduk.
8. Status Ekonomi dan Pendidikan
Berdasarkan hasil penelitian Djaja, dkk (2001), didapatkan bahwa
bila rasio pengeluaran makanan dibagi pengeluaran total perbulan
bertambah besar, maka jumlah ibu yang membawa anaknya berobat ke
dukun ketika sakit lebih banyak. Bedasarkan hasil uji statistik didapatkan
bahwa ibu dengan status ekonomi tinggi 1,8 kali lebih banyak pergi
berobat ke pelayanan kesehatan dibandingkan dengan ibu yang status
ekonominya rendah (Ceria, 2016).
Berdasarkan hasil wawancara dengan pemegang program ISPA Pnemonia
di Puskesmas Martapura Barat, diketahui faktor risiko yang terdapat di sekitar
wilayah kerja puskesmas tersebut yakni kondisi lingkungan yaitu musim
kemarau. Disaat musim kemarau datang frekuensi penyakit ISPA meningkat
lebih tinggi. Disamping itu faktor risiko lain keadaan fisik rumah dan
kebersihan rumah, karena kurangnya kebersihan rumah bisa menyebabkan
banyak debu yang bisa memperbesar terjadi 9risiko ISPA pneumonia pada
balita. Selain itu orang itu orang tua yang merokok juga merupakan faktor
risiko yang paling berpengaruh karena asap yang terhirup oleh balita dan
keluarga lainnya memperbesar risiko terkena ISPA Pneumonia.
Pewawancara : Kira-kira faktor risiko apa saja yang dapat menyebabkan
terjdinya ISPA di wilayah kerja Puskesmas Martapura
Barat ini?
Narasumber : Sebenarnya untuk faktor risiko ISPA sendiri banyak ya
dek. Tetapi sejauh ini yang terjadi di lapangan paling besar
yaitu faktor risiko yang berasal dari lingkungan, biasanya
karena musim kemarau yang berkepajangan. Selain itu
dari kunjungan ke rumah-rumah juga terlihat keadaan
rumah yang ventilasinya tidak sesuai, serta kelembaban
rumah yang kurang serta orang tua yang merokok. Untuk
kejadian kemarau kita masih bisa melakukan pencegahan
dengan penyuluhan dan pembagian masker, tapi untuk
masalah rumah sulit di jelaskan kepada penduduk kalau
kita tidak benar-benar mengenal terlebih dahulu. Nanti
masyarakat akan menjawab “memang kalian mau
membiayai perbaikan rumah saya” hahah. Ya begitulah.
Harus pelan-pelan. Tapi kalau kedapatan orang tua yang
merokok pasti langsung saya tegur.
Jika faktor risiko hasil wawancara dibandingkan dengan teori hanya dua
faktor risiko yang sesuai teori, hal ini karena kejadian dilapangan yakni
kemarau yang menyebabkan kabut asap dan bentuk fisik rumah serta
kebersihannya dan orang tua yang merokok.
D. Diagnosa ISPA
Diagnosis ISPA oleh karena virus dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
laboratorium terhadap jasad renik itu sendiri. Pemeriksaan yang dilakukan
adalah (Mariza, 2013):
1. Biakan virus
2. Serologis
3. Diagnostik virus secara langsung.
Sedangkan diagnosis ISPA oleh karena12 bakteri dilakukan dengan
pemeriksaan sputum, biakan darah, biakan cairan pleura. Fokus utama pada
pengkajian pernafasan ini adalah pola, kedalaman, usaha serta irama dari
pernafasan (Maulana, 2016):
1. Pola, cepat (tachynea) atau normal.
2. Kedalaman, nafas normal, dangkal atau terlalu dalam yang biasanya dapat
kita amati melalui pergerakan rongga dada dan pergerakan abdomen.
3. Usaha, kontinyu, terputus-putus, atau tiba-tiba berhenti disertai dengan
adanya bersin.
4. Irama pernafasan, bervariasi tergantung pada pola dan kedalaman
pernafasan.
5. Observasi lainya adalah terjadinya infeksi yang biasanya ditandai dengan
peningkatan suhu tubuh, adanya batuk, suara nafas wheezing. Bisa juga
didapati adanya cyanosis, nyeri pada rongga dada dan peningkatan
produksi dari sputum.
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
1. Saran untuk peneliti selanjutnya agar dapat melakukan wawancara
yang lebih mendalam, dan juga agar dapat melakukan perancanaan
kegiatan sebelum pergi ke puskesmas untuk pengumpulan data.
2. Saran untuk puskesmas Martapura Barat agar dapat melakukakan
inovasi baru dalam melakukan penanggulangan penyakit ISPA.
3. Saran untuk bagian pemerintah yang berwenang agar dapat
memberikan dana kepada puskemas untuk melakukan kegiatan pelayanan
kesehatan.
18
DAFTAR PUSTAKA
Azizah M, Fahrurazi, Qoriaty N.I. 2014. Tingkat Pengetahuan dan Pendidikan Ibu
Balita dengan Kejadian Penyakit Pneumonia pada Balita di Kelurahan
Keraton Kecamatan Martapura Kabupaten Banjar. Jurnal An-nadaa. 1(1):
1-4.
Elyana M, Candra A. 2013. Hubungan Frekuensi ISPA dengan Status Gizi Balita.
Journal of Nutrition and Health 1(1): 1-12.
Israfil, dkk. 2013. Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Ispa pada
Balita Berdasarkan Pendekatan Teori Florence Nightingale di Wilayah
Kerja Puskesmas Alak Kota Kupang NTT. Journal Unair.
Lestari NP, dkk. 2014. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA
Pada Bayi dan Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Purwoyoso Semarang
2013. Ejournal Udinus.
Maulana ER. 2016. Terapi Herbal dan Alternatif pada Flu Ringan atau ISPA non-
spesifik. Majalah Farmasetika, 1(6) : 1-3.
Munaya EF, dkk. 2015. Faktor Risiko Infeksi Saluran Pernapasan Akut
Nonpnemonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Magersari, Kota
Magelang. Jurnal Respiratory Indonesia, 35(1) : 19-27.
Narasumber : Berdasarkan data yang saya miliki dan data yang ada di
puskesmas, ISPA tidak menjadi KLB di tahun 2016 kemarin.
Kriteria terjadi KLB bila penyakit ISPA 10% dari jumlah
penduduk. Untuk tahun 2016 masih 5,8%.
Narasumber : Untuk data bayi kurang 5 tahun saya menerima data dari bagian
MTBS di register MTBS, kalo yang di atas 5 tahun saya dapat
dari register di bagian BP (balai pengobatan), sejauh ini masih
pasif, belum aktif ke rumah-rumah kecuali pasien sudah
terindikasi pneumonia baru kami akan kunjungan ke rumah.
Pewawancara : Kalo untuk kendala dalam kegiatan surveilans apakah ibu tau?
Narasumber : Kalo kendala dari program ISPAnya ga ada, karena hanya batuk
pilek jadi mudah di obati. Kalo penyakitnya parahnya ke arah
pneumonia baru ada kendala karena harus terjun langsung
kerumah-rumah.
Narasumber : Biasanya ada kunjungan SPM setahun ada 2-3 kali, ngecek
data, kalo kemarau di kasih selebaran ke puskes untuk
penyuluhan di kecamatan di desa desa untuk pencegahan ISPA.
Selain penyuluhan juga ada pembagian masker yang langsung di
berikan Dinkes.
Narasumber : Saana prasarana itu mungkin alat-alatnya ya, kita ada masker,
alat pengukur napas (respiratory timer) seperti stopwatch cara
kerjanya, saturasi oksigen untuk umur di atas 5 tahun yang ada di
meja penanganan di depan, terus dari puskesmas ada banner
sama spanduk.
Narasumber : Untuk petugas MTBS ada bidan, ada perawat seperti saya , dan
kalo ada yang parah kearah pneumoni baru di arahkan ke dokter
di ruangan sebelah. Koordinasi juga sama kader dan pembakal,
kader dari masyarakat yang sukarela yang berasal dari posyandu
lansia. Kalo pembakal biasanya kita kerjasama untuk program
penyuluhan sih.
Narasumber : Selama ini sih hanya memberitau alamat kalo kita mau
kunjungan pasien pneumoni karna kan kita kurang tahu daerah
sini, dan beberapa ada yang pernah mengantar pasien ke puskes.
Narasumber : Sumber dana untuk ISPA tidak ada tapi kalo untuk pneumonia
kunjungan ke rumah rumah ada sumber dananya langsung dari
uang APBD yang dikelola puskes. Untuk ISPA hanya memberi
masker, alat pengukur napas, pelatihan. Untuk pneumonia sekali
kunjungan 50 ribu ke rumah warga.
Narasumber : Karena bisa di tangani dengan obat kasusnya selesai jadi tidak
terlalu berdampak besar, kecuali ada pneumonia. Kalo untuk
pneumonia harus langsung dirujuk ke RS.
Narasumber : Karena aku baru megang di tahun 2015 sampai sekarang. Jadi
sudah berjalan 2015-2016 karena yang memegang program
sebelum hanya melakukan pencatatan.
Narasumber : Ini aku jadi menilai diri aku sendiri ya hehe (sambil tertawa).
Mungkin untuk sekarang belum terlihat perbedaannya karena
kurangnya sdm yang memegang program sehingga tidak fokus
dan program tidak berjalan. Karena di puskes satu orang masih
bisa memegang program 3 sampai 7 porgram de.
Narasumber : Kalo untuk itu, yang tau hanya dinkes.Karena yang tau target
presentase keberhasilan itu di sana.