Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH TOKSIKOLOGI INDUSTRI

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ZAT TOKSIK, KISARAN DOSIS,


KARAKTERISTIK PEMAPARAN ZAT TOKSIK

Oleh :

WINI TRIANA I1A115021

DEPARTEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3)


PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU

2017
DAFTAR ISI

HALAMAN
COVER.....................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................ii
DAFTAR TABEL.......................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................................1
B. Rumusan Masalah..............................................................................4
C. Tujuan..................................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Zat Toksik.................................5
B. Kisaran Dosis Zat Toksik...................................................................7
C. Karakteristik Pemaparan Zat Toksik ................................................14
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.........................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Toksikologi merupakan ilmu antarbidang, yang ruang lingkup pokok
kajiannya digolongkan menjadi toksikologi lingkungan, ekonomi, dan
kehakiman (forensik). Untuk memahami permasalahan toksikologi, diperlukan
pengetahuan tentang pemahaman terhadap asas umum toksikologi, aneka
kondisi atau faktor-faktor yang mempengaruhi ketoksikan racun, mekanisme
wujud sifat efek toksik racun, tolok ukur toksikologi, dan asa umum uji
toksikologi. Apabila zat kimia dikatakan beracun (toksik), maka kebanyakan
diartikan sebagai zat yang berpotensial memberikan efek berbahaya
terhadap mekanisme biologi tertentu pada suatu organisme (Argo, 2001).
Pada dasarnya keracunan suatu senyawa diawali oleh masuknya
senyawa tersebut ke dalam tubuh, yang kemudian terdistribusi sampai ke sel
sasaran tertentu. Selanjutnya akibat interaksi antara senyawa dengan sel
sasaran, menyebabkan terjadinya gangguan fungsi, biokimia, perubahan
struktur sel akibat dari wujud efek toksik senyawa itu, misal teratogenik,
mutagenik, karsinogenik, penyimpangan metabolik, ketidaknormalan perilaku,
dan lain sebagainya (Agus, 2007).
Sifat toksik dari suatu senyawa ditentukan oleh: dosis, konsentrasi racun
di reseptor “tempat kerja”, sifat zat tersebut, kondisi bioorganisme atau sistem
bioorganisme, paparan terhadap organisme dan bentuk efek yang
ditimbulkan. Sehingga apabila menggunakan istilah toksik atau toksisitas,
maka perlu untuk mengidentifikasi mekanisme biologi di mana efek
berbahaya itu timbul. Sedangkan toksisitas merupakan sifat relatif dari suatu
zat kimia, dalam kemampuannya menimbulkan efek berbahaya atau
penyimpangan mekanisme biologi pada suatu organisme (Argo,
2001;Panjaitan 2011).
Efek toksik suatu racun terjadi akibat interaksi antar racun, dan tempat
aksinya secara langsung atau tidak langsung. Tingkat toksik atau ketoksikan
racun tersebut ditentukan oleh keberadaannya di tempat aksi dan keefektifan
antaraksinya dengan tempat aksi itu. Keberadaan racun di tempat aksi
tertentu, ditentukan oleh keefektifan translokasi (absorpsi, distribusi,
eliminasi)nya di dalam tubuh. Bila demikian, ketoksikan racun ditentukan oleh
keefektifan translokasi dan keefektifan antaraksinya dengan tempat aksi
tertentu. Karena itu, faktor apa pun yang dapat mempengaruhi kedua
penentu tersebut, akan mempengaruhi ketoksikan racun (Agus, 2007).
Respon makhluk hidup terhadap ketoksikan suatu senyawa atau racun
beraneka ragam, bergantung pada aneka faktor. Antara lain faktor biologi,
kimia dan genetika, disamping kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup.
Pemahaman terhadap faktor-faktor yang dapat mempengaruhi ketoksikan
racun sangat membantu dalam mengevaluasi sebab-akibat timbulnya
keracunan serta dalam mengendalikan berbagai ubahan pada metode
pengujiannya.

B. Rumusan Masalah
1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi toksisitas?
2. Berapa kisaran dosis suatu zat agar dikatakan toksik?
3. Bagaimana karakteristik pemaparan zat toksik?

C. Tujuan
1. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi toksisitas.
2. Mengetahui kisaran dosis zat toksik.
3. Mengetahui karakteristik pemaparan zat toksik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Toksisitas


Pada dasarnya, aneka ragam faktor yang dapat mempengaruhi ketoksikan
racun, dapat digolongkan menjadi dua, yakni faktor yang berasal dari racun
(faktor intrinsik racun) dan yang berasal dari makhluk hidup (faktor intrinsik
makhluk hidup) (Argo, 2001).
2.1 Faktor Intrinsik Racun
Racun merupakan bahan atau zat kimia yang berbahaya tubuh.
Karena itu, ketoksikannya tidak lepas dari sifat fisika atau kimia bawaan
dari racun tersebut. Dengan kata lain, faktor kimia merupakan salah satu
penentu ketoksikan racun. Efek toksik racun diawali oleh masuknya
racun tertentu ke dalam tubuh. Selain faktor kimia diatas aneka ragam
faktor yang berkaitan dengan pemejanan (exposure) racun terhadap
makhluk hidup juga dapat mempengaruhi ketoksikannya (Argo, 2001).
Makanan yang masuk ke dalam tubuh, dapat berupa bahan mentah,
bahan olahan segar, atau produk makanan jadi olahan pabrik. Dengan
demikian kemantapan zat kimia pangan, dapat berubah oleh proses-
proses pengolahan maupun oleh adanya bahan tambahan atau pengisi.
Bahkan dalam proses pengepakan pun dapat menjadi sarana pencemar
makanan. Karena itu, pengolahan bahan pangan dan proses pabrikasi,
juga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi ketoksikan racun
(Argo, 2001).
Berdasarkan atas berbagai pemikiran diatas maka yang termasuk
dalam faktor intrinsik racun meliputi faktor kimia, kondisi pemejanan,
pengolahan, pengawetan, pengentalan, dan pengepakan (Argo, 2001).
2.1.1 Faktor Kimia
Seperti telah diketahui, di dalam tubuh terdapat beraneka ragam
membran biologis yang merupakan penghalang bagi translokasi
racun yang memiliki sifat fisika-kimia yang khas. Senyawa non
polar (misalnya etanol), ternyata mampu melintasi semua
membrane biologis dengan cepat. Ketidak-polaran suatu
senyawa, salah satunya ditentukan oleh tingkat ionisasinya
dalam larutan. Karena itu, tingkat ionisasi racun dalam larutan
merupakan salah satu penentu kemampuannya melintasi
membran dan translokasinya di dalam tubuh. Selain itu, karena
komponen lipid membran yang bertanggung jawab terhadap
permeabililitas membran suatu zat kimia, maka kelarutan racun di
dalam lipid, juga merupakan penentu kemampuannya melintasi
membran biologis.
Pada umumnya, senyawa tidak terionkan lebih mudah larut di
dalam lipid, sehingga akan lebih mudah ditranslokasikan
daripada senyawa yang terionkan, sedangkan aksi biologis suatu
zat kimia berkaitan erat dengan struktur kimianya dan komponen-
komponen kimia yang ada pada tempat aksi. Kesesuaian struktur
ini, menjadi salah satu penentu keefektifan antaraksi , antar
racun, dan tempat aksi maupun tempat metabolitsmenya.Jadi
faktor kimia yang mempengaruhi ketoksikan racun dapat
digolongkan menjadi dua, antara lain (Argo, 2001):
• Sifat kimia atau fisika-kimia yang secara individual maupun
kolektif menentukan kemampuan racun melintasi membran
biologis.
• Kekhasan struktur kimia racun, yang memungkinkan terjadinya
reaksi pada tempat aksi tertentu, atau yang menjadikan rentan
terhadap metabolisme.
2.1.2 Kondisi Pemejanan
Racun, zat tambahan makanan, atau senyawa pencemar dapat
menimbulkan keracunan karena peristiwa pemejanan tunggal
atau berulang pada diri makhluk hidup. Kekerapan dan lama
pemejanan, serta besar takaran racun juga merupakan faktor
penentu keracunan. Semua faktor tersebut akan mempengaruhi
keberadaan racun di tempat aksi. Oleh karena itu, yang
dimaksud dengan kondisi pemejanan ialah semua faktor yang
menentukan keberadaan racun di tempat aksi tertentu di dalam
tubuh, yang berkaitan dengan pemejanannya pada diri makhluk
hidup. Yang termasuk dalam kondisi pemejanan meliputi jenis,
jalur, lama, kekerapan, saat dan takaran pemejanan racun.
Aneka ragam kondisi pemejanan tersebut dapat mempengaruhi
keberadaan racun di tempat aksinya. Kondisi pemejanan akan
menentukan keefektifan translokasi racun di dalam tubuh. Hal ini
benar apabila racun memberikan efek toksik yang sistemik.
Artinya efek toksik terjadi di tempat aksi setelah penyebarannya
dari sirkulasi darah. Namun, bila efek toksik racun bersifat lokal,
yaitu terjadi di tempat tertentu sebelum diabsorpsi ke dalam
sirkulasi sistemik, maka translokasi racun di dalam tubuh tidak
mempengaruhi ketoksikannya (Agus, 2007).
2.1.3 Faktor Pengolahan
Makanan yang masuk ke dalam tubuh mungkin berupa makanan
mentah, olahan segar, atau produk makanan jadi. Makanan
mentah mungkin secara alami mengandung zat toksik atau
tercemar oleh berbagai zat toksik seperti bakteri, insektisida, dan
lain-lain. Oleh karena itu kebersihan dan sanitasi bahan pangan
merupakan faktor penting yang menentukan ketoksikan makanan
mentah (Agus, 2007).
Makanan olahan segar biasanya diolah menggunakan panas.
Tergantung pada kemantapan atau stabilitas racun pangan,
pengolahan dengan panas dapat menimbulkan efek positif dan
negative. Efek positif didapat jika pengolahan dengan panas
mungkin akan mengurangi atau menghilangkan ketoksikan racun
pangan tersebut karena sebagian besar jasad renik yang
mencemari bahan pangan dapat mati pada suhu didih,
sedangkan dapat berefek negative jika bahan pangan
mengandung protein-protein yang bermanfaat bagi tubuh
makhluk hidup , misal protein yang banyak terdapat dalam putih
telur, kedelai, dan kentang, akan menjadi rusak atau tidak aktif
bila diolah dengan menggunakan pemanasan. Dengan demikian
ketoksikan suatu bahan pangan juga dipengaruhi oleh
pengolahan. Berbeda dengan hal diatas pengolahan dengan
panas, mungkin dapat menimbulkan berbagai senyawa toksik.
Misalnya reaksi pencoklatan (reaksi Millard) pada produk ayam
goreng, sate kambing dapat menghasilkan produk pirolisis yang
membahayakan tubuh karena bersifat mutagenik atau
karsinogenik. Jadi dalam hal ini pengolahan dengan panas
menyebabkan terbentuknya racun pangan (Agus, 2007).
2.1.4 Faktor Pengawetan, Pengentalan dan Pengepakan
Pada era perkembangan teknologi melimpahnya berbagai alat
teknologi seperti lemari pendingan (refrigerator) sampai radiasi,
mendorong dan memungkinkan pembuatan produk makanan
yang dapat disimpan tidak hanya harian, bulanan bahkan
tahunan. Dengan sistem pengawetan yang sedemikian rupa,
tentu saja memberikan banyak manfaat, karena dapat
mengurangi ketoksikan kimia beracun dalam bahan pangan.
Misalnya bahan pangan yang disimpan dalam almari es pada
umumnya dapat mematikan pertumbuhan jasad renik, meskipun
demikian jasad renik dapat tumbuh kembali dan tetap mencemari
makanan bila dicairkan dari keadaan beku. Dengan demikian
ketoksikan sebagai racun pangan mungkin juga tak berubah
(Agus, 2007).
Produk makanan jadi yang diolah oleh pabrik, sering kali
menggunakan bahan pengental atau pengisi lainnya. Berbagai
bahan ini dapat mempengaruhi kekentalan bahan pangan di
dalam saluran cerna. Kemungkinan pelepasan racun dapat
dihambat atau sebaliknya. Sehingga keberadaan bahan
pengental atau pengisi lain juga dapat mempengaruhi ketoksikan
racun karena dapat mempengaruhi keefektifan absorpsi racun.
Pengepakan bahan pangan dalam suatu wadah juga dapat
mencemari makanan yang diisikan ke dalamnya. Misalnya
terjadi pencemaran makanan oleh bahan pelunak dietilheksilftalat
, terjadi migrasi senyawa melalui wadah plastik ke dalam
makanan yang diisikan kedalamnya (Agus, 2007).
Dari berbagai uraian diatas, terlihat jelas bahwa faktor intrinsik
racun dapat mempengaruhi ketoksikan racun. Meskipun
demikian, pengaruh faktor intrinsik racun tersebut secara
keseluruhan harus dipertimbangkan dengan adanya faktor
intrinsik makhluk hidup yang juga besar pengaruhnya.

2.2 Faktor Intrinsik Makhluk Hidup


Pada dasarnya, faktor intrinsik makhluk hidup adalah kondisi makhluk
hidup yang meliputi berbagai keadaan fisiologis serta patologis yang
dapat mempengaruhi ketoksikan suatu racun, melalui pengaruhnya atas
keefektifan translokasi racun di dalam tubuh, atau kerentanan tempat aksi
terhadap aksi racun. Oleh karena itu, kondisi makhluk hidup dapat dibagi
menjadi dua golongan, yaitu kondisi normal (fisiologis) dan tidak normal
(patologis) (Argo, 2001).
 Keadaan fisiologis meliputi: berat badan, umur suhu tubuh,
kecepatan pengosongan lambung, kecepatan alir darah, status gizi,
kehamilan, genetika, jenis kelamin, irama sirkadian, irama diurnal
 Keadaan patologi meliputi: penyakit saluran cerna, penyakit
kardiovaskular, penyakit hati, dan penyakit ginjal .
Selain faktor keadaan fisiologis diatas, terdapat beberapa uraian keadaan
fisiologis yang belum tercakup dalam uraian tersebut meliputi (Agus,
2007):
2.2.1 Kapasitas Fungsional Cadangan
Pada dasarnya untuk melakukan berbagai fungsi, aneka ragam
organ tubuh memiliki kapasitas cadangan. Misalnya 50% hati
Anjing dapat dirusak secara kimia atau dengan cara
pembedahan. Namun sisa hati masih dapat melakukan fungsi
normal untuk mempertahankan kelangsungan hidup si Anjing,
paling tidak dalam memenuhi persyaratan minimalnya. Keadaan
tersebut dapat terjadi karena organ memiliki kapasitas fungsi
cadangan yang hanya digunakan dalam kondisi mendesak.
Dipandang dari segi toksikologi keadaan ini dapat merugikan,
karena adanya kapasitas fungsional cadangan dapat menutupi
ketoksikan racun. Sebagai contoh Seseorang terpapar dengan
Aflatoksin B1 yang mencemari makanan, maka kemungkinan
wujud efek toksik aflatoksik yaitu nekrosis sel hati, yang pada
awalnya tidak nampak dan tidak terdeteksi. Tidak nampaknya
berbagai gejala klinis, disebabkan oleh masih berfungsinya hati
secara normal, sebagai kapasitas fungsional cadangan. Efek
toksik aflatoksin tersebut, baru akan nampak setelah
kerusakannya meluas sehingga fungsi normal hati tidak dapat
ditopang lagi dengan kapasitas fungsional cadangannya.
Sehingga jelas bahwa kapasitas cadangan akan menutupi
ketoksikan suatu racun (Agus, 2007).
2.2.2 Penyimpanan Racun Dalam Diri Makhluk Hidup
Di dalam tubuh terdapat gudang penyimpanan senyawa yang
masuk ke dalam tubuh misalnya protein, lemak, dan tulang. Bagi
racun yang bersifat sangat lipofil dan tidak atau sulit
termetabolisme, cenderung ditimbun dalam jaringan yang kaya
akan lemak, sehingga racun akan sulit dikeluarkan dari tubuh.
Selain itu karena mobilisasi racun dari gudang penyimpanan ke
sirkulasi darah, memungkinkan terjadinya pelepasan racun dan
meyebar ke tempat aksi tertentu. Bila kadar racun di tempat aksi
melebihi harga KTMnya, maka terjadi efek toksik yang tak
diharapkan. Keadaan ini dapat terjadi bila gudang penyimpanan
telah terpenuhi oleh racun, mengingat makanan dikonsumsi
setiap hari sehingga memungkinkan terjadinya akumulasi racun
dalam gudang penyimpanan. Contoh klasiknya ialah
penumpukan insektisida DDT dan senyawa pelunak dietilftalat.
Kecuali lemak, tempat pengikatan tak khas atau gudang
penyimpanan lainya adalah tulang, enzim, dan protein. Tempat
deposisi, adsorpsi dan reaksi zat kimia ini, membatasi
kemampuan tubuh untuk mengekskresikan racun dari tubuh.
Oleh karena itu penyimpanan racun di dalam tubuh dapat
mengurangi atau meningkatkan ketoksikan racun (Agus, 2007).
2.2.3 Faktor Genetika
Tempat aksi racun dapat berupa enzim, reseptor, atau protein.
Enzim dan protein nirenzim ada di dalam tubuh menurut ciri khas
model genetika masing-masing anggota populasi makhluk hidup,
maka cacat genetika dalam anggota suatu jenis makhluk hidup
dapat menyebabkan kekurangan jumlah atau ketidaksempurnaan
molekul enzim. Adanya cacat genetika ini dapat berdampak
negative atau positif terhadap ketoksikan racun.
Misalnya racun di dalam tubuh oleh enzim dimetabolisme
menjadi metabolit yang kurang toksik daripada zat kimia
induknya. Bila suatu makhluk hidup mengalami cacat genetika,
ketidak-sempurnaan molekul enzim yang terlibat dalam
metabolisme racun menyebabkan terbentuknya metabolit tak
toksik jauh lebih sedikit daripada yang terbentuk pada individu
normal. Akibatnya makhluk hidup tersebut akan lebih rentan
terhadap ketoksikan racun. Dalam hal ini, cacat genetika
memberikan dampat negative. Sebaliknya apabila metabolit
racun yang terbentuk bersifat toksik, maka makhluk hidup
tersebut justru akan terhindar dari ketoksikan racun. Karena
jumlah metabolit toksik yang terbentuk jauh lebih sedikit daripada
individu normal. Dalam hal ini, cacat genetika berdampak positif.
Cacat genetika pada sistem pemetabolisme xenobiotika atau
tempat aksi tertentu, memungkinkan timbulnya dampak negative
bagi individu terhadap ketoksikan racun. Hal ini dapat terjadi
karena penumpukan xenobiotika ataupun perubahan kerentanan
tempat aksi racun.
Jadi akibat dari cacat genetika dapat berdampak negative atau
positif bagi individu terhadap ketoksikan racun (Agus, 2007) :
• Dikatakan berdampak positif bila cacat genetika menyebabkan
individu resisten terhadap ketoksikan suatu racun.
• Sebalilnya dikatakan berdampak negative bila cacat genetika
menyebabkan individu lebih rentan terhadap ketoksikan racun
tertentu.
2.2.4 Toleransi dan Resistensi
Daya tahan seseorang terhadap ketoksikan racun berbeda
dengan yang lain. Seseorang mungkin lebih tahan terhadap
ketoksikan suatu racun daripada yang lain, sehingga untuk
menderita tingkat toksik yang sama diperlukan takaran atau dosis
yang lebih tinggi. Perbedaan daya tahan individu terhadap
ketoksikan racun dikenal sebagai toleransi dan resistensi.
Meskipun searti dalam kata, tetapi tidak searti dalam pengertian.
Menurut Loomis (1978), toleransi didefinisikan sebagai
kemampuan makhluk hidup untuk memperlihatkan respon yang
kurang terhadap dosis khas zat kmia daripada yang diperlihatkan
sebelumnya, dengan dosis yang sama. Artinya toleransi murni
merupakan proses peningkatan daya tahan seseorang, yang
semula kurang tahan menjadi lebih tahan terhadap ketoksikan
suatu racun. Keadaan ini dapat terjadi karena adanya
mekanisme adaptasi yang berkaitan dengan perubahan
kerentananb tempat aksi. Berbeda dengan toleransi, resistensi
murni berkaitan dengan peningkatan daya tahan tubuh terhadap
dosis pemejanan racun sebelumnya. Dalam hal ini, sejak awal
seseorang memang lebih tahan terhadap dosis toksik racun
daripada yang ditunjukkan oleh individu lainnya. Kejadian ini
berkaitan dengan masalah genetika, sehingga peristiwa
resistensi bukan merupakan fenomena adaptasi (Loomis, 1987).
Dari uraian di atas terlihat bahwa perbedaan antara toleransi dan
resistensi terletak pada mekanisme yang melandasi perbedaan
daya tahan makhluk hidup terhadap ketoksikan racun. Toleransi
terjadi melalui mekanisme adaptasi, sedangkan resistensi tidak.
Resistensi murni terjadi sejak pertama kali dosis pengan
dipejankan, sedang toleransi murni terjadi pada pemberian
berikutnya setelah pemejanan yang pertama.
B. Kisaran Dosis Zat Toksik
Toksisitas dapat didefinisikan sebagai kemampuan suatu zat untuk
menimbulkan kerusakan. Uji toksisitas akut merupakan uji dengan pemberian
suatu senyawa pada hewan uji pada suatu saat atau uji ketoksikan suatu
senyawa yang diberikan dengan dosis tunggal pada hewan uji tertentu dan
pengamatan dilakukan selama 24 jam. Uji toksisitas sangat diperlukan untuk
memperkirakan konsentrasi yang aman dari suatu bahan kimia di lingkungan.
Langkah pertama uji toksisitas adalh uji toksisitas akut pada alga, ikan, dan
lain-lain dengan tujuan untuk menunjukkan resiko potensial dari materi kimia
tertentu. Nilai LC50 yang lebih tinggi berarti suatu senyawa sifatnya tidak
begitu tosik karena dibutuhkan konsentrasi yang lebih besar untuk
menyebabkan kematian pada 50% organisme uji (Gharedaashi dkk., 2013;
Panjaitan, 2011).
Maksud dari toksisitas akut yaitu untuk menentukan suatu gejala dan
tingkat kematian hewan uji akibat pemeberian senyawa tersebut. pengamatan
aktivitas biologi uji toksisitas akut berupa pengamatan gejala klinik, kematian
hewan uji atau pengamatan organ. Uji toksisitas akut dilakukan untuk
mempersempit kisaran dosis dan terakhir dilakukan uji toksisitas akut
untukmendapatkan persentase kematian. Data yang diperoleh dari uji
toksisitas akut dapat berupadata kuantitatif yang dinyatakan dengan LD50
(median lethal dose) atau LC50 (median lethal consentration). Harga LD50
dan LC50 suatu senyawa harus dilaporkan sesuai dengan lama pengamatan
(Panjaitan, 2011).
Penentuan LC50 digunakan untuk mempersempit kisaran konsentrasi
mematikan suatu senyawa. Sedangkan penentuan LD50 digunakan untuk
mempersempit dosis konsentrasi mematikan suatu senyawa. Pada penentuan
LC50, diberikan senyawa dengan berbagai konsentrasi, sedangkan pada
penentuan LD50 berbagai dosis senyawa diberikan dengan satu saja variasi
konsentrasinya (Panjaitan, 2011).
Penentuan LC50 dapat dilakukan dengan beberapacara, antar lain dengan
grafik probit log konsentrasi, metode grafik, perhitungan secara matematik.
Penentuan metode grafik probit konsentrasi dilakukan denggan menempatkan
persentase respons dari tiap kelompok hewan pada ordinat dan logaritma
dosis obat yang diberikan secara absis (Aras, 2013).
Pengetahuan mengenai toksisitas suatu bahan kimia dikumpulkan dengan
mempelajari efek-efek dari:
1. Pemaparan bahan kimia terhadap binatang percobaan.
2. Pemaparan bahan kimia terhadap organisme tingkat rendah
seperti bakteri dan kultur sel-sel dari mamalia di laboratorium.
3. Pemaparan bahan kimia terhadap manusia.
Pada keracunan akut, berdasarkan LD50 atau LC50 dan cara masuknya
bahan beracun ke dalam tubuh klasifikasinya adalah sebagai berikut :
Penilaian Toksisitas :

1. LD50 (lethal dose 50) : menunjukkan dosis dalam miligram tiap


kilogram berat badan yang mengakibatkan kematian setengah (50%)
dari populasi binatang percobaan pada waktu tertentu.
2. LC50 (lethal concentration 50) : menggambarkan jumlah
konsentrasi suatu zat, dalam satuan miligram tiap meterkubiknya.
3. Suatu zat beracun dengan LD50 lebih kecil menunjukkan zat
tersebut relatif lebih beracun, demikian pula sebaliknya (Aras, 2013).

C. Karakteristik Pemaparan Zat Toksik


Bahan-bahan kimia dapat masuk ke dalam tubuh melewati tiga saluran,
yakni (Mansyur, 2002;Wisaksono, 2002):
1. Melalui saluran pencernaan atau makanan (gastro intestinal). Bahan
toksik masuk kedalam saluran pencernaan umunya melalui makanan
atau minuman dan kemudian diserap didalam lambung.
2. Melalui kulit(Topikal). Bahan kimia yang dapat dengan mudah terserap
kulit ialah aniline, nitrobenzene, dan asam sianida. Pada umumnya kulit
lebih impermeabel dan karenanya merupakan barier (penghalang) yang
baik bagi bahan toksik masuk kedalam tubuh. Namun beberapa bahan
kimia dapat diserap oleh kulit dalam jumlah yang cukup banyak sehingga
menimbulkan efek sistemik. Suatu zat kimia dapat diserap lewat folikel
rambut atau lewat sel-sel kelenjar keringat. Setelah bahan toksik tersebut
diserap dan masuk kedalam darah,kemudian didistribusikan keseluruh
tubuh dengan cepat. Namun demikian sebagian bahan toksik dapat
dikeluarkan oleh mekanisme tubuh secara alami melalui urine,empedu
dan paru-paru. Dan sebagian lagi bisa mengalam biotransformasi dan
bioaktivasi. Yang lebih berbahaya adalah jika terjadi proses bioaktivasi
dimana bahan toksik diubah menjadi bahan yang lebih toksik oleh
metabolisme tubuh.
3. Melalui pernapasan (inhalasi). Gas, debu dan uap mudah terserap lewat
pernapasan dan saluran ini merupakan sebagian besar dari kasus
keracunan yang terjadi. SO2 (sulfur dioksida) dan Cl2 (klor) memberikan
efek setempat pada jalan pernapasan. Sedangkan HCN, CO, H2S, uap
Pb dan Zn akan segera masuk ke dalam darah dan terdistribusi ke
seluruh organ-organ tubuh.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ketoksisikan racun yang dipengaruhi oleh banyak faktor, meliputi faktor-
faktor yang berasal dari racun pangan (faktor intrinsik racun) dan yang
bearasal dari makhluk hidupnya (faktor intrinsik makhluk hidup).
1. Faktor intrinsik racun
Meliputi: faktor kimia, kondisi pemejanan, pengolahan, pengawetan,
pengentalan, dan pengepakan racun.
Bergantung pada sifat dan berbagai proses yang dapat mempengaruhi
sifat racun, maka berbagai faktor tersebut dapat mempengaruhi
keefektifan translokasi atau antaraksi racun dengan tempat aksinya.
Dengan cara demikian, akhirnya akan mempengaruhi ketoksikan racun.
2. Faktor intrinsik makhluk hidup
Meliputi : kondisi makhlik hidup yang meliputi keadaan fisiologi (berat
badan, umur, suhu tubuh, kecepatan pengosongan lambung, kecepatan
alir darah, status gizi, kahamilan, jenis kelamin, irama sirkadian, irama
diurnal, kapasitas fungsional cadangan, penyimpanan racun dalam
makhluk hidup, genetika, serta toleransi dan resistensi), dan keadaan
patologi makhluk hidup (penyakit saluran cerna, kardiovaskuler, ginjal dan
hati). Pada dasarnya, berbagai faktor tersebut dapat mempengaruhi
keefektifan translokasi atau kerentanan tempat aksi terhadap aksi racun,
sehingga akhirnya dapat mempengaruhi ketoksikan racun.
Untuk kisaran dosis zat toksik yakni dengan nilai 0-250 Sangat toksik,
250-500 toksik, 500-750 sedang, 750-1000 tidak toksik. Dengan kata
lain semakin tinggi hasil angka yang ditunjukkan, maka semakin tidak toksik
suatu zat. Sedangkan untuk karakteristik pemaparan zat toksik ada 3 yakni
melalui pencernaan (gastrointestinal), melalui kulit (topical), dan melalui
pernapasan (inhalasi).
DAFTAR PUSTAKA

Agus, I Made dkk. 2007. Buku Ajar Toksikologi Umum

Aras, T. R. 2013. Uji Toksisitas Ekstrak Teripang Holothuria scabra Terhadap


Artemia salina. Skripsi S1, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan.
Universitas Hasanuddin, Makasar.

Argo D, Imono. 2001. Toksikologi Dasar. Laboratorium Farmakologi Dan


Toksikologi Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada.

Gharedaashi, E., Imanpour, M. R., dan Taghizadeh, V. 2013. Determination of


Median Lethal Concentration (LC50) of Copper Sulfate and Lead Nitrate
and Effects on Behavior in Caspian Sea Kutum (Rutilus frisii kutum).
Journal of Toxicology and Environmental Health Sciences, 5(1):12-16

Loomis, A.Ted. 1978. Essential of Toxycology 3rd edition. Semaran : IKIP Press.

Mansyur. 2002. T O K S I K O L O G I Keamanan, Unsur Dan Bidang-Bidang


Toksikologi. Digital Library, USU.

Panjaitan, R. B. 2011. Uji Toksisitas Akut Ekstrak Kulit Batang Pulasari (Alyxiae
cortex) Dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test (BST). Skripsi
S1,Fakultas Farmasi. Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Wisaksono, Satmoko. 2002. Efek Toksik dan Cara Menentukan Toksisitas Bahan
Kimia. Cermin Dunia Kedokteran (CDK). No : 135, hal 32-36.

Anda mungkin juga menyukai