Anda di halaman 1dari 14

TEKNIK INTERPRETASI

Virga Tria Ilahana (E34170092)

1. Definisi Interpretasi

Interpretasi adalah istilah yang sering ditemukan dalam studi sastra.


Interpretasi digunakan oleh musisi, pengacara, aktor, pendeta, penerjemah,
psikoanalis, ilmuwan komputer, ahli diagnosa, dan lain-lain. Beberapa waktu
lalu, ketika pesawat pribadi mulai datang pasar, muncul publikasi tentang cara
menafsirkan awan. Tentu saja terdapat suatu istilah yang dipinjam oleh
beragam profesi dan kemudian digunakan dengan makna yang agak
dimodifikasi. Penafsiran tersebut luar biasa karena inti maknanya tetap ada dan
tidak berubah dimana pun kata itu diadopsi. Penafsiran tersebut juga cukup
rumit dan ada sedikit risiko yang harus ditanggung, yaitu aktivitas penafsiran
melibatkan pengalaman, koordinasi struktur konseptual, dan representasi
simbolik yang melibatkan aktivitas kognisi dan teori pengetahuan (von
Glasersfeld 1983).

Interpretasi adalah "proses komunikasi" (MacFarlane 1994 dalam Hall dan


McArthur 1993). Untuk memahami komunikasi, kita harus menggambarkan
proses ini terlebih dahulu melalui model komunikasi yang umum digunakan
dan sederhana dengan elemen-elemen dasarnya yaitu sumber komunikasi,
encoder, pesan, saluran, decoder, penerima komunikasi (Berlo 1960).
Memahami hubungan ketiga elemen interpretasi ini akan membantu
mendefinisikan interpretasi dan pentingnya interpretasi untuk rekreasi,
pariwisata dan konservasi pengelolaan.

Sumber komunikasi menurut Berlo (1960) adalah "beberapa orang atau


sekelompok orang dengan tujuan, alasan untuk terlibat dalam komunikasi ".
Dalam interpretasi alam terdapat dua sumber, yaitu latar alam (ditemui oleh
pengunjung) dan agensi (yaitu penyelenggara). Agensi adalah sekelompok
orang yang berusaha memberi informasi, memprovokasi suatu tindakan dalam
pengunjung. Pentingnya kedua sumber ini adalah mereka memiliki hubungan
langsung dengan pengunjung. Pengunjung mengalami pengaturan secara
langsung, tetapi interpretasi oleh agensi dapat meningkatkan pengalaman ini
melalui komunikasi.

Elemen kedua dalam proses ini adalah encoder yang didefinisikan Berlo
(1960) sebagai orang yang bertanggung jawab untuk mengambil ide-ide dari
sumber dan memasukkannya ke dalam kode. Encoder dalam interpretasi adalah
'interpreter', seseorang yang secara verbal, visual atau melalui cara lain
berfungsi sebagai penerjemah lingkungan alam dan budaya (Knudson et al.
1995). Penerjemah, sebagai pembuat enkode, memiliki hubungan dengan
pengunjung, dan merupakan bagian dari agensi.

Elemen ketiga adalah pesan, yaitu tujuan dari sumber (Berlo 1960).
Pesannya adalah interpretasi itu sendiri dan interpretasi dapat memiliki
beberapa tujuan tergantung pada perspektif karena mereka berhubungan
dengan Pengaturan, Agensi, dan Pengunjung. Jika pesan adalah tujuan dari
sumber, agensi memiliki tujuan yang jelas untuk mentransmisikan kepada
pengunjung, dan pengunjung dapat merespons tujuan-tujuan ini, maka
terbangunlah komunikasi. Pengaturan dapat dianggap sebagai sumber.
Pengaturan tidak memiliki pesa dan tujuan untuk dikirim kepada pengunjung,
tetapi pengunjung adalah orang yang memberikan makna pesan pengaturan dan
menjadikannya sumber inspirasi, relaksasi, self-dicovery.

2. Teknik Interpratsi

Terdapat beberapa pendapat bahwa peran kunci yang dimainkan oleh


pemandu wisata adalah sebagai experience broker (Jennings dan Weiler 2006),
namun literatur tentang pemandu wisata sebagai mediator sangat terbatas.
Dalam lingkup mediator dari pemandu wisata, pemandu dapat mengatur akses
fisik pengunjung (ke tempat dan ruang), pertemuan pengunjung (interaksi
dengan komunitas tuan rumah dan lingkungan), pemahaman pengunjung (akses
kognitif) dan empati pengunjung (akses afektif atau emosional) (Weiler dan
Yu 2007; McGrath 2007). Peran panduan sebagai mediator / broker di masing-
masing dari keempat domain ini bisa positif maupun negatif; yaitu, panduan
ini dapat memfasilitasi tetapi juga dapat membatasi akses, pertemuan,
pemahaman dan empati (Markwell 2001). Pemanduan tersebut dapat dilakukan
melalui komunikasi verbal dan non-verbal dengan pengunjung.

Pertama, Macdonald (2006) dan Weiler dan Yu (2007) mengakui peran


pemandu dalam perantara akses fisik ke tempat dan ruang. Mereka melakukan
ini tidak hanya dengan menyalurkan dan mengarahkan pengunjung secara fisik
ke tempat yang tepat pada waktu yang tepat, tetapi juga oleh apa yang Arnould
et al. (1998) sebut sebagai pementasan komunikatif; yaitu, dengan
mengendalikan apa dan bagaimana mereka menyajikan dan menafsirkan
pengunjung. Dengan kata lain, pemandu wisata dapat memediasi akses fisik
dengan tidak hanya memberikan peluang untuk melihat dan mengalami unsur-
unsur lingkungan lokal, warisan dan budaya, tetapi juga dengan menentukan
apa yang tidak diungkapkan kepada pengunjung (Holloway 1981). Studi
Howard et al. (2001) tentang pemandu wisata Pribumi di satu taman nasional
di kawasan Australia menemukan bahwa pemandu memainkan peran dalam
memediasi (membatasi) akses fisik ke lokasi melalui penggunaan komunikasi
verbal dan pemodelan peran.

Kedua, baik Macdonald (2006) dan Weiler dan Yu (2007) menekankan


bahwa panduan ini adalah perantara pertemuan atau interaksi di dalam dan
antara kelompok dan komunitas tuan rumah dan lingkungan, misalnya dengan
menyediakan interpretasi bahasa dan memfasilitasi komunikasi antara tuan
rumah dan pengunjung. Panduan juga mempertemukan perjumpaan dengan
warisan (Macdonald 2006) dan alam (Markwell 2001). Seperti halnya akses
fisik, panduan juga dapat membatasi interaksi pengunjung dengan menarik
perhatian kelompok ke arah dalam panduan daripada mengarahkannya ke luar
(Holloway 1981; Cohen 1985). Pemandu wisata dapat secara pasif atau aktif
memediasi pertemuan dan dapat bertindak sebagai model peran untuk perilaku
dan interaksi lingkungan, sosial dan budaya yang tepat (Gurung et al. 1996;
Weiler dan Yu 2007).

Domain mediasi ketiga dan paling banyak diteliti adalah panduan sebagai
perantara pemahaman (Macdonald 2006; Weiler dan Yu 2007) atau akses
intelektual (McGrath 2007). Pemandu wisata dapat memediasi pemahaman
dengan menggunakan informasi sebagai alat untuk menyampaikan pentingnya
suatu tempat atau situs. Seringkali mereka menggunakan keterampilan multi-
bahasa yang mungkin dimiliki oleh pengunjung dan tuan rumah untuk
menjembatani kesenjangan komunikasi. Howard et al. (2001) menyimpulkan
dalam studi kasus mereka tentang panduan Masyarakat Adat bahwa panduan
memainkan peran dalam memediasi akses ke informasi (pemahaman) melalui
penggunaan teknik interpretif dan pemodelan peran, tetapi juga dengan
menantang stereotip dan kesalahpahaman pengunjung tentang budaya
Aborigin. Peran perantara ini sebagian besar berkisar pada mengomunikasikan
dan menafsirkan nilai-nilai budaya lokal, baik yang ada di situs maupun dari
masyarakat Aborigin secara umum. Beberapa penelitian lain telah mengamati
pemandu wisata yang menggunakan teknik interpretatif mulai dari penggunaan
anekdot dan teknik lain yang mempersonalisasikan komentar hingga alat
komunikasi non-verbal dan interaktif untuk menumbuhkan pemahaman dan
pembuatan makna (Davidson dan Black 2007).

Seperti halnya dua domain mediasi pertama, ada juga studi yang
menunjukkan peran pemandu sebagai mediator pemahaman negatif, dalam arti
menghambat daripada menumbuhkan pemahaman. Sebagai contoh, McGrath
(2007) kritis terhadap tur panduan situs arkeologi di Peru yang sebagian besar
berfokus pada transfer pengetahuan daripada pada pemahaman perantara.
McGrath menyarankan bahwa peran panduan di negara-negara berkembang
perlu matang untuk menjadi fasilitator dan perantara beragam makna daripada
peran ‘tampilkan dan kirim ’yang lebih tradisional yang dimainkan oleh
panduan di banyak negara ini.

Perantara empati atau emosi adalah yang terakhir dan paling tidak
berkembang dari empat domain di mana panduan memediasi pengalaman.
McGrath menyarankan bahwa seorang pemandu wisata perlu membantu
pengunjung “berada di bawah kulit” tempat, bukan hanya menyediakan akses
fisik dan intelektual. Menimbulkan hasil afektif juga menjadi topik dalam
literatur interpretasi (Madin dan Fenton 2004). Modlin et al. (2011)
mengamati bagaimana panduan di situs warisan yang berbasis di AS selatan
menggunakan teknik interpretatif seperti mendongeng untuk menciptakan tidak
hanya koneksi kognitif tetapi juga afektif dengan pemilik perkebunan
sebelumnya. Memasukkan refleksi atau kegiatan reflektif ke dalam pengalaman
pengunjung dapat meningkatkan keterlibatan emosional. Mereka
menggambarkan refleksi sebagai "upaya yang disengaja untuk memproses
peristiwa, dan perasaan yang terkait", dan melaporkan bukti dari pendidikan
orang dewasa dan literatur pembelajaran yang mendukung refleksi sebagai
proses penting untuk mengintegrasikan sensasi, persepsi, perasaan, emosi,
kenangan dan ide bersama dengan informasi lama dan baru untuk membuat
makna baru. Mirip dengan mediasi pemahaman, mediasi empati atau emosi
sangat bergantung pada keterampilan panduan dalam interpretasi.

Singkatnya, ada badan penelitian tentang lingkup mediasi panduan,


terutama mediasi panduan atau perantara pemahaman (kognisi), meskipun
relatif kurang penelitian tentang tiga domain mediator lainnya untuk akses fisik
perantara, pertemuan dengan komunitas tuan rumah dan lingkungan, dan
emosi atau pengaruh. Weiler dan Black (2014) mencatat bahwa tubuh
pengetahuan tentang mediasi belum digunakan untuk menginformasikan
pelatihan, khususnya yang berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan
yang diperlukan panduan untuk menjadi broker pengalaman yang efektif. Di
antara rekomendasi lain untuk penelitian, mereka menyerukan penyelidikan
terperinci ke dalam pelatihan yang mengembangkan membimbing pengetahuan
dan keterampilan di masing-masing dari empat domain mediasi / perantara -
akses fisik, pertemuan (interaksi), pemahaman (akses kognitif) dan empati
(akses emosional).

Terdapat beberapa gaya dari interpretasi yang sering digunakan. Sebuah


bahasa professional yang dimaksudkan untuk menginterpretasikan beberapa
bidang dan bidang tersebut perlu mempertimbangkan mode ini. Beberapa
diantaranya membutuhkan keterampilan dan kemampuan yang sangat berbeda
dari yang lain. Ada dua mode utama dalam menginterpretasi, yaitu simultaneous
dan consecutive (Hatim dan Mason 1997).
1. Simultaneous Interpretation
Pada simultaneous interpretation pengunjung dapat mendengarkan
seorang alih bahasa menerjemahkan ketika interpretasi sedang dilakukan.
Interpreter ditempatkan dalam bilik kedap suara dimana mereka dapat
menerima penjelasan melalui earphone; mereka menyebarkan penjelasan
dalam beberapa bahasa melalui microphone atau alat komunikasi nirkabel
yang diletakkan pada aula tempat para pengunjung dapat menyesuaikan ke
bilik. Sesuai dengan deskripsi yang telah ditunjukkan, simultaneous
interpretation biasanya mengasumsikan bahwa interpreter mengulang
bahasa apa yang dia dengar ke dalam bahasa lain. Dalam kasus
menginterpretasi secara simultaneous, konteks dan struktur hanya
dinyatakan sedikit demi sedikit dan dengan demikian dapat diakses lebih
efektif melalui tekstur, yakni kalimat yang disampaikan oleh interpreter.
Interpreter simultaneous biasanya bekerja secara tim yang terdiri dari dua
interpreter setiap biliknya, bergantian setiap 30 menit dengan durasi waku
tiga jam dalam sau sesi penjelasan, yang mana telahdiketahui sebgai waktu
maksimum rata-rata yang dibutuhkan konsentrasi dan akurasi masih dapat
dipertahankan.
Untuk kombinasi bahasa tertentu, penyampaian dua kali terkadang
digunakan. Sumber bahasa diinterpretasi dalam satu bilik dari bahasa A ke
bahasa B, dan kemudian dalam bilik lain dari bahasa B ke bahasa C.
Berdasarkan penjelasan yang disampaikan oleh beberapa ahli,
dapat disimpulkan bahwa penerjemah harus mempertimbangkan apa yang
diterapkan untuk antisipasi yang signifikan sebelum melakukan
interpresasi menggunakan interpretasi simultaneous.

2. Consecutive Interpretation
Pochhacker (2004) menyatakan bahwa consecutive interpretation
merupakan salah satu metode dari interpretasi yang diidentifikasi
bedasarkan laju waktu randering. Dalam interpretasi consecutive ungkapan
dari pembicara diucapkan dalam laju waktu tertentu ketika pembicara
membuat jeda kemudian interpreter mulai menafsirkan pesan suatu objek
interpretasi dari bahasa lokal ke bahasa target. Metode ini dilakukan sesuai
dengan kebutuhan pengguna (klien).
Pada metode ini, interpreter bergantian dengan pembicara,
menerjemahkan bahasa daerah bagian materi dari setidaknya beberapa
kalimat setelah pembicara menyelesaikannya dan menghentikan sejenak
untuk menerjemahkan. Oleh karena itu, interpretasi consecutive dapat
dipandang sebagai proses dua fase; fase mendengarkan, dimana interpreter
membuat materi dengan bahasa target dari memori serta catatan.
Informasi lengkap dari interpretasi disampaikan setelah pembicara
telah berhenti memberikan ungkapan dengan bahasa setempat. Ketika
interpretasi diberikan diberikan dan interpreter satu-satunya orang dalam
lingkungan komunikasi yang menghasilkan informasi. Interpretasi
consecutive dibagi menjadi “short CI” dan “long CI”. Pada short CI,
interpreter bergantung kepada memori; setiap bagian informasi diringkas
sehingga cukup untuk diingat. Pada long CI, interpreter membawa catatan
dari informasi untuk membantu menerjemahkanbagian yang panjang.
Divisi informal ini dibentuk dengan klien sebelum interpretasi dilakukan,
tergantung pada subjek. Kompleksitasnya, dan tujuan interpretasi. Jones
(2002) merumuskan tiga tahapan kerja dasar interpreter CI yaitu
memahami, menganalisa, dan mengekspresikan kembali.
a. Memahami (Understanding)
Memahami mengacu kepada ide-ide, untuk itu ide adalah hal yang
harus ditafsirkan. Tentunya, kita tidak dapat memaham ide-ide jika
kita tidak mengetahui kata yang digunakan interpreter untuk
mengekspreikannya, atau jika kita tidak kenal dengan tata bahsa dan
sintaksis bahasa interpreter untuk mengikuti ide. Interpreter harus
mendengarkan semua dan terus bertanya; apa yang pembicara
maksud? Apa ide-ide yang ingin disampaikan oleh mereka?
b. Analisis (Analysis)
Dalam prinsip ini. Interpreter dapat melanjutkan ke proses analisis
informasi. Pertanyaanpertama yang ditanyakan seperi apakah
ungkapan informasi sulit untuk dimengerti. Penyampaian informasi
memilki bermacam jenis, seperti argumen, argumen logis, naratif,
urutan kronologis, deskriptif, retoris murni, dan sebaginya. Sseorang
interpreter terlebih dahulu harus mengetahui apa yang penting dalam
ulasan mereka dan apa yang sekunder, apa yang esensial, dan apa yang
menjadi tambahan. Oleh karena itu, interpreter harus mengidentifikasi
ide-ide utama, dan mengetahui bahwa ide tersebut merupakan ide
utama.
Interpretasi consecutive dianggap sama dengan interpretasi
simultaneous dalamhal menerapkan prinsip dasar. Kedua metode ini
sama-sama mendengarkan, memahami, analisis, dan mengekspresikan
ulang. Pada kedua kasus, interpreter ikut terlibat dalam kegiatan
interlektual dasar yang sama.
Teknik interpretasi adalah teknik yangdigunakan untuk
memfasilitasi seorang interpeter dalam menghasilkan cara pembawaan
yang sebanding dari teks bahsa daerah ke dalam teks bahasa target.
Tejnik-teknik tersebut secara khusus diuraikan sebagai berikut:
a. Reformulasi
Jones (2002) menyatakan bahwa seorang interpreter perlu
merumuskan ulang kata-kata dari sumber asli dengan maksud untuk
menjaga jarak yang tepat terhadap pembicara. Panjang dan rumitnya
kalimat harus diuraikan menjadi rangkaian yang leih mudah, lebih
ringkas, relatif dan klausa bawahan dapa digeser dalam sebuah
kalimat; klausa aktif diubah menjadi pasif (atau sebaliknya) dan
sebagainya. Oleh karena itu, interpreter harus memanfaatkan
reformulasi sebagai alat yang memungkinkannya untuk menghadapi
segala macam kesulitan sementara tetap menjaga keaslian informasi
sebisa mungkin seperti pembicara.
b. Teknik Salami
Pembicara metode interpretasi simultaneous biasanya memnag
panjang dan kalimatmya rumit. Kesimpulan logisnya adalah bahwa
interpreter harus membagi kalimat pembicara menjadi kalima
sederhana, kemudian menggabungkannya sesuai kebutuhan. Jones
(1998) menggunakan teknik ini sebgai “salami” atau memotong
sebuah kalimat lebih tepatnya seseorang mungkin memotong irisan
sebagai salami.
c. Efesiensi dalam Reformulasi
Jones (1998) menyatakan bahwa interpreter simultaneous secara
konstan di bawah tekanan, harus menghasilkan interpretesinya sendiri
dengan kecepatan yang sama dengan pembicara, tetapi dengan
tambahan tanggungan harus menerjemahkan dan tidak mengetahui
dimana dia akan pergi, perlunya untuk bida reformulasi sehingga dapat
mengekspresikan diri secara efisien untuk semua bahsa, tetapi perlu
dicatat bahwa unttuk beberapa bahasa dapat lebih rumit dari yang lain.
d. Simplifikasi
Seorang interpreter dalam setiap waktu kerjanya terkadang
dihadapi dengan materi teknis yang tinggi. Untuk penjelasan informasi
seperti itu, menimbulkan keinginan untuk menyederhanakan
penyampaian informasi. Jones (1998) menyebutkan dua alasan untuk
membuat sebuah penyederhanaan; mungkin penjelasannya terlalu
teknis. Dalam kasus ini, interpreter setidaknya harus mencoba
menyimpan esensi dengan penyederhanaan. Kedua, pembicara
mungkin berbicara kepada pengunjung. Hal itu hanya memberikan
kebingungan kepada pengunjung. Jones menambahkan bahwa tugas
utama dari interpreter bukan menjadi setia tetapi untuk
memaksimalkan komunikasi.
e. Generalisasi
Jones (1998) menyatakan bahwa interpreter dapa merasakan teknik
simplikasi dibutuhkan untuk salah satu alasan yang disebutkan di atas,
tetapi untuk menghemat waktu dengan pembicara yang cepat,
beberapa hal spesifik yangdibutkan dapat terekspresikan dalam satu
istilah umum.
f. Under Duress and Fast Speaker
Teknik dari kelalaian tidak dapat dihindari dalam penyampaian
pesan dari bahasa daerah ke bahasa target. Jones (1998) menjelaskan
bahwa penghapusan informasi dapat menjadi strategi ketika interpreter
menghadapi tekanan karena masalah teknis dari sebua subjek, metode
ekspresi dari pembicara, dan pembicara yang sangat cepat. Oleh
karena itu, interpreter disarankan dua cara yang dapat dilakukan,
menjaga elemen esensial dan menghilangkan hanya apa yang ilustratif
atau beberapa cara tambahan, selain penyimpangan, dan sebagainya.
g. Meringkas
Menambahkan informasi dapat juga dijadikan sebagai teknik
dimana sering dilakukan oleh interpreter. Jones (1998) menekankan
bahwa interpreter tidaak harus mengubah apa yang pembicara ucapkan
dalam bahasa daerah dengan maksud memeastikan pemahaman penuh
pada setiap bagian yang didengarkan. Pertama, seorang interpreter
mungkin ingin menyimpulkan apa yang pembicara telah katakan dan
apa yang telah mereka interpretasikan, jika mereka merasa pengunjung
mungkin gagal menangkap maksud. Meringkas disini bukan digunakan
dalam hal membuktikan sebuah ringkasan dapat menggantikan teks
penuh. Meringkas adalah sebuah ringkasan yang ditambahkan ke
dalam teks penuh.
h. Explanation
Interpreter mungkin dihadapkan dengan gagasan, budaya, atau
referensi intitutional yang tidak memiliki kesamaan langsung dengan
target bahasa dan harus dijelaskan ke pengunjung. Namun, masalahnya
adalah hal tersebu membutuuhkan waku. Interpreter dapat
menggunakan teknik explanation jika gagasan disampaikan secara
berulang oleh pembicara dalam suatu penjelasan. Kemudian,
interpreter dapat menjelaskan maksud utama yang disebut dan setelah
itu menjelaskan dalam bentuk ringkasan, sehingga dapat menghemat
waktu.
i. Antisipasi
Jones (1998) mengusulkan bahwa seorang interpreter harus
mengambil tindakanantisipasi ketika dia sering memulai sebuah
kalimat tanpa mengetahui secara pasti kemana kalima tersebut akan
berjalan. Antisipasi dapat mungkin terjadi dari hubungan suatu
pertemuan. Misalnya, sebuah diskusi atau posisi delegasi negosiasi
atau argumen akan diketahui, kembali kepada point yang telahmereka
buat oleh partisipan yang lain.
Berdasarkan (Zhongmei 2010) interpretasi simultaneous memilki sejumlah
keunggulan yang tak terbantahkan debnagdingkan interpretasi consecutive: (1)
efesiensi dalam melakukan acara internasional dimana beberapa bahasa
digunakan; (2) lebih sedikit pengeluaran waktu dan biaya: acara berlangsung
dengan caranya sendiri terlepas dari bahasa pembicara- ini dapat mengurangi
waktu yang diperlukan untuk mengadakan acara dan sumberdaya material yang
diperlukan; (3) kenyamanan bagi pendengar: para peserta dapat mendengar
presentasi dalam bahasa daerah atau asli tanpa gangguan untuk terjemahan.

Hal ini benar-benar proses yang sangat kompleks untuk


menginterpretasikan secara bersamaan, yang hanya bisa ditangai oleh sedikit
interpreter. Seorang pembicara melakuakn presentasi, dan pembicara tidak
berhenti atau menjeda. Pembicara terus berbicara. Oleh karena itu, interpreter
harus melakukan hal berikut ketika pembicara sedang presentasi: mendengarkan
apa yang pembicara ucapkan; menerjemahkan dalam pikiran; membuat
terjemahan dalam microphone; dan (bagian tersulit) pada waktu yang bersamaan
mendengarkan terhadap apa yang dikatakan ketika saat interpreter presentasi.

speaker equipment interpreter equipment listener

Hal tersebut seperti membutuhkan suatu keajaiban mentak dan itulah


sebabnya menjadi kegiatan yang menuntut dan luar biasa rumit untuk dilakukan,
yang membutuhkan tingkat konsentrasi yang tidak biasa, yang membuat
interpreter cepat lelah - yang memengaruhi konsentrasinya, yang nantinya
memengaruhi kinerjanya.

Prinsip Dasar

Interpretasi simultaneous bukan hanya sekedar seni, tetapi juga sebuah


teknologi. oleh karena itu, terdapat prinsip-prinsip dasar yang dapat diikuti selama
proses daari interpretasi agar mencapai tujuan secra lebih efisien. Prinsip-prinsip
berikut dapat digunakan untukmemandu interpretasi simultaneous:

a. Linearitas Sintaktis
Menurut struktur asli kalimat yang telah didengar oleh interpreter,
membagi seluruh kalimat menjadi beberapa baian, dan kemudian
menggabungkannya bersama menjdai berbagai keterampilan untuk
mengekspresikan seluruh makna. Interpretasi simultaneous meminta interpreter
untuk membrikan versi target hampir bersamaan dengan pidato pembicara, dan
interpreter simultaneous yang berkualitas harus mencoba yang terbaik untuk
mempersingkat waktu antara menginterpretasikan dan berbicara, oleh karena
itu, metode untuk interpretasi berdasarkan struktur asli adalah sebuah aspek
penting dalam interpretasi secara simultaneous.
b. Penyesuaian
Langkah penting dalam interpretasi adalah penyesuaian. Interpreter harus
menyesuaikan struktur, memperbaiki kesalahan, dan menambahkan informaasi
yang hilang dengan konten baru yang diterimanya. Misalnya dalam bahasa
Inggris, pengubah kata keterangan tentang waktu dan tempat biasanya
ditempatkan di akhir kalimat, yang sangat berbeda dari struktur China.
Penysuaian memaikan peran penting dalam membuat versi target lebih baik.
c. Antisipasi
Interpreter simultaneous yang baik harus tahu cara memprediksi apa yang
akan dikatakan pembiacara selanjutnya dengan kemampuan, pengetahuan, dan
pengalaman berbahasanya pribadi, yang dapat menghemat banyak waktu dan
tenaga, sehingga dapat mengikuti kecepatan pembicara.
d. Reformulasi
Reformulasi adalah strategi keseluruhan dalam interpretasi simultaneous.
Contohnya, ada banyak perbedaan anatar bahasa Inggris dan Cina, jadi tidak
mungkin menerjemahkan kata demi kata. Reformulasi dapat membantu
interpreter untuk mengatur kembali informasi asli sesuai dengan konvensi
bahasa target. Singkatnya apa yang harus disampaikan oleh interpreter dalah
artinya bukan bahasanya.
e. Penyederhanaan
Interpreter simultaneous menyederhanakan kata-kata untuk dijelaskan,
diinduksi, dan digeneralisasi konten aslinya tanpa memepengaruhi
penyampaian informasi utama ketika dihadapkan beberapa kesulitan yang tidak
dapat ditangani dengan bahasa target atau beberapa materi teknis yang sulit
bagi pendengar untuk memahaminya. Misalnya, jika interpreter dihadapkan
dengan pendengar orang muda, interpreter perlu menyederhanakan beberapa
poin sulit dan menyampaikan seluruh maknanya dengan ekspresi sederhana.
f. Kejujuran
Kejujuran selalu dianggap sebagai kriteria untuk mengevaluasi
interpretasi. Tetapi sulit untuk mengikutinya dalam interpretasi simultaneous
karena interpreter tidak memiliki cukup waktu untuk berpikir dan menguraikan
selama interpretasi. Apa yang dapat dilakukan interpreter adalah mencoba
menyampaikan semua makna dan sebagian besar informasi yang diungkapakan
pembicara dengan cara yang dapat diterima pendengar dengan mudah.

Interpretasi lingkungan (environmental interpretation) merupakan bentuk


utama komunikasi antara pengelola kawasan alam dan pengunjung. Digunakan
dalam kombinasi dengan alat manajemen regulasi lainnya seperti penghalang fisik
dan sanksi hukum, interpretasi lingkungan sering disebut-sebut memainkan peran
dalam mempengaruhi keyakinan, sikap, pengetahuan, dan perilaku pengunjung,
dan dengan demikian diakui menjadi alat manajemen pengunjung yang diinginkan
(Hughes dan Morrison-Saunders 2005).

Hal ini merupakan instrumen yang memfasilitasi pengelolaan situs dengan


atraksi potensial bagi pengunjung (ruang alami yang dilindungi, situs arkeologi,
dll.) untuk tujuan mendapatkan dukungan dari masyarakat dalam upaya
konservasi. Interpreter berupaya mengomunikasikan nilai-nilai alam dan warisan
budaya, mencegah efek negatif, dan berkontribusi pada proses konservasi yang
ada dan sedang dikembangkan di daerah tersebut.

Interpreter lingkungan adalah orang-orang (dari berbagai usia dan berbagai


sosial dan pendidikan kondisi) yang berspesialisasi dalam membuat interpretasi
yang menghibur dan kritis yang dapat diamati di area alam dan sosial. Interpreter
ini membuat pengamatan menarik tentang dinamika ekosistem, sosial dan budaya
dari suatu tempat atau wilayah dan mengekspresikannya melalui berbagai
mekanisme komunikasi sehingga pengunjung dapat memahami proses ini secara
global. Selanjutnya, mereka harus bertindak sebagai agen transformasi untuk
aspek-aspek yang secara negatif mempengaruhi ekosistem dan orang-orang yang
tinggal di sana.

Interpretasi lingkungan biasanya dilakukan dalam ruang atau rute yang


memfasilitasi pengetahuan tentang alam dan hubungan antara masyarakat dan
alam di lokasi atau wilayah tertentu. Penciptaan Pusat Interpretasi atau Jejak atau
penggunaan yang sudah ada adalah mekanisme pendukung yang penting untuk
proses pendidikan lingkungan.

Interpretasi lingkungan adalah bidang aktivitas yang dalam beberapa tahun


terakhir telah berkembang pesat. Banyak pengalaman yang dikembangkan dalam
konteks budaya yang berbeda telah menunjukkan strategi yang didasarkan pada
proses komunikatif.

Dalam konteks interpretasi lingkungan, teknik dipahami sebagai


penerapan suatu ide yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesadaran dan
pemahaman publik melalui metode nyata dari pada penggunaan media
komunikasi tertentu; biasanya teknik ini dikaitkan dengan beberapa media
komunikasi dan mungkin mencakup beberapa kombinasi media ini.

Ada beberapa teknik yang dengan sedikit tambahan dapat dipraktikkan


dalam konteks lingkungan apa pun media yang digunakan untuk interpretasi.
Beberapa teknik yang paling umum, menurut Pennyfather (1975) dijelaskan di
bawah ini.

1. Encouraging Participation
Dalam hal ini interpreter dan media yang digunakan merangsang publik -
umumnya kotak kaca di museum atau teks dalam panel - untuk menyentuh,
menangani atau menggunakan benda-benda dalam sebuah pameran. Hal ini
merupakan kebalikan dari pelarangan menyentuh benda. Ini bukan hanya
berlaku untuk benda yang dipamerkan di museum: benda alam apa pun dalam
konteks aslinya harus menjadi insentif untuk berpartisipasi atau "melakukan
sesuatu". Jika aspek-aspek tertentu dari pohon dijelaskan, individu tersebut
harus didorong untuk menyentuh dan mencium bau kulit pohon. Pengunjung
harus diundang untuk mendengarkan kicau burung atau suara sungai, dan
bahkan untuk minum air dari itu. Jelaslah bahwa teknik ini - belajar sambil
melakukan - adalah salah satu sumber daya paling sukses dalam proses
pembelajaran.
2. Provocation
Hal ini tidak berarti harus menjengkelkan pengunjung. Pengunjung hanya
diusahakan untuk merasa sedikit tidak nyaman, mewajibkannya untuk
merenungkan suatu situasi dan membujuknya untuk memberikan solusi
sendiri untuk masalah konservasi.
Penggunaan cermin umum dalam pameran, ditempatkan secara strategis
dan dalam tema-tema spesifik, pengunjung akan terkejut ketika tiba-tiba dia
berhadapan dengan siluet dirinya sendiri; penjelasan di bagian bawah cermin
berbunyi: “Hewan yang paling berbahaya bumi "," Apa yang akan saya
lakukan jika ... "dll. Penggunaan frasa tunggal, atau dalam kombinasi dengan
foto-foto provokatif (mantel bulu, seekor binatang dalam perangkap, hewan
yang telah mati karena polusi, dll.), atau frasa atau benda (salinan meracuni
hewan) dapat memiliki dampak yang terkenal buruk di masyarakat,
menyebabkan orang untuk berkomitmen menjadi seorang konservasionis.
Teknik ini juga dapat diterapkan melalui mengajukan pertanyaan,
misalnya, interpreter– atau media yang dirancang olehnya – dengan sebuah
pertanyaan: "Apa yang akan Anda lakukan dengan 50 hektar hutan alam?",
atau "Bagaimana menurut Anda tempat ini akan terlihat seperti tanpa pohon?"
Morales dan Jorge (1997) memperingatkan bahwa provokasi harus diikuti
oleh informasi minimum untuk memandu orang setelah memprovokasi dia.
Interpretasi Lingkungan harus menginstruksikan dalam beberapa cara dan
memberikan informasi tentang bagaimana dan di mana mendapatkan lebih
banyak detail untuk memuaskan keingintahuan terbangun yang dimilikinya.
3. Significance for the visitor
Gagasan dan prinsip konservasi ditransmisikan dengan lebih baik jika
dapat diilustrasikan fakta-fakta yang umum bagi masyarakat. Teknik ini pada
dasarnya terdiri dari membuat analogi atau merujuk pada kehadiran
pengunjung ketika sesuatu dijelaskan tentang tempat itu.
4. Thematic approach
Prosedur “tematik” dapat menjadi teknik jika menggabungkan bagian dari
bobot interpretasi. Dalam hal ini, segala sesuatu harus terkait dengan ide
sentral yang memberikan kohesi kepada bagian dan memperkuat pesan, serta
memungkinkannya untuk dengan mudah terkait dengan pengunjung
pengalaman pribadi. Memilih tema di menu tahap perencanaan awal, kapasitas
interpretif nyata dari suatu tempat atau peristiwa harus dipertimbangkan, dan
tema tidak boleh dipaksakan yang mungkin menimbulkan keraguan atau
pertanyaan.
Dalam kasus teknik "tematik" ini harus disajikan dalam novel, inspiratif
dan terutama cara yang jelas, sehingga harus menarik sejak awal.
5. Graphic representation
Teknik grafis memungkinkan untuk memberikan gambar visual dari
konten interpretatif menjadi lebih baik menggambarkan informasi. Kombinasi
warna, jenis huruf dan sistem representasi grafis harus disesuaikan dengan
tema dan karakteristik tempat. Estetika harus memainkan peran fungsional di
sini, sehingga ilustrasi tidak menyembunyikan pesan; perlu dicatat bahwa
representasi grafis bukanlah tujuan dalam diri mereka sendiri, tetapi lebih
merupakan sarana untuk memenuhi tahap proses ini.
6. Use of humor
Humor selalu menjadi alat yang sangat efektif karena menimbulkan
antusiasme publik. Meskipun tidak mudah untuk mengirimkan ide-ide besar
dengan cara yang menyenangkan, interpretatif perencanaan harus
mempertimbangkan penggunaan humor setidaknya dalam skala kecil dan
dengan kehalusan, meskipun kita harus ingat bahwa ini mungkin sulit.
Beberapa peluang dapat ditemukan untuk memasukkan humor dalam
detail kecil yang mengklarifikasi ide global dan seluruh topik bahkan dapat
diatasi dengan menggunakan humor. Tetapi yang penting adalah mengingat
bahwa terdapat orang-orang yang bosan terhadap humor dan itu bisa disalah
artikan. Dalam dosis kecil dan dengan saran yang baik, kita bisa menggunakan
itu saat yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA

Arnould EJ, Price LL, Tierney P. 1998. Communicative staging of the wilderness
servicescape. Service Industries Journal. 18(3):90-115.
Berlo DK. 1960. The Process of Communication: An Introduction to Theory and
Practice. New York (US): Holt, Rinehart and Winston Inc.
Cohen E. 1985. The tourist guide: the origins, structure and dynamics of a role.
Annals of Tourism Research. 12(1): 5-29.
Davidson P, Black R. 2007. Voices from the profession: principles of successful
guided cave interpretation. Journal of Interpretation Research. 12(2): 25-
44.
Gurung G, Simmons D, Devlin P. 1996. The Evolving Role of Tourist Guides: The
Nepali Experience. London (UK): International Thomson Business Press.
Hall M, McArthur S. 1993. Heritage Management in Australia and New Zealand:
The Human Dimension. England (UK): Oxford University Press.
Hatim B, Mason I. 1997. The Translator as Communicator. New York (US):
Routledge.
Holloway JC. 1981. The guided tour a sociological approach. Annals of Tourism
Research. 8(3):377-402.
Howard J, Thwaites R, Smith B. 2001. Investigating the roles of the Indigenous
tour guide. Journal of Tourism Studies. 12(2): 32-39.
Hughes M, Morrison-Saunders A. 2005. Influence of on-site interpretation
intensity on visitors to natural areas. Journal of Ecotourism. 4 (3): 161–
177.
Jennings G, Weiler B. 2006. Mediating Meaning: Perspectives on Brokering
Quality Tourist Experiences. Boston (US): Elsevier.
Jones R. 1998. Conference Interpreting Explained. Manchester (UK): St. Jerome
Publishing.
Jones R. 2002. Conference Interpreting Explained. Manchester (UK): St. Jerome
Publishing.
Knudson DM., Cable TT, Beck L. 1995. Interpretation of Cultural and Natural
Resources. Pennsylvania (US): Venture Publishing Inc.
Macdonald S. 2006. Mediating heritage: tour guides at the former Nazi party rally
grounds,Nuremberg. Tourist Studies. 6(2): 119-138.
Madin EMP, Fenton DM. 2004. Environmental interpretation in the Great Barrier
Reef Marine Park: an assessment of programme effectiveness. Journal of
Sustainable Tourism.12(2): 121-137.
Markwell K. 2001. An intimate rendezvous with nature? Mediating the tourist-
nature experience at three tourist sites in Borneo. Tourist Studies. 1(1): 39-
57.
McGrath, G. (2007). Towards Developing Tour Guides as Interpreters of Cultural
Heritage: The Case of Cusco, Peru. Oxfordshire (UK): CAB International.
Modlin EA, Alderman DH, Gentry GW. 2011. Tour guides as creators of
empathy: The role affective inequality in marginalizing the enslaved at
plantation house museums. Tourist Studies. 11(1): 3-19.
Morales, Jorge F. 1997. Environmental, historical, cultural, natural interpretation:
A Spanish view on heritage interpretation. Legacy. 8(5): 10.
Pennyfather K. 1975. Guide to Countryside Interpretation, Part Two:
Interpretative Media and Facilities. Edinburgh (UK): H.M.S.O
Pochhacker F. 2004. Introducing Interpreting Studies. New York (US):
Routledge.
von Glasersfeld E. 1983. On the concept of interpretation. Poetics. 12(2/3): 207–
218. Tersedia pada http://vonglasersfeld.com/082
Weiler B, Black R. 2014. Tour guiding research: insights, issues, implications.
Bristol (UK): Channel View Press.
Weiler B, Yu X. 2007. Dimensions of cultural mediation in guiding Chinese tour
groups: Implications for interpretation. Tourism Recreation Research.
32(3): 13-22.
Zhongmei C. 2010. Simultaneous interpreting: principles and training. Journal of
Language Teaching and Research. 1(5): 714-716.

Anda mungkin juga menyukai