Anda di halaman 1dari 21

PERUBAHAN METODE PEMBELAJARAN DARI TCL MENJADI SCL

1. Perubahan Metode Pembelajaran dari TCL menjadi SCL


Perkembangan arah pengajaran di Indonesia yang benuasa kompetitif dan
menghargai poses belajar yang berdampak pada penguasaan kompetensi serta
berbagai kebijakan pendidikan yang dilakukan juga sering berawal dari
langah-langkah yang telah dilakukan oleh Negara lain. Model dan pola
pendidikan yang diseragamkan, mulai bergeser menuju paradigma
desentralisasi. Demikian juga dengan pendekantan pembelajaran yang selama
ini lebih bersifat normative, lebih mengutamakan aspek kognitif secara afektif
dan psikomotorik, perlahan-perlahan mulai ditata secara utuh melalui pola
pembelajaran yang bernuansa pembelajaran aktif yang lebih memberikan
pengalaman belajar bagi siswa, berdasarkan hal ini ehingga berkembang
konsep pembelajaran yang lebih berorientasi pada kebutuhan siswa dan tidak
lagi berorientasi pada guru semata. Nuansa dialogis dalam proses
pembelajaran semakin dikembangkan untuk membentuk karakter siswa yang
berani, jujur, bertanggung jawab dan mampu beragumentasi secara
ilmiah. Uraian di atas menunjukkan bahwa model pembelajaran pada
perguruan tinggi, terus mengalami perubahan. Salah satu bentuk perubahan
yang dimaksud adalah perubahan dari bentuk Teacher Centered
Learning (TCL) ke Teacher Centered Learning (SCL).
Pola pembelajaran yang terpusat pada Dosen/Guru (Teaching Centerd
Learning/TCL) sudah tidak memadai digunakan untuk mencapai tujuan
pendidikan berbasis capaian pembelajarn. Berbagai alasan yang dapat
dikemukakan antara lain :
1. Perkembangan IPTEK dan Seni yang sangat pesat dengan berbagai
kemudahan untuk mengaksesnya merupakan materi pembelajaran yang
sulit dapat dipenuhi oleh seorang dosen.
2. Perubahan kompetensi kekaryaan yang berlangsung sangat cepat
memerlukan materi dan proses pembelajaranyang fleksibel
3. Kebutuhan untuk mengakomodasi demokratisasi partisipatif dalam proses
pembelajaran di Perguruan tinggi.
Pembelajaran saat ini berpusat pada mahasiswa (Studen Centeres Learning
(SCL) dengan memfokusikan pada capaian pembelajaran lulusan diraih
melalui proses pembelajarn yang mengutamakan pembangunan kreativitas,
kapasitas, kepribadian dan kebutuhan mahasiswa serta mengembangkan
kemandirian dalam mencari danmenemukan pengetahuan. Mahasiswa
didoring untuk memiliki motivasi dan berupaya keras mencapai pembelajaran
yang diinginkan.
Perubahan pendekatan dalam pembelajaran dari TCL menjadi SCL
merupakan paradigma yairu perubahan dalam cara memancang beberapa hal
dalam pembelajaran yaitu :
1. Pengetahuan
Pengetahuan yang dipandang sebagai sesuatu yang sudah jadi yang tinggal
di transfer dari dosen ke mahasiswa menjadi pengetahuan yang dipandang
sebagai hasil kontruksi oleh pembelajar
2. Belajar
Menerima pengetahuan (pasif reseptif) menjadi belajar adalah mencari dan
emhkontruksi pengetahuan, aktif dan spesifik caranya.
3. Pembelajaran
Dosen menyampaikan pengetahuan atau mengajar (ceramah dan kuliah)
menjadi dosen bepartisipasi bersama mahasiswa membentuk pengetahuan.
Dengan paradigma ini maka tiga prinsip yang harus ada dalam pembelajaran
SCL adalah:
1. Memandang pengetahuan sebagai suatu hal yang belum lengkap
2. Memadang proses belajar sebagai proses untuk merekontruksi dan mencari
pengetahuan yang akan dipelajari.
3. Memandang prosespembelajaran bukan sebagai proses pembelajaran
(teaching) yang dapat dilakukan secara klasikal, dan bukan merupaakn
suatu proses untuk menjalankan sebuah intruksi baku yang telah dirancang.
Proses pembelajaran adalah proses dimana dosen menyediakan berbagai
macam strategi dan metode pembelajarandan paham akan pendekatan
pembelajaran mahasiswa untuk dapat mengembangkan potensi yang
dimilikinya. Perbedaan pendekatan pembelajaran TCL dan SCL dapat
dirinci sebagai berikut :

Tabel 1 Rangkuman perbedaan TCL dan SCL


Teacher centered Learning Student Centeres Learning
Pengetahuan ditransfer dari dosen ke Mahasiswa aktif mengembangkan
mahasiswa pengetahuan dan keterampilan yang
dipelajarinya
Mahasiswa menerima pengetahuan Mahasiswa aktif terlibat dalam
secara pasif mengelola pengetahuan
Menekankan pada penguasaan materi Tidak hanya menekankan pada
penguasaan materi tetapi juga
mengembangkan karakter manusia (life-
long learning)
Singel media Multimedia
Fungsi dosen sebagai pemberi Fungsi dosen sebagai fasilitator dan
informasi utama dan evaluator evaluasi dilakukan bersama dengan
mahasiswa
Proses pembejaran dan penilaian Proses pembelajaran dan penilaian
dilakukan terpisah dilakukan berkesinambungan dan
terintegrasi
Menekankan pada jawaban yang Penekanan pada proses pemngembanga
benar pengetahuan. Kesalahan dinilaidan
dijadikan sumber pembelajaran
Sesuai dengan pengembangan ilmu Sesuaidengan pengembangan ilmu
dalam satu disiplin saja dengan pendekatan interdisipliner
Iklimi belajar individual dan Iklim yang dikembangkan bersifat
kompetitif kolaboratif, suportif dan kooperatif
Hanya mahasiwa yang dianggap Mahasiswa dan dosen belajar bersama
melakukan proses pembejaran dengan mengebangkan pengetahuan dan
keterampilan
Perkuliahan merupakan bagian Mahasiswamelakukan pembejaran
terbesar dlam proses pembelajaran dengan berbagai model pembelajaran
SCL
Penekanan pada tuntasnya materi Penekanan pada pencapaian kompetensi
pembelajaran maahasiswa
Penekanan pada bagaimana cara Penekanan pada bagaimana cara
dosen melakukan pengajaran mahassiwa melakukan pembelajaran
Cenderung penekanan pada hard Penekaran pada penguasaan Hard Skill
skill mahasiswa dan soft skill

Gambar 1 Ilustrasi Pembelajaran TCL dan SCL

Pada ilustrasi diatas nampak pada TCL usaha keras dosen untuk
memberikan sejumlah pengetahuan yang ditanggapi dengan kepasifan
mahasiwa sedangkan pada SCL menggambarkan prinsip “belajar adalah
berubah” (dari gemuk ke kurus) dengan cara yang dapat dipilih sendiri oleh
mahasiswa sesuai dengan kapasitas dirinya, karena yang menjadikan
dirinya “berubah” (kurus) adalah dirinya sendiri. Dalam proses perubahn
(pembelajaran) ini tugas dosen adalah merancang berbagai metode agar
pesertadidik dapat memilih “cara belajar” yang tepat dan dosen dapat
bertindak sebagai “intruktrur”, fasilitator dan motivator. Pembelajaran
dapat digambarkan sebagai sebuah sistem yang menyeluruh seperti gambar
2.

Gambar 2. Ilustrasi sistem pembelajaran berbasi TCL

Pembelajaran diturunkan dari “dokumen kurikulum” dalam bentuk


Garis Besar Program Pembelajaran (GBPP) dan satuan acara Pengajaran
(SAP) sedangkan proses pengajaran dipisah dengan proses penilaian hasil
belajar lewat ujian, dan dari seluruh kegiatan akan dievaluasi serta di susun
perbaikan rencana mata kuliahnya.
Dalam proses ini, dosen melaksankan perkulaiahn selama 14-16
minggu, kemudian melakukan penilaian pada Ujian Tengah Semester dan
Ujian Akhir semester. Nilai mahasiswa baru dapat ditengarai setelah ujian
tengah semester selesai dilaksankan, dimana pada saat ituproses
pemberlajaran telah berakhir. Permasalahan yang timbul dalam proses ini
adalah dosen tidak memiliki waktu untuk memperbaiki kesalahan yang
dilakukan mahasiswa.
Sedangkan dalam sistem pembelajaran SCL, rencana pembelajaran
difokuskan pada “panduan mahasiswa belajar” dan proses menjadi satu
dengan penilaian hasil belajar dengan mengembangkan sistem asesmen
dlaam kegiatan “pembelajaran”, proses belajar (learning process), bukan
mengajar (teaching proses). Proses belajar yang dilakukan mahasiswa
dengan prinsip konstruktif menuntut mahassiwa untuk dapat unjuk kinerja
disetiap pertemuan. Apabila terdapat masalah dalam belajar, dapar
dideteksi lebih awal dalam proses lwewat assement tugas mahasiswa,
sehingga dapat dilakukan perbaikan saat itu juga secara sistem.

Gambar 2 Ilustrasi sistem pembelajaran berbasis SCL


(buku kurikulum pendidikan tinggi, 2014)

2. Perubahan Kurikulum
Kurikulum pendidikan tinggi adalah seperangkat rencana dan pengaturan
isi maupun bahan kajian dan pelajaran serta cara penyampaian dan
penilaiannya yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran di perguruan tinggi. Dilatarbelakangi persyaratan yang diminta
dunia global dan dikatakan oleh UNESCO bahwa pada dasarnya proses
pendidikan merupakan sebuah pembelajaran yang terdiri atas 4 proses yaitu
learning to know, learning to do, learning to be and learning to live together,
maka sudah selayaknya kurikulum pendidikan tinggi terdiri atas kelompok
matakuliah keilmuan dan ketrampilan (learning to know), kelompok
matakuliah keahlian berkarya (learning to do), kelompok matakuliah prilaku
berkarya (learning to be) dan kelompok matakuliah berkehidupan bersama
(learning to live together).
Dalam menyusun Kurikulum Pedidikan Tinggi, universitas atau lembaga
pendidikan di Indonesia harus mengacu pada Peraturan Presiden Republik
Indonesia No. 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
(KKNI). Menurut perpres tersebut KKNI merupakan kerangka penjenjangan
kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan
mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta
pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja
sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor. Deskripsi terperinci
tentang acuan KKNI tersebut terdapat dalam lampir dari Perpres ini.
Pelaksanaan perpres ini selanjutnya dituangkan dalam permendikbud no. 73
tahun 2013 penerapan kerangka kualifikasi nasional indonesia Bidang
Pendidikan Tinggi. Sebagai acuan Pendidikan Tinggi untuk menerapkan
KKNI, didukung dengan diundangkannya Permen Ristekdikti No 44 Tahun
2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang telah diperbaharui
menjadi Permendikbud No. 3 Tahun 2020 tentang standar Nasional
Pendidikan Tinggi.
Kita sering mendengar istilah “Kurikulum KKNI” saya jadi bertanya-tanya
(dan juga ditanya-tanya) apa sih yang sebenarnya “Kurikulum KKNI” itu. Apa
bedanya antara “Kurikulum KKNI” dengan berbagai macam kurikulum yang
berlaku sebelumnya. Atau bahkan lebih jauh lagi apa sih beda kurikulum saat
ini dengan kurikulum 20 – 25 tahun yang lalu saat saya kuliah dulu. Jangan-
jangan hanya mengikuti jargon yang sering kita dengar “ganti menteri ganti
kurikulum”. Berbandingan antara defenisi kurikulum yang tercantum pada
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi
(selanjutnya disebut UU Dikti) (Republik Indonesia, 2012) dengan yang
tercantum pada Permenristekdikti Nomor 44 Tahun 2015 Tentang Standar
Nasional Perguruan Tinggi (selanjutnya disebut SN-Dikti) (Kementrian Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, 2015). Tulisan tersebut memberikan
kesadaran bagi saya bahwa antara definisi kurikulum menurut UU Dikti
dengan definisi kurikulum menurut SN-Dikti (atau yang lebih populer dikenal
dengan “Kurikulum KKNI”) terdapat perbedaan yang besar dan mendasar.
Tulisan ini dimaksudkan untuk melengkapi apa yang telah disampaikan oleh
Bapak Nusa Putra melalui tulisannya, menggunakan metode yang sama, yaitu
membandingkan, serta ditambahkan visualisasi dan beberapa hal yang
diharapkan lebih memperjelas perbedaan antara kedua definisi, yang pada
akhirnya diharapkan dapat memperjelas tentang apa itu “Kurikulum KKNI”.
Kita awali dengan definisi kurikulum yang terdapat pada UU Dikti Pasal
35 ayat 1 (Republik Indonesia, 2012).
“Kurikulum pendidikan tinggi merupakan seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan ajar serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai
tujuan Pendidikan Tinggi.”

Berikutnya adalah definisi kurikulum pada peraturan SN-Dikti Nomor 44


Tahun 2015 Tentang Standar Nasional Perguruan Tinggi pada Pasal 1 ayat 6
(Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, 2015).
“Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai capaian
pembelajaran lulusan, bahan kajian, proses, dan penilaian yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan program studi.”

Berikutnya adalah definisi kurikulum pada peraturan Permendikbud No. 2


tahun 2020 Tentang Standar Nasional Perguruan Tinggi

“Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai


tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan Pendidikan
Tinggi”

Untuk memudahkan pembahasan dilakukan per bagian. Gambar di bawah


mengkontraskan perbedaan antara rumusan UU Dikti (sebelah kiri) dengan
SN-Dikti (sebelah kanan).
Bagian pertama kedua kalimat definisi kurikulum diawali dengan frase
kata yang sama, yaitu “seperangkat rencana dan pengaturan”, dan hanya pada
bagian ini sajalah kedua definisi tersebut menggunakan frase kata yang sama,
setelah bagian ini kedua definisi menggunakan istilah yang berbeda-beda.
Pada bagian kedua terdapat perubahan dari “tujuan” pada UU No. 12/2012
menjadi “capaian pembelajaran lulusan” pada Permenristekdikti No. 44/2015.
Bagian ini sebenarnya merujuk pada sesuatu hal yang ingin dituju dari adanya
“seperangkat rencana dan pengaturan” yang terdapat dalam suatu kurikulum,
hanya saja pada UU No. 12/2012 tidak disebutkan secara spesifik apa yang
akan dituju, sedangkan pada Permenristekdikti No. 44/2015 lebih gamblang
menyebutkan bahwa yang akan dituju adalah sesuatu terkait “capaian
pembelajaran lulusan”.
Penjelasan tentang capaian pembelajaran lulusan dirangkumkan dari pasal
5 Permenristekdikti No. 44/2015 sebagai berikut (Kementrian Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, 2015). Capaian pembelajaran lulusan
adalah pernyataan yang merumuskan standar kompetensi lulusan, yaitu
kriteria minimal tentang kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup
sikap, pengetahuan, dan ketrampilan (Pasal 5 ayat 1). Capaian Pembelajaran
lulusan digunakan sebagai acuan utama dalam perumusan ketujuh standar
lainnya dalam standar pendidikan (Pasal 5 ayat 2). Dari penjelasan tentang
capaian pembelajaran lulusan tentunya dapat diperkirakan bahwa dengan
adanya kurikulum diharapkan bahwa capaian pembelajaran lulusan terpenuhi,
yaitu setiap lulusan dapat memiliki kualifikasi kemampuan yang memenuhi
setidaknya kriteria minimal pada suatu jenjang pendidikan. Ketentuan lainnya
rumusan capaian pembelajaran lulusan wajib mengacu pada deskripsi capaian
pembelajaran lulusan KKNI dan memiliki kesetaraan dengan jenjang
kualifikasi pada KKNI (pasal 5 ayat 3). Acuan dan kesetaraan terhadap KKNI
inilah yang mungkin membuat kurikulum yang berbasis capaian pembelajaran
lulusan seperti yang tertera pada Permenristekdikti No. 44/2015 ini lebih kita
kenal sebagai “Kurikulum KKNI” atau lebih lengkapnya “Kurikulum
Berorientasi KKNI”.
Dalam bahasa Inggris “capaian pembelajaran” merupakan terjemahan dari
“learning outcome”. Saat dicek di KBBI Daring (Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa, 2016) kata “capaian” adalah kata benda yang memilik
makna “hasil mencapai”, sedangkan jika ditelisik lebih jauh kata “capai”
sendiri berarti raih atau sampai. Dari makna kata-kata tersebut dapat ditangkap
bahwa capaian dapat dimaknakan “hasil meraih”, sesuatu yang berkonotasi
aktif karena meraih memerlukan upaya dari sang subyek. Lebih lanjut kata
“capaian” dirangkaikan dengan “pembelajaran” (learning) bukan “belajar”
(studying), yang lebih menguatkan lagi kata “capaian pembelajaran” yang
memiliki konotasi aktif serta dimaksudkan sebagai tujuan dari suatu proses
pembelajaran.
Bagian ketiga dari kedua definisi terdapat perubahan dari “isi dan bahan
ajar” pada UU No. 12/2012 menjadi menjadi “bahan kajian” pada
Permenristekdikti No. 44/2015. Bagian ini mestinya merujuk pada materi apa
yang akan digunakan dalam proses pembelajaran. “Bahan ajar” adalah materi
yang digunakan dosen untuk mengajar yang tentunya diharapkan diterima
mahasiswa dalam proses pembelajaran. Istilah “bahan ajar” mengesankan
proses yang terjadi adalah proses transfer atau serah terima antara dosen yang
mengajar dan mahasiswa yang belajar. Istilah “bahan kajian” dapat
dimaknakan dari dua sisi. Di sisi dosen “bahan kajian” adalah bahan yang
merupakan hasil pengkajian, memerlukan suatu proses untuk memilih dan
menyusunnya, untuk membantu mahasiswa memenuhi capaian pembelajaran.
Hal ini berbeda dengan “bahan ajar” yang terkesan merupakan sesuatu yang
telah lengkap dan siap digunakan, misalnya diambil dari materi yang terdapat
pada suatu buku teks. Di sisi mahasiswa “bahan kajian” adalah bahan yang
perlu dikaji, bahkan jika diperlukan sampai dikritisi, oleh mahasiswa untuk
dapat mengembangkan capaian pembelajaran yang dituju. Hal ini berbeda
dengan “bahan ajar” yang terkesan hanya diterima begitu saja, tanpa perlu
proses pengolahan terlebih dahulu. Nusa Putra (2016) mengibaratkan jika
“bahan ajar” adalah masakan yang siap disantap, sedangkan “bahan kajian”
lebih dekat diibaratkan dengan bahan makanan beserta bumbu-bumbunya
yang perlu proses pengolahan sebelum dapat disantap. Sehingga masih sama
seperti istilah “capaian pembelajaran”, istilah “bahan kajian” juga memiliki
konotasi aktif baik di sisi dosen maupun mahasiswa untuk dapat
memanfaatkannya.
Bagian keempat dari kedua definisi terdapat perubahan dari “cara” pada
UU No. 12/2012 menjadi menjadi “proses” pada Permenristekdikti No.
44/2015. Sebenarnya kedua kata ini memiliki makna yang hampir mirip.
Menurut KBBI Daring (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016)
“cara” bermakna “jalan (aturan, sistem) melakukan (berbuat dan sebagainya)
sesuatu”, sedangkan “proses” adalah “runtunan perubahan (peristiwa) dalam
perkembangan sesuatu” atau “rangkaian tindakan, pembuatan, atau
pengolahan yang menghasilkan produk”. Menurut saya yang membedakan di
antara keduanya adalah istilah “cara” digunakan dalam melakukan sesuatu
yang lebih tertentu dari awal hingga akhir dibandingkan dengan “proses” yang
mungkin saja di tengahnya terdapat perubahan ataupun dapat berupa iterasi.
Ada kesan fleksibilitas dalam istilah “proses” yang lebih ditekankan pada
“perubahan” dan “menghasilkan produk” dibandingkan dengan “cara” yang
lebih ditekankan pada “jalan (aturan/sistem)”. Dengan menggunakan istilah
“proses”, pembelajaran tentunya dapat dilakukan melalui berbagai variasi
pendekatan, strategi, metode, dan teknik selama mendukung terpenuhinya
capaian pembelajaran lulusan.

Bagian kelima istilah “penilaian” pada Permenristekdikti No. 44/2015


tidak memiliki padanan di UU No. 12/2012. Bagian ini menjadi menarik
karena selama ini proses penilaian lebih mengarah pada proses pemberian
nilai dalam bentuk angka atau huruf sebagai representasi hasil belajar
mahasiswa. Jika dikaitkan dengan standar maka penilaian semestinya juga
memiliki fungsi untuk mengetahui apakah seorang lulusan telah memenuhi
“standar” (dalam hal ini standar kompetensi lulusan atau capaian
pembelajaran) atau belum. Hal ini berarti bahwa proses penilaian juga
merupakan proses pengukuran pemenuhan capaian pembelajaran dari seorang
lulusan bukan hanya penilaian sebagai output mata kuliah. Hal ini
mengindikasikan bahwa proses penilaian tidak hanya dilakan pada level mata
kuliah, namun juga pada level capaian pembelajaran.
Dalam hubungannya dengan bagian keempat yaitu “proses”, maka
penilaian semestinya bukan hanya dilakukan di akhir suatu tahapan
pembelajaran untuk mengukur hasil pembelajaran mahasiswa, namun juga
dilakukan di tengah proses pembelajaran untuk mengukur proses
pembelajaran yang dilakukan dalam rangka pemberian umpan balik bagi
mahasiswa. Lebih luas lagi bahwa proses penilaian (asesmen) dapat pula
digunakan sebagai strategi pembelajaran. Hal inilah yang menyebabkan bahwa
penilaian, terutama dalam konteks bagaimana cara mengukur pemenuhan
capaian pembelajaran, perlu dirancang dalam suatu kurikulum.
Bagian keenam dari kedua definisi terdapat perubahan dari “sebagai
pedoman kegiatan” pada UU No. 12/2012 menjadi menjadi “sebagai pedoman
penyelenggaraan program studi” pada Permenristekdikti No. 44/2015. Bagian
ini menunjukkan penggunaan dari kurikulum mengalami perluasan, dari yang
digunakan sebagai panduan hanya dalam kegiatan pembelajaran menjadi
pedoman penyelenggaraan prodi yang berarti mencakup aktivitas lain seperti
penelitian dan pengabdian masyarakat serta aspek lain seperti tata kelola
prodi. Perluasan cakupan aktivitas adalah hal yang diperlukan karena aktivitas
seperti penelitian dan pengabdian masyarakat dapat dimanfaatkan prodi dalam
proses pemenuhan capaian pembelajaran lulusan. Contohnya penelitian
sebagai metode pembelajaran, seperti research based learning, ataupun
pelaksanaan Tugas Akhir/Skripsi dalam pengembangan capaian pembelajaran
lulusan terkait berpikir analitis dan kritis serta manajemen proyek. Contoh lain
adalah Kuliah Kerja Nyata yang dititikberatkan pada aktivitas pengabdian
masyarakat untuk mengembangkan capaian pembelajaran lulusan terkait
kontribusi dalam peningkatan mutu kehidupan bermasyarakat.
Permenristekdikti No. 44 pasal 14 ayat 6 – 9 dengan eksplisit menyebutkan
untuk beberapa jenjang pendidikan bentuk pembelajaran berupa penelitian dan
pengabdian masyarakat adalah diwajibkan (Kementrian Riset, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi, 2015). Dari aspek tata kelola prodi contohnya adalah
adalah bahwa kurikulum juga dapat menentukan sistem pengelolaan
pembelajaran yang digunakan prodi. Meskipun sebagian besar prodi
menggunakan sistem semester namun prodi diberi kesempatan untuk memilih
dan menggunakan sistem yang dipandang dapat lebih mendukung pemenuhan
capaian pembelajaran, semisal sistem blok. Dari sisi kebutuhan dosen, capaian
pembelajaran lulusan prodi tentunya juga mempengaruhi jumlah dan
spesifikasi dosen yang diperlukan prodi. Misalnya jika capaian pembelajaran
dianggap dapat lebih mudah terpenuhi dengan aktivitas tutorial/mentoring di
luar kuliah maka tentunya jumlah pengajar yang diperlukan lebih banyak.
Kurikulum juga tentunya mempengaruhi sarana dan prasarana yang
diperlukan. Untuk capaian pembelajaran yang bersifat ketrampilan tentunya
diperlukan sarana berupa alat laboratorium dan prasarana ruang laboratorium
yang memadai.
Dari keenam bagian uraian di atas, maka secara singkat dapat disebutkan
bahwa sebenarnya “Kurikulum KKNI” adalah Kurikulum yang sesuai dengan
SN-Dikti. Perubahan paling mendasar adalah “Kurikulum KKNI” berpusat
pada capaian pembelajaran, yang artinya bahwa dalam penyusunan kurikulum
capaian pembelajaran lulusanlah yang menjadi fokus dan awal dari proses
penyusunan kurikulum. Untuk itulah pada Panduan Penyusunan Kurikulum
Pendidikan Tinggi yang dikeluarkan oleh Dirjen Belmawa Kemenristekdikti
tertera bahwa penyusunan perumusan capaian pembelajaran lulusan menjadi
dasar proses penyusunan kurikulum, dengan didahului oleh proses evaluasi
diri dan penetapan profil lulusan(Direktorat Jendral Pembelajaran dan
Kemahasiswaan, 2016). Setelah capaian pembelajaran dirumuskan kemudian
dikembangkan bahan kajian yang dapat menunjang pemenuhan capaian
pembelajaran, baru kemudian penataan susunan mata kuliah dan penentuan
sks yang didasarkan pada bobot capaian pembelajaran masing-masing mata
kuliah. Hal ini tentu berbeda dengan yang umum dilakukan selama ini saat
penyusunan kurikulum, yaitu diawali dengan “menata” mata kuliah dan
besaran sks ditentukan oleh seberapa banyak materi yang terdapat pada
masing-masing mata kuliah. Jadi sebenarnya “Kurikulum KKNI” adalah
kurikulum yang (nampaknya) menggunakan pendekatan luaran (outcome
based approach). Untuk itu dalam pelaksanaannya juga digunakan pendekatan
luaran ini dalam proses desain instruksional di masing-masing mata kuliah,
bahwa perencanaan mata kuliah didasarkan pada capaian pembelajaran mata
kuliah yang merupakan turunan dari capaian pembelajaran lulusan yang
dibebankan pada suatu mata kuliah. Baru setelah itu dikaji bahan apa yang
dapat menunjang pemenuhan capaian pembelajaran mata kuliah tersebut
(makanya dinamakan bahan kajian = bahan yang perlu dikaji terlebih dahulu).
Hal yang sekali lagi berbeda dengan yang umumnya selama ini dilakukan
bahwa perencanaan mata kuliah didasarkan pada materi berupa bahan ajar
yang biasanya diadopsi dari suatu referensi semisal buku teks, dan terakhir
bahwa karena pengertian capaian pembelajaran adalah kriteria minimal
kualifikasi kemampuan lulusan, berarti secara tersirat bahwa seorang
mahasiswa untuk dapat dinyatakan lulus dari suatu program studi perlu
“dipastikan” memiliki kemampuan lebih dari kemampuan minimal yang
dipersyaratkan. Untuk itulah diperlukan penilaian yang mencakup pengukuran
capaian pembelajaran lulusan, bukan hanya penilaian mata kuliah seperti yang
selama ini dilaksanakan.
Perubahan kurikulum di perguruan tinggi merupakan aktivitas rutin yang
harus dilakukan sebagai tanggapan terhadap perkembangan Ilmu Pengetahuan,
Teknologi, dan Seni (IPTEKS) (scientific vision), kebutuhan masyarakat
(societal needs), serta kebutuhan pengguna lulusan (stakeholder needs).
Permasalahan yang sering timbul di kalangan akademisi adalah pemahaman
tentang bagaimana melakukan rekonstruksi kurikulum pendidikan tinggi yang
masih sangat beragam baik antar program studi sejenis maupun antar
perguruan tinggi.
Sedangkan pada pengembangan kurikulum dapat diartikan yaitu sebagai
kegiatan penyusunan, pelaksanaan, penilaian, dan penyempurnaan kurikulum.
Pengembangan kurikulum sebagai proses perencanaan menetapkan berbagai
kebutuhan, mengadakan identifikasi tujuan-tujuan dan sasaran, menyusun
persiapan instruksional, memenuhi segala persyaratan kebudayaan sosial dan
pribadi yang dilayani kurikulum. Pengembangan kurikulum adalah kegiatan
menghasilkan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan atau proses yang
mengaitkan satu komponen dengan yang lainnya untuk menghasilkan
kurikulum. Perguruan tinggi dalam menyusun atau mengembangkan
kurikulum, wajib mengacu pada KKNI dan Standar Nasional Pendidikan
Tinggi. Tantangan yang dihadapi oleh perguruan tinggi dalam pengembangan
kurikulum di era Industri 4.0 adalah menghasilkan lulusan yang memiliki
kemampuan literasi baru meliputi literasi data, literasi teknologi, dan literasi
manusia yang berakhlak mulia berdasarkan pemahaman keyakinan agama.
Perguruan tinggi perlu melakukan reorientasi pengembangan kurikulum yang
mampu menjawab tantangan tersebut.
Pengembangan kurikulum merupakan hak dan kewajiban masing-masing
perguruan tinggi, namun demikian dalam pengembangan kurikulum perguruan
tinggi harus berlandaskan mulai dari UUD 1945, UU No. 12 Tahun 2012,
Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang dituangkan dalam Permendikbud
No. 3 Tahun 2020, serta ketentuan lain yang berlaku. Kurikulum seharusnya
mampu menghantarkan mahasiswa menguasai ilmu pengetahuan dan
keterampilan tertentu, serta membentuk budi pekerti luhur, sehingga dapat
berkontribusi untuk menjaga nilai-nilai kebangsaan, kebhinekaan, mendorong
semangat kepedulian kepada sesama bangsa dan ummat manusia untuk
meningkatkan kesejahteraan sosial yang berkeadilan serta kejayaan bangsa
Indonesia.
Penyusunan kurikulum hendaknya dilandasi dengan fondasi yang kuat,
baik secara filosofis, sosiologis, psikologis, historis, maupun secara yuridis.
Landasan filosofis, memberikan pedoman secara filosofis pada tahap
perancangan, pelaksanaan, dan peningkatan kualitas pendidikan (Ornstein &

Hunkins, 2014)1, bagaimana pengetahuan dikaji dan dipelajari agar


mahasiswa memahami hakikat hidup dan memiliki kemampuan yang mampu
meningkatkan kualitas hidupnya baik secara individu, maupun di masyarakat
(Zais, 1976). Landasan sosiologis, memberikan landasan bagi pengembangan
kurikulum sebagai perangkat pendidikan yang terdiri dari tujuan, materi,
kegiatan belajar dan lingkungan belajar yang positif bagi perolehan
pengalaman pembelajar yang relevan dengan perkembangan personal dan
sosial pembelajar (Ornstein & Hunkins, 2014, p. 128). Kurikulum harus
mampu mewariskan kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya di
tengah terpaan pengaruh globalisasi yang terus mengikis eksistensi
kebudayaan lokal. Berkaitan dengan hal ini Ascher dan Heffron (2010)
menyatakan bahwa kita perlu memahami pada kondisi seperti apa justru
globalisasi memiliki dampak negatif terhadap praktik kebudayaan serta
keyakinan seseorang sehingga melemahkan harkat dan martabat manusia?
Lebih jauh disampaikan pula oleh mereka bahwa kita perlu mengenali aspek
kebudayaan lokal untuk membentengi diri dari pengaruh globalisasi. Hal ini
sejalan dengan pendapat Plafreyman (2007) yang menyatakan bahwa masalah
kebudayaan menjadi topik hangat di kalangan civitas academica di berbagai
negara dimana perguruan tinggi diharapkan mampu meramu antara
kepentingan memajukan proses pembelajaran yang berorientasi kepada
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan unsur keragaman budaya
peserta didik yang dapat menghasilkan capaian pembelajaran dengan
kemampuan memahami keragaman budaya di tengah masyarakat, sehingga
menghasilkan jiwa toleransi serta saling pengertian ter- hadap hadirnya suatu
keragaman. Kurikulum harus mampu melepaskan pem- belajar dari
kungkungan tembok pembatas budayanya sendiri (capsulation) yang kaku,
dan tidak menyadari kelemahan budayanya sendiri. Dalam konteks kekinian
peserta didik diharapkan mampu memiliki kelincahan budaya (cultural agility)
yang dianggap sebagai mega kompetensi yang wajib dimiliki oleh calon
profesional di abad ke-21 ini dengan penguasaan minimal tiga kompetensi
yaitu, minimisasi budaya (cultural minimization, yaitu kemampuan kontrol
diri dan menyesuaikan dengan standar, dalam kondisi bekerja pada tataran
internasional) adaptasi budaya (cultural adaptation), serta integrasi budaya

(cultural integration) (Caliguri, 2012)2. Konsep ini kiranya sejalan dengan


pemikiran Ki Hadjar Dewantoro dalam konsep “Tri- Kon” yang dikemukakan
di atas. Landasan psikologis, memberikan landasan bagi pengembangan
kurikulum, sehingga kurikulum mampu mendorong secara terus-menerus
keingintahuan mahasiswa dan dapat memotivasi belajar sepanjang hayat;
kurikulum yang dapat memfasilitasi mahasiswa belajar sehingga mampu
menyadari peran dan fungsinya dalam lingkungannya; kurikulum yang dapat
menyebabkan mahasiswa berpikir kritis, dan berpikir tingkat dan melakukan
penalaran tingkat tinggi (higher order thinking); kurikulum yang mampu
mengoptimalkan pengembangan potensi mahasiswa menjadi manusia yang
diinginkan (Zais, 1976, p. 200); kurikulum yang mampu memfasilitasi
mahasiswa belajar menjadi manusia yang paripurna, yakni manusia yang
bebas, bertanggung jawab, percaya diri, bermoral atau berakhlak mulia,
mampu berkolaborasi, toleran, dan menjadi manusia yang terdidik penuh
determinasi kontribusi untuk tercapainya cita-cita dalam pembukaan UUD
1945. Landasan historis, kurikulum yang mampu memfasilitasi mahasiswa
belajar sesuai dengan zamannya; kurikulum yang mampu mewariskan nilai
budaya dan sejarah keemasan bangsa-bangsa masa lalu, dan
mentransformasikan dalam era di mana dia sedang belajar; kurikulum yang
mampu mempersiapkan mahasiswa agar dapat hidup lebih baik di abad 21,
memiliki peran aktif di era industri 4.0, serta mampu membaca tanda-tanda
perkembangannya. Landasan yuridis, adalah landasan hukum yang menjadi
dasar atau rujukan pada tahapan perancangan, pengembangan, pelaksanaan,
dan evaluasi, serta sistem penjaminan mutu perguruan tinggi yang akan
menjamin pelaksanaan kurikulum dan tercapainya tujuan kurikulum. Berikut
adalah beberapa landasan hukum yang perlu diacu dalam penyusunan dan
pelaksanaan kurikulum:
a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor
157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4586);
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012
Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5336);
c. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012, tentang
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI);
d. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 73
Tahun 2013, tentang Penerapan KKNI Bidang Perguruan Tinggi;
e. Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia
Nomor 62 Tahun 2016 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi;
f. Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 59 tahun
2018, tentang Ijazah, Sertifikat Kompetensi, Sertifikat Profesi, Gelar dan Tata
Cara Penulisan Gelar di Perguruan Tinggi;
g. Keputusan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi No. 123 Tahun 2019
tentang Magang dan Pengakuan Satuan Kredit Semester Magang Industri untuk
Program Sarjana dan Sarjana Terapan.
h. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 3 tahun 2020, tentang
Standar Nasional Pendidikan Tinggi;
i. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 5 tahun 2020, tentang
Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi
j. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 7 Tahun 2020 tentang
Pendirian Perubahan, Pembubaran Perguruan Tinggi Negeri, dan Pendirian,
Perubahan, Pencabutan Izin Perguruan Tinggi Swasta.
k. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 22 tahun 2020, tentang
Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Landasan Hukum, Kebijakan Nasional dan Institusional Pengembangan Kurikulum Pendidikan
Tinggi

Landasan yuridis pengembangan kurikulum Pendidikan tinggi diatur


dalam UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang memuat
pengertian kurikulum pendidikan tinggi pada pasal 35 ayat 1 sebagai
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan ajar serta
cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan Pendidikan Tinggi. Kurikulum yang
dikembangkan prodi haruslah memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan
Menteri. Dalam Pasal 29 UU Pendidikan Tinggi dinyatakan acuan pokok
dalam penetapan kompetensi lulusan Pendidikan Akademik, Pendidikan
Vokasi, dan Pendidikan Profesi adalah Kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia (KKNI). KKNI telah diatur melalui Peraturan Presiden No. Tahun
2012. Pengembangan kurikulum juga mengacu pada Standar Nasional
Pendidikan Tinggi untuk setiap Program Studi yang mencakup pengembangan
kecerdasan intelektual, akhlak mulia, dan keterampilan, pada saat ini Standar
Nasional Pendidikan Tinggi yang berlaku adalah Permendikbud No. 03 Tahun
2020 menggantikan Permenristekdikti No 44 tahun 2015. Gambar 1
menunjukkan rangkaian landasan hukum, kebijakan nasional dan institusional
pengembangan kurikulum Pendidikan tinggi.
Standar Proses yang ada dalam SN-Dikti menjadi dasar kebijakan
Merdeka Belajar-Kampus Merdeka di Perguruan Tinggi. Mahasiswa
mendapat kesempatan untuk mendapatkan pengalaman belajar di luar program
studinya dan diorientasikan untuk mendapatkan keterampilan abad 21 yang
diperlukan di era Industri 4.0 antara lain komunikasi, kolaborasi, berpikir
kritis, berpikir kreatif, juga logika komputasi dan kepedulian. Peran penting
kurikulum dalam penyelenggaraan pendidikan di perguruan tinggi juga diatur
dalam Permendikbud No. 5 Tahun 2020 tentang Akreditasi Program Studi dan
Perguruan Tinggi dan Permendikbud No. 7 Tahun 2020 tentang Pendirian,
Perubahan, Pembubaran Perguruan Tinggi Negeri, dan Pendirian, Perubahan,
Pencabutan Izin Perguruan Tinggi Swasta. Perguruan tinggi memiliki visi,
misi, tujuan dan strategi serta nilai nilai yang dikembangkan untuk
mewujudkan keunggulan lulusannya. Karena itu pengembangan kurikulum
juga selaras dengan kebijakan di Perguruan Tinggi masing-masing, sehingga
lulusan setiap Perguruan Tinggi dapat memiliki keunggulan dan penciri yang
membedakan dari lulusan Perguruan Tinggi lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai