Anda di halaman 1dari 3

RUMPUT LAUT SEBAGAI SUMBER ENERGI

Produksi rumput laut global per tahunnya sekitar satu juta ton berat kering,
yang sebagian besar diolah untuk produk makanan. Nilai ekonomis rumput laut
tersebut sekitar US$ 6 miliarpada tahun 2003yang berasal dari budidaya dan
tumbuh alami. Produk hidrokoloid dari rumput laut terdiri dari alginat, agar, dan
karagenan memiliki nilai ekonomi US$ 585 juta per tahunnya. Kontribusi
ekonomis rumput laut sebagai sumber material untuk produksi biofuel dapat
diabaikan, walaupun potensinya sebagai bahan baku biofuel telah dikenal dalam
beberapa dekade. Saat ini, Cina merupakan negara pemasok rumput laut tertinggi
di dunia dari hasil budidaya dan tumbuh alami, yakni masing-masing 72 % dan
28%. Indonesia sendiri di tahun 2006 menyumbang kurang lebih 0,86% dari hasil
tumbuh alami dan 6,04% dari hasil budidaya untuk produksi rumput laut dunia.
Total produksi rumput laut Indonesia di tahun tersebut mencapai 920.466 ton dan
terus mengalami peningkatan. Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan
di tahun 2009, produksi rumput laut sekitar 2,8 kali jumlah produksi di tahun
2006 dan merupakan komoditas utama akuakultur Indonesia. Beberapa genus
utama rumput laut yang memiliki potensi ekonomis di Indonesia (Gambar 1)
adalah Euchema sebagai sumber utama karaginan;Gracilaria danGelidium untuk
produksi agar; dan Sargassum untuk produksi alginat.

Ekstrak rumput laut tidak mengandung minyak, namun kaya akan


karbohidrat yang digunakan untuk bahan baku untuk proses fermentasi etanol,
butanol, dan proses untuk menghasilkan biogas.Kandungan karbohidrat total yang
terdapat dalam rumput laut dapat mencapai 83%, yang terdiri dari agar,
karagenan, selulosa, laminarin, manitol, alginat, fukoidan, dan amilum. Potensi
biomasa rumput laut sebagai bahan baku untuk proses konversi menjadi gas
metana dilaporkan lebih dari 100 EJ (Exajoule)/tahun atau tiga kali lebih besar
daripada sumber biomasa yang lain. Selain itu, biaya untuk proses produksinya
sama dengan biaya proses konversi gandum menjadi gas metana.
Bahan baku rumput laut melepaskan polisakarida yang terkandung di
dalamnya melalui proses hidrolisis. Proses ini dapat dilakukan dengan
menggunakan asam, enzim hidrolisis, ataukombinasi keduanya. Salah satu studi
menemukan bahwa karbohidrat dari rumput laut (Rhodophyta, Chlorophyta, dan
Phaeophyta) dapat dihidrolisis secara efektif menjadi monosakarida dengan
menambahkan H2SO4hingga encer pada suhu tinggi. Studi lain juga menemukan
bahwa kerja enzim hidrolisis lebih efektif apabila bahan baku mengalami
pretreatment dalam NaCl.

Konversi rumput laut menjadi biofuel berupa gas merupakan teknologi


yang lebih murah, karena proses ekstraksi tidak dibutuhkan. Pada proses ini
campuran bakteri langsung menghidrolisis dan merombak karbohidrat, lipid dan
protein rumput laut menjadi monomer-monomer secara anaerobik, kemudian
diubah menjadi biogas melalui proses fermentasi. Biogas ini mengandung sekitar
60% – 70% gas metan dan karbon dioksida sekitar 30% – 40%. Gas lainnya
seperti nitrogen, oksigen, hidrogen sulfida, dan amoniak memiliki kandungan
tidak lebih dari 1%. Biogas ini selanjutnya dimurnikanmelalui proses
penyulingansebelum didistribusikan dan dimanfaatkan sebagai bahan bakar.

Walaupun rumput laut memiliki kelebihan untuk dijadikan bahan baku


biofuel, tantangan dan dampak lingkungan merupakan risiko yang patut
dipertimbangkan. Pertama, proses pemecahan polimer rumput laut menjadi
monomer-monomer agak sulit, karena polimer rumput laut berbeda dan lebih
bervariasi dibandingkan dengan polimer yang dapat ditemukan pada biomasa dari
daratan. Kedua, penerapan rumput laut sebagai sumber bahan baku biofuel akan
membutuhkan peningkatan area budi daya rumput laut, dan membutuhkan
perhatian khusus akan dampaknya bagi lingkungan perairan laut dan pantai.
Beberapa dampak ini adalah perubahan habitat asli, perubahan hidrologi (seperti
sedimentasi dan pergerakan air), penipisan nutrisi, penurunanbiodiversitas
(penghilangan mangrove dan lamun), penurunan kualitas perairan, dan
terganggunya habitat karang. Sementara itu, proses ini kemungkinan
menguntungkan karena dapat meningkatkan populasi ikan dan invertebrata di
lingkungan budidaya rumput laut. Keseimbangan antara produksi biofuel dari
rumput laut dan dampak lingkungan harus diperhatikan.

Rumput laut mengandung 83% karbohidrat yang dapat dimanfaatkan


untuk produksi biofuel cair (bioetanol) dan biogas (biometan). Untuk
meningkatkan produksi biofuel dari rumput laut, tahapan produksi biofuel yang
dikembangkan adalah tahapan penanaman, pemanenan, dan fermentasi. Tahapan
penanaman, khususnya area penanaman, mulai dikembangkan untuk penanaman
rumput laut di lepas pantai,walaupunmetode ini tergolong agak mahal. Tahapan
pemanenan telah dilakukan secara mekanis dan terus ditingkatkan, namun
pemanenan secara manual masih digunakan. Tahapan fermentasi, mulai digunakan
mikroorganisme hasil rekayasa untuk proses fermentasi. Meskipun demikian,
tantangan peningkatan produksi rumput laut dalam skala besar untuk biofuel
adalah biaya produksi yang sangat tinggi dan dampak negatif terhadap ekosistem
laut.

Anda mungkin juga menyukai