Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem endokrin adalah sistem kontrol kelenjar tanpa saluran yang menghasilkan hormon
yang tersirkulasi di tubuh melalui aliran darah untuk mempengaruhi organ-organ lain yang
terdiri dari beberapa kelenjar diantaranya adalah hipotalamus, gonad, adrenal, hipofise, tyroid,
parathyroid, dan pankreas (Manurung, Magdalena, & Nixson, 2017). Santosa (2012) dalam
simposium ilmiah perkembangan endokrin, diagnosa dan terapi menyebutkan gangguan
endokrin terbanyak terjadi di kelenjar pankreas yang memunculkan penyakit diabetes, dimana
diabetes merupakan 75% penyakit dari gangguan endokrin secara keseluruhan. Gangguan
lainnya terjadi pada kelenjar tiroid, yaitu penyakit gondok sebanyak 15-20%. Sisanya
gangguan pada kelenjar lain yang memunculkan berbagai penyakit, seperti disfungsi ereksi,
gangguan hormonal, gangguan hipofisis, bahkan kanker.

Berdasarkan data WHO prevalensi diabetes melitus pada orang dewasa di seluruh dunia di
tahun 2015 adalah 415 juta orang, dan diprediksi pada tahun 2040 akan meningkat menjadi
642 juta orang (WHO, 2016). Studi terbaru dari International Diabates Federation (IDF) tahun
2018 mengungkapkan bahwa pada tahun 2017 Sekitar 425 juta orang dewasa di seluruh dunia
hidup dengan diabetes, pada tahun 2045 akan meningkat menjadi 629 juta. Pada tahun 2017
penyandang diabetes di Indonesia diperkirakan sebesar 10 juta, yang merupakan negara
urutan ke-6 dengan prevalensi diabetes tertinggi (6,3%) di bawah China, India, USA, Brazil,
dan Mexico

Menurut Kemenkes, 2016 pada tahun 2013 prevalensi diabetes berada pada urutan ke 4 dari
penyakit kronis di Indonesia. Berdasarkan laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2018 prevalensi diabetes melitus berdasarkan pemeriksaan darah pada penduduk umur
≥15 tahun adalah 6,9% di tahun 2013 dan mengalami peningkatan 8,5% di tahun 2018.
Sedangkan prevalensi diabetes melitus berdasarkan diagnosis dokter pada penduduk usia ≥15
tahun di Indonesia juga mengalami peningkatan dari 1,5% pada tahun 2013 menjadi 2,0%
pada tahun 2018. Prevalensi tertinggi tahun 2018 terdapat di Ibu kota DKI Jakarta dengan
prevalensi 3,4%, Kalimantan Timur 2,9% dan Yogyakarta 2,8%. Sementara itu Sumatera
Barat menempati urutan ke 22 dari 35 Provinsi di Indonesia dengan prevalensi mengalami
peningkatan dari 1,3% ditahun 2013 menjadi 1,7% ditahun 2018 (Riskesdas, 2018)

Profil Kesehatan Kota Padang (2017) menyatakan bahwa pada tahun 2016 diabetes melitus
menempati urutan ke enam dari sepuluh penyakit terbanyak di kota Padang, yaitu sebanyak
22.523 kasus. Sedangkan pada tahun 2017 Diabetes Melitus tanpa komplikasi menempati
urutan ke 7 dari sepuluh penyakit terbanyak di kota Padang yaitu sebanyak 13.795 kasus.

Diabetes Melitus tipe 1 terjadi sekitar 5% - 10% dari penderita DM karena kerusakan sel beta
pankreas dan DM tipe 2 terjadi 90% dari penderita DM yang disebabkan oleh resistensi
insulin. Diabetes melitus merupakan penyakit yang dapat menyebabkan masalah yang serius
dan pravalensinya meningkat secara cepat (Tarwoto, 2012). Diabetes Melitus tipe 2
menempati lebih dari 90% kasus di negara maju, sedangkan di negara sedang berkembang,
hampir seluruh diabetes tergolong sebagai penyandang DM tipe 2 dimana 40% diantaranya
terbukti berasal dari kelompok masyarakat yang telah mengubah gaya hidup tradisional
menjadi modern (Arisman, 2010)

Komplikasi yang berkaitan dengan diabetes melitus tipe 2 diklasifikasikan sebagai komplikasi
akut dan kronik. Komplikasi akut terjadi akibat intoleransi glukosa yang berlangsung dalam
jangka waktu pendek, sedangkan komplikasi kronik biasanya terjadi 10-15 tahun setelah
awitan diabetes melitus Komplikasi (Smeltzer & Bare 2013). Diabetes Melitus tipe 2 terjadi
pada semua organ tubuh dimana 50% mengakibatkan penyakit jantung koroner dan 30%
mengakibatkan gagal ginjal. Selain kematian, DM tipe 2 juga dapat menyebabkan kecacatan.
Sebanyak 3% pasien DM tipe 2 mengalami kebutaan akibat komplikasi retinopati dan 10%
mengalami amputasi tungkai kaki (Mashudi dalam Dalimunthe & Nasution, 2016)
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep dasar Diabetes Melitus

1. Pengertian

Diabtes melitus merupakan penyakit kronik, progesif yang dikarakteristikkan dengan ketidak
mampuan tubuh untuk melakukan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein awal
terjadinya hyperglikemia, yaitu kadar gula yang tinggi dalam darah(Black & Hawk dalam
damayanti, 2015). Diabtes melitus merupakan sekumpulan gangguan metabolik yang ditandai
dengan peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) akibat kerusakan pada sekresi
insulin, kerja insulin atau keduanya. (smeltzer, 2016)

Diabetes melitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan
oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut
maupun relatif (Suyono dalam Tarwoto, 2012)

Diabetes Melitus tipe 2 dikarakteristikkan dengan hiperglikemia, resistensi insulin dan


keruskan relatif sekresi insulin (damayanti,2015). Diabetes Melitus tipe 2 atau dikenal dengan
diabetes melitus tidak tergantung insulin dapat terjadi akibat obesitas, atau penyakit seperti
infeksi, trauma, dan infark miokard (chyntiaa lee, 2013). Faktor Resiko DM tipe 2 antara lain
faktor keturunan dan obesitas, 80-90% dm tipe 2 mengalami obesitas (wahyu,2015)

Diabetes melitus tipe 2 terjadi akibat penurunan sensitivitas terhadap insulin atau akibat
penurunan produksi insulin. Diabetes melitus tipe II banyak terjadi pada usia dewasa lebih
dari 45 tahun, karena berkembang lambat dan terkadang tidak terdeteksi (Tarwoto,2012)

2. Klasifikasi

Menurut WHO dalam arisman, dan Damayanti secara umum diabetes melitus dibagi menjadi
5 kelompok, yaitu :
a. Diabetes Melitus tipe1, dulu disebutInsulin Diabetes Mellitus (IDDM)
Diabetes ini terjadi akibat kerusakan sel beta pankreas, 90% sel penghasil insulin tersebut
mengalami kerusakan permanen. Diabetes tipe 1 terjadi pada 5% sampai dengan 10%
penderita diabetes. Dahulu, Diabetes Melitus tipe1 disebut juga diabetes onsetanak (atau
onsetremaja) dan diabetes rentanketosis (karena sering menimbulkan ketosis). Onset
Diabetes Melitus tipe1biasanya terjadi sebelum usia 25-30 tahun (tetapi tidak selalu
demikian karena orang dewasa dan lansia kurus juga dapat mengalami diabetes jenis ini).
Sekresi insulin mengalami defisiensi (jumlahnya sangat rendah atau tidak ada sama
sekali). Dengan demikian, tanpa pengobatan dengan insulin pasien biasanya akan mudah
terjerumus ke dalam situasi ketoasidosis diabetik.

b. Diabetes Melitus tipe 2, dulu disebutnon-insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM).


Diabetes melitus tipe 2 disebut juga diabetes onset dewasa atau dulu disebut NIDDM.
Istilah NIDDM sebenarnya kurang tepat karena 25% diabetes pada kenyataannya harus
diobati dengan insulin, bedanya mereka tidak memerlukan insulin sepanjang usia. Kurang
lebih 90% sampai 95% penderita diabetes melitus adalah diabetes tipe 2. Dalam diabetes
melitus tipe 2, jumlah insulin yang diproduksi oleh pankreas biasanya cukup untuk
mencegah ketoasidosis tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh
total.Diabetes melitus tipe 2 merupakan penyakit familiar yang mewakili kurang lebih
85% kasus diabetes melitus di negara maju. Diabetes melitus tipe 2 mempunyai onset
pada usia pertengahan (40-an) atau lebih, serta lebih sering terjadi pada individu obesitas.
(arisman:2015)

Kasus diabetes melitus tipe 2 umumnya mempunyai latar belakang kelaianan yang
diawali dengan terjadinya resistensi insulin. Resistensi insulin awalnya belum
menyebabkan diabetes melitus secara klinis. Sel beta pankreas masih dapat melakukan
kompensasi bahakan sampai overkompensasi, insulin disekresi secara berlebihan
sehingga terjadi kondisi hiperinsulinemia dengan tujuan normalisasi kadar glukosa darah.
Mekanisme kompensasiyang terus menerus menyebabkan kelelahan sel beta pankreas
yang diebut dekompensasi, mengakibatkan produksi insulin yang menurun secara
absolut. Kondisi resistensi insulin diperberat oleh produksi insulin yang menurun
akibatnya kadar glukosa darah semakin meningkat sehingga memenuhi kriteria diagnosis
diabetes melitus (Sudoyo dalam damayanti,2015)

c. Diabetes melitus tipe tertentu


Diabetes jenis ini dahulu disebut diabetes sekunder, atau Diabetes Melitus tipe lain.
Etiologi jenis diabetes ini meliputipenyakit pada pankreas yang merusak sel beta, seperti
hemokromatosis, pankreatitis, fibrosis kristik, sindrom hormonal yang mengganggu
sekresi dan/atau menghambat kerja insulin, seperti akromegali, feokromositoma, dan
sindrom cushing, obat-obat yang mengganggu sekresi insulin, atau yang menghambat
kerja insulin, kondisi tertentu yang jarang terjadi, seperti kelainan pada reseptor insulin
dan sindrom genetik.

d. Diabetes melitus kehamilan (Gestational Diabetes)


Diabetes melitus kehamilan didefinisikan sebagai setiap intoleransi glukosa yang timbul
atau terdeteksi pada kehamilan pertama, tanpa memandang derajat intoleransi serta tidak
memperhatikan apakah gejala ini lenyapatau menetap selepas melahirkan. Diabetes jenis
ini biasanya muncul pada kehamilan trimester kedua atau ketiga. Kategori ini mencakup
diabetes melitus yang terdiagnosis ketika hamil (sebelumnya tidak diketahui). Wanita
yang sebenarnya telah diketahuo telah mengidap diabetes melitus kemudian hamil tidak
termasuk ke dalam kategori ini.

e. Diabetes melitus terkait malnutrisi (DMMal)


Golongan diabetes ini terjadi akibat malnutrisi, biasanya pada penduduk misikin.
Diabetes tipe ini dapat dikategorikan jika ada 3 gejala dari gejala yang mungkin yaitu :
1) Adanya gejala malnutrisi seperti badan kururs, berat badan kurang dari 80% berat
badan ideal.
2) Adanya tanda-tanda malabsorpsi makanan.
3) Usia antara 15-40 tahun.
4) Memerlukan insulin untuk regulasi DM dan menaikkan berat badan.
5) Nyeri perut berulang.

3. Etiologidan faktor resiko Diabetes Melitus tipe 2


Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin
pada diabetes melitus tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik memegang peranan dalam
proses terjadinya resistensi insulin. (Padila,2012)

Faktor resiko yang menyebabkan timbulnya penyakit DM tipe 2 antara lain :

a. Usia diatas 45 tahun, hal ini karena adanya perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia.
Perubahan dimulai dari tingkat sel, kemudian berlanjut pada tingkat jaringan dan
akhirnya pada tingkat organ yang dapat mempengaruhi homoeostasis.
b. Obesitas atau kegemukan yaitu berat badan lebih dari 20% dari berat badan ideal atau
BMI (Body Mass Index). Obesitas menyebabkan respon sel beta pankreas terhadap
peningkatan glukosa darah berkurang, selain itu reseptor insulin pada sel diseluruh tubuh
termasuk di otot berkurang jumlah dan keaktifannya.

c. Riwayat keluarga dengan DM tipe 2


d. Lingkungan seperti virus yang dapat memicu teerjadinya autoimun dan menghancurkan
sel-sel pancreas, obat-obatan dan zat kimia.
e. Riwayat adanya gangguan toleransi glukosa (IGT) atau gangguan glukosa puasa (IFG).
f. Hipertensi, dengan tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg atau hiperlipidemia, kolestrol
atau trigiserida lebih dari 150 mg/dl
g. Riwayat gestasional DM atau riwayat melahirkan bayi diatas 4 kg
h. Polystic ovarium syndrome yang diakibatkan resistensi dari insulin. Pada keadaan ini
wanita tidak terjadi ovulasi (keluarnya sel telur dari ovarium), tidak terjadi menstruasi,
tumbuhnya rambut secara berlebihan, tidak bisa hamil.
i. Etnik, banyak terjadi pada orang Amerika keturunan Afrika, Asia.
j. Kebiasaan diet dan kurang olahraga atau kurang beraktifitas fisik
(Tarwoto,2012)

5. Manifestasi klinis

a. Poliuria (meningkatnya frekuensi buang air kecil.


Adanya hiperglikemia menyebabkan sebagian glukosa di keluarkan oleh ginjal bersama
urin karena keterbatasan kemampuan filtrasi ginjal dan kemampuan reabsorpsi dari
tubulus ginjal. Untuk mempermudah pengeluaran glukosa maka diperlukan banyak air,
sehingga frekuensi miksi menjadi meningkat.
b. Meningkatnya rasa haus (polidipsi)
Banyak miksi menyebabkan tubuh kekurangan cairan (dehidrasi), hal ini merangsang
pusat haus yang mengakibatkan peningkatan rasa haus.
c. Meningkatnya rasa lapar (polipagia)
Meningkatnya katabolisme, pemecahan glikogen untuk energi menyebabkan cadangan
energi berkurang, keadaan ini menstimulasi pusat lapar.
d. Gejala gastrointestinal seperti anoreksia, mual/muntah, dan nyeri abdomen (mungkin
berat).
e. Nafas aseton (berbau buah), dan pernapasan kussmal yaitu hiperventilasi, pernafasan
sangat dalam tetapi tidak sulit.
f. Penurunan berat badan
Penurunan berat badan disebabkan karena banyaknya kehilangan cairan, glikogen dan
cadangan trigliserida serta masa otot.
g. Kelianan pada mata, penglihatan kabur
Pada kondisi kronis, keadaan hiperglikemia menyebabkan aliran darah menjadi lambat,
sirkulasi ke vaskuler tidak lancar, termasuk pada mata yang dapat merusak retina serta
kekeruhan pada lensa.
h. Kulit gatal, infeksi kulit, gatal-gatal disekitar penis dan vagina. Peningkatan glukosa
darah mengakibatkan penumpukan gula pada kulit sehingga menjadi gatal, jamur, dan
bakteri mudah menyerang kulit.
i. Ketonuria
Ketika glukosa tidak lagi digunakan untuk energi, maka digunakan asam lemak untuk
energi, asam lemak akan dipecah menjadi keton yang kemudian berada pada darah dan
dikeluarkan melalui ginjal.
j. Kelemahan dan keletihan
Kurangnya cadangan energi adanya kelaparan sel, kehilangan potassium menjadi akibat
pasien mudah lelah dan letih.
k. Terkadang tanpa gejala
Pada keadaan tertentu, tubuh sudah dapat beradaptasi dengan
peningkatan glukosa darah
(Tarwoto,2012 dan smeltzer, 2016)

6. komplikasi

Komplikasi yang berkaitan dengan diabetes diklasifikasikan sebagai komplikasi akut dan
kronik. Komplikasi akut terjadi akibat intoleransi glukosa yang berlangsung dalam jangka waktu
pendek dan komplikasi kronik biasanya terjadi 10-15 tahun setelah awitan diabetes melitus
(smeltzer & bare,2016)

a. Komplikasi akut
Kompliaksi akut terjadi akibat ketidakseimbangan akut kadar glukosa darah, yaitu
hipoglikemia, diabetik ketoasidosis, dan hiperglikemia (damayanti,2015)
1) Hiperglikemia
Masalah utama akibat hiperglikemia pada penyandang DM adalah DKA dan
HHS. Dua masalah lain adalah fajar dan fenomena somogy. Fenomena fajar
adalah kenaikan glukosa darah antara jam 4 pagi dan jam 8 pagi yang bukan
merupakan respons terhadap hipoglikemia. Kondisi ini terjadi pada
penyandang DM baik tipe 1 maupun tipe 2. Penyebab pastinya tidak diketahui
tetapi dipercayai terkait dengan peningkatan hormon pertumbuhan pada
malam hari, yang menurunkan ambilan perifer glukosa. Fenomena somogyi
adalah kombinasi hipoglikemia selama malam hari dengan dengan pantulan
kenaikan glukosa darah di pagi hari terhadap kadar hiperglikemia.
Hiperglikemia menstimulasi hormon kontraregulator, yang menstimulasi
glukoneogenesis dan glikogenolisis dan juga menghambat pemakaian glukosa
perifer. Kondisi ini dapat menyebabkan resistensi isnulin selama 12-48 jam.
2) Ketoasidosis Diabetik.
Ketika patofisologi DM tipe 1 yang tidak diobati berlanjut,kekurangan insulin
menyebabkan cadangan lemak dipecah untuk menyediakan energi, yang
menghasilkan hiperglikemia berkelanjutan dan mobilisasi asam lemak dengan
ketosis bertahap. Ketoasidosis diabetik (DKA) terjadi bila terdapat
kekurangan insulin mutlak dan peningkatan hormon kontraregulator
terstimulasi (kortisol). Produksi glukosa oleh hati meningkat, pemakaian
gkuksoa perifer berkurang, mobilisasi lemak meningkat dan ketogenesis
(pembentukan keton ) dirangsang. Peningkatan kadar glukagon mengaktifkan
jalur glukoneogenesis dan ketogenesis di hati.
3) Keadaan Hiperglikemia Hiperosmolar (hyperosmolar hyperglicemic state,
HHS)
masalah metabolik yang disebut keadaan hieperglikemia hiperosmolar (HHS)
terjadi pada penyandang DM tipe 2. Hiperglikemi ditandai dengan osmolaritas
plasma 340 mOsm/L atau lebih (kisaran normal adalah 280-300 mOsm/L),
naiknya kadar glukosa darah dengan cepat (lebih dari 600 mg/dl dan sering
kali 1000-2000 mg/dl), dan perubahan tingkat kesadaran yang berat.
Hiperglikemia adalah kedaruratan medis serius yang mengancam jiwa dan
memiliki angka kematian tertinggi dibanding DKA. Kematian tinggi tidak
hanya karena perubahan metabolik yang serius tetapi juga karena penyandang
DM biasanya lansia dan memiliki masalah medis lain yang menyebabkan atau
disebabkan oleh HHS. Faktor pemicu terkait HHS adalah infeksi, agens
terapeutik yang menyebabkan hieprglikemia, prosedur terapeutik, penyakit
akut dan penyakit kronis
(LeMone,2016)

b. Komplikasi Kronik
Komplikasi kronis terdiri dari komplikasi makrovaskuler, mikrovaskuler, dan neuropati.
1) Komplikasi makrovaskuler
Komplikasi ini diakibatkan karena perubahabn ukuran diameter pembuluh darah.
Pembuluh darah akan menebal, sklerosis dan timbul sumbatan (occlusion) akibat
plaque yang menempel. Komplikasi makrovaskuler yang paling sering terjadi adalah
penyakit arteri koroner, penyakit cerebrovaskuler dan penyakit vaskuler perifer
(damayanti,2015). Faktor resiko lain yang menimbulkan perkembangan penyakit
makrovaskuler pada DM adalah hipertensi, hiperlipidemia, merokok, dan kegemukan
(LeMone,2016).
2) Komplikasi mikrovaskuler
Perubahan mikrovaskuler melibatkan kelianan struktur dalam membran pembuluh
darah kecil dan kapiler. Kelainan pada pembuluh darah ini menyebabkan dinding
pembuluh darah menebal, dan mengakibatkan penurunan perfusi jaringan.
Komplikasi mikrovaskuler terjadi di retina yang menyebabkan retinopati diabetik dan
di ginjal menyebabkan nefropati diabetik (Damayanti,2015)
3) Komplikasi neuropati
Neuropati diabetik merupakan sindroma penyakit yang mempengaruhi semua jenis
saraf yaitu saraf perifer, otonom dan spinal. Komplikasi neropati perifer dan otonom
menimbulkan permasalahan di kaki, yaitu berupa ulkus kaki diabetik, pada umumnya
tidak terjadi dalam 5-10 tahun pertama setelah didiagnosis, tetapi tanda-tanda
komplikasi mungkin ditemukan pada saat mulai terdiagnosis DM tipe 2 karena DM
yang dialami pasien tidak terdiagnosis selama beberapa tahun
Terjadinya insiden baik amputasi maupun masalah kaki pada pasien DM merupakan
akibat angiopati, neuropati, dan infeksi. Mekanise terjadinya ulkus diantaranya adalah
akibat ketidakpatuhan dalam melakukan tindakan pencegahan, pemeriksaan kaki,
serta kebersihan, kurang melaksanakan pengoabtan medis, aktivitas pasien yang tidak
sesuai, kelebihan berat badan serta penggunaan alas kaki yang tidak sesuai, serta
kurangnya pendidikan pasien, pengontrolan glukosa darah dan perawatan kaki
(Damayanti,2015).

7. Pemeriksaan Penunjang

a. Glukosa darah.Pada pasien DM tipe 2 biasanya meningkat 100-200 mg/dl, atau lebih.
Pemeriksaan gula darah terdiri dari:
1) Pemeriksaan gula darah puasa atau fasting blood sugar (FBS)
Pasien dalam keadaan puasa selama 12 jam, diperbolehkan minum. Darah diambil
dari pembuluh darah vena. Hasil normal gulah darah puasa adalah 80-120 mg/100 ml
serum. Pada pasien DM tipe 2 biasanya meningkat 100-200 mg/dl, atau lebih
2) Pemeriksaan gula darah postprandial
Bertujuan untuk menentukan gula darah setelah makan. Pasien diberi makan kira-kira
100 gr karbohidrat, dua jam kemudian diambil darah venanya. Nilai normal gula
darah postprandial adalah kurang dari 120 mg/100 ml serum
b. Aseton plasma (keton) didapat hasil positif secara menyolok.
c. Asam lemak bebas didapat kadar lipid dan kolestrol meningkat, karena ketidakadekuatan
kontrol glikemik.
d. Osmolitas serum meningkat tetapi biasanya kurang dari 330 mOsm/L
e. Natrium mungkin normal, meningkat atau menurun tergantung pada jumlah cairan yang
hilang (dehidrasi).
f. Kalium normal atau peningkatan semu (perpindahan seluler), selanjutnya akan menurun
g. Fosfor lebih sering menurun
h. Hemogoblin glikosilat kadarnya meningkat 2-4 kali lipat
i. Gas darah arteri biasanya menunjukkan pH rendah (6,8 - 7,3), penurunan pada HCO3
(Asidosis Metabolik) dengan kompensasi alkalosis respiratorik, PaCO2 rendah, 10-30
mmHg
j. Trombosit darah. Hematokri mungkin meningkat (dehidrasi), leukositosis,
hemokonsentrasi merupakan respon terhadap stress atau infeksi.
k. Ureum/kreatininmungkin meningkat atau normal (dehidrasi/penurunanh fungsi ginjal).
Adanya ketonuria menunjukkan adanya ketoasidosis.
l. Amilase darah. Mungkinn meningkat yang mengindikasikan adanya pankreatitis akut
sebagai penyebab dari Diabetes melitus (Diabetik Ketodasidosis).
m. Pemeriksaan fungsi tiroid. peningkatan aktifitas hormon tiroid dapat meningkatkan
glukosa darah dan kebutuhan akan insulin.
n. Pemeriksaan glukosa urin. Adanya glukosauria menunjukkan bahwa ambang gilnjal
terhadap glukosa terganggu. Biasanya didapat hasil urine gula dan asetan positif, berat
jenis dan osmolalitas mungkin meningkat
o. Kultur dan sensitivitas, kemungkinan adanya infeksi saluran kemih, infeksi pernafasan,
dan infeksi pada luka

(kartika sari,2013 dan Tarwoto,2012)

8. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan pasien dengan DM adalah

a. Menormalkan fungsi dari insulin dan menurunkan kadar glukosa darah


b. Mencegah komplikasi vaskuler dan neuropati
c. Mencegah terjadinya hipoglikemia dan ketoasidosis

Prinsip penatalaksanaan pasien DM adalah mengontrol gula darah dalam rentang normal dan
mencegah timbul nya konplikasi akut dan kronis. Untuk mengontrol gula darah 5 faktor penting
yang harus diperhatikan, yaitu :

a. Asupan makanan atau managemen diet.


b. Latihan fisik atau exercise.
c. Obat-obatan penurun gula darah
d. Pendidikan kesehatan
e. Monitoring.

Perencanaan penatalaksansaan DM bersifat individual artinya perlu dipertimbangkan kebutuhan


terhadap umur pasien, gaya hidup, kebutuhan nutrisi, kematangan, tingkat aktivitas, pekerjaan
dan kemampuan pasien dalam mengontrol gula darah secara mandiri. Ada lima komponen dalam
penatalaksanaan diabetes tipe2, yaitu terapi nutrisi (mangemen diet), latihan fisik, pemantauan,
terapi farmakologi dan pendidikan (Damayanti,2015)

a. Managemen diet DM
Kontrol nutrisi, diet dan berat badan merupakan dasar penanganan pasien DM. Tujuan
yang paling penting dalam managemen nutrisi dan diet adalah mengontrol total
kebutuhan kalori tubuh, intake yang dibutuhkan, mencapai kadar serum lipid normal,
mencapai dan mempertahankan berat badan dalam batas normal atau kurang lebih 10%
dari berat badan ideal, tekanan darah dalam kisaran normal (atau seaman mungkin
mendekati normal), memenuhi kebutuhan nutrisi individu dan menjaga kepuasan pasien
untuk makan karena pilihan makanan yang dibatasi. Rencana makan harus
mempertimbangkan pilihan makanan pasien, gaya hidup, waktu biasanya pasien makan,
dan latar belakang budaya serta etnis pasien (smeltzer,2016, Tarwoto,2012,
Damayanti,2015)
Penatalaksanaan nutrisi dimulai dari menilai kondisi pasien, salah satunya menilai status
gizi. Penilaian status gizi dengan menghitung Indeks Masa Tubuh. Rumus yang dipakai
yaitu IMT = BB(kg)/ (TB(m)2). Ketentuan status gizi:
BB kurang : IMT< 18,5
BB normal : IMT 18,5 – 22,9
BB lebih : IMT > 23
BB dengan resiko : IMT 23 – 24,9
Obes I : IMT 25 – 29,9
Obes II : IMT > 30,0

(Tarwoto,2012)

Komposisi nutrisi pada diet DM adalah kebutuhan kalori, karbohidrat, lemak, protein dan
serat. Dalam memenuhi kebutuhan kalori harus mempertimbangkan usia, gender dan
tinggi badan pasien serta dengan melihat derajat aktivitas pasien. Penurunan berat badan
dalam jangka waktu panjang dapat dicapai (1 sampai 2 pon perminggu) dengan
mengurangi asupan kalori dasar sebanyak 500 sampai 1000 kalori dari perhitungan
kebutuhan kalori dasar. American Diabetes Association merekomendasikan bahwa untuk
semua tingkatan asupan kalori, sebanyak 50% sampai 60% kalori didapatkan dari
karbohidrat, 20% sampai 30% dari lemak, dan sisanya 10% sampai 20% dari protein.
Penggunaan kombinasi makanan untuk menurunkan respons glikemik akan sangat
bermanfaat. Penghitungan jumlah karbohidrat dan piramida makanan merupakan
beberapa isntrumen yang dapat bermanfaat (Smeltzer,2016).

Diet DM Tipe 2 yang telah disesuaikan dengan kandungan


kalorinya.
1) Diet DM I : 1100 kalori
2) Diet DM II : 1300 kalori
3) Diet DM III : 1500 kalori
4) Diet DM IV : 1700 kalori
5) Diet DM V : 1900 kalori
6) Diet DM VI : 2100 kalori
7) Diet DM VII : 2300 kalori
8) Diet DM VIII : 2500 kalori

Diet I s/d III diberikan kepada penderita yang terlalu gemuk,


sedangkan diet IV s/d VIII diberikan kepada penderita
dengan berat badan normal (Rendi dan Margareth, 2012).

b. Latihan fisik/exercise
Latihan fisik bagi pasien DM sangat dibutuhkan, karena pada saat latihan fisik energi
yang dipakai adalah glukosa dan asam lemak bebas. Latihan fisik bertujuan untuk
menurunkan kadar gula darah dengan meningkatakan metabolisme karbohidrat,
menurunkan berat badan dan mempertahankan berat badan normal, meningkatkan
sensitifitas insulin, meningkatkan kadar HDL dan menurunkan kadar trigliserida,
menurunkan tekanan darah. Jenis latihan fisik diantaranya adalah olahraga seperti latihan
aerobic, jalan, lari, bersepeda, berenang. Perlu diperhatikan dalam latihan fisik pasien
DM adalah frekuensi, intensitas, durasi waktu dan jenis latihan. Misalnya pada olahraga
sebaiknya secara teratur 3x per minggu dengan intensitas 60-70% dari heart rate
maximum (220-umur), lamanya 20-45 menit.
Salah satu latihan fisik yang penting untuk pasien DM yaitu senam kaki DM

1. Definisi
Senam kaki adalah kegiatan atau latihan yang dilakukan oleh pasien
diabetes melitus untuk mencegah terjadinya luka dan membantu
melancarkan peredarah darah bagian kaki

2. Tujuan Senam Kaki DM


Memperbaiki sirkulasi darah
Mencegah terjadinya kelainan bentuk kaki
Meningkatkan kekuatan otot
betis dan paha Mengatasi keterbatasan
gerak sendi
3. Langkah-langkah Senam Kaki DM
Langkah - langkah senam diabetes

Dengan tumit yang diletakkan di lantai, gerakan jari-jari kaki ke atas dan kebawah, ulangi
sebanyak 2 set x 10 repetisi.
Angkat telapak kaki kiri ke atas dengan bertumpu dengan tumit, lakukan gerakan
memutar keluar dengan pergerakan pada telapak kaki sebanyak 2 set x 10 repetisi,
lakukan gerakan bergantian pada kaki yang satunya
Angkat kaki sejajar, gerakan kaki ke depan dan kebelakang sebanyak 2 set x 10
repitisi.

Angkat kaki sejajar gerakan telapak kaki kedepan dan kebelakang sebanyak 2 set x 10
repitisi

Selanjutnya luruskan salah satu kaki dan angkat. Lalu putar kaki pada pergelangan
kaki, lakukan gerakan seperti menulis diudara dari angka nol hingga sepuluh secara
bergantian
Letakkan selembar koran dilantai. Kemudian bentuk kertas koran tersebut menjadi seperti
bola dengan kedua belah kaki.

Lalu buka kembali bola tersebut menjadi lembaran seperti semula menggunakan
kedua belah kaki. Gerakan ini dilakukan hanya sekali saja.
Kemudian robek koran menjadi 2 bagian, lalu pisahkan kedua bagian koran tersebut.

Sebagian koran di sobek - sobek menjadi kecil - kecil dengan kedua kaki.

Kemudian pindahkan kumpulan sobekan - sobekan tersebut dengan kedua kaki lalu
letakkan sobekkan kertas pada bagian kertas yang utuh tadi. Lalu bungkus semua
sobekan - sobekan tadi dengan kedua kaki kanan dan kiri menjadi bentuk bola.
c. Pemantauan (monitoring) kadar gula darah.
Pemantauan kadar glukosa darah secara mandiri atau self-monitoring blodd
glucose (SBMG) memungkinkan untuk deteksi dan mencegah hiperglikemia
atau hipoglikemia, pada akhirnya akan mengurangi komplikasi diabetik
jangka panjang. Pemeriksaan ini sangat dianjurkan bagi pasien dengan
penyakit DM yang tidak stabil, kecendrungan untuk mengalami ketosis berat,
hiperglikemia dan hipoglikemia tanpa gejala ringan. Kaitannya dengan
pemberian insulin, dosis insulin yang diperlukan pasien ditentukan oleh kadar
glukosa darah yang akurat. Pemantaun glukosa darah secara mandiri telah
menjadi dasar dalam memberikan terapi insulin (Smeltzer dalam damayanti,
2015)

d. Terapi farmakologi.
1) Obat antidiabetik oral atau Oral Hypoglikemik Agent (OH) efektif pada
DM tipe II, jika managemen nutrisi dan latihan gagal.
Jenis obat-obatan antidiabetik oral diantaranya :
a) Sulfonilurea :Bekerja dengan merangsang sel beta sel pankreas
untuk melepaskan cadangan insulinnya. Obat-obatan yang
termasuk kedalam obat jenis ini adalah Glibenklamid, Tolbutamid,
Klorpropamid.
b) Biguanida :Bekerja dengan menghambat penyerapan glukosa di
usus, misalnya mitformin, glukophage.
2) Pemberian hormon insulin.
Pasien dengan DM tiper I tidak mampu memproduksi insulin dalam
tubuhnya, sehingga sangat tergantung pada pemberian insulin. Berbeda
dengan DM tipe II yang tidak tergantung pada insulin, tetapi
memerlukannya sebagai pendukung untuk menurunkan glukosa darah
dalam mempertahankan kehidupan.
Tujuan pemberian insulin adalah meningkatkan transport glukosa kedalam
sel dan menghambat konversi glikogen dan asam amino menjadi glukosa
(Tarwoto,2012)

e. Pendidikan kesehatan
Diabetes melitus adalah penyakit kronis yang memerlukan perilaku
managemen-diri khusus seumur hidup. Perawat memainkan peran penting
dalam mengidentifikasi pasien yang menderita diabetes, mengkaji
keterampilan perawatan diri, memberikan pendidikan kesehatan dasar,
mendukung penyuluhan yang diberikan oleh spesialis, dan merujuk pasien
untuk menjalani perawatan tindak lanjut setelah pulang (Smeltzer. 2016)

Pasien tidak hanya belajar keterampilan untuk merawat diri sendiri guna
menghindari fluktuasi kadar glukosa darah yang mendadak, tetapi juga harus
memiliki perilaku preventif dalam gaya hidup untuk menghindari komplikasi
diabetik jangka panjang. Pasien harus mengerti mengenai nutrisi, manfaat dan
efek samping terapi, latihan, perkembangan penyakit, strategi pencegahan,
teknik pengontrolan gula darah dan penyesuaian terhadap terapi (Smeltzer
dalam Damayanti, 2015)
DAFTAR PUSTAKA

Damayanti. (2015). Diabetes Melitus & Penatalaksanaan Keperawatan. Yogyakarta:


Nuha Medika.

Tarwoto. (2012). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Trans Info Media.

WHO. (2016). Diabetes Fakta dan Angka. Retrieved from www.depkes.go.id

WHO. (2018). World Health Statistics.

Dinas Kesehatan Kota Padang. (2017). Profil Kesehatan Kota Padang.

Riskesdas. (2018). Hasil Utama Riskesdas 2018. Retrieved from


lapdata.litbang.depkes.go.id

Manurung, R., Magdalena, C., & Nixson, M. (2017). asuhan keperawatan sistem
endokrin. yogyakarta: Dee publish.

Santosa, B. (2012). Gangguan endokrin sebabkan banyak penyakit. kompas.


Retrieved from
https://lifestyle.kompas.com/gangguan.endokrin.sebabkan.banyak.penyakit/

Anda mungkin juga menyukai