Anda di halaman 1dari 73

Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara

Kasus Kalimantan Barat

Laporan Penelitian ITB tahun 2005


20 Desember 2005

Indra Budiman Syamwil


Pradono
Andi Oetomo

Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman


Departemen Arsitektur Institut Teknologi Bandung
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

Prakata

Penelitian ini merupakan tahapan awal untuk menghimpun berbagai


pandangan dan penerapan pengelolaan wilayah perbatasan di Indonesia dan di
manca-negara sebagai landasan awal bagi penelitian-penelitian lanjutan
wilayah perbatasan dan wilayah tertinggal di Institut Teknologi Bandung.
Penelitian ini dilaksanakan untuk Pusat Pengembangan Wilayah dan
Infrastruktur oleh Peneliti yaitu, Dr. Ir. Indra Budiman Syamwil, MSc., dari
Kelompok Keahlian (KK) Perumahan Permukiman, dibantu oleh Dr. Eng.
Pradono, M. Econ., dari KK Rekayasa Sistem Wilayah dan Kota dan Ir. Andi
Oetomo, MSc. sebagai narasumber dari KK Pengelolaan Pembangunan dan
Pengembangan Kebijakan, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan
Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung.
Tim peneliti mengucapkan terimakasih atas bantuan Asisten Peneliti Anita
Vitriana, ST., MT, Syahyudesrina, ST., MT dan Fenita Indrasari, ST dalam
menghimpun bahan-bahan yang dibutuhkan serta tertib administrasi penelitian
ini.

Bandung, 20 Desember, 2005

Ketua Tim Peneliti,

Dr. Ir. Indra Budiman Syamwil, MSc.

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 1 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

Ringkasan Penelitian

1. JUDUL RISET : PENGEMBANGAN WILAYAH PERBATASAN NEGARA

2. TIM RISET

2.1 Ketua Tim Riset: Ir. Indra Budiman Syawmwil, MSc., PhD.
2.2 Narasumber:
• Dr. Eng. Pradono, M. Econ.
• Ir. Andi Oetomo, MSc.
2.3 Asisten:
• Anita Vitriana, ST, MT
• Syahyudesrina, ST, MT
• Fenita Indrasari, ST

3. TEMPAT : Kelompok Keahlian Perumahan Dan Permukiman

4. RINGKASAN HASIL PENELITIAN

Sebagian besar kawasan perbatasan di Indonesia merupakan wilayah tertinggal,


sungguhpun peran wilayah perbatasan dalam konsep kedaulatan negara sangat
penting artinya.
Penelitian ini melakukan kajian perkembangan teoretis dan empiris kebijakan
pengembangan kawasan perbatasan berdasarkan studi konteks pembangunan wilayah
di Indonesia dan pengalaman serta model yang dikembangkan di negara lain dalam
penanganan wilayah perbatasan.
Dalam penelitian ini diungkapkan adanya kesenjangan antara kebijakan pembangunan
makro dan kebijakan keamanan, yang selama ini mendominasi paradigma
pengambilan keputusan, dan kebijakan pengembangan wilayah yang bertujuan untuk
mengintegrasikan wilayah tertinggal dalam struktur perekonomian nasional yang
membuat jurang yang sangat besar antara pertumbuhan wilayah inti pertumbuhan
(core) dan wilayah pinggiran (periphery) dan perbatasan. Pendekatan keamanan dan
pertumbuhan cepat melalui investasi dari luar wilayah kembali mendominasi
pendekatan pembangunan di daerah otonom dalam era desentralisasi.
Penelitian juga menyarankan disamping pendekatan dari dalam wilayah perbatasan
dengan pendekatan ‘core-periphery’, pendekatan ‘cross-border’ dengan kegiatan
perekomian yang bersifat ‘komplementer’ terhadap kegiatan perekonomian negara
tetangga merupakan kebijakan yang dapat dijangkau oleh pemerintah daerah di
wilayah perbatasan untuk memulai pembangunan berbasis kesejahteraan dan
pengembangan perekonomian lokal di wilayah perbatasan tertinggal. Sedangkan
pendekatan pembangunan sumberdaya alam yang saat ini cenderung diterapkan di
daerah perbatasan akan memberikan implikasi yang tidak kondusif terhadap
pertumbuhan perekonomian lokal dan akan meningkatkan kerawanan perbatasan.

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 2 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

Penelitian ini menambahkan beberapa model lainnya sebagai alternatif dan varian
model yang ditemukan dalam kajian studi dan memperkaya berbagai pendekatan dari
berbagai sudut pandang. Alternatif dan varian model ini dapat dijadikan acuan
scenario yang disesuaikan dengan situasi politik, keamanan, perekonomian, ekologi
dan tingkat pertumbuhan antar negara.

5. CAPAIAN

5.1 Tujuan Penelitian

1. Melakukan kajian dari berbagai pendekatan yang saling bersaing dalam pembangunan
wilayah perbatasan serta menghimpun berbagai fenomena kasus-kasus pengembangan
perbatasan yang ada.
• Latar belakang makro berkaitan dengan kebijakan pengembangan wilayah dan
hubungannya dengan fenomena wilayah perbatasan
• Model dan skenario teoritis pengembangan kerjasama antar negara dan skenario yang
berkaitan langsung dengan wilayah perbatasan antar negara
2. Melakukan kajian berbagai fenomena kasus perbatasan di manca negara dengan berbagai
fenomena latar-belakang kondisi perekonomian serta hubungan politis-ideologis serta
kultural-antropologis diantara negara yang bertetangga, meliputi:
• Latar belakang terbentuknya kerjasama,
• Potensi perekonomian antar negara yang dapat dimanfaatkan dalam membentuk
kerjasama yang saling menguntungkan,
• Kelembagaan dan kepranataan dan tingkat desentralisasi kelembagaan yang
bertanggung jawab dalam pembangunan kerjasama lintas batas negara,
• Bentuk kerjasama lainnya selain perekonomian
3. Melakukan kajian terhadap rencana pengembangan kawasan perbatasan di Indonesia dan
khususnya kondisi di Kalimantan Barat dan melakukan penilaian tentang kebutuhan yang
relevan dikaitkan dengan model-model skenario teoritis dan fenomenologis pengembangan
wilayah yang telah dipelajari, meliputi:
• Mengetahui kondisi perbatasan dibandingkan dengan kondisi wilayah inti
• Mengetahui upaya yang dilakukan diberbagai wilayah perbatasan di Indonesia
• Mengetahui rencana-rencana pemerintah daerah berkaitan dengan pengembangan
wilayah perbatasan

5.2 Tujuan Yang Telah Dicapai

Secara prinsip penelitian telah dapat mengumpulkan dan merangkum berbagai model
pengembangan perbatasan dan menilai tipologi model yang digunakan oleh
pemerintah lokal di Kalimantan Barat dalam mengembangkan wilayah perbatasan di
daerahnya. Dalam hal ini ketiga tujuan diatas telah dicapai.

Sungguhpun demikian keterbatasan literatur belum dapat memastikan bahwa bahan


yang dikumpulkan dan dikaji untuk mengembangkan model-model tipologis sudah

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 3 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

lengkap (‘state of the art’) dari model pengembangan wilayah spesifik untuk
perbatasan.

5.3 Tujuan Yang Belum Dicapai

Melakukan kajian yang lebih mendalam tentang model perbatasan khususnya tinjauan
kritis terhadap program pengembangan wilayah perbatasan di Kalimantan Barat.

6. PRODUK PENELITIAN YANG DIJANJIKAN DI PROPOSAL

Riset ini merupakan ‘riset awalan’ untuk menghimpun berbagai teori untuk
mengevaluasi pendekatan dan kebijakan pengembangan wilayah yang pernah
dikembangkan di Indonesia serta dampaknya kepada wilayah perbatasan tertinggal.
Demikian pula riset ini menghimpun beberapa pandangan teoritis dan kebijakan yang
dilaksanakan di beberapa negara lain dalam mengelola wilayah perbatasannya yang
dapat memberikan manfaat pertumbuhan maupun sinergi kerjasama yang saling
menguntungkan dan dapat menjamin terciptanya pembangunan berkelanjutan sebagai
landasan model bagi pilihan pendekatan bagi kasus Kalimantan Barat

7. PRODUK PENELITIAN YANG DIHASILKAN

Direncanakan penelitian akan dipublikasikan di Jurnal Nasional terakreditasi.


Demikian pula penelitian berkaitan dengan perkembangan kebijakan dalam
memposisikan beberapa kebijakan Indonesia dalam era desentralisasi mempunyai
potensi sebagai kegiatan lanjutan penelitian untuk dipublikasikan di Jurnal
Internasional.

8. KEGIATAN DISEMINASI HASIL RISET

Diseminasi hasil riset akan dilakukan di dalam KK untuk merumuskan tindak lanjut
riset dan sumbangan pemikiran riset bagi pengembangan kebijakan pembangunan
wilayah perbatasan pada umumnya dan permukiman di wilayah tertinggal khususnya.
Demikian pula karena tujuan studi ini adalah sebagai tahap awal dari peran ITB di
wilayah perbatasan maka diseminasi juga akan dilakukan dengan kelompok
pengembangan perbatasan di ITB.

9. SINERGI DENGAN KEGIATAN DAN PROYEK PENELITIAN LAIN

Sementara ini kegiatan riset belum mempunyai sinergi dengan kegiatan lain.
Sungguhpun demikian penelitian ini akan dijadikan rujukan awal untuk
membicarakan keterlibatan ITB dalam proyek-proyek pengembangan perbatasan di
Indonesia. Penjajagan kerjasama ITB ini pernah dilakukan dengan Direktur
Pengembangan Wilayah Tertinggal Bappenas dan berpotensi untuk dilanjutkan ke
tingkat Kementrian Negara Pengembangan Wilayah Tertinggal yang baru terbentuk
dalam administrasi pemerintahan yang baru.

10. KEMANFAATAN PROYEK PENELITIAN

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 4 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

Secara spesifik penelitian ini belum menghasilkan penelitian-penelitian program


doktor, magister maupun sarjana. Justru sebaliknya beberapa penelitian sarjana serta
penelitian LPPM ITB pernah mengemukakan isu wilayah perbatasan. Diharapkan isu
pengembangan wilayah perbatasan dapat dibangkitkan kembali dengan penelitian ini,
terutama memperkuat peran ITB dalam mengembangkan berbagai riset dibidang
teknologi dan program yang memberikan manfaat bagi pengembangan wilayah
tertinggal umumnya dan wilayah perbatasan khususnya.
Sungguhpun demikian penelitian ini melibatkan peneliti-peneliti dari KK lain selain
KK Perumahan dan Permukiman di lingkungan Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan
Pengembangan Kebijakan.

11. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI DAN SARAN PERBAIKAN

Permasalahan yang dialami riset ini adalah waktu yang singkat untuk suatu riset yang
menyangkut kebijakan nasional serta wilayah studi yang umumnya jauh dari lokasi
studi yang tidak memungkinkan untuk mengandalkan dana riset bagi studi kasus.
Sehingga studi kasus dihasilkan dari dokumen-dokumen yang didapatkan dari
berbagai sumber.
Perbaikan yang disarankan bagi studi jenis ini adalah adanya serangkaian penelitian
yang digabung dari berbagai sumber penelitian dengan melakukan langkah-langkah
penelitian awal, seperti yang dilakukan dalam penelitian ini, untuk kemudian
dilanjutkan dengan studi kasus untuk memperkaya berbagai fakta dilapangan sebagai
bahan melakukan kajian kebijaksanaan dan pengembangan hipotesis tentang berbagai
dimensi pembangunan wilayah tertinggal dalam konteks kebijakan yang ada di
Indonesia yang dapat memperkaya khasanah pengetahuan tentang wilayah tertinggal
di Indonesia yang akan memberikan varian terhadap teori pembangunan wilayah
tertinggal dan wilayah perbatasan secara umum.

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 5 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

Daftar Isi

Prakata ................................................................................................................... 1

Ringkasan Penelitian ........................................................................................... 2

Daftar Isi ................................................................................................................. 6

Bab I Pendahuluan .............................................................................................. 8


1.1 Latar Belakang ........................................................................................................8
1.2 Pernyataan Masalah ...............................................................................................8
1.3 Tujuan ...................................................................................................................10
1.4 Definisi ..................................................................................................................11
1.5 Metodologi ............................................................................................................13
Bab II Kebijakan Pembangunan Nasional ........................................................... 15
2.1 Kebijakan Sentralisasi dan Pertumbuhan Cepat (Accelerated Development) ...... 15
2.2 Kebijakan dengan Pendekatan Keamanan ........................................................... 17
2.3 Kebijakan Pembangunan berbasis Sumberdaya Alam ......................................... 19
2.4 Pandangan Sosial – Budaya (Anthropological Approach) .................................... 20
2.5 Kebijakan dengan Pendekatan Kesejahteraan ..................................................... 21
2.6 Kesimpulan ...........................................................................................................22
Bab III Kajian Model Pembangunan Wilayah ....................................................... 24
3.1 Skenario Perencanaan Pembangunan Rostow .................................................... 24
3.2 Model Flying Wild Geese, Siklus Produk dan Perdagangan Internasional ........... 25
3.3 Model Pembangunan Wilayah berbasis Sumberdaya Manusia............................ 26
3.4 Model Pembangunan Wilayah dengan Carbon transfer ....................................... 27
3.5 Model Pengembangan Wilayah Terstruktur .......................................................... 27
3.6 Model Pembangunan Wilayah berbasis kekuatan Ekonomi Lokal ....................... 30
Bab IV Pengalaman Negara Lain ......................................................................... 32
4.1 Pengembangan Wilayah Perbatasan Amerika dan Meksiko ................................ 32
4.2 Pengembangan Wilayah Amerika dan Kanada (model transfer energi) ............... 34
4.3 Pengembangan Wilayah di negara Uni Eropa ...................................................... 34
4.4 Pengembangan Wilayah Perbatasan Cina ........................................................... 36
4.5 Pengelolaan bersama SDA Sungai Mekong ......................................................... 39
4.6 Pengembangan Wilayah Kambodia dan Vietnam ................................................ 39
Bab V Kendala Pembangunan di Wilayah Perbatasan ....................................... 41
5.1 Fenomena wilayah perbatasan di Indonesia ........................................................ 41
5.2 Pembangunan Growth Triangle ............................................................................ 44
5.3 Pengembangan kerjasama etnis (Suku Melayu, Borneo Conference) ................. 48
5.4 Isu Wilayah Perbatasan Tertinggal ....................................................................... 49
Bab VI Kasus Kalimantan Barat ........................................................................... 52
6.1 Kondisi pembangunan di perbatasan Kalimantan Barat ....................................... 52
6.2 Berbagai Rencana pemerintah di berbagai daerah di Kalimantan........................ 55
6.3 Rencana Kabupaten Sangau ................................................................................ 55
6.5 Isu sumber daya alam di wilayah perbatasan ....................................................... 60
Bab VII Kesimpulan dan Tindak Lanjut Hasil Penelitian ........................................ 61

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 6 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

7.1 Pilihan model pembangunan wilayah perbatasan tertinggal ................................. 61


7.2 Kebijakan pengembangan berbasis SDA dan kendala penerapannya ................. 65
7.3 Rencana berbagai daerah dan Kalimantan Barat ................................................. 65
7.4 Model Lembaga Koordinasi pembangunan wilayah Perbatasan .......................... 66
7.5 Tindak Lanjut Penelitian ........................................................................................68
Literatur ................................................................................................................ 70

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 7 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

Bab I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan neagara kepulauan yang berbatasan langsung dengan beberapa negara, antara
lain: Singapura, Malaysia, Filipina, Australia, dan Papua New Guinnea. Wilayah perbatasan
membutuhkan perhatian untuk dibangun perekonomiannya ditinjau dari segi keamanan dan
pertahanan negara, serta sebagian besar wilayah perbatasan ini berada dalam kondisi yang tertinggal
mengingat jarak nya dari infrastruktur regional dan pusat-pusat pertumbuhan di daerah.
Pertumbuhan perekonomian yang terpusat masih kuat dalam karakter regional di negara berkembang
seperti Indonesia yang masih didominasi oleh pertumbuhan berbasis sumberdaya strategis minyak
dan gas bumi. Kondisi ini telah mengakibatkan terciptanya kesenjangan yang besar antara wilayah
pusat atau ’core region’ dan wilayah tertinggal (’peripheral region’). Infrastruktur yang
diorientasikan kepada pengembangan sumberdaya strategis tidak selalu memberikan manfaat kepada
perekonomian lokal dan tingkat perekonomian belum memungkinkan terjadinya lecutan
pertumbuhan perekonomian diwilayah periferal yang pada umumnya masih tertinggal tidak hanya
dari segi ekonomi melainkan juga dari segi jumlah serta kualitas sumberdaya manusianya.
Perbatasan merupakan wilayah kedaulatan negara yang perlu dijaga keutuhan dan keamanannya. Isu
perbatasan saat ini marak disebabkan belum terselesaikannya kepastian hukum internasional yang
bisa diterima diantara negara-negara yang berbatasan dengan Indonesia. Demikan pula tidak bisa
dihitung kerugian negara yang diakibatkan lemahnya tingkat pembangunan perekonomian,
infrastruktur dan sosial ekonomi masyarakat serta keamanan di perbatasan. Dilain pihak pengalaman
perbatasan di negara lain menunjukkan model pengembangan yang berbeda sesuai dengan konteks
nya dan kerjasama antar negara dapat memberikan suatu hubungan saling manfaat yang berjalan
secara sinambung.
Penelitian ini merupakan penelitian awal untuk menghimpun berbagai model dan strategi
pembangunan kawasan perbatasan dengan maksud menemukenali isu dan permasalahan serta pilihan
strategi pengembangan wilayah perbatasan. Dalam penelitian awal ini, dipilih kasus wilayah
Kalimantan Barat berbatasan langsung dengan Malaysia merupakan contoh kasus wilayah perbatasan
tertinggal yang mulai melakukan langkah-langkah pembangunan wilayah perbatasan tertinggal di
daerahnya.
Penelitian dilakukan dengan meneliti berbagai kasus pengembangan wilayah perbatasan dan berbagai
permasalahannya melalui data-data sekunder serta memperbandingkan tingkat pertumbuhan antar
wilayah di Kalimantan Barat dengan perekonomian yang berbasis SDA untuk mengetahui dampak
pembangunan infrastruktur dalam rangka pemanfaatan SDA serta pengembangan ekonomi setempat.

1.2 Pernyataan Masalah

Perbatasan negara merupakan manifestasi utama kedaulatan wilayah suatu negara. Perbatasan suatu
negara mempunyai peranan penting dalam penentuan batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan sumber
daya alam, menjaga keamanan dan keutuhan wilayah. Penentuan perbatasan negara dalam banyak hal

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 8 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

ditentukan oleh proses historis, politik, hukum nasional dan internasional. Dalam konstitusi suatu
negara sering dicantumkan pula penentuan batas wilayah.
Pembangunan wilayah perbatasan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari pembangunan
nasional. Wilayah perbatasan mempunyai nilai strategis dalam mendukung keberhasilan
pembangunan nasional, hal tersebut ditunjukkan oleh karakteristik kegiatan antara lain :
• Mempunyai dampak penting bagi kedaulatan negara.
• Merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat
sekitarnya.
• Mempunyai keterkaitan yang saling mempengaruhi dengan kegiatan yang dilaksanakan di
wilayah lainnya yang berbatasan dengan wilayah maupun antar negara.
• Mempunyai dampak terhadap kondisi pertahanan dan keamanan, baik skala regional
maupun nasional.
Kehidupan sosial ekonomi di daerah perbatasan umumnya dipengaruhi oleh kegiatan di negara
tetangga. Kondisi tersebut berpotensi untuk mengundang kerawanan di bidang politik, karena
meskipun orientasi masyarakat masih terbatas pada bidang ekonomi dan sosial, terutama apabila
kehidupan ekonomi masyarakat daerah perbatasan mempunyai ketergantungan kepada perekonomian
negara tetangga, maka hal inipun selain dapat menimbulkan kerawanan di bidang politik.
Daerah perbatasan merupakan daerah tertinggal (terbelakang) disebabkan antara lain :
• Lokasinya yang relatif terisolir (terpencil) dengan tingkat aksesibilitas yang rendah.
• Rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat.
• Rendahnya tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat daerah perbatasan (jumlah
penduduk miskin dan desa tertinggal).
• Langkanya informasi tentang pemerintah dan pembangunan masyarakat di daerah
perbatasan (blank spot).
Kesenjangan sosial ekonomi masyarakat daerah perbatasan dengan masyarakat negara tetangga
mempengaruhi watak dan pola hidup masyarakat setempat dan berdampak negatif bagi pengamanan
daerah perbatasan dan rasa nasionalisme. Maka tidak jarang daerah perbatasan sebagai pintu masuk
atau tempat transit pelaku kejahatan.
Wilayah perbatasan merupakan wilayah yang relatif belum tersentuh oleh pembangunan baik
pembangunan dengan pendekatan budaya yang mengintegrasikan penduduk yang jauh dari informasi
tentang Indonesia sebagai negara (citizenship) maupun pembangunan infrastruktur dan sarana
perekonomian masyarakatnya. Untuk memulai pembangunan dalam tahap yang paling dini
membutuhkan dana dan usaha yang tidak sedikit yang menjadi beban pemerintah di tingkat pusat
maupun daerah.
Oleh karena itu, penelitian yang dapat memberi masukan bagi pengembangan ekonomi daerah
perbatasan merupakan hal yang penting. Penelitian ini merupakan penelitian awal untuk menghimpun
berbagai konsep dan strategi pembangunan kawasan perbatasan dengan maksud menemukenali isu
dan permasalahan serta pilihan strategi pengembangan wilayah di wilayah perbatasan di Kalimantan
yang cukup kaya sumberdaya alam dan sangat jauh dari sentuhan pembangunan selama ini.
Beberapa pandangan dan pendekatan akan dipelajari berkaitan dengan wilayah perbatasan antara
lain:

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 9 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

1. Pendekatan kultural yang melihat bahwa wilayah perbatasan adalah wilayah yang ditetapkan
berdasarkan perjanjian internasional yang sama sekali tidak berkaitan dengan perilaku budaya
dan hubungan kultural yang lintas batas negara. Dalam kaitan dengan pandangan ini hubungan
kultural ini bisa menjadi potensi bagi pengmbangan wilayah dalam situasi damai.
2. Pandangan keamanan negara (security) perbatasan secara konvensional dipandang sebagai garis
pertahanan yang perlu dijaga dari infiltrasi asing yang membahayakan kedaulatan negara.
Hubungan kultural bisa saja dalam pandangan ini suatu titik lemah kedaulatan yang dapat
mengganggu kedaulatan. Demikian pula dalam kaitannya dengan wilayah SDA yang seringkali
bersifat lintas batas negara, kelemahan dalam pengelolaan batas negara memberikan peluang
terjadinya pencurian sumberdaya yang akan merugikan negara. Dalam pandangan keamanan ada
dua doktrin yang perlu ditelusuri penerapannya berkaitan dengan pengembangan wilayah
perbatasan. Doktrin yang pertama menganggap wilayah perbatasan sebagai benteng pertahanan
alami, sehingga medannya perlu dibiarkan aga sukar dimasuki oleh kekuatan konvensional
musuh. Doktrin kedua menganggap konsep perang konvensional tidak memberikan manfaat bagi
komunikasi dan logistik keperbatasan sehingga perbatasan perlu dikembangkan ekonomi dan
infrastrukturnya.
3. Pandangan ekonomi dan perdagangan melihat wilayah perbatasan sebagai potensi bagi
terciptanya pengembangan wilayah yang berbasis hubungan dagang antar negara yang saling
menguntungkan. Dalam pandangan ini perbedaan berbagai faktor ekonomi makro dan mikro
antar negara mampu memberikan skenario yang dapat memicu pertumbuhan diperbatasan
sebagai platform bagi pertukaran faktor-faktor produksi yang menguntungkan. Peluang dari
pandangan terakhir ini cukup besar untuk dikembangkan secara strategis terutama dengan adanya
perubahan cara pandang pembangunan di Indonesia dari sentralisasi kepada desentralisasi.
Penelitian dilakukan dengan meneliti berbagai kasus pengembangan wilayah perbatasan dan berbagai
permasalahannya melalui data-data sekunder serta memperbandingkan tingkat pertumbuhan antar
wilayah di Kalimantan dengan perekonomian yang berbasis SDA untuk mengetahui dampak
pembangunan infrastruktur dalam rangka pemanfaatan SDA serta pengembangan ekonomi setempat.

1.3 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Melakukan kajian dari berbagai pendekatan yang saling bersaing dalam pembangunan
wilayah perbatasan serta menghimpun berbagai fenomena kasus-kasus pengembangan
perbatasan yang ada.
• Latar belakang makro berkaitan dengan kebijakan pengembangan wilayah dan
hubungannya dengan fenomena wilayah perbatasan
• Model dan skenario teoritis pengembangan kerjasama antar negara dan skenario yang
berkaitan langsung dengan wilayah perbatasan antar negara

2. Melakukan kajian berbagai fenomena kasus perbatasan di manca negara dengan berbagai
fenomena latar-belakang kondisi perekonomian serta hubungan politis-ideologis serta
kultural-antropologis diantara negara yang bertetangga, meliputi:
• Latar belakang terbentuknya kerjasama,

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 10 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

• Potensi perekonomian antar negara yang dapat dimanfaatkan dalam membentuk


kerjasama yang saling menguntungkan,
• Kelembagaan dan kepranataan dan tingkat desentralisasi kelembagaan yang
bertanggung jawab dalam pembangunan kerjasama lintas batas negara,
• Bentuk kerjasama lainnya selain perekonomian

3. Melakukan kajian terhadap rencana pengembangan kawasan perbatasan di Indonesia dan


khususnya kondisi di Kalimantan Barat dan melakukan penilaian tentang kebutuhan yang
relevan dikaitkan dengan model-model skenario teoritis dan fenomenologis pengembangan
wilayah yang telah dipelajari, meliputi:
• Mengetahui kondisi perbatasan dibandingkan dengan kondisi wilayah inti
• Mengetahui upaya yang dilakukan diberbagai wilayah perbatasan di Indonesia
• Mengetahui rencana-rencana pemerintah daerah berkaitan dengan pengembangan
wilayah perbatasan

1.4 Definisi

Dalam bahasa Inggris, kata perbatasan atau border mempunyai arti sebagai pembatasan suatu
wilayah politik dan wilayah pergerakan. Sedangkan wilayah perbatasan (border regions) lebih
dikenal sebagai suatu arca terpencil yang memegang peranan penting dalam kompetisi politik antara
dua negara yang berbeda. Arti wilayah perbatasan yang sebenarnya tidak hanya terbatas pada dua
atau lebih negara yang berbeda, namun wilayah perbatasan ini dapat juga ditemui di dalam suatu
negara, contohnya : suatu kota atau desa yang berada di bawah dua yuridiksi yang berbeda, wilayah
perbatasan antara desa dan kota atau wilayah perbatasan ini dapat juga berupa koridor jalan yang
memisahkan antara distrik yang berbeda (Guo, 1996: 9-10). Pada intinya wilayah perbatasan adalah
suatu area (dapat berupa kota, jalan atau wilayah) yang membatasi antara dua kepentingan, yuridiksi
atau distrik yang berbeda.
Berdasarkan definisi mengenai kawasan perbatasan tersebut maka terdapat tiga fungsi utama wilayah
perbatasan, yaitu (Guo, 1996: 13):
1. Fungsi Legal
Kawasan perbatasan memiliki garis perbatasan yang berfungsi untuk membatasi wilayah tersebut
dengan suatu standar yuridiksi dan peraturan negara yang berlaku.
2. Fungsi Kontrol
Kawasan perbatasan membatasi setiap pergerakan yang masuk maupun yang keluar. Hal ini
berfungsi agar dapat mengontrol pergerakan orang atau barang kedalam maupun keluar suatu negara.
3. Fungsi Fiskal
Fungsi ketiga ini merupakan pelengkap dari fungsi kontrol yang memberikan hak kepada suatu
negara untuk menerapkan harga fiskal untuk dapat masuk ke negara tersebut.
Kawasan perbatasan sangat identik dengan adanya kebijakan politik yang berbeda pada dua atau tiga
wilayah yang saling berbatasan tesebut, karena itu batas-batas antara wilayah-wilayah yang berbeda
tersebut menjadi hal yang sangat penting di kawasan perbatasan. Pada dasarnya batas-batas kawasan

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 11 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

perbatasan dapat dibagi kedalam dua kelompok, yaitu: pertama, batas yang bersifat fisik, dimana
batas tersebut dapat berupa batas buatan maupun batas alamiah. Kedua, garis perbatasan yang
bersifat geometrik, dimana batas tersebut membagi kawasan perbatasan kedalam batas-batas linear
maupun non linear. Paparan mengenai pembagian batas-batas perbatasan tersebut akan dijelaskan
lebih lanjut pada bagian berikut ini.
1. Batas Alami dan Buatan
Batas yang bersifat alami biasanya menggunakan unsur-unsur alam yang sudah tersedia
seperti gunung, sungai, danau, laut dan sebagainya. Batas-batas alam tersebut sangat berguna
untuk kepentingan militer, contohnya: batas yang berupa pegunungan dapat berfungsi
sebagai benteng yang dapat menahan serangan dari wilayah lain, karenanya pegunungan
tersebut menjadi unsur yang menguntungkan bagi pertahanan dan keamanan suatu negara.
Namun kerugian batas pegunungan ini adalah sulitnya melakukan patroli keamanan
dikarenakan sifat pegunungan yang berbukit-bukit, sehingga tidak dapat dengan mudah
mencapai wilayah-wilayah lainnya. Sedangkan batas buatan terdiri dari batas yang terbuat
dari batu dan dibuat memanjang membatasi wilayah perbatasan dengan negara tetangganya
(contohnya tembok besar Cina), batas yang ditentukan melalui garis lintang dan garis bujur,
serta batas-batas kebudayaan, misalnya antara suku adat yang satu dan suku adat lain yang
berbeda kebudayaan.
2. Batas Geometri
Batas ini merupakan batas buatan karena batas ini ditentukan sendiri oleh pihak-pihak yang
berwenang pada suatu wilayah. Batas ini dapat berupa suatu garis linier maupun non linier,
misalnya terdapat suatu daerah pada rumput yang luas dan terbuka dimana tidak ada unsur
alam yang dapat dijadikan patok untuk menentukan garis perbatasan, maka batas tersebut
ditentukan sendiri dengan cara menarik suatu garis baik garis linier maupun garis yang non
linier.
Saat ini batas-batas yang digunakan di kawasan perbatasan Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur
dengan Malaysia (Sabah dan Serawak) hanyalah berupa patok-patok yang bertuliskan Indonesia pada
wilayah Indonesia dan patok yang bertuliskan Malaysia pada wilayah Malaysia. Patok-patok
perbatasan tersebut sering menjadi masalah karena ternyata dapat dicabut serta dipindahkan oleh
masyarakat setempat dengan mudah, sehingga garis perbatasan yang telah ditentukan telah bergeser
dari yang seharusnya.
Apabila dilihat secara umum, kawasan perbatasan dalam tataran pembangunan Indonesia
dikategorikan sebagai kawasan khusus yaitu kawasan yang mempunyai peranan dan ditetapkan di
tingkat nasional, serta mempunyai nilai strategis, yang dapat tercakup di dalam kawasan pedesaan
dan atau perkotaan, juga dapat merupakan kawasan budidaya dan atau kawasan lindung menurut
dominasi kegiatan tertenutu (Yoga, 1996). Nilai strategis kawasan khusus tersebut adalah nilai yang
ditentukan antara lain oleh karena kegiatan yang berlangsung di dalam kawasan tersebut, yaitu:
• Mempunyai potensi sumberdaya yang besar pengaruhnya terhadap aspek ekonomi, demografi,
politis, dan hankam serta pengembangan ruang wilayah disekitarnya;
• Mempunyai dampak penting baik terhadap kegiatan yang sejenis maupun kegiatan lainnya.
• Merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraansosial ekonomi masyarakat baik di
wilayah yang bersangkutan maupun di wilayah sekitarnya;
• Mempunyai keterkaitan yang saling mempengaruhi dengan kegiatan yang dilaksanakan di
wilayah lainnya yang berbatasan baik dalam lingkup nasional maupun regional.

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 12 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

• Mempunyai dampak terhadap kondisi politis dan pertahanan keamanan nasional dan regional.
Dari definisi kawasan perbatasan sebagai kawasan khusus tersebut, maka pada dasarnya terdapat tiga
aspek pokok yang mendasari karakteristik daerah perbatasan di Indonesia, yaitu (Yoga, 1996) :
1. Aspek Sosial Ekonomi
Aspek sosial ekonomi daerah perbatasan ditunjukkan oleh karakteristik daerah yang kurang
berkembang terbelakang yang disebabkan antara lain oleh :
• Lokasinya yang relatif terisolir/terpencil dengan tingkat aksesibilitas yang rendah
• Rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat
• Rendahnya tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat daerah perbatasan (jumlah
penduduk miskin dan desa tertinggal)
• Langkanya informasi tentang masyarakat daerah perbatasan (blank spot)
2. Aspek Pertahanan dan Keamanan
Aspek hankam daerah perbatasan ditunjukkan oleh karakteristik luasnya wilayah pembinaan dan
pola penyebaran penduduk yang tidak merata, sehingga menyebabkan rentang kendali
pemerintahan sulit dilaksanakan, serta pengawasan dan pembinaan teritorial sulit dilaksanakan
dengan mantap dan efisien.
3. Aspek Politis
Aspek politis daerah perbatasan ditunjukkan oleh karakteristik kehidupan sosial ekonomi
masyarakat daerah perbatasan yang relatif lebih berorientasi kepada kegiatan sosial ekonomi di
negara tetangga, terutama untuk kawasan perbatasan yang berbatasan langsung dengan negara
yang sudah maju seperti Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Batam. Namun kondisi
tersebut tidak berlaku untuk kawasan perbatasan yang memiliki kesamaan tingkat ekonomi,
seperti kawasan Timor Timur dengan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Apabila kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di kawasan perbatasan yang berbatasan
langsung dengan negara maju tidak diperbaiki, maka kondisi tersebut lama kelamaan potensial
mengundang kerawanan di bidang politik, karena meskipun orientasi masyarakat masih terbatas pada
bidang ekonomi dan sosial, namun terdapat kecenderungan untuk bergeser ke soal politik. Di
samping itu, kehidupan ekonomi masyarakat daerah perbatasan yang relatif sangat tergantung pada
perekonomiannegara tetangga, dapat menurunkan harkat dan martabat bangsa.

1.5 Metodologi

Dalam rangka pengumpulan data akan dilakukan dengan studi penelusuran literatur atau dokumen
khusus bagi data sekunder. Untuk pengumpulan data primer akan dilakukan teknik rapid appraisal.
Teknik rapid appraisal yang akan dilakukan meliputi:
1. Wawancara kepada key informants
Melakukan wawancara dengan individu-individu kunci untuk mendapat pengetahuan mereka dan
mendapatkan pandangan berbeda. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data kualitatif.
Dilakukan dengan Panduan Wawancara Semiterstruktur.
2. Rekaman pengalaman lapangan peneliti dan narasumber

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 13 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

Melengkapi berbagai kajian model dengan pengalaman peneliti dan narasumber di wilayah
perbatasan untuk memperkuat argumentasi kajian.
3. Focus Group Discussion/ Kelompok Fokus Diskusi
Diskusi dilakukan dengan para ahli yang memiliki kepakaran pengalaman dan pemahaman yang
berkaitan dengan pengembangan kelembagaan dan kepranataan ekonomi di wilayah perbatasan
khususnya perbatasan Kalimantan Barat.
Setelah data terkumpul, maka analisis akan dilakukan secara tematis berdasar topik kajian. Analisis
per kajian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Kajian tentang teoritis tentang kaitan kebijakan perekonomian negara dengan fenomena
wilayah tertinggal dan perbatasan yang dapat menjelaskan konteks wilayah perbatasan dan
model pengembangannya di berbagai negara.
2. Kajian tentang pengalaman berbagai negara memberikan pengayaan praktis dan kontekstual
bagi model teoritis dan melengkapi alternatif dan varian model pengelolaan berbagai konteks
politis-ideologis, sosio-kultural dan ekonomi wilayah perbatasan.
3. Pembahasan kasus menekankan kepada penjelasan tipologis rencana pengembangan wilayah
perbatasan yang diterapkan dan kemungkinan pengayaan dari berbagai model dan varian
model yang dikaji.

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 14 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

Bab II Kebijakan
Pembangunan Nasional

2.1 Kebijakan Sentralisasi dan Pertumbuhan Cepat (Accelerated Development)

Kebijakan pembangunan dengan pertumbuhan cepat (accelerated development) 1 dimulai sejak era
Orde Baru. Anggapan utama yang melatarbelakangi kebijakan pertumbuhan cepat adalah bahwa
negara berkembang seperti Indonesia harus melakukan program pembangunan untuk mengejar
ketinggalan pembangunan terhadap negara maju dalam suatu strategi yang terpadu secara bertahap.
Pandangan ini banyak dipengaruhi oleh pandangan Rostow, 2 yang membangun hipotesisnya
berdasarkan model empiris dari negara-negara maju, bahwa ada 5 tahapan pembangunan yang dilalui
untuk mencapai kemajuan pembangunan yang langgeng (stabil). Kelima tahapan ini pulalah yang
digunakan oleh Pemerintah saat itu dengan mencanangkan Repelita I sampai V, dalam suatu
kerangka rencana pembangunan jangka panjang tahap I (25 tahun), 1967-1992.
Kebijakan ini memilih berkonsentrasi untuk mengembangkan struktur industri manufaktur yang
kokoh untuk menggantikan impor (import substitution). 3 Kebijakan ini bersanding dengan kebijakan
proteksi yang memberikan peluang bagi industri nasional berkembang tanpa persaingan ketat.
Industri nasional dihela dan dilindungi untuk mencapai target-target tertentu serta diberikan tempat
yang subur untuk berkembang dengan efisien di pusat-pusat pertumbuhan meropolitan.

the growth pole theory has been related to “top-down planning” where a centralised planning system,
in response to external demand and innovation impulses, heavily invests in “high technology” urban
industrial development (Stöhr and Taylor, 1981).

Sebagian besar ahli ekonomi sesudah PD II memandang industrialisasi adalah kunci sukses
percepatan pembangunan dan bahwa skala ekonomi (increasing return to size of plant) dan ekonomi
agglomerasi (penghematan biaya dari ko-lokasi aktifitas komplementer dan sumberdaya buruh)
dipengaruhi oleh besarnya kota dalam jangka waktu tingkat pertumbuhan tertentu, sungguh pun suatu
saat diharapkan situasi akan berbalik. Pandangan ini menahan upaya kebijakan regional untuk
mengembalikan arah pembangunan keluar dari kota besar berpenghasilan tinggi yang padat. Kawasan
Industri generasi I dibangun di beberapa kota besar, Medan, Jakarta, Surabaya dan Makasar. 4

1
Istilah ‘accelerated development’ untuk menggambarkan kebijakan pembangunan Indonesia di awal pemerintahan
Soeharto diperkenalkan oleh Anne Booth (Booth, 1999)
2
Teori Rostow menyatakan bahwa pengalaman empiris negara maju menunjukkan adanya 5 tahapan proses
pembangunan: tahapan pembangunan berbasis sumber daya sebagai produk ekspor penghasil devisa; industri
pengolahan sumberdaya; pengembangan industri pengganti impor; pengembangan industri barang modal dan saat
dimana negara mencapai GNP 1000 Dollar negara siap untuk take-off dalam arti mengembangkan produk unggulan dan
industri manufaktur berbasis ekspor yang sustainable.
3
Pendekatan industrialisasi di negara berkembang dengan mengembangkan kebijakan industri pengganti import
dicanangkan oleh Raul Prebisch (1966) menyambung hipotesis bahwa jalan pertama bagi negara berkembang adalah
untuk memperkuat struktur dan ekonomi industri dalam negeri adalah dengan mengurangi import barang-barang
konsumsi dan modal secara bertahap melalui kebijakan pengembangan industri substitusi impor.
4
Teori ‘growth pole’ berbasis kepada hipotesis bahwa negara berkembang dapat merangsang pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan dengan mengembangkan industri padat modal di kota besar atau ibu kota regional. Pertumbuhan ini
seharusnya akan menyebar ke wilayah perdesaan (periferal) dalam proses perkembangan wilayah (Rondinelli, 1985;
Unwin, 1989).

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 15 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

Pertumbuhan industri terkonsentrasikan di Pulau Jawa yang sudah mempunyai infrastruktur yang
memadai untuk memulai pembangunan pabrik-pabrik yang memproduksi barang-barang pengganti
import. Industri substitusi import merupakan industri padat modal dengan tingkat agglomerasi
(backward dan forward linkage) yang tinggi. Kebijakan pengembangan wilayah selalu mengarahkan
penyebaran pertumbuhan yang merata ke pelosok negeri. Dengan terkonsentrasi industri substitusi
impor di Pulau Jawa dengan tingkat agglomerasi yang tinggi, kebijakan regional tidak mempunyai
dampak bagi penyebaran pertumbuhan di wilayah periferal seperti yang diharapkan oleh hipotesis
penganjur ‘unbalanced development’.
‘………..the compatibility of industrial and regional policy depends on the sector targeted and their
requirements for scale and agglomeration economies…….the greater the economy of scales and
agglomeration, the less likely that industrial policy will further regional policy goals. (Markusen, 1996)
Sedangkan untuk membiayai pembentukan kapital (capital formation), maka eksplorasi dan
eksploitasi sumberdaya alam untuk ekspor di luar pulau Jawa digalakkan melalui pendekatan profit
sharing dengan perusahaan asing. Penekanan kepada industrialisasi sebagai prime mover
menyebabkan perhatian kepada wilayah periferal dan perdesaan berkurang dibandingkan perkotaan
(urban bias), termasuk perdesaan dan wilayah perbatasan. Distribusi pembiayaan pembangunan oleh
pemerintah dalam pemerataan pembangunan di wilayah periferal tidak cukup membangkitkan
struktur perekonomian yang kokoh karena tidak cukup untuk mengkompensasi biaya bagi kebutuhan
barang-barang industri yang diimpor dari wilayah inti (core).
Penganjur perekonomian terbuka dan desentralisasi lainnya seperti Paul Krugman 5 berteori
‘……… country which follows a restrictive and inward looking policy, internal trade compensates for the
meagre size of its foreign trade. This lead to concentration of production and trading activities in large
metropolitan cities which have traditionally developed infrastructure facilities for large scale production,
manpower training, financial transactions and marketing’.
Hipotesis ini menunjukkan bahwa sentralisasi pengambilan keputusan dalam moda ‘top-down dan
command and control’ serta pendekatan pertumbuhan cepat dengan pendekatan pencarian sector
yang menjadi ‘prime mover’ industrialisasi yang selama beberapa dekade telah menjadi ideologi
dasar dalam negara Indonesia telah memberikan pengaruhnya kepada perkembangan yang teramat
lambat di wilayah periferi termasuk juga wilayah perbatasan.
‘An opening up of the economy is likely to break the monopoly power of these highly concentrated
production and trading centers, weaken the traditional backward and forward linkages and lead to a more
even distribution of economic activities.’
Perubahan seperti ini tidak mungkin terjadi di negara sentralistis seperti di Indonesia dimana segala
sesuatunya dikendalikan dan direncanakan dengan pendekatan standar ‘blue print’/unified approach
sehingga keunikan masing-masing wilayah tidak muncul sebagai dasar pertimbangan perencanaan.
Dapat dijelaskan disini penyebab utama terjadinya konsentrasi pertumbuhan yang kuat di wilayah
‘inti/core’ di berbagai negara berkembang terutama di Indonesia yang menahan kebijakan
pembangunan wilayah dalam mengintegrasikan perekonomian wilayah periferal dalam perekonomian
nasional adalah kebijakan percepatan pembangunan melalui industrialisasi, terutama pembangunan
industri pengganti impor di wilayah inti sebagai ‘path dependent’ terjadinya ‘core area primacy’ di
Indonesia.
Sungguhpun demikian teori ini mengundang berbagai perdebatan tidak lagi pada paras ilmu ekonomi
melainkan pada wacana geografi politik. Desentralisasi dikatakan terlambat dilakukan yaitu pada saat

5
Model teoretik Krugman dan Elizondo di dalam seminal paper nya menunjukkan suatu perilaku ‘lecutan’ yang merupakan
saat dimana terjadi distribusi regional jika beberapa asumsi ekonomis dalam model tersebut berlaku (Elizondo dan
Krugman, 1992; Krugman, 2000)

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 16 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

Indonesia terpuruk kedalam krisis perekonomian yang sampai sekarang membekas dalam kestabilan
perekonomian dan ketergantungan perekonomian Indonesia kepada utang luar negeri.
Di pertengahan 1980an kebijakan industri berubah kearah industri berbasis export. Indikasi akan
terjadinya relokasi industri ke negara berkembang di Asia Pasifik seperti yang terjadi ke negara-
negara 5 macan Asia 6 diharapkan kali ini mengarah kepada negara-negara sedang tumbuh seperti
Malaysia, Indonesia, Filipina. Relokasi disebabkan terjadinya perubahan struktural (structural
adjustment) perindustrian Jepang dari industri yang berbasis automotif dan mekatronika, menjadi
high-tech industri (Yoshihara, 1978; Yamazawa, 1993; Edgington, 1994)
Sungguhpun industri berorientasi ekspor ini di hipotesiskan sebagai industri ‘footloose’, kenyataan
yang terjadi dalam konteks struktur wilayah di Indonesia industri ini kembali mengumpul di pusat-
pusat-pusat metropolitan. Siklus agglomerasi baru terbentuk di wilayah metropolitan dan sebagai
industri yang padat karya (standardized labor-intensive industries), industri ini meningkatkan
percepatan urbanisasi di wilayah metropolitan lebih cepat dari jenis industri sebelumnya, (Syamwil
dan Tanimura, 2000).
Kebijakan industri di Indonesia dalam modus percepatan pembangunan besar pengaruhnya kepada
terbentuknya agglomerasi di wilayah metropolitan karena sebagian besar dana pembangunan tercurah
memperkuat struktur dan infrastruktur industri. Kenyataan ini telah membuat wilayah periferal
menjadi wilayah tertinggal dengan terjadinya U-turn sumberdaya manusia berkualitas ke wilayah
agglomerasi demikian pula perhatian ke wilayah perbatasan berkurang di dominasi pendekatan
pertahanan dan keamanan yang akan didiskusikan lebih lanjut.

2.2 Kebijakan dengan Pendekatan Keamanan

Di banyak negara maju kebijakan regional tidak eksplisit. Kebijakan regional di negara maju secara
implisit dilakukan dengan alasan-alasan bagi pembangunan industri, perdagangan internasional dan
pertahanan keamanan. Di Indonesia rencana strategis pengembangan wilayah secara eksplisit
diwujudkan dalam kebijakan nasional untuk berlangsungnya ‘counter balance’ dan bias kepada ‘core
area’ dalam kebijakan pengembangan industri, melalui pemerataan anggaran pembangunan yang
berimbang. 7
Demikian pula sejarah perjalanan pembentukan negara diwarnai dengan pengalaman gerakan
separatis serta berbagai konflik dengan negara tetangga telah melahirkan doktrin-doktrin pertahanan
dan keamanan teritorial yang berkaitan erat dengan pola pertumbuhan regional yang cenderung
memusat di wilayah inti. Infrasruktur strategis lebih banyak dikembangkan di Pulau Jawa sebagai
basis pertahanan terakhir negara dalam konsep pertahanan nasional, sungguhpun Pulau Jawa secara
geomorfologis lebih layak untuk pengembangan sektor pertanian yang efisien. 8
Sungguhpun demikian dalam pandangan keamanan, perbatasan terkait dengan isu strategis proses
nation state building yang merupakan batas kedaulatan sebagai negara yang harus dilindungi terhadap
munculnya konflik dengan negara tetangga. Dalam hal ini pandangan keamanan berkepentingan

6
5 Macan Asia (Asian Tigers) disebutkan dibeberapa literatur meliputi Jepang, Korea Selatan, Hong Kong, Singapura,
Taiwan. Menyusul Thailand, Malaysia dan Indonesia yang disebut ‘Tiger’s Cub’.
7
Adanya sistem perencanaan tata ruang nasional dan pengembangan 8 wilayah pertumbuhan nasional di tahun 1970an
yang masih di adopsi sampai sekarang.
8
Keputusan untuk membangun pusat-pusat pembangkit energi di Pulau Jawa terhadap pengembangan pembangkit mulut
tambang ‘mine-mouth power plant’ / pembangkit listrik mulut tambang, bertentangan dengan teori lokasi klasik bahwa
‘weight-losing industries’ akan ekonomis bila ditempatkan mendekati sumber bahan baku.

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 17 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

dengan pembangunan sosial, ekonomi, budaya dan politik di wilayah perbatasan dalam arti luas yang
sejalan dengan kebijakan regional untuk mengembangkan wilayah tertinggal (periferal).
Kebijakan regional memperhatikan integrasi wilayah periferal dalam perekonomian nasional tidak
secara khusus menekankan pentingnya pembangunan wilayah perbatasan. Sedangkan konsep
pertahanan dan keamanan secara khusus memperhatikan wilayah perbatasan sebagai batas kedaulatan
yang harus dibina dan dipertahankan.
Penanganan perbatasan negara, pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya perwujudan ruang
wilayah nusantara sebagai satu kesatuan geografis, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan
keamanan (Sabarno, 2001).
Doktrin pertahanan dan keamanan Indoensia yang didasarkan kepada Hankamrata (Pertahanan dan
Keamanan Rakyat Semesta) memberikan konsep Wawasan Nusantara (Wanus) sebagai batas
kedaulatan negara yang harus dipertahankan.
Tinjauan menurut ke lima aspek Pancagatra system pertahanan dan keamanan menunjukkan alasan-
alasan yang berbeda jika dibandingkan pendekatan pengembangan wilayah. Pertama, dari sudut
pandang ideologi negara, perbatasan dilihat sebagai daerah rawan terhadap infiltrasi ideologis dari
negara tetangga (komunis dan liberal kapitalis) sehingga perlu adanya pembinaan ideologi. Peminaan
ini tidak melalui indoktrinasi melainkan keteladanan pemimpin. Kedua, situasi politik di negara
tetangga bisa saja mempengaruhi situasi keamanan di wilayah perbatasan mengingat kondisi
kesenjangan perekonomian dengan negara tetangga. Ketiga, kesenjangan ekonomi dan infrastruktur
di wilayah perbatasan dengan negara tetangga dapat mempengaruhi rasa nasionalisme dan seringkali
menjadi jalur dan tempat berlindung masuk pengacau dan teroris. Keempat, intensitas arus informasi
sebagai akibat globalisasi dan teknologi informasi akan membahayakan masuknya budaya dan
system nilai yang tidak diinginkan dari budaya asing. Kelima, rendahnya tingkat kepadatan penduduk
dan penyebaran lokasi permukiman yang tidak terhubung satu sama lain akan menyulitkan rentang
kendali dan pengawasan pemerintah dalam mengamankan wilayah perbatasan, (Sabarno, 2000)
Kelima pandangan tentang pentingnya perbatasan dari sudut pandang pertahanan dan keamanan
memperlihatkan bahwa segala upaya untuk pengembangan perbatasan adalah dengan alasan
rawannya wilayah tersebut bukan kepada manfaat pengembangan wilayah dengan adanya titik temu
pertukaran komoditas dan informasi serta pemanfaatan sumberdaya ekonomis yang dapat
membangun agglomerasi baru di wilayah perbatasan yang saling menguntungkan.
Demikan pula penanganan wilayah perbatasan dalam situasi damai tidak ditangani secara
komprehensif melainkan secara ad-hoc, misalnya komisi ad-hoc dibentuk untuk menangani beberapa
isu perbatasan yang sedang hangat, seperti ke-empat ‘joint border committees’ dibawah ini:
• General Border Committee RI-PNG diketuai oleh Panglima TNI.
• Joint Border Committee RI-PNG (JBC) diketuai oleh Menteri Dalam Negeri.
• Joint Border Committee RI-UNTAET (Timtim) diketuai oleh Dirjen Pemerintah Umum
Departemen Dalam Negeri.
• Joint Commisison Meeting RI – Malaysia (JCM) diketuai oleh Departemen Luar Negeri yang
sifatnya kerjasama bilateral.
Dilain pihak bentuk perbatasan dengan adanya perjanjian zona eksklusif dan bentuk geografi
kepulauan Indonesia, maka wilayah yang perlu dilakukan pengamanan adalah sebagai berikut:
• Di wilayah laut, berbatasan dengan 10 negara (India, Malaysia, Singapura, Thailand,
Vietnam, Philipina, Palau, PNG, Australia,Timor Lorosae).
• Di wilayah darat, berbatasan dengan 3 negara (Malaysia, PNG dan Timor Lorosae).

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 18 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

• Jumlah pulau 17.508, panjang pantai 80.791 Km, luas wilayah termasuk ZEE 7,7 juta Km
lautan 5,8 juta Km.
• Perbandingan luas wilayah darat dan laut adalah 1 : 3.
Demikian pula sumber kekayaan alam di perbatasan perlu mendapatkan pengamanan dan perhatian
serius yang meliputi potensi: pertambangan umum/migas, kehutanan, kehutanan/perkebunan,
perikanan.

2.3 Kebijakan Pembangunan berbasis Sumberdaya Alam

Negara berkembang merupakan negara-negara yang tertinggal pembangunannya dibandingkan


negara-negara Barat/maju. Dalam hal ini ketertinggalan ini disamping diukur dari pendapatan per
kapita juga dilihat dari ketertinggalan industrialisasi (tingkat industrialisasi). Industrialisasi dikenal
dalam pandangan ekonomi klasik sebaga indikator kemajuan suatu negara setelah melalui fase
pemanfaatan sumberdaya alam, pertanian, selanjutnya industri dan ekspor industri. Negara kaya
sumberdaya seperti Indonesia sangat mengandalkan sumberdaya alam untuk memulai
pembangunannya.
Motor penggerak perekonomian Indonesia pada awal pembangunan adalah perkebunan besar
peninggalan Belanda yang sudah mempunyai jejaring pasar internasional terutama di Eropah,
meliputi: karet, tembakau, kopi dan lada yang berasal dari perkebunan di Sumatera Utara, Sumatera
Selatan, Sulawesi Selatan serta di Jawa Barat dan Jawa Timur, Palembang, Pekanbaru dan
Balikpapan merupakan pusat produksi minyak mentah untuk di ekspor ke manca negara, (Barlow dan
Thee Kian Wie, 1988; Lindblad, 1998). Demikian pula beberapa tambang minyak dan batubara di
Sumatera Selatan dan Sumatera Barat. Pertumbuhan di awal kemerdekaan sedikit lebih merata
dimana Medan, Jakarta, Cirebon, Semarang, Surabaya dan Makasar merupakan kota pelabuhan
sebagai pusat pengumpul dan ekspor industri pertanian (agribisnis) ke manca negara.
Masa Orde Baru mengutamakan minyak dan gas bumi merubah konstalasi regional dalam waktu
singkat melalui sentralisasi pengelolaan perkebunan dan pertambangan minyak, serta pembangunan
infrastruktur dan industri pengganti impor bahan baku (baja dan tekstil) di utara Pulau Jawa yang
disubsidi dengan dana pampasan perang serta hasil bumi dari luar Pulau Jawa.
Efek ganda yang ditimbulkan oleh kebijakan industrialisasi ini adalah inmigrasi ke Pulau Jawa yang
tidak terbendung dan pertumbuhan eksponensial industri ikutan yang cenderung mendekati bahan
baku yang dihasilkan industri substitusi impor di utara Pulau Jawa. Terciptalah dikotomi besar
regional, Pulau Jawa sebagai penghasil barang modal dan konsumsi dan luar Jawa sebagai penghasil
bahan mentah untuk ekspor (penghasil devisa). Bagi wilayah penghasil devisa produk industri barang
modal dan konsumsi menjadi langka dan harus diimpor dari Pulau Jawa dengan biaya transportasi
yang tinggi.
Di penghujung 1980an pertumbuhan industri meningkat lebih pesat dengan dengan adanya sinergi
antara kesiapan struktur dan infrastruktur industri pengganti impor dan tumbuhnya industri
berorientasi ekspor di utara Pulau Jawa. Keunggulan Pulau Jawa tidak tertandingi oleh wilayah lain
di luar Pulau Jawa dalam hal efisiensi infrastruktur dan ketersediaan buruh yang relatif trampil.
Demikianlah kebijakan industri yang tidak mendukung kebijakan pembangunan wilayah sehingga
upaya kebijakan regional melalui alokasi dana pemerintah tidak dapat memberikan kompensasi
pemerataan secara alami.

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 19 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

2.4 Pandangan Sosial – Budaya (Anthropological Approach)

Perbatasan sebuah negara, atau state’s border, dikenal bersamaan dengan lahirnya negara. Negara
dalam pengertian modern sudah mulai dikenal sejak abad ke-18 di Eropa. Perbatasan negara
merupakan sebuah ruang geografis yang sejak semula merupakan wilayah perebutan kekuasaan
antarnegara, yang terutama ditandai oleh adanya pertarungan untuk memperluas batas-batas antar
negara. Sebagai bagian dari sejarah dan eksistensi negara, riwayat daerah perbatasan tidak mungkin
dilepaskan dari sejarah kelahiran dan berakhirnya berbagai negara.
Dalam kaitan ini menarik untuk mencermati kelahiran negara-bangsa (nation-state) sebagai bentuk
negara modern yang berkembang sejalan dengan merebaknya ethnic nationalism dan national
identity. Anthony D. Smith dalam bukunya Ethnic Origin of Nations (1986) menggambarkan
identitas nasional sebagai a collective cultural phenomenon yang mengandung berbagai elemen
dasar, seperti adanya kekhasan bahasa, sentimen-sentimen, dan simbolisme yang merekatkan sebuah
komuniti yang mendiami suatu teritori tertentu.
Pada awal sejarah kelahirannya, negara-bangsa, menurut Smith, identik dengan ‘negaraetnis’. Pada
awalnya, batas-batas teritorial dari negara-bangsa merupakan refleksi dari batas-batas geografis
sebuah etnis tertentu. Perkembangan selanjutnya dari negara-bangsa memperlihatkan bahwa
kesamaan cita-cita, yang tidak jarang bersifat lintas-etnis, lebih mengemuka sebagai dasar dari
eksistensi sebuah negara-bangsa. Perbatasan sebuah negara dalam konteks semacam itu menunjukkan
kompleksitas tersendiri yang memperlihatkan bahwa batas negara tidak hanya membelah etnisitas
yang berbeda. Ia bahkan membelah etnis yang sama, karena dialaminya sejarah kebangsaan yang
berbeda oleh warga etnis yang sama.
Pertama-tama, ‘perbatasan’ adalah konsep geografis-spasial. Ia baru menjadi konsep sosial ketika
kita berbicara tentang masyarakat yang menghuni atau melintasi daerah perbatasan. Sebagai konsep
geografis, masalah perbatasan telah selesai ketika kedua negara yang memiliki wilayah perbatasan
yang sama menyepakati batas-batas wilayah negaranya. Permasalahan justru muncul ketika
perbatasan dilihat dari perspektif sosial, karena sejak itulah batasan-batasan yang bersifat
konvensional mencair. Perbatasan memperoleh makna yang baru sebagai konstruksi sosial dan
kultural yang tidak lagi terikat pada pengertian yang bersifat teritorial.
Dalam perspektif sosio-kultural, perbatasan tidak lagi dipandang sekedar sebagai geographical
space,tetapi lebih sebagai socio-cultural space. Dalam perspektif sosio-kultural inilah tulisan-tulisan
yang ditampilkan dapat dilihat sebagai sebuah upaya rintisan untuk mengembangkan studi atau kajian
tentang perbatasan (borderland studies).
Di Indonesia, kajian atau studi tentang perbatasan masih berada pada tahap paling awal. Kajian-
kajian yang ada umumnya masih dilakukan dengan pendekatan konvensional, dalam arti belum
menggunakan konsep-konsep dari kerangka teoretis yang mulai dikembangkan oleh berbagai pusat
kajian tentang perbatasan, baik di Eropa maupun Amerika. Dalam pendekatan yang konvensional,
daerah perbatasan terutama masih dipandang dalam kacamata pertahanan keamanan suatu negara,
atau dilihat sebagai sekedar daerah frontier yang masih harus dikembangkan secara ekonomi.
Riwanto Tirtosudarmo (Kalimantan Barat sebagai Daerah Perbatasan: Sebuah Perspektif Demografi-
Politik) mencoba menggunakan pendekatan demografi politik dalam mengkaji daerah perbatasan
Kalimantan Barat. Uraian Riwanto masih berada dalam perspektif konvensional yang didominasi
oleh pemahaman perbatasan sebagai domain yang harus dijaga secara strategis dan militer dari
berbagai kemungkinan infiltrasi dari luar. Pada sisi yang lain, Leonard Andaya (Orang Asli and
Melayu Relations: A Cross-Border Perspective) melihat perbatasan dari sisi sejarah dan dari

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 20 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

kacamata yang sangat berbeda. Perbatasan tidak diartikan sebagai batas-batas fisik-geografis, tetapi
sebagai batas-sosial dan kultural. Uraian historisnya tentang pergeseran batas-batas identitas yang
terjadi pada Orang Asli dan Melayu di Malaysia merupakan contoh pendekatan yang baru dalam
studi perbatasan.

2.5 Kebijakan dengan Pendekatan Kesejahteraan

Negara berkembang dengan kemampuan yang terbatas pada tahapan awal pembangunan
perekonomiannya tidak dapat menjangkau kebutuhan masyarakat miskin dan wilayah tertinggal
dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka. Hipotesis yang dikembangkan adalah pada tahap awal
pembangunan perekonomian negara berkembang mengalami peningkatan konsentrasi pertumbuhan
di sector yang terbatas dan lokasi yang terkonsentrasi, sungguhpun demikian pada tingkat
pertumbuhan tertentu proses konsentrasi ini akan mencapai titik jenuh disaat mana distribusi sektoral
dan regional terjadi (Williamson, 1991). Sungguhpun demikian kebutuhan dasar yang mendesak
tidak bisa menunggu sampai pertumbuhan perekonomian mencapai titik balik pemerataan
pertumbuhan.
Arus bawah para ahli pembangunan ekonomi mengkritik pendekatan model Marshal yang dilakukan
di Eropa untuk dikembangkan di negara berkembang paska kemerdekaan negara berkembang di
tahun 1960an. Myrdal menunjukkan adanya ‘cummulative causation’ berupa siklus pertumbuhan
yang semakin lama semakin membesar dengan adanya dampak positif dari aktifitas ‘income
generating’ dari sektor ‘prime mover’ yang menciptakan peluang usaha dan pendapatan bagi sektor
pendukung yang berinteraksi dengan sektor utama. Efek multiplier ini justru akan memperbesar
ketergantungan dan pertumbuhan agglomeratif yang terpusat di wilayah inti. Demikian pula pendapat
para ahli menunjukkan model pembangunan dengan memusatkan di sektor inti sungguhpun cepat
mendapatkan hasil tidak menjamin pemerataan terutama kepada sektor tradisional dan ekonomi
informal.
Program badan penyandang dana bantuan di dunia ketiga yang diarahkan ke sektor formal 9, pada
periode paska perang dan kolonialisme, telah gagal meningkatkan pendapatan perkapita disebabkan
kecilnya deman dalam negeri terhadap barang konsumsi karena sebagian besar masyarakat berada
dalam kondisi miskin dengan tingkat harapan hidup serta mortalitas yang tinggi. Kenyataan ini
menyebabkan United Nations pada awal tahun 1960an merubah paradigma program pembangunan di
dunia ketiga menjadi program penyediaan ‘basic needs’ dengan sasaran peningkatan kesejahteraan
sebagai program utama. Demikianlah sampai saat ini pendekatan yang utama pembangunan wilayah
tertinggal dikonsentrasikan kepada pemenuhan kesejahteraan penduduknya yang akan meningkatkan
deman lokal dan pada saatnya kelak pembangunan akan digerakkan oleh tenaga terdidik generasi
berikutnya dari masyarakat tersebut.
Dalam Platform Penanganan Permasalahan Perbatasan Antarnegara, Direktorat Wilayah Administrasi
dan Perbatasan (2004) menjelaskan bahwa pemberdayaan masyarakat di sepanjang perbatasan
maupun penduduk yang bermukim di pulau-pulau terluar sangat diperlukan dalam rangka
menanggulangi kemiskinan. Program pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui penyediaan
tempat usaha yang sesuai dengan sumber daya alam yang tersedia di lingkungannya. Bantuan lain
yang perlu diberikan kepada kawasan-kawasan perbatasan yang terisolir adalah pasokan kebutuhan

9
Bantuan dari berbagai badan rekonstruksi paska perang banyak diarahkan untuk membentuk struktur perekonomian
formal dan menghidupkan perusahaan-perusahaan bekas penjajahan yang di nasionalisasikan.

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 21 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

pokok sepserti sembako, bahan makanan pokok lainnya dan keperluan sehari-hari melalui kerjasama
dengan aparat keamanan dan pertahanan.
Platform kebijakan penanganan permasalahan perbatasan antarnegara pada dasarnya mencakup
strategi pengelolaan kawasan perbatasan darat dan maritime di kawasan kontinen, dimana perlu
dikedepankan dua pendekatan secara terpadu, yaitu pendekatan kesejahteraan (prosperity approach)
dan pendekatan keamanan (security approach). Melalui platform ini, ingin pula disampaikan
beberapa agenda kegiatan sebagai wujud peran yang telah dilakukan oleh Pemerintah (termasuk di
dalamnya keikutsertaan Pemerintah Daerah) dalam mengelola dan mengembangkan kawasan
perbatasan antarnegara. Selanjutnya, pada tataran implementasi, program-program yang dilakukan
perlu dikoordinasikan dan diintegrasikan dengan baik dan terpadu antara Pemerintah dan Pemerintah
Daerah maupun antar Pemerintah Daerah dengan seluruh stakeholder yang terkait dengan
pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di kawasan perbatasan antarnegara.

2.6 Kesimpulan

Sistem pemerintahan yang sentralistik serta kebijakan dan strategi pembangunan Indonesia yang
terfokus kepada strategi pertumbuhan cepat telah berakibat terkonsentrasinya pertumbuhan
perekonomian di Pulau Jawa, terutama di pusat-pusat pertumbuhan industri di Jabodetabek dan
Surabaya dan beberapa pusat yang lain yang tidak signifikan dibandingkan ke dua pusat ini. Bahkan
seorang ahli pengembangan wilayah Philip McCaan menyatakan dalam struktur perdagangan dan
perekonomian, Indonesia hanya punya satu titik pertumbuhan yaitu Jakarta. 10
Demikian pula di negara maju upaya kebijakan pengembangan wilayah untuk mendistribusikan
pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan ke wilayah tertinggal seringkali tidak tercapai. Kebijakan
regional yang berupaya menyebarkan pertumbuhan ke wilayah periferal selalu terkalahkan oleh
upaya wilayah inti untuk mempertahankan supremasi pertumbuhan perekonomiannya. 11.
Hal yang sama ditunjukkan oleh Indonesia setelah melalui tahapan pembangunan industri substitusi
impor di tahun 1970an dan menuju ke orientasi ekspor dan keterbukaan perdagangan di penghujung
1980an, pertumbuhan dan agglomerasi terus menerus meningkat di pusat-pusat pertumbuhan
metropolitan di Pulau Jawa, mengalahkan upaya kebijakan regional untuk pemerataan pembangunan
dan pengintegrasian wilayah periferal kedalam jejaring perekonomian nasional yang berimbang
(Syamwil dan Tanimura, 2000). Perbandingan konsentrasi dan perilaku lokasi industri di empat
negara ASEAN (Thailand, Malaysia, Filipina dan Indonesia) menujukkan konsentrasi lokasi industri
yang tinggi terjadi di Filipina dan Indonesia, dan perbedaan perilaku industri dalam memilih lokasi
tergantung kepada jenis industri, kebijakan industrialisasi, kebijakan pengembangan wilayah dan
geografi negara (Syamwil, 2001; Tiwari, Syamwil dan Doi, 2003). Malaysia sejak awal menerapkan
reformasi pertanian dimana aktifitas off-farm direncanakan sejak dini sebagai respon terhadap
produktifitas pekerja petani (disguised unemployment), yang memberikan aglomerasi pertumbuhan
perdesaan berbasis pertanian (Douglass, 1991).

10
Diskusi Indra B. Syamwil dengan Dr. Philip McCaan dari University of Reading, visiting Professor di University of Berkeley
dan University of Tsukuba ketika itu, 1998.
11
Kebijakan pengembangan ‘Technopolis’ di Jepang di pertengahan 1980an adalah pada hakikatnya kebijakan MITI untuk
menyediakan lahan baru bagi industri high-tech baru Jepang dalam rangka restrukturisasi industri yang juga
dimanfaatkan untuk mengembangkan wilayah-wilayah tertinggal di luar ketiga pusat agglomerasi ekonomi Tokyo, Nagoya
dan Osaka. Pengurangan konsentrasi aktifitas ekonomi di ketiga pusat pertumbuhan tidak berlangsung lama,
dikarenakan modus baru media informasi dan komunikasi serta tumbuhnya apa yang mereka sebut ‘brain industry’ serta
‘global city network’ mengembalikan supremasi ketiga pusat pertumbuhan di awal 1990an, (Tanimura dan Syamwil, 1997)

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 22 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

Bila kita memandang adanya dualisme perekonomian di negara berkembang sesuai dengan hipotesis
Boeke (Boeke, 1940), kondisi ini juga terjadi di tingkat regional dan lokal. Kebijakan pertumbuhan
cepat hanya menyentuh sektor formal yang dimanapun di dunia dikarenakan kompetisi yang dihadapi
menuntut efisiensi yang mengundang kepada agglomerasi dan mengakibatkan semakin besarnya
kesenjangan antara wilayah inti dan wilayah periferi (tertinggal). Kondisi geografi negara kepulauan
di Indonesia mempercepat terjadinya kesenjangan ini dengan mahalnya transportasi bagi produk
lokal di luar Pulau Jawa untuk mencapai tingkat efisiensi yang tinggi dan bersaing untuk menjangkau
pasar terbesar di Indonesia di Pulau Jawa pada saat perekonomian lokal terlalu kecil untuk
memungkinkan tumbuh suburnya usaha dalam skala ekonomi yang efisien.
Desentralisasi, globalisasi dan perdagangan internasional yang semakin terbuka memberikan peluang
bagi daerah yang jauh dari wilayah inti untuk membentuk klaster agglomerasi yang melibatkan
interaksi perdagangan dan pertukaran komoditas melampaui batas negara. 12 Sungguhpun demikian
dalam hal ini persiapan sumberdaya manusia dan organisasi lokal untuk bisa bersaing dengan
produktifitas yang tinggi membutuhkan waktu agar venture yang dilakukan melalui kerjasama bisa
mendatangkan manfaat tidak menciptakan ketergantungan baru yang kembali mengulangi beralihnya
pusat-pusat pertumbuhan (backwash effect) ke wilayah inti di negara lain yang lebih mapan sistem
nya dibandingkan wilayah periferal tersebut.

12
Chen, Asia Borderless Economy, 1997

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 23 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

Bab III Kajian Model


Pembangunan Wilayah

3.1 Skenario Perencanaan Pembangunan Rostow

Skenario perencanaan pembangunan di dunia ketiga di tahun 1960an dan 1970an menganut skenario
perencanaan pembangunan dengan menggunakan pentahapan pembangunan jangka panjang secara
bertahap. Rostow pertama kali mengetengahkan pembangunan skenario pembangunan secara empiris
menunjukkan adanya hubungan pentahapan jangka panjang untuk mencapai keadaan pertumbuhan
dan struktur perekonomian yang stabil. Tahapan tersebut diawali dari pemanfaatan sumber daya alam
yang terbarukan maupun tidak terbarukan misalnya pertanian, perkebunan dan pertambangan dan
diekspor untuk mendapatkan devisa bagi pembangunan kegiatan lain. Tahapan selanjutnya adalah
pembangunan industri pengolahan untuk memenuhi kebutuhan barang konsumsi dalam negeri.
Dalam tahapan ini teknologi pengolahan harus diimpor dari negara maju. Tahapan ketiga adalah
berupayang mengurangi ketergantungan kepada barang impor bagi kegiatan produksi dan konsumsi
di dalam negeri. Tahapan keempat adalah memproduksi sendiri barang modal dan bahan baku di
dalam negeri untuk mengurangi impor. Pada tahapan ini negara sudah siap untuk mandiri (take-off)
dan bersaing di pasar internasional. Tahapan selanjutnya adalah tahapan dimana ekspor menjadi
kompetitif di pasar internasional dan negara mendapatkan devisa yang baik untuk pertumbuhan yang
mandiri dan stabil.
Negara-negara kaya sumberdaya menggunakan sumberdaya yang dimilikinya sebagai ‘staple
product’ untuk menghasilkan devisa untuk membiayai pembangunan perekonomian dan peningkatan
kesejahteraan dan kualitas sumberdaya manusia pada awal pembangunannya. Pengembangan
sumberdaya dengan cebakan besar (large extraction) ini membutuhkan modal dan teknologi serta
jejaring pasar yang pada umumnya tidak dikuasai oleh negara berkembang dan dikuasai oleh kartel-
kartel perusahaan multi-nasional. Sistem yang dikembangkan oleh negara dunia ketiga adalah dengan
melakukan kontrak profit-sharing dengan perusahaan multi-nasional dalam mengembangkan
cadangan sumberdaya strategisnya tersebut.
Kondisi ketergantungan ini akan terus berlangsung bila negara berkembang tidak mencoba merebut
kendali pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya tersebut pada saat teknologi dan pemasarannya
bisa dikuasai oleh perusahaan-perusahaan nasional. Sungguhpun demikian kenyataan menunjukkan
di berbagai negara yang bahkan telah berangkat maju seperti Malaysia kegiatan dan teknologi
pemanfaatan ekstraksi sumberdaya besar ini masih dikuasai perusahaan multi-nasional.
Bagi sumberdaya yang tidak terbarukan strategi jangka panjang pemanfaatannya perlu mendapatkan
perhatian, agar suatu saat dimana cadangan sumberdaya menipis, perekonomian yang berlandaskan
sumberdaya alam bisa digantikan dengan perekonomian yang berbasis sumberdaya manusia yang
berkualitas dan penguasaan teknologi yang kompetitif sebagai penghasil devisa. Pembangunan
dengan model Rostow pada umumnya akan membawa dampak agglomerasi memusat terutama pada
fase pembangunan industri pengolah sumberdaya pengganti impor dan selanjutnya pengembangan
industri berorientasi ekspor yang cenderung mendekati lokasi padat pekerja dan pasar (pelabuhan).
Dinegara kepulauan seperti Indonesia skala ekonomi industri jenis substitusi impor ternyata tidak
dapat mengkompensasi biaya yang dibutuhkan untuk tranportasi.

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 24 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

Model ini lebih mudah digunakan bagi pengembangan wilayah tertinggal karena sudah ada preseden
penggunaannya oleh Indonesia sendiri. Model ini pula diterapkan oleh berbagai kabupaten dengan
sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan di era desentralisasi ini untuk menggalang dana bagi
pembangunan daerah. Sungghpun demikian model ini tidak akan menjamin adanya distribusi
kemajuan kepada wilayah tertinggal selama usaha tersebut berasal dari venture yang berbasis di luar
daerah.

3.2 Model Flying Wild Geese, Siklus Produk dan Perdagangan Internasional

Skenario pembangunan Rostow ini sungguhpun memberikan peluang yang baik bagi negara
berkembang untuk belajar dan menguasai tahapan demi tahapan pembangunan dengan teratur,
banyak mengundang sanggahan mengingat terlalu umum untuk mewakili berbagai karakter dan
situasi yang unik yang dihadapi berbagai negara. Banyak negara maju yang tanpa melalui tahapan ini
telah mampu menjadi negara ekspor yang kompetitif di dunia. Beberapa negara miskin sumber daya
seperti Taiwan dan Jepang Jepang memperlihatkan pertumbuhan yang luar biasa hanya sebagai
negara pengolah sumberdaya (Ranis dan Fei, 1987).
Pada masa revolusi Meiji dan setelah berakhirnya PD II, Jepang mencatat rekor keberhasilan bangkit
kembali karena berhasil meningkatkan GNP sebesar 10 kali lipat dari target 2 kali lipat yang
dianggap sudah ambisius, pada periode high economic growth, dari tahun 1960-1967. Salah satu
strategi yang dilakukan adalah menjadi platform produksi dari teknologi Barat pada awal kebangkitan
yang dapat memproduksi barang lebih kompetitif dari negara sumber inovasi barang tersebut.
Model pembangunan yang dikembang oleh Jepang berbeda dengan model Rostow. Model Flying
Wild Geese yang diterapkan oleh Jepang sejak masa reformasi Meiji ini berawal dari catatan perilaku
industri pada zaman Meiji oleh Akamatsu (1940an) dimana terlihat keterkaitan yang saling
mendukung secara bergelombang antara jenis industri awalan dan perkembangan industri-industri
lanjutan yang membentuk pola terbang angsa liar (the flying wild geese), (Akamatsu, 1943).
Pada dasarnya pola ini adalah pola siklus produksi suatu teknologi industri tertentu dari
inisiasi/inovasi sampai kepada saturasi dimana telah terjadi kejenuhan pasar sebagai akibat dari
masuknya kompetitor dalam produk yang sama. Industri yang dikembangkan lebih awal ditargetkan
untukmemenuhi kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu, kemudian pertumbuhan selanjutnya
diekspor. Industri awal ini akan mendorong industri ikutan atau inovasi baru yang kelak akan
menjadi industri pengganti setelah industri awal mengalami kejenuhan pasar. Demikian seterusnya
bahwa orientasi ekspor industri Jepang tidak melalui tahapan siklus yang panjang dalam
pengembangannya (Yamazawa, 1990). Dari industri awal dan industri berikutnya terjadi transfer dan
pengembangan seperti perilaku ‘wild geese’ sedang terbang, burung terdepan adalah yang terkuat
yang dengan mengepakkan sayapnya akan memberikan daya dorong kepada burung-burung yang
mengikutinya untuk suatu saat nanti digantikan oleh burung yang lebih kuat.
Catatan Akamatsu kemudian dilengkapi oleh Kojima dengan memberi kerangka teoritis tentang
keterkaitan antara pertumbuhan industri dengan teori perdagangan internasional (foreign trade) dan
berbeda dengan negara perusahaan multi-nasional Barat yang mencari market, Jepang memang
sengaja mencari lokasi di negara lain untuk dirangkul menjadi platform lokasi produksi industri yang
telah jenuh di negaranya, (Kojima, 1978).
Teori Kojima ini menjelaskan fenomena relokasi industri yang berlangsung sejak bangkitnya industri
Jepang di tahun awal 1960an di awali perpindahan industri baja ke Indonesia dan Brazil dan industri
perkapalan ke Brazil. Dilanjutkan dengan industri tekstil ke India, Indonesia dan Thailand di akhir

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 25 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

1960an dan awal 1970an. Selanjutnya alat-alat listrik seperti dinamo dan alat permesinan sederhana
serta otomotif dan akhirnya mekatronika (Yoshihara, 1978; Ozawa, 1979).
Di dunia Barat teori ‘product cycle’ yang berdimensi perdagangan internasional ini menjadi alasan
baru bagi operasi perusahaan multi-nasional untuk negara-negara berkembang bila kesempatan
mendidik tenaga trampil dan transfer teknologi dapat diambil oleh negara-negara penerima investasi
(FDI/foreign direct investment), (Rees, 1980), setelah sejak tahun 1960an dan awal 1970an banyak
dikritik sebagai bentuk ketergantungan baru yang diciptakan kapitalime internasional terhadap dunia
ketiga (Hymer, 1974).
Perbedaan biaya produksi antar negara ini yang dijadikan salah satu alasan penanaman modal oleh
perusahaan multi-nasional untuk mencari platform produksi di negara lain. Dan di beberapa negara-
negara Eropa, Canada dan Meksiko, wilayah perbatasan antar negara telah dipilih untuk
menempatkan platform tersebut, (Blackbourn, 1980). Dalam hal ini Blackbourn menambahkan
bahwa tanpa intervensi negara yang bersangkutan lokasi platform tetap cenderung memilih wilayah
inti (core).
Pemerintah di wilayah perbatasan dapat memanfaatkan keuntungan lokasinya dengan membentuk
kondisi yang kondusif bagi perusahaan yang memanfaatkan perbedaan upah buruh dan infrastruktur
serta suplai energi yang kompetitif disamping kondisi birokrasi serta iklim berusaha dan perburuhan
yang kondusif.

3.3 Model Pembangunan Wilayah berbasis Sumberdaya Manusia

Negara berkembang merupakan negara-negara yang tertinggal pembangunannya dibandingkan


negara-negara Barat/maju. Dalam hal ini ketertinggalan ini disamping diukur dari pendapatan per
kapita juga dilihat dari ketertinggalan industrialisasi (tingkat industrialisasi). Industrialisasi dikenal
dalam pandangan ekonomi klasik sebaga indikator kemajuan suatu negara setelah melalui fase
pemanfaatan sumberdaya alam, pertanian, selanjutnya industri dan ekspor industri. Negara kaya
sumberdaya seperti Indonesia sangat mengandalkan sumberdaya alam untuk memulai
pembangunannya.
Sukses negara-negara miskin sumberdaya yang diperlihatkan oleh Jepang, Taiwan, Korea Selatan,
Hong Kong dan Singapura adalah contoh pentingnya sumber daya manusia yang terdidik dan ulet
yang dilahirkan oleh sistem pendidikan dan disiplin yang kuat. Negara-negara tersebut termasuk
negara yang mengembangkan kepranataan dan kelembagaan yang sistemik dengan melakukan
rekayasa sosial (social engineering) dalam menghasilkan sumberdaya manusia berkualitas untuk
masa depan pembangunan dinegaranya. 13 Demikian pula penelitian-penelitian yang mengembangkan
inovasi baru adalah hasil dari sumberdaya manusia yang berkualitas. Terlepas dari konsekuensi
negatif dari rekayasa sosial yang dilakukan, peran sumberdaya manusia adalah penentu kemajuan di
masa depan yang telah terbukti keberhasilannya. Pertanyaan Kaisar Jepang setelah perang usai adalah
‘apakah kita masih punya guru?’.
Contoh ini memperlihatkan negara yang mementingkan sumberdaya manusia lebih cepat maju
dibandingkan negara yang kurang memperhatikan sumberdaya manusia. Malaysia memperlihatkan

13
Konfusianisme dan budaya duniawi dikombinasikan dengan faham materialisme dan kapitalisme Barat dikatakan di
banyak literatur sebagai pemicu kemajuan di negara-negara di Asia Pasifik. ‘Zen’ dan ‘bushido’ di Jepang adalah hasil
rekayasa sosial Tokugawa Hideyoshi, daimyo yang menguasai politik kerajaan Jepang di abad ke 18, seperti halnya
‘Pancasila’ di Indonesia sebagai alat pemersatu.

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 26 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

kemajuan yang luar biasa dan mengalahkan Indonesia sejak negara ini meng-impor guru dari
Indonesia dan mengirimkan mahasiswanya ke Indonesia di awal tahun 1970an sampai sekarang.

3.4 Model Pembangunan Wilayah dengan Carbon transfer

Pemanfaatan hasil hutan tropis menjadi isu yang mendapatkan perhatian dunia setelah para ahli
lingkungan memperkirakan industrialisasi yang telah dilakukan di berbagai belahan dunia telah
mengakibatkan efek rumah kaca serta berkurangnya lapisan ozon di wilayah kutub utara dan selatan
bumi yang penting bagi perlindungan atmosfir bumi terhadap sinar kosmis yang dapat
mengakibatkan berbagai efek samping bagi kehidupan manusia dan biota dalam ekosistem dunia.
Kekhawatiran ini telah menjadi isu politik internasional untuk menekan pemanfaatan hutan tropis di
dunia ke tiga yang selama ini menjadi salah satu sumber devisa negara berkembang di wilayah tropis.
Perdebatan ini berlanjut dengan kritik dunia ketiga bahwa dunia pertama lah yang pertama sekali
memicu memanfaatkan hutan di negaranya sehingga tidak adil bagi dunia ketiga yang sedang giat
membangun untuk menekan pemanfaatan hutannya. Berbagai pembicaraan multi-lateral
dikembangkan untuk menangani masalah ini, dan dunia ke tiga meminta agar negara-negara maju
memberikan kompensasi atas upaya negara berkembang untuk mengurangi pemanfaatan hutannya. 14
Model karbon transfer dengan mengukur indeks karbon yang dilestarikan yang sedang dibicarakan
dalam multi-lateral dapat dijadikan acuan bagi alokasi yang lebih berimbang dengan memperhatikan
keberlanjutan pengelolaan wilayah konservasi secara berkelanjutan. 15
Dalam era desentralisasi dimana salah satu aspeknya adalah pengalihan subsidi untuk pemerataan
dari pemerintah pusat kepada pengalokasian hasil pembangunan berbasis kepada hasil yang diperoleh
dari pemanfaatan sumberdaya alam strategis di daerah di ukur dari hasil daerah itu sendiri sebagai
penghasil devisa dan jumlah penduduk (performance and merit system). Kembali dasar perhitungan
DAU dan DAK ini mengakibatkan beberapa daerah yang miskin sumberdaya alam strategis dan
sebagian dari wilayahnya adalah hutan yang ditetapkan dengan fungsi konservasi dan lindung akan
mendapatkan alokasi yang menyulitkan bagi mereka untuk menahan penduduknya untuk tidak
memanfaatkan wilayah lindung untuk lahan usaha. Sedangkan wilayah yang kaya dengan
sumberdaya alam strategis akan mendapatkan dana alokasi yang besar untuk dimanfaatkan kembali
memanfaatkan sumberdaya alam sungguhpun tidak selalu berkaitan dengan perekonomian
penduduknya.

3.5 Model Pengembangan Wilayah Terstruktur

Pendekatan pengembangan wilayah selain pembagian wilayah pengembangan yang bersifat regional
dalam mengurangi ketergantungan wilayah periferal kepada wilayah inti di dalam suatu wilayah
perekonomian negara adalah dengan membentuk klaster-klaster regional maupun lokal dalam sinergi
interaksi yang saling menopang sehingga terbentuk skala ekonomi yang efisien. Beberapa model
yang dapat dilihat sebagai perkuatan interaksi klaster regional maupun lokal ini adalah: model

14
Model carbon transfer ini populer dengan ‘debt to nature swap’ (DNS)
15
Salah satu usulan dalam era desentralisasi bagi wilayah tertinggal yang sebagian besar wilayah nya merupakan wilayah
perlindungan hutan adalah dengan menggunakan indeks karbon yang dibina oleh wilayah tersebut sebagai ukuran bagi
pengalokasian pendanaan nasional.

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 27 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

segitiga pertumbuhan (growth triangle), kawasan pengembangan terpadu (KAPET) dan model
Agropolitan.

1. Segitiga Pertumbuhan (Growth Triangle)

Segitiga pertumbuhan adalah suatu model kerjasama bagian wilayah antar negara yang mempunyai
atau diharapkan dapat membentuk keterkaitan perekonomian perdagangan atau pertukaran komoditas
yang saling menguntungkan dan dapat menjadikan wilayah tersebut menjadi konglomerasi pusat
pertumbuhan yang efisien dan kompetitif. Di awal sampai pertengan tahun 1970an Indonesia
membentuk 3 kerjasama antar wilayah:
• Segitiga pertumbuhan Sijori (Singapura, Johor dan Riau)
• Segitiga pertumbuhan BIMP-EAGA (Brunei Darusalam, Indonesia, Malaysia, Philippine –
East ASEAN Growth Area)
• Segitiga pertumbuhan antara Sumatera Bagian Utara, Malaysia dan Thailand (IMT-GT,
Indonesia, Malaysia and Thailand – Growth Triangle)
Dalam kerangka kesepakatan Sijori Indonesia meletakkan Batam sebagai ujung tombak spill over
industri Singapura ke dalam wilayah Indonesia dengan menjadikan Batam sebagai ‘free trade zone’
(FTZ), dimana cukai masuk antar negara ditiadakan. Batam dalam hal ini berfungsi sebagai platform
limpasan produksi Singapura yang lahan industrinya semakin menyempit dan mahal. Demikian pula
di Batam industri sunset Singapura mendapatkan tempat dan tenaga kerja yang murah sehingga
memperpanjang saturasi dalam siklus hidup produksinya. Sungguhpun Batam adalah hasil diplomasi
panjang sejak zaman Sukarno yang ingin menjadikan Sabang sebagai pelabuhan bebas yang
ditentang oleh Singapura dan merupakan kompromi yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru.
Sungguhpun demikian melihat supremasi Singapura di Batam persetujuan tersebut juga dapat
dipandang sebagai langkah cerdas Singapura untuk meredam kompetitor, dan terus menciptakan
ketergantungan perekonomian hinterland terhadap pusatnya. Kita dapat melihat sendiri saat ini
perekonomian Batam sangat tergantung kepada iklim perekonomian di Singapura. Singapura telah
melakukan langkah-langkah restrukturisasi industrinya dengan mengalihkan industri ‘sunset’ ke
Batam dan Batam sendiri sulit melakukan hal yang sama. Hal yang sama juga dialami oleh Johor,
Malaysia.
Pembentukan model segitiga pertumbuhan ini terlihat masih memberikan keuntungan kepada negara
dengan struktur perekonomian (perekonomian fundamental) yang baik dan kemudahan diversifikasi
yang dapat dilakukan dengan cepat.
Kedua segitiga pertumbuhan lainnya sampai sekarang terlihat hanya sampai sebatas kerjasama untuk
tidak saling berkompetisi secara tidak sehat dan tumbuh bersama membentuk pasar komoditas
pertanian dan pertenakan. Hal ini dikarenakan tidak ada satupun negara yang dapat dijadikan motor
penggerak (prime mover) pertumbuhan kedua segitiga pertumbuhan ini sehingga kerjasama yang
terbentuk belum mengalami kemajuan yang berarti.

2. KAPET

Sama halnya dengan segitiga pertumbuhan, kawasan pengembangan ekonomi terpadu (KAPET)
dikembangkan dengan maksud untuk membentuk klaster kerjasama regional dan ‘linkage/
keterkaitan’ dan pertukaran produksi komoditas yang dihasilkan (value exchange) sekaligus
memperbesar pasar komoditas antar daerah untuk menumbuhkan struktur produksi yang efisien

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 28 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

dalam skala yang ekonomis diantara pusat-pusat produksi dan dalam klaster wilayah yang potensial
dan berdekatan secara geografis. Model pertumbuhan lokal ini dikembangkan pada pertengahan
1980an dimotori oleh Bappenas dan melibatkan koordinasi lintas sektoral.
Model pembangunan Kapet ini terinspirasi dari model pembangunan ‘integrated rural development’
sebagai salah satu derivasi dari paradigma ‘alternative development’ yang menjadi wacana para ahli
pembangunan wilayah di penghujung tahun 1970an, termasuk model pengembangan ‘agropolitan’,
(Friedmann dan Douglass, 1980).

3. Agropolitan

Sebagai sebuah konsepsi pembangunan kawasan perdesaan, agropolitan dikembangkan oleh


Friedman dan Douglas (1975). Agropolitan adalah pendekatan pembangunan kawasan perdesaan
(rural development) yang menekankan pembangunan perkotaan (urban development) pada tingkat
lokal perdesaan. Tiga isu utama mendapat perhatian penting dalam konsep ini:
• Akses terhadap lahan pertanian dan air
• Devolusi politik dan wewenang administratif dari tingkat pusat ke tingkat lokal dan
• Perubahan paradigma atau kebijakan pembangunan nasional untuk lebih mendukung
diversifikasi produk pertanian
Memperhatikan kota desa sebagai site utama untuk fungsi-fungsi politik dan administrasi,
pengembangan agropolitan lebih cocok dilakukan pada skala kabupaten (district scale). Alasannya,
skala kabupaten akan memungkinkan akses lebih mudah bagi rumah tangga atau masyarakat
perdesaan untuk menjangkau kota, sementara cukup luas untuk meningkatkan atau mengembangkan
wilayah pertumbuhan ekonomi (scope of economic growth) dan cukup luas dalam upaya
pengembangan diversifikasi produk dalam rangka mengatasi keterbatasan-keterbatasan pemanfaatan
desa sebagai unit ekonomi. Selain itu, dengan begitu pengetahuan lokal (local knoledge) akan mudah
digabungkan dalam proses perencanaan jika proses itu dekat dengan rumah tangga dan produsen
perdesaan. Pendekatan agropolitan sangat sesuai dengan semangat desentralisasi (transformasi
wewenang dari usat ke daerah) dan demokratisasi sebagai bagian dari perubahan politik di Indonesia
kini. Agropolitan memberikan ruang yang layak terhadap perencanaan pembangunan perdesaan yang
mengakomodir dan mengembangkan kapasitas lokal (local capacity building) dan partisipasi
masyarakat dalam suatu program yang menumbuhkan manfaat timbal balik bagi masyarakat
perdesaan dan perkotaan (Douglass, 1998).
Dalam dokumen pedoman umum pengembangan kawasan agropolitan (rumusan hasil koordinasi
antar departemen terkait, Jakarta April 2002, Lampiran Surat Menteri Pertanian 6 Mei, 2002),
Agropolitan didefinisikan sebagai ‘..... kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena
berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela
kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya.’ Selanjutnya disebutkan bahwa
‘kota pertanian dapat merupakan kota menengah atau kota-kota kecil atau kota kecamatan atau kota
perdesaan atau kota nagari yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang mendorong
pertumbuhan permbangunan perdesaan dan desa-desa hinterland atau wilayah sekitarnya ......’.
Penggunaan istilah ‘kota’ dalam pendefinisian di atas pada konteks pembangunan perdesaan dapat
mengaburkan makna tujuan agropolitan itu sendiri mengingat istilah ‘kota’ sudah memiliki arti yang
sangat tersendiri. Pengembangan agropolitan pada dasarnya sangat menekankan pembangunan
kawasan perdesaan tanpa harus menjadikan kawasan perdesaan yang dikembangkan menjadi suatu
‘kota’. Dengan demikian lebih tepatnya, pengembangan kawasan agropolitan tidak selalu

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 29 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

menekankan membangun ‘kota’, melainkan adalah membangun perdesaan dengan standar


infrastruktur dasar permukiman sebagaimana standar perkotaan sedemikian rupa sehingga
masyarakat dan pelaku ekonomi perdesaan dapat bersaing (berkompetisi) dengan aktifitas-aktifitas
ekonomi di perkotaan. Sebagaimana diketahui, akibat keterbatasan infrastruktur dasar permukiman
(ketersediaan air, listrik, dan lain-lain) serta sistem penunjang produksi seperti sistem jaringan
transportasi, komunikasi, perbankan, dan lain-lain telah menyebabkan aktifitas ekonomi perdesaan
menghadapi biaya ekonomi tinggi akibat lemahnya akses pada sumberdaya-sumberdaya produksi
sebagaimana umumnya dinikmati masyarakat perkotaan. Perubahan telah terjadi dalam
perkembangan keilmuan pengembangan wilayah di negara berkembang kepada pembelajaran yang
komprehensif keruangan dalam tataran perdesaan. 16
Banyak daerah yang baru diberi kewenangan melalui desentralisasi dan devolusi otoritas memandang
konsep ‘agropolitan’ sebagai suatu pengembangan sistem agribisnis berbasis ‘capital intensive’
seperti yang dikembangkan dalam program PIR ataupun pola perkebunan yang dikembangkan oleh
Belanda dengan pusat-pusat pertumbuhan di Medan, Jakarta, Cirebon, Semarang, Surabaya dan
Makasar. 17 Konsep ini, sungguhpun baik ditinjau dari peningkatan pendapatan daerah, tidak
memberikan dampak persebaran manfaat pembangunan kepelosok perdesaan serta manfaat distribusi
pendapatan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Demikian pula pendekatan ala koloni
Belanda ini hanya bisa dilakukan pada wilayah jajahan (koloni) seperti yang dilakukan perkebunan-
perkebunan besar milik swasta maupun pemerintah terhadap perekonomian lokal. Kembali program
seperti ini mengandung nuansa top-down dan sentralistis yang akan menciptakan kesenjangan baru
dalam dimensi lokal.

3.6 Model Pembangunan Wilayah berbasis kekuatan Ekonomi Lokal

Pembangunan perekonomian wilayah periferal berbasis potensi sumberdaya alam yang selama ini
dirangsang pertumbuhannya melalui investasi negara dan swasta nasional maupun perusahaan multi-
nasional maupun proyek dengan dana bantuan internasional dirasakan kurang menyentuh struktur
perekonomian lokal. Kesenjangan antara kepranataan dan modal serta teknologi yang masuk ke
wilayah periferal menciptakan terjadinya dikotomi yang sulit dipertemukan antara modal dan
teknologi yang datang serta kapasitas dan kondisi perekonomian lokal untuk mengambil manfaat
yang signifikan dari efek multiplier yang tercipta. Dalam artian sulit mempertemukan ‘linkage’
antara perekonomian formal yang terbentuk dengan jejaring perekonomian lokal yang ada.
Demikian pula strategi pemerintah dalam mendistribusikan penduduk dari kantong-kantong
kemiskinan struktural di Pulau Jawa ke wilayah di luar Pulau Jawa melalui program transmigrasi
ataupun transmigrasi Perkebunan Inti Rakyat (PIR Trans), sungguhpun sukses menyebarkan populasi
dan mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa, serta memperkenalkan teknik-teknik pertanian
kepada penduduk di wilayah yang baru, masih banyak mengandung kekurangan dan menuai konflik
dengan penduduk setempat. Tanpa pembinaan yang cukup intensif terhadap petani PIR dan
transmigran peningkatan perekonomian mereka menciptakan ketergantungan terhadap progam
perkebunan inti dan tidak menciptakan diversifikasi yang membuat resiliensi ekonomi pertanian yang

16
Dekonstruksi terhadap pandangan konvennsional pengembangan wilayah diuraikan secara teoretikal di dalam paper
yang dipresentasikan oleh Indra B. Syamwil dalam Sarasehan Pembentukan Program Perdesaan di Departemen
Arsitektur ITB, (Syamwil, 2004a). Hal yang sama disampaikan pula dalam konteks strategi desentralisasi di presentasi
paper Indra B. Syamwil di International Conference yang diselenggarakan Puslitbangkim dan URDI di Bandung (Syamwil,
2004b)
17
Model pengembangan Agropolitan yang saat ini dilaksanakan dibeberapa daerah seperti Kabupaten Lampung Tengah
(Great Pinnaples), Kabupaten Kutai Timur (Sawit), Kabupaten Pasir Penajam (Sawit).

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 30 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

tumbuh dan berkembang dengan baik secara berkelanjutan. Demikian pula tanpa penguatan
infrastruktur, kepranataan serta kapasitas sumberdaya manusia serta kewirausahaan di wilayah
tersebut produk-produk selain PIR tetap tidak mendapatkan pasar yang memadai dan skala ekonomi
yang memberikan peluang bagi tumbuhnya wiraswastawan lokal. 18
Sebagai akibat dari perilaku pemanfaatan sumberdaya periferal yang dikembangkan ini
perekonomian rakyat setempat menjadi ter ‘alienasi’ di wilayahnya sendiri dan menciptakan jarak
yang dapat menimbulkan ketergantungan dan konflik sosial yang tidak sehat bagi kemandirian
pertumbuhan daerah itu sendiri.
Pandangan-pandangan baru yang tadinya muncul sebagai gerakan radikal dalam memandang
dualisme perekonomian yang tercipta oleh konsep pembangunan dengan pertumbuhan cepat ini
mulai dibicarakan dalam wacana pengembangan wilayah di penghujung 1970an. Wacana ini
berkembang menjadi paradigma pembangunan baru sebagai ‘alternative development’ yang
mengembangkan konsep pembangunan berbasis kekuatan ekonomi lokal, (Rondinelli, 1980; Lipton,
1980; Friedmann, 1978; Douglass, 1980). Konsep pembangunan yang diungkapkan para ahli ini
merupakan paradigma yang berlandaskan kepada paradigma pembangunan secara ‘bottom up’
dimana pemerintah bertindak sebagai inkubator dan fasilitator bagi pembangunan yang dilakukan
oleh rakyat. Pembinaan sebagai fasilitator ini seringkali diartikan salah dari birokrasi pemerintahan
dimana pengembangan konsep ini dilakukan melalui suatu program dan proyek formal yang kembali
dengan target-target yang terpaksa melibatkan perencanaan ‘top down’ dan tidak mendidik
masyarakat untuk membangun dirinya sendiri.
Pandangan-pandangan ini setelah di ‘formal’ kan oleh pemerintah baik lembaga pemerintah pusat
dan pemerintahan daerah kembali terstruktur menjadi program-program yang kurang memberikan
kesempatan bagi masyarakat untuk berinisiatif sendiri secara kolektif yang pada akhirnya sangat
tergantung kepada proyek dan program pemerintah. Hierarki pusat-pusat pengumpul dan
pendistribusi dalam mengembangkan struktur produksi dan distribusi agribisnis dalam model
‘agropolitan’ yang dicanangkan oleh ahli pengembangan wilayah seperti Friedmann dan Douglass
disalah artikan sebagai pengembangan ‘secondary city’ yang memperkecil arti konglomerasi pusat-
pusat desa tradisional yang bila diintegrasikan dalam jejaring yang sinerjetik bisa membentuk pusat
agribisnis yang kuat yang dapat terjangkau oleh inisiatif masyarakat setempat tanpa asupan modal
investasi yang besar yang memberikan posisi tawar yang lebih bagi kapital-kapital besar dari
perkotaan. Pembangunan agropolitan seperti ini kembali mengurangi posisi tawar sektor agribisnis
informal di perdesaan yang telah terbangun oleh inisiatif lokal dan tidak memberikan pengalaman
serta kurva pembelajaran yang baik bagi bakat-bakat setempat untuk membangun dirinya dan
keparanataan (‘rule of the game’) sendiri.
Kembali pembangunan berbasis ekonomi lokal adalah wujud pemerataan yang membutuhkan waktu
inkubasi (cessasion period) yang cukup dimana percepatan akan mengakibatkan ketidak seimbangan
yang berdampak kepada terciptanya kesenjangan lokal serta menciptakan ketergantungan yang
menutup pintu inisiatif lokal untuk tumbuh sumbur pada saat yang tepat.

18
Hasil studi thesis S2 Pembangunan Perdesaan, Mardian Noor (2004)

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 31 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

Bab IV Pengalaman Negara


Lain

4.1 Pengembangan Wilayah Perbatasan Amerika dan Meksiko

Perbatasan Meksiko dan Amerika Serikat dijadikan contoh oleh Elizondo dan Paul Krugman dalam
menyusun hipotesis tentang efek lecutan dari distribusi pertumbuhan ke wilayah periferan menunjuk
kepada contoh perbatasan Meksiko dengan Amerika Serikat. Pertumbuhan ‘standardized labor-
intensive production’ di wilayah perbatasan tersebut telah memberikan inspirasi tentang manfaat
keberadaan klaster industri yang demikian di wilayah perbatasan yang memberikan momentum bagi
agglomerasi industri sejenis dan membuka peluang kerja bagi penduduk Meksiko tanpa harus
berimigrasi ke wilayah Amerika Serikat, (Elizondo dan Krugman, 1992). Hal ini mengurangi
pertumbuhan migrasi ilegal yang selama ini telah memperburuk citra penduduk Meksiko sendiri dan
mengurangi permasalahan ini di wilayah Amerika Serikat. Program ini dikemas dengan kerjasama
antara pemerintah Amerika Serikat dan Meksiko dalam wujud program dan kerjasama sebagaimana
diuraikan di bawah ini.

1. Border Industrialization Program (BIP)

Inmigrasi penduduk Meksiko ke Amerika Serikat diawali dari kebutuhan tenaga pekerja di lahan-
lahan pertanian di Amerika Serikat pada masa Perang Dunia ke II yang ditinggalkan oleh penduduk
yang bertugas di PD II. Tahun 1961 program ini dihentikan dan memberikan dampak yang besar
kepada pengangguran di Meksiko. Perjanjian baru dibentuk pada tahun 1965 dengan kerjasama yang
memberikan tempat bagi industri perakitan barang setengah jadi menjadi produk jadi di wilayah
perbatasan Meksiko yang dinamakan ‘Border Industrialization Program’.
Kebijakan tersebut menguntungkan kedua belah pihak dimana Amerika Serikat dapat menyelesaikan
produksi mereka dengan upah tenaga kerja yang lebih murah dan Mexico mendapatkan peluang
lapangan pekerjaan baru bagi penduduknya. Kerjasama tersebut juga ditunjang dengan adanya
kemudahan aksesibilitas dan jaringan transportasi serta telekomunikasi yang baik sehingga kerjasama
dengan Mexico tersebut terhitung sangat murah dibandingkan melakukan kerjasama dengan negara
lain di seberang pulau. Dengan kerjasama tersebut kedua belah pihak mendapatkan keuntungan dan
Mexico dapat mengembangkan kehidupan sosial ekonomi daerah perbatasan mereka dengan lebih
baik.
Pertumbuhan berbasis industri padat karya ini membentuk klaster-klaster perkotaan dan agglomerasi
industri yang memberikan dampak pertumbuhan diversifikasi komunikasi dan arus barang dan orang
melintasi batas kedua negara. Mengantisipasi pertumbuhan arus perdagangan dan perangkutan ini
beberapa perjanjian kerjasama dibentuk untuk melengkapi perjanjian yang ada dan merespon
pertumbuhan hubungan lintas batas lainnya. Beberapa perjanjian sektoral terbentuk yang dapat
diuraikan sebagai berikut:
• Keamanan arus produk pertanian lintas batas (US Department of Agriculture)
Perjanjian kerjasama untuk meningkatkan standar keamanan makanan yang diperdagangkan antar
batas negara terutama produk pertanian dan perternakan, meliputi ternak dan telur. Perjanjian ini
meliputi pertukaran informasi tentang kontaminasi produk dan upaya pengendaliannya.

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 32 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

• Penanganan Isu Kritis (US-Mexico Consultative Committee)


Menitikberatkan pada isu-isu kritis perdagangan seperti akses pasar, standar sanitary, dan pertukaran
info pada area-area khusus seperti bioteknologi serta kesehatan hewan dan tanaman. Termasuk dalam
komite ini sebuah tim ‘tanggap darurat’ yang memberikan ‘peringatan dini’ dan proses konsultasi
untuk mengatasi masalah dengan cepat sebelum menjadi pengganggu perdagangan.
• Peningkatan ekonomi berkelanjutan (US Department of Energy)
Program ini dilakukan oleh The Bi-National Sustainability Laboratory bertujuan memelihara
hubungan perekonomian jangka panjang di kedua sisi perbatasan. Program ini melakukan upaya
inkubasi perusahaan berskala kecil-menengah yang baru dan memperkuat yang sudah ada dengan
target penciptaan pekerjaan bergaji lebih tinggi (higher paying jobs).
• Border Health Program – Health Resources and Services Administration (US Department of
Health and Human Services)
Program kesehatan di wilayah perbatasan tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan kesehatan
penduduk melainkan juga bertujuan menciptakan lapangan kerja untuk penyuluh kesehatan
komunitas perdesaan di sepanjang perbatasan. Pusat-pusat kesehatan memberikan perhatian kepada
pelayanan kesehatan yang memperhatikan permasalahan kultural seperti bahasa, nilai, tradisi dan
kebiasaan-kebiasaan pasien.
• Colonias Gateway Initiative (US Department of Housing and Urban Development)
Program ini bertujuan meningkatkan kapasitas organisasi dan lembaga lokal dalam mengembangkan
perumahan dan infrastruktur yang terjangkau dan sekaligus berperan sebagai katalis bagi investasi
jangka panjang dalam peningkatan kualitas kehidupan penduduk.
• Inisatif Keamanan Perbatasan (US Department of Justice)
Inisiatif Keamanan Perbatasan (Border Safety Initiative) merupakan upaya yang bertujuan untuk
mengurangi tingkat kecelakaan dan kematian di sepanjang perbatasan, melalui peningkatan
kesadaran publik (public awareness) akan bahaya penyeberangan ilegal oleh para penyelundup, suhu
ekstrim sungai berarus deras.
• Inisiatif Perbatasan Tenggara (US Department of Justice)
Ditujukan untuk menghalau aktivitas perdagangan obat-obatan dengan mengidentifikasi, menembus
dan membongkar organisasi jual beli obat-obatan yang berpusat di Mexiko dan Columbia.
• Kerjasama utk Kesejahteraan/Partnership for Prosperity (US Department of State)
Bertujuan untuk meningkatkan ekonomi dan kemungkinan tenaga kerja di area yang terbelakang di
Mexico. Rencana aksinya termasuk proyek untuk memfasilitasi investasi bisnis kecil, perumahan,
agrikultur, jalan, pelabuhan, bandara, dan informasi teknologi.
• Pengembangan Perbatasan/Development of Smart Border (US Department of State)
Direncanakan untuk memodernisasi perbatasan, memperkuat pertahanan, dan memfasilitasi
perdagangan legal dan transit penduduk.
• Program Transportasi Perbatasan (US Department of Transportation)
Program dalam penyediaan dana, jasa perencanaan, proyek pengembangan, konstruksi, bagi
infrastruktur perbatasan, melalui peningkatan transportasi, keamanan infrastruktur, peraturan, serta
koordinasi dan inspeksi keamanan di wilayah perbatasan.

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 33 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

4.2 Pengembangan Wilayah Amerika dan Kanada (model transfer energi)

Kanada dan Amerika adalah dua negara yang sejak lama terhubung oleh pertalian ekonomi yang
cukup kuat. Kanada dengan jumlah penduduk yang kecil mempunyai sumberdaya yang cukup
berlebihan untuk dimanfaatkan populasi penduduknya yang sangat kecil, sungguhpun dari dataran
yang sedemikian luas hanya sebagian (wilayah perbatasan dengan Amerika) yang bisa dimanfaatkan.
Berbagai kerjasama lintas batas telah digalang diantara kedua negara ini dalam hal perdagangan
komoditas pertanian, pertambangan dan enersi. Pipa minyak membelah Kanada menghubungkan
sumber-sumber minyak Amerika di Alaska untuk diolah kilang-kilang minyak di Amerika dan
dimanfaatkan di dalam negeri. Demikian pula beberapa pembangkit tenaga nuklir di wilayah danau
Ontario disisi Kanada memproduksi jutaan megawatt listrik untuk mensuplai kebutuhan industri dan
perkotaan di pantai Timur Amerika, disamping memenuhi kebutuhan dalam negeri Kanada yang
tidak seberapa dibandingkan kebutuhan Amerika.
Model transfer energi adalan salah satu contoh model pengembangan kerjasama lintas batas yang
saling menguntungkan antar negara. Pembangkit-pembangkit listrik bertenaga nuklir di Kanada dapat
mencapai skala ekonomi yang efisien dalam skala besar yang tidak akan bisa dicapai bila pembangkit
tersebut bila hanya dirancang untuk memenuhi kebutuhan Kanada yang sangat kecil. 19 Dengan
terbentuknya perusahaan pembangkit listrik yang efisien berbagai teknologi pembangkit energi
pelayanan lokal dengan teknologi yang ramah lingkungan dikembangkan seperti pembangkit listrik
tenaga pasang surut (tidal wave power plant) di Annapolis Valey, Nova Scotia. 20
Model ini pernah dicoba di Indonesia untuk membangun pembangkit mulut tambang yang besar di
tambang batubara Bukit Asam, Sumatera Selatan, yang direncanakan mempunyai skala ekonomi
yang cukup tinggi untuk menggerakkan industrialisasi di pantai timur Sumatera dan mensuplai
pengembangan Pulau Batam dan sekitarnya serta Singapura melalui jaringan pipa bawah laut. 21
Model ini juga dapat diteliti kelayakannya untuk dikembangkan di Kalimantan untuk membangun
pusat energi yang efisien bagi jaringan distribusi Kalimantan dan jaringan lintas batas negara
pengembangan industri di Sabah, Serawak dan Brunei Darussalam saat aktifitas perekonomian
Kalimantan belum mencapai tingkat kebutuhan energi yang dapat memberikan skala ekonomi bagi
pengembangan unit pembangkit yang efisien. 22

4.3 Pengembangan Wilayah di negara Uni Eropa

Kerjasama lintas batas negara telah berlangsung lama diantara negara Eropa. Kebanyakan kerjasama
lintas batas ini menyangkut pengamanan dan keimigrasian serta pengembangan jaringan jalan dan
komunikasi serta tranportasi lintas batas seperti jalan raya (tol) dan jalur kereta api trans-Eropa.
Dalam analisis kuatitatif menggunakan model CES regional terhadap pertumbuhan sistem
perwilayahan dan perkotaan di negara-negara Eropah, Paul Krugman memperlihatkan telah terjadi
persebaran pertumbuhan wilayah dalam periode 2 dekade yang menunjukkan keterbukaan

19
Penduduk Kanada di tahun 1985 adalah 25 juta jiwa, tersebar disebanjang ‘border belt’ negara Kanada dari pantai Barat
ke pantai Timur disaat itu penduduk Amerika Serikat nomor dua terbesar di dunia yakni, 800 juta jiwa.
20
Catatan Perjalanan Indra B. Syamwil ketika berkunjung ke Kanada dalam rangka Program EMDI, CIDA dan KLH di tahun
1985
21
Proposal pra-kelayakan pembangunan pembangkit mulut tambang di Bukit Asam, Sumatera Selatan, (SECV, Australia-
Bita Enarcon Engineering), Indra B Syamwil sebagai salah satu personil yang terlibat, tahun 1988
22
Kaltim Prima Coal merencanakan pembangunan PLTU Mulut Tambang untuk kebutuhan pertambangan dan Sangatta,
informasi didapatkan Indra B. Syamwil dalam survey untuk studi Agropolitan Kutai Timur.

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 34 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

perdagangan diantara negara-negara Eropah yang telah mengurangi secara signifikan disparitas
regional di masing-masing negara melalui interaksi lintas batas, (Krugman, 1991) 23
Disamping pengembangan kerjasama lintas batas tersebut diatas banyak lagi bentuk kerjasama
dimana salah satu yang menarik untuk disimak adalah program kerjasama di Bohemia Selatan yang
diuraikan di bawah ini.
Pengusaha retail merupakan kelompok terkuat di Bohemia Selatan dan Austria bagian atas.
Kerjasama mutual memberikan keuntungan dalam peningkatan aktivitas marketing dan transfer
informasi. Hal ini dapat memungkinkan peralatan teknik yang lebih baik dan eksploitasi penuh.
Masalah yang dapat timbul dari kerjasama luar negeri, tidak hanya halangan bahasa tetapi juga
teknik-teknik, metode, dan ekspektasi yang berbeda yang disebabkan oleh perbedaan kebiasaan dan
kepentingan. Sebuah bantuan yang penting seperti jasa konsultan, pengadaan kontak, dan edukasi
yang lebih baik, dapat membantu para pengusaha.
Bohemia selatan merupakan kawasan didominasi oleh agrikultur. Sejak 1945 berdiri beberapa
perusahaan industri, terutama industri tekstil dan teknik. Perkembangan retail pada kawasan ini
terbagi dalam dua periode, yaitu periode sebelum tahun 1970 dimana terjadi penurunan pada bisnis
ini, dan periode sesudahnya yang ditandai dengan peningkatannya bisnis tersebut.
Pembuatan jaring bisnis retail dan kerjasama telah meningkatkan kemampuan berkompetisi, situasi
pada pasar, dan kemungkinan akses pada pasar lain. Untuk dapat terus hidup/survive, setiap bisnis
harus mengetahui kompetitornya (baik yang sudah ada maupun yang berpotensi) dan mencari solusi
untuk tetap berada di pasar.
Dua tindakan dasar yang digunakan untuk memecahkan kemampuan kompetisi regional:
1. Tindakan yang menganalisa kemampuan regional untuk berkompetisi sebagai akumulasi
faktor-faktor dasar
2. Tindakan yang fokus kepada pengarahan kemampuan untuk berkompetisi. Dalam kategori
ini, terdapat 6 faktor kunci:
• Jaring perusahaan
• Perkembangan demografik, migrasi, dan kawasan
• Kapasitas institusional dan administrasi
• Struktur industri
3. Inovasi/sistem inovasi regional
4. Properti
Dalam hal ini, struktur ekonomi Bohemia selatan dikenal merupakan kawasan industri biasa tanpa
industri berat yang signifikan dan didominasi industri manufaktur. Produksi industri terkonsentrasi di
kawasan padat penduduk. Sementara itu, struktur ekonomi Austria bagian atas justru lebih
berorientasi pada rural bila dibandingkan dengan Bohemia selatan. Kedua negara memiliki lanskap
yang menarik, terutama untuk pariwisata dan dari sudut pandang keadaan struktur ekonomi.
Hal-hal yang diperhitungkan dalam intensifikasi kerjasama perbatasan meliputi:
• Eksistensi institusi pendidikan, pusat riset dan tekno yang penting
• Tradisi dan kualitas industri pemrosesan makanan dan kayu yang baik
23
Model ini juga menunjukkan adanya lecutan pemerataan di daratan Eropah dalam dekade mendatang bila beberapa
asumsi studi terpenuhi.

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 35 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

• SDA dan latar belakang historis dan kebudayaan utk perkembangan turisme
Sementara itu, kesulitan-kesulitan utama dari pengusaha retail terdiri dari hal-hal berikut ini:
• Rendahnya kemampuan kompetisi bisnis
• Rendahnya ketertarikan dalam membentuk bisnis baru
• Hampir tidak adanya struktur kerjasama antara bisnis skala kecil dan besar dalam
teknologi, inovasi, dll
• Kontak bisnis retail dengan negara tetangga yang kurang memuaskan
• Akses yang membingungkan terhadap kapital bisnis retail.
Kerjasama lintas perbatasan tidak hanya menguntungkan bisnis retail tetapi juga seluruh regional.
Tidak hanya halangan bahasa yang harus diperhitungkan dalam kerjasama, tetapi juga peran
pemilihan partner yang tepat, perbedaan ketertarikan, kebiasaan, dan prosedur yang digunakan.
Pengusaha yang tertarik dalam kerjasama lintas perbatsan melakukan pendekatan berikut:
• Untuk menciptakan partnership yang sesuai, contohnya untuk menemukan partner yang
cocok, untuk menciptkan lingkungan kerja yang positif
• Untuk mendefinisikan tujuan kerjasama
• Untuk menemukan aktivitas manajemen yang efektif
• Untuk menginformasikan hasil yang dicapai kepada publik
Hal yang dapat dilakukan untuk membantu pengusaha dalam usahanya mengeksploitasi kesempatan
baru dan mengatasi kesulitan meliputi unsur-unsur berikut ini:
• Memperkuat struktur ekonomi regional; menciptakan kondisi yang sesuai untuk
perkembangan dan kreasi baru
• Meningkatkan perilaku inovatif dan kompetitif
• Mengintensifikasi kerjasama inter-perusahaan bisnis berskala kecil dan besar baik
domestik maupun lintas negara
Dalam hal ini, dibunakan standar ukuran yang dapat membantu mencapai tujuan. Adapun standar-
standar yang digunakan tersebut terdiri dari:
• Untuk menciptakan service lintas perbatasan yang baru, terutama menyangkut info dan
konsultasi aktivitas lintas perbatasan
• Untuk mendukung kerjasama perusahaan lintas perbatasan, terutama untuk
menciptakan jaring kerjasama perusahaan untuk meningkatkan kompetensinya
• Untuk menciptakan jaring supplier lintas perbatasan
• Untuk bekerjasama dengan pusat riset dan institusi yang menyediakan edukasi
• Untuk menciptakan penawaran kursus edukasi, fokus pada kualifikasi yang diterapkan
di luar negeri

4.4 Pengembangan Wilayah Perbatasan Cina

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 36 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

Program ini dilatarbelakangi oleh kebijakan ekonomi terbuka pemerintah Cina yang berupaya
melaksanakan desentralisasi pembangunan ekonomi dan mempromosikan perdagangan di daerah
perbatasan Cina bagian Selatan dengan membangun kerjasama dengan wilayah negara tetangga.
Kebijakan ini telah menyebabkan pertumbuhan ekonomi di daerah perbatasan berkembang dengan
cepat. Program ini juga didukung dengan adanya kesamaan bahasa dan budaya masyarakat
perbatasan Cina dengan negara tetangganya yang memudahkan penduduk setempat melakukan
interaksi sosial maupun ekonomi. Beberapa bentuk kerjasama yang dilakukan menunjukkan upaya
yang mengarah kepada pembinaan perekonomian local yang menaruh perhatian besar kepada upaya
pengelolaan lingkungan secara berkelanjutan.

Kasus 1: kerjasama lintas batas negara antara Cina dan Laos dalam Kontrol Kebakaran Hutan
Perjanjian kerjasama ini tidak terbatas hanya pada kontrol kebakaran, tapi termasuk kontrol hama dan
penyakit, penanaman lintas perbatasan, dan kontrol penyelundupan hasil hutan. Dalam kerjasama ini
kedua negara bersepakat untuk melakukan pengendalian kebakaran hutan dengan meningkatkan
kesejahtaraan penduduk di wilayah perbatasan kedua negara melalui kesepakatan sebagai berikut:
1. Senjata dan bahan peledak tidak diizinkan dalam kawasan perbatasan (500m dari perbatasan)
di area dimana petani melakukan penanaman ladang berpindah/slash-and-burn dan aktivitas
pertanian lainnya.
2. Kegiatan penanaman ladang berpindah di kedua sisi wilayah perbatasan dikelola dengan
pembuatan jalur pencegah kebakaran
3. Pembuatan sistim peringatan dini (early warning system) yang saling memberikan informasi
tentang kegiatan ladang berpindah di kedua sisi dan situasi kebakaran hutan dan proses
pemadaman
4. Jika terjadi kebakaran hutan pada satu sisi perbatasan, sis lain harus diberitahu sebelum
dilakukan proses pemadaman. Juga memiliki kewajiban untuk membantu memadamkan api
jika dibutuhkan
5. Kehilangan yang disebabkan oleh kebakaran hutan dari satu sisi akan dibayar oleh
pemerintah sisi lain, kecuali kebakaran alami
6. Sebuah markas gabungan untuk kontrol kebakaran akan diatur untuk bertanggungjwb
terhadap kontrol kebakaran hutan di kawasan perbatasan
7. Akan diadakan pertemuan reguler dan irreguler untuk pertukaran informasi selama bulan
pencegahan kebakaran
8. Kedua sisi akan melindungi satwa liar. Logging lintas perbatasan, penanaman, dan
perdagangan satwa liar tidak diperbolehkan. Pertukaran informasi harus dilakukan
9. Jika ditemukan bahwa hama atau penyakit kemungkinan menyebar ke satu sisi, harus
dilakukan pemberitahuan. Kedua sisi harus bekerjasama untuk mengontrol hama dan
penyakit.

Kasus 2: kerjasama lintas batas negara dalam substitusi tanaman ganja di Menghai
Salah satu komponen penting dalam rencana ini adalah untuk membantu penduduk desa menemukan
bibit untuk menggantikan tanaman ganja dengan tanaman substitusi perekonomian petani seperti teh,
padi hibrida, tebu dan karet. Upaya ini dilaksanakan melalui Proyek Penanaman Alternatif Tanaman
Ganja (Project of Alternative Plantation to Poppy (PAPP)). Dalam hal ini pendekatan peningkatan

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 37 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

kesejahteraan petani di wilayah perbatasan dijadikan fokus bagi peningkatan pengamanan perbatasan
dari penyelundupan dan penanaman ilegal ganja di wilayah yang jauh dari pengawasan.

Kasus 3: pertukaran lintas batas negara petani ke petani


Pengadaan program untuk mengintegrasi konservasi keragaman hayati/biodiversity dengan
pengembangan rural serta untuk memulai kerjasama transboundary dalam manajemen keragaman
hayati. Di dalamnya termasuk kerjasama workshop dan memelihara dialog reguler, mengumpulkan
inventori biologis, mengembangkan jaring transboundary, mengadakan program pelatihan, dan
mengadakan studi strategi untuk mengintegrasikan pengembangan komunitas dengan konservasi
hutan. Prinsip pelatihan transboundary petani ke petani adalah bahwa proyek konservasi harus
terintegrasi dengan pengembangan rural yang berkelanjutan.

Kasus 4: perdagangan lintas batas negara produk hutan


Perdagangan lintas batas sangat cocok dengan kondisi transportasi yang kurang memadai dan
perusahaan dagang kecil dengan kapital terbatas.Berbagai tarif dan pajak yang sesuai diberlakukan
oleh pemerintah. Daripada menggunakan USD sebagai alat tukar, Yuan diadopsi sebagai alat tukar
yang tetap. Implikasi dalam hal ini, telah dilakukan beberapa teknik yaitu:
1. Perlunya manajemen lingkungan lintas batas negara
Pemerintah lokal Yunan memiliki banyak kesempatan kerjasama dengan negara-negara
tetangga berdasarkan pada kesamaan budaya, sejarah, dan ekonomi, serta ekosistem. Isu-isu
utama yang mendukung perlunya manajemen lingkungan transboundary:
• Perdagangan ilegal produk hutan
• Kebakaran hutan
• Hama dan penyakit
• Perdagangan ilegal lainnya (seperti penyelundupan, obat-obatan terlarang, sampah, dll)
• Kurangnya informasi/data (seperti inventarisasi tentang jumlah hewan yang di lindungi)
• Migrasi penduduk ilegal
• Marginalisasi sosial dan kemiskinan
2. Kapasitas pemerintah lokal untuk manajemen lingkungan lintas batas
Pengembangan kapasitas institusi lokal akan meyakinkan pemerintah pusat untuk
memperkuat pemerintah lokal melalui desentralisasi. Pemerintah pusat mengkhawatirkan
masalah yang akan masuk dan mengancam ketahanan Cina jika melonggarkan kontrol
terhadap perbatasan.
3. Batasan institusional untuk manajemen lingkungan lintas batas
Bagi pemerintah lokal, isu-isu transboundary merupakan isu-isu diplomatik yang harus
dipecahkan oleh pemerintah pusat. Sementara bagi pemerintah pusat, hal ini merupakan isu-
isu lokal. Pada satu sisi, Yunnan ingin memperoleh wewenang lebih besar dari pemerintah
pusat. Pada sisi lain, Yunnan ingin mendapatkan pengakuan sebagai partner yang sejajar
bagi negara-negara tetangga.
4. Kerjasama multi-sektor dalam perdagangan lintas batas
Saat ini pemerintah tidak memiliki wewenang di pelabuhan-pelabuhan untuk menghentikan
masuknya hewan dan tumbuhan yang dilindungi. Sementara Industry and Commerce
Administration Bureau (ICA) yang berwenang dalam manajemen marketing lintas

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 38 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

perbatasan tidak peduli terhadap perlindungan satwa liar. Hal ini sebagian disebabkan karena
tugas mereka untuk memelihara praktek-praktek bisnis dengan baik.
5. Partisipasi lokal dan publik pada manajemen lingkungan lintas batas
Terdapat banyak potensi untuk kolaborasi lokal pada penanganan masalah lingkungan.
Perlunya institusi lokal dilibatkan dalam proses yang menghasilkan potensi dan pendekatan
untuk meningkatkan pertukaran dan kerjasama diantara para peneliti dan desicion-makers.

4.5 Pengelolaan bersama SDA Sungai Mekong

Salah satu yang penting dalam pengelolaan wilayah perbatasan adalah menciptakan suasana politik
kerjasama antar negara untuk menangani wilayah perbatasan. Lingkungan tidak mempunyai batas
negara. Pengelolaan wilayah yang buruk di negara tetangga akan berakibat secara langsung ataupun
tidak langsung kepada wilayah perbatasan. Demikian pula pengelolaan wilayah ekosistem yang
melintasi beberapa negara perlu mendapatkan perhatian agar gangguan lingkungan di negara lain
tidak memberikan dampak kepada negara lain. Kalaupun terjadi dampak, kerjasama antar negara
dalam menangani dampak tersebut telah diantisipasi dengan perencanaan pengelolaan yang matang.
Kerjasama untuk mengelola salah satu daerah aliran sungai yang melintasi beberapa negara adalah
salah satu bentuk pengembangan wilayah perbatasan yang menarik untuk disimak. Kerjasama
pengelolaan DAS Sungai Mekong di Semenanjung Asia Tenggara merupakan kerjasama tiga negara
yang dimotori oleh beberapa badan dunia. 24 Kerjasama ini membentuk suatu badan independen yang
memberikan prioritas kepada perkembangan dan manajemen batas air SungaiMekong, meliputi:
struktur institusional, analisis isu-isu sosial dan lingkunganungan dalam perencanaan, sistem
informasi untuk mendukung pengambilan keputusan, evaluasi dan pemantauan, pengaruh
perdagangan pada lingkungan.
Dalam hal ini, terdapat beberapa kasus kerjasama lingkungan lintas batas dan isu-isu dalam konteks
pengembangan institusi lokal yang diklasifikasikan dalam beberapa tipe umum: perjanjian formal
tentang isu-isu spesifik dimana pemerintah propinsi suportif terhadap insiatif pemerintah lokal;
partisipasi pemerintah lokal dalam proyek bersama; pertukaran level lokal di dalam proyek; isu-isu
perdagangan dan sektor privat.
Kepemimpinan lembaga independen ini diatur secara bergilir oleh negara-negara dalam perjanjian
kerjasama.

4.6 Pengembangan Wilayah Kambodia dan Vietnam

Suasana politik perdamaian telah mengubah paradigma perekonomian lintas batas negara-negara di
Semenanjung Asia dari pendekatan keamanan dan pertahanan kepada kerjasama ekonomi antar
negara yang produktif dalam menggalang kekuatan regional untuk menarik penanaman modal di
negara-negara di wilayah ini. Beberapa laporan badan dana dunia terutama Jetro dari Jepang
meperlihatkan betapa menariknya progres perdamaian di wilayah ini bagi investor-investor

24
Informasi tentang keberadaan lembaga independen ini didapatkan oleh Indra B. Syamwil melalui Hatfield Consultant
International dari Kanada, sebagai konsultan dalam penyusunan Strategi Pengembangan Kerjasama DAS Sungai
Mekong dalam kapasitas Indra B. Syamwil sebagai konsultan ADB TA 3523 Capacity Building in Decentralized Natural
Resources Management untuk Departemen Dalam Negeri di tahun 2004.

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 39 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

mancanegara terutama Jepang. Investasi baru Jepang memperlihatkan kegairahan yang luar biasa
untuk memanfaatkan negara-negara di wilayah ini sebagai platform produksi industri mereka.
Perhatian dunia ke wilayah ini memberikan momentum baru bagi pemerintahan negara di wilayah ini
untuk menggalang kerjasama bi-lateral maupun multi-lateral untuk membuka peluang yang seluas-
luasnya bagi investor mancanegara ke negara mereka. Beberapa jalur jalan raya lintas negara
dibangun bagi perluasan distribusi ‘production platform’ di antara negara-negara di wilayah ini yang
pada umumnya mempunyai luas wilayah yang kecil-kecil. Saling pengertian diantara negara-negara
Semenanjung Asia ini telah mewujudkan buah kepranataan dan kelembagaan kerjasama yang erat
yang bahkan membuahkan pengembangan ‘growth center’ lintas batas salah satunya yang telah
diwujudkan adalah pusat pertumbuhan di perbatasan Cambodia dan Vietnam.
Pusat pertumbuhan ini kelak menjadi semacam ‘free trade zone’ sebagai moda transit keimigrasian
dari pekerja maupun barang produksi dari wilayah hinterland Cambodia ke wilayah-wilayah
pelabuhan pengumpul dan gerbang perdagangan lintas samudera di wilayah batas laut Vietnam. Pusat
pertumbuhan ini disamping berfungsi sebagai ‘transit check-point’ keimigrasian, juga berfungsi
komersial agar dapat menghidupi diri sendiri dengan pengembangan beberapa sarana resort hotel dan
hunian serta arena rekreasi dan perbelanjaan di wilayah penggiran Sungai Mekong.
Bentuk manajemen pembangunannya dikembangkan dengan pola kerjasama ‘Joint Border
Establishment’ dimana kepentingan kedua negara di wakili oleh perusahan joint venture sebagai
perwujudan dari nota kesepakatan antar negara. Dana awal pembangunan sarana dan prasarana
kompleks transit ini diperoleh dari dana bantuan ODA pemerintah Jepang. 25

25
Informasi keberadaan pusat transit ini bersumber dari diskusi Indra B. Syamwil dengan Mr. Isamu Gunji, General
Manager Transport Planning Department, Resources Development and Management Division, Pacific Consultant
International yang merencanakan sarana dan prasarana kompleks perbatasan Cambodia – Vietnam, 2005

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 40 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

Bab V Kendala Pembangunan


di Wilayah Perbatasan

5.1 Fenomena wilayah perbatasan di Indonesia

Sebagian besar wilayah perbatasan darat (kontinen) di Indonesia masih merupakan wilayah yang
terisolasi dari pertumbuhan dan jangkauan keterkaitan perekonomian, kecuali beberapa titik yang
merupakan jalur hubungan komunikasi masyarakat perbatasan yang secara tradisional dan kultural
sudah terbina sejak lama.

Tabel 1 Wilayah Perbatasan Darat (Kontinen) Indonesia

Propinsi/Kabupaten Panjang Penduduk GRDP (Ribu Rupiah) HDI


Batas (Median
Kabupaten) Dengan Minyak Tanpa Minyak dan
dan Gas Gas

Papua 760 km 2.220.934 4,180 4,048 60,1


1. Kota Jayapura 91.233 1,851 1,851 65,0
2. Kabupaten Keerom 38.670 NA* NA* NA*
3. Kabupaten Pegunungan Bintang 81.783 NA* NA* NA*
4. Kabupaten Boven Digul 39.281 NA* NA* NA*
5. Kabupaten Merauke 170.281 1,391 1,391 58,1

Nusa Tenggara Timur 3.952.279 756 756 60,3


1. Kabupaten Belu 277.484 665 665 58,3

2. Kabupaten Kupang 332.419 52,5 63,1 56,9


3. Kabupaten Timor Timur Utara 193.713 660 660 59,5

Kalimantan Barat 4.034.198 1,975 1,975 62,9


1. Kabupaten Sambas 30.083 1,420 1,420 59,3
2. Kabupaten Bengkayang 26.435 1,577 1,577 63,1
3. Kabupaten Sanggau 21.498 1,623 1,623 62,2
4. Kabupaten Sintang 43.277 1,007 1,007 61,6
5. Kabupaten Kapuas Hulu 32.427 1,621 1,621 62,7

Kalimantan Timur 2.455.120 9,242 4,955 69,9


1. Kabupaten Nunukan 28.432 2,005 1,739 67,8
2. Kabupaten Malinau 11.871 4,587 4,587 63,6
3. Kabupaten Kutai Barat 7.808 4,759 4,759 67,8
NA* = Not Available

* Sumber: The Economics of Democracy, Financing Human Development in Indonesia, Human Development Report, 2004,
Bappenas - UNDP

Wilayah perbatasan laut (maritim) lebih terbuka jika dibandingkan dengan wilayah darat, terutama
wilayah Selat Malaka yang mempunyai sejarah komunikasi hubungan politik, perekonmian bahkan

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 41 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

pertalian darah yang sangat erat antara Malaysia dan Indonesia. Disamping adanya perjanjian
kerjasama regional Sijori antara Indonsia, Singapura dan Malaysia, perdagangan di antara kota-kota
seperti Medan, Tanjung Balai, di tepian Timur Sumatera dan Aceh dengan kota-kota di Malaysia,
seperti Melaka, Penang telah belangsung lama.
Sungguhpun demikian banyak wilayah perbatasan laut dan pulau terpencil yang berada garis terluar
perbatasan negara yang masih belum terjangkau oleh hubungan komunikasi perekonomian maupun
dengan pusat-pusat pertumbuhan di daratan. Bahkan ada diantara pulau-pulau terluar garis batas antar
negara yang masih belum jelas batasnya sehingga rawan terhadap konflik antar negara. Jumlah pulau
terluar yang mendapat perhatian pemerintah untuk ditangani dengan segera adalah seperti yang
tercancum dalam Tabel berikut.

Tabel 2 Pulau terluar Wilayah Perbatasan Laut (Maritim) Indonesia

Propinsi/Kabupaten/Kota Pulau Terluar Penduduk GRDP (Ribu Rupiah) HDI


(Median Dengan Minyak Tanpa Minyak
Kabupaten) dan Gas dan Gas

NAD 3,930,905 3,051 1,876 66,0


1. Sabang P. Rondo 27,177 2,434 2,434 69,5

Sumatera Utara 11,649,655 2,357 2,342 68,8


1. Serdang Bedagai P. Berhala 549,091 4.67 4.67 68,4

Riau 4,957,627 2,050 2,668 69,1


1. Batam P. Nipah 98.977 6,451 6,451 73,2
2. Natuna P. Sekatung, Kepulauan 1,374 1,374 64,7
Anambas

Kalimantan Timur 2.455.120 9,242 4,955 69,9


1. Nunukan P. Sebatik 28.432 2,205 1,739 67,8

Sulawesi Utara 2,012,098 1,695 1,695 71,3


1. Sangihe P. Marore 194581 1,177 1,177 70,1

2. Talaud P. Miangas, P. Marampit 194581 1,177 1,177 70,1

3. Maluku Tenggara Barat P. Asubutun NA* NA* 63,1

Papua 2.220.934 4180 4,048 60,1


1. Raja Ampat P. Fani 35.515 NA* NA* NA*
2. Biak Numfor P. Fanildo, P. Bras 119.723 2,257 2.257 64,8

Nusa Tenggara NA* NA* NA* NA*


1. Nusa Tenggara Timur P. Wetar 3.952.279 756 756 60,3
2. Kupang P. Batek, P. Rote 332.419 1,565 1,565 56,9
NA* = Not Available

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 42 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

Tabel 3 GRDP dan HDI Wilayah Inti di Indonesia

Propinsi/Kabupaten/Kota Penduduk (Median) GRDP (Ribu Rupiah) HDI


Dengan Minyak Tanpa Minyak dan
dan Gas Gas

1. Sumatera Utara 11.649.655 2,357 2,342 68,8


2. Riau 4.957.627 2,668 2,050 69,1
3. Batam 98.977 6,451 6,451 73,2
4. Jakarta 7.490.312 7,705 7,705 75,6
5. Surabaya 3.500.000 4,594 4,594 72,0
6 Kalimantan Barat 4.034.198 1,975 1,975 62,9
7. Kalimantan Timur 2.455.120 9,242 4,955 69,9
8. Papua 2.220.934 4180 4,048 60,1
9. Nusa Tenggara Timur 3.952.279 756 756 60,3

Terlihat dari segi HDI perbedaan tidak menyolok antara propinsi dan kota di wilayah inti dan di
wilayah periferi. Hal ini menunjukkan semakin maju suatu daerah di negara berkembang,
kesenjangan akan melebar. Di wilayah tertenti HDI propinsi sangat ditentukan oleh kabupaten
perbatasan seperti di Sumatera Utara, sungguhpun tingkat perekonomian maju. Adakalanya wilayah
perbatasan menunjukkan tingkat HDI yang lebih tinggi dari propinsi induk, seperti Batam.
Beberapa wilayah perbatasan di Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Beberapa
contoh wilayah memberikan keunikan dan potensi tersendiri untuk kondisi pengembangan wilayah
perbatasan dan potensi-potensi yang bisa dikembangkan.

1. Papua

Penetapan wilayah perbatasan antara Indonesia dan Papua dilakukan melalui perjanjian antara
pemerintah Belanda dan Inggris tanggal 16 Maret 1895 yang dijadikan acuan pada saat penyerahan
Irian Barat dari Belanda kepada Indonesia. Kondisi pengembangan wilayah disepanjang perbatasan
Papua masih bernuansa pendekatan pengamanan dan kondisi pintu perlintasan perbatasan di wilayah
Papua masih jauh dari memadai. Jalur-jalur perlintasan tradisional belum dapat seluruhnya dijangkau
oleh pengamanan perbatasan dan dijadikan perlintasan oleh gerakan separatis. Satu-satunya titik yang
tumbuh atas dasar perekonomian tradisional berada pada titik pintu di Jayapura.

2. Nusa Tenggara Timur

Pengembangan wilayah perbatasan di wilayah Timor Barat di laksanakan oleh Propinsi Nusa
Tenggara Timur, masih menyisakan pendekatan pengamanan perbatasan sebagai upaya penyelesaian
lepasnya Timor Timur (sekarang Timor Lorosae) dari wilayah Indonesia. Hubungan kultural dan
perekonomian diantara wilayah-wilayah Indonesia dan Timor Timur sudah berlangsung lama,
sehingga program pembinaan perbatasan yang dimulai tahun 2001 bersifat penetapan tapal batas
melalui pemetaan tahap awal serta pembangunan sarana pengamanan dan pemeriksaan imigrasi jalur
komunikasi lintas batas yang selama ini sudah terbentuk 26, serta pembangunan sarana pasar
perbatasan (Foenay, dalam Sofi, 2003).
26
Pos Imigrasi dibangun di 6 (enam) titik pintu masuk: Oepoli, Napan, Wini, Montaain, Turiskain, Matemauk, di tiga titik
diantaranya dibangun Pos Keamanan Terpadu, yaitu di Montaain, Turiskain dan Matemauk

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 43 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

Pembangunan sarana pasar perbatasan ini merupakan suatu yang unik di wilayah perbatasan Timor
Lorosae ini. Pemberlakuan dollar sebagai mata uang di Timor Lorosae selama pengawasan UNTAET
mengakibatkan komoditas pertanian dan kebutuhan hidup asal Indonesia menjadi sangat murah dan
diperoleh melalui jalur-jalur komunikasi perdesaan, sehingga terbentuk pasar mingguan komoditas
tersebut di wilayah perbatasan. Keberadaan pasar perbatasan ini sangat menguntungkan bagi
pedagang komoditas tradisional dari wilayah Indonesia sekaligus meringankan biaya hidup
masyarakat Timor Lorosae yang selama dalam wilayah NKRI telah terbiasa dengan komoditas ini.
Bahkan secara informal telah terjalin hubungan kerjasama antara konsultan dan pengusaha Indonesia
serta Kadin Timor Kupang dalam penyediaan jasa konstruksi pembangunan infrastruktur di Timor
Lorosae. 27
Secara umum dapat disimpulkan bahwa pada tahap awal pembangunan kawasan perbatasan NTT,
pemerintah lebih mengutamakan konsep pertahanan. Sungguhpun demikian hubungan yang selama
ini telah terjalin secara informal diantara penduduk di wilayah perbatasan terlihat tidak terganggu
oleh situasi politk dan keamanan di antara kedua negara.
Hubungan yang cukup bersahabat yang ditunjukkan oleh Presiden Timor Lorosae memberikan
peluang terbangunnya kerjasama regional, terutama mengingat potensi cadangan minyak di Timor
Gap yang sedang dikembangkan akan memberikan dorongan pertumbuhan di wilayah NTT bagian
selatan ini. Beberapa visi dan strategi pengembangan wilayah jangka panjang sedang dipersiapkan
pemerintah Indonesia untuk pengembangan perbatasan NTT ini sebagai berikut:
• Terbangunnya kesamaan pandang tentang pentingnya menjadikan Kupang sebagai gerbang
pintu ekspor di selatan Indonesia menuju Timor Leste, Australia, dan wilayah Pasifik
• Mendukung kemungkinan kerjasama bilateral antara Pemda NTT dengan Negara Timor
Leste dalam bidang ekonomi/perdagangan, keamanan, sosial budaya, pemuda dan olahraga
• Kerjasama penataan perbatasan secara jelas khususnya wilayah Ambenu yang posisinya
dikelilingi oleh wilayah Indonesia
• Untuk menghindari sengketa wilayah darat, laut dan udara maka perlu penetapan tapal batas
antarnegara; perencanaan pemanfaatan sumber daya air yang berada pada satu Daerah Aliran
Sungai (DAS).
• Kerja sama bidang ekonomi. Untuk membuka peluang ekonomi, maka perlu ditetapkan
pintu masuk impor dan ekspor dari wilayah Timor Barat ke Timor Leste melalui Kupang
sebagai wilayah pertumbuhan di Selatan Indonesia.
• Kerja sama bidang pendidikan dan sosial.
• Kerja sama bidang Imigrasi, Beacukai dan Karantina meliputi kegiatan : penyusunan
perjanjian kerja sama tentang lintas manusia, barang dan karantina.

5.2 Pembangunan Growth Triangle

1. Batam dan Sijori Growth Triangle

Pengembangan Pulau Batam mempunyai keunikan tersendiri di Indonesia. Keuntungan lokasi Pulau
Batam terhadap Singapura sebagai salah satu gerbang pertumbuhan dan pusat perdagangan

27
Hasil pengamatan Indra B. Syamwil di Dili, selama bertugas merintis bantuan teknis kepada Ministry of Public Works
Pemerintah dan UNTAET di Timor Lorosae, tahun 2002

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 44 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

internasional di Asia Pasifik memberikan peluang untuk pengembangan kerjasama sub-regional


dengan Singapura dan Johor yang dikemas dalam ‘Sijori Growth Triangle’. Bentuk kerjasama ini
diwujudkan dalam ‘joint venture’ agreement untuk memungkinkan penanaman modal Singapura.
Beberapa literatur menunjukkan pengembangan Batam dimungkinkan dengan adanya kesepakatan
elit politik di pusat kedua negara Singapura dan Indonesia serta korporat besar di Singapura dan
Indonesia untuk membentuk Badan Otorita Pembangunan Industri Pulau Batam, melalui Keppres No
42 Tahun 1973 sebagai landasan formal pemerintah Indonesia. 28 Adanya penanaman modal
Singapura mengakibatkan banyak perusahaan yang berlokasi di Singapura, terutama perusahaan
Jepang membangun pabriknya di Batam, terutama dengan memanfaatkan peluang pekerja yang
relatif murah dan biaya produksi yang lebih rendah dari di Singapura.
Kesepakatan yang demikian tidak didapatkan oleh Johor dari elit politik pusat di Kuala Lumpur,
sehingga pertumbuhan investasi Singapura kurang mendapatkan tempat di Johor. Dikatakan restu
Kuala Lumpur tidak diberikan kepada Johor karena kekhawatiran elit politik kerajaan Malaysia akan
ketergantungan dan kedekatan Johor dengan Singapura dalam kaitan pusat yang lemah dalam negara
federasi. Sehingga pertumbuhan penanaman modal Singapura di Johor Selatan tidak sepesat di
Batam. 29
Fungsi yang dikembangkan di Batam berbentuk ‘free trade zone’ yang meliputi antara lain:
1. Industri, terutama yang bertujuan ekspor
2. Kegiatan alih kapal (Transhipment Point) dalam arti luas
3. Basis logistik, untuk keperluan pemerintah maupun swasta
4. Pembinaan pusat distribusi dengan tujuan domestik dan internasional
5. Industri pertanian/perikanan dan kepariwisataan.

Secara tidak langsung kegiatan industri, transhipment dan pariwisata di Pulau Batam dan Bintan telah
memberikan efek multipliernya ke wilayah Riau kepulauan dan daratan serta hubungan langsung
dengan negara ekspor bagi industri yang ada di Jawa dengan melakukan asembling di Pulau batam
sebelum di ekspor. Kebijakan pintu gerbang perbatasan dengan ‘free trade zone/FTZ’ ini
memberikan nuansa baru bagi pengembangan perbatasan di Indonesia dan di negara berkembang
dengan banyak nya negara berkembang seperti Bangladesh (Bangladesh EPZ), Filipina (Davao,
Cebu) mulai mengembangkan hal yang sama dengan konsep ‘export processing zone’.
Di Indonesia gaung konsep pengembangan platform produksi industri ekspor ini telah menimbulkan
inisiatif baru di beberapa kawasan industri membuat permohonan pembentukan ‘ekspor processing
zone/EPZ’ dan salah satu yang terwujud adalah Kawasan Berikat Nusantara. Bandung sebagai
wilayah industri tekstil di pedalaman pun mengajukan permohonan pembentukan ‘export processing
zone’ bagi konsep ‘dry port’ yang dikembangkan di Gedebage di Selatan Bandung. 30

28
Parsonage mengungkapkan bahwa kerjasama yang terbentuk antara 2 perusahaan besar Singapura, Singapore
Technologies Industrial Corporation, Jurong Environmental Engineering dan konglomerat Indonesia, Salim Grup, sebagai
pemodal utama dan pemegang saham di Badan Otorita Pengembangan Pulau Batam.
29
James Parsonage, 1992
30
Indra B. Syamwil, Feasibility Study for Export Processing Zone in MM 2100 Industrial Estate, tulisan disiapkan sebagai
bahan diskusi manajemen MM 2100 dengan Menteri Perindustrian, 1990

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 45 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

Gambar 1 Indoensian Regional Growth Triangle

Sumber: Indra B. Syamwil, 2001

2. Indonesia Malaysia Thailand Growth Triangle

Kerjasama Ekonomi Sub-Regional IMT-GT adalah suatu kerjasama ekonomi sub-regional yang
meliputi negara Thailand - Malaysia dan Indonesia secara umum telah menyepakati bidang-bidang
kerjasama yang meliputi kegiatan produksi seperti Pariwisata, Industri, Perdagangan, Perkebunan,
dan Perikanan serta kegiatan pendukung seperti: Investasi, Jasa Keuangan, Telekomunikasi, Energi
dan Transportasi. Wilayah yang tercakup dalam kerjasama adalah:
1. Indonesia: Daerah Istimewa Aceh, Sumatera Utara, Riau dan Sumatera Barat;
2. Malaysia: Kedah, Perak, Pulau Penang dan Perlis
3. Thailand: Satun, Sangkhla, Yala, Narathiwat dan Pathani
Untuk mengembangkan kegiatan tersebut, telah dilakukan dukungan-dukungan yang bersifat fiskal
dan non-fiskal. Untuk dukungan yang bersifat non fiskal telah ditetapkan beberapa kebijaksanaan
antara lain menyangkut:
• Perdagangan lintas batas;
• Izin penerbangan limited open skies policy;
• Dukungan prasarana dan sarana seperti pelabuhan laut, bandar udara, jalan
• Pelayanan imigrasi bebas visa kunjungan singkat
• Pelayanan wisatawan yang membawa kendaraan sendiri
• Deregulasi sektor pertanian
• Penurunan tarif telepon

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 46 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

Beberapa pelabuhan udara digunakan untuk kegiatan penerbangan international dalam perjanjian
kerjasama ini, meliputi Bandara Sultan Iskandar Muda (Banda Aceh), Bandara Simpang Tiga, Pakan
Baru (Riau), Bandara Polonia, Medan (Sumatera Utara), Bandara Tabing, Padang (Sumatera Barat).
Demikian pula beberapa pelabuhan laut yang telah ditetapkan dapat digunakan untuk perdagangan
luar negeri.
Sampai dengan saat ini telah disepakati 47 Nota Kesepakatan (MOU), dan yang telah terealisasi beru
14 MOU dalam bentuk proyek-proyek. Dalam pertemuan pertama IMT-GT membicarakan
pengembangan hinterland serta Intra Trade Meeting yang diadakan di Jambi, 24-25 Oktober 2002
telah diidentifikasi bidang kerjasama dibidang peternakan meliputi: intra-trade, penanaman modal,
teknologi processing, marketing, dan promosi value-added serta transportasi dan distribusi hasil-hasil
peternakan. Dan pada pertemuan 18-21 Pebruari 2004 kerjasama tersebut di atas difokuskan pada
komoditi peternakan meliputi: sapi dan kerbau, babi, ternak unggas, kambing dan domba.
Masing-masing negara anggota membuat kesepakatan aktifitas yang ingin dilakukan dalam
mendukung kerjasama ini. Malaysia setuju bekerjasama dalam penyediaan keahlian teknik serta
pengembangan integrasi ternak (sapi dan kambing) di perkebunan kelapa sawit serta pemasaran
ternak kambing/domba hidup atau produk peternakannya. Malaysian Technical Cooperation
Programme (MTCP) memberikan prioritas pelatihan untuk Sumatera dan Thailand Selatan dalam
teknologi baru sistem peternakan kambing. Thailand menawarkan kerjasama di bidang: supply kulit
yang diawetkan, kulit babi beku untuk kerupuk, penanaman jagung, bantuan teknik untuk food safety
(SPS, HACCP) dan Traceability System, teknologi penyamakan kulit, sistem peringatan dini (early
warning system/EWS) wabah penyakit atau impor yang mengandung residu. Indonesia menawarkan
kerjasama di bidang: teknik penyamakan kulit dari Thailand, kesempatan joint venture di bidang
peternakan sapi dan kambing/domba, ekspor kerupuk kulit, day old chicks(DOC) dan telur;
penanaman modal untuk pengembangan industri babi di Propinsi Riau dan Sumatera Utara.
Kerjasama baru di bidang peternakan yang disetujui oleh negara anggota IMT-GT meliputi:
kerjasama training pada bidang product supply chains, quality assurance dan prosedure quarantine;
pengendalian penyakit dan SPS untuk perdagangan masa depan; pertukaran informasi mengenai
penyakit dan system peringatan dini, khususnya untuk penyakit exotic pada negara-negara ASEAN
dan system keamanan pangan mulai dari farm sampai ke konsumen.
Demikian pula ‘business matching’ dilakukan antar negara. Indonesia bersedia mensuplai 500 ekor
kambing per bulan untuk pasar dalam negeri Malaysia dan pengusaha swasta dari Sumatera Utara
siap untuk memasarkan obat-obatan untuk kambing. Malaysia dan Indonesia sepakat untuk
membentuk Dewan Pemasaran kambing dan domba. Pengusaha Malaysia menawarkan kerjasama
pengembangan kelapa sawit diintegrasikan dengan sapi di Sumatera dan asosiasi pengusaha Malaysia
(FKPSBIF) akan membeli sapi yang akan digemukkan di Indonesia dan dipasarkan di Malaysia.
Malaysia membutuhkan 200 ekor sapi per bulan, umur 2-3 tahun dengan berat 370-450 kg.
Sub ITG Meeting on Livestock Development berikutnya akan diadakan di Thailand tahun 2005
(sehari atau dua hari sebelum ITG Meeting of Development of Hinterland and Intra Trade).

3. BIMP – EAGA

Hubungan kerjasama antara Indonesia dengan negara-negara yang tergabung dalam kerangka BIMP-
EAGA (Brunei Darusalam, Indonesia, Malaysia, Philipina atau East ASEAN Growth Area), selama
tahun 2001 diprioritaskan pada bidang-bidang: perdagangan, perhubungan laut, energi, dan masalah
ketenagakerjaan.

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 47 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

Salah satu hubungan kerjasama antara Indonesia dengan negara-negara tetangganya adalah hubungan
kerjasama yang tergabung dalam kerangka BIMP-EAGA (Brunei Darusalam Indonesia Malaysia
Philipina, East Asean Growth Area). Kerjasama dalam BIMP-EAGA ini diikuti oleh empat negara:
Brunei Darusalam; Indonesia meliputi propinsi Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Kalimantan
Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan, Sulawesi
Tenggara, Maluku dan Irian Jaya; Malaysia mengikutsertakan Sabah, Sarawak dan Labuan;
sedangkan Philipina melibatkan Mindanao, Palawan
Sektor kerjasama yang menjadi prioritas BIMP-EAGA adalah perdagangaan, perhubungan udara dan
laut, pariwisata, energi, kehutanan, pengembangan sumber daya manusia dan masalah
ketenagakerjaan. Namun demikian sejauh ini kerjasama ekonomi dalam rangka BIMP-EAGA
tersebut belum dapat diwujudkan dengan baik.
Pada sektor perekonomian, antara Indonesia dengan Sabah dan Serawak sampai saat ini masih
minim. Dalam tahun 2000 ini hanya berjumlah RM 531,247.000 nilai ekspor Sabah ke Indonesia
sepanjang periode tersebut berjumlah RM 328,819.000 sedangkan impornya dari Indonesia
berjumlah RM 202,428.000 hubungan perdagangan Sabah – Sabah mengalami surplus perdagangan
dengan Indonesia sepanjang periode tersebut sebesar RM 26,391.000
Volume perdagangan antara Sarawak dengan Indonesia juga masih sangat kecil. Sepanjang tahun
2000 nilai impor utama Sarawak dari Indonesia berjumlah sekitar RM 2,000.000. Komoditi impor
utama Sarawak dari Indonesia berupa barang-barang produksi pabrik dan mesin-mesin serta alat-alat
perlengkapan transportasi. Indonesia mengalami surplus perdagangan dengan Serawak.
Dalam bidang penanaman modal antara Indonesia-Sabah dan Sarawak, usaha untuk menarik investor
di wilayah akreditasi belum dapat dilaksanakan secara efektif oleh KJRI-KK mengingat adanya
berbagai kendala yang dihadapi dalam pelaksanaannya, hal ini dikarenakan masih kurangnya data
dan bahan-bahan informasi yang tersedia, khususnya yang menyangkut peraturan dan prosedur
terbaru mengenai penanaman modal serta tata cara niaga (ekspor/impor) di Indonesia, sehingga untuk
memberikan informasi dan penjelasan yang akurat pihak KJRI sering menghadapi kesulitan.
Dalam rangka ‘The 3rd BIMP-EAGA Exhibition & Road show 2001’ di Kota Kinabalu, Sabah pada
tanggal 5-7 Oktober 2001, dari Indonesia telah ikut berpartisipasi delegasi Pemerintah Daerah dan
KADIN Kalimantan Barat. Dalam pertemuan dengan Deputi Ketua Menteri II/Menteri Pembangunan
Perindustrian Sabah dengan pihak Kadin Kalimantan Barat, dicapai kesepakatan dalam hal menjalin
kerjasama untuk memajukan perekonomian dengan menggalakkan sektor perindustrian dan
perdagangan, kelautan da perikanan, peternakan, pertambangan serta pertanian tanaman pangan.

5.3 Pengembangan kerjasama etnis (Suku Melayu, Borneo Conference)

Suatu perkembangan baru selain pengembangan peluang kerjasama perekonomian di wilayah


perbatasan adalah kerjasama budaya yang bersifat kesamaan etnis. Beberapa kerjasama kultural lintas
batas negara yang dapat disimak sebagai bahan studi adalah kerjasama Rumpun Melayu diantara
wilayah Pulau Sumatera, Kalimantan dan sebagian Sulawesi dengan Malaysia, Brunei Darussalam
dan Selatan Thailand; wacana berupa forum konferensi Borneo lintas batas negara yang melibatkan
etnis suku Dayak Indonesia dan Malaysia; serta suku Papua dengan PNG.
Kerjasama Rumpun Melayu bersifat pengembangan budaya etnis Melayu untuk pelestarian bahasa
dan kesenian Melayu. Persebaran kelompok-kelompok etnis suku Melayu dari Sumatera dan
Semenanjung Malaya serta ke pulau-pulau lain di Indonesia terbentuk oleh perdagangan lewat laut

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 48 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

berabad yang silam telah menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa perdagangan (komunikasi
internasional di zaman itu) di Selat Malaka sampai ke Selat Makasar dan Indonesia Timur.
Kerjasama ini secara tidak langsung memberikan nuansa yang dialogis yang baik bagi tumbuhnya
kerjasama-kerjasama lain terlihat dari investasi pengusaha-pengusaha Malaysia di Timur Sumatera
sampai ke Sumatera Barat yang melampaui batas-batas kerjasama sub-regional seperti Sijori Growth
Triangle.
Dalam wujud lain Borneo Conference, sungguhpun melibatkan etnis Dayak dan Papua, forum ini
lebih merupakan ajang wacana yang berkembang pada paras elit ilmiah untuk membicarakan
pelestarian hutan dan lingkungan (sustainable environment) yang melibatkan dua pulau besar di
dunia yaitu Kalimantan (Borneo) dan Papua. Dalam kaitannya dengan kelompok etnis di kedua pulau
tersebut adalah berkaitan dengan wacana tentang konsep hutan sebagai rumah bagi kedua etnis
dengan budaya yang masih belum tersentuh modernisasi dan sekaligus hutan juga sebagai rumah
dunia yang patut diperhatikan. Isu dalam wacana ini menyangkut tekanan pada abad terakhir ini yang
memberikan dampak bagi pelestarian hutan yang disebabkan eksploitasi dan perusakan dan pada
akhirnya menjadi ancaman bagi kehidupan dan budaya kedua etnis di kedua pulau besar ini.
Forum konferensi ini melakukan kajian-kajian pemahaman menyangkut adat istiadat setempat
berkenaan dengan kepemilikan dan penggunaan sumber alam dan daratan yang masih menjadi aset
negara yang berbeda, dan untuk menilai tingkat adat istiadat setempat mana yang masih membentuk
basis bagi komunitas dalam bentuk manajemen sumberdaya atau pembangunan yang sustainable.
Perhatian khusus diberikan dalam forum ini untuk menemukan cara dalam mengelola sumberdaya
alam, terutama sumber daya hutan di dalam tiga yurisdiksi nasional Malaysia, Indonesia dan Papua
New Guinea. Dalam kasus Kalimantan, wacana akan terjadi antara negara Malaysia yaitu Sarawak
dan Sabah dan provinsi Kalimantan Indonesia. Sedangkan dalam kasus Papua New Guinea, wacana
akan terjadi antara propinsi Indonesia Irian Jaya dan Papua New Guinea.
Forum juga membicarakan dan dimaksudkan untuk mengembangkan dialog antar ahli dan praktisi
yang berpengalaman dan pengetahuannya dibatasi dalam konteks sumberdaya, fungsi masa jabatan
dalam kebijakan rejim yang spesifik dihubungkan dengan salah satu tiga yurisdiksi nasional ini.
Forum juga memberikan kemudahan bagi pertukaran gagasan tentang peran adat istiadat setempat
dan masyarakat lokal dalam manajemen sumber daya hutan di bawah rejim politis yang sah dengan
undang-undang berbeda.

5.4 Isu Wilayah Perbatasan Tertinggal

Pengalaman pemerintah dalam mengelola wilayah perbatasan sangat tergantung kepada situasi dan
potensi wilayah. Keterbatasan dana, perhatian kepada pertumbuhan nasional sebagai tolok ukur dan
koordinasi vertikal dan horizontal memberikan dampak penanganan sporadis dan tanggung (piece-
meal) yang tidak menyeluruh dalam setiap langkah pengelolaan wilayah perbatasan. Penanganan
wilayah batas seringkali ditangani melalui diplomasi dan koordinasi di tingkat pusat, pemerintah
daerah kurang dilibatkan. Kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan antar negara jarang
mendapat perhatian, bahkan seringkali masyarakat di wilayah perbataskan seirngkali diuntungkan
dari hubungan mereka dengan masyarakat di negara tetangga.
Kenyataan di lapangan ditemukan banyak kebijakan yang tidak saling mendukung dan/atau kurang
sinkron satu sama lain. Dalam hal ini, masalah koordinasi yang kurang mantap dan terpadu menjadi
sangat perlu untuk ditelaah lebih lanjut. Koordinasi dalam pengelolaan kawasan perbatasan,
sebagaimana hendaknya melibatkan banyak instansi (Departemen/LPND), baik instansi terkait di

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 49 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

tingkat pusat maupun antar instansi pusat dengan pemerintah daerah. Misalnya, belum
terkoordinasinya pengembangan kawasan perbatasan antar negara dengan kerjasama ekonomi sub
regional, seperti yang ditemui pada wilayah perbatasan antara Malaysia Timur dengan Kalimantan
dengan KK Sosek Malindo dan BIMP-EAGAnya, serta dengan rencana pengembangan Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sanggau di Kalimantan Barat dan KAPET SASAMBA
di Kalimantan Timur yang secara konseptual dan operasional perlu diarahkan dan dirancang untuk
menumbuhkan daya saing, kompabilitas dan komplementaritas dengan wilayah mitranya yang ada di
negara tetangga.
Selain isu koordinasi dalam pengembangan kawasan perbatasan, komitmen dan kebijakan
Pemerintah untuk memberikan prioritas yang lebih tinggi dalam pembangunan wilayah perbatasan
telah mengalami reorientasi yaitu dari orientasi keamanan (security approach) menjadi orientasi
kesejahteraan/pembangunan (prosperity/development approach). Dengan adanya reorientasi ini
diharapkan penanganan pembangunan kawasan perbatasan di Kalimantan dilakukan dengan
mempertimbangkan beberapa hal berikut:
• Pendekatan keamanan yang diterapkan Mabes TNI di dalam penanganan KK Sosek Malindo,
walaupun berbeda namun diharapkan dapat saling menunjang dengan pendekatan pembangunan.
• Penanganan KK Sosek Malindo selama ini ternyata tidak tercipta suatu keterkaitan (interface)
dengan program pengembangan kawasan dan kerjasama ekonomi regional seperti BIMP-EAGA,
yang sebenarnya sangat relevan untuk dikembangkan secara integrative dan komplementatif
dengan KK Sosek Malindo.
• Terkait dengan beberapa upaya yang telah disepakati di dalam pengembangan kawasan
perbatasan antar negara, khususnya di Kalimantan dengan KK Sosek Malindonya, diperlukan
pertimbangan terhadap upaya percepatan pengembangan kawasan perbatasan tersebut melalui
penanganan yang bersifat lintas sektor dan lintas pendanaan.
Isu pengembangan daerah perbatasan lainnya secara umum diilustrasikan sebagai berikut:
• Kaburnya garis perbatasan wilayah negara akibat rusaknya patok-patok di perbatasan
Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur menyebabkan sekitar 200 hektare hutan wilayah
Republik Indonesia berpindah masuk menjadi wilayah Malaysia (Media Indonesia, 21 Juni
2001). Ancaman hilangnya sebagian wilayah RI di perbatasan Kalimantan Barat dengan
Malaysia Timur akibat rusaknya patok batas negara setidaknya kini menjadi 21 patok yang
terdapat di Kecamatan Seluas, kabupaten Bengkayang, memerlukan perhatian. Selain di
Kabupaten Bengkayang, kerusakan patok-patok batas juga terjadi di wilayah Kabupaten Sintang
dan Kapuas Hulu, masing-masing berjumlah tiga dan lima patok (Media Indonesia, 23 Juni
2001).
• Pengelolaan sumber daya alam belum terkoordinasi antar pelaku sehingga memungkinkan
eksploitasi sumber daya alam yang kurang baik untuk pengembangan daerah dan masyarakat.
Misalnya, kasus illegal logging yang juga terkait dengan kerusakan patok-patok batas yang
dilakukan untuk meraih keuntungan dalam penjualan kayu. Depertemen Kehutanan pernah
menaksir setiap bulannya sekitar 80.000-100.000 m3 kayu ilegal dari Kalimantan Timur dan
sekitar 150.000 m3 kayu ilegal dari Kalimantan barat masuk ke Malaysia (Kompas, 20 Mei
2001).
• Kepastian hukum bagi suatu instansi dalam operasionalisasi pembangunan di wilayah
perbatasan sangat diperlukan agar peran dan fungsi instansi tersebut dapat lebih efektif.
Contohnya, Perum Perhutani yang ditugasi Pemerintah untuk mengelola HPH eks PT. Yamaker

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 50 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

di perbatasan Kalimantan-Malaysia baru didasari oleh SK Menhut No. 3766/KPTS-II/1999


tanggal 27 Mei 1999, namun tugas yang dipikul Perhutani meliputi menata kembali wilayah
• perbatasan dalam rangka pelestarian sumber daya alam, perlindungan dan pengamanan wilayah
perbatasan dan pengelolaan hutan dengan sistem tebang pilih. Tugas ini bersifat lintas sektoral
dan lintas wilayah sehingga diperlukan dasar hukum yang lebih tinggi.
• Pengelolaan kawasan lindung lintas negara belum terintegrasi dalam program kerja sama
bilateral antara kedua negara, misalnya keberadaan Taman Nasional Kayan Mentarang yang
terletak di Kabupaten Malinau dan Nunukan, di sebelah Utara Kalimantan Timur, sepanjang
perbatasan dengan Sabah Malaysia, seluas 1,35 juta hektare. Taman ini merupakan habitat lebih
dari 70 spesies mamalia, 315 spesies unggas dan ratusan spesies lainnya.
• Kawasan perbatasan mempunyai posisi strategis yang berdampak terhadap hankam dan politis
mengingat fungsinya sebagai outlet terdepan Indonesia, dimana terjadi banyak pelintas batas
baik dari dan ke Indonesia maupun Malaysia. Ancaman di bidang hankam dan politis ini perlu
diperhatikan mengingat kurangnya pos lintas batas legal yang disepakati oleh kedua belah pihak,
misalnya di Kalimantan Barat dengan Serawak/Sabah hanya ada 2 pos lintas batas legal dari 16
pos lintas batas yang ada.
• Kemiskinan akibat keterisolasian kawasan menjadi pemicu tingginya keinginan masyarakat
setempat menjadi pelintas batas ke Malaysia berlatar belakang untuk memperbaiki
perekonomian masyarakat mengingat tingkat perekonomian Malaysia lebih berkembang.
• Kesenjangan sarana dan prasarana wilayah antar kedua wilayah negara pemicu orientasi
perekonomian masyarakat, seperti di Kalimantan, akses keluar (ke Malaysia) lebih mudah
dibandingkan ke ibukota kecamatan/kabupaten di wilayah Kalimantan.
• Tidak tercipta keterkaitan antar kluster social ekonomi baik kluster penduduk setempat maupun
kluster binaan pengelolaan sumber daya alam di kawasan, baik keterkaitan ke dalam maupun
dengan kluster pertumbuhan di negara tetangga.
• Adanya masalah atau gangguan hubungan bilateral antar negara yang berbatasan akibat adanya
peristiwa-peristiwa baik yang terkait dengan aspek ke-amanan dan politis, maupun pelanggaran
dan eksploitasi sumber daya alam yang lintas batas negara, baik sumber daya alam darat
maupun laut.
Berdasarkan isu strategis dalam pengelolaan daerah perbatasan negara selama ini, dapat dikemukakan
beberapa permasalahan yang menonjol di daerah perbatasan sebagai berikut:
• Belum adanya kepastian secara lengkap garis batas laut maupun darat.
• Kondisi masyarakat di wilayah perbatasan masih tertinggal, baik sumber daya manusia,
ekonomi maupun komunitasnya.
• Beberapa pelanggaran hukum di wilayah perbatasan seperti penyelundupan kayu/illegal lodging,
tenaga kerja dan lain-lain.
• Pengelolahan perbatasan belum optimal, meliputi kelembagaan, kewenangan maupun program.
• Eksploitasi sumber daya alam secara ilegal, terutama hasil hutan dan kekayaan laut.
• Munculnya pos-pos lintas batas secara ilegal yang memperbesar terjadinya out migration,
“economic asset” secara ilegal.
• Mental dan professional aparat (stake holders di pusat dan daerah serta aparat keamanan di pos
perbatasan).

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 51 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

Bab VI Kasus Kalimantan Barat

6.1 Kondisi pembangunan di perbatasan Kalimantan Barat

1. Geografi

Secara keseluruhan panjang wilayah Kalimantan yang berbatasan langsung dengan Negara Bagian
Serawah (Malaysia) lebih kurang 1.200 km. Dari panjang garis perbatasan tersebut 70,58% berada di
Provinsi Kalimantan Barat atau sepanjang + 847.3 km dan melintasi 5 (lima) daerah kabupaten, yaitu
Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sintang dan Kabupaten
Kapuas Hulu, yang meliputi 14 daerah kecamatan, seluas 1.694 km2. 31

Tabel 4 Wilayah Administrasi Kawasan Perbatasan Kalimantan Barat – Sarawak Tahun


2000

NO KABUPATEN KECAMATAN JUMLAH DESA LUAS (HA) IBUKOTA


1. SAMBAS • Paloh 6 114,884.0 Liku
• Sajingan Besar 5 139,120.0 Sajingan

2. BENKAYANG • Jagoi Babang 5 121,830.0 Jagoi Babang


• Seluas 6 50,650.0 Seluas

3. SANGGAU • Sekayam 10 84,101.0 Balai Karangan


• Entekong 5 50,689.0 Entekong

4. SINTANG • Ketungau Hulu 9 213,820.0 Senaning


• Ketungau 13 218,240.0 Nanga Merakai
Tengah

5. KAPUAS HULU • Empanang 5 35,725.0 Nanga Kantuk


• Putussibau 8 412,200.0 Putussibau
• Badau 6 70,000.0 Nanga Badau
• Batang Lupar 7 133,290.0 Lanjak
• Embaloh Hulu 8 345,760.0 Benua Martinus
• Puring Kencana 5 44,855.0 Putussibau

JUMLAH 98 2,035,164.0

Sumber : Bappeda Provinsi Kalimantan Barat

Secara fisiografi wilayah perbatasan Kalimantan Barat – Sarawak terbagi ke dalam lima bagian, yaitu
: wilayah rawa pantai, wilayah dataran dan pegunungan barat, wilayah DAS Kapuas Hulu dan
wilayah pegunungan Kapuas Hulu. Dari kelima wilayah tersebut, sebagian besar wilayah perbatasan
termasuk ke dalam wilayah dataran dan pegunungan. Garis perbatasan Kalimantan Barat-Sarawak
sepanjang 847 km hampir seluruhnya dilintasi oleh daerah perbukitan dengan ketinggian 100-500 m
di atas permukaan laut. Ketinggian lahan tersebut semakin melandai ke arah selatan. Rata-rata
ketinggian lahan di daerah tersebut adalah sekitar 0-100 m. Selain wilayah dataran dan pegunungan,

31
Asumsi yang digunakan dalam mengukur garis perbatasan adalah kawasan perbatasan fungsional yang dihitung dari
garis perbatasan ke belakang sepanjang 20 km dan dikalikan dengan panjang perbatasan yang telah memiliki patok (+
847.3 km mulai dari Tanjung Dato di Kabupaten Sambas sampai dengan Kabupaten Kapuas Hulu). Sehingga luas
2
kawasan perbatasan meliputi 1.694 km atau 1.694.000 ha. Di sepanjang kawasan perbatasan ini baru sebagian yang
memiliki patok-patok batas, dan beberapa diantaranya telah mengalami kerusakan/hilang.

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 52 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

wilayah perbatasan ini juga memiliki beberapa sungai besar yang kemudian terbagi ke dalam lima
Daerah Aliran Sungai (DAS), yiatu: DAS Paloh, DAS Sambas, DAS Mengkian, DAS Ketungan, dan
DAS Kapuas Hulu. Peranan sungai-sungai tersebut beserta anak-anak sungainya sangat penting bagi
kebutuhan transportasi baik penumpang atau barang dari ibukota-ibukota kecamatan ke desa-desa di
pedalaman atau sebaliknya.

2. Kondisi Perekonomian dan Perdagangan

Perekonomian kabupaten-kabupaten di kawasan perbatasan di dominasi oleh sektor pertanian dengan


kontribusi 37-46% dari total PDRB kabupaten. Potensi wilayah yang dapat dikembangkan disektor
pertanian antara lain:
1. Kabupaten Sambas dan Bengkayang relatif lebih maju dalam sub sektor tanaman pangan,
perkebunan rakyat, peternakan, perikanan dan perdagangan.
2. Kabupaten Sanggau lebih memfokuskan pada pengembangan perkebunan rakyat, perkebunan
besar dan tanaman pangan
3. Kabupaten Sintang memiliki potensi kehutanan dan pertambangan yang cukup dominan
dengan fokus pengembangan pada sub sektor perkebunan dan tanaman pangan.
4. Kabupaten Kapuas Hulu hampir memiliki potensi dan karakteristik yang sama dengan
Kabupaten Sintang kecuali untuk sub sektor perikanan air tawar.
Aktifitas perekonomian masyarakat di kawasan perbatasan sebagian besar masih bersifat tradisional
baik pada sektor pertanian maupun pada sektor perdagangan (sistem barter). Sistem perekonomian
yang relatif masih subsisten ini berada jauh dari komunikasi dengan pusat-pusat pertumbuhan
kabupaten di Kalimantan Barat. Keterisolasian lokasi ini membuat lebih memudahkan bagi penduduk
perbatasan untuk melakukan tukar-menukar hasilbumi dengan barang konsmsi yang berasal dari
pedagang dan penduduk di wilayah Malaysia. Kondisi ini memberatkan penduduk dan merugikan
pertumbuhan kesejahteraan dan perekonomian mereka.

3. Infrastruktur

Di kawasan perbatasan telah tersedia sarana transportasi darat, udara, laut dan sungai untuk
mengunjungi 5 kabupaten di kawasan ini, dari dan ke ibukota kecamatan serta untuk menuju desa-
desa yang berbatasan langsung dengan Serawak (Malaysia).
Jalan darat yang menghubungkan wilayah-wilayah di kawasan perbatasan lebih kurang 520 km.
Kondisi jalan tersebut dari + 200 km jalan tanah; + 30 km jalan batu; + 290 km jalan aspal.
Sedangkan menurut fungsinya terdapat + 63% kawasan perbatasan Kalimantan Barat dibandingkan
dengan bentuk jalan yang ada di Serawak maka terdapat perbedaan yang mendasar yaitu jaringan
jalan di kawasan perbatasan Kalimantan Barat lebih berbentuk jalan tegak lurus kearah garis
perbatasan sehingga kurang efektif baik sebagai sabuk pengamanan (security belt) maupun sebagai
sabuk kesejahteraan (prosperity belt), karena tidak ada kesinambungan diatara jalan-jalan tersebut.
Sementara itu jaringan jalan di Serawak berbentuk sejajar dengan garis perbatasan, sehingga
memudahkan dalam pelaksanaan dan memonitor perkembangan yang ada di kawasan perbatasan.
Untuk fasilitas kelistrikan, baru sekitar 50% penduduk yang mendapatkan pelayanan listrik. Hal ini
menunjukkan besarnya perbedaan kesejahteraan masyarakat perbatasan di Kalimantan Barat dengan
masyarakat perbatasan di Serawak yang hampir seluruhnya telah mendapatkan pelayanan listrik.

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 53 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

Pada saat ini, di kawasan perbatasan Serawak telah tersedia pembangkit listrik tenaga air, seperti dari
bendungan Batang Ai di Lubuk Antu dengan kapasitas 108 MW, dan Bendungan Bakun yang sedang
dibangun dengan kapasitas 2400 MW. Fasilitas air bersih hanya mampu melayani 50% penduduk di
kawasan Kalimantan Barat. Sedangkan penduduk perbatasan di Serawak telah terpenuhi 100%
fasilitas air bersih.
Panjangnya garis perbatasan dan terbatasnya sarana dan prasarana transportasi menyebabkan sulitnya
melakukan pengawasan terhadap aktivitas yang terjadi di kawasan perbatasan. Kondisi sosial
masyarakat yang relatif masih rendah telah mendorong dan memudahkan terprovokasinya
masayrakat di kawasan ini untuk melakukan usaha-usaha ilegal terutama dalam mengeksploitasi
sumberdaya alam yang ada serta upaya-upaya penyelundupan lainnya dengan pemasaran di Serawak
(Malaysia). Hal ini harus mendapat perhatian yang serius, karena sangat merugikan kepentingan
negara maupun daerah.

4. Rencana Pemerintah Kalimantan Barat

Secara umum konsep penataan ruang propinsi dilandasi oleh pembangunan industri dan pertanian,
dengan proses pemerataan pembangunan yang kecepatannya disesuaikan. Pengembangan ke arah
pedalaman dilakukan secara bertahap, mendayagunakan sumberdaya alam yang ada dan didorong
oleh pengembangan prasarana dan sistem perhubungan yang secara bertahap pula. Beberapa fungsi
ruang telah ditetapkan oleh Pemerintah Propinsi Kalimantan Barat (RTRW Propinsi Kalbar, 1994)
sebagai berikut:
1. Pengembangan wilayah Kalimantan bagian Barat ditekankan pada pengembangan sektor-
sektor pertambangan dan galian, industri, jasa, perdagangan, perhubungan dan pertanian
(termasuk kehutanan).
2. Zona Penyangga (buffer zone) ditetapkan sebagai bagian dari sistem pertahanan dan
keamanan negara di bagian utara.
3. Kalimantan Barat merupakan bagian dari ekosistem global, dalam hal ini berkaitan dengan
sistem pengelolaan hutan lindung tropis.
Dari fungsi serta karakteristiknya yang khas, maka hal tersebut menunjukkan bahwa pendekatan
normatif untuk berbagai sektor dalam penanganan kawasan perbatasan dengan konsep penyeragaman
perlakukan (uniform) dengan kawasan non perbatasan, tampaknya tidak menunjukkan hasil yang
optimal bahkan cenderung merugikan kepentingan negara dan daerah.
Dari persepsi tersebut, maka kawasan perbatasan yang merupakan kawasan strategis selain memiliki
potensi bagi pembangunan juga bagi munculnya kerawanan kejahatan, konflik dan gangguan
stabilitas lainnya. Oleh karena itu, untuk menangani pembangunan kawasan perbatasan ini diperlukan
kebijakan yang holistik, antara lain sebagai berikut (Pemda Kalimantan Barat, 2001):
1. Mewujudkan suatu kepastian garis demarkasi kawasan perbatasan secara de facto dan de
jure. Kebijakan ini diarahkan untuk mengatasi sengketa perbatasan Kalimanan Barat
(Indonesia)-Serawak (Malaysia) yang pada saat ini terlihat adanya ketidakjelasan patok
koordinat perbatasan dan pengambilan hasil hutan di dalam wilayah Indonesia.
2. Meningkatkan efektifitas penanganan kawasan perbatasan melalui asas desentralisasi terbatas
dan khusus.
3. Pemberdayaan masyarakat di kawasan perbatasan

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 54 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

4. Mewujudkan potensi kawasan perbatasan sebagai pendorong pembangunan daerah.

6.2 Berbagai Rencana pemerintah di berbagai daerah di Kalimantan

Sebagian besar upaya pengembangan wilayah perbatasan yang direncanakan oleh pemerintah
setempat bertujuan untuk membuka keterisolasian wilayah dengan membangun infrastruktur serta
memanfaatkanya untuk aktifitas pengembangan sumberdaya cebakan besar seperti perkebunan dan
pertambangan.
Kabupaten Nunukan mempunyai rencana bekerjasama dengan Kabupaten Malinau untuk
membangun jalan yang relatif sejajar dengan perbatasan dengan memanfaatkan wilayah selebar 2 km
di kedua sisi jalan sebagai wilayah terbuka bagi investor untuk pengembangan perkebunan dalam
masa kontrak jangka menengah selama 30 tahun. Model pembangunan infrastruktur menghemat
anggaran pembangunan daerah sekaligus memberikan peluang pertumbuhan perekonomian dan
peningkatan pendapatan daerah.
Kabupaten Sangau merencanakan melakukan perkuatan hubungan yang telah terbentuk secara
tradisional selama ini dengan Serawak dengan mengembangkan sarana dan prasarana perbatasan di
Entikong sebagai pusat pertumbuhan pendukung aktifitas perkebunan dan pengembangan SDA yang
berada di wilayah Serawak dengan harapan adanya nilai tambah yang mengalir dari perkuatan
tersebut kepada perekonomian lokal melalui interaksi saling menguntungkan dari kedua wilayah
yang berseberangan negara.
Demikian pula Kutai Barat, kondisi geografi wilayah perbatasan dengan Malaysia tidak
memungkinkan mengembangkan jalur horizontal seperti yang dilakukan pemerintah kabupaten
Nunukan dan Malinau. Model Entikong dengan pola vertikal terhadap posisi perbatasan merupakan
satu-satunya cara memperkuat basis perekonomian di wilayah perbatasan di Long Apari.
Sungguhpun demikian rencana ini terhambat karena medan yang sulit untuk dikembangkan di
wilayah hulu Sungai Mahakam ini dan belum ada akses tradisional yang bias dikembangkan. 32

6.3 Rencana Kabupaten Sangau

Kabupaten Sanggau merupakan salah satu daerah yang terletak di tengah-tengah dan berada dibagian
utara Propinsi Kalimantan Barat dengan luas daerah 12.858 km2 33dan kepadatan penduduk yang
sangat jarang, rata-rata 29 jiwa per km2. Kabupaten Sanggau merupakan daerah terluas dan berada
diurutan ke 4 dari Kabupaten/Kodya di Propinsi Kalimantan Barat. Geomorfologi Kabupaten
Sanggau merupakan daerah dataran tinggi yang berbukit dan rawa-rawa yang dialiri oleh beberapa
sungai seperti Sungai Kapuas, dan Sungai Sekayam.
Dalam kondisi infrastruktur yang kurang baik jarak 267 km dari ibukota propinsi merupakan jarak
yang cukup jauh. Sungguhpun demikian kabupaten ini terletak pada jalur lalu lintas strategis yang
menghubungkan Kabupaten Sekadau, Melawi, Sintang dan Kapuas Hulu serta terletak pada jalur
Trans Kalimantan menghubungkan Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur,
demikian pula melalui Pusat Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong di wilayah Indonesia akan

32
Informasi ini didapatkan oleh Indra B. Syamwil dari pembicaran dengan Sekretaris Daerah Kutai Barat ketika
merencanakan Kota Sendawar sebagai ibukota Kabupaten Kutai Barat di tahun 2003
33 2
Luas ini merupakan 12,47 % dari luas Propinsi Kalimantan Barat, 614.807 km

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 55 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

terhubungkan dengan jalur Trans Borneo di wilayah Malaysia yang melintasi Serawak dan Brunai
Darussalam. Sanggau dilalui oleh Sungai Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia. Dua kecamatan di
Kabupaten Sanggau berbatasan langsung dengan Serawak yaitu Kecamatan Sekayam dan Entikong
dengan panjang garis perbatasan di kedua kecamatan ini lebih kurang 129,5 km.
Konsep dasar pembangunan Kabupaten Sanggau adalah pembangunan daerah yang bertumpu pada
pemanfaatan sumber daya daerah dan pada tahun 2010 menjadikan daerah kabupaten Sanggau
sebagai pusat agribisnis/agroindustri, perdagangan yang maju, pertambangan yang ramah lingkungan.
Kebijakan spasial Kabupaten Sanggau:
1. SWP 1, Penataan dan pengembangan kota Sanggau dan hinterlandnya (Kecamatan Kapuas,
Parindu, Bonti, Jangkang dan Mukok)
2. SWP 2, Pembangunan dan pengembangan kawasan perbatasan khususnya kota Entikong &
hinterlandnya (Kecamatan Entikong, Sekayam, Noyan, Kembayan dan Beduai)
3. SWP 3, Pembangunan dan pengembangan kota Tayan dan hinterlandnya (Kecamatan Tayan
Hulu, Balai, Tayan Hilir, Meliau dan Toba).

Gambar 2 Rencana Tata Ruang Kabupaten Sanggau

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 56 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

6.4 Pembahasan kondisi yang ada dan rencana yang akan dijalankan

Komunikasi dan interaksi yang erat di antara masyarakat di wilayah perbatasan di Kabupaten
Sanggau dengan masyarakat di wilayah Malaysia disebabkan oleh pertalian dan kesamaan budaya
dan bahasa. Kehidupan masyarakat Indonesia di perbatasan Sanggau sangat tergantung kepada
pertukaran barang dan tenaga kerja ke wilayah Malaysia, terutama disebabkan rendahnya tingkat
aksesibilitas ke wilayah Indonesia dan terbukanya aksesibilitas yang baik ke wilayah Malaysia.
Kondisi ini dikhawatirkan akan mengakibatkan lepasnya keterikatan nasionalisme dikalangan
mesyarakat yang mendiami wilayah perbatasan. Demikian pula kegiatan di wilayah perbatasan yang
terlepas dari kontrol pemerintah setempat berpeluang untuk menyebabkan pergeseran tabal batas oleh
orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Kondisi lainnya yang menjadi landasan bagi rencana
pengembangan wilayah perbatasan di Kabupaten Sanggau adalah sebagai berikut:
• rendahnya aksesibilitas berupa jalan yang paralel sepanjang garis perbatasan sebagai jalan
inspeksi dan juga antar pusat pemerintahan ke desa/dusun di kawasan perbatasan
• minimnya sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan
• minimnya sarana dan prasarana PPLB (Pusat Pemeriksaan Lintas Batas) di Entikong
• adanya perdagangan illegal dan trafficking
• PPLB Entikong merupakan salah satu pintu keluar masuk tenaga kerja
• belum tersusunnya tata ruang kawasan perbatasan yang menyeluruh
• terjadinya kerusakan lingkungan akibat penambangan liar
• terdapat potensi pariwisata yang belum dikembangkan
• belum ada payung hukum yang mengatur pengelolaan kawasan perbatasan.

Rencana awal yang akan dijalankan pada Bidang Pembangunan menggunakan pendekatan keamanan,
ditujukan untuk pengembangan wilayah belakang yang selama ini diabaikan, tertingal dan terisolir.
Pembangunan ekonomi menjadi prioritas kedua. Sosek Malindo di tahun 1986, menetapkan program
pembangunan Kawasan Perbatasan sebagai ‘greenbelt’ selebar 20 km, (Keppres 44/1986)., dan
pembangunan jalan paralel perbatasan atau lintas utara yang dilaksanakan sejak 1986. Program ini
dilaksanakan dengan kerjasama antara pemerintah kabupaten, propinsi, pusat dengan program ABRI
masuk desa (AMD) dalam skala besar. Pembangunan jalan terhambat diantaranya oleh kondisi
medan yang melewati hutan (taman nasional, hutan lindung dan hutan produksi).
Selanjutnya, melalui program Kapet, harmonize Border Development Program/Malaysia Broder
Township, pembangunan dialihkan kepada Konsep Pembangunan Pusat Pertumbuhan/Growth
Center/BDC, peningkatan ekonomi berbasis masyarakat. Rencana yang akan dijalankan untuk
peningkatan SDM diantaranya: peningkatana sarana dan prasarana, peningkatan jumlah guru,
mengadakan insentif khusus untuk yang bertugas di kawasan terpencil, termasuk tenaga
kesehatan/perawat. Keluarga miskin di Kabupaten Sanggau 86.383 kk, jumlah keluarga miskin sekali
dan miskin 15.541 kk, dan presentase keluarga miskin terhadap jumlah penduduk 17,99 %. Strategi
penanggulangan kemiskinan juga di jalankan melalui pemberdayaan masyarakat dengan mengakses
kebutuhan dasar masyarakat (pendidikan, kesehatan, infrastruktur) melalui peningkatan
perekonomian masayarakat, perluasan lapangan kerja, penguatan modal, bantuan pengadaan bibit dan
obat-obatan, serta peningkatan manajemen usaha.

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 57 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

Program selanjutnya adalah meresmikan dan mengembangkan PPLB Entikong, yang merupakan pos
pemeriksaan lintas batas orang dan barang pertama di Indonesia, menjadi sarana yang dapat menjadi
titik resmi dalam memantau pergerakan di wilayah perbatasan yang dilakukan melalui uji-coba
bertahap sebagai berikut:
• uji coba tahap 1, dilaksanakan pada tanggal 1 Oktober 1989, ditandai dengan pengoperasian pos
pemeriksaan lintas batas Entikong setiap hari dari jam 05.00 sampai dengan 17.00 wib.
Kendaraan yang diijinkan adalah kendaraan dinas/kerajaan dan kendaraan pribadi.
• uji coba tahap 2, untuk kendaraan angkutan umum dilaksanakan pada tanggal 2 Januari 1993.
Kendaraan yang diijinkan adalah taksi, taksi mewah, bis carter dan pariwisata, angkutan umum
reguler / bis ekpres.
• uji coba tahap 3, untuk angkutan barang/perdagangan internasional dilaksanakan pada tanggal
27 Mei 1995. Untuk mendukung kegiatan perdagangan internasional, Menteri Perdagangan
Republik Indonesia mengeluarkan SK no. 36/KPI/III/95 tgl 13 Maret 1995 yang menetapkan
bahwa perdagangan internasional dapat dilaksanakan melalui pintu pos pemeriksaan lintas batas
Entikong. Kendaraan yang diijinkan adalah mobil barang model box, bak terbuka dan model
tangki. Sehingga menjadi salah satu pintu resmi keluar masuk tki ke dan dari luar negeri.
Rencana yang akan dijalankan mengembangkan PPLB Entikong menjadi sebuah Border
Development Center (BDC) yang menjadi kawasan pusat niaga terpadu dan industri pengolahan
Entikong.

Gambar 3 Rencana Pengembangan Kawasan Perbatasan di Entikong, Kalimantan Barat

Fasilitas Olah Raga

Terminal Barang

Rusunawa

BLK SWASTA

GD. KONTAINER
BLK

RS. Intermediate

IKM

Sumber: Kabupaten Sanggau

Pendekatan pengembangan wilayah Kabupaten untuk mengembangkan pusat-pusat transit barang dan
pengembangan industri kecil memperlihatkan upaya menjadikan wilayah perbatasan sebagai
penghubung antara pusat pertumbuhan produksi (core) di Kalimantan Barat untuk perdagangan lintas

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 58 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

batas. Sedangkan pengembangan Balai Latihan Kerja, memperlihatkan upaya untuk meningkatkan
kualitas sumberdaya manusia dalam mendukung pengembangan industri kecil dan menengah
sekaligus menghasilkan tenaga kerja yang terlatih untuk bekerja di Malaysia.
Kedua pendekatan ini mengambil dua konsep yang berbeda sekaligus, yaitu: menghubungkan
wilayah inti pertumbuhan regional dengan wilayah perbatasan dan mengembangkan hubungan
perdagangan dan suplai tenaga kerja serta pengembangan bisnis untuk memasok komoditi
komplementer ke Malaysia. Kondisi infrastruktur, sumberdaya manusia dan karakter perekonomian
di negara tetangga memang belum memungkinkan bagi wilayah perbatasan untuk mengembangkan
pendekatan ’production platform’ seperti yang dikembangkan oleh beberapa negara, seperti Meksiko,
semenanjunt Indochina, antara Vietnam dan Kambodia. Pengembangan kegiatan perekonomian yang
menguntungkan bagi pertumbuhan perekonomian di wilayah perbatasan Indonesia, melalui
pendekatan perdagangan lintas batas, sangat tergantung kepada karakter dan kondisi perekonomian di
wilayah Malaysia.
Sabah dan Serawak merupakan dua negara bagian Malaysia yang berbatasan langusung dengan
Indonesia. Serawak berbatasan dengan Kalimantan Barat dan sebagian Kalimantan Timur, sementara
Sabah berbatasan hanya dengan dengan Kalimantan Timur. Kedua negara bagian Malaysia ini secara
umum masih mengandalkan hasil-hasil sumber daya alam untuk menyokong perekonomian lokalnya,
yakni hasil perkebunan dan pertambangan. Tiga ekspor utama Sabah adalah minyak mentah, minyak
sawit dan papan lapis. Komoditas perekonomian utama Serawak pun masih mengandalkan ekspor
LNG, minyak mentah, minyak kelapa sawit dan kayu.
Kebutuhan dalam negeri Serawak dan Sabah sebagian dipenuhi melalui impor alat transportasi,
suplai industri pengolahan SDA (mesin, BBM, gas dan minyak pelumas), serta produk makanan.
Impor produk makanan yang dilakukan oleh Serawak hingga saat ini memiliki nilai yang cukup
tinggi dan hampir mencapai dua kali nilai ekspor produk makanannya sendiri. Mitra dagang utama
Sarawak adalah negara-negara maju di kawasan Asia, seperti Jepang (32%), Semenanjung Malaya
(25%), Republik Korea (9%), Amerika Serikat (6%), Taiwan (6%), China (3%) dan India (3%).
Sementara ini, hubungan ekonomi antara kedua negara bagian Malaysia ini dengan Indonesia
umumnya berkisar pada pertukaran produk makanan dan kayu. Pola perdagangan lintas batas barang
yang masuk ke Sabah dan Serawak dari Indonesia yang utama adalah kayu bantalan, kayu balak,
kayu gergajian (papan), dan rotan mentah. Di samping itu masuk pula berbagai produk barang
dagangan lain seperti sabun, pakaian, kerupuk, gula merah, permen, battery, odol/pasta gigi, udang
kering dan udang basah serta barang lainnya. Sedangkan barang yang masuk ke Indonesa dari Sabah
terutama adalah telur ayam, biskuit, ammonium nitrate, mie, pakaian bekas, susu kental dan barang
lainnya.
Melihat produk yang masuk ke Serawak dari Indonesia mengindikasikan bahwa industri yang
terhubungkan melalui perdagangan lintas batas cenderung tidak memperkuat basis perekonomian
wilayah perbatasan. Produk yang diekspor ke Serawak memperkuat wilayah inti, bahkan produk
tersebut sebagian harus didatangkan dari pusat-pusat pertumbuhan di Jawa, dari industri di Jabotabek
dan Surabaya. Demikian pula produk yang masuk ke Indonesia merupakan produk industri pertanian
dan manufaktur yang tidak dapat disediakan oleh wilayah inti di Kalimantan Barat. Kondisi ini
menunjukkan kondisi interaksi perdagangan lintas batas masih bersifat perdagangan komplementer
dan belum memberikan dampak nilai tambah strategis dari hubungan tersebut menjadi hubungan
produksi yang komplementer.
Secara prinsip peluang masih cukup besar untuk mengembangkan hubungan produksi komplementer,
mengingat konsentrasi kepada pengembangan industri berbasis SDA di Serawak dan Sabah sangat
besar. Dalam situasi demikian, Indonesia justru dapat menggantikan peran produksi pertanian

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 59 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

hortikultura yang akan memasok bahan makanan dan produk pertanian yang tidak ekonomis
diproduksi di malaysia. Demikian pula kegiatan pengembangan SDA ’large extraction’ tidak sesuai
dikembangkan di wilayah perbatasan mengingat pengembangan di sektor ini akan menciptakan
persaingan yang tidak menguntungkan dengan Serawak dan Sabah.
Dilain pihak, ada kemungkinan Sabah dan Serawak dengan pertumbuhan ekonominya dan jumlah
penduduk yang sedikit akan beralih kepada industri manufaktur setelah melalui perekonomian yang
berbasis SDA. Kemungkinan ini perlu di antisipasi oleh pemerintah daerah di wilayah perbatasan
sebagai peluang masa depan bagi pengembangan wilayah perbatasan.

6.5 Isu sumber daya alam di wilayah perbatasan

The ‘Heart of Borneo Program’ adalah salah satu usaha WWF untuk membantu melestarikan
220.000 km² hutan tropis termasuk didalamnya habitat hewan dan tumbuhan yang ada di Kalimantan.
Program ini didukung oleh Indonesia dan negara-negara di perbatasan, seperti Brunai Darussalam
dan Malaysia. Salah satu langkah untuk mendukung program ini diadakannya kerjasama antara
Brunai Darussalam, Indonesia dan Malaysia dalam mempresiapkan deklarasi formal dalam
pertemuan ‘the convention on biological diversity’ di bulan Maret 2006.
Program ini bertujuan meningkatkan kualitas lingkungan, sosial dan ekonomi di wilayah konservasi
hutan tropis dan sekitarnya di Kalimantan dengan mengontrol kegiatan perekonomian yang
memanfaatkan SDA baik oleh penduduk setempat maupun pihak swasta dengan melakukan
pendekatan integratif dan koordinatif dengan seluruh stakeholder untuk mencari alternatif
pengelolaan kegiatan yang terbaik untuk mengurangi tekanan-tekanan terhadap pelestarian hutan
tropis dan keanekaragaman hayati di wilayah yang telah ditentukan sebagai target dan sasaran
program.
Beberapa proyek WWF dalam program ini adalah :
• Melestarikan populasi orang utan yang hidup di hutan-hutan Kalimantan.
• Melindugi penebangan pohon-pohon yang ada di hutan-hutan (The Kinabatangan Floodplain).
• Menyiapkan rencana manajemen untuk pengelolaan ‘Kayan Mentarang National Park’.
• Melindungi SDA di ‘Betong Kerihun National Park’.
• Menyiapkan program untuk ‘The Asian Rhinos and Elephant Action Strategy’ sebagai upaya
pelestarian Badak dan Gajah di Kalimantan.
• Membuat area konservasi untuk habitat hewan dan tumbuhan langka.
• Memperluas area ‘Sabah Landscape’ untuk orang utan.
Dalam kaitannya dengan pengembangan wilayah perbatasan, program ini memberikan batasan
pengembangan SDA di wilayah konservasi di wilayah-wilayah tertentu yang diindikasikan sebagai
daerah konservasi dan daerah bayangan konservasi yang tersebar di sepanjang perbatasan
Kalimantan.
Sungguhpun demikian program ini akan membantu mengindikasikan alternatif pengembangan
perekonomian masyarakat di wilayah tersebut yang dapat membantu pemerintah lokal mengentaskan
kemiskinan sekaligus turut serta dalam mengamankan lingkungan dan keanekaragaman hayati di
wilayahnya.

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 60 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

Bab VII Kesimpulan dan Tindak


Lanjut Hasil Penelitian

7.1 Pilihan model pembangunan wilayah perbatasan tertinggal

Pendekatan sentralisasi pembangunan, pendekatan keamanan dan industrialisasi dalam kebijakan


perekonomian makro di Indonesia telah memberikan dampak ‘core area primacy’ yang tidak dapat
dikembalikan kepada keadaan semula (irreversible) melalui kebijakan pemerataan pertumbuhan
regional. Demikian pula kebijakan pengalokasian dana pemeratan pembangunan regional atas dasar
ukuran produksi dalam konteks desentralisasi tidak kondusif bagi daerah yang sebagian besar
wilayahnya merupakan wilayah konservasi. Kondisi ini mungkin banyak dialami oleh daerah di
wilayah perbatasan antar negara.
Dalam era desentralisasi peluang terbuka bagi daerah otonom di perbatasan antar negara untuk
memilih berbagai model dan strategi dalam merubah situasi ketertinggalan wilayahnya yang berada
di wilayah perbatasan. Sungguhpun demikian tidak semua wilayah mempunyai potensi dan kendala
yang sama, sehinggga tidak ada suatu solusi universal yang dapat menjawab permasalahan
pembangunan perbatasan untuk setiap negara.
Daerah dengan situasi diplomasi perbatasan yang masih rawan tidak memungkinkan mengambil
langkah yang lebih progresif dalam memanfaatkan peluang kerjasama yang terbuka (open-gate
policy) antar negara. Pendekatan keamanan dinegara berkembang dengan sistem persenjataan
konvensional yang terbatas, cenderung menjadikan kendala alam sebagai salah satu alat strategis
untuk doktrin perang gerilya, melalui strategi pertahanan rakyat semesta. Pendekatan keamanan
dengan pertahanan rakyat ini seringkali dikombinasikan dengan pendekatan kesejahteraan
(prosperity), dengan program-program pengentasan kemiskinan, melalui pemenuhan kebutuhan dasar
(basic needs) dan peningkatan pendidikan dan ideologi kebangsaan serta peningkatan rasa solidaritas.
Pendekatan yang ‘elegant’ sering dilakukan aparat keamanan dengan program AMD (ABRI masuk
desa). Sungguhpun demikian, dengan adanya liberalisai perekonomian, serta globalisasi perdagangan
dan arus modal asing, pendekatan keamanan ini terbukti lamban, sehingga lambat-laun akan
mempertajam kesenjangan dengan wilayah inti pertumbuhan dan justru mempercepat terjadinya
‘backwash effect’ terhadap wilayah tertinggal dan wilayah perbatasan.
Pendekatan keamanan masih diperlukan, karena sebagian besar wilayah perbatasan Indonesia
mepunyai potensi konflik dengan negara tetangga, terutama disebabkan ketidak-jelasan secara ‘de-
jure’ dan ‘de-facto’ batas negara di banyak tempat di wilayah perbatasan. Disamping itu banyak
wilayah yang berdekatan dengan wilayah perbatasan yang mempunyai kandungan SDA yang sangat
potensial untuk dimanfaatkan. Pergeseran batas wilayah antar negara bisa menyebabkan kehilangan
wilayah cadangan potensial yang cukup penting.

Pengembangan wilayah perbatasan selalu terkait dengan fungsinya sebagai garis pertahanan
suatu negara. Kondisi diplomasi dan hubungan antar negara serta perbedaan struktur dan
tingkat pertumbuhan perekonomian antar negara merupakan faktor yang menentukan bagi
berbagai pendekatan untuk membangun wilayah perbatasan. Model umum pendekatan
pertumbuhan ekonomi spasial dikembangkan oleh Guo, (Guo, 1996: 116-119), secara umum
memandang adanya 3 (tiga) pendekatan dalam pengembangan wilayah perbatasan yaitu

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 61 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

’Core-Periphery Approach(CPA)’, ’Cross-Border Approach(CBA)’ dan Mixed Core-


Periphery (CPA) and Cross Border Approach (CBA).
CPA menekankan menekankan pengembangan perkotaan yang berfungsi sebagai inti pertumbuhan
untuk dapat mendorong terjadinya pembangunan ekonomi bagi daerah-daerah disekelilingnya.
Pendekatan ini akan berjalan dengan baik apabila memenuhi syarat berikut :
• Wilayah yang berfungsi sebagai inti harus memiliki keuntungan komparatif baik dari segi
ekonomi maupun teknologi sehingga mampu mendorong pembangunan bagi daerah
sekelilingnya.
• Daerah inti dengan daerah sekelilingnya tidak boleh terletak terlalu jauh.
• Pendekatan ini akan berjalan dengan lebih efisien apabila antara daerah inti dan daerah
sekelilingnya telah dilengkapi dengan jaringan penghubung yang berupa sarana transportasi dab
telekomunikasi yang baik.
CPA merupakan pendekatan berbasis kepada kekuatan ekonomi di dalam wilayah negara sendiri,
dimana hubungan dengan negara tetangga belum terbina dengan baik. Pendekatan ini menganut
pandangan growth-center, dimana dalam kondisi volume deman perekonomian internal yang belum
memadai, langkah efisien pertama yang dilakukan adalah mengkonsentrasikan ’capital formation’ di
suatu titik yaitu wilayah/kota inti. Hubungan wilayah inti dengan pertumbuhan yang tinggi akan
memberikan dampak pertumbuhan di wilayah perbatasan dengan akses yang memadai. Pendekatan
ini menyarankan pembangunan klaster-klaster produktif di dekat wilayah perbatasan.
CBA menekankan pada kerjasama antar daerah perbatasan untuk saling mengambil keuntungan
dalam mengembangkan wilayah perbatasannya masing-masing. Pendekatan ini cocok diterapkan
pada kawasan perbatasan yang memiliki karakteristik sebagai berikut:
• Memiliki perbedaan konsep pengembangan sosial ekonomi dengan wilayah tetangganya.
• Memiliki keterbatasan jaringan penghubung yang berupa jalan dan telekomunikasi dengan kota
yang menjadi pusat kegiatannya.
Selain karakteristik wilayah, penerapan pendekatan ini akan berjalan dengan baik apabila memenuhi
syarat sebagai berikut :
• Wilayah tetangga memiliki keuntungan komparatif yang lebih besar baik dari segi ekonomi
maupun teknologi.
• Penghalang perbatasan baik secara fisik maupun ideologi dapat dihilangkan dengan mudah.
Dengan kondisi dan karakteristik seperti yang telah disebutkan, maka pendekatan yang paling efisien
untuk diterapkan adalah dengan membuka penghalang pada daerah perbatasan dan menerapkan
sistem perbatasan yang terbuka serta menjalin kerjasama yang baik dengan wilayah tetangga. Sistem
kerjasama antar perbatasan ini akan membuka aliran barang dan uang yang masuk dengan lebih cepat
dan pada akhirnya dapat mendorong terjadinya pertumbuhan sosial ekonomi yang lebih baik.
Pada beberapa kasus pengembangan kawasan perbatasan, terdapat kelemahan baik pada Core-
Perphery Approach (CPA) maupun pada Cross Border Approach (CBA). Hal tersebut disebabkan
karena adanya kondisi fisik dan politik yang khusus pada daerah-daerah perbatasan tertentu. Maka
untuk mengatasi hal tersebut, cara yang paling efisien adalah dengan menggabungkan antara kedua
pendekatan tersebut. Dengan gabungan dua pendekatan tersebut, maka kebijakan pengembangan
wilayah perbatasan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 62 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

• Membuat daerah ini sebagai pusat pertumbuhan yang dapat dijangkau oleh daerah-daerah yang
berada di perbatasan.
• Menjalin kerjasama sosial, ekonomi dan politik dengan wilayah tetangga walaupun penghalang
(baik secara fisik maupun ideologi) tidak dapat sepenuhnya dihilangkan.
Ketiga pendekatan diatas belum mengandung konteks basis perekonomian bagi pertumbuhan
wilayah/kota inti (CPA) dan varian bentuk kerjasama yang saling menguntungkan antar negara (untuk
CBA). Beberapa model alternatif dan variannya dapat dikembangkan lebih jauh dengan memberikan
warna konteks dari pengalaman berbagai negara yang telah dikaji pada bab-bab sebelumnya.
Model pengembangan SDA cebakan besar merupakan salah satu alternatif basis perekonomian
sebagai langkah awal pertumbuhan konsentrasi kegiatan ekonomi di wilayah tertinggal, bila wilayah
tersebut mengandung cadangan SDA yang ekonomis untuk dimanfaatkan. SDA bisa yang tidak dapat
diperbaharui seperti pertambangan, dan yang dapat diperbaharui seperti perkebunan. Kegiatan
pemanfaatan SDA yang cukup besar akan menciptakan kegiatan perekonomian ikutan di wilayah
sekitarnya dan konsentasi kegiatan tersebut dapat membentuk klaster sebagai wilayah inti. Wilayah
inti ini oleh pendekatan CPA dihubungkan dengan wilayah perbatasan dan akan berdampak besar
bagi pertumbuhan wilayah perbatasan. Sungguhpun demikian ‘backwash effect’ dapat saja terjadi
dengan adanya akses yang baik ke wilayah perbatasan. Intervensi perlu dilakukan pemerintah untuk
mewujudkan keterkaitan positif wilayah inti dengan wilayah perbatasan dan menghindari
pengosongan wilayah perbatasan akibat backwash effect.
Bagi wilayah yang mempunyai cadangan SDA dan wilayah budidaya yang memadai dengan jumlah
populasi yang rendah dengan tingkat perekonomian yang masih subsisten, dibutuhkan awalan
pembangunan yang dapat memulai terjadinya peningkatan kegiatan perekonomian dan peningkatan
populasi agar terbentuk deman lokal bagi terciptanya pertumbuhan perekonomian yang cukup baik
untuk memulai diversifikasi perekonomian selanjutnya. Sungguhpun demikian perlu dilakukan
kegiatan pembinaan dan persiapan terlebih dahulu agar kegiatan perekonomian tradisional tidak
tersisihkan oleh kegiatan perekonomian yang tercipta oleh pengembangan SDA di wilayah tersebut,
sehingga tidak terjadi ‘enclave’ perekonomian yang tidak memberikan dampak multiplier dan tidak
terhubung (linkage) kepada perekonomian lokal. Dalam hal ini pengembangan SDA haruslah disertai
dengan konsep pengembangan wilayah yang terstruktur dan terhubung dengan perekonomian lokal.
Dengan demikian pengembangan SDA dapat menjadi perintis bagi pengembangan infrastruktur dan
suprastruktur perekonomian lokal.
Demikian pula kegiatan industri pengolahan SDA bisa menjadi pemicu pertumbuhan wilayah inti
yang dekat dengan perbatasan. Model transfer energi Kanada ke Amerika, industri pengolahan gas
menjadi pupuk,penyulingan minyak dan PLTU sungguhpun tidak selalu berada di wilayah perbatasan
dapat dijadikan pemicu pertumbuhan wilayah perbatasan dengan meningkatkan akesibilitas wilayah
pebatasan ke wilayah pertumbuhan ini. Model transfer energi merupakan model yang potensial
daerah yang berbatasan dengan negara lain bila perkembangan perekonomian tetangga memang
membutuhkan energi yang tidak bisa disediakan di dalam negeri mereka. Sungguhpun demikian
model ini akan memeberikan dampak pertumbuhan yang mengarah ke wilayah inti dan kurang
memberikan dampak ke wilayah yang berbatasan langsung dengan negara tetangga.
Wilayah perbatasan yang dalam situasi politik dan diplomasi damai, kondusif bagi kerjasama antar
negara. Wilayah perbatasan ini bisa melakukan langkah-langkah kerjasama yang saling
menguntungkan dengan wilayah lain di negara tetangga sesuai dengan keunggulan komparatif yang
dimilikinya. Beberapa konteks situasi dibawah ini merupakan suatu pendekatan yang perlu
disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah di perbatasan antar negara:

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 63 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

Wilayah perbatasan tertinggal yang secara tradisional telah mempunyai hubungan perkonomian lokal
dengan negara tetangga yang lebih maju dapat mengambil keuntungan dari perbedaan biaya berbagai
faktor produksi yang dimilikinya. Tenaga kerja merupakan faktor produksi pertama yang bisa
dikembangkan melalui kerjasama lintas batas yang dapat mendatangkan devisa. Sungguhpun
demikian penanganan yang kurang memadai akan menyebabkan terjadinya kasus-kasus penghinaan
dan pelecehan tenaga kerja, yang akan berdampak kepada harkat bangsa. Pendekatan lainnya yang
memanfaatkan kekuatan produksi lokal akan barang konsumsi, barang modal atau industri pariwisata
dan jasa lainnya.
Dengan terbentuknya sarana dan infrastruktur yang cukup memadai dengan hinterlandnya
ditingkatkan fungsi perekonomiannya dengan mengembangkan perkotaan (core) secara bertahap
dengan fungsi transit checkpoint untuk arus lalu-lintas perdagangan dan orang. Fungsi transit ini di
tahap pertumbuhan penduduk selanjutnya dapat dikembangkan menjadi fungsi pusat produksi bagi
komoditas lokal yang komplementer terhadap kegiatan perekonomian negara tetangga. Hubungan
produksi yang saling melengkapi ini dapat dikonsentrasikan di wilayah perbatasan.
Bila kondisi biaya tenaga kerja di wilayah negara tetangga ada kemungkinan hubungan produktif
saling melengkapi ini ditingkatkan dengan aliran investasi dari negara tetangga yang menjadikan
wilayah inti perbatasan sebagai ‘production platform’ yang berfungsi sebagai pusat assembling
dengan memanfaatkan keunggulan komparatif biaya produksi yang murah dalam situasi negara
tetangga lebih maju perekonomiannya dengan biaya produksi yang relatif lebih mahal.
Penjelasan rangkuman berbagai pendekatan dapat dilihat pada Tabel 5

Tabel 5 Rangkuman Model Pengembangan Kerjasama Regional dan Wilayah Perbatasan

Model Perekonomian Pendekatan Pengembangan Contoh kerjasama


Kerjasama Perekonomian antar Hubungan antar negara tidak • Joint Border Sosek-
Diplomatik negara tidak selalu konsusif. Lebih mengembangkan Malindo
dan Keamanan komplementer pengamanan perbatasan. Pendekatan • Latihan militer
yang paling ekstrim dari pendekatan bersama di
ini adalah menutup wilayah perbatasan
perbatasan atau membiarkan wilayah
perbatasan tidak berkembang untuk • Pendekatan di
pertahanan Jayapura, Papua

Kerjasama Tidak berkaitan dengan Batas kedaulatan negara tidak • Kerukunan Rumpun
Sosio-Kultural hubungan perekonomian. diperhitungkan. Pendekatan Melayu
dan Sungguhpun bisa pengembangan berbasis kepada • Borneo Conference
Kesejahteraan memberikan dukungan pelestarian budaya, kesejahteraan. untuk etnis Papua dan
kepada kerjasama Berkaitan dengan penghidupan suku Dayak
ekonomi terasing yang sustainable dengan
alam sebagai rumah. • Pendekatan ’Basic
Needs’/Prosperity di
Cina - Laos
Kerjasama Masing-masing negara Hubungan antar negara cukup • IMT-GT, BIMP-
Pembangunan saling membutuhkan kondusif. Kerjasama bersifat EAGA
Regional untuk menciptakan memperluas pasar komoditi yang • Kerjasama Uni
’pasar regional’ yang berkaitan dengan produk unggulan Eropa, Kerjasama
cukup besar bagi pada kantong-kantong produksi di ASEAN
komoditi unggulan wilayah negara masing-masing
(tidak selalu di wilayah perbatasan). • Transfer energi
Kanada dan USA

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 64 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

Model Perekonomian Pendekatan Pengembangan Contoh kerjasama


Core-Periphery Tidak selalu ada Hubungan antar negara yang kurang • Perbatasan Timor
Approach hubungan perekonomian kondusif. Menghubungkan wilayah dengan Kupang
(CPA) antar negara. Orientasi perbatasan dengan wilayah inti di sebagai wilayah inti.
pengembangan dalam suatu negara. Sering • Nunukan dan
perekonomian perbatasan dilakukan bersamaan dengan Malinau mulai
dalam negeri melalui pendekatan keamanan dan berbasis dengan jalan akses
pertumbuhan ekonomi. SDA.
Cross-Border Pengembangan Hubungan antar negara yang cukup • USA – Meksiko,
Approach perekonomian kondusif. Menghubungkan wilayah dikombinasi dengan
(CBA) komplementer dengan perbatasan dengan wilayah inti PPA
negara tetangga, ketika negara lain secara komplementer. • Vietnam –
hubungan perekonomian Varian pendekatan ini adalah Kambodia, dengan
dengan wilayah inti mengembangkan production platform sarana lintas
terputus platform industri tetangga di wilayah batas
perbatasan
• Pelestarian Sungai
Mekong
Mixed CPA Pendekatan Kombinasi CPA dan CBA • Pendekatan
dan CBA keterhubungan Kabupaten Sanggau
perekonomian wilayah
perbatasan dengan
wilayah inti dan wilayah
negara lain
Production Salah satu negara adalah Hubungan perdagangan dan • USA – Meksiko
Platform negara industri maju dan diplomatik antar negara bersifat • Jepang – beberapa
Approach yang lain negara yang terbuka. Pendekatan perdagangan negara berkembang
(PPA) relatif kurang maju serta internasional melalui relokasi (termasuk Indonesia)
mengalami surplus platform produksi berorientasi
tenaga kerja (low-cost). ekspor ke negara berkembang. Bisa • Vietnam – Kambodia
melalui CBA • Sijori GT

7.2 Kebijakan pengembangan berbasis SDA dan kendala penerapannya

Pengalaman kebijakan pengembangan berbasis SDA dengan model cebakan besar (large extraction)
dan perkebunan besar (estate) di Indonesia memperlihatkan terciptanya dikotomi perekonomian
nasional dan internasional modern dengan teknologi sistem kepranataan yang tidak dapat terjangkau
oleh sistem dan kepranataan serta kepitalisasi perekonomian tradisional lokal masyarakat di wilayah
perbatasan. Pengembangan berbasis SDA dengan target produksi ekspor yang selama ini dijalankan
melalui sistem ‘production sharing’ seringkali menciptakan ‘enclave’ aktivitas perekonomian yang
menciptakan pusat-pusat pertumbuhan yang terpisah dari sistem perekonomian masyarakat setempat.
Demikian pula pembangunan yang berbasis kepada pemanfaatan ’rent’ oleh pemerintah daerah,
sungguhpun akan meningkatkan PAD, akan kurang dampaknya dalam memperkuat struktur
perekonomian lokal.
Sungguhpun demikian program-program ‘out-reach’ kepada perekonomian lokal dan tradisional
dalam bentuk perencanaan perekonomian regional dan lokal disamping memberikan leverage kepada
investor SDA dapat pula diarahkan kepada penciptaan daya saing dan menjembatani pembangunan
kapasitas sumberdaya manusia dan entrepreneur sebagai pemicu bagi terciptanya iklim inovasi dan
kewirausahaan bagi pengembangan sektor-sektor perdagangan komoditi pertanian ataupun
pengembangan produk-produk lokal dalam bentuk production platform bagi negara tetangga.

7.3 Rencana berbagai daerah dan Kalimantan Barat

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 65 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

Rencana pengembangan yang dilakukan oleh berbagai daerah di perbatasan Kalimantan


memperlihatkan adanya keinginan yang besar bagi pemerintah setempat untuk mempercepat laju
pembangunan dengan merintis keterkaitan perekonomian wilayah inti dengan kawaan perbatasan.
Beberapa Kabupaten, seperti Nunukan, Malinau merecanakan pengembangan model percepatan
pembangunan melalui pengembangan SDA cebakan besar seperti perkebunan kelapa sawit
disepanjang jalan paralel di perbatasan. Pengembangan seperti ini seharusnya tidak dilakukan,
mengingat pengalaman pembukaan infrastruktur yang sering menyebabkan terjadinya pergeseran
perekonomian masyarakat yang termarginalisasikan oleh pembangunan tipe ini. Disamping itu
duilema dari pembukaan infrastruktur akan meningkatkan kerusakan hutan dan kemungkinan
meningkatnya penebangan ilegal yang akan mengancam pelestarian lingkungan di wilayah
perbatasan.
Rencana Kabupaten Sangau di Kalimantan Barat dan Nunukan untuk meningkatkan kapasitas dan
kualitas sumberdaya manusia serta mobilitas tenaga kerja ke negara tetangga menunjukkan upaya
komplementer terhadap sektor perekonomian di Serawak dan Sabah yang masih berorientasi kepada
sektor perkebunan. Sektor lain yang juga potensial sebagai kegiatan perekonomian komplementer
adalah sektor industri kecil yang dapat menyediakan kebutuhan industri perkebunan dan perkotaan
yang ada di Serawak dan Sabah.
Kabupaten yang mulai menunjukkan upaya peningkatan perdagangan dan perekonomian pada tingkat
perekonomian lokal adalah Nusa Tenggara Timur yang menjadikan Kupang sebagai pusat dan
wilayah perbatasan sebagai sarana transfer (transit) barang dan orang yang dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat secara langsung. Kegiatan perekonomian Timor Timur yang dalam dekade
ke depan akan dikembangkan berorientasi kepada pengembangan perekonomian berbasis minyak
bumi, akan membutuhkan penyediaan kebutuhan-kebutuhan akan barang konsumsi dan tenaga kerja
yang terampil untuk mendukung perekonomian utamanya.
Model ‘production platform’ tidak kondusif di perbatasan Kalimantan, mengingat keterbatasan
jumlah SDM yang cukup terampil dan mempunyai etos kerja yang baik bagi tumbuhnya industri
yang efisien, serta pada dasarnya Serawak dan Sabah bukanlah bagian Malaysia yang berorientasi
industri ekspor selain perkebunan dan pemanfaatan pertambangan. Serawak adalah hinterland
Malaysia yang tidak lebih maju dari wilayah intinya di Semenanjung Malaysia.

7.4 Model Lembaga Koordinasi pembangunan wilayah Perbatasan

Beberapa model kelembagaan koordinasi dalam kepranataan yang berbasis pendekatan perdagangan
lintas batas yang dikembangkan di perbatasan antar negara seperti Meksiko dan Amerika, kerjasama
DAS Sungai Mekong, kerjasama industri menengah dan kecil di Eropa Barat (dalam rangka Uni
Eropa) serta bentuk platform produksi dengan target industri padat karya demikian pula
pengembangan dalam paras kerjasama sub-regional dapat dijadikan contoh kepranataan koordinasi
lintas batas di beberapa daerah perbatasan antar negara.
Pengembangan lembaga koordinasi di Indonesia masih bersifat hubungan diplomasi bilateral
ditingkat pusat belum memberikan dampak implementatif kepada kerjasama lintas batas yang
konkrit. Perbatasan masih dilihat dari sudut pandang keamanan dan ideologis-politis. Tabel dibawah
ini merangkum berbagai bentuk kelembagaan koordinasi antar negara yang berkaitan dengan
hubungan lintas negara dan juga lintas batas negara.

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 66 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

Tabel 6 Rangkuman Model Lembaga Kerjasama Regional dan Wilayah Perbatasan

Model Sifat Kelembagaan Contoh kerjasama


Kerjasama Ad-hoc, merupakan lembaga • General Border Committee RI-PNG diketuai
Diplomatik dan yang bertemu bila ada oleh Panglima TNI.
Keamanan permasalahan keamanan. Isu • Joint Border Committee (JBC) RI-PNG
dibahas: diketuai oleh Menteri Dalam Negeri.
• Sengketa/pelanggaran batas • JBC RI-UNTAET (Timtim) diketuai oleh
negara Dirjen Pemerintah Umum Departemen
• Penyelundupan Dalam Negeri.
• Terorisme • Kerjasama Keamanan Sosek-Malindo
• Gerakan Pengacau • Joint Commisison Meeting RI – Malaysia
(JCM) diketuai oleh Departemen Luar
Negeri
Kerjasama Sosio- Rutin bertemu untuk saling tukar • Kerukunan Suku Melayu
Kultural dan informasi dan pengetahuan • Borneo Conference
Kesejahteraan
Kerjasama Kerjasama diplomatis dan antar • IMT-GT, BIMP-EAGA
pembangunan organisasi Kamar Dagang dan • Kerjasama Uni Eropa, Kerjasama ASEAN
regional asosiasi pengusaha dan
Departemen sektoral yang terkait. • Transfer energi Kanada dan Amerika Serikat

Core-Periphery Hubungan antar negara yang • Pengembangan perbatasan Timor dengan


Approach (CPA) kurang kondusif. Berbasis kepada Kupang sebagai wilayah inti.
inisiatif Pemerintah Daerah • Perbatasan Kalimantan (Sanggau, Nunukan
maupun Pusat dan Malinau)
Cross-Border Hubungan antar negara yang • Dikoordinasikan melalui Kelembagaan
Approach (CBA) cukup kondusif. Berbasis kepada Kerjasama Regional, seperti IMT-EAGA
inisiatif Pemerintah Daerah • Membutuhkan koordinasi lokal lintas negara,
maupun Pusat seperti di Cina dan Semenanjung Indocina
Production Platform Inisiatif industri swasta di • Amerika Serikat – Meksiko
Approach (PP) fasilitasi oleh negara. Model • Jepang – dikoordinasikan oleh METI
Amerika Serikat – Meksiko
melibatkan departemen sektoral • Badan Otorita, Vietnam – Kambodia
atau pembentukan Badan Otorita. • Sijori GT, Badan Otorita Batam

Pendekatan keamanan melahirkan lembaga ad-hoc yang bertemu dan berkomunikasi terutama bila
ada permasalahan keamanan yang menyangkut kedaulatan negara dan hal-hal yang bersifat
mengganggu hubungan antar negara. Lembaga negara yang terlibat tergantung dari antisipasi isu
keamanan yang bisa menyangkut kesejahteraan masyarakat lokal yang rawan dari segi politis dan
ideologis. Dalam Joint Border Committee yang sering dilibatkan adalah Panglima TNI dan
Departemen Dalam Negeri.
Dilain pihak pandangan-pandangan sosio-kultural dan etnografis-antropologis melihat batas-batas
kedaulatan negara yang kabur, sungguhpun pandangan ini pada tingkat wawasan memberikan
dukungan kepada pendekatan kesejahteraan yang sangat dibutuhkan masyarakat di perbatasan.
Bahkan pandangan sosio-kultural bisa meningkatkan kerjasama perekonomian di antara pelaku-
pelakunya tercermin dari kemajuan yang diperlihatkan kerjasama pembangunan etnis Melayu yang
juga mendukung IMT-GT antara Malaysia, Indonesia dan Thailand. Hal ini juga diperlihatkan oleh
kerjasama lintas-batas antara Cina dan Laos, serta Vietnam dan Kambodia. Demikian pula BIMP-
EAGA terlihat kurang menujukkan kemajuan mengingat hubungan yang terlalu kosmopolitan
(beragam etnis) diantara pelaku-pelakunya.

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 67 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

Hubungan-hubungan perbatasan di Cina Selatan melibatkan koordinasi pemerintah daerah lokal


dalam koordinasi rutin, sungguhpun asistensi (penyuluhan) yang bersifat teknis dan program di
koordinir oleh lembaga sektoral pusat terutama yang berkaitan dengan isu ’slash and burn’ penduduk
lokal di wilayah perbatasan.
Lembaga koordinasi diwilayah Meksiko – Amerika Serikat di tangani oleh masing-masing lembaga
sektoral yang berkaitan dengan isu perekonomian maupun kesejahteraan dan keamanan. Wewenang
lembaga sektoral di Amerika Serikat cukup besar dan koordinasi cukup mudah, sehingga satu
program strategis seperti ’Border Industrialization Program’ sudah dapat mengundang keterlibatan
yang didefinisikan dan diinterpretasikan oleh masing-masing lembaga sektoral secara independen.

7.5 Tindak Lanjut Penelitian

Penelitian ini merupakan tahapan sebagai basis bagi penelitian-penelitian lanjutan pengembangan
wilayah tertinggal (periphery) khususnya dengan melihat perbatasan sebagai wilayah potensial
sebagai faktor pendorong pertumbuhan perekonomian yang berbasis kepada pemanfaatan hubungan
yang saling menguntungkan antar negara dalam suasana damai.
Penelitian ini masih berbasis kepada analisis kualitatif untuk membandingkan pengalaman serta
model yang dikembangkan secara teoritis dan pragmatis dengan mendalami berbagai nuansa konteks
yang melatarbelakangi keberhasilan atau konsep suatu model pengembangan wilayah perbatasan.
Secara makro penelitian ini memberikan penilaian teoritis atas kebijakan pengembangan wilayah di
Indonesia serta berbagai kebijakan pembangunan perekonomian dan politik yang menjadi
latarbelakannya. Selanjutnya penelitian ini mengembangkan wacana pendekatan lokal dalam
pengembangan wilayah yang selama ini terabaikan dan mulai mendapatkan tempat dan mewarnai
kebijakan pengembangan wilayah nasional tanpa disadari. Dikatakan tanpa disadari dalam hal ini
adalah dikarenakan belum berkembangnya transformasi perangkat kebijakan yang menunjang bagi
konsep pengembangan wilayah yang berbasis kepada pengembangan perekonomian lokal. Demikian
pula desentralisasi masih diwarnai oleh penedekatan yang meniru kebijakan masa lampau di berbagai
daerah yang kaya akan sumberdaya alam dengan mengembangkan pola pembangunan pertumbuhan
cepat yang berdasarkan pengalaman masa lalu memperlihatkan kecenderungan konsentrasi baik dari
segi wilayah maupun dari segi keterhubungan dengan perekonomian lokal.
Situasi rencana pemerintah daerah di Kalimantan Barat yang dijadikan contoh sebagai wilayah damai
yang memungkinkan berkembangnya interaksi perekonomian antar negara dalam penelitian ini,
masih diwarnai oleh pendekatan ekonomi sumberdaya alam dan keamanan. Demikian pula
pendekatan hubungan perekonomian lintas batas masih dibangun dengan memulai pembangunan
infrastruktur regional daripada pembangunan struktur perekonomian lokal yang telah berkembang
selama ini.
Penelitian yang dapat dikembangkan berkaitan dengan permasalahan pengembangan wilayah
tertinggal di perbatasan antar negara dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Penelitian berkaitan dengan model kelembagaan dan kepranataan damai yang dapat memberikan
naungan bagi berkembangnya berbasis kepada hubungan yang mendukung antar pelaku
pembangunan itu sendiri terlepas dari keterkaitannya dengan program yang diprakarsai oleh
pemerintah. Hubungan-hubungan seperti ini dapat dirintis melalui kerjasama sentimen kultural
yang positif sebagai penggerak sepeti yang selama ini tercipta di Selat Malaka yang selanjutnya
ditingkatkan kepada kepranataan hubungan yang lebih terstruktur dan terorgansir.

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 68 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

2. Penelitian yang berbasis kepada pengembangan kapasitas sumberdaya manusia lokal dalam
konteks pengertian wilayah perbatasan sebagai wilayah permukiman (rumah) bagi penduduk
lokal melalui pendekatan kesejahteraan (prosperity) dengan mengutamakan kemampuan
difersivikasi kehidupan lokal subsisten dari ketergantungannya kepada kepada SDA, sehingga
dapat memanfaatkan peluang yang tercipta dari perubahan-perubahan yang akan terjadi dalam
pertumbuhan interaksi antar negara di pekarangannya.
3. Pengembangan penelitian yang mencari peluang bagi kegiatan komplementer sebagai alternatif
dari pengembangan SDA cebakan besar di wilayah perbatasan dengan mempelajari kebutuhan
negara tetangga lebih efisien disuplai oleh wilayah perbatasan antar negara.

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 69 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

Literatur

Akamatsu, Kaname. 1943. Shinkou Kogyokoku no Sangyou Hatten (Industrial Development in Newly
Industrializing Countries), in Ueda Teijiro-hakusi Kinen Ronbunshu (Essays in Honor to Dr.
Teijiro Ueda), Kagakushugi Kogyosha, Tokyo, Vol. 4.
Akamatsu, Kaname. 1961. A Theory of Unbalanced Growth in the World Economy.
Weltwirttschaftliches Archiv 86 (2): pp. 196-217.
Aswicahyono, H. H., Kelly Bird and Hal Hill. 1996. What Happens to Industrial Structure When
Countries Liberalise? Indonesia since the Mid-1980s. Journal of Development Studies, 32(3),
pp. 340-361
Akita, Takahiro. 1986. Spatial characteristics of the Manufacturing Industry and their policy
implications for the Industrial Development in Indonesia. Bulletin of the Graduate School of
International Relations, International University of Japan 5, pp. 67-84.
Ariff, Mohamed, Hal Hill. 1985. Export-oriented industrialization: the ASEAN experience. NSW:
Allen and Unwin.
Alonso, William. 1996. On the tension between Regional and Industrial Policies. International
Regional Science Review 19(1 & 2), pp. 79-83.
Barlow, C and Thee Kian Wie. 1988. The North Sumatran regional economy: growth with
unbalanced development. Singapore: ASEAN Economic Research Unit, Institute of Southeast
Asian Studies.
Booth, Anne. 1992. The Oil Boom and After, Indonesian Economic Policy and Performance in The
Soeharto Era. Oxford: Oxford University Press.
Depkimpraswil, 2002, Strategi Dan Konsepsi Pengembangan Kawasan Perbatasan Negara, Jakarta.
Douglass, Mike. 1991. Global Opportunities and Local Challenges for Regional Economies, paper
presented in UNCRD conference on Industrial Transformation and Regional Development in
the Pacific Rim, Jakarta.
Chen, Edward and C. H Kwan (Eds.). 1997. Asia’s Borderless Economy, The Emergence of Sub-
regional Zones. Sidney: Allen & Unwin.
Elizondo, R. L. and Paul Krugman. 1992. Trade Policy and the Third World Metropolis. Cambridge,
Mssachussetts: National Bureau of Economic Research, Working Paper No. 4238.
Hamid, Mukti, Sri Handoyo, Widianto, Tien, Kawasan Perbatasan Kalimantan Permasalahan dan
Konsep Pengembangan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
Herrin, A. N. and Ernesto M. Pernia. 1987. Factors Influencing the Choice of Location: Local and
Foreign Firms in the Philippines. Regional Studies 21(6), pp. 531-541.
Hill, H. 1987. Concentration in Indonesian Manufacturing. Bulletin of Indonesian Economic Studies
23(2), pp. 71-99.
Hill, H. 1988. Foreign Investment and Industrialization in Indonesia. Singapore: Oxford University
Press.
Hill, H. 1990a. Indonesia's Industrial Transformation Part I. Bulletin of Indonesian Economic
Studies 26(2), pp. 79-120.
Hill, H. 1990b. Indonesia's Industrial Transformation Part II. Bulletin of Indonesian Economic
Studies 26(3), pp. 75-109.
Hill, Hal. 1996. The Indonesian Economy since 1966, Southeast Asia's Emerging Giant. Cambridge:
Cambridge University Press.
Honjo, Masahiko. 1978. The Development Planning in Japan. Nagoya: UNCRD.
Hymer, Stephen. 1974. The multinational corporation and the law of uneven development. In
Economics and World Order. J.N. Bhagwati (Ed.). New York: Macmillan, pp. 113-140.

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 70 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

Igusa, Kunio; Suryo Sediono (eds.). 1992. Regional Development and Industrialization of Indonesia,
Regional Economic Balance and Industrialization at Local Level. Tokyo: Institute of
Developing Economies.
Kojima, Kiyoshi. 1978. Direct Foreign Investment, A Japanese Model of Multinational Business
Operations. London: Croom Helm.
Krugman, Paul. 1991. Increasing returns and economic geography, Journal of Political Economy,
99, 181 – 199.
Krugman, Paul. 2000. Development and Geography, MIT Press
Kurniadi, Sofi Revilia, Penentuan Pusat-Pusat Pelayanan Untuk Pengembangan Wilayah Di
Perbatasan Kalimantan Barat-Serawak (Malaysia), Departemen Teknik Sipil Dan
Perencanaan, Institut Teknologi Bandung, 2003.
Lindblad, J. Thomas., 1998. Foreign Investment in Southeast Asia in the Twentieth Century,
MacMillan, London.
Markas Besar Angkatan Darat, Sekolah Staf Dan Komando, Studi Ketahanan Wilayah Provinsi
Kalimantan Barat, Pasis Dikreg XLIII Seskoad TA. 2005, Bandung, September 2005.
Mickael Andjioe, 2001, Pengelolaan PPLB Entikong Kabupaten Sanggau Provinsi Kalimantan
Barat, http://www.perbatasan.com
Murata, K. 1980. An Industrial Geography of Japan. London: Bell & Hyman.
Noer, A. 1985. The Agglomeration of Manufacturing Industries in Indonesia’s Largest Cities, with
special focus on Domestic and Foreign Manufacturing Investment, Syracuse University, (PhD.
Dissertation)
Ozawa, Terutomo. 1979. Multinasionalism, Japanese Style. Princenton, New Jersey: Princenton
University Press.
Parsonage, James. 1992. Southeast Asia’s ‘Growth Triangle’: a subregional response to global
transformation. International Journal of Urban and Regional Research 16(2), pp. 307-317.
Pellindou P. Jack A., 2002. Peningkatan Kerjasama Perbatasan Antar Negara Guna Memeperlancar
Arus Perdagangan di Daerah Frontier Dalam Rangka Pemulihan Ekonomi Nasional.
Lemhanas. Jakarta.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor ... Tahun 2005 Tentang Badan Pengelolaan Dan
Pengembangan Perbatasan Antarnegara.
Rancangan Peraturan Presiden Republik Indonesia Tentang Dewan Pengembangan Kawasan
Perbatasan.
Rondinelli, D.A, 1980, Spatial Analysis for Regional Development, UNU.
Royle, Stephen A. 1997. Industrialisation in Indonesia: The Example of Batam Island. Singapore
Journal of Tropical Geography 18(1), pp. 89-98.
Sabarno Hari, 2001, Kebijakan/Strategi Penataan Batas dan Pengembangan Wilayah Perbatasan,
http://www.perbatasan.com
Syamwil, Indra B., Paul H. Tanimura. 2000. The Spatial Distribution of Japanese Manufacturing
Industries in Indonesia. Paper presented in the 14th Applied Regional Science Conference,
Tsukuba, Japan, 2-3 December 2000.
Syamwil, Indra B., Piyush Tiwari, Masayuki Doi, 2000. Spatial Pattern of Japanese Manufacturing
Industry in Southeast Asian Countries. Paper presented in the 14th Applied Regional Science
Conference, Tsukuba, Japan, 2-3 December 2000.
Syamwil, Indra B., Paul H. Tanimura. 2000. The Spatial Distribution of Japanese Manufacturing
Industries in Indonesia. Review of Urban and Regional Development Studies 12(2), pp. 120-
136.
Syamwil, Indra B., 2001.‘A Study of Spatial Distribution of Japanese Direct Investment in
Manufacturing Industry in Indonesia’, unpublished Ph.D. Dissertation in Urban and Regional
Planning, Graduate School of Policy and Planning Sciences, University of Tsukuba, Japan.

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 71 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pembangunan Kebijakan
Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman

Syamwil, Indra B., 2004a. Perencanaan dan Perancangan Pembangunan Ruang Perdesaan, paper
dipresentasikan dalam Sarasehan Program Magister Pembangunan Perdesaan, Departemen
Arsitektur ITB
Syamwil, Indra B., 2004b. The Strategy for Decentralized Regional Development, paper presented in
the International Conference on Habitat Day, Puslitbangkim-URDI, Hotel Horizon, Bandung.
Tanimura, Paul H., Indra B. Syamwil. 1997. Japan’s Industrial Location and the Technopolis
Concept, paper presented in the 9th Pacific Rim Conference of Urban Development,
Singapore, October 1997.
Tirtosudarmo, Riwanto. 2002. Tentang Perbatasan dan Studi Perbatasan, sebuah Pengantar.
Antropologi Indonesia, No. 67.
Tiwari, P.; I Budiman Syamwil; M. Doi, ‘Spatial Pattern of Japanese manufacturing industry in four
ASEAN countries’, Papers in Regional Science Journal, Springer, Vol. 82, No. 3, July 2003, pp
403-415.
Usulan Rencana Pembangunan Kawasan Perbatasan Antarnegara Provinsi Kalimantan Barat TA
2006, Juni, 2005.
UNDP, 2004. The Economics of Democracy, Financing Human Development in Indonesia, Human
Development Report, UNDP – Bappenas, Jakarta
Yamazawa, Ippei. 1990. Economic development and international trade: the Japanese model.
Honolulu: Resource Systems Institute, East-West Center.
Yoshihara, K. 1978. Japanese Investment in Southeast Asia. Honolulu: The University Press of
Hawaii.
Williamson, J. G. 1991. Inequality, poverty, and history: the Kuznets memorial lectures of the
Economic Growth Center, Yale University. Cambridge, Massachussetts: Blackwell.

Laporan Akhir Rev. 02a |Rev. 00 |08.12.05| Penelitian Hal. 72 dari 73


Pembangunan Wilayah di Perbatasan Negara

Anda mungkin juga menyukai