Anda di halaman 1dari 6

BAB II

PEMBAHASAN

A. Mekanisme Harga dalam Islam


Mekanisme harga adalah proses yang berjalan atas dasar gaya tarik-menarik
antara konsumen dan produsen baik dari pasar output ( barang ) ataupun input
( faktor-faktor produksi ). Hasil netto dari kekuatan tarik-menarik tersebut adalah
terjadinya harga untuk setiap barang dan untuk setiap faktor produksi. Harga
merupakan petunjukbagi produsen untuk mengalokasikan pendapatannya pada
berbagai jenis barang yang diperlukan sehingga manfaat pendapatannya untuk
memenuhi kebutuhannya memperoleh manfaat yang maksimum.
Dalam bahasa Arab harga berasal dari kata tsaman atau si’ru yakni nilai
sesuatu dan harga yang terjadi atas dasar suka sama suka ( an-taradin ) pemakaian
kata tsaman lebih umum daripada qimah yang menunjukkan harga riil yang telah
disepakati. Sedangkan si’ru adalah harga ditetapkan untuk barang dagangan. Harga
adalah perwujudan nilai suatu barang atau jasa dalam satuan uang. Harga merupakan
nilai yang diberikan pada apa yang dipertukarkan. Harga bisa juga berarti kekuatan
membeli untuk mencapai kepuasan dan manfaat. Semakin tinggi manfaat yang
dirasakan seseorang dari barang atau jasa tertentu, semakin tinggi nilai tukar dari
barang atau jasa tersebut.
Harga didefinisikan sebagai nisbah pertukaran barang dengan uang. Dalam
masyarakat modern, nilai harga barang tidaklah dinisbahkan kepada barang sejenis
tetapi dinisbahkan kepada uang. Misalnya 1 kg beras dinilai dengan Rp 5.000,-.
Dalam ekonomi Islam harga ditentukan oleh keseimbangan permintaan dan
penawaran. Dalam ekonomi bebas, interaksi permintaan dan penawaranlah yang
menentukan harga. Peningkatan permintaan terhadap suatu komoditi cenderung
menaikkan harga dan mendorong produsen untuk memproduksi barang-barang lebih
banyak. Masalah kenaikan harga timbul karena ketidak-seimbangan antara permintaan
dan penawaran.1

Pengertian harga menurut para ahli:

1
Rozalinda, Ekonomi Islam: Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi, ( Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2014), hlm. 154
a. William J. Stanton : Harga adalah jumlah uang ( kemungkinan ditambah
beberapa barang ) yang dibutuhkan untuk memperoleh beberapa kombinasi
sebuah produk dan pelayanan yang menyertainya.
b. Menurut Kotler, harga adalah sejumlah uang yang dibebankan pada suatu
produk tertentu. Menurut ( Philip kotler: 2009 ) dalam bukunya manajemen
pemasaran bahwa sepanjang sejarah, harga ditetapkan melalui negosiasi antara
pembeli dan penjual. Tawar-meanwar masih sering dilakukan dibeberapa
bidang. Dengan adanya negosiasi harga akan terbentuk harga yang berimbang
dan wajar sesuai dengan kesukarelaan antara penjual dan pembeli.
Mekanisme Harga:
1. Konsep harga Abu Yusuf ( 731-798 M )
Ia telah menyimpulkan bekerjanya hokum permintaan dan penawaran
pasar dalam menentukan tingkat harga, meskipun kata permintaan dan
penawaran ini tidak ia katakana secara eksplisit 2. Oleh karenanya, Abu Yusuf
menyangkal pendapat umum mengenai hubungan terbalik antara persediaan
barang dan harga karena pada kenyataannya harga tidak tergantung pada
permintaan saja, tetapi juga tergantung pada kekuatan penawaran. Peningkatan
atau penurunan harga tidak selalu berhubungan dengan peningkatan atau
penurunan permintaan, atau penurunan atau peningkatan dalam produksi.
Maka menurut Abu Yusuf tidak ada batasan tertentu tentang murah dan
mahalnya harga di pasar. Murah bukan karena melimpahnya makanan,
demikian juga mahal bukan karena kelangkaan makanan, kadang makanan
sangat sedikit tetapi harganya murah. Murah dan mahal merupakan sunatullah
( ketentuan Allah ). Pernyataan ini bermakna bahwa harga bukan hanya
ditentukan oleh penawaran semata, tetapi juga ditentukan oleh permintaan.
2. Al-Ghazali ( 1058-1111 M)
Konsep yang ditawarkan Al-ghazali dikenal juga dengan sebutan
elastisitas permintaan. Hal ini tampak jelas dengan perkataannya bahwa
mengurangi margin keuntungan dengan menjual harga yang lebih murah akan
meningkatkan volume penjualan, yang pada gilirannya akan meningkatkan
keuntungan.
3. Ibn Taimiyah
Ibn Taimiyah membedakan antara dua jenis harga, yaitu harga yang
tidak adil dan terlarang serta harga yang adil dan disukai. Dalam Majmu
Fatawa, Ibn Taimiyah mendefinisikan equivalen price sebagai harga baku

2
Havis Aravik, Ekonomi Islam, ( Malang: Empatdua, 2016), hlm. 146
( s’ir ) yaitu penduduk menjual barang-barangnya dan secara umum diterima
sebagian sesuatu setara dengan itu dan untuk barang yang sama pada waktu
dan tempat yang khusus. Sementara dalam al-hisbah, ia menjelaskan bahwa
equivalen price sesuai dengan keinginan atau lebih persisnya harga yang
ditetapkan oleh kekuatan pasar yang berjalan bebas kompetitif dan tidak
terdistorsi antara penawaran dan permintaan. Equilibrium Price ( harga yang
adil ) dalam perspektif ekonomi Islam adalah harga yang tidak menimbulkan
dampak negatif ataupun kerugian bagi para pelaku pasar, baik dari sisi penjual
maupun pembeli. Harga tidak dapat dikatakan adil apabila harga tersebut
terlalu rendah sehingga penjual ataupun produsen tidak dapat me recovery
biaya-biaya yang telah dikeluarkan. Sebaliknya, harga tidak boleh terlalu
tinggi karena akan berdampak pada daya beli pembeli dan konsumen. Harga
yang adil adalah harga yang dapat menutupi semua operasional produsen
dengan margin laba tertentu serta tidak merugikan para pembeli.
4. Ibn Khaldun
Ibn Khaldun dalam kitabnya al-mukadimah menyatakan bahwa jika
suatu kota berkembang dan jumlah penduduknya semakin banyak, penuh
dengan kemewahan, maka barang-barang pokok akan menurun, sedangkan
barang mewah akan menaik. Ini disebabkan penduduk kota memiliki surplus
tinggi akan bahan makanan melebihi kebutuhan mereka, sedangkan
penawaran bahan pangan akan naik seiring dengan meningkatnya gaya hidup
yang mengakibatkan peningkatan permintaan terhadap barang mewah. Ketika
barang-barang kebutuhan ketrsediaannya sedikit, maka harga akan naik.
Namun, terjadi impor barang kebutuhan tersebut sehingga ketersediaannya
melimpah maka harga akan turun. Ini berarti bahwa kekuatan permintaan dan
penawaranlah yang menentukan keseimbangan harga3.

B. Penetapan Harga menurut Ulama Fiqh


Islam sangat konsen pada masalah keseimbangan harga, terutama pada
bagaimana peran Negara dalam mewujudkan kestabilan harga dan bagaimana
mengatasi masalah ketidakstabilan harga. Para ulama berbeda pendapat mengenai
boleh tidaknya Negara mentapkan harga. Sebagian ulama menolak peran Negara
untuk menetapkan harga, sebagian ulama lain membenarkan Negara untuk

3
Ibid, hlm. 151
menetapkan harga. Perbedaan pendapat ini berdasarkan pada adanya hadis yang
diriwayatkan oleh Anas:
“ Sesungguhnya Allah yang maha penetap harga, yang menyempitkan dan
melapangkan serta pemberi rezeki”.
a. Ulama Zahiriyah, sebagian Ulama Malikiyah, sebagian Ulama Syafi’iyah,
sebagian ulama Hanabilah dan imam Asy-Syaukani
Menyatakan beradasarkan hadis tersebut dalam kondisi apapun
penetapan harga oleh pemerintah tidak dapat dibenarkan, jika dilakukan
hukumnya haram. Pematokan harga merupakan suatu kezaliman. Menurut
mereka, baik harga itu melonjak tinggi yang disebabkan oleh tingginya
permintaan maupun ulah spekulan, maupun factor alam, segala bentuk campur
tangan pemerintah dalam penetapan harga tidak dibolehkan. Alasannya bahwa
manusia berkuasa atas harta mereka sedangkan pematokan harga adalah
pemaksaan terhadap mereka. Padahal seorang imam diperintahkan untuk
memelihara kemaslahatan umat Islam.
b. Ibnu Qudhamah al Maqdisi
Berpendapat bahwa pemerintah tidak memiliki wewenang untuk
menetapkan harga bagi penduduk, penduduk boleh menjual barnag mereka
dengan harga berapapun yang mereka sukai.
c. Mazhab Hambali dan Syafi’i
Menyatakan bahwa Negara tidak mempunyai hak untuk menetapkan
harga. Dalil yang dijadikan pegangan adalah hadis riwayat Anas Ibnu Malik.
Jumhur ulama berpendapat bahwa penetapan harga oleh pemerintah
hukumnya haram berdasarkan hadis tersebut.4

d. Ibnu Taimiyah
Namun Ibn Taimiyah menolak pendapat jumhur ulama yang
mengharamkan secara mutlak penetapan harga tersebut. Menurutnya hadis itu
adalah sebuah kasus khusus bukan aturan umum, sehingga ia membolehkan
penetapan harga oleh pemrintah.

C. Intervensi Harga Menurut Ekonomi Islam


Seperti yang telah dijelaskan terdahulu pada dasarnya Islam menganut system
ekonomi pasar bebas. Tingkat harga disesuaikan pada kekuatan penawaran dan
permintaan. Dalam keadaan pasar berjalan secara alami ini pemerintah tidak
dibenarkan campur tangan dalam mekanisme pasar. Seperti yang disinyalir dalam

4
Rozalinda, Ekonomi Islam: Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi, ( Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2014), hlm. 171
hadis riwayat Bukhari dan Muslim, Abu Daud dan Ahmad. Pada masa Rasulullah
telah terjadi kenaikan harga-harga barang kemudian masyarakat mendatangi Rasul
kemudian memintanya untuk menetapkan harga:
“ Ya Rasulullah telah terjadi kenaikan harga-harga barang maka tetapkan harga
untuk barang-barang tersebut. Rasulullah menjawab: Sesungguhnya Allah yang
maha penetap harga, yang menyempitkan dan melapangkan serta pemberi rezeki,
saya berharap akan bertemu dengan Allah dan tidak seorangpun yang menuntut saya
karena kezaliman yang saya lakukan dalam masalah darah dan harta”.5
Hadis ini muncul ketika masa-masa ekonomi sangat sulit, sehingga barang
komoditi menipis. Dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa penentu harga itu adalah
Allah, maksudnya diserahkan pada penawaran dan permintaan. Demikian dinyatakan
secara tegas oleh ahli ekonomi Islam dan ahli Fiqh seperti Zahiriyah, Ulama
Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah dan Ibnu Atsir. Penolakan Rasulullah terhadap
penetapan harga (tas’ir) berdasarkan hadis ini adalah karena tidak ditemukannya
kondisi yang mengharuskan untuk melakukannya karena kenaikan harga yang terjadi
masih dalam keadaan normal bukan akibat distorsi pasar. Ketika itu, harga terbentuk
berdasarkan atas supply dan demand yang apabila dilakukan intervensi akan
menimbulkan kezaliman bagi semua pihak.
Namun, apabila harga barang di pasar tidak lagi ditentukan oleh kekuatan
penawaran dan permintaan, seperti melonjaknya harga suatu barang disebabkan oleh
hilangnya barang di pasaran karena ikhtikar ( penimbunan barang komoditi tertentu
yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat ) atau kenaikan harga suatu barang
disebabkan oleh ketiadaan barang komoditi karena bencana alam. Dalam keadaan
seperti ini menurut Ibn Taimiyah, pemerintah dapat melakukan intervensi pasar dalam
rangka melakukan regulasi harga. Karena harga yang adil terbentuk atas dasar an-
taradin semua pihak. Intervensi harga dilakukan adalah untuk kemaslahatan, yakni
memenuhi kebutuhan dasar penduduk dan untuk memelihara kejujuran para
pedagang. Ibn Qayyim pun berpendapat, penentuan harga harus diserahkan kepada
keuatan pasar, yaitu kekuatan permintaan dan penawaran, jika terjadi
ketidaksempurnaan pasar ( distorsi ), misalnya monopoli Ibn Qayyim
merekomendasikan intervensi pemerintah untuk memperbaiki harga pasar.

5
Rozalinda, Ekonomi Islam: Teori dan Aplikasinya pada Aktivitas Ekonomi, ( Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2014), hlm. 162
Dalam ekonomi Islam, cara pengendalian harga ditentukan oleh penyebabnya.
Bila penyebabnya adalah perubahan pada permintaan dan penawaran, maka
mekanisme pengendalian dilakukan melalui intervensi pasar. Bila penyebabnya adalh
distorsi terhadap permintaan dan penawaran maka mekanisme pengendalian
dilakukan melalui penghilangan distorsi tersebut6.

6
Ibid, hlm. 165

Anda mungkin juga menyukai