PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah :
1[1] http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5062c303220fb/majelis-hakim-pailit-
telkomsel-dilaporkan
PEMBAHASAN
2[2] Bravika Bunga Ramadhani, Tesis Penyelesaian Utang Piutang Melalui Kepailitan (Studi Kasus
Pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tentang P.T.Prudential Life Insurance), Program
Studi Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro Semarang 2009,
3[3] Sriwijiastuti, Tesis “Lembaga Pkpu Sebagai Sarana Restrukturisasi Utang Bagi Debitor
Terhadap Para Kreditor (Studi Kasus Pada PT. Anugerah Tiara Sejahtera)”, program studi magister
kenotariatan, program pascasarjana, universitas diponegoro, semarang ,2010, Hlm.21
kreditor itu ada yang menurut undang-undang harus didahulukan dalam menerima
pembayaran tagihannya.4[4]
Indonesia telah melakukan dua kali penggantian Undang-Undang Kepailitan.
Pertama, Faillissementsverordening (Staatblad 1905 Nomor 217 juncto Staatblad 1906
Nomor 348) yang tetap berlaku sampai dengan tahun 1998. Kemudian lahir Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang- Undang tentang Kepailitan menjadi
Undang-Undang. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menggantikan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Berdasarkan dua kali perubahan Undang-Undang
Kepailitan tersebut dapat dilihat
bahwa perlindungan terhadap kepentingan kreditor bertambah tegas. Hal ini dapat dilihat dari
ketentuan persyaratan permohonan pernyataan pailit, penundaan kewajiban pembayaran
utang, dan ketentuan lainnya, misalnya sita umum, actio paulina dan gijzeling. Namun
demikian, dalam praktek penegakan Undang-Undang Kepailitan perlindungan labih
mengarah kepada kepentingan kreditor.5[5]
Pengertian Kepailitan menurut UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang No. 37 Tahun 2004 adalah :
“Sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya
dilakukan oleh Kurator di bawah Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini (pasal 1 ayat (1)”
Syarat untuk dapatnya dijatuhi kepailitan sebagaimana diatur di dalam pasal 2 ayat (1) yang
berbunyi :
“ Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan ridak membayar lunas sedikitnya
satu utang yang telah jatuh waktu dan ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan,
baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya “
4[4] Prinsip ini terdiri dari istilah pari passu yaitu bersama-sama memperoleh pelunasan tanpa
ada yang didahulukan, dan pro rata parte (proporsional) yaitu dihitung berdasarkan pada besarnya
piutang masing-masing dibandingkan terhadap piutang mereka secara keseluruhan terhadap seluruh
harta kekayaan debitor.
5[5] Siti Anisah, “ Studi Komparasi terhadap Perlindungan Kepentingan Kreditor dan Debitor
dalam Hukum Kepailitan.”, dalam Jurnal Hukum No. Edisi khusus vol. 16 oktober 2009: 30 – 50.
Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (1) Faillssement verordening (Fv), menentukan bahwa
“ setiap orang berutang yang berada dalam keadaan berhenti membayar hutang-utangnya,
dengan putusan hakim baik atas pelaporannya sendiri ataupun atas permintaan seorang atau
lebih para berpiutangnya, dinyatakan dalam keadaan pailit.”
Berdasarkan rumusan tersebut dapat diketahui bahwa syarat pailit yaitu debitor dalam
keadaan berhenti membayar utang-utangnya. Dan terdapat Yurisprudensi yang menjelaskan
apa yang dimaksud dengan keadaan berhenti membayar, yaitu :6[6]
1) Putusan Hogeraad tanggal 22 Maret 1946 (dalam Nederlandse jurisprudentie (N.J) 1946,
233) menyebutkan bahwa “ keadaan berhenti membayar “ tidak sama dengan keadaan
kekayaan tidak cukup untuk membayar utang-utangnya yang sudah dapat ditagih, melainkan
bahwa debitor tidak membayar utang-utang itu.
2) Putusan Hogeraad tanggal 6 Desember 1951 (dalam Nederlandse jurisprudentie (N.J)
1953, 7) menyebutkan bahwa “ keadaan berhenti membayar “ merupakan keadaan debitor
yang tidak membayar karena keadaan overmacht
3) Putusan Pengadilan Tinggi bandung Tanggal 13 Juli 1973 (171/1973/Perd/PTB),
menyebutkan bahwa “berhenti membayar tidak harus diartikan naar de letter yaitu debitor
berhenti sama sekali untuk membayar utang-utangnya, tetapi bahwa debitor tersebut pada
waktu diajukan permohonan pailit berada dalam keadaan tidak dapat membayar utang
tersebut.”
Berdasarkan Pasal 8 ayat (4) Undang-undang No.37 Tahun 2004 Tentang kepailitan dan
PKPU menyatakan bahwa : “ Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila
terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk
dinyatakan pailit sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi.”
Dan pada dasarnya terdapat perbedaan mengenai syarat kepailitan dalam Undang-undang
yang lama dengan yang terbaru, yang pada akhirnya diterapkan oleh hakim dalam
menafsirkan syarat kepailitan menjadi sangat dangkal.
6[6] Erma Defiana Putriyanti, et, all, dalam makalah “ kajian Hukum tentang Penerapan
pembuktian sederhana dalam perkara pailit.”
TENTANG DUDUK PERKARA SECARA SINGKAT
7[7] Agus Subroto, dalam Makalah “pemahaman konsep dasar dan aspek hukum kepailitan Di
indonesia.”
ditaati mitra kerjanya yaitu PT.Prima Jaya Informatika atas perjanjian tersebut. Telkomsel
Menyediakan voucher isi ulang dan Kartu perdana untuk dijual oleh PT.Prima Jaya
Informatika dengan target penjualan 120 juta voucher dan 10 juta Kartu Perdana serta
Membentuk komunitas Prima (10 juta anggota), penetapan jumlah penjualan Voucher dan
kartu perdana adalah ditetapkan oleh Telkomsel secara sepihak berdasarkan asas kebebasan
berkontrak dan disetujui untuk ditaati.
Didalam perjanjian kerja sama tersebut Pihak Telkomsel telah melaksanakan
pretasinya dengan menyediakan Voucher isi ulang dan kartu perdana yang telah diminta oleh
PT.Prima Jaya Informatika, akan tetapi ternyata PT.Prima Jaya Informatika justru Tidak
Melakukan Pembayaran Terhadap PO NO.PO/PKIAK/ V/2012/00000026 tanggal 9 Mei
2012 sebesar Rp4.800.000.000,00 (empat milyar delapan ratus juta Rupiah).
Didalam pelaksanaan perjanjian ini terlihat jelas Telkomsel adalah berkedudukan
sebagai kreditor dan PT.Prima Jaya Informatika berkedudukan sebagai Debitor karena
mempunyai kewajiban untuk membayar atas apa yang telah diberikan oleh Telkomsel, dan
selain terkait barang yang belum dibayar PT.Prima Jaya Informatika juga tidak memiliki
pilihan lain selain wajib mentaati Peraturan didalam perjanjian kerjasama tersebut.
Sehingga Syarat untuk dapatnya dijatuhi kepailitan sebagaimana diatur di dalam pasal 2 ayat
(1) UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang No. 37 Tahun 2004 yang
berbunyi
“ Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor…..” dimana dalam kasus ini PT
Telkomsel di perlakukan atau dianggap sebagai debitor oleh Majelis Hakim Pengadilan
Niaga sebagaimana dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang tersebut diatas adalah penafsiran
yang keliru dan terbalik.
Kata “utang” sebagaimana tersebut dalam ketentuan Pasal 1 ayat 1 UU No. 4/1998
secara sempit, sehingga hanya mencakup utang yang lahir karena pinjaman uang.
Pemahaman yang demikian jelas bukan maksud pembentuk undang-undang. Oleh sebab itu,
untuk memperbaiki salah pemahaman tersebut hal itu ditegaskan dalam Undang-undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU yang mengambil contoh Pasal 1233 dan
Pasal 1234 KUHPerdata, menegaskan bahwa : “Utang adalah kewajiban yang dinyatakan
atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata
uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari (kontinjen),
yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan
bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapatkan pemenuhannya dari
harta kekayaan debitor”
Adapun contoh utang yang lahir karena undang-undang adalah “perbuatan melawan hukum”
(Pasal 1365 KUHPerdata), negotiorum gestio atau “zaakwaarneming” (Pasal 1354-1357
KUHPerdata) dan Pembayaran yang tidak diwajibkan (Pasal 1359-1364 KUHPerdata).
Sementara itu yang dimaksud dengan utang yang lahir karena perjanjian, ketentuan Pasal
1234 KUHPerdata mengatur bahwa hal itu terdiri dari
- Perikatan untuk memberikan sesuatu,
- Perikatan untuk berbuat sesuatu, atau
- Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu.
Berikut ini dipaparkan beberapa contoh perikatan dimaksud :
- perikatan dari seorang penjual untuk menyerahkan kepada pembeli barang yang
dijualnya;
- perikatan dari seorang peminjam untuk membayar kembali utang pokok dan
membayar bunga yang diperjanjikan kepada kreditornya;
- perikatan dari seorang penanggung untuk membayar kepada kreditor utang yang ia
jamin pembayarannya;
- perikatan dari seorang pemilik pekarangan yang telah memberikan hak numpang
lewat (servituut = hak pengabdian pekarangan) untuk tidak menutup jalan masuk dan jalan
keluar dari pekarangan tersebut.
Semua perikatan tersebut adalah utang dari debitor (yang terdiri dari penjual,
peminjam,dan pemilik pekarangan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal l ayat (l) Undang-
undang Nomor 4/1998 atau Pasal 2 ayat (l) Undang-undang Nomor 37/2004. Oleh karenanya
ia dapat menjadi dasar bagi pemohon untuk mengajukan Permohonan Pernyataa Pailit.8[8]
Utang tidak meliputi suatu kewajiban yang timbul akibat dari tindakan wanprestasi, yang
dikutip antara lain sebagai berikut:9[9]
“…pada hakekatnya hubungan hukum yang ada antara para Termohon kasasi (dahulu
termohon asal/PT. Modernland Realty Ltd.) adalah hubungan hukum perikatan jual beli
mengenai satuan rumah susun Golf Modern yang dibangun oleh Pemohon Kasasi dengan
8[8] Ibid.
9[9] Ricardo Simanjuntak, Undang-Undang Kepailitan No. 37 Tahun 2004 dan Undang-Undang
Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007 sehubungan dengan Penyelesaian Kewajiban Perseroan Pailit
terhadap para Krediturnya, dalam dalam Prosiding Seminar Nasional Kepailitan “Antisipasi Krisis
Keuangan Kedua, Sudah Siapkah Pranata Hukum Kepailitan Indonesia?”, USAID In ACCE Project &
AKPI, Jakarta, 29 Oktober 2008, Hlm.24
pembayaran secara angsuran oleh para Termohon Kasasi sehingga karenanya merupakan
perikatan antara produsen dan konsumen.
Sedangkan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU No. 4/1998 beserta penjelasannya
telah dicantumkan dengan jelas adanya hubungan hukum utang dan bahwa pengertian utang
yang tidak dibayar oleh debitur sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah utang
pokok dan bunganya.
Bahwa dengan demikian pengertian “utang” dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 4/1998
harus diartikan dalam konteks pemikiran konsiderans tentang maksud diterbitkannya undang-
undang tersebut dan tidak dapat dilepaskan kaitan itu daripadanya, yang pada dasarnya
menekankan pada pinjam meminjam swasta. Sehingga karenanya tidak meliputi wanprestasi
lain yang tidak berawal dari konstruksi pinjam meminjam.”
Dalam kasus perjanjian kerjasama antara Telkomsel dengan PT.Prima Jaya
Informatika, yang dimaksud utang oleh PT.Prima Jaya Informatika dalam permohonan
pailitnya adalah Purchase Order (PO) atau Perintah Pembelian atau surat Pemesanan Barang
yang diterbitkan oleh Pemohon Pailit kepada Termohon Pailit yang sama sekali bukan
merupakan bukti adanya utang ataupun kewajiban Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit.
Bahkan dalam Perjanjian Kerjasama tidak pernah disebutkan bahwa Purchase Order (PO)
adalah bukti pembayaran ataupun bukti tagihan kepada Pemohon Pailit. Sehingga dalam hal
Syarat Pokok Permohonan kepailitan tentang adanya “ UTANG” menjadi tidak terpenuhi. Di
dalam proses beracara dalam hukum kepailitan, konsep utang menjadi sangat penting dan
esensial (menentukan) karena tanpa adanya utang maka tidaklah mungkin perkara kepaiiitan
akan dapat diperiksa. Tanpa adanya utang, maka esensi kepailitan tidak ada karena kepailitan
adalah pranata hukum untuk melakukan likuidasi aset debitor untuk membayar utang
utangnya terhadap para kreditornya.10[10]
Dan lagi-lagi Majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat keliru didalam
menafsirkan Purchase Order sebagai Utang yang menerbitkan kewajiban untuk membayar.
Tindakan Telkomsel dengan tidak memberikan barang atas Purchase Order (PO)
sebagaimana yang dipesan kembali oleh PT.Prima Jaya Informatika (yang dianggap sebagai
utang) adalah dikarenakan PT.Prima Jaya Informatika telah melakukan Wanprestasi yaitu
Tidak Melakukan Pembayaran Terhadap PO NO.PO/PKIAK/ V/2012/00000026 tanggal 9
11[11] http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5062c303220fb/majelis-hakim-pailit-
telkomsel-dilaporkan
12[12] Andi Kisnah Bintang , et.al, “ Asas Exceptio Non Adimpleti Contractus Dalam Perjanjian
Kredit”, Program Kenotariatan, FakultasHukum, UniversitasHasanuddin,
15[15] Sutan Remy Sjahdeini, Hukum kepailitan memahami Undang-undang No.37 tahun 2004
tentang kepailitan, pt.pustaka utama graffiti, cetakan ke IV, Jakarta, Januari 2010, Hlm.33-34
terhadap orang lain, lebih-lebih lagi terhadap orang banyak, Dalam peristiwa kepailitan
terdapat banyak kepentingan yang terlibat, yaitu selain kepentingan para kreditornya juga
kepentingan para stakeholders yang lain dari Debitor yang dinyatakan pailit, lebih-lebih
apabila Debitor itu adalah suatu perusahaan.
PT.Telekomunikasi Selular Adalah Perusahaan Telekomunikasi Yang Sangat Sehat Dan
Dikelola Dengan Sangat Balk Yang Terus Menghasilkan Keuntungan, Proporsi kepemilikan
saham Telkom = 65% Saham Singtel = 35% Saham, Dimana Berdasarkan Laporan
Keuangan Tahun 2011 Yang Telah Diaudit Dan Membukukan Keuntungan Sebesar
Rp.12.823.670.058.017,00 (dua belas triliun delapan ratus dua puluh tiga miliar enam ratus
tujuh puluh juta lima puluh delapan ribu tujuh belas Rupiah)16[16] Putusan pernyataan pailit
yang dikeluarkan oleh Majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat sangat bertentangan
dengan asas Undang-undang kepailitan itu sendiri, dengan menciptakan keadaan
ketidakpastian Penegak hukum didalam menerapkan Undang-undang kepailitan yang itu
sangat mengancam iklim investasi bagi asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Dan pada akhirnya Pihak asing akan beranggapan bahwa Hukum kepailitan di Negara
Indonesia ini tidak dapat diterima secara Global.
Asas-asas Undang-undang kepailitan pada umumnya, secara tegas menyatakan “
Putusan pernyataan pailit tidak dapat dijatuhkan terhadap Debitor yang masih Solven.”sikap
ini merupakan sikap Faillissement verordening (Fv) sebagaimana tercantum dalam Pasal 1
ayat (1) sebelum kemudian diubah oleh Perpu No.1 Tahun 1998, dengan bunyi sebagai
berikut :
“ Setiap pihak yang berutang (debitur) yang tidak mampu yang berada dalam keadaan
berhenti membayar utang-utangnya, dengan putusan hakim, baik atas permintaannya sendiri
maupun atas permintaan seorang atau lebih pihak berpiutangnya (kreditornya), dinnyatakan
dalam keadaan pailit.” Untuk dapat menetukan debitur dalam keadaan solven atau insolven
hanya dilakukan berdasarkan financial audit.17[17] Putusan Pernyataan pailit atas Telkomsel
ini juga tidak Memberikan Perlindungan yang Seimbang bagi Kreditor dan Debitor
(menjunjung keadilan dan memperhatikan kepentingan keduanya meliputi segi-segi penting
yang dinilai perlu untuk mewujudkan penyelesaian masalah utang-piutang secara cepat, adil,
terbuka, dan efektif. Penerapan pertimbangan hukum yang diambil Majelis hakim Pengadilan
20[20] http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/12/09/26/mayqtz-pailitkan-
telkomsel-hakim-pengadilan-niaga-dilaporkan-ke-ky Diakses 26 Mei 2013