Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

PUTUSAN No. 48/Pailit/2012/PN.Niaga.JKT.PST yang menyatakan


PT.Telekomunikasi Selular Tbk pailit adalah putusan yang controversial dan banyak terdapat
kelemahan didalam penerapan hukumnya,oleh karena itu Penulis tertarik untuk menganalisa
dan mengkaji Putusan tersebut, walaupun putusan Tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah
Agung dalam PUTUSAN KASASI No. 704 K/Pdt.Sus/2012 .
PT Telekomunikasi Selular Tbk (Telkomsel) untuk selanjutnya disebut Telkomsel dan
PT Prima Jaya Informatika memulai kerja sama pada 1 Juni 2011 sampai batas waktu Juni
2013 dengan komitmen awal Telkomsel menyediakan voucher isi ulang bertema khusus
olahraga. Namun kemitraan ini menimbulkan kasus, karena pada Juni 2012 Telkomsel
memutuskan kontrak karena menilai PT Prima Jaya Informatika tidak memenuhi aturan yang
dipersyaratkan
Kisruh Telkomsel dengan PT Prima Jaya Informatika berawal dari dihentikannya pasokan
produk prabayar Kartu Prima mulai Juni 2012 lalu. PT Prima Jaya Informatika sebagai mitra
mengajukan permohonan pailit kepada Telkomsel karena dianggap mempunyai utang jatuh
tempo atas penyediaan kartu Prima.
Perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia, Telkomsel diputuskan pailit dalam
Putusan No. 48/Pailit/2012/PN.Niaga.JKT.PST oleh majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta.
Majelis hakim permohonan pailit tersebut terdiri dari Agus Iskandar, Bagus Irawan, dan
Noer Alli.
Menurut majelis, permohonan pailit yang diajukan PT Prima Jaya Informatika telah
memenuhi syarat-syarat Undang-undang kepailitan yaitu Telkomsel terbukti memiliki utang
jatuh tempo yang dapat ditagih oleh PT Prima Jaya Informatika sebesar Rp5,3 miliar dan
sejumlah kreditur lain, seperti PT Extend Media Indonesia senilai Rp21.031.561.274 dan
Rp19.294.652.520. Gugatan yang diajukan oleh CEO PT Prima Jaya Informatika, Tonny
Djaya Laksana, oleh karenanya terbukti memenuhi unsur Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang
(UU) Kepailitan, yang Yaitu adanya utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih serta terdapat
minimal dua kreditor.
Penerapan hukum atas Putusan Pailit terhadap Telkomsel dinilai sangat controversial
dan tidak masuk akal, karena sebuah Perusahaan Telekomunikasi Terbesar di Indonesia
dengan asset triliunan rupiah, dapat dengan mudah dipailitkan hanya dengan utang sebesar
5.3 Miliar yang itupun adalah Purchase Order yang dianggap Sebagai Utang. Dan dalam
kasus ada kekhilafan hakim didalam memutuskan perkara tanpa memperhatikan asas hukum
"exceptio non adimpleti contractus".1[1] Artinya pihak lawan dalam keadaan lalai, maka
dengan demikian tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi pihak lain. Selain itu dalam legal
standing dalam perjanjian kerja sama tersebut PT Prima Jaya Informatika sebagai Pemohon
pailit (sebagai kreditor) dan Telkomsel (sebagai Debitor) yang memiliki aset dan laba
triliunan rupiah sebagai perusahaan yang masih sangat solven telah terjadi kekeliruan dalam
penafsiran hukum antara siapa sebagai kreditor dan siapa sebagai Debitor di dalam Perjanjian
kerja sama tersebut.

B. Rumusan Masalah :

Apakah PUTUSAN No. 48/Pailit/2012/PN.Niaga.JKT.PST terhadap PT.


Telekomunikasi Selular Tbk (Telkomsel), sudah sesuai dengan Hukum Kepailitan dan
asas-asas hukum Kepailitan ?

1[1] http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5062c303220fb/majelis-hakim-pailit-
telkomsel-dilaporkan

Diakses 26 Mei 2013


BAB II

PEMBAHASAN

Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang debitor yang mempunyai


kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal
ini Pengadilan Niaga, dikarenakan debitor tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta
debitor dapat dibagikan kepada para kreditor sesuai dengan peraturan pemerintah. Dalam hal
seorang debitor hanya mempunyai satu kreditor dan debitor tidak membayar utangnya
dengan suka rela, maka kreditor akan menggugat debitor secara perdata ke Pengadilan Negeri
yang berwenang dan seluruh harta debitor menjadi sumber pelunasan utangnya kepada
kreditor tersebut. Hasil bersih eksekusi harta debitor dipakai untuk membayar kreditor
tersebut. Sebaliknya dalam hal debitor mempunyai banyak kreditor dan harta kekayaan
debitor tidak cukup untuk membayar lunas semua kreditor, maka para kreditor akan berlomba
dengan segala cara, baik yang halal maupun yang tidak, untuk mendapatkan pelunasan
tagihannya terlebih dahulu.2[2]
Kepailitan adalah merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari prinsip paritas creditorium
dan prinsip pari passau prorate parte dalam rezim hukum harta kekayaan (vermogensreechts).
Prinsip paritas creditorium berarti bahwa semua kekayaan debitor baik yang berupa barang
bergerak ataupun barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitor
dan barang-barang di kemudian hari akan dimiliki debitor terikat kepada penyelesaian
kewajiban debitor.3[3]
Sehingga berlaku prinsip Prinsip Pari Passu Pro Rata Parte Prinsip pari passu pro rata
parte berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditor
dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional diantara mereka, kecuali jika antara para

2[2] Bravika Bunga Ramadhani, Tesis Penyelesaian Utang Piutang Melalui Kepailitan (Studi Kasus
Pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tentang P.T.Prudential Life Insurance), Program
Studi Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro Semarang 2009,

3[3] Sriwijiastuti, Tesis “Lembaga Pkpu Sebagai Sarana Restrukturisasi Utang Bagi Debitor
Terhadap Para Kreditor (Studi Kasus Pada PT. Anugerah Tiara Sejahtera)”, program studi magister
kenotariatan, program pascasarjana, universitas diponegoro, semarang ,2010, Hlm.21
kreditor itu ada yang menurut undang-undang harus didahulukan dalam menerima
pembayaran tagihannya.4[4]
Indonesia telah melakukan dua kali penggantian Undang-Undang Kepailitan.
Pertama, Faillissementsverordening (Staatblad 1905 Nomor 217 juncto Staatblad 1906
Nomor 348) yang tetap berlaku sampai dengan tahun 1998. Kemudian lahir Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang- Undang tentang Kepailitan menjadi
Undang-Undang. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menggantikan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Berdasarkan dua kali perubahan Undang-Undang
Kepailitan tersebut dapat dilihat
bahwa perlindungan terhadap kepentingan kreditor bertambah tegas. Hal ini dapat dilihat dari
ketentuan persyaratan permohonan pernyataan pailit, penundaan kewajiban pembayaran
utang, dan ketentuan lainnya, misalnya sita umum, actio paulina dan gijzeling. Namun
demikian, dalam praktek penegakan Undang-Undang Kepailitan perlindungan labih
mengarah kepada kepentingan kreditor.5[5]
Pengertian Kepailitan menurut UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang No. 37 Tahun 2004 adalah :
“Sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya
dilakukan oleh Kurator di bawah Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini (pasal 1 ayat (1)”
Syarat untuk dapatnya dijatuhi kepailitan sebagaimana diatur di dalam pasal 2 ayat (1) yang
berbunyi :
“ Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan ridak membayar lunas sedikitnya
satu utang yang telah jatuh waktu dan ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan,
baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya “

4[4] Prinsip ini terdiri dari istilah pari passu yaitu bersama-sama memperoleh pelunasan tanpa
ada yang didahulukan, dan pro rata parte (proporsional) yaitu dihitung berdasarkan pada besarnya
piutang masing-masing dibandingkan terhadap piutang mereka secara keseluruhan terhadap seluruh
harta kekayaan debitor.

5[5] Siti Anisah, “ Studi Komparasi terhadap Perlindungan Kepentingan Kreditor dan Debitor
dalam Hukum Kepailitan.”, dalam Jurnal Hukum No. Edisi khusus vol. 16 oktober 2009: 30 – 50.
Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (1) Faillssement verordening (Fv), menentukan bahwa
“ setiap orang berutang yang berada dalam keadaan berhenti membayar hutang-utangnya,
dengan putusan hakim baik atas pelaporannya sendiri ataupun atas permintaan seorang atau
lebih para berpiutangnya, dinyatakan dalam keadaan pailit.”
Berdasarkan rumusan tersebut dapat diketahui bahwa syarat pailit yaitu debitor dalam
keadaan berhenti membayar utang-utangnya. Dan terdapat Yurisprudensi yang menjelaskan
apa yang dimaksud dengan keadaan berhenti membayar, yaitu :6[6]
1) Putusan Hogeraad tanggal 22 Maret 1946 (dalam Nederlandse jurisprudentie (N.J) 1946,
233) menyebutkan bahwa “ keadaan berhenti membayar “ tidak sama dengan keadaan
kekayaan tidak cukup untuk membayar utang-utangnya yang sudah dapat ditagih, melainkan
bahwa debitor tidak membayar utang-utang itu.
2) Putusan Hogeraad tanggal 6 Desember 1951 (dalam Nederlandse jurisprudentie (N.J)
1953, 7) menyebutkan bahwa “ keadaan berhenti membayar “ merupakan keadaan debitor
yang tidak membayar karena keadaan overmacht
3) Putusan Pengadilan Tinggi bandung Tanggal 13 Juli 1973 (171/1973/Perd/PTB),
menyebutkan bahwa “berhenti membayar tidak harus diartikan naar de letter yaitu debitor
berhenti sama sekali untuk membayar utang-utangnya, tetapi bahwa debitor tersebut pada
waktu diajukan permohonan pailit berada dalam keadaan tidak dapat membayar utang
tersebut.”

Berdasarkan Pasal 8 ayat (4) Undang-undang No.37 Tahun 2004 Tentang kepailitan dan
PKPU menyatakan bahwa : “ Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila
terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk
dinyatakan pailit sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi.”
Dan pada dasarnya terdapat perbedaan mengenai syarat kepailitan dalam Undang-undang
yang lama dengan yang terbaru, yang pada akhirnya diterapkan oleh hakim dalam
menafsirkan syarat kepailitan menjadi sangat dangkal.

6[6] Erma Defiana Putriyanti, et, all, dalam makalah “ kajian Hukum tentang Penerapan
pembuktian sederhana dalam perkara pailit.”
TENTANG DUDUK PERKARA SECARA SINGKAT

Pemohon Pailit (PT.Prima Jaya Informatika ) di dalam melakukan kegiatan usahanya


telah melakukan suatu perikatan hukum dengan Termohon Pailit (Telkomsel), sebagaimana
dari Perjanjian Kerjasama tentang Penjualan Produk Telkomsel antara PT.Telekomunikasi
Selular dan PT.Prima Jaya Informatika Nomor PKS Telkomsel: PKS.591/LG.05/SL-
01/VI/2011, Nomor: PKS Prima Jaya Informatika: 031/PKS/PJI-TD/VI/2011, tanggal 01 Juni
2011.
Inti Perjanjian adalah :
PT.Telekomunikasi Selular Menyediakan voucher isi ulang dan Kartu perdana (Rp
5,2 milliar) PT.Prima Jaya Informatika bersedia Menjual 120 juta voucher dan 10 juta Kartu
Perdana serta Membentuk komunitas Prima (10 juta anggota) . Tanggal 9 Mei 2012
PT.Prima Jaya Informatika melakukan pemesanan produk pada Telkomsel. Tanggal 20 & 21
Juni 2012 = PT.Prima Jaya Informatika sekali lagi melakukan pemesanan produk pada
Telkomsel, dan Telkomsel menolak pemesanan PT.Prima Jaya Informatika melalui email 21
Juni 2012 karena PT.Prima Jaya Informatika belum melakukan pembayaran atas pesanan
yang sebelumnya .
Kemudian PT.Prima Jaya Informatika mengajukan permohonan pailit terhadap PT
Telkomsel pada PN Niaga Jakarta Pusat (48/Pailit/2012/PN Niaga. JKT. PST)
Dengan Alasan : Telkomsel seolah-olah memiliki utang atau kewajiban yang dapat
dinyatakan dengan uang dan telah jatuh waktu akibat tidak melaksanakan perjanjian
Mengakibatkan kerugian 5,3 M pada PT.Prima Jaya Informatika
ANALISA PUTUSAN

Di dalam perjanjian kerja sama antara PT Telkomsel dengan PT.Prima Jaya


Informatika, pada dasarnya harus dilihat terlebih dahulu kedudukan hukumnya didalam
Perjanjian kerja sama tersebut antara siapa sebagai Kreditor yang sebenarnya dan siapa
sebagai Debitor yang sebenarnya.
Menurut Pasal 1 Angka (3) UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang No. 37 Tahun 2004, yang dimaksud Debitor adalah :
“ orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-undang yang pelunasannya
dapat ditagih di muka pengadilan. “
Dan menurut Pasal 1 Angka (2), yang dimaksud Kreditor adalah :
“ orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih
di muka pengadilan.”
Kreditor adalah orang yang berdasarkan hubungan pribadi mempunyai hak subyektif
untuk menuntut pemenuhan tagihannya dari debitor dan pada dasarnya berhak untuk
memperoleh pembayaran atas tagihannya tersebut atas harta kekayaan debitor (Polak, 1997:
12). Agar dapat digolongkan sebagai kreditor sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Kepailitan, maka kreditor harus dapat menuntut tagihannya di muka pengadilan. Oleh sebab
itu, apa yang dikenal sebagai perikatan alami (natuurlijke verbintenis) tidak dapat menjadi
dasar untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit. Apakah yang dimaksud dengan
natuulirjke verbintenis adalah obligation civile manqué oi degeneree (Asser-Rutten, l98l:27-
28) artinya perikatan semacam itu tidak dapat dituntut pemenuhannya di muka pengadilan
karena ketentuan undang-undang, baik ab initio (dari semula) semisal utang karena perjudian
atau pertaruhan (Pasal 1788 KUHPerdata) maupun sesudahnya sebagai akibat daluwarsa
yang membebaskan dari suatu kewajiban (Pasal 1967 KUHPerdata).7[7] Secara singkat
dapat disimpulkan bahwa didalam suatu perjanjian timbal balik, kreditor adalah pihak yang
berhak mendapatkan pembayaran atas sesuatu yang timbul dari perjanjian tersebut,
sedangkan Debitur adalah Pihak yang berkewajiban membayar atas suatu yang timbul dari
perjanjian yang bersangkutan.
Didalam perjanjian kerjasama antara Telkomsel dengan PT.Prima Jaya Informatika
terlihat jelas isi dari perjanjian tersebut Telkomsel memberikan aturan main yang jelas untuk

7[7] Agus Subroto, dalam Makalah “pemahaman konsep dasar dan aspek hukum kepailitan Di
indonesia.”
ditaati mitra kerjanya yaitu PT.Prima Jaya Informatika atas perjanjian tersebut. Telkomsel
Menyediakan voucher isi ulang dan Kartu perdana untuk dijual oleh PT.Prima Jaya
Informatika dengan target penjualan 120 juta voucher dan 10 juta Kartu Perdana serta
Membentuk komunitas Prima (10 juta anggota), penetapan jumlah penjualan Voucher dan
kartu perdana adalah ditetapkan oleh Telkomsel secara sepihak berdasarkan asas kebebasan
berkontrak dan disetujui untuk ditaati.
Didalam perjanjian kerja sama tersebut Pihak Telkomsel telah melaksanakan
pretasinya dengan menyediakan Voucher isi ulang dan kartu perdana yang telah diminta oleh
PT.Prima Jaya Informatika, akan tetapi ternyata PT.Prima Jaya Informatika justru Tidak
Melakukan Pembayaran Terhadap PO NO.PO/PKIAK/ V/2012/00000026 tanggal 9 Mei
2012 sebesar Rp4.800.000.000,00 (empat milyar delapan ratus juta Rupiah).
Didalam pelaksanaan perjanjian ini terlihat jelas Telkomsel adalah berkedudukan
sebagai kreditor dan PT.Prima Jaya Informatika berkedudukan sebagai Debitor karena
mempunyai kewajiban untuk membayar atas apa yang telah diberikan oleh Telkomsel, dan
selain terkait barang yang belum dibayar PT.Prima Jaya Informatika juga tidak memiliki
pilihan lain selain wajib mentaati Peraturan didalam perjanjian kerjasama tersebut.
Sehingga Syarat untuk dapatnya dijatuhi kepailitan sebagaimana diatur di dalam pasal 2 ayat
(1) UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang No. 37 Tahun 2004 yang
berbunyi
“ Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor…..” dimana dalam kasus ini PT
Telkomsel di perlakukan atau dianggap sebagai debitor oleh Majelis Hakim Pengadilan
Niaga sebagaimana dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang tersebut diatas adalah penafsiran
yang keliru dan terbalik.
Kata “utang” sebagaimana tersebut dalam ketentuan Pasal 1 ayat 1 UU No. 4/1998
secara sempit, sehingga hanya mencakup utang yang lahir karena pinjaman uang.
Pemahaman yang demikian jelas bukan maksud pembentuk undang-undang. Oleh sebab itu,
untuk memperbaiki salah pemahaman tersebut hal itu ditegaskan dalam Undang-undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU yang mengambil contoh Pasal 1233 dan
Pasal 1234 KUHPerdata, menegaskan bahwa : “Utang adalah kewajiban yang dinyatakan
atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata
uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari (kontinjen),
yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan
bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapatkan pemenuhannya dari
harta kekayaan debitor”
Adapun contoh utang yang lahir karena undang-undang adalah “perbuatan melawan hukum”
(Pasal 1365 KUHPerdata), negotiorum gestio atau “zaakwaarneming” (Pasal 1354-1357
KUHPerdata) dan Pembayaran yang tidak diwajibkan (Pasal 1359-1364 KUHPerdata).
Sementara itu yang dimaksud dengan utang yang lahir karena perjanjian, ketentuan Pasal
1234 KUHPerdata mengatur bahwa hal itu terdiri dari
- Perikatan untuk memberikan sesuatu,
- Perikatan untuk berbuat sesuatu, atau
- Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu.
Berikut ini dipaparkan beberapa contoh perikatan dimaksud :
- perikatan dari seorang penjual untuk menyerahkan kepada pembeli barang yang
dijualnya;
- perikatan dari seorang peminjam untuk membayar kembali utang pokok dan
membayar bunga yang diperjanjikan kepada kreditornya;
- perikatan dari seorang penanggung untuk membayar kepada kreditor utang yang ia
jamin pembayarannya;
- perikatan dari seorang pemilik pekarangan yang telah memberikan hak numpang
lewat (servituut = hak pengabdian pekarangan) untuk tidak menutup jalan masuk dan jalan
keluar dari pekarangan tersebut.
Semua perikatan tersebut adalah utang dari debitor (yang terdiri dari penjual,
peminjam,dan pemilik pekarangan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal l ayat (l) Undang-
undang Nomor 4/1998 atau Pasal 2 ayat (l) Undang-undang Nomor 37/2004. Oleh karenanya
ia dapat menjadi dasar bagi pemohon untuk mengajukan Permohonan Pernyataa Pailit.8[8]
Utang tidak meliputi suatu kewajiban yang timbul akibat dari tindakan wanprestasi, yang
dikutip antara lain sebagai berikut:9[9]
“…pada hakekatnya hubungan hukum yang ada antara para Termohon kasasi (dahulu
termohon asal/PT. Modernland Realty Ltd.) adalah hubungan hukum perikatan jual beli
mengenai satuan rumah susun Golf Modern yang dibangun oleh Pemohon Kasasi dengan

8[8] Ibid.

9[9] Ricardo Simanjuntak, Undang-Undang Kepailitan No. 37 Tahun 2004 dan Undang-Undang
Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007 sehubungan dengan Penyelesaian Kewajiban Perseroan Pailit
terhadap para Krediturnya, dalam dalam Prosiding Seminar Nasional Kepailitan “Antisipasi Krisis
Keuangan Kedua, Sudah Siapkah Pranata Hukum Kepailitan Indonesia?”, USAID In ACCE Project &
AKPI, Jakarta, 29 Oktober 2008, Hlm.24
pembayaran secara angsuran oleh para Termohon Kasasi sehingga karenanya merupakan
perikatan antara produsen dan konsumen.
Sedangkan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU No. 4/1998 beserta penjelasannya
telah dicantumkan dengan jelas adanya hubungan hukum utang dan bahwa pengertian utang
yang tidak dibayar oleh debitur sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah utang
pokok dan bunganya.
Bahwa dengan demikian pengertian “utang” dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 4/1998
harus diartikan dalam konteks pemikiran konsiderans tentang maksud diterbitkannya undang-
undang tersebut dan tidak dapat dilepaskan kaitan itu daripadanya, yang pada dasarnya
menekankan pada pinjam meminjam swasta. Sehingga karenanya tidak meliputi wanprestasi
lain yang tidak berawal dari konstruksi pinjam meminjam.”
Dalam kasus perjanjian kerjasama antara Telkomsel dengan PT.Prima Jaya
Informatika, yang dimaksud utang oleh PT.Prima Jaya Informatika dalam permohonan
pailitnya adalah Purchase Order (PO) atau Perintah Pembelian atau surat Pemesanan Barang
yang diterbitkan oleh Pemohon Pailit kepada Termohon Pailit yang sama sekali bukan
merupakan bukti adanya utang ataupun kewajiban Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit.
Bahkan dalam Perjanjian Kerjasama tidak pernah disebutkan bahwa Purchase Order (PO)
adalah bukti pembayaran ataupun bukti tagihan kepada Pemohon Pailit. Sehingga dalam hal
Syarat Pokok Permohonan kepailitan tentang adanya “ UTANG” menjadi tidak terpenuhi. Di
dalam proses beracara dalam hukum kepailitan, konsep utang menjadi sangat penting dan
esensial (menentukan) karena tanpa adanya utang maka tidaklah mungkin perkara kepaiiitan
akan dapat diperiksa. Tanpa adanya utang, maka esensi kepailitan tidak ada karena kepailitan
adalah pranata hukum untuk melakukan likuidasi aset debitor untuk membayar utang
utangnya terhadap para kreditornya.10[10]
Dan lagi-lagi Majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat keliru didalam
menafsirkan Purchase Order sebagai Utang yang menerbitkan kewajiban untuk membayar.
Tindakan Telkomsel dengan tidak memberikan barang atas Purchase Order (PO)
sebagaimana yang dipesan kembali oleh PT.Prima Jaya Informatika (yang dianggap sebagai
utang) adalah dikarenakan PT.Prima Jaya Informatika telah melakukan Wanprestasi yaitu
Tidak Melakukan Pembayaran Terhadap PO NO.PO/PKIAK/ V/2012/00000026 tanggal 9

10[10] Fred BG Tumbuan, “Komentar Atas Catatan Terhadap Putusan No : 14 K/N/2004 jo No


:18/Pailit/P.Niaga/Jkt.Pst” dalam Valerie Selvie Sinaga, Analisa Putusan Kepailitan Pada pengadilan
Negeri Jakarta, Fakultas Hukum Universitas Katholik Atmajaya, Jakarta, 2005, hlm.34
Mei 2012 sebesar Rp4.800.000.000,00 (empat milyar delapan ratus juta Rupiah) Padahal
Pesanan PT.Prima Jaya Informatika tersebut telah disetujui (approved) oleh Telkomsel.
Dengan fakta hukum yang terjadi pada perjanjian kerja sama ini PT.Prima Jaya Informatika
terlebih dulu melakukan wanprestasi kepada Telkomsel, yang artinya Majelis hakim tidak
dapat serta merta menjatuhkan pernyataan pailit kepada Termohon pailit yaitu Telkomsel.
Yang berarti disini Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga telah keliru dengan
tidak mempertimbangkan asas EXCEPTIO NON ADIMPLETI CONTRACTUS. yaitu hakim
mengabaikan asas hukum "exceptio non adimpleti contractus". Artinya pihak lawan dalam
keadaan lalai, maka dengan demikian tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi pihak
lain.11[11] Asas Exceptio Non Adimpleti Contractus adalah Tidak dipenuhinya kontrak
(wanprestasi) terjadi karena pihak lain juga wanprestasi.12[12] Atau bisa berarti sebagai
suatu tangkisan, yang mengatakan anda sendiri belum berprestasi dan karenanya anda tidak
patut untuk menuntut saya berprestasi.13[13]
Oleh karena itu secara Yuridis jika memang PT.Prima Jaya Informatika ingin agar PT
Telkomsel memenuhi pesanannya apa yang diminta, maka seharusnya PT.Prima Jaya
Informatika membayar terlebih dahulu apa yang menjadi kewajibannya kepada PT
Telkomsel.
secara umum diterima pendapat, bahwa para pihak dalam perjanjian tetap harus memenuhi
kewajibannya, sekalipun pihak lain wanprestasi (Rutten, loc.cit.). Asas exeptio non adimpleti
contractus. Konsekuensinya, seorang penyewa yang mengemukakan, bahwa lawan janjinya

11[11] http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5062c303220fb/majelis-hakim-pailit-
telkomsel-dilaporkan

Diakses 26 Mei 2013

12[12] Andi Kisnah Bintang , et.al, “ Asas Exceptio Non Adimpleti Contractus Dalam Perjanjian
Kredit”, Program Kenotariatan, FakultasHukum, UniversitasHasanuddin,

13[13] Exceptio non adimpleti contractus,


http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4cdb67c58d247/beberapa-segi-hukum-tentang-
somasi-bagian-iv-brioleh-j-satrio

Diakses 26 Mei 2013


wanprestasi, tidak membebaskan dirinya sendiri untuk berprestasi (HgH Batavia 24 Maret
1938, T. 147 : 700).14[14]

Asas-asas Undang-undang Kepailitan 15[15]


1. Undang-undang Kepailitan Harus Dapat Mendorong Kegairahan Investasi Asing,
Mendorong Pasar Modal, dan Memudahkan Perusahaan Indonesia Memperoleh Kredit Luar
Negeri (Biaya dari luar negeri penting dari waktu ke waktu untuk membiayai pembangunan
nasional jadi Indonesia harus mempunyai hukum Kepailitan yang diterima secara global
(globally accepted principles)
2. Undang-undang Kepailitan Harus Memberikan Perlindungan yang Seimbang bagi Kreditor
dan Debitor (menjunjung keadilan dan memperhatikan kepentingan keduanya meliputi segi-
segi penting yang dinilai perlu untuk mewujudkan penyelesaian masalah utangpiutang secara
cepat, adil, terbuka, dan efektif.
sikap yang diambil oleh Majelis Hakim Peninjauan Kembali dalam Putusan No.
024PK/N/1999 dalam perkara antara PT Citra Jimbaran Indah Hotel melawan Ssangyong
Engineering & Construction Co. Ltd. yang dalam mengabulkan permohonan Peninjauan
Kembali mengemukakan sebagai berikut:
".. .karena Majelis Kasasi telah mengabaikan bunyi penjelasan umum dari makna yang
terkandung dalam Perpu No. 1 Tahun 1998 yang telah ditetapkan menjadi undang-undang
dengan Undang-undang No. 4 tahun 1998, dimana secara esensial ditentukan bahwa
kepailitan penerapannya harus dilakukan/diselesaikan secara adil dalam arti memperhatikan
kepentingan Perusahaan sebagai Debitor atau kepentingan Kreditor secara seimbang".
Perlindungan kepentingan yang seimbang itu adalah sejalan dengan dasar Negara RI
yaitu Pancasila. Pancasila bukan saja mengakui kepentingan seseorang, tetapi juga
kepentingan orang banyak atau masyarakat. Pancasila bukan saja harus memperhatikan hak
asasi, tetapi harus memperhatikan juga kewajiban asasi seseorang. Berdasarkan sila
"Kemanusiaan yang adil dan beradab" harus dikembangkan sikap tidak semena-mena

14[14] Exceptio non adimpleti contractus,


http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4cdb67c58d247/beberapa-segi-hukum-tentang-
somasi-bagian-iv-brioleh-j-satrio

Diakses 26 Mei 2013

15[15] Sutan Remy Sjahdeini, Hukum kepailitan memahami Undang-undang No.37 tahun 2004
tentang kepailitan, pt.pustaka utama graffiti, cetakan ke IV, Jakarta, Januari 2010, Hlm.33-34
terhadap orang lain, lebih-lebih lagi terhadap orang banyak, Dalam peristiwa kepailitan
terdapat banyak kepentingan yang terlibat, yaitu selain kepentingan para kreditornya juga
kepentingan para stakeholders yang lain dari Debitor yang dinyatakan pailit, lebih-lebih
apabila Debitor itu adalah suatu perusahaan.
PT.Telekomunikasi Selular Adalah Perusahaan Telekomunikasi Yang Sangat Sehat Dan
Dikelola Dengan Sangat Balk Yang Terus Menghasilkan Keuntungan, Proporsi kepemilikan
saham Telkom = 65% Saham Singtel = 35% Saham, Dimana Berdasarkan Laporan
Keuangan Tahun 2011 Yang Telah Diaudit Dan Membukukan Keuntungan Sebesar
Rp.12.823.670.058.017,00 (dua belas triliun delapan ratus dua puluh tiga miliar enam ratus
tujuh puluh juta lima puluh delapan ribu tujuh belas Rupiah)16[16] Putusan pernyataan pailit
yang dikeluarkan oleh Majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat sangat bertentangan
dengan asas Undang-undang kepailitan itu sendiri, dengan menciptakan keadaan
ketidakpastian Penegak hukum didalam menerapkan Undang-undang kepailitan yang itu
sangat mengancam iklim investasi bagi asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Dan pada akhirnya Pihak asing akan beranggapan bahwa Hukum kepailitan di Negara
Indonesia ini tidak dapat diterima secara Global.
Asas-asas Undang-undang kepailitan pada umumnya, secara tegas menyatakan “
Putusan pernyataan pailit tidak dapat dijatuhkan terhadap Debitor yang masih Solven.”sikap
ini merupakan sikap Faillissement verordening (Fv) sebagaimana tercantum dalam Pasal 1
ayat (1) sebelum kemudian diubah oleh Perpu No.1 Tahun 1998, dengan bunyi sebagai
berikut :
“ Setiap pihak yang berutang (debitur) yang tidak mampu yang berada dalam keadaan
berhenti membayar utang-utangnya, dengan putusan hakim, baik atas permintaannya sendiri
maupun atas permintaan seorang atau lebih pihak berpiutangnya (kreditornya), dinnyatakan
dalam keadaan pailit.” Untuk dapat menetukan debitur dalam keadaan solven atau insolven
hanya dilakukan berdasarkan financial audit.17[17] Putusan Pernyataan pailit atas Telkomsel
ini juga tidak Memberikan Perlindungan yang Seimbang bagi Kreditor dan Debitor
(menjunjung keadilan dan memperhatikan kepentingan keduanya meliputi segi-segi penting
yang dinilai perlu untuk mewujudkan penyelesaian masalah utang-piutang secara cepat, adil,
terbuka, dan efektif. Penerapan pertimbangan hukum yang diambil Majelis hakim Pengadilan

16[16] P U T U S A N No. 704 K/Pdt.Sus/2012, Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik


Indonesia

17[17] Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, Hlm.39


niaga hanya melihat dari sisi Pemohon Pailit secara luarnya saja, tanpa melihat kapasitas
Termohon Pailit sebagai perusahaan Terbesar Telekomunikasi yang masih sangat Solven
dalam melaksanakan kewajiban terhadap mitra kerjanya yang lain. Melihat fakta hukum
berdasarkan audit laporan keuangan Telkomsel yang pada tahun 2011 memiliki keuntungan
dua belas trilyun lebih, Majelis hakim Pengadilan Niaga telah Khilaf dalam menjatuhkan
putusan pernyataan pailit terhadap.Telkomsel tersebut. Majelis Hakim kurang teliti dan
berhati-hati didalam menganalisa dan menjatuhkan putusan pernyataan pailit dalam perkara
tersebut.
Tujuan Undang-Undang Kepailitan yang pada awalnya untuk melikuidasi harta
kekayaan debitor untuk keuntungan para kreditornya, pada perkembangannya mengalami
berubahan. Undang-Undang Kepailitan menjadi instrumen penting untuk mereorganisasi
usaha debitor ketika mengalami kesulitan keuangan. Hal ini berlaku terhadap kepailitan
perusahaan (corporate insolvency). Serangkaian perkembangan Undang-Undang Kepailitan
di Amerika Serikat, Inggris, Australia maupun Jerman menunjukkan perubahan yang sama,
yaitu mengarahkan kepada sutau proses untuk memaksimalkan nilai on-going business dan
mempertahankan keuntungan sosial dari eksistensi bisnis, serta meningkatkan tagihan-
tagihan yang dimiliki oleh para kreditor. Pada perkembangan selanjutnya, tujuan hukum
kepailitan juga untuk melindungi kepentingan stakeholders. Perlindungan terhadap
stakeholders mempunyai suatu tujuan imperatif, yaitu bisnis harus dijalankan sedemikian
rupa agar hak dan kepentingan stakeholders dijamin, diperhatikan, dan dihargai dalam suatu
kegiatan bisnis. Sebabnya, berbagai pihak tersebut dipengaruhi dan dapat mempengaruhi
keputusan dan tindakan bisnis.18[18]
Oleh karena itu seharusnya Pengadilan Niaga sebagai Ultimum remedium (Upaya
Terakhir) para pelaku bisnis di Indonesia lebih-lebih lagi para penanam modal asing yang
menempatkan modalnya di Indonesia harus mendapatkan kepastian hukum yang dapat
diterima secara global oleh semua pihak-pihak para pelaku bisnis. Jangan sampai
keterbatasan pengetahuan para hakim di Indonesia terutama pada Pengadilan Niaga
menjadikan para pelaku-pelaku bisnis menjadi takut untuk menjalankan kegiatan bisnisnya
dikarenakan banyaknya putusan-putusan Pengadilan Niaga terutama masalah kepailitan yang
controversial dan banyak mengundang kecaman dari berbagai pihak baik dalam negeri
maupun diluar negeri.

18[18] Siti Anisah,Op.cit, Hlm.34-35


Disini pentingnya para penegak Hukum terutama para Hakim untuk lebih memahami
dan mendalami permasalahan yang terkait masalah Hukum bisnis terutama kepailitan. Karena
jika Melihat Undang-undang kepailitannya sendiri UU no.37 Tahun 2004 masih banyak
sekali kelemahannya yang itu berarti merupakan celah bagi pihak-pihak yang dapat
memanfaatkan kelemahan dari undang-undang itu sendiri untuk menghabisi nyawa
perusahaan yang menjadi lawan bisnisnya, karena begitu mudahnya syarat untuk
mempailitkan suatu perusahaan, dengan akibat hukum yang begitu kompleks dan besar bagi
pihak-pihak yang ada keterkaitannya dengan suatu perusahaan maupun badan yang
dipailitkan. Dan jika dari peraturan perundang-undangannya sendiri sudah begitu banyak
kelemahan, jika para hakim tidak dituntut untuk lebih progresif dan cerdas didalam
menangani permasalahan kepailitan yang dihadapkan kepadanya, bukan tidak mungkin akan
menjadi banyak perusahaan maupun badan-badan usaha yang sebenarnya masih solven dan
kegiatannya masih aktif menjadi korban akan kelemahan undang-undang ini.. Akibat dari
penegakan hukum kepailitan yang tidak sesuai dengan asas dan prinsip hukum kepailitan
dampak yang paling besar adalah investor enggan menanamkan modalnya di Indonesia,
karena kurang adanya jaminan perlindungan hukum atas investasinya tersebut. Salah satu
jaminan perlindungan hukum yang dinilai tidak kondusif adalah ketentuan tentang hukum
kepailitan.
BAB III
PENUTUP

PUTUSAN No. 48/Pailit/2012/PN.Niaga.JKT.PST yang menjatuhkan putusan


pernyataan pailit pada Perusahaan PT.TELEKOMUNIKASI SELULAR.Tbk mengandung
hal-hal yang controversial dan dapat dikatakan tidak sesuai dengan asas dan prinsip hukum
Kepailitan.
Pertama , dari sisi kedudukan hukum dalam perjanjian kerja sama antara Telkomsel
dengan PT.Prima Jaya Informatika, bahwa siapakah kreditor dan debitor yang sebenarnya
dalam masalah ini, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah keliru dalam menafsirkan siapa
kreditor dan debitor yang sebenarnya, faktanya Telkomsel adalah kreditor yang sebenarnya
sedangkan PT.Prima Jaya Informatika adalah Debitor .sehingga secara otomatis penerapan
hukumnya pun juga menjadi keliru.
Kedua, Pengadilan Niaga tidak memperhatikan asas Asas Audi et Alteram Partem,
sehingga alat-alat bukti dari Telkomsel yang isinya mengenai kejadian fakta yang
sesungguhnya tidak diperhatikan, sehingga Pengadilan Niaga telah khilaf karena didalam
Perjanjian kerjasama tersebut ternyata PT.Prima Jaya Informatika telah melakukan
Wanprestasi yaitu Tidak Melakukan Pembayaran Terhadap PO NO.PO/PKIAK/
V/2012/00000026 tanggal 9 Mei 2012 sebesar Rp4.800.000.000,00 (empat milyar delapan
ratus juta Rupiah) Padahal Pesanan PT.Prima Jaya Informatika tersebut telah disetujui
(approved) oleh Telkomsel, sehingga Pengadilan niaga telah khilaf dengan tidak
memperhatikan asas hukum "Exceptio Non Adimpleti Contractus". Artinya pihak lawan
dalam keadaan lalai, maka dengan demikian tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi pihak
lain.
Ketiga, Banyak kejanggalan pada Pertimbangan amar putusan Pengadilan Niaga ,
yang antara lain pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Niaga, telah secara tegas
menyatakan bahwa pengakuan Pemohon Kasasi (Termohon Pailit) di depan persidangan yang
menyatakan telah melakukan pembayaran terhadap tagihan kreditor lain tersebut di
persidangan oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga dinyatakan merupakan alat bukti yang
bersifat sempurna dan bukti tersebut tetap dipertimbangkan, AKAN TETAPI TIBA-TIBA
DALAM PARAGRAPH BERIKUTNYA MAJELlS HAKIM MENYATAKAN TIDAK
DAPAT DIPERTIMBANGKAN KARENA BUKTI T-13 DAN BUKTI T-14 TIDAK ADA
ASLlNYA.19[19] Yang hal ini patut diduga bahwa Majelis Hakim yang memutus perkara
tersebut tidak obyektif dan tidak netral, yang oleh LSM National Government Monitoring
(NGM) Majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta yang memutus pailit PT Telkomsel Tbk
dilaporkan ke KY. Mereka dilaporkan karena diduga melanggar kode etik dan pedoman
perilaku hakim.20[20]

19[19] P U T U S A N No. 704 K/Pdt.Sus/2012, Op.Cit , Hlm.36

20[20] http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/12/09/26/mayqtz-pailitkan-
telkomsel-hakim-pengadilan-niaga-dilaporkan-ke-ky Diakses 26 Mei 2013

Anda mungkin juga menyukai